Sunday, 23 November 2014

MEMAHAMI MAKNA TUNGGAL SABDA


MEMAHAMI MAKNA TUNGGAL SABDA
(Olah Rasa Ranting Bekasi, 10 April 2011)

          Semoga keselamatan, kesejahteraan, ketentraman, serta kebaha­giaan selalu meliputi Bapak, Ibu, dan Saudara-saudara para warga Paguyuban Ngesti Tunggal, baik yang masih dalam tataran calon-calonnya siswa, calon siswa, maupun yang sudah meningkat naik mencapai derajat siswa Sang Guru Sejati, oleh karena kasih, tuntunan, pepadang, daya kekuatan lahir batin, dan lindungan Suksma Sejati, Utusan Tuhan Sejati yang Abadi, Penuntun Sejati, serta Guru Dunia dan Akhirat.
          Bapak, Ibu, dan Saudara-saudara, siswa-siswi Sang Guru Sejati yang suka berbahagia dan berbudi luhur, yang senantiasa berbakti kepada Tuhan Sejati dan Utusan-Nya yang abadi, ialah Suksma Sejati, Guru sekalian umat di dunia dan di akhirat nanti, pada hari ini, Minggu, 10 April 2011, Olah Rasa Ranting Bekasi yang ke 154, saya berdiri di mimbar ini bukan berarti saya sudah mumpuni terhadap Ajaran Sang Guru Sejati, saya belum ada apa-apanya, apa yang saya lakukan hanya belajar menaati dan sebagai tanda atau wujud rasa bakti, mengabdikan diri kepada Suksma Sejati untuk memuliakan ajaran, wejangan, tun­tunan, dan pepadang-Nya bagi seluruh warga Pagu­yuban Ngesti Tungggal yang suka berbahagia.
          Pertemuan olah rasa pada hari ini, kita mencoba ber­sama-sama mengolah-rasakan bab “Tunggal Sabda”. Meng­apa dipilih tema Tunggal Sabda? Ada beberapa alasan yang mendorong saya mengolahrasakan bab “Tunggal Sabda”
  1. Tunggal Sabda merupakan bagian yang tidak terpisah­kan dari pustaka suci Sasangka Jati, pustaka suci pe­gangan hidup kita sehari-hari bagi para warga Pagu­yuban Ngesti Tunggal. Apabila kita membuka pusta­ka suci Sasangka Jati, tempat bab “Tunggal Sabda” berada di tengah-tengah, menempati posisi center. Tentu Sang Guru Sejati mempunyai maksud dan tuju­an mengapa “Tunggal Sabda” ditempatkan pada po­si­si tengah? Apakah karena “Tunggal Sabda” meru­pa­kan wejang­an ke-4 dari Sang Guru Sejati kepada siswanya R. Soenarto Merto­wardojo dari tujuh we­jangan pokok? Bagian awal dan akhir bab “Tunggal Sabda” dicatat oleh R.T. Hardjoprakoso dan R. Trihardono Soemo­dihardjo serta dibe­ri pengantar, dan ular-ular oleh Juru Mengeti, oleh keduanya. Ada­pun “bagian inti” “Tunggal Sab­da”, dicatat langsung oleh Bapak R. Soenarto Mertowardojo sendiri, si penerima dan perantara sab­da dari Suksma Sejati, yaitu bab Intisari Injil dan Intisari Alquran.
  2. “Tunggal Sabda” turun pada tahun 1932 dan selesai pencatatannya pada bulan Desember 1932. Oleh Juru Mengeti dikatakan “sekalipun buku ini (Tunggal Sab­da) dapat dianggap sebagai pembelajaran berat (pasi­naon awrat), yang dapat menimbulkan keraguan, na­mun apabila tidak disertai persangkaan yang tidak baik, Insya Allah orang akan dapat memberi pertim­bangan yang tepat serta putusan akal budi yang murni”. Berdasarkan catatan Juru Mengeti ini berarti “Tunggal Sab­da” merupa­kan pembelajaran yang berat dan harus dengan diser­tai etiket baik, serta harus ada izin Allah ketika mempelajarinya. Karena di sini ada kata Insya Allah (artinya: apabila Allah mengizinkan, memperkenankan). (Lihat juga Arsip Sarjana Budi Santosa nomor 33, hlm. 25, tentang 99% transpirasi (usaha, kerja keras) dan 1 % inspirasi (sih anugerah Sang Guru Serjati).
