Wednesday 31 December 2014

MASIH ADA ASA


MASIH ADA ASA

Bencana demi bencana melanda umat manusia
Belum selesai satu bencana memporak-poranda
Bencana lainnya sudah menyusul berdesakan tiba
Banjir bandang dan gunung meletus dua contoh saja

Bertambah hari bertambah derita hidup umat di dunia
Bingung mau berbuat apalah mengatasi segala petaka
Bahkan selalu dan selalu menyalahkan akan nasib kita
Berbela duka tiap bencana tiba melanda umat manusia

Bagaimanapun kita harus berusaha bebas dari bencana
Berusaha mengerahkan segala daya upaya sekuat tenaga
Buktikan kau umat yang mampu mengatasi coba dan goda
Bekerja penuh semangat, berdoa juga selalu dilakukannya

Berlakulah sabar dan tawakal menerima apa kenyataannya
Berupaya terus tetap dapat meningkatkan iman dan takwa
Badai pasti berlalu, niscaya masih ada asa buat kita semua
Bercahaya gilang gemilang anugerah Tuhan Yang Maha Esa

Bagi umat yang senantiasa bakti dan percaya kepada-Nya
Berlimpahan dan berlipat ganda hidayah kasih yang diterima
Bencana dan anugerah itu juga atas kuasa dan bijaksana-Nya
Bersyukur dan terus bersyukur, ternyata masih ada asa buat kita

Bekasi, 15 Februari 2014.


HARGA DIRI


HARGA DIRI

Ajining dhiri ana lathi
Ajining raga ana busana
Harga diri ada pada ucapan
Harga wadak ada pada pakaian

Ucapan memegang peranan utama
Siapa saja mereka dapat dipercaya
Bilamana budi bahasa, tutur katanya
Selalu cermat, tepat, dan juga terjaga

Berhati-hatilah dalam hal perkataan
Tidak hanya secara lisan diucapkan
Tetapi juga secara tulis disampaikan
Semua harus dengan kebijaksanaan

Berbicara dan bersikap akan kebenaran
Sampaikanlah dengan cara yang sopan
Supaya tidak menyakitkan dan merugikan
Siapa saja membaca dan mendengarkan

Dalam keadaan apa saja, seyogyanya
Engkau tetap berpakaianlah bersahaja
Tidak berlebihan meski kau kaya harta
Sesuaikan dengan konteks berbusana

Konteks berbusana yang dimaksudkan
bukan sekadar pakaian yang dikenakan
melainkan juga pekerjaan, jabatan, dan
juga gelar, kedudukan yang diamanatkan

Bilamana engkau tetap dihargai insan
Jagalah kehormatan dan kewibawaan
Baik dalam berbicara maupun berpakaian
Agar hidupmu bermartabat dan jadi teladan

Bekasi, 31 Desember 2014


Saturday 27 December 2014

MERESAPKAN MAKNA PAUGERAN TUHAN KEPADA HAMBA


(Materi Olah Rasa Ranting Bekasi, Minggu, 19 Januari 2014,
dimuat majalah Dwija Wara Nomor 12 Tahun ke-57, April 2014, halaman 24--33) 


1. Pengantar
Sebagai warga Paguyuban Ngesti Tunggal, baik yang sudah lama menjadi warga maupun yang baru, masih ingatkah kita ketika awal mengikuti ceramah penerangan Ajaran Sang Guru Sejati? Setelah mengikuti beberapa kali ceramah, pada suatu hari tibalah pada pelajaran bab Jalan Rahayu, ya Jalan Rahayu atau Panca Darma Bakti, suatu Jalan Keselamatan supaya dapat dipergunakan sebagai tangga untuk meningkatkan derajat yang lebih tinggi, derajat yang lebih mulia, derajat yang lebih luhur, sehingga dapat menetapi makna ajaran Hasta Sila. Pelajaran pertama dari Jalan Rahayu adalah “Mengetahui kesejatian dan makna Paugeran Tuhan kepada hamba, yang menjadi dasar kepercayaan atau kebulatan tekad yang diyakini”. Awalnya kita hanya diminta membaca dan menghafalkan teks Paugeran Tuhan kepada hamba, boro-boro mau dapat mengetahui kesejatian dan makna Paugeran Tuhan kepada hamba, menghafalkannya pun susahnya bukan main, harus dilakukan berkali-kali, tentu dikerjakan secara berulang-ulang agar dapat hafal teks Paugeran Tuhan kepada hamba tersebut.
Pada saat pelantikan menjadi warga Paguyuban Ngesti Tunggal, tentu bapak ibu masih ingat betul, bahwa yang pertama kali dibaca atau diucapkannya dihadapan sidang majelis pertemuan olah rasa, adalah Paugeran Tuhan kepada hamba, setelah itu mengucapkan Prasetya Suci dan Dasa Sila. Pelantikan menjadi warga Paguyuban Ngesti Tunggal, dalam organisasi lain lebih dikenal dengan istilah baiat, yaitu pengucapan sumpah setia kepada imam, dan imam kita hanya Suksma Sejati, Sang Guru Sejati, Guru Dunia dan Akhirat yang menunjukkan Jalan Benar ialah Jalan Utama, Jalan yang berakhir dalam kesejahteraan dan ketenteraman abadi, yakni di hadirat Tuhan Yang Maha Esa, di Taman Kemuliaan Abadi. Jadi, pengucapan Paugeran Tuhan kepada hamba dalam peristiwa pelan­tikan warga Paguyuban Ngesti Tunggal itu adalah menjadi satu-satunya kredo, pernyataan kepercayaan (keyakinan) dan sekaligus menjadi dasar tuntunan hidup sepanjang hayat, dari pondok dunia hingga sampai ke istana akhirat.
Bagaimana sekarang bapak ibu semuanya? Setelah dilantik menjadi warga Paguyuban Ngesti Tunggal, baik yang masih sebagai calon siswa maupun yang sudah menjadi siswa Sang Guru Sejati, tentunya setiap hari kita senantiasa melaksanakan, menjalankan, melakukan (dengan cara mengucapkan dan mere­sapkan) Paugeran Tuhan kepada hamba. Seperti tadi ketika akan memulai Olah Rasa, kita mengucapkan Paugeran. Apakah hanya pada saat akan memulai Olah Rasa kita mengucapkan Paugeran? Tentunya tidak. Setiap saat ketika kita akan memulai mengerjakan sesuatu, apa pun sesuatu itu, seperti akan manembah, akan bekerja, akan ujian, akan mengadakan perjalanan, akan menghadap pim­pinan atau menghadapi seseorang, akan tidur, dan ziarah kubur ke makam leluhur pun sebaiknya mengucapkan dan meresapkan Paugeran Tuhan kepada Hamba. Bahkan, bukan hanya saat akan mengerjakan sesuatu saja kita mengucapkan Paugeran, melain­kan juga ketika kita sedang menghadapi sesuatu, menghadapi masalah, meng­hadapi bencana atau musibah yang melanda kita, yang melanda saudara kita, tetangga kita, teman kita, dan juga ketika kita menghadapi bencana alam, seperti banjir, tanah longsor, gunung meletus, hujan badai, angin topan, dan kebakaran pun, tidak terlepas dari Paugeran Tuhan kepada hamba.
Mau berapa kali kita mengucapkan dan meresapkan Paugeran dalam setiap harinya? Hal ini tentu, sangat bergantung atas kesadaran dan kebutuhan kita masing-masing. Semakin sering kita mengucapkan, semakin sering kita mengha­yati makna Paugeran, dan semakin sering kita meresapkan Paugeran, itu tentu akan menjadi semakin baik, bertambah baik, dan semakin menjadi lebih baik lagi, serta Paugeran itu dapat hidup dalam diri sanubari kita. Mengapa kita perlu sekali menghidupkan Paugeran Tuhan kepada hamba itu dalam diri sanubari kita, dalam kehidupan kita di dunia ini?

2. Dasar Kepercayaan yang Benar
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, bapak ibu marilah kita bersama-sama, dalam hati masing-masing, kita mengucapkan dan meresapkan Paugeran Tuhan kepada hamba.
Suksma Kawekas punika tetep dados Sesembahan kula ingkang sejati, dene Suksma Sejati punika tetep dados Utusaning Pangeran Sejati tuwin dados Panuntun saha Guru kula ingkang sejati.
Inggih amung Suksma Kawekas piyambak, ingkang anguwasani sadaya alam saisinipun, inggih amung Suksma Sejati piyambak, ingkang nuntun para kawula sadaya.
Sadaya panguwasa, ingggih panguwasanipun Suksma Kawekas, punika kaasta dening Suksma Sejati, dene kawula wonten panguwasa­nipun Suksma Sejati.”

