Saturday, 27 December 2014

MERESAPKAN MAKNA PAUGERAN TUHAN KEPADA HAMBA


(Materi Olah Rasa Ranting Bekasi, Minggu, 19 Januari 2014,
dimuat majalah Dwija Wara Nomor 12 Tahun ke-57, April 2014, halaman 24--33) 


1. Pengantar
Sebagai warga Paguyuban Ngesti Tunggal, baik yang sudah lama menjadi warga maupun yang baru, masih ingatkah kita ketika awal mengikuti ceramah penerangan Ajaran Sang Guru Sejati? Setelah mengikuti beberapa kali ceramah, pada suatu hari tibalah pada pelajaran bab Jalan Rahayu, ya Jalan Rahayu atau Panca Darma Bakti, suatu Jalan Keselamatan supaya dapat dipergunakan sebagai tangga untuk meningkatkan derajat yang lebih tinggi, derajat yang lebih mulia, derajat yang lebih luhur, sehingga dapat menetapi makna ajaran Hasta Sila. Pelajaran pertama dari Jalan Rahayu adalah “Mengetahui kesejatian dan makna Paugeran Tuhan kepada hamba, yang menjadi dasar kepercayaan atau kebulatan tekad yang diyakini”. Awalnya kita hanya diminta membaca dan menghafalkan teks Paugeran Tuhan kepada hamba, boro-boro mau dapat mengetahui kesejatian dan makna Paugeran Tuhan kepada hamba, menghafalkannya pun susahnya bukan main, harus dilakukan berkali-kali, tentu dikerjakan secara berulang-ulang agar dapat hafal teks Paugeran Tuhan kepada hamba tersebut.
Pada saat pelantikan menjadi warga Paguyuban Ngesti Tunggal, tentu bapak ibu masih ingat betul, bahwa yang pertama kali dibaca atau diucapkannya dihadapan sidang majelis pertemuan olah rasa, adalah Paugeran Tuhan kepada hamba, setelah itu mengucapkan Prasetya Suci dan Dasa Sila. Pelantikan menjadi warga Paguyuban Ngesti Tunggal, dalam organisasi lain lebih dikenal dengan istilah baiat, yaitu pengucapan sumpah setia kepada imam, dan imam kita hanya Suksma Sejati, Sang Guru Sejati, Guru Dunia dan Akhirat yang menunjukkan Jalan Benar ialah Jalan Utama, Jalan yang berakhir dalam kesejahteraan dan ketenteraman abadi, yakni di hadirat Tuhan Yang Maha Esa, di Taman Kemuliaan Abadi. Jadi, pengucapan Paugeran Tuhan kepada hamba dalam peristiwa pelan­tikan warga Paguyuban Ngesti Tunggal itu adalah menjadi satu-satunya kredo, pernyataan kepercayaan (keyakinan) dan sekaligus menjadi dasar tuntunan hidup sepanjang hayat, dari pondok dunia hingga sampai ke istana akhirat.
Bagaimana sekarang bapak ibu semuanya? Setelah dilantik menjadi warga Paguyuban Ngesti Tunggal, baik yang masih sebagai calon siswa maupun yang sudah menjadi siswa Sang Guru Sejati, tentunya setiap hari kita senantiasa melaksanakan, menjalankan, melakukan (dengan cara mengucapkan dan mere­sapkan) Paugeran Tuhan kepada hamba. Seperti tadi ketika akan memulai Olah Rasa, kita mengucapkan Paugeran. Apakah hanya pada saat akan memulai Olah Rasa kita mengucapkan Paugeran? Tentunya tidak. Setiap saat ketika kita akan memulai mengerjakan sesuatu, apa pun sesuatu itu, seperti akan manembah, akan bekerja, akan ujian, akan mengadakan perjalanan, akan menghadap pim­pinan atau menghadapi seseorang, akan tidur, dan ziarah kubur ke makam leluhur pun sebaiknya mengucapkan dan meresapkan Paugeran Tuhan kepada Hamba. Bahkan, bukan hanya saat akan mengerjakan sesuatu saja kita mengucapkan Paugeran, melain­kan juga ketika kita sedang menghadapi sesuatu, menghadapi masalah, meng­hadapi bencana atau musibah yang melanda kita, yang melanda saudara kita, tetangga kita, teman kita, dan juga ketika kita menghadapi bencana alam, seperti banjir, tanah longsor, gunung meletus, hujan badai, angin topan, dan kebakaran pun, tidak terlepas dari Paugeran Tuhan kepada hamba.
Mau berapa kali kita mengucapkan dan meresapkan Paugeran dalam setiap harinya? Hal ini tentu, sangat bergantung atas kesadaran dan kebutuhan kita masing-masing. Semakin sering kita mengucapkan, semakin sering kita mengha­yati makna Paugeran, dan semakin sering kita meresapkan Paugeran, itu tentu akan menjadi semakin baik, bertambah baik, dan semakin menjadi lebih baik lagi, serta Paugeran itu dapat hidup dalam diri sanubari kita. Mengapa kita perlu sekali menghidupkan Paugeran Tuhan kepada hamba itu dalam diri sanubari kita, dalam kehidupan kita di dunia ini?