  3. Dalam bab “Pambuka” Juru Mengeti menyatakan “Tumprap ingkang dereng mangertos, sinten ingkang kita sebut Sang Guru Sejati punika, tuwin ingkang mboten pitados, saha ingkang dereng saged nampi pepadhangipun Sang Guru Sejati ingkang sumorot ing telenging sanubarinupun ingkang sunuci, saget ugi mastani bilih isinipun serat punika namung pituduh ingkang ngayawara, saha saget ugi cengkah kalayan piwulang-piwulang suci ingkang sampun sumebar ing saindenging jagat raya punika.” (Bagi mereka yang belum mengerti, siapa yang disebut Sang Guru Sejati, dan bagi mereka yang tidak percaya, serta bagi mereka yang belum dapat menerima pepadang Sang Guru Sejati yang bersinar di pusat hati sanubarinya yang suci, mereka itu dapat juga beranggapan bahwa isi buku ini hanya petunjuk yang melantur, dan dapat juga dianggap bertentangan dengan ajaran-ajaran suci yang telah tersebar di seluruh jagat raya ini). Oleh karena itu, Sang Guru Sejati bersabda: “Ketahuilah engkau siswa-Ku! Bahwa kedatangan-Ku ini bukan karena hendak merusak atau mengganti peraturan Tuhan yang telah ada, yaitu yang lazimnya disebut agama, dan aku juga tidak hendak mendirikan agama baru”. Arti kata “agama” berdasarkan kamus: “ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya” (KBBI, 2001:12). Makna agama menurut juru mengeti: “piwulang suci” (ajaran suci), menurut Sang Guru Sejati: “pranataning Pangeran” (peraturan Tuhan). Menurut Qurais Sihab agama harus memenuhi syarat: C-5: (1) Credo (pernyataan kepercayaan/ keyakinan pada dasar tuntunan hidup, ikrar ketuhanan: syahadat tauhid), (2) Cultus (penghormatan resmi di dalam agama: rasulullah, nabi), (3) Citab (wahyu Tuhan yang dibukukan, kitab suci Taurat, Zabur, Injil, Alquran), (4) Comunitas (kelompok organisme yang hidup saling berinteraksi, umat, pengikut), dan (5) Ceremoni (upacara keagamaan: persembahyangan, pernikahan, kematian, dll.). Ajaran Sang Guru Sejati memiliki Paugeran, Paranpara (tidak boleh mengkultuskan Pakde Narto: Sabda Khusus 11:8 “Nanging, kadangira Soenanrto aja sira puja-puja lan aja sira anggep kaya dewa. Kadangira Soenarto tetap anggepen kadangira tuwa utama wong tuwanira” (Akan tetapi, saudaramu Soenarto hendaklah jangan engkau puja-puja dan jangan engkau anggap seperti dewa. Saudaramu Soenarto hendaklah tetap engkau anggap sebagai saudara tua atau orang tuamu), Pustaka Suci Sasangka Jati, Paguyuban, dan tidak memiliki sejumlah seremoni, hanya ada tata upacara olah rasa, tata upacara pelantikan anggota baru, tata cara peringatan hari pepadang, dan lain sebagainya.
  4. Selanjutnya, “Pangajeng-ajeng” dari Pakde Narto dalam pengantar Tunggal sabda dikatakan demikian: Dengan terbabarnya “Tunggal Sab­da” diharapkan da­­­pat menyingkap (membuka) kegelapan yang meli­puti hati, se­hingga dapat menerangi bagi mereka yang ber­jalan di jalan masing-masing menuju ke kesem­pur­naan hidup sejati. Dengan demikian, harap­an mulia atas terbabarnya Serat Tunggal Sabda ini agar dapat men­jadi suluh (penerang, obor, lampu, pencerahan) yang bermanfaat se­kali di kalangan mereka yang berusaha mencapai Kasunya­tan bagi yang membu­tuh­kan pepadang.