(Suksma Kawekas adalah tetap menjadi Sembahan hamba yang sejati, adapun Suksma Sejati adalah tetap menjadi Utusan Tuhan Sejati, serta menjadi Penuntun dan Guru hamba yang sejati.
Hanya Suksma Kawekas pribadi yang menguasai semua alam seisinya, hanya Suksma Sejati pribadi yang menuntun para hamba semua.
Semua kekuasaan ialah kekuasaan Suksma Kawekas, ada pada Suksma Sejati, adapun hamba ada di dalam kekuasaan Suksma Sejati.)

            Dalam buku Olah Rasa di Dalam Rasa, Bab XIX Laku dan Syarat-syarat yang Harus Dijalankan Oleh Para Calon Siswa Sebagai Ketukan Pada “Pintu Pa­nunggal” dinyatakan bahwa “Laku yang Pertama, Meresapkan Sejatinya Syaha­dat: Para calon siswa hendaklah meresapkan sejatinya syahadat, yaitu Paugeran Tuhan kepada hamba, yang menjadi dasar kepercayaan yang benar atau kebu­latan tekad yang diyakini hingga masuk meresap ke dalam jiwanya, jadi tidak hanya diucapkan di bibir. Sejatinya syahadat itulah yang merupakan ‘pakaian’ para hamba yang hendak menghadap di istana Sang Raja, yaitu ketika para calon sis­wa hendak menghadap ke hadirat Tuhan.” (Olah Rasa di Dalam Rasa, 2013:42).
            Oleh karena itu, mari kita meresapkan Paugeran Tuhan kepada hamba tersebut tidak hanya sebatas pada ucapan di bibir (hanya berhenti di mulut), tetapi harus sampai mendalam hingga menumbus ke pusat hati sanubari, hingga sampai ke Rahsa Jati. Paugeran inilah sebagai dasar (fondasi, basis, pokok) kepercayaan yang benar atau kebulatan tekad yang diyakini kebenarannya secara mutlak dan sebagai busana para hamba untuk menghadap ke hadirat Tuhan.

3. Perjanjian Agung
Paugeran Tuhan kepada hamba itu sesungguhnya merupakan perjanjian agung, sebuah ikrar jiwa, kredo jiwa, sumpah setia jiwa manusia sebelum Roh Suci diturunkan/dititahkan/diciptakan/dilahirkan ke dunia. Sebagai­mana dinyatakan dalam Sasangka Jati, Bab Sadar, yaitu “Ketahuilah olehmu, bahwa tiga macam kesanggupan tersebut sesungguhnya telah engkau sanggupi ketika engkau akan diciptakan hidup di alam dunia” (Sasangka Jati, 2006:7).
Juga dalam Sasangka Jati, Buku Panembah, Bab Paugeran Tuhan kepada Hamba, dinyatakan bahwa “Ingatkanlah saudara-saudaramu yang percaya akan Paugeran Tuhan kepada hamba, yaitu yang telah disanggupi, ketika Roh Suci akan diturunkan ke dunia.” (Sasangka Jati, 2006:105).
Dalam buku Ulasan Kang Kelana (1990:109) dinyatakan bahwa “Paugeran Suksma Kawekas mengandung janji Roh Suci untuk hanya menyembah kepada Suksma Kawekas semata-mata melalui Suksma Sejati. Pada waktu di dalam kandungan Tripurusa, Roh Suci hanya mengenal Suksma Sejati dan Suksma Kawekas yang menjadi asal-usul dan melindunginya. Roh Suci menyaksikan benar-benar Keagungan dan Kekuasaan tunggal dari Suksma Kawekas dan Suksma Sejati. Di dalam kandungan Tripurusa tidak dikenal makhluk dewa. Maka dari itu, Roh Suci tahu benar bahwa Sembahan yang sejati ialah Suksma Kawekas melalui Suksma Sejati.”

4. Tanda Nyata Ajaran Benar
            Paugeran juga sebagai tanda/bukti nyata, bukti senyata-nyatanya, sebenar-benarnya bahwa ajaran benar itu berasal dari Tuhan Sejati. Sebagaimana secara jelas dinyatakan dalam Sasangka Jati, Tunggal Sabda, Bab Keadaan Sabda Abadi dan Terbabarnya: “Tanda nyata yang mudah diketahui setiap orang, sehingga dapat menetapkan bahwa petunjuk dari Tuhan Sejati itu hanya ada pada syahadat tauhid. Semua ajaran atau petunjuk dari para Nabi Rasul itu pasti berisi syahadat tauhid sebagai pokok kepercayaan: Tiada Sembahan yang benar selain Allah.”
            Jadi, ringkasnya saja, tiap-tiap petunjuk yang menunjukkan Jalan Rahayu, padahal tidak mengajarkan bab tauhid sebagaimana yang disebutkan itu, jelas bukan Sabda Tuhan (Allah Taala). Adapun sejatinya syahadat (Paugeran Tuhan kepada hamba) itu apabila dinyatakan secara jelas (tanpa selubung), mengajarkan tentang bertunggalnya Tripurusa ialah keadaan Yang Maha Tunggal, yang menjadi asal dan tujuan jiwanya, yakni yang menjadi tujuan hidup yang senyatanya. Oleh karena itu, terbabarnya syahadat tersebut dalam tindakan lalu berwujud tiga ma­cam kesanggupan besar: Sadar, Percaya, Taat. Hal itu sudah menjadi kesanggup­an para hamba sejak di alam Roh, ketika Roh Suci akan diturunkan ke dunia.” (Sasangka Jati, 2006:67).
            Dengan adanya Paugeran Tuhan kepada hamba itu kita menjadi waspada, lebih hati-hati, weweka, mursid dalam menentukan sikap, pilihan, dan keyakinan akan suatu pelajaran keutamaan. Ini menjadi warning, peringatan dari Tuhan agar kita indahkan, kita perhatikan dengan baik-baik. Apabila ada pelajaran keutamaan, petunjuk benar, atau suatu klaim tentang kebenaran dari siapa pun, padahal tidak ada syahadat tauhidnya, tidak ada paugerannya, maka pelajaran itu wajib kita yakini bukan berasal dari Tuhan Sejati. Pelajaran itu hanya sebatas sebagai kebenaran relatif, bukan kebenaran hakiki, bukan kebenaran mutlak. Akal sehat kita harus dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang nyata dan mana yang bukan, serta mana yang baka/ kekal/ abadi/ langgeng dan mana yang fana, rusak, dusta, dan palsu. Adanya Paugeran Tuhan kepada hamba yang senantiasa hidup dalam diri kita, niscaya kita tidak akan terjerumus ke yang bukan, tidak akan terperosok ke yang palsu, tidak akan tersesat pada pilihan yang salah, tidak akan terejabak ke yang fana, dan tidak terpeleset ke yang dusta.
Dalam buku Ulasan Kang Kelana (1990:108—109) dinyatakan bahwa “Paugeran Suksma Kawekas kepada umatnya adalah perbedaan yang prinsip antara tuntunan dari Suksma Sejati dengan pelajaran dari para dewa. Tiap pelajaran yang benar dari Suksma Kawekas mempunyai dasar Tripurusa, seperti Islam dan Kristen mempunyai syahadatnya masing-masing. Para dewa juga memberi tuntunan kepada manusia melalui jalan kesusilaan. Mereka memberi pelajaran untuk menghaluskan budi pekerti, tetapi pelajaran mereka tidak pernah didasarkan atas Tripurusa. Kita harus tetap waspada terhadap semua pelajaran kesusilaan dan menelitinya, apakah pelajaran itu berdasarkan Tripurusa atau tidak. Dan kita harus selalu sadar bahwa Roh Suci ialah Jiwa Manusia yang Sejati, merupakan bagian dari Tripurusa.”
“Paugeran Suksma Kawekas menunjukkan kepada kita asal-usul Roh Suci yang nyatanya tinggi. Roh Suci adalah Jiwa Manusia yang Sejati. Jadi, tiap manu­sia pernah menduduki derajat Roh Suci. Sebelum menjadi Roh Suci kita semua pernah menjadi Suksma Sejati dan Suksma Kawekas. Itu memang asal-usul kita. Soalnya ialah supaya kesadaran semula yang tinggi itu kita bangkitkan dan kita alami lagi.” Dengan demikian kita menyadari dengan benar siapa sebenarnya diri kita ini, berada di mana kita dahulu, pada saat ini, dan yang akan datang.