2. Dasar Kepercayaan yang Benar
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, bapak ibu marilah kita bersama-sama, dalam hati masing-masing, kita mengucapkan dan meresapkan Paugeran Tuhan kepada hamba.
Suksma Kawekas punika tetep dados Sesembahan kula ingkang sejati, dene Suksma Sejati punika tetep dados Utusaning Pangeran Sejati tuwin dados Panuntun saha Guru kula ingkang sejati.
Inggih amung Suksma Kawekas piyambak, ingkang anguwasani sadaya alam saisinipun, inggih amung Suksma Sejati piyambak, ingkang nuntun para kawula sadaya.
Sadaya panguwasa, ingggih panguwasanipun Suksma Kawekas, punika kaasta dening Suksma Sejati, dene kawula wonten panguwasa­nipun Suksma Sejati.”

(Suksma Kawekas adalah tetap menjadi Sembahan hamba yang sejati, adapun Suksma Sejati adalah tetap menjadi Utusan Tuhan Sejati, serta menjadi Penuntun dan Guru hamba yang sejati.
Hanya Suksma Kawekas pribadi yang menguasai semua alam seisinya, hanya Suksma Sejati pribadi yang menuntun para hamba semua.
Semua kekuasaan ialah kekuasaan Suksma Kawekas, ada pada Suksma Sejati, adapun hamba ada di dalam kekuasaan Suksma Sejati.)

            Dalam buku Olah Rasa di Dalam Rasa, Bab XIX Laku dan Syarat-syarat yang Harus Dijalankan Oleh Para Calon Siswa Sebagai Ketukan Pada “Pintu Pa­nunggal” dinyatakan bahwa “Laku yang Pertama, Meresapkan Sejatinya Syaha­dat: Para calon siswa hendaklah meresapkan sejatinya syahadat, yaitu Paugeran Tuhan kepada hamba, yang menjadi dasar kepercayaan yang benar atau kebu­latan tekad yang diyakini hingga masuk meresap ke dalam jiwanya, jadi tidak hanya diucapkan di bibir. Sejatinya syahadat itulah yang merupakan ‘pakaian’ para hamba yang hendak menghadap di istana Sang Raja, yaitu ketika para calon sis­wa hendak menghadap ke hadirat Tuhan.” (Olah Rasa di Dalam Rasa, 2013:42).
            Oleh karena itu, mari kita meresapkan Paugeran Tuhan kepada hamba tersebut tidak hanya sebatas pada ucapan di bibir (hanya berhenti di mulut), tetapi harus sampai mendalam hingga menumbus ke pusat hati sanubari, hingga sampai ke Rahsa Jati. Paugeran inilah sebagai dasar (fondasi, basis, pokok) kepercayaan yang benar atau kebulatan tekad yang diyakini kebenarannya secara mutlak dan sebagai busana para hamba untuk menghadap ke hadirat Tuhan.

