Sunday 15 May 2011

Sastra dan Dunia Wayang



Banyak pandangan dari para kritisi Barat bahwa memahami masyarakat Indonesia masa kini tidak terlepas dari warisan budaya tradisionalnya. Sebab warisan budaya tradisional tersebut telah mengondisikan keadaan sekarang yang mengajari bagaimana cara meramu penerimaan suatu gagasan dari luar, baik pengaruh dari dunia Barat maupun dunia Timur yang lain, seperti Arab, Persia, dan India. Budaya tradisional itu telah memberi pembelajaran yang sangat berharga bagi kelangsungan hidup kita kini. Salah satu warisan budaya tradisional tersebut adalah wayang.
Menurut Kabin (dalam Anderson, 2008:vi) “wayang adalah pentas bayang-bayang Jawa yang didasarkan pada adaptasi dan pengembangan tema-tema dan babak-babak utama dalam Ramayana dan Mahabharata”. Di luar daerah asal-usulnya, India, kisah Ramayana dan Mahabharata memiliki banyak versi atau saduran dengan kreasi baru seperti di Jawa ada Kakawin Ramayana (berbahasa Jawa Kuno), Serat Rama (gubahan Yasadipura I dalam bahasa Jawa Baru), Serat Kanda, Adiparwa, Wirataparwa, Bismaparwa, Kakawin Bharata Yudha, Kakawin Gatotkacasraya, dan Kakawin Arnjuna Wiwaha. Sementara itu di tanah Melayu ada Hikayat Sri Rama, Hikayat Maharaja Rawana, Hikayat Pandawa Lima, Hikayat Pandawa Jaya, Hikayat Pandawa Lebur, Hikayat Darmawangsa, dan Hikayat Angkawijaya (Fang, 1991: 49—114). Dengan kisah-kisah dalam Mahabharata dan Ramayana itu pentas wayang tersebut dimainkan dengan boneka kulit pipih yang menimpakan bayang-bayangnya secara tajam pada layar yang terbentang untuk disaksikan dari sebaliknya. Jadilah sebuah pertunjukan wayang yang dimainkan oleh seorang dalang dengan boneka-boneka itu digelar semalaman.
     Sementara itu, menurut Zaidan et al. (1994:214--215) “wayang adalah kesenian Indonesia yang berasal dari Jawa dan Bali yang merupakan sandiwara atau lakon yang dibawakan atau diceritakan oleh dalang dengan menggunakan gambar (wayang beber), boneka (wayang kulit dan golek) atau manusia (wayang orang)”. Jenis wayang meliputi wayang beber, wayang gedog, wayang golek, wayang keling, wayang klitik, wayang krucil, wayang kulit, wayang sadat, wayang orang, wayang purwa, wayang topeng, dan wayang wahyu. Yang menjadi dasar perbedaan jenis wayang tersebut dapat berupa gambar, boneka, dan manusia, serta dapat pula sumber ceritanya, seperti Ramayana, Mahabharata, Pustaka Raja Purwa, Babad Tanah Jawi, Babad Demak, Babad Majapahit, Babad Blambangan, Cerita Panji, Cerita Menak, Cerita Silat Cina, dan Kitab Wahyu (Alkitab).
    Meskipun banyak jenis dan kreasi serta sumber ceritanya, ternyata menurut Koentjaraningrat (1984:288—289) dalam bukunya Kebudayaan Jawa, bahwa cukup banyak orang Jawa yang tidak menaruh minat terhadap wayang atau yang pengetahuannya tentang wayang dangkal saja. Menurut perkiraan Koentjaraningrat itu hanya ada sekitar 20% saja dari golongan tua yang gaya hidupnya sangat terpengaruh oleh wayang, sebab mereka ini tidak berorientasi ke agama Islam, tetapi lebih cenderung pada budaya abangan dan priyayi.
            Banyak cara dilakukan oleh para orang tua, pakar kebudayaan, dalang, dan para generasi muda di Jawa (bahkan ada orang di luar Jawa dan di luar Indonesia) yang peduli terhadap pelestarian wayang untuk memperkenalkan lebih lanjut kepada masyarakat dunia dan generasi muda kini. Media yang digunakan dalang tidak hanya pementasan wayang di panggung saja, tetapi juga melalui rekaman kaset, CD, DVD, radio, televisi, bahkan internet. Sementara itu, para pakar kebudayaan, generasi tua, dan generasi muda memperkenalkan wayang dengan salah satu caranya menuliskan di media massa, baik media massa cetak (surat kabar, majalah, dan buku) maupun media massa elektronik (internet). Berbagai artikel, makalah, cerita pendek, puisi, naskah drama, cerita bersambung dalam surat kabar, novel, bahkan karya ilmiah seperti skripsi dan disertasi pun ditulis orang berkenaan dengan usaha pelestarian wayang tersebut.
