Sunday 8 February 2015

GOLEK WIT GUNG SUSUHING TAPAK ANGIN, GOLEK TIRTA PAWITRA MAHENING SUCI




GOLEK WIT GUNG SUSUHING TAPAK ANGIN,
GOLEK TIRTA PAWITRA MAHENING SUCI

Secara harfiah judul tulisan ini dapat berarti:
mencari jejak sarang angin besar yang azali
mencari air penghidupan besar yang tersuci
bagi siapa saja yang berkehendak kembali
pada asal dan tujuan hidupnya yang hakiki,
yakni kembali ke Taman Kemuliaan Abadi.

Bima bersama saudara Pandawa
berguru kepada Begawan Durna
di Sokalima, negeri Hastinapura
sejak anak-anak hingga dewasa.

Bima memohon kepada Guru Durna
adakah sejatinya ilmu yang sempurna
agar hidup manusia semua bahagia
di dunia dan juga di akhirat nantinya.

Sang Pendeta linuwih pun memberikan
beberapa petunjuk sebagai wejangan
agar Sang Bima mampu mendapatkan
dan menemukan ilmu kesempurnaan.

Lalu, pendeta Durna menyuruh Bima
mencari dan menemukan syarat pertama
wit gung susuhing tapak angin di rimba raya
atau berada di puncak Gunung Candramuka.


Tanpa menunggu komando lagi,
berangkatlah Bima untuk mencari
apa yang diamanatkan gurunadi
wit gung susuhing tapak angin tadi.

Di Gunung Candramuka
Bima bertemu dua raksasa
Rukmuka dan Rukmakala
wajah seram siap memangsa.

Setelah terjadi perselisihan,
duel pun tidak terhindarkan.
Tanpa banyak perlawanan,
raksasa menemui ajal kematian.

Dua raksasa sirna berganti rupa
jadi Dewa Bayu dan Dewa Indra,
dan Bima pun hormat kepadanya
sebagai tanda bakti kepada mereka.

Kedua dewa itu mengatakan bahwa
wit gung susuhing tapak angin nyata
tidak berada di Gunung Candramuka
Bima haruslah kembali ke Sokalima
kepada Pendeta Durna meminta
penjelasan yang sebenar-benarnya
wit gung susuhing tapak angin di mana.

Sesampainya di padepokan Sokalima
Sang Pendeta Durna tidak lagi meminta
wit gung susuhing tapak angin kepada Bima
tetapi carilah tirta pawitra mahening suci saja
dalam dasar samudera minangkalbu berada
yang tidak jauh-jauh tempatnya dari diri Bima.

Tentu saja Bima pun segera berangkat mencari
dan menemukan tirta pawitra mahening suci
di dasar samudera minangkalbu yang sejati
tepatnya di mana samudera itu, masih dicari
sesungguhnya Bima itu juga tidak mengerti.

Sesampainya Bima di tepi suatu samudera,
was khawatir, ragu-ragu menghinggapinya.
Akan tetapi, hal itu hanyalah sesaat saja,
tekad Bima pun bulat dan penuh percaya,
diserahkan semua pada Yang Maha Esa,
tanpa pikir panjang pertimbangan apa-apa,
Bima pun langsung terjun ke suatu samudera.

Bima tergulung ombak ke tengah samudera,
tiba-tiba muncul ular naga berkepala tiga,
dan lalu Bima berperang dengan ular naga,
akhirnya ular naga mati, musnah seketika,
di tengah alunan ombak manembahlah Bima
sampai heneng hening, antara ada dan tiada.
 
Sesungguhnya makna ular naga berkepala tiga
lambang angan-angan yang dimiliki manusia ,
sejatinya angan-angan itu bersifat tiga juga,
Pangerti atau akal budi, Nalar, dan ada Cipta,
disebut Kemayan, Prabawa, dan Pangaribawa.
Mati atau musnahnya ular naga berkepala tiga
melambangkan angan-angan yang bersifat tiga
telah dapat “terselam dalam keheningan” dunia
Setelah ketiganya “terselam dalam keheningan” dunia,
barulah Bima menerima Wahyu Tuhan Yang Maha Esa
yang terdengar “jelas dan nyaring di dalam ruasnya rasa”.