3. Perjanjian Agung
Paugeran Tuhan kepada hamba itu sesungguhnya merupakan perjanjian agung, sebuah ikrar jiwa, kredo jiwa, sumpah setia jiwa manusia sebelum Roh Suci diturunkan/dititahkan/diciptakan/dilahirkan ke dunia. Sebagai­mana dinyatakan dalam Sasangka Jati, Bab Sadar, yaitu “Ketahuilah olehmu, bahwa tiga macam kesanggupan tersebut sesungguhnya telah engkau sanggupi ketika engkau akan diciptakan hidup di alam dunia” (Sasangka Jati, 2006:7).
Juga dalam Sasangka Jati, Buku Panembah, Bab Paugeran Tuhan kepada Hamba, dinyatakan bahwa “Ingatkanlah saudara-saudaramu yang percaya akan Paugeran Tuhan kepada hamba, yaitu yang telah disanggupi, ketika Roh Suci akan diturunkan ke dunia.” (Sasangka Jati, 2006:105).
Dalam buku Ulasan Kang Kelana (1990:109) dinyatakan bahwa “Paugeran Suksma Kawekas mengandung janji Roh Suci untuk hanya menyembah kepada Suksma Kawekas semata-mata melalui Suksma Sejati. Pada waktu di dalam kandungan Tripurusa, Roh Suci hanya mengenal Suksma Sejati dan Suksma Kawekas yang menjadi asal-usul dan melindunginya. Roh Suci menyaksikan benar-benar Keagungan dan Kekuasaan tunggal dari Suksma Kawekas dan Suksma Sejati. Di dalam kandungan Tripurusa tidak dikenal makhluk dewa. Maka dari itu, Roh Suci tahu benar bahwa Sembahan yang sejati ialah Suksma Kawekas melalui Suksma Sejati.”

4. Tanda Nyata Ajaran Benar
            Paugeran juga sebagai tanda/bukti nyata, bukti senyata-nyatanya, sebenar-benarnya bahwa ajaran benar itu berasal dari Tuhan Sejati. Sebagaimana secara jelas dinyatakan dalam Sasangka Jati, Tunggal Sabda, Bab Keadaan Sabda Abadi dan Terbabarnya: “Tanda nyata yang mudah diketahui setiap orang, sehingga dapat menetapkan bahwa petunjuk dari Tuhan Sejati itu hanya ada pada syahadat tauhid. Semua ajaran atau petunjuk dari para Nabi Rasul itu pasti berisi syahadat tauhid sebagai pokok kepercayaan: Tiada Sembahan yang benar selain Allah.”
            Jadi, ringkasnya saja, tiap-tiap petunjuk yang menunjukkan Jalan Rahayu, padahal tidak mengajarkan bab tauhid sebagaimana yang disebutkan itu, jelas bukan Sabda Tuhan (Allah Taala). Adapun sejatinya syahadat (Paugeran Tuhan kepada hamba) itu apabila dinyatakan secara jelas (tanpa selubung), mengajarkan tentang bertunggalnya Tripurusa ialah keadaan Yang Maha Tunggal, yang menjadi asal dan tujuan jiwanya, yakni yang menjadi tujuan hidup yang senyatanya. Oleh karena itu, terbabarnya syahadat tersebut dalam tindakan lalu berwujud tiga ma­cam kesanggupan besar: Sadar, Percaya, Taat. Hal itu sudah menjadi kesanggup­an para hamba sejak di alam Roh, ketika Roh Suci akan diturunkan ke dunia.” (Sasangka Jati, 2006:67).
            Dengan adanya Paugeran Tuhan kepada hamba itu kita menjadi waspada, lebih hati-hati, weweka, mursid dalam menentukan sikap, pilihan, dan keyakinan akan suatu pelajaran keutamaan. Ini menjadi warning, peringatan dari Tuhan agar kita indahkan, kita perhatikan dengan baik-baik. Apabila ada pelajaran keutamaan, petunjuk benar, atau suatu klaim tentang kebenaran dari siapa pun, padahal tidak ada syahadat tauhidnya, tidak ada paugerannya, maka pelajaran itu wajib kita yakini bukan berasal dari Tuhan Sejati. Pelajaran itu hanya sebatas sebagai kebenaran relatif, bukan kebenaran hakiki, bukan kebenaran mutlak. Akal sehat kita harus dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang nyata dan mana yang bukan, serta mana yang baka/ kekal/ abadi/ langgeng dan mana yang fana, rusak, dusta, dan palsu. Adanya Paugeran Tuhan kepada hamba yang senantiasa hidup dalam diri kita, niscaya kita tidak akan terjerumus ke yang bukan, tidak akan terperosok ke yang palsu, tidak akan tersesat pada pilihan yang salah, tidak akan terejabak ke yang fana, dan tidak terpeleset ke yang dusta.
Dalam buku Ulasan Kang Kelana (1990:108—109) dinyatakan bahwa “Paugeran Suksma Kawekas kepada umatnya adalah perbedaan yang prinsip antara tuntunan dari Suksma Sejati dengan pelajaran dari para dewa. Tiap pelajaran yang benar dari Suksma Kawekas mempunyai dasar Tripurusa, seperti Islam dan Kristen mempunyai syahadatnya masing-masing. Para dewa juga memberi tuntunan kepada manusia melalui jalan kesusilaan. Mereka memberi pelajaran untuk menghaluskan budi pekerti, tetapi pelajaran mereka tidak pernah didasarkan atas Tripurusa. Kita harus tetap waspada terhadap semua pelajaran kesusilaan dan menelitinya, apakah pelajaran itu berdasarkan Tripurusa atau tidak. Dan kita harus selalu sadar bahwa Roh Suci ialah Jiwa Manusia yang Sejati, merupakan bagian dari Tripurusa.”
“Paugeran Suksma Kawekas menunjukkan kepada kita asal-usul Roh Suci yang nyatanya tinggi. Roh Suci adalah Jiwa Manusia yang Sejati. Jadi, tiap manu­sia pernah menduduki derajat Roh Suci. Sebelum menjadi Roh Suci kita semua pernah menjadi Suksma Sejati dan Suksma Kawekas. Itu memang asal-usul kita. Soalnya ialah supaya kesadaran semula yang tinggi itu kita bangkitkan dan kita alami lagi.” Dengan demikian kita menyadari dengan benar siapa sebenarnya diri kita ini, berada di mana kita dahulu, pada saat ini, dan yang akan datang.