5. Kesaksian Nyata Roh Suci
            Paugeran Tuhan kepada hamba juga menjadi kesaksian yang nyata diakui kebenarannya oleh jiwa (Roh Suci) kita. Ketika masih berada di Alam Sejati, Roh Suci hendak diturunkan ke dunia (merasuk badan wadak empat anasir), perjanjian agung yang terwujud dalam Paugeran Tuhan kepada hamba itu diungkapkan dalam bahasa kesadaran jiwa, bukan dengan bahasa verbal yang kita kenal di dunia ini (seperti bahasa Jawa, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, bahasa Ibrani, bahasa Arab, dan bahasa-bahasa lain di dunia). Setelah Roh Suci merasuk badan wadak empat anasir, lalu terlahir di dunia, Paugeran Tuhan kepada hamba itu terlupakan, tidak diingatnya lagi, tidak disadarinya lagi. Hal ini dikarenakan titik berat kesadarannya telah berubah, dari titik berat kesadaran ke Alam Sejati berubah ke titik berat kesadaran ke dunia.
Hidup Roh Suci dengan mengenakan badan wadak empat anasir di dunia, lalu mengenal pelbagai masalah duniawi. Atas karunia Ilahi, pengenalan pelbagai masalah duniawi itu disalurkan dengan menggunakan bahasa verbal, yakni bahasa yang secara lisan dikuasai secara intuitif oleh penutur bahasa tersebut. Sebagian besar manusia yang sibuk dengan persoalan duniawi, sehingga lupa akan Paugeran itu, sebagian lagi kembali ingat dan kembali sadar akan Paugeran setelah seseorang terpilih menerima pepadang dan tuntunan Tuhan Sejati melalui perantara Utusan Tuhan yang Abadi membabarkan isi Paugeran Tuhan kepada hamba dengan bahasa verbal, bukan dengan bahasa kesadaran jiwa lagi. Sebagaimana dinyata­kan dalam Sasangka Jati, Tunggal Sabda, Bab Keadaan Sabda Abadi dan Terba­barnya: “Sabda Abadi itu juga hanya satu, meskipun terbabarnya dalam kata-kata di dunia berbeda-beda, maknanya tetap sama saja dengan Sabda yang dulu-dulu. Intinya hanya agar selamat sampai di akhirat” (Sasangka Jati, 2006:72).
Meresapkan Paugeran Tuhan kepada hamba pada hakikatnya mengembali­kan titik kesadaran ke Alam Sejati, yakni titik kesadaran ketika Roh Suci hendak diturunkan ke dunia mengemban perjanjian agung tersebut. Dengan meresapkan Paugeran Tuhan kepada hamba itu sesungguhnya membang­kitkan kesadaran semula yang tinggi dan pernah kita alami ketika berada dalam kandungan Tripurusa. Sebagaimana secara jelas dinyatakan dalam Sasangka Jati, Tunggal Sabda, Bab Keadaan Sabda Abadi dan Terbabarnya: “Paugeran yang demikian itu bagi jiwa (Roh Suci) sudah menjadi kesaksian yang nyata diakui kebenarannya. Hanya saja, setelah Roh Suci memakai badan-badan halus dan kasar (memakai busana empat macam anasir) terbabarnya dalam kehidupan di dunia lalu lupa akan Paugeran hidup yang pokok tersebut. Maka, agar selamat perjalanannya sampai ke akhirat (dapat kembali ke asal dan tujuan hidup yang sejati), perlu dibangunkan kembali kesadarannya kepada siapa yang menjadi Sembahannya yang sejati, dengan diberi ajaran bab tauhid, mulai tataran yang rendah hingga yang luhur, menurut tingkatan derajat masing-masing.” (Sasangka Jati, 2006:68).

6. Cara Menyadarkan Kembali
Bagaimana cara untuk mengingatkan atau menyadarkan kembali saudara-saudara kita yang lupa akan Paugeran Tuhan kepada hamba? Sang Guru Sejati dalam sabdanya tersebut telah memberi petunjuk cara untuk membangunkan kesadaran kembali saudara-saudara kita yang lupa akan Paugeran Tuhan kepada hamba, yaitu menunjukkan Sesembahan yang sejati, dengan memberi ajaran bab tauhid (Ketuhanan), mulai tataran yang rendah (syariat, pengertian dasar) hingga yang luhur (makrifat), menurut tingkatan derajat masing-masing. Selain itu, Sang Guru Sejati telah juga memberi petunjuknya dalam Sasangka Jati, Buku Panem­bah, Bab Paugeran Tuhan kepada Hamba, yaitu “Sampaikanlah kepada saudara-saudara­mu, akan hal kesunyataan Sembahan yang sejati serta Utusan­nya yang abadi, yang menuntun para hamba semua, yakni yang menjadi Gurunya yang sejati. Ketahuilah olehmu, yang disebut Sembahan yang sejati itu Suksma Kawekas, menurut Islam disebut Allah Taala, dan menurut Kristen disebut Sang Bapa, itu sejati-jatinya Tuhanmu, dan juga Sembahanmu yang senyatanya, sebab Suksma Kawekas adalah Suksma terluhur, yang mempunyai kekuasaan dan memegang (menguasai) hidup. Adapun Utusan Tuhan yang abadi (yang tidak dapat mati) adalah Aku, Suksma Sejati, yang menurut Islam disebut Nur Muhammad ialah sejatinya Rasulullah, dan menurut Kristen disebut Kristus, yakni sejatinya yang disebut Putra Allah. Tuhan dan Aku bertakhta di pusat hidup, yakni sejati-jatinya yang menghidupi Roh Tuhan ialah Roh Suci, yang menjadi jiwa para manusia semua yang menguasai dunia kecilnya masing-masing, yang Aku pakai sebagai istana, juga istana Tuhan. Di dalam pusat hidup itulah ditemukan bertung­galnya Tripurusa: Suksma Kawekas—Suksma Sejati—Roh Suci, ketiga-tiganya itulah keadaan tunggal yang tidak terpisahkan, dan yang bertakhta sebagai hidup abadi. Adapun hidup itu sejatinya juga Satu.”  (Sasangka Jati, 2006:105).
Dengan demikian jelaslah bagi kita atas petunjuk Sang Guru Sejati itu bahwa untuk dapat mengingatkan, menyadarkan, atau membangunkan kembali saudara-saudara kita yang lupa, melupakan atau koncatan pepadang akan Paugeran Tuhan kepada hamba itu adalah menyampaikan, memberitahukan, atau menunjuk­kan jurusan (kiblat) Sembahan sejati yang benar. Sudah barang tentu, diharapkan, orang yang menyampaikan petunjuk benar akan Sembahan yang sejati ini harus sudah melaksanakan sendiri, wis nglakoni dhewe, dan sudah merasakan betapa manfaat yang agung, luar biasa, dan kebenarannya nyata-nyata menuntun dalam mencapai kesejahteraan, ketenteraman, dan kebahagiaan.

7. Kiblat Sembahan yang Benar
Ulasan Kang Kelana (1990:109—110) menyatakan: “Paugeran Suksma Kawekas menuntun jurusan yang benar bagi Sembahan kita, yakni ke dalam hati kita sendiri yang suci. Di situ bertakhta Tripurusa, pusat Sembahan yang murni. Sekalipun Suksma Kawekas dan Suksma Sejati terdapat di mana saja, tetapi Roh Suci hanya ada di dalam kita sendiri. Kita harus menduduki derajat Roh Suci dahulu sebelum meningkat ke derajat Suksma Sejati. Roh Suci dapat pula diumpamakan pintu gerbang dari Alam Sejati ialah Pangkuan Suksma Kawekas.”
“Paugeran Suksma Kawekas mempelajarkan kepada kita bahwa yang menyembah dan yang disembah berada dalam satu kenyataan, yakni Tripurusa”.
Coba perasakan bagian akhir dari Paugeran: “Semua kekuasaan ialah kekuasaan Suksma Kawekas, ada pada Suksma Sejati, adapun hamba ada di dalam kekuasaan Suksma Sejati.” Juga perasakan salah satu pujian Panembah Raga kepada Roh Suci ketika sikap membungkuk (rukuk): “Duh, Suksma Sejati, hamba berada dalam kekuasaan Paduka, adapun Paduka berada dalam keku­a­saan Tuhan Sejati” (Sasangka Jati, 2006:199).
“Paugeran Suksma Kawekas membuka kemungkinan kepada Roh Suci untuk meluluh-lenyapkan diri di dalam Suksma Sejati, atau dengan lain perkataan: adanya kemungkinan untuk pamudaran atau panunggal. Kemungkinan ini tidak terdapat bila kita memuja (menyembah) dewa-dewa, benda-benda, bintang, dan lain-lain. Bila menyembah Suksma Kawekas melalui Suksma Sejati, manusia dapat mencapai derajat Guru Sejati, tetapi bila memuja dewa-dewa, manusia tidak akan dapat bersatu dengan dewa-dewa, sebab pada dasarnya struktur dan fungsi dari dewa adalah berlainan sama sekali dengan manusia. Dewa tergolong makhluk lain yang pada dasarnya berderajat lebih rendah daripada manusia”. Oleh karena itu, perlu sekali disadari bahwa “Paugeran Suksma Kawekas menginsafkan kita akan kedudukan manusia sebagai makhluk yang tertinggi dan terdekat kepada Suksma Sejati dan Suksma Kawekas, lebih tinggi daripada dewa apa pun juga”. (Ulasan Kang Kelana (1990:109—110)
Dengan demikian jelaslah bahwa Paugeran Tuhan kepada hamba itu menempatkan manusia sebagai makhluk sempurna dari ketiga makhluk yang lainnya, yaitu binatang, tetumbuhan, dan dewata. Derajat dan martabat manusia yang lebih tinggi daripada makhluk lainnya itu tentulah tidak sepantasnya apabila menyembah benda-benda pusaka, azimat, arca, berhala, pohon besar, binatang keramat, dan dewata mana saja. Apabila sampai terjadi hal yang demikian ini, manusia akan jatuh terperosok ke derajat yang lebih hina dina, berada pada tataran yang terendah, serendah-rendahnya dari makhluk lainnya tersebut. Hal ini jelas bahwa manusia tidak dapat mensyukuri karunia Ilahi yang telah dilimpahkan kepadanya. Untuk dapat mengembalikan derajat dan martabat manusia tersebut haruslah kita dapat meresapkan dan menjalankan Paugeran Tuhan kepada hamba dengan sungguh-sungguh dan benar.