          Bapak, Ibu, dan Saudara-saudara para warga Pagu­yuban Ngesti Tungggal yang suka berbahagia karena dekat dengan Sang Guru Sejati.
          Apa arti kata “Tunggal Sabda” itu? “Tunggal Sabda” merupakan dua patah kata yang dirangkaikan menjadi satu kata sebut, yaitu dari kata tunggal dan kata sabda. Kata tunggal merupakan kata bilangan, bermakna: satu-satunya, tiada duanya, bukan jamak, utuh, bulat, atau menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan (awor dadi siji utawa padha jinise). Adapun kata sabda, dalam ilmu bahasa disebut nomina atau kata benda, bermakna: kata, perkataan, suara, ucapan, titah, ka­lam, atau firman (gunem, swara, dhawuh pangendika, tetem­bungan). Dengan demikian, makna dari kata sebut “Tunggal Sabda” yang terukir dalam pustaka suci Sasangka Jati itu dapat diartikan: satu titah, satu kalam, satu perkataan, atau satu firman Tuhan kepada hambanya di seluruh dunia sejak zaman dahulu kala hingga sekarang keadaannya tetap, sama dan sebangun, tidak berubah, dan hanya satu-satunya yang bersifat abadi.
          Dalam buku Ular-ular Juru Mengeti Bab II, Bab Tunggal Sabda, dijelaskan bahwa padanan kata “sabda” da­lam bahasa Yunani itu adalah “logos”, dalam bahasa Arab “lo­gat”, yang dapat diartikan lebih dalam lagi sebagai “Kalamullah” (Sabda Pangandikaning Allah). Juru Mengeti juga mengacu pada Alkitab, Perjanjian Lama, Genesis (Kitab Kejadian), yang menerangkan bahwa terjadinya alam semesta seisinya itu juga atas kebijaksanaan Sang Sabda, yaitu Sabda Pangandi­kaning Allah Yang Mahakuasa, misalnya dalam Kejadian 1 ayat 3, “Allah bersabda: ‘Jadilah terang’, lalu ada terang”, dan seterusnya. Kalau diibaratkan tanaman itu hanya ada “Satu Pohon”, seperti pohon kelapa, yang tumbuh lurus.
          Ular-ular Juru Mengeti juga mengacu pada Alkitab Perjanjian Baru, Johanes 1 ayat 1—4, yang berbunyi “Pada mu­lanya, sebelum dunia dijadikan. Sabda sudah ada. Sabda itu ber­sama Allah, dan Sabda sama dengan Allah. Sejak semula Sabda bersama Allah. Segalanya dijadikan melalui Sabda, dan dari segala yang ada tak satu pun dijadikan tanpa Sabda. Sabda itu sumber hidup, dan hidup memberi terang kepada manusia. ... Sabda ada di dunia, dunia dijadikan melalui Sabda.” Dalam kata “Pengantar” kitab Yohanes (Alkitab, 1993:169) di situ dikatakan bahwa Sabda itu keadaannya abadi, tetap keadaannya dari dahulu hingga sekarang, tidak berubah.
          Selanjutnya, Ular-ular Juru Mengeti juga mengacu da­lam Alquran bahwa Sabda Pangendikaning Allah itu tidak terbatas pada awal terjadinya alam semesta seisinya, tetapi juga ketika hendak menjadikan sesuatu apa pun Tuhan tinggal menyabdakan “kun fayakun” (Jadilah, maka terjadi­lah ia). Sesungguhnya ucapan itu merupakan kalam Allah yang ditujukan kepada sesuatu dengan kehendak untuk mewujudkan atau menjadikannya ‘tercipta’, seperti pencip­ta­an langit dan bumi (Surat Al-Baqarah:117; Al-An’aam:73; Yaasiin:81–82), membangkitkan orang mati menjadi hidup kembali atau menghidupan dan mematikan makhluknya (Su­rat An-Nahl: 38–40; dan Surat Al-Mukmin: 67–68), kela­hiran Nabi Isa melalui Maryam yang tanpa sen­tuhan se­orang lelaki (Surat Ali Imran: 47), dan perumpa­maan pen­ciptaan Nabi Isa yang tidak ubahnya seperti pencip­taan Nabi Adam (Surat Ali Imran:59). Dalam ensiklopedi Islam dika­takan bahwa terjemahan kata “kun” yang paling tepat ada­lah exist, ‘nyatalah’ (nyata tenan). Sebab apa yang terkandung dalam ka­lam Allah itu merupakan sebuah gerakan menuju ke eksis­tensi atau kenyataan yang bersumber dari kehendak Allah untuk mewujudkan sesuatu hal hingga terbentuk atau ter­wujudlah kehendak-Nya itu.
          Bapak, Ibu, dan Saudara-saudara para warga Pagu­yuban Ngesti Tungggal yang suka berbahagia.
          Siapakah sebenarnya Sang Sabda itu? Pertanyaan ini bukan hanya kita saja yang ingin mengetahui siapa Sang Sab­da itu, melainkan juga pernah dilontarkan dalam hati ke­tika Pakde Narto pertama kali menerima Sabda Pratama: “Siapakah gerangan yang menyampaikan sabda tadi?” (Sinten ba­ya ingkang paring sabda pangendika punika wau?). Kemudian Sang Guru Sejati mem­beri jawaban: “Aku, Suksma Sejati, yang menghidupi selu­ruh semesta alam seisinya, bersinggasana di sega­la sifat hidup. Aku Utusan Tuhan yang abadi, yang menjadi Pa­nutan, Penuntun, Guru kamu yang sejati ialah Gurunya Jagat”. (Ingsun Suksma Sejati, kang nguripi sagung dumadi, jumeneng ing kabeh sipat urip. Ingsun Utusaning Pangeran kang langgeng, kang dadi Panutan, Panuntun, Gurunira kang Sejati, iya Guru­ning Jagat).