5. Kesaksian Nyata Roh Suci
            Paugeran Tuhan kepada hamba juga menjadi kesaksian yang nyata diakui kebenarannya oleh jiwa (Roh Suci) kita. Ketika masih berada di Alam Sejati, Roh Suci hendak diturunkan ke dunia (merasuk badan wadak empat anasir), perjanjian agung yang terwujud dalam Paugeran Tuhan kepada hamba itu diungkapkan dalam bahasa kesadaran jiwa, bukan dengan bahasa verbal yang kita kenal di dunia ini (seperti bahasa Jawa, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, bahasa Ibrani, bahasa Arab, dan bahasa-bahasa lain di dunia). Setelah Roh Suci merasuk badan wadak empat anasir, lalu terlahir di dunia, Paugeran Tuhan kepada hamba itu terlupakan, tidak diingatnya lagi, tidak disadarinya lagi. Hal ini dikarenakan titik berat kesadarannya telah berubah, dari titik berat kesadaran ke Alam Sejati berubah ke titik berat kesadaran ke dunia.
Hidup Roh Suci dengan mengenakan badan wadak empat anasir di dunia, lalu mengenal pelbagai masalah duniawi. Atas karunia Ilahi, pengenalan pelbagai masalah duniawi itu disalurkan dengan menggunakan bahasa verbal, yakni bahasa yang secara lisan dikuasai secara intuitif oleh penutur bahasa tersebut. Sebagian besar manusia yang sibuk dengan persoalan duniawi, sehingga lupa akan Paugeran itu, sebagian lagi kembali ingat dan kembali sadar akan Paugeran setelah seseorang terpilih menerima pepadang dan tuntunan Tuhan Sejati melalui perantara Utusan Tuhan yang Abadi membabarkan isi Paugeran Tuhan kepada hamba dengan bahasa verbal, bukan dengan bahasa kesadaran jiwa lagi. Sebagaimana dinyata­kan dalam Sasangka Jati, Tunggal Sabda, Bab Keadaan Sabda Abadi dan Terba­barnya: “Sabda Abadi itu juga hanya satu, meskipun terbabarnya dalam kata-kata di dunia berbeda-beda, maknanya tetap sama saja dengan Sabda yang dulu-dulu. Intinya hanya agar selamat sampai di akhirat” (Sasangka Jati, 2006:72).
Meresapkan Paugeran Tuhan kepada hamba pada hakikatnya mengembali­kan titik kesadaran ke Alam Sejati, yakni titik kesadaran ketika Roh Suci hendak diturunkan ke dunia mengemban perjanjian agung tersebut. Dengan meresapkan Paugeran Tuhan kepada hamba itu sesungguhnya membang­kitkan kesadaran semula yang tinggi dan pernah kita alami ketika berada dalam kandungan Tripurusa. Sebagaimana secara jelas dinyatakan dalam Sasangka Jati, Tunggal Sabda, Bab Keadaan Sabda Abadi dan Terbabarnya: “Paugeran yang demikian itu bagi jiwa (Roh Suci) sudah menjadi kesaksian yang nyata diakui kebenarannya. Hanya saja, setelah Roh Suci memakai badan-badan halus dan kasar (memakai busana empat macam anasir) terbabarnya dalam kehidupan di dunia lalu lupa akan Paugeran hidup yang pokok tersebut. Maka, agar selamat perjalanannya sampai ke akhirat (dapat kembali ke asal dan tujuan hidup yang sejati), perlu dibangunkan kembali kesadarannya kepada siapa yang menjadi Sembahannya yang sejati, dengan diberi ajaran bab tauhid, mulai tataran yang rendah hingga yang luhur, menurut tingkatan derajat masing-masing.” (Sasangka Jati, 2006:68).