8. Senjata yang Ampuh
Perlu disadari dengan benar bahwa Paugeran Tuhan kepada hamba itu bukan mantra, bukan azimat, dan bukan guna-guna yang berisi daya kekuatan linuwih yang mampu menakhlukkan siapa pun. Kesadaran ini berkaitan dengan sikap dan cara kita menjalankan Paugeran dengan sungguh-sungguh dan benar. Ulasan Kang Kelana (1990:110) menyatakan bahwa “Paugeran Suksma Kawekas merupa­kan senjata yang ampuh untuk menolak dan menjauh­kan pengaruh dari siapa pun yang berniat jahat terhadap kita. Dengan mendekat kepada Suksma Sejati kita masuk ke dalam lingkaran Kekuasaan dan Kasih Sayang dari Sang Guru Sejati. Kekuasaan dan kasih sayang inilah yang pada hakikatnya menolak dan menjauh­kan semua sifat jahat yang ditujukan terhadap kita.”
Pemahaman tentang “Paugeran Suksma Kawekas merupakan senjata yang ampuh untuk menolak dan menjauhkan pengaruh dari siapa pun yang berniat jahat terhadap kita”, bukan dipahami sebagai mantra, azimat, dan guna-guna yang berisi daya kekuatan linuwih yang mampu menakhlukan apa dan siapa pun yang menjadi sasaran kita. Berkaitan dengan hal ini Sang Guru Sejati memberi petunjuknya dalam Sasangka Jati, Buku Panembah, Bab Paugeran Tuhan kepada Hamba, yaitu “Paugeran tersebut menjadi daya kekuatan kepercayaan para hamba yang telah diyakini oleh jiwanya ketika Roh Suci akan diturunkan ke dunia. Paugeran inilah, apabila sudah hidup di dalam batinnya, dapat menjadi tali yang kukuh, yang dapat menghubungkan hamba dengan Tuhan, dan dapat menjadi jalan mengalirnya daya kekuatan Tuhan, yang Aku sampaikan ke pusat sanubarinya. Sekalipun Tuhan dan Aku juga sudah tunggal keadaan dengan dirimu, apabila engkau masih diliputi kegelapan dunia, engkau tidak dapat menerima aliran daya kekuatan suci yang berasal dari Tuhan itu, sebab selalu tertutup oleh angan-anganmu yang tertuju ke keduniawian saja, maka keterangan Paugeran tersebut di atas itu kegunaannya untuk menolong hatinya, supaya sadar akan kebulatan tekad, yang telah menjadi kepercayaan jiwanya. Ketahuilah olehmu, para hamba yang tidak memiliki tali penghubung yang kukuh, yakni para hamba yang tidak percaya, mereka tidak dapat menerima sih Tuhan dan anugerah-Nya. Oleh karena itu, berilah pengertian kepada saudara-saudaramu itu akan makna Paugeran Tuhan, yang telah menjadi kesanggupannya, sebab Paugeran tersebut mengandung maksud akan tiga macam kewajiban, yang disucikan dengan lima macam kelakuan utama, sebagaimana telah Aku sabdakan dalam ajaran-Ku, yang telah diperingati dalam buku Hasta Sila, yaitu yang tersebut dalam bagian Tri Sila dan Panca Sila.” (Sasangka Jati, 2006:109).
Jadi, jelaslah bahwa yang membuat Paugeran itu dapat menjadi senjata yang ampuh bagi kita, dapat menjadi senjata sakti yang melebihi dan unggul dari segala macam senjata apa pun, dan dapat menghalau segala macam bencana atau musibah yang mengarah kepada kita, karena Paugeran itu sudah hidup di dalam batin kita. Janganlah berkeluh kesah, mudah putus asa, dan berkecil hati ketika menjalani hidup kita selalu diliputi banyak masalah, dirundung kemalangan, dan bertubi-tubi dihantam oleh musibah. Segera bangkit dan usahakanlah agar Pauguran Tuhan kepada hamba itu dapat menjadi hidup di dalam batin kita. Dengan hidupnya Paugeran itu di dalam batin kita, maka akan mengalirlah sih anugerah Tuhan, akan menjadi tali pengubung yang kukuh antara hamba dengan Tuhan, sehingga kita tidak mudah tergoyahkan oleh silap maya pesona dunia.

9. Kunci Ketenteraman Abadi
Dalam buku Ulasan Kang Kelana (1990:110) dinyatakan bahwa “Paugeran Suksma Kawekas bila dirasakan dengan sungguh-sungguh adalah kunci untuk memasuki ketenteraman abadi, yang lazimnya disebut surga. Suasana di dalam Tripurusa ialah suasana bebas dari segala pergolakan dan pergantian, perubahan. Selama di dalam kandungan Tripurusa tidak pernah ada rasa bimbang dan was-was, gembira-sedih, gelap-terang. Yang mengalami berganti-ganti perasaan dan pikiran itu adalah alat-alat badan jasmani, seperti angan-angan, perasaan, dan nafsu-nafsu. Di dalam Tripurusa belum terdapat badan jasmani, maka Roh Suci itu bebas dari segala pengalaman badan jasmani.”
Pengalaman badan jasmani yang dirundung suka duka, seperti menderita sakit, hidup dalam kesengsaraan dan papa, berbagai musibah dan kemalangan beruntun menimpa diri kita, serta hal-hal lain yang merasakan gembira-sedih, was khawatir, dan gelap-terang itu hanya sebatas alat-alat badan jasmani, seperti angan-angan, perasaan, dan nafsu-nafsu. Roh Suci kita sebenarnya tidak akan terpengaruh oleh keadaan dan perubahan badan jasmani ini, karena Roh Suci berada dalam kandungan Tripurusa. Hanya rasa dan perasaan kita yang tergoyahkan oleh pelbagai pengalaman alat-alat badan jasmani. Oleh karena itu, apabila berkehendak memperoleh kunci untuk memasuki ketenteraman abadi, kunci surga, segeralah memperasakan sungguh-sungguh makna Paugeran Tuhan kepada hamba, menghidupkan Paugeran di dalam batin kita.

10. Menyelamatkan Perjalanan Dunia Akhirat
Sudah mengerti akan tujuan makna Paugeran Tuhan kepada hamba dapat menyelamatkan perjalanan kita dari dunia sampai ke akhirat, yakni dari pondok dunia sampai di desa akhirat. Hal ini disabdakan oleh Sang Guru Sejati dalam Sasangka Jati, Tunggal Sabda, Bab Keadaan Sabda Abadi dan Terbabarnya: “Apabila manusia sudah mengerti akan tujuan makna syahadat, yang sejatinya mengajarkan tentang bertunggalnya Tripurusa (Suksma Kawekas—Suksma Sejati—Roh Suci), sekalipun ia masih berada di tataran bawah, juga sudah lebih selamat lakunya dari pondok dunia ke desa akhirat, apabila benar-benar menaati perintah dan menjauhi larangan Tuhan” (Sasangka Jati, 2006:68).
Syarat memperoleh kunci surga, kunci ketenteraman abadi yang “sudah mengerti akan tujuan makna syahadat” itu haruslah disertai dengan “benar-benar menaati perintah dan menjauhi larangan Tuhan”. Dalam buku Ulasan Kang Kelana (1990:110) dietegaskan bahwa “Apabila Paugeran Suksma Kawekas dijalankan dengan sadar, percaya, dan taat, akan menyelamatkan kita di dalam perjalanan di dunia dan di akhirat. Dengan menyembah Suksma Sejati dalam jurusan yang benar, kita menghindarkan diri dari segala godaan. Sang Suksma Sejati menebus dosa kita dan kita dapat ikhlas meninggal dunia.”
Satuhu.