          Dengan demikian, sejak awal Sang Sabda telah mem­per­kenalkan diri sebagai Suksma Sejati, Utusan Tuhan yang abadi, Panutan-Penuntun-Guru sejati sekalian umat-Guru­nya Jagat, yang bertahta di segala sipat hidup, dan yang menghidupi selu­ruh semesta alam seisinya. Dalam Ular-Ular Juru Mengeti dinyatakan bahwa Sang Sabda itu juga Sang Kristus, juga Putra Allah, juga Nur Muhammad, atau juga Nur-Dattullah. Bahkan Ular-ular Juru Mengeti dalam Bab VI menulis tersendiri tentang Nur Muhammad dalam bentuk tembang macapat, asmaradana, sebanyak 21 bait, yang meng­acu pada Hadis yang diriwayatakan oleh sahabat Jabir.
Dalam Sasangka Jati bab “Tunggal Sabda” secara gam­blang dijelaskan bahwa Sabda Langgeng adalah Pangandika­ning Allah yang berisi Petunjuk Rahayu = Benar yang me­muat berbagai kebijaksanaan dan berintikan syaha­dat tauhid sebagai bakuning piandel atau bebundelaning tekad. Sang Sabda itu disebut pula Sejatining Muhammad, Nur Muhammad, Nur Dat Allah, Sejatining Jesus, Kristus, Sang Putra, Putra­ning Allah, Sejatining Rasul Allah, Sejatining Utusan Kang Langgeng, Cahya Kang Pinuji, Sipating Pangeran Kang Kababar/Gumelar, Suksma Sejati, Guru Sejati, Guru Jagat, Kang pra­bane tan kena kinaya ngapa, rumesep ing dalem kaanan tunggal, kang dadi pusere urip saka pirang-pirang cahya iman (piandel), kang sumimpen ing telenging ati suci, Sang Pepadang, Cahyaning Pangeran.
Sementara itu, dalam Sabda Khusus Nomor 5 alinea 3, Sang Sabda itu disebut juga Malaikat Jibril: “Keta­huilah, se­sung­­guhnya yang disebut Jibril itu adalah Sang Sabda. Adapun Sang Sabda itu sudah bersemayam dalam diri Muham­mad, ialah yang disebut Nur Muhammad. Sang Sabda itu keku­asaan Allah, yaitu Rasulullah, dan Sang Sabda itu ialah Allah yang terbabar, yakni sifatnya Allah” (Wruhanira, seja­tine kang sinebut Jibril iku Sang Sabda. Dene Sang sabda mau wus dumu­nung ing Muham­mad, iya kang sinebut Nur Muham­mad. Sang Sabda iku pangu­wa­saning Allah, iya Rasullullah, lan Sang sabda iku Allah kang gumelar, iya sipating Allah).
          Itulah sebabnya Sang Guru Sejati dalam Tunggal Sab­da menyatakannya bahwa “terbabarnya Sabda Abadi, yaitu Sabda Tuhan yang menjadi peraturan baku atau intisari petunjuk rahayu yang benar, kepada para hamba semua, yang sejak dahulu kala sudah tetap ajeg seperti itu hingga sampai sekarang dan kelak kapan pun tidak pernah berubah. Sebab Tuhan Sejati (Allah Taala) itu hanya satu, meskipun terbabarnya dalam kata-kata (bahasa) di dunia berbeda-beda, tetapi maknanya (hakikatnya) tetap sama saja dengan Sabda yang telah jauh di masa silam. Intinya agar selamat sampai ke akhirat”. Dalam subbab berikutnya Sang Guru Se­jati menjelaskan bahwa “perbedaan peraturan (syariat) yang dilaksanakan itu sudah dengan kebijaksanaan Tuhan, selaras dengan dasar kodrat bangsa masing-masing yang disesuaikan dengan za­man terjadinya.”
          Bapak, Ibu, dan Saudara-saudara para warga Pagu­yuban Ngesti Tungggal yang suka berbahagia. Marilah kita re­nungkan apa sebenarnya isi pokok Sabda wejangan Sang Guru Sejati yang termaktub dalam bab “Tunggal Sabda”.
Sabda wejangan Sang Guru Sejati yang termaktub da­lam serat “Tunggal Sabda” itu maknanya memberi suluh ke­pada mereka yang percaya kepada-Nya. Adapun suluh tadi apabila diperinci pokok-pokoknya sebagai berikut.
  1. Menunjukkan jalan benar, yakni jalan utama yang me­nuju ke kesejahteraan serta ketenteraman abadi (Ka­su­nyatan Jati).
  2. Menunjukkan jalan simpangan yang menuju ke arah Kiri, yakni jalan yang menuju  ke alam para cidra (Alam Kadewataan).
  3. Mengingatkan kepada para umat yang masih ragu-ragu dalam hati atau yang masih tipis kepercayaan­nya (imannya), bahwa agama Islam dan agama Kris­ten itu benar-benar agama yang berasal dari Tuhan (Allah), serta kitab suci Alquran dan kitab suci Injil itu terbabarnya benar-benar berasal dari Wahyu Allah, yang wajib dijunjung tinggi serta dilak­sanakan oleh semua umat.
  4. Bahwa kitab suci tersebut di atas itu apabila diambil intisari atau patinya, dalam hal kesunyataannya sama maknanya, artinya sama-sama berisi petunjuk rahayu yang benar-benar berasal dari Allah.