6. Cara Menyadarkan Kembali
Bagaimana cara untuk mengingatkan atau menyadarkan kembali saudara-saudara kita yang lupa akan Paugeran Tuhan kepada hamba? Sang Guru Sejati dalam sabdanya tersebut telah memberi petunjuk cara untuk membangunkan kesadaran kembali saudara-saudara kita yang lupa akan Paugeran Tuhan kepada hamba, yaitu menunjukkan Sesembahan yang sejati, dengan memberi ajaran bab tauhid (Ketuhanan), mulai tataran yang rendah (syariat, pengertian dasar) hingga yang luhur (makrifat), menurut tingkatan derajat masing-masing. Selain itu, Sang Guru Sejati telah juga memberi petunjuknya dalam Sasangka Jati, Buku Panem­bah, Bab Paugeran Tuhan kepada Hamba, yaitu “Sampaikanlah kepada saudara-saudara­mu, akan hal kesunyataan Sembahan yang sejati serta Utusan­nya yang abadi, yang menuntun para hamba semua, yakni yang menjadi Gurunya yang sejati. Ketahuilah olehmu, yang disebut Sembahan yang sejati itu Suksma Kawekas, menurut Islam disebut Allah Taala, dan menurut Kristen disebut Sang Bapa, itu sejati-jatinya Tuhanmu, dan juga Sembahanmu yang senyatanya, sebab Suksma Kawekas adalah Suksma terluhur, yang mempunyai kekuasaan dan memegang (menguasai) hidup. Adapun Utusan Tuhan yang abadi (yang tidak dapat mati) adalah Aku, Suksma Sejati, yang menurut Islam disebut Nur Muhammad ialah sejatinya Rasulullah, dan menurut Kristen disebut Kristus, yakni sejatinya yang disebut Putra Allah. Tuhan dan Aku bertakhta di pusat hidup, yakni sejati-jatinya yang menghidupi Roh Tuhan ialah Roh Suci, yang menjadi jiwa para manusia semua yang menguasai dunia kecilnya masing-masing, yang Aku pakai sebagai istana, juga istana Tuhan. Di dalam pusat hidup itulah ditemukan bertung­galnya Tripurusa: Suksma Kawekas—Suksma Sejati—Roh Suci, ketiga-tiganya itulah keadaan tunggal yang tidak terpisahkan, dan yang bertakhta sebagai hidup abadi. Adapun hidup itu sejatinya juga Satu.”  (Sasangka Jati, 2006:105).
Dengan demikian jelaslah bagi kita atas petunjuk Sang Guru Sejati itu bahwa untuk dapat mengingatkan, menyadarkan, atau membangunkan kembali saudara-saudara kita yang lupa, melupakan atau koncatan pepadang akan Paugeran Tuhan kepada hamba itu adalah menyampaikan, memberitahukan, atau menunjuk­kan jurusan (kiblat) Sembahan sejati yang benar. Sudah barang tentu, diharapkan, orang yang menyampaikan petunjuk benar akan Sembahan yang sejati ini harus sudah melaksanakan sendiri, wis nglakoni dhewe, dan sudah merasakan betapa manfaat yang agung, luar biasa, dan kebenarannya nyata-nyata menuntun dalam mencapai kesejahteraan, ketenteraman, dan kebahagiaan.