Sunday 23 November 2014

MEMAHAMI MAKNA TUNGGAL SABDA


MEMAHAMI MAKNA TUNGGAL SABDA
(Olah Rasa Ranting Bekasi, 10 April 2011)

          Semoga keselamatan, kesejahteraan, ketentraman, serta kebaha­giaan selalu meliputi Bapak, Ibu, dan Saudara-saudara para warga Paguyuban Ngesti Tunggal, baik yang masih dalam tataran calon-calonnya siswa, calon siswa, maupun yang sudah meningkat naik mencapai derajat siswa Sang Guru Sejati, oleh karena kasih, tuntunan, pepadang, daya kekuatan lahir batin, dan lindungan Suksma Sejati, Utusan Tuhan Sejati yang Abadi, Penuntun Sejati, serta Guru Dunia dan Akhirat.
          Bapak, Ibu, dan Saudara-saudara, siswa-siswi Sang Guru Sejati yang suka berbahagia dan berbudi luhur, yang senantiasa berbakti kepada Tuhan Sejati dan Utusan-Nya yang abadi, ialah Suksma Sejati, Guru sekalian umat di dunia dan di akhirat nanti, pada hari ini, Minggu, 10 April 2011, Olah Rasa Ranting Bekasi yang ke 154, saya berdiri di mimbar ini bukan berarti saya sudah mumpuni terhadap Ajaran Sang Guru Sejati, saya belum ada apa-apanya, apa yang saya lakukan hanya belajar menaati dan sebagai tanda atau wujud rasa bakti, mengabdikan diri kepada Suksma Sejati untuk memuliakan ajaran, wejangan, tun­tunan, dan pepadang-Nya bagi seluruh warga Pagu­yuban Ngesti Tungggal yang suka berbahagia.
          Pertemuan olah rasa pada hari ini, kita mencoba ber­sama-sama mengolah-rasakan bab “Tunggal Sabda”. Meng­apa dipilih tema Tunggal Sabda? Ada beberapa alasan yang mendorong saya mengolahrasakan bab “Tunggal Sabda”
  1. Tunggal Sabda merupakan bagian yang tidak terpisah­kan dari pustaka suci Sasangka Jati, pustaka suci pe­gangan hidup kita sehari-hari bagi para warga Pagu­yuban Ngesti Tunggal. Apabila kita membuka pusta­ka suci Sasangka Jati, tempat bab “Tunggal Sabda” berada di tengah-tengah, menempati posisi center. Tentu Sang Guru Sejati mempunyai maksud dan tuju­an mengapa “Tunggal Sabda” ditempatkan pada po­si­si tengah? Apakah karena “Tunggal Sabda” meru­pa­kan wejang­an ke-4 dari Sang Guru Sejati kepada siswanya R. Soenarto Merto­wardojo dari tujuh we­jangan pokok? Bagian awal dan akhir bab “Tunggal Sabda” dicatat oleh R.T. Hardjoprakoso dan R. Trihardono Soemo­dihardjo serta dibe­ri pengantar, dan ular-ular oleh Juru Mengeti, oleh keduanya. Ada­pun “bagian inti” “Tunggal Sab­da”, dicatat langsung oleh Bapak R. Soenarto Mertowardojo sendiri, si penerima dan perantara sab­da dari Suksma Sejati, yaitu bab Intisari Injil dan Intisari Alquran.
  2. “Tunggal Sabda” turun pada tahun 1932 dan selesai pencatatannya pada bulan Desember 1932. Oleh Juru Mengeti dikatakan “sekalipun buku ini (Tunggal Sab­da) dapat dianggap sebagai pembelajaran berat (pasi­naon awrat), yang dapat menimbulkan keraguan, na­mun apabila tidak disertai persangkaan yang tidak baik, Insya Allah orang akan dapat memberi pertim­bangan yang tepat serta putusan akal budi yang murni”. Berdasarkan catatan Juru Mengeti ini berarti “Tunggal Sab­da” merupa­kan pembelajaran yang berat dan harus dengan diser­tai etiket baik, serta harus ada izin Allah ketika mempelajarinya. Karena di sini ada kata Insya Allah (artinya: apabila Allah mengizinkan, memperkenankan). (Lihat juga Arsip Sarjana Budi Santosa nomor 33, hlm. 25, tentang 99% transpirasi (usaha, kerja keras) dan 1 % inspirasi (sih anugerah Sang Guru Serjati).
  3. Dalam bab “Pambuka” Juru Mengeti menyatakan “Tumprap ingkang dereng mangertos, sinten ingkang kita sebut Sang Guru Sejati punika, tuwin ingkang mboten pitados, saha ingkang dereng saged nampi pepadhangipun Sang Guru Sejati ingkang sumorot ing telenging sanubarinupun ingkang sunuci, saget ugi mastani bilih isinipun serat punika namung pituduh ingkang ngayawara, saha saget ugi cengkah kalayan piwulang-piwulang suci ingkang sampun sumebar ing saindenging jagat raya punika.” (Bagi mereka yang belum mengerti, siapa yang disebut Sang Guru Sejati, dan bagi mereka yang tidak percaya, serta bagi mereka yang belum dapat menerima pepadang Sang Guru Sejati yang bersinar di pusat hati sanubarinya yang suci, mereka itu dapat juga beranggapan bahwa isi buku ini hanya petunjuk yang melantur, dan dapat juga dianggap bertentangan dengan ajaran-ajaran suci yang telah tersebar di seluruh jagat raya ini). Oleh karena itu, Sang Guru Sejati bersabda: “Ketahuilah engkau siswa-Ku! Bahwa kedatangan-Ku ini bukan karena hendak merusak atau mengganti peraturan Tuhan yang telah ada, yaitu yang lazimnya disebut agama, dan aku juga tidak hendak mendirikan agama baru”. Arti kata “agama” berdasarkan kamus: “ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya” (KBBI, 2001:12). Makna agama menurut juru mengeti: “piwulang suci” (ajaran suci), menurut Sang Guru Sejati: “pranataning Pangeran” (peraturan Tuhan). Menurut Qurais Sihab agama harus memenuhi syarat: C-5: (1) Credo (pernyataan kepercayaan/ keyakinan pada dasar tuntunan hidup, ikrar ketuhanan: syahadat tauhid), (2) Cultus (penghormatan resmi di dalam agama: rasulullah, nabi), (3) Citab (wahyu Tuhan yang dibukukan, kitab suci Taurat, Zabur, Injil, Alquran), (4) Comunitas (kelompok organisme yang hidup saling berinteraksi, umat, pengikut), dan (5) Ceremoni (upacara keagamaan: persembahyangan, pernikahan, kematian, dll.). Ajaran Sang Guru Sejati memiliki Paugeran, Paranpara (tidak boleh mengkultuskan Pakde Narto: Sabda Khusus 11:8 “Nanging, kadangira Soenanrto aja sira puja-puja lan aja sira anggep kaya dewa. Kadangira Soenarto tetap anggepen kadangira tuwa utama wong tuwanira” (Akan tetapi, saudaramu Soenarto hendaklah jangan engkau puja-puja dan jangan engkau anggap seperti dewa. Saudaramu Soenarto hendaklah tetap engkau anggap sebagai saudara tua atau orang tuamu), Pustaka Suci Sasangka Jati, Paguyuban, dan tidak memiliki sejumlah seremoni, hanya ada tata upacara olah rasa, tata upacara pelantikan anggota baru, tata cara peringatan hari pepadang, dan lain sebagainya.
  4. Selanjutnya, “Pangajeng-ajeng” dari Pakde Narto dalam pengantar Tunggal sabda dikatakan demikian: Dengan terbabarnya “Tunggal Sab­da” diharapkan da­­­pat menyingkap (membuka) kegelapan yang meli­puti hati, se­hingga dapat menerangi bagi mereka yang ber­jalan di jalan masing-masing menuju ke kesem­pur­naan hidup sejati. Dengan demikian, harap­an mulia atas terbabarnya Serat Tunggal Sabda ini agar dapat men­jadi suluh (penerang, obor, lampu, pencerahan) yang bermanfaat se­kali di kalangan mereka yang berusaha mencapai Kasunya­tan bagi yang membu­tuh­kan pepadang.