Sang Guru Sejati “Menunjukkan jalan benar, yakni jalan utama yang menuju ke kesejahteraan serta ketentraman abadi (Ka­su­nyatan Jati)”. Kata kasunyatan berasal dari kata nyata atau sunya. Kata nyata berpadanan dengan kata temen, sejati, te­men­an, pancen temenan [sungguh, sejati, sesungguhnya, memang sunguh-sungguh] (Sudaryanto, 2001:704). Semen­tara itu, kata sunya berpadanan dengan kata sonya (Sudar­yanto, 2001:980) berarti ‘suwung, sepi’ (kosong, sunyi). Dalam “Tunggal Sabda” ini yang dimaksud dengan kasunya­tan tidak sama artinya dengan ‘kenyataan hidup sehari’ atau ‘realitas hidup’. Pemahaman kata kasunya­tan dalam Tunggal Sabda itu adalah ‘hakikat’ (kenyataan yang se­sungguhnya) atau ‘hakiki’ (benar, sebe­nar-benarnya). Adapun kata Kasunyatan-Jati dipahami seba­gai ‘kebenaran makrifat’ atau ‘kebenaran peng­alam­an spi­ritualnya menyaksikan mahligai Tuhan (baitullah) di pusat sanubari hidup’. Ini jelas merupakan implimentasi dari Sabda Pratama tentang ilmu sejati atau “ilmu kasunyatan”, yaitu Sabda yang pertama, yang berbunyi: “Ketahuilah! Yang disebut Ilmu Sejati itu Petunjuk yang nyata, yaitu petunjuk yang menunjukkan Jalan Benar, ja­lan yang sampai pada asal dan tujuan Hidup” (Wruhanira! Kang diarani Ilmu Sejati iku Pituduh kang Nyata, yaiku pitu­duh kang nuduhake dalan be­ner, dalan kang anjog ing sang­kan paraning Urip). Di sini jelas bahwa yang dimaksud dengan kasunyatan jati itu adalah ‘sangkan paraning Urip’. Sementara itu, dalam Bawa Raos ing Salebeting Raos (Bab XVII “Kahanan Wong Kang Wus Tumeka ing Kasunyatan Jati” dan Bab XVIII “Tundha-tun­dhaning Drajat Tumrap Para Marsudi (nggayuh) Kasunyatan Jati”) yang dimaksud dengan kasunyatan jati adalah “sam­purnaning panunggal” atau “derajat luhur”.
Adapun pokok ilmu yang tersimpan di dalam “Ilmu Sejati” ialah “ilmu asal dan tujuan hidup” itu disebut Hastha Sila, yaitu Panembah Batin Delapan Perkara. Hastha Sila terdiri atas dua bagian, yaitu Tri Sila dan Panca Sila. Tri Sila itu Panembahnya Hati dan Cipta tiga perkara kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Tri Sila juga mewujudkan kesanggupan besar yang perlu sekali dilaksanakan di dalam setiap harinya, yaitu manusia harus senantiasa Sadar, Percaya, dan Taat kepada Tuhan yang mengusai semesta alam seisinya.
Agar dapat sempurna manusia melaksanakan kesanggupan besar tiga perkara tersebut, manusia wajib berusaha agar dapat memiliki watak utama atau perbuatan kebajikan lima perkara, yang disebut Panca Sila, yaitu Rela, Narima, Jujur, Sabar, dan Budi Luhur.
Adapun sebagai tangga untuk dapat mencapai watak Panca Sila, manusia harus berjalan di Jalan Rahayu ialah yang disebut juga dengan Panca Darma Bakti, yaitu:
  1. Meresapkan Paugeran Tuhan kepada hamba.
  2. Melaksanakan Panembah, sebagai tanda bakti dan tali kesadaran.
  3. Melaksanakan Budi Darma, yaitu membabarkan rasa kasih sayang kepada sesama makhluk.
  4. Mengendalikan Hawa Nafsu yang menuju ke perbuatan yang tercela.
  5. Berusaha untuk dapat menetapi derajat Budi Luhur.
Selain daripada itu, setiap manusia wajib berusaha jangan sampai menerjang Larangan Tuhan yang Mahakuasa, yang disebut dengan Paliwara.
Adapun yang menjadi Larangan Tuhan yang Mahakuasa kepada manusia itu ada lima perkara, yaitu:
  1. Jangan menyembah selain kepada Allah.
  2. Berhati-hatilah terhadap hal syahwat.
  3. Jangan makan atau mempergunakan makanan yang memudahkan cepat rusaknya badan jasmani dan budi pekerti.
  4. Patuhilah Undang-undang Negara dan peraturannya.
  5. Jangan berselisih atau bertengkar.
“Pepadang, ialah Sabda Wejangan-Ku sebarluaskanlah dan berikanlah kepada siapa saja, laki-laki perempuan, tua muda, dengan tidak membeda-bedakan jenis bangsa dan derajat, yang membutuhkan Pepadang dan Tuntunan-Ku. Akan tetapi, Ingat! Jangan sekali-kali disertai dengan paksaan dan pamrih apa pun.” Di sini kita diberi amanat oleh Sang Guru Sejati untuk bertindak sebagai siswa utama (berniat mengajak menyiswa kepada siapa saja) dan selanjutnya bertindak sebagai siswa purnama (kesadaran untuk menyebarluaskan Sabda Wejangan Sang Guru Sejati). Syair Pakde Narto untuk Siswa Purnama:

Harapan Pak Narto untuk para Siswa Purnama

Sepasang burung merpati
Hidup tentram dan damai
Saling cinta-mencintai
Cinta sayang nan Sejati
Seia sekata sehidup semati
Melaksanakan tugas nan luhur dan suci
Menaburkan Pepadang Sabda Sang Guru Sejati
Kepada semua insani.

          Laksana pohon kelapa
          Hidup tegak sentosa dan jaya
          Berjasa untuk Nusa dan Bangsa
          Dan Negara Republik Indonesia nan merdeka
          Menerima anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa
          Menjadi penegak Pangestu di Surakarta
          Itulah doa restu harapan Pak Narto
          Yang sangat cinta kepada putra-putranya
          Siswa Purnama dari Surakarta
          Dan dari seluruh Nusantara

                             “Satuhu”

Kemudian pelaksanaan dari ilmu sejati dalam tindakan kita sehari-hari ketika melakukan:
  1. “Intisari Panembah”: “Duh, Suksma Sejati, Penun­tun serta Guru hamba yang sejati, hamba mohon semoga Paduka berkenan menuntun hamba berja­lan di Jalan Benar (margi leres), ialah Jalan Uta­ma (margi utami), yang berakhir dalam kesejahte­raan, ketentramaan, dan kemualiaan abadi ialah di hadirat Tuhan Sejati”.
  2. “Intisari Panembah untuk Kese­jah­teraan Umat”:  “Duh, Suksma Sejati, Penun­tun serta Guru hamba yang sejati, ialah Guru Dunia, hamba mohon se­mo­ga Paduka berkenan menuntun semua umat ber­ja­­lan di jalan benar (margi leres), ialah jalan uta­­ma (margi utami), yang berakhir dalam kesejah­te­raan, keten­traman, dan kemualiaan abadi ialah di hadirat Tuhan Sejati”.
  3. “Pangesti Kesejahteraan Negara”: “Duh, Tuhan, ham­ba mohon semoga Tuan berkenan memberi pepadang dan tuntunan kepada bangsa kami agar bangsa kami berjalan di jalan benar (margi leres), ialah jalan uta­ma (margi utami) yang berakhir dalam kesejahteraan, ketentraman, dan kemuliaan abadi”.
  4. “Pangesti II, Mohon Tuntunan”: “Duh, Suksma Se­jati, Penun­tun serta Guru hamba yang sejati, ham­ba mo­hon semoga Paduka berkenan menuntun ham­ba berja­lan di jalan benar (margi leres), ialah jalan uta­ma (margi utami), yang berakhir dalam kesejahte­raan, ketentramaan, dan kemualiaan aba­di ialah di hadirat Tuhan Sejati”; dan tentu saja disempurnakan dengan melaksanakan:

“Panembah”, “Dasa Sila”, “Jalan Raha­yu”, menja­uhi “Paliwa­ra”, dan melaksanakan “Hasta Sila” seba­gai laku kita hidup sehari-harinya sehingga dicapai derajat luhur [lihat ORDR, Bab XVII, halaman 32—35].
Bapak, Ibu, dan Saudara-saudara para warga Pagu­yuban Ngesti Tungggal yang suka berbahagia.
Dalam “Tunggal Sabda” Sang Guru Sejati menunjuk­kan jalan benar, yaitu jalan utama yang berakhir dalam kesejah­teraan dan ketentraman abadi itu terdapat dengan jelas melalui Bab I, “Petunjuk-petunjuk Benar dari Sang Gu­ru Sejati”, yang meliputi:
(1)   Keadaan Sabda Abadi dan Ter­babarnya,
(2)   Kewajiban Utusan, Tinggi Rendah Derajat, dan Kewa­jiban Hamba,
(3)   Aneka Macam Utusan di Dunia,
(4)   Intisari Sabda Abadi yang Tersimpan dalam Kitab Suci Injil, dan
(5)   Intisari Sabda Abadi yang Tersimpan dalam Kitab Suci Alquran.
Bagian Bab I dari “Tunggal Sabda” itu juga di­maksudkan oleh Sang Guru Sejati untuk mengingatkan bagi para umat yang masih ragu-ragu ataupun yang masih tipis imannya bahwa agama Islam dengan kitab sucinya Alqur­an dan agama Kristen dengan kitab sucinya Injil sung­guh-sung­guh berasal dari wahyu Allah, agama samawi.
Sementara itu, Bab II dari Tunggal Sabda, “Lanjutan Ajaran Sang Guru Sejati” yang meliputi: (1) Jagad Kedewa­taan dan Keadaannya, (2) Jalan Yang Gawat, dan (3) Ke­adaan Pranata Kedewataan, Tinggi-Rendahnya Derajat, Pemerintahan, dan Pemerincian Pekerjaannya, dimaksudkan oleh Sang Guru Sejati sebagai paparan tentang Jalan Sim­pangan, jalan yang menuju ke arah kiri. Dalam kitab-kitab suci sebelumnya, Injil dan Alquran, bahkan Taurat dan Zabur, tidak dipaparkan secara gamblang dan jelas tentang Jagat Kedewataan itu. Memang dalam Alquran ada Surat Al-Jin (Surat ke-72, sebanyak 28 ayat), dan dalam dunia Islam itu juga berkembang eskatologi, yaitu ajaran teologi mengenai akhir zaman, seperti hari kiamat, kematian, dan kebangkitan manusia dari alam kubur. Tentang akhir zaman atau hari kiamat ini memang dalam Alquran dinyatakan dalam Surat ke-78, An-Naba (Berita Besar), 40 ayat. Semuanya masih samar-samar dan tidak jelas, karena penuh kias, banyak tafsir.
Hadirnya “Tunggal Sabda” ini Sang Guru Se­ja­ti mempertegas, memperjelas, lebih memerinci dan lebih menggamblangkan ten­tang makhluk yang berbadan anasir api dalam Bab II. Adapun tentang eskatalogis seperti yang berkembang dalam dunia Islam itu Sang Guru Sejati mem­perjelasnya dalam Bab “Sangkan Paran”, dan Pakde Narto menjelaskan pula lewat tembang macapat megatruh “Sukma Ngumbara” dalam buku Bowo Raos Ing Salebeting Raos.
Adapun “Tunggal Sabda” berada di tengah-tengah dalam satu kesatuan pustaka suci Sasangka Jati dimaksudkan sebagai pesemon/kiasan “barang siapa yang ingin bertemu dengan Sang Sabda yakni Suksma Sejati di mahligai suci, ing telenging batosipun piyambak-piyambak, iya ana ing telenging sa­nu­barine, iya kang sumimpen ing telenging ati suci”. Sang Sabda, ya Sang Guru Sejati, bersinggasana di pusat hati sanubari, di dalam kalbu mukmin baitullah. Siapa pun yang dapat sampai ke pusat hati sanubari-Nya, yang dapat mengalihkan titik berat kesadarannya ke dalam kalbu mukmin-Nya, dijamin dapat bertunggal dengan Sang Sabda. Sang Sabda hanya Satu, Esa, Tunggal, tiada duanya, bersifat Abadi, kekal, langgeng, tetap tidak berubah berganti, suci, penuh kasih, dan juga adil.
SATUHU