Para pakar yang menulis tentang wayang itu, antara lain: Benedict R.O’G. Anderson, Hardjowirogo, Sri Mulyono, Hazim Amir, I. Kuntara Wiryamartana, Burhan Nurgiyantoro, Dharmawan Budi Suseno, dan Sapardi Djoko Damono. Sementara itu, para sastrawan yang menulis tentang wayang, antara lain: Umar Kayam, Linus Suryadi A.G., Y.B. Mangunwijaya, Yudhistira Ardi Nugraha, Putu Wijaya, Sindhunata, Nano Riantiarno, Yanusa Nugraha, dan Seno Gumira Ajidarma. Mereka pada hakikatnya sangat peduli terhadap usaha pelestarian, inventarisasi, pendokumentasian, pembinaan, dan pengembangan budaya tradisional wayang. Oleh karena itu, pantaslah kita memberi penghargaan kepada mereka yang sangat peduli terhadap dinamika tumbuh dan berkembangnya budaya nasional bangsa Indonesia.
Penulisan dunia wayang dalam sastra Indonesia sebenarnya sudah dimulai pada tahun 1950-an, yaitu ketika N.H. Dini menulis cerita pendek “Jatayu” yang mengambil nama tokoh pewayangan dari kisah Ramayana, yakni seekor burung yang bernama Jatayu. Dalam kisah pewayangan itu tokoh Jatayu adalah raja burung yang merupakan sahabat raja Dasarata dari kerajaan Ayodya. Suatu hari di tengah hutan Dandaka, Jatayu yang tengah istirahat di sarangnya mendengar jeritan Sinta yang sungguh menyayat hati. Jatayu segera terbang ke arah jeritan suara Sinta itu. Ternyata Sinta tengah diculik oleh Rahwana dan hendak diterbangkan ke Alengka. Tentu saja Jatayu segera berusaha menghalangi Rahwana yang membawa kabur Sinta ke Alengka. Nasib sial melanda Jatayu dan akhirnya terkalahkan oleh Rahwana. Jatayu yang kalah ditinggal terbang oleh Rahwaba yang membawa Sinta ke Alengka. Ketika Jatayu dalam keadaan sakaratul maut, datanglah Rama dan Laksmana memberi tahu bahwa Sinta diculik raja Alengka bernama Rahwana. Namun, kreasi N.H. Dini yang mengacu pada kisah wayang itu tidak diikuti oleh penulis lainnya pada waktu dasawarsa 1950-an tersebut.
Memasuki tahun 1960-an, Goenawan Mohamad menulis puisi yang bertolak dari kisah Mahabharata, yaitu “Pariksit” (1963) yang tengah menunggu saat kematiannya oleh kutukan Naga Taksaka. Raja negeri Astina itu akhirnya mati dipatuk Naga Taksaka karena karmanya. Masih dalam dekade 1960-an, enam tahun kemudian, 1969, Danarto menulis cerita pendek “Nostalgia” yang didasarkan pada kisah Mahabharata pula. Cerpen  tersebut dimuat dalam Horison Nomor 12 Tahun ke IV, Desember 1969, halaman 357—362. “Nostalgia” berkisah tentang kepahlawanan tokoh Abimanyu yang menjadi panglima perang Baratayuda di Padang Kurusetra dan gugur di medan perang. Malam menjelang memimpin perang di Padang Kurusetra itu, Abimanyu mendapatkan wejangan dari seekor katak tentang pengetahuan semesta dan hakikat penciptaan asal-mula makhluk.
Pada tahun 1970-an dan 1980-an mulai berkembang penulisan sastra Indonesia yang mengacu pada kisah wayang. Sajak-sajak Subagio Sastrowardojo, seperti sajak “Parasu Rama”, “Garuda”, “Kayon”, “Wayang”, “Bima”, “Matinya Pandawa yang Saleh”, “Kayal Arjuna”, “Dalang”, “Asmaradana”, dan “Batara Kala”, berbicara tentang falsafah hidup dengan referensi tokoh-tokoh wayang. Selaian itu, Sapardi Djoko Damono pun menulis banyak puisi yang mengacu pada dunia wayang, seperti “Di Banjar Tunjuk, Tabanan”, “Benih”, “Pesan”, “Telinga”, dan “Sita Sihir”. Linus Surayadi A.G. pun menulis sajak “Bonowati dan Limbuk”, “Duryudana dan Dorna”, “Pengakuan Kunti Talibrata”, dan prosa liris Pengakuan Pariyem dengan referensi wayang sebagai kreativitas seninya.