          Bapak, Ibu, dan Saudara-saudara para warga Pagu­yuban Ngesti Tungggal yang suka berbahagia karena dekat dengan Sang Guru Sejati.
          Apa arti kata “Tunggal Sabda” itu? “Tunggal Sabda” merupakan dua patah kata yang dirangkaikan menjadi satu kata sebut, yaitu dari kata tunggal dan kata sabda. Kata tunggal merupakan kata bilangan, bermakna: satu-satunya, tiada duanya, bukan jamak, utuh, bulat, atau menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan (awor dadi siji utawa padha jinise). Adapun kata sabda, dalam ilmu bahasa disebut nomina atau kata benda, bermakna: kata, perkataan, suara, ucapan, titah, ka­lam, atau firman (gunem, swara, dhawuh pangendika, tetem­bungan). Dengan demikian, makna dari kata sebut “Tunggal Sabda” yang terukir dalam pustaka suci Sasangka Jati itu dapat diartikan: satu titah, satu kalam, satu perkataan, atau satu firman Tuhan kepada hambanya di seluruh dunia sejak zaman dahulu kala hingga sekarang keadaannya tetap, sama dan sebangun, tidak berubah, dan hanya satu-satunya yang bersifat abadi.
          Dalam buku Ular-ular Juru Mengeti Bab II, Bab Tunggal Sabda, dijelaskan bahwa padanan kata “sabda” da­lam bahasa Yunani itu adalah “logos”, dalam bahasa Arab “lo­gat”, yang dapat diartikan lebih dalam lagi sebagai “Kalamullah” (Sabda Pangandikaning Allah). Juru Mengeti juga mengacu pada Alkitab, Perjanjian Lama, Genesis (Kitab Kejadian), yang menerangkan bahwa terjadinya alam semesta seisinya itu juga atas kebijaksanaan Sang Sabda, yaitu Sabda Pangandi­kaning Allah Yang Mahakuasa, misalnya dalam Kejadian 1 ayat 3, “Allah bersabda: ‘Jadilah terang’, lalu ada terang”, dan seterusnya. Kalau diibaratkan tanaman itu hanya ada “Satu Pohon”, seperti pohon kelapa, yang tumbuh lurus.
          Ular-ular Juru Mengeti juga mengacu pada Alkitab Perjanjian Baru, Johanes 1 ayat 1—4, yang berbunyi “Pada mu­lanya, sebelum dunia dijadikan. Sabda sudah ada. Sabda itu ber­sama Allah, dan Sabda sama dengan Allah. Sejak semula Sabda bersama Allah. Segalanya dijadikan melalui Sabda, dan dari segala yang ada tak satu pun dijadikan tanpa Sabda. Sabda itu sumber hidup, dan hidup memberi terang kepada manusia. ... Sabda ada di dunia, dunia dijadikan melalui Sabda.” Dalam kata “Pengantar” kitab Yohanes (Alkitab, 1993:169) di situ dikatakan bahwa Sabda itu keadaannya abadi, tetap keadaannya dari dahulu hingga sekarang, tidak berubah.
          Selanjutnya, Ular-ular Juru Mengeti juga mengacu da­lam Alquran bahwa Sabda Pangendikaning Allah itu tidak terbatas pada awal terjadinya alam semesta seisinya, tetapi juga ketika hendak menjadikan sesuatu apa pun Tuhan tinggal menyabdakan “kun fayakun” (Jadilah, maka terjadi­lah ia). Sesungguhnya ucapan itu merupakan kalam Allah yang ditujukan kepada sesuatu dengan kehendak untuk mewujudkan atau menjadikannya ‘tercipta’, seperti pencip­ta­an langit dan bumi (Surat Al-Baqarah:117; Al-An’aam:73; Yaasiin:81–82), membangkitkan orang mati menjadi hidup kembali atau menghidupan dan mematikan makhluknya (Su­rat An-Nahl: 38–40; dan Surat Al-Mukmin: 67–68), kela­hiran Nabi Isa melalui Maryam yang tanpa sen­tuhan se­orang lelaki (Surat Ali Imran: 47), dan perumpa­maan pen­ciptaan Nabi Isa yang tidak ubahnya seperti pencip­taan Nabi Adam (Surat Ali Imran:59). Dalam ensiklopedi Islam dika­takan bahwa terjemahan kata “kun” yang paling tepat ada­lah exist, ‘nyatalah’ (nyata tenan). Sebab apa yang terkandung dalam ka­lam Allah itu merupakan sebuah gerakan menuju ke eksis­tensi atau kenyataan yang bersumber dari kehendak Allah untuk mewujudkan sesuatu hal hingga terbentuk atau ter­wujudlah kehendak-Nya itu.
          Bapak, Ibu, dan Saudara-saudara para warga Pagu­yuban Ngesti Tungggal yang suka berbahagia.
          Siapakah sebenarnya Sang Sabda itu? Pertanyaan ini bukan hanya kita saja yang ingin mengetahui siapa Sang Sab­da itu, melainkan juga pernah dilontarkan dalam hati ke­tika Pakde Narto pertama kali menerima Sabda Pratama: “Siapakah gerangan yang menyampaikan sabda tadi?” (Sinten ba­ya ingkang paring sabda pangendika punika wau?). Kemudian Sang Guru Sejati mem­beri jawaban: “Aku, Suksma Sejati, yang menghidupi selu­ruh semesta alam seisinya, bersinggasana di sega­la sifat hidup. Aku Utusan Tuhan yang abadi, yang menjadi Pa­nutan, Penuntun, Guru kamu yang sejati ialah Gurunya Jagat”. (Ingsun Suksma Sejati, kang nguripi sagung dumadi, jumeneng ing kabeh sipat urip. Ingsun Utusaning Pangeran kang langgeng, kang dadi Panutan, Panuntun, Gurunira kang Sejati, iya Guru­ning Jagat).
          Dengan demikian, sejak awal Sang Sabda telah mem­per­kenalkan diri sebagai Suksma Sejati, Utusan Tuhan yang abadi, Panutan-Penuntun-Guru sejati sekalian umat-Guru­nya Jagat, yang bertahta di segala sipat hidup, dan yang menghidupi selu­ruh semesta alam seisinya. Dalam Ular-Ular Juru Mengeti dinyatakan bahwa Sang Sabda itu juga Sang Kristus, juga Putra Allah, juga Nur Muhammad, atau juga Nur-Dattullah. Bahkan Ular-ular Juru Mengeti dalam Bab VI menulis tersendiri tentang Nur Muhammad dalam bentuk tembang macapat, asmaradana, sebanyak 21 bait, yang meng­acu pada Hadis yang diriwayatakan oleh sahabat Jabir.
Dalam Sasangka Jati bab “Tunggal Sabda” secara gam­blang dijelaskan bahwa Sabda Langgeng adalah Pangandika­ning Allah yang berisi Petunjuk Rahayu = Benar yang me­muat berbagai kebijaksanaan dan berintikan syaha­dat tauhid sebagai bakuning piandel atau bebundelaning tekad. Sang Sabda itu disebut pula Sejatining Muhammad, Nur Muhammad, Nur Dat Allah, Sejatining Jesus, Kristus, Sang Putra, Putra­ning Allah, Sejatining Rasul Allah, Sejatining Utusan Kang Langgeng, Cahya Kang Pinuji, Sipating Pangeran Kang Kababar/Gumelar, Suksma Sejati, Guru Sejati, Guru Jagat, Kang pra­bane tan kena kinaya ngapa, rumesep ing dalem kaanan tunggal, kang dadi pusere urip saka pirang-pirang cahya iman (piandel), kang sumimpen ing telenging ati suci, Sang Pepadang, Cahyaning Pangeran.
Sementara itu, dalam Sabda Khusus Nomor 5 alinea 3, Sang Sabda itu disebut juga Malaikat Jibril: “Keta­huilah, se­sung­­guhnya yang disebut Jibril itu adalah Sang Sabda. Adapun Sang Sabda itu sudah bersemayam dalam diri Muham­mad, ialah yang disebut Nur Muhammad. Sang Sabda itu keku­asaan Allah, yaitu Rasulullah, dan Sang Sabda itu ialah Allah yang terbabar, yakni sifatnya Allah” (Wruhanira, seja­tine kang sinebut Jibril iku Sang Sabda. Dene Sang sabda mau wus dumu­nung ing Muham­mad, iya kang sinebut Nur Muham­mad. Sang Sabda iku pangu­wa­saning Allah, iya Rasullullah, lan Sang sabda iku Allah kang gumelar, iya sipating Allah).
          Itulah sebabnya Sang Guru Sejati dalam Tunggal Sab­da menyatakannya bahwa “terbabarnya Sabda Abadi, yaitu Sabda Tuhan yang menjadi peraturan baku atau intisari petunjuk rahayu yang benar, kepada para hamba semua, yang sejak dahulu kala sudah tetap ajeg seperti itu hingga sampai sekarang dan kelak kapan pun tidak pernah berubah. Sebab Tuhan Sejati (Allah Taala) itu hanya satu, meskipun terbabarnya dalam kata-kata (bahasa) di dunia berbeda-beda, tetapi maknanya (hakikatnya) tetap sama saja dengan Sabda yang telah jauh di masa silam. Intinya agar selamat sampai ke akhirat”. Dalam subbab berikutnya Sang Guru Se­jati menjelaskan bahwa “perbedaan peraturan (syariat) yang dilaksanakan itu sudah dengan kebijaksanaan Tuhan, selaras dengan dasar kodrat bangsa masing-masing yang disesuaikan dengan za­man terjadinya.”
          Bapak, Ibu, dan Saudara-saudara para warga Pagu­yuban Ngesti Tungggal yang suka berbahagia. Marilah kita re­nungkan apa sebenarnya isi pokok Sabda wejangan Sang Guru Sejati yang termaktub dalam bab “Tunggal Sabda”.
Sabda wejangan Sang Guru Sejati yang termaktub da­lam serat “Tunggal Sabda” itu maknanya memberi suluh ke­pada mereka yang percaya kepada-Nya. Adapun suluh tadi apabila diperinci pokok-pokoknya sebagai berikut.
  1. Menunjukkan jalan benar, yakni jalan utama yang me­nuju ke kesejahteraan serta ketenteraman abadi (Ka­su­nyatan Jati).
  2. Menunjukkan jalan simpangan yang menuju ke arah Kiri, yakni jalan yang menuju  ke alam para cidra (Alam Kadewataan).
  3. Mengingatkan kepada para umat yang masih ragu-ragu dalam hati atau yang masih tipis kepercayaan­nya (imannya), bahwa agama Islam dan agama Kris­ten itu benar-benar agama yang berasal dari Tuhan (Allah), serta kitab suci Alquran dan kitab suci Injil itu terbabarnya benar-benar berasal dari Wahyu Allah, yang wajib dijunjung tinggi serta dilak­sanakan oleh semua umat.
  4. Bahwa kitab suci tersebut di atas itu apabila diambil intisari atau patinya, dalam hal kesunyataannya sama maknanya, artinya sama-sama berisi petunjuk rahayu yang benar-benar berasal dari Allah.