7. Kiblat Sembahan yang Benar
Ulasan Kang Kelana (1990:109—110) menyatakan: “Paugeran Suksma Kawekas menuntun jurusan yang benar bagi Sembahan kita, yakni ke dalam hati kita sendiri yang suci. Di situ bertakhta Tripurusa, pusat Sembahan yang murni. Sekalipun Suksma Kawekas dan Suksma Sejati terdapat di mana saja, tetapi Roh Suci hanya ada di dalam kita sendiri. Kita harus menduduki derajat Roh Suci dahulu sebelum meningkat ke derajat Suksma Sejati. Roh Suci dapat pula diumpamakan pintu gerbang dari Alam Sejati ialah Pangkuan Suksma Kawekas.”
“Paugeran Suksma Kawekas mempelajarkan kepada kita bahwa yang menyembah dan yang disembah berada dalam satu kenyataan, yakni Tripurusa”.
Coba perasakan bagian akhir dari Paugeran: “Semua kekuasaan ialah kekuasaan Suksma Kawekas, ada pada Suksma Sejati, adapun hamba ada di dalam kekuasaan Suksma Sejati.” Juga perasakan salah satu pujian Panembah Raga kepada Roh Suci ketika sikap membungkuk (rukuk): “Duh, Suksma Sejati, hamba berada dalam kekuasaan Paduka, adapun Paduka berada dalam keku­a­saan Tuhan Sejati” (Sasangka Jati, 2006:199).
“Paugeran Suksma Kawekas membuka kemungkinan kepada Roh Suci untuk meluluh-lenyapkan diri di dalam Suksma Sejati, atau dengan lain perkataan: adanya kemungkinan untuk pamudaran atau panunggal. Kemungkinan ini tidak terdapat bila kita memuja (menyembah) dewa-dewa, benda-benda, bintang, dan lain-lain. Bila menyembah Suksma Kawekas melalui Suksma Sejati, manusia dapat mencapai derajat Guru Sejati, tetapi bila memuja dewa-dewa, manusia tidak akan dapat bersatu dengan dewa-dewa, sebab pada dasarnya struktur dan fungsi dari dewa adalah berlainan sama sekali dengan manusia. Dewa tergolong makhluk lain yang pada dasarnya berderajat lebih rendah daripada manusia”. Oleh karena itu, perlu sekali disadari bahwa “Paugeran Suksma Kawekas menginsafkan kita akan kedudukan manusia sebagai makhluk yang tertinggi dan terdekat kepada Suksma Sejati dan Suksma Kawekas, lebih tinggi daripada dewa apa pun juga”. (Ulasan Kang Kelana (1990:109—110)
Dengan demikian jelaslah bahwa Paugeran Tuhan kepada hamba itu menempatkan manusia sebagai makhluk sempurna dari ketiga makhluk yang lainnya, yaitu binatang, tetumbuhan, dan dewata. Derajat dan martabat manusia yang lebih tinggi daripada makhluk lainnya itu tentulah tidak sepantasnya apabila menyembah benda-benda pusaka, azimat, arca, berhala, pohon besar, binatang keramat, dan dewata mana saja. Apabila sampai terjadi hal yang demikian ini, manusia akan jatuh terperosok ke derajat yang lebih hina dina, berada pada tataran yang terendah, serendah-rendahnya dari makhluk lainnya tersebut. Hal ini jelas bahwa manusia tidak dapat mensyukuri karunia Ilahi yang telah dilimpahkan kepadanya. Untuk dapat mengembalikan derajat dan martabat manusia tersebut haruslah kita dapat meresapkan dan menjalankan Paugeran Tuhan kepada hamba dengan sungguh-sungguh dan benar.