Beberapa sastrawan yang juga menulis dengan referensi wayang sebagi cantelan mitologisnya adalah Umar Kayam dengan noveletnya Sri Sumarah dan Para Priyayi. Kehadiran Y.B. Mangunwijaya dengan novelnya Burung-Burung Manyar dan Durga Umayi menambah semarak penulisan sastra Indonesia dengan referensi dunia wayang yang seolah-olah terjadi renaisan pada kebudayaan Jawa. Sinyalemen ini semakin diperkuat dengan kehadiran Arswendo Atmowiloto dengan Canting, Sindhunata dengan Anak Bajang Menggiring Angin, Agusta T. Wibisono dengan Balada Cinta Abimanyu dan Lady Sundari dan Balada Narasoma, Danarto dengan Asmaraloka, Bakdi Soemanto dengan cerpen “Karna dan Gatotkaca”, Nano Riantiarno dengan teater komanya juga banyak menyadur cerita wayang, seperti dalam lakon “Konglomerat Burisrawa”, “Semar Gugat”, dan “Republik Petruk”, Yanusa Nugroho dengan novelnya Boma (2005), serta Seno Gumira Adjidarma dengan Kitab Omong Kosong (2004, cetak ulang 2006). Kesemarakan penulisan sastra Indonesia yang mengacu pada dunia wayang itu menambah suatu keyakinan bahwa kesenian tradisional Jawa, yaitu wayang, tetap menjadi akar budaya bangsa Indonesia yang tidak terlupakan dan menjadi aset budaya bangsa Indonesia.
Kepedulian mereka mengkreasi wayang dalam sastra Indonesia tentunya mendapat perhatian serius dari para kritisi dan peneliti sastra Indonesia. Hal ini terbukti sudah beberapa artikel, esai, makalah, dan buku yang berbiacara tentang “dunia wayang dalam sastra” pun sudah ada yang meneliti dan menuliskannya. Mereka itu antara lain sebagai berikut.
Sapardi Djoko Damono (1993) menulis “Dunia Pewayangan dalam Novel” sebagai salah satu bab disertasinya yang bertajuk Novel Jawa Tahun 1950-an: Telaah Fungsi, Isi, dan Struktur.
  1. Burhan Nurgiyantoro (1998) menulis buku Transformasi Unsur Wayang dalam Fiksi Indonesia yang diterbitkan di Yogyakarta oleh Gadjah Mada University Press.
  2. Burhan Nurgiyantoro (2003) menulis artikel “Wayang dalam Fiksi Indonesia” dimuat dalam majalah Humaniora Volume XV, Nomor 1 tahun 2003, halaman 1—14.
  3. Tjahjono Widarmanto (2007) menulis esai yang berjudul “Wayang dan Sastra Indonesia Mutakhir” dimuat dalam Suara Karya Online, Sabtu, 29 September 2007.
  4. Arie MP Tamba (2008) menulis esai yang berjudul “Wayang dalam Sastra: Tertawa Versus Ketegangan” dimuat dalam Jurnal Nasional, Kamis, 6 Maret 2008.
  5. Maman S. Mahayana (2009) menulis esai yang berjudul “Estetika Wayang Cerpen Ahmadun Yosi Herfanda” dimuat dalam http://mahayana-mahadewa.com/, 31 Januari 2009.
Beberapa orang yang telah menulis artikel, esai, makalah, bagian buku (salah satu bab dalam buku), dan satu buku utuh tentang “dunia wayang dalam sastra” tentu kita beri penghargaan yang setinggi-tingginya. Hal itu menunjukkan bahwa mereka telah menaruh kepedulian yang amat besar terhadap kebudayaan Indonesia yang berakar dari budaya tradisional wayang. Penulisan mereka itu ada yang mengarah pada masalah transformasi, telaah isi, fungsi, dan struktur, serta ada pula yang sekadar meninjau secara sepintas lalu. Tentu masih ada celah-celah yang dapat dibicarakan lebih lanjut dalam penelitian ini. Penulis yakin masih ada hal-hal yang luput dari perhatian dan pemahaman mereka.
Hal-hal yang luput dari perhatian dan pemahaman mereka tentang “dunia wayang dalam sastra Indonesia” itulah yang dicoba diperdalam telaahnya lebih lanjut dalam penelitian ini. Salah satu yang luput dari perhatian mereka adalah telaah mitologis atau “kritik mitis” ataupun “kritik mitepoik” dalam memahami makna kehadiran “dunia wayang dalam sastra Indonesia”. Oleh karena itu, penelitian ini bertajuk “Telaah Mitologis Novel Anak Bajang Menggiring Angin dan Kitab Omong Kosong”. Penelitian ini meskipun menggunakan pendekatan mitologis, tentu tidak meninggalkan struktur cerita, isi, transformasi, fungsi, dan studi budaya (cultural studies). Pentingnya penelitian ini dikerjakan agar masyarakat semakin memiliki wawasan yang luas dan mendalam tentang dunia wayang dalam sastra Indonesia modern.

Pertemuan 15 Teori Sastra Tempatan