Ketahuilah olehmu Bima, apa yang disebut Ilmu Sejati
adalah Petunjuk yang sungguh nyata berasal dari Ilahi,
yakni petunjuk yang menunjukkan Jalan Benar hakiki,
ialah Jalan yang sampai pada asal dan tujuan hidup ini.

Pokok ilmu yang tersimpan dalam Ilmu Sejati, namanya
sangkan paraning dumadi “asal dan tujuan hidup semua”
makhluk Tuhan Yang Maha Esa, berada pada jagat raya,
disebut Hastha Sila ialah Panembah Batin Delapan Perkara.
Hastha Sila terdiri atas dua perkara: Tri Sila dan Panca Sila.

Tri Sila itu Panembahnya Hati dan Cipta ada tiga perkara
semata-mata ditujukan kepada Tuhan Yang Mahakuasa.
Tri Sila berwujud kesanggupan besar yang setiap harinya
sangat amat perlu dilaksanakan oleh semua umat di dunia
yaitu manusia harus senantiasa Sadar, Percaya, dan Takwa
hanya kepada Tuhan yang mengusai semesta alam seisinya.
 
Agar sempurna melaksanakan kesanggupan besar trisila
manusia wajib hukumnya untuk berusaha sekuat tenaga,
dengan tanpa mengenal putus asa dalam setiap harinya
supaya dapat memiliki juga lima watak utama, Panca Sila,
sebagai suatu perbuatan utama, kebajikan lima perkara:
Rela, Jujur, Sabar, Narima, dan Budi Luhur atau Budi Mulia.

Sebagai tangga dapat menuju mencapai watak Hastha Sila
haruslah berjalan di Jalan Rahayu, Jalan Keselamatan Jiwa,
disebut juga dengan Panca Darma Bakti, yaitu lima perkara:
1.  Meresapkan Paugeran Tuhan kepada hamba,
sebagai dasar keparcayaan yang benar-benar nyata.
2.   Melaksanakan Panembah kepada Tuhan Yang Maha Esa
sebagai tanda berbakti dan tali kasih kesadaran hamba.
3.   Melaksanakan Budi Darma, sarana dapat menyucikan jiwa,
upaya membabarkan rasa kasih sayang kepada sesama.
4.   Mengendalikan Hawa Nafsu dengan melakukan tapa brata,
mengekang hawa nafsu yang menuju ke perbuatan tercela.
5.   Berusaha dapat menetapi derajat Budi Luhur atau Budi Mulia.

Selain itu, semua umat wajib berikhtiar atau berusaha:
jangan sampai menerjang Larangan Yang Mahakuasa,
dengan apa yang disebut sebagai perintah akan Paliwara,
yaitu ada lima hal atau perkara yang menjadi larangan-Nya:
1.  Janganlah engkau menyembah selain kepada Allah Ta’ala.
2.  Berhati-hatilah engkau semua terhadap hal syahwat manusia.
3.  Janganlah kau makan atau mempergunakan makanan apa saja
yang dapat memudahkan cepat rusaknya jiwa raga kalian semua.
4.  Patuhilah sungguh Undang-undang Negara dan peraturannya.
5.  Janganlah engkau berselisih atau bertengkar dengan sesama.

Demikianlah ringkasan apa yang disebut dengan Ilmu Sejati
ialah Ilmu yang menunjukkan asal mula dan tujuan hidup insani
dan akhirnya Bima dapat bertunggal dengan Sang Guru Sejati
di pusat wit gung susuhing tapak angin, yakni pusat hati sanubari,
serta berbahagia sekali menemukan tirta pawitra mahening suci.
Sesungguhnya semua sudah bertunggal dengan diri Bima sendiri.

Bekasi, 8 Februari 2015


No comments:

Post a Comment

Pertemuan 15 Teori Sastra Tempatan