8. Senjata yang Ampuh
Perlu disadari dengan benar bahwa Paugeran Tuhan kepada hamba itu bukan mantra, bukan azimat, dan bukan guna-guna yang berisi daya kekuatan linuwih yang mampu menakhlukkan siapa pun. Kesadaran ini berkaitan dengan sikap dan cara kita menjalankan Paugeran dengan sungguh-sungguh dan benar. Ulasan Kang Kelana (1990:110) menyatakan bahwa “Paugeran Suksma Kawekas merupa­kan senjata yang ampuh untuk menolak dan menjauh­kan pengaruh dari siapa pun yang berniat jahat terhadap kita. Dengan mendekat kepada Suksma Sejati kita masuk ke dalam lingkaran Kekuasaan dan Kasih Sayang dari Sang Guru Sejati. Kekuasaan dan kasih sayang inilah yang pada hakikatnya menolak dan menjauh­kan semua sifat jahat yang ditujukan terhadap kita.”
Pemahaman tentang “Paugeran Suksma Kawekas merupakan senjata yang ampuh untuk menolak dan menjauhkan pengaruh dari siapa pun yang berniat jahat terhadap kita”, bukan dipahami sebagai mantra, azimat, dan guna-guna yang berisi daya kekuatan linuwih yang mampu menakhlukan apa dan siapa pun yang menjadi sasaran kita. Berkaitan dengan hal ini Sang Guru Sejati memberi petunjuknya dalam Sasangka Jati, Buku Panembah, Bab Paugeran Tuhan kepada Hamba, yaitu “Paugeran tersebut menjadi daya kekuatan kepercayaan para hamba yang telah diyakini oleh jiwanya ketika Roh Suci akan diturunkan ke dunia. Paugeran inilah, apabila sudah hidup di dalam batinnya, dapat menjadi tali yang kukuh, yang dapat menghubungkan hamba dengan Tuhan, dan dapat menjadi jalan mengalirnya daya kekuatan Tuhan, yang Aku sampaikan ke pusat sanubarinya. Sekalipun Tuhan dan Aku juga sudah tunggal keadaan dengan dirimu, apabila engkau masih diliputi kegelapan dunia, engkau tidak dapat menerima aliran daya kekuatan suci yang berasal dari Tuhan itu, sebab selalu tertutup oleh angan-anganmu yang tertuju ke keduniawian saja, maka keterangan Paugeran tersebut di atas itu kegunaannya untuk menolong hatinya, supaya sadar akan kebulatan tekad, yang telah menjadi kepercayaan jiwanya. Ketahuilah olehmu, para hamba yang tidak memiliki tali penghubung yang kukuh, yakni para hamba yang tidak percaya, mereka tidak dapat menerima sih Tuhan dan anugerah-Nya. Oleh karena itu, berilah pengertian kepada saudara-saudaramu itu akan makna Paugeran Tuhan, yang telah menjadi kesanggupannya, sebab Paugeran tersebut mengandung maksud akan tiga macam kewajiban, yang disucikan dengan lima macam kelakuan utama, sebagaimana telah Aku sabdakan dalam ajaran-Ku, yang telah diperingati dalam buku Hasta Sila, yaitu yang tersebut dalam bagian Tri Sila dan Panca Sila.” (Sasangka Jati, 2006:109).
Jadi, jelaslah bahwa yang membuat Paugeran itu dapat menjadi senjata yang ampuh bagi kita, dapat menjadi senjata sakti yang melebihi dan unggul dari segala macam senjata apa pun, dan dapat menghalau segala macam bencana atau musibah yang mengarah kepada kita, karena Paugeran itu sudah hidup di dalam batin kita. Janganlah berkeluh kesah, mudah putus asa, dan berkecil hati ketika menjalani hidup kita selalu diliputi banyak masalah, dirundung kemalangan, dan bertubi-tubi dihantam oleh musibah. Segera bangkit dan usahakanlah agar Pauguran Tuhan kepada hamba itu dapat menjadi hidup di dalam batin kita. Dengan hidupnya Paugeran itu di dalam batin kita, maka akan mengalirlah sih anugerah Tuhan, akan menjadi tali pengubung yang kukuh antara hamba dengan Tuhan, sehingga kita tidak mudah tergoyahkan oleh silap maya pesona dunia.