Sang Guru Sejati “Menunjukkan jalan benar, yakni jalan utama yang menuju ke kesejahteraan serta ketentraman abadi (Ka­su­nyatan Jati)”. Kata kasunyatan berasal dari kata nyata atau sunya. Kata nyata berpadanan dengan kata temen, sejati, te­men­an, pancen temenan [sungguh, sejati, sesungguhnya, memang sunguh-sungguh] (Sudaryanto, 2001:704). Semen­tara itu, kata sunya berpadanan dengan kata sonya (Sudar­yanto, 2001:980) berarti ‘suwung, sepi’ (kosong, sunyi). Dalam “Tunggal Sabda” ini yang dimaksud dengan kasunya­tan tidak sama artinya dengan ‘kenyataan hidup sehari’ atau ‘realitas hidup’. Pemahaman kata kasunya­tan dalam Tunggal Sabda itu adalah ‘hakikat’ (kenyataan yang se­sungguhnya) atau ‘hakiki’ (benar, sebe­nar-benarnya). Adapun kata Kasunyatan-Jati dipahami seba­gai ‘kebenaran makrifat’ atau ‘kebenaran peng­alam­an spi­ritualnya menyaksikan mahligai Tuhan (baitullah) di pusat sanubari hidup’. Ini jelas merupakan implimentasi dari Sabda Pratama tentang ilmu sejati atau “ilmu kasunyatan”, yaitu Sabda yang pertama, yang berbunyi: “Ketahuilah! Yang disebut Ilmu Sejati itu Petunjuk yang nyata, yaitu petunjuk yang menunjukkan Jalan Benar, ja­lan yang sampai pada asal dan tujuan Hidup” (Wruhanira! Kang diarani Ilmu Sejati iku Pituduh kang Nyata, yaiku pitu­duh kang nuduhake dalan be­ner, dalan kang anjog ing sang­kan paraning Urip). Di sini jelas bahwa yang dimaksud dengan kasunyatan jati itu adalah ‘sangkan paraning Urip’. Sementara itu, dalam Bawa Raos ing Salebeting Raos (Bab XVII “Kahanan Wong Kang Wus Tumeka ing Kasunyatan Jati” dan Bab XVIII “Tundha-tun­dhaning Drajat Tumrap Para Marsudi (nggayuh) Kasunyatan Jati”) yang dimaksud dengan kasunyatan jati adalah “sam­purnaning panunggal” atau “derajat luhur”.
Adapun pokok ilmu yang tersimpan di dalam “Ilmu Sejati” ialah “ilmu asal dan tujuan hidup” itu disebut Hastha Sila, yaitu Panembah Batin Delapan Perkara. Hastha Sila terdiri atas dua bagian, yaitu Tri Sila dan Panca Sila. Tri Sila itu Panembahnya Hati dan Cipta tiga perkara kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Tri Sila juga mewujudkan kesanggupan besar yang perlu sekali dilaksanakan di dalam setiap harinya, yaitu manusia harus senantiasa Sadar, Percaya, dan Taat kepada Tuhan yang mengusai semesta alam seisinya.
Agar dapat sempurna manusia melaksanakan kesanggupan besar tiga perkara tersebut, manusia wajib berusaha agar dapat memiliki watak utama atau perbuatan kebajikan lima perkara, yang disebut Panca Sila, yaitu Rela, Narima, Jujur, Sabar, dan Budi Luhur.
Adapun sebagai tangga untuk dapat mencapai watak Panca Sila, manusia harus berjalan di Jalan Rahayu ialah yang disebut juga dengan Panca Darma Bakti, yaitu:
  1. Meresapkan Paugeran Tuhan kepada hamba.
  2. Melaksanakan Panembah, sebagai tanda bakti dan tali kesadaran.
  3. Melaksanakan Budi Darma, yaitu membabarkan rasa kasih sayang kepada sesama makhluk.
  4. Mengendalikan Hawa Nafsu yang menuju ke perbuatan yang tercela.
  5. Berusaha untuk dapat menetapi derajat Budi Luhur.
Selain daripada itu, setiap manusia wajib berusaha jangan sampai menerjang Larangan Tuhan yang Mahakuasa, yang disebut dengan Paliwara.
Adapun yang menjadi Larangan Tuhan yang Mahakuasa kepada manusia itu ada lima perkara, yaitu:
  1. Jangan menyembah selain kepada Allah.
  2. Berhati-hatilah terhadap hal syahwat.
  3. Jangan makan atau mempergunakan makanan yang memudahkan cepat rusaknya badan jasmani dan budi pekerti.
  4. Patuhilah Undang-undang Negara dan peraturannya.
  5. Jangan berselisih atau bertengkar.
“Pepadang, ialah Sabda Wejangan-Ku sebarluaskanlah dan berikanlah kepada siapa saja, laki-laki perempuan, tua muda, dengan tidak membeda-bedakan jenis bangsa dan derajat, yang membutuhkan Pepadang dan Tuntunan-Ku. Akan tetapi, Ingat! Jangan sekali-kali disertai dengan paksaan dan pamrih apa pun.” Di sini kita diberi amanat oleh Sang Guru Sejati untuk bertindak sebagai siswa utama (berniat mengajak menyiswa kepada siapa saja) dan selanjutnya bertindak sebagai siswa purnama (kesadaran untuk menyebarluaskan Sabda Wejangan Sang Guru Sejati). Syair Pakde Narto untuk Siswa Purnama:

Harapan Pak Narto untuk para Siswa Purnama

Sepasang burung merpati
Hidup tentram dan damai
Saling cinta-mencintai
Cinta sayang nan Sejati
Seia sekata sehidup semati
Melaksanakan tugas nan luhur dan suci
Menaburkan Pepadang Sabda Sang Guru Sejati
Kepada semua insani.