Catatan:
Kata cidra dalam Kamus Pepak Bahasa Jawa (2001:168) berari ‘ora setya’, ‘ora netepi janji’ utawa ‘mblenjani janji’, ‘pangapus’, ‘krenah’, ‘pitenah’, ‘luput’, utawa ‘klreru’, dalam terjemahan yang sudah umum digunakan kata culas, mungkar, pendusta; dalam istlah Pakde Soemodihardjo: silap pesona maya dunia.
Kata rahayu atau raharja (dalam Kamus Bahasa Jawa-Bahasa Indonesia II, Sri Nardiati et al, 1993: 188) padan­annya: slamet artinya ‘selamat’.
          Kata rahayu atau raharja (dalam Kamus Praktis Jawa-Indonesia, L. Mardiwarsito et al, 1985: 262) artinya ‘selamat’; ‘sejahtera’.
          Kata selamat dalam bahasa Indonesia berarti : (1) ‘terhindar dari bencana’; ‘aman sentosa’; ‘sejahtera’; ‘tidak kurang suatu apa’; ‘sehat’; ‘tidak mendapat gangguan, kerusakan, dan sebagainya’; ‘beruntung’; ‘tercapai maksud dan tujuannya’; dan ‘tidak gagal’; (2) doa; (3) ucapan yang mengandung harapan supaya tidak kurang suatu apa; (4) untuk persalaman mudah-mudahan dalam keadaan baik, sehat walafiat (KBBI, 1988: 798).
Sedangkan kata keselamatan berarti ‘perihal (keadaan dan sebagainya) selamat’; ‘kesejahteraan’; ‘kebahagiaan’ (KBBI, 1988: 799).
Kata sejahtera ‘aman sentosa dan makmur’; selamat (terlepas dari segala macam gangguan, kesukaran, dan seba­gainya) (KBBI, 1988: 794). Kata kesejahteraan ‘keamanan’, ‘keselamatan’ ‘keten­traman’, ‘kesenangan hidup dan seba­gai­nya’, ‘kemakmuran’ (KBBI, 1988: 794)
Kata rahayu dalam Kamus Pepak Bahasa Jawa (Editor Sudarjanto dan Pranowo, 2001: 871) artinya: ‘slamet’, ‘begja’, ‘luput ing kacilakan lan kangsangsaran’.
Kata slamet dalam Kamus Pepak Bahasa Jawa (Editor Sudarjanto dan Pranowo, 2001: 966) artinya: (1) ‘ara ana sa­kara-kara’; (2) ‘luput ing bebaya, kacilakan, lan sapanung­gal­ane’. Dene tembung ‘keslametan’ tegese ‘keamanan tumrap jasmani lan rohani’.


1 comment:

  1. Salam karahayon.

    Perkenalkan, saya Tri Permadi, 45th, bekerja sebagai CSR Officer PT. Petrosea, Tbk untuk Proyek PT. Kideco Jaya Agung di Batu Kajang, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, warga Pangestu Cabang Wonosobo, rumah di Banguntapan-Bantul. Siklus tempat tinggal saya 6 minggu di lokasi kerja dan 2 minggu tinggal bersama keluarga di Bantul.

    Melalui web ini mohon ijin berkenalan dan mohon berkenan untuk berkomunikasi menggunakan telpon, SMS, What App dan atau menggunakan E-mai.

    Sebagai warga Pangestu saya termasuk pasif mengikuti Olah Rasa, karena di Batu Kajang kami jauh dari pengurus cabang Pangestu.

    Saya pernah menulis buku kumpulan puisi yaity (1) Mencari Bintang dan (2) Hadiah Terindah, keduanya diterbitkan dan dipasarkan online oleh pihak nulisbuku.com.

    Saat ini sedang mencoba menekuni hidroponik, harapannya bisa menjadi aktifitas tambahan kami dan bisa menjadi media turunnya sih rejeki dari Tuhan yang maha esa.

    Membaca pengalaman kerja dan banyaknya aktifitas yg pernah ditekuni, saya tertarik untuk berkenalan. Siapa tahu ada sih kemurahan hati untuk membimbing saya dalam hal berkarya maupun dalam menyiswa kepada Sang Guru sejati.

    Demikian kami sampaikan.
    Terima kasih banyak.
    Salam kenal.
    Tri Permadi.
    HP : 0813 2800 4208
    Email : tripermadi2@gmail.com; tri.permadi@petrosea.com

    ReplyDelete

Pertemuan 15 Teori Sastra Tempatan