9. Kunci Ketenteraman Abadi
Dalam buku Ulasan Kang Kelana (1990:110) dinyatakan bahwa “Paugeran Suksma Kawekas bila dirasakan dengan sungguh-sungguh adalah kunci untuk memasuki ketenteraman abadi, yang lazimnya disebut surga. Suasana di dalam Tripurusa ialah suasana bebas dari segala pergolakan dan pergantian, perubahan. Selama di dalam kandungan Tripurusa tidak pernah ada rasa bimbang dan was-was, gembira-sedih, gelap-terang. Yang mengalami berganti-ganti perasaan dan pikiran itu adalah alat-alat badan jasmani, seperti angan-angan, perasaan, dan nafsu-nafsu. Di dalam Tripurusa belum terdapat badan jasmani, maka Roh Suci itu bebas dari segala pengalaman badan jasmani.”
Pengalaman badan jasmani yang dirundung suka duka, seperti menderita sakit, hidup dalam kesengsaraan dan papa, berbagai musibah dan kemalangan beruntun menimpa diri kita, serta hal-hal lain yang merasakan gembira-sedih, was khawatir, dan gelap-terang itu hanya sebatas alat-alat badan jasmani, seperti angan-angan, perasaan, dan nafsu-nafsu. Roh Suci kita sebenarnya tidak akan terpengaruh oleh keadaan dan perubahan badan jasmani ini, karena Roh Suci berada dalam kandungan Tripurusa. Hanya rasa dan perasaan kita yang tergoyahkan oleh pelbagai pengalaman alat-alat badan jasmani. Oleh karena itu, apabila berkehendak memperoleh kunci untuk memasuki ketenteraman abadi, kunci surga, segeralah memperasakan sungguh-sungguh makna Paugeran Tuhan kepada hamba, menghidupkan Paugeran di dalam batin kita.

10. Menyelamatkan Perjalanan Dunia Akhirat
Sudah mengerti akan tujuan makna Paugeran Tuhan kepada hamba dapat menyelamatkan perjalanan kita dari dunia sampai ke akhirat, yakni dari pondok dunia sampai di desa akhirat. Hal ini disabdakan oleh Sang Guru Sejati dalam Sasangka Jati, Tunggal Sabda, Bab Keadaan Sabda Abadi dan Terbabarnya: “Apabila manusia sudah mengerti akan tujuan makna syahadat, yang sejatinya mengajarkan tentang bertunggalnya Tripurusa (Suksma Kawekas—Suksma Sejati—Roh Suci), sekalipun ia masih berada di tataran bawah, juga sudah lebih selamat lakunya dari pondok dunia ke desa akhirat, apabila benar-benar menaati perintah dan menjauhi larangan Tuhan” (Sasangka Jati, 2006:68).
Syarat memperoleh kunci surga, kunci ketenteraman abadi yang “sudah mengerti akan tujuan makna syahadat” itu haruslah disertai dengan “benar-benar menaati perintah dan menjauhi larangan Tuhan”. Dalam buku Ulasan Kang Kelana (1990:110) dietegaskan bahwa “Apabila Paugeran Suksma Kawekas dijalankan dengan sadar, percaya, dan taat, akan menyelamatkan kita di dalam perjalanan di dunia dan di akhirat. Dengan menyembah Suksma Sejati dalam jurusan yang benar, kita menghindarkan diri dari segala godaan. Sang Suksma Sejati menebus dosa kita dan kita dapat ikhlas meninggal dunia.”
Satuhu.


1 comment:

Pertemuan 15 Teori Sastra Tempatan