          Laksana pohon kelapa
          Hidup tegak sentosa dan jaya
          Berjasa untuk Nusa dan Bangsa
          Dan Negara Republik Indonesia nan merdeka
          Menerima anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa
          Menjadi penegak Pangestu di Surakarta
          Itulah doa restu harapan Pak Narto
          Yang sangat cinta kepada putra-putranya
          Siswa Purnama dari Surakarta
          Dan dari seluruh Nusantara

                             “Satuhu”

Kemudian pelaksanaan dari ilmu sejati dalam tindakan kita sehari-hari ketika melakukan:
  1. “Intisari Panembah”: “Duh, Suksma Sejati, Penun­tun serta Guru hamba yang sejati, hamba mohon semoga Paduka berkenan menuntun hamba berja­lan di Jalan Benar (margi leres), ialah Jalan Uta­ma (margi utami), yang berakhir dalam kesejahte­raan, ketentramaan, dan kemualiaan abadi ialah di hadirat Tuhan Sejati”.
  2. “Intisari Panembah untuk Kese­jah­teraan Umat”:  “Duh, Suksma Sejati, Penun­tun serta Guru hamba yang sejati, ialah Guru Dunia, hamba mohon se­mo­ga Paduka berkenan menuntun semua umat ber­ja­­lan di jalan benar (margi leres), ialah jalan uta­­ma (margi utami), yang berakhir dalam kesejah­te­raan, keten­traman, dan kemualiaan abadi ialah di hadirat Tuhan Sejati”.
  3. “Pangesti Kesejahteraan Negara”: “Duh, Tuhan, ham­ba mohon semoga Tuan berkenan memberi pepadang dan tuntunan kepada bangsa kami agar bangsa kami berjalan di jalan benar (margi leres), ialah jalan uta­ma (margi utami) yang berakhir dalam kesejahteraan, ketentraman, dan kemuliaan abadi”.
  4. “Pangesti II, Mohon Tuntunan”: “Duh, Suksma Se­jati, Penun­tun serta Guru hamba yang sejati, ham­ba mo­hon semoga Paduka berkenan menuntun ham­ba berja­lan di jalan benar (margi leres), ialah jalan uta­ma (margi utami), yang berakhir dalam kesejahte­raan, ketentramaan, dan kemualiaan aba­di ialah di hadirat Tuhan Sejati”; dan tentu saja disempurnakan dengan melaksanakan:

“Panembah”, “Dasa Sila”, “Jalan Raha­yu”, menja­uhi “Paliwa­ra”, dan melaksanakan “Hasta Sila” seba­gai laku kita hidup sehari-harinya sehingga dicapai derajat luhur [lihat ORDR, Bab XVII, halaman 32—35].
Bapak, Ibu, dan Saudara-saudara para warga Pagu­yuban Ngesti Tungggal yang suka berbahagia.
Dalam “Tunggal Sabda” Sang Guru Sejati menunjuk­kan jalan benar, yaitu jalan utama yang berakhir dalam kesejah­teraan dan ketentraman abadi itu terdapat dengan jelas melalui Bab I, “Petunjuk-petunjuk Benar dari Sang Gu­ru Sejati”, yang meliputi:
(1)   Keadaan Sabda Abadi dan Ter­babarnya,
(2)   Kewajiban Utusan, Tinggi Rendah Derajat, dan Kewa­jiban Hamba,
(3)   Aneka Macam Utusan di Dunia,
(4)   Intisari Sabda Abadi yang Tersimpan dalam Kitab Suci Injil, dan
(5)   Intisari Sabda Abadi yang Tersimpan dalam Kitab Suci Alquran.
Bagian Bab I dari “Tunggal Sabda” itu juga di­maksudkan oleh Sang Guru Sejati untuk mengingatkan bagi para umat yang masih ragu-ragu ataupun yang masih tipis imannya bahwa agama Islam dengan kitab sucinya Alqur­an dan agama Kristen dengan kitab sucinya Injil sung­guh-sung­guh berasal dari wahyu Allah, agama samawi.
Sementara itu, Bab II dari Tunggal Sabda, “Lanjutan Ajaran Sang Guru Sejati” yang meliputi: (1) Jagad Kedewa­taan dan Keadaannya, (2) Jalan Yang Gawat, dan (3) Ke­adaan Pranata Kedewataan, Tinggi-Rendahnya Derajat, Pemerintahan, dan Pemerincian Pekerjaannya, dimaksudkan oleh Sang Guru Sejati sebagai paparan tentang Jalan Sim­pangan, jalan yang menuju ke arah kiri. Dalam kitab-kitab suci sebelumnya, Injil dan Alquran, bahkan Taurat dan Zabur, tidak dipaparkan secara gamblang dan jelas tentang Jagat Kedewataan itu. Memang dalam Alquran ada Surat Al-Jin (Surat ke-72, sebanyak 28 ayat), dan dalam dunia Islam itu juga berkembang eskatologi, yaitu ajaran teologi mengenai akhir zaman, seperti hari kiamat, kematian, dan kebangkitan manusia dari alam kubur. Tentang akhir zaman atau hari kiamat ini memang dalam Alquran dinyatakan dalam Surat ke-78, An-Naba (Berita Besar), 40 ayat. Semuanya masih samar-samar dan tidak jelas, karena penuh kias, banyak tafsir.
Hadirnya “Tunggal Sabda” ini Sang Guru Se­ja­ti mempertegas, memperjelas, lebih memerinci dan lebih menggamblangkan ten­tang makhluk yang berbadan anasir api dalam Bab II. Adapun tentang eskatalogis seperti yang berkembang dalam dunia Islam itu Sang Guru Sejati mem­perjelasnya dalam Bab “Sangkan Paran”, dan Pakde Narto menjelaskan pula lewat tembang macapat megatruh “Sukma Ngumbara” dalam buku Bowo Raos Ing Salebeting Raos.
Adapun “Tunggal Sabda” berada di tengah-tengah dalam satu kesatuan pustaka suci Sasangka Jati dimaksudkan sebagai pesemon/kiasan “barang siapa yang ingin bertemu dengan Sang Sabda yakni Suksma Sejati di mahligai suci, ing telenging batosipun piyambak-piyambak, iya ana ing telenging sa­nu­barine, iya kang sumimpen ing telenging ati suci”. Sang Sabda, ya Sang Guru Sejati, bersinggasana di pusat hati sanubari, di dalam kalbu mukmin baitullah. Siapa pun yang dapat sampai ke pusat hati sanubari-Nya, yang dapat mengalihkan titik berat kesadarannya ke dalam kalbu mukmin-Nya, dijamin dapat bertunggal dengan Sang Sabda. Sang Sabda hanya Satu, Esa, Tunggal, tiada duanya, bersifat Abadi, kekal, langgeng, tetap tidak berubah berganti, suci, penuh kasih, dan juga adil.
SATUHU

Catatan:
Kata cidra dalam Kamus Pepak Bahasa Jawa (2001:168) berari ‘ora setya’, ‘ora netepi janji’ utawa ‘mblenjani janji’, ‘pangapus’, ‘krenah’, ‘pitenah’, ‘luput’, utawa ‘klreru’, dalam terjemahan yang sudah umum digunakan kata culas, mungkar, pendusta; dalam istlah Pakde Soemodihardjo: silap pesona maya dunia.
Kata rahayu atau raharja (dalam Kamus Bahasa Jawa-Bahasa Indonesia II, Sri Nardiati et al, 1993: 188) padan­annya: slamet artinya ‘selamat’.
          Kata rahayu atau raharja (dalam Kamus Praktis Jawa-Indonesia, L. Mardiwarsito et al, 1985: 262) artinya ‘selamat’; ‘sejahtera’.
          Kata selamat dalam bahasa Indonesia berarti : (1) ‘terhindar dari bencana’; ‘aman sentosa’; ‘sejahtera’; ‘tidak kurang suatu apa’; ‘sehat’; ‘tidak mendapat gangguan, kerusakan, dan sebagainya’; ‘beruntung’; ‘tercapai maksud dan tujuannya’; dan ‘tidak gagal’; (2) doa; (3) ucapan yang mengandung harapan supaya tidak kurang suatu apa; (4) untuk persalaman mudah-mudahan dalam keadaan baik, sehat walafiat (KBBI, 1988: 798).
Sedangkan kata keselamatan berarti ‘perihal (keadaan dan sebagainya) selamat’; ‘kesejahteraan’; ‘kebahagiaan’ (KBBI, 1988: 799).
Kata sejahtera ‘aman sentosa dan makmur’; selamat (terlepas dari segala macam gangguan, kesukaran, dan seba­gainya) (KBBI, 1988: 794). Kata kesejahteraan ‘keamanan’, ‘keselamatan’ ‘keten­traman’, ‘kesenangan hidup dan seba­gai­nya’, ‘kemakmuran’ (KBBI, 1988: 794)
Kata rahayu dalam Kamus Pepak Bahasa Jawa (Editor Sudarjanto dan Pranowo, 2001: 871) artinya: ‘slamet’, ‘begja’, ‘luput ing kacilakan lan kangsangsaran’.
Kata slamet dalam Kamus Pepak Bahasa Jawa (Editor Sudarjanto dan Pranowo, 2001: 966) artinya: (1) ‘ara ana sa­kara-kara’; (2) ‘luput ing bebaya, kacilakan, lan sapanung­gal­ane’. Dene tembung ‘keslametan’ tegese ‘keamanan tumrap jasmani lan rohani’.


Pertemuan 15 Teori Sastra Tempatan