Pengantar
Pada 24—29 September 2014 saya berkunjung ke
Palangkaraya, Kalimantan Tengah, dalam rangka pencarian data penelitian cerita asal-usul
masyarakat Kalimantan Tengah. Disela-sela pencarian data itu saya mendengar
kabar bahwa bapak Makmur Anwar, tokoh sastra Kalimantan Tengah 2008 yang
dinobatkan oleh Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah, menderita sakit. Lalu,
pada hari Sabtu, 27 September 2014, saya berkunjung ke kediaman beliau di Jalan
Sanggabuana, Palangkaraya, untuk membesuk beliau yang diantar oleh Umar Nur
Sakti dan Muston Sitohang. Saya hanya bertemu dengan Ibu Makmur Anwar yang
menyambut kedatangan saya, dan beliau hanya menyatakan bahwa bapak Makmur Anwar
tengah ke Jakarta, sudah tiga hari yang lalu.
Satu bulan berikutnya, 26—31 Oktober 2014, saya
kembali mengunjungi kota cantik Tambun Bungai, sebutan indah kota Palangkaraya,
dan alhasil pada hari Rabu, 29 Oktober 2014, bertemulah saya dengan bapak
Makmur Anwar, beliau penuh semangat menyambut kehadiran saya yang disertai oleh
Titik Wijanarti, Basori, dan Ai Kurniati. Pak Makmur Anwar yang kini berusia 78
tahun sudah tampak segar, pulih kembali dari derita sakit jantung yang menimpa
dirinya, dan sudah dapat bercerita kembali, dan tentu saja penuh ceria.
Terhadap saya, meski sudah tidak bertemu lebih dari empat tahun, masih ingat
dan hapal betul dengan nama saya, dengan orang lain, seperti pada Basori saja
susah mengingatnya, baru beberapa jam kemudian kembali dapat menyebut nama
dengan baik, banyak yang lupa nama-bama sahabat dan keluarga dekatnya, atau
susah mengingat nama seseorang, meski sering ketemu, bahkan piagam tokoh sastrawan
Kalteng 2008 yang saya bubuhi tanda tangan dan cap Balai Bahasa Kalteng, masih
ingat dan dipajang di ruangan tamu, menjadi kebanggaan tersendiri.
Untuk mengingat jasa dan perjuangan beliau dalam
merintis kesusastraan di wilayah Kalimantan Tengah, dan persaudaraan kami yang
penuh kasih sayang, berikut diturunkan beberapa tulisan tentang bapak Makmur
Anwar dan juga tulisan beliau sendiri.
MAKMUR ANWAR M.H.
Nama lengkapnya: Makmur
Anwar Maksum Hutomodimejo, biasa dipanggil pak Makmur, lahir
di Yogyakarta, 16 Maret 1939. Pendidikan S 1. Memotivasi siswa/pemuda
untuk berkarya sastra (puisi) lewat BABA Puisi dan Siaran Tebaran Sastra RRI
Palangkaraya. Menulis di surat kabar harian lokal, seperti Kalteng Pos, Palangka Pos, Dayak Pos, dan Banjarmasin Post. Antologi
Puisi Tiga Berpadu Takdir bersama H.A. Badar Sulaiman Usin
(Kalteng) dan Andi Burhanuddin ( Makassar ). Sudut kecil dari
Antologi Puisi Penyair Kalteng Negeri Bekantan. Antologi Puisi lokal
Majalah Sastra Dermaga.
untuk : Bang H A Badar Sulaiman Usin di
Negeri yang tak ada lagi keluh kesah
Bang Badar,
tatkala aku membaca & mendengar tergerak nuraniku:
menghidupkan rasa keprihatinan bahwa
satu: orang miskin penghasilan rendah tak cukup biaya hidup keluarga
mereka yang terbanyak membakar uang hasil kerjanya sendiri untuk
mengasapi parunya, melemahi syahwatnya, menghidupi stroke-nya,
melukai janin di rahim isterinya
dua: masih orang miskin yang diserobot status miskinnya oleh kelas
di atasnya hingga sulit membeli minyak kompornya, makin tak mampu
kenyam goreng-gorengan, makin berat mencari beras untuk keluarganya,
musnah mampunya menyekolahkan anak
tiga: sementara kelompok legislatif yang nyebut diri wakil rakyat panen
honor, proyek, kerja dan pesta di hotel-hotel mewah dan keluar negeri
empat: masih legislatif yang banyak duitnya yang disebut terhormat menyakiti
perempuan yang diwakilinya
mencontohi rakyatnya dengan perilaku semaunya. ia mampu pergi ke Kepulauan Hawai
kenapa cuma ke Hotel Hawai di depan mata isteri
lima : selama reformasi kita sudah kehilangan saudara dua pulau batas wilayah dan
kehormatan di negeri jiran
kini Ambalat dan pulau-pulau lain terancam pencaplokan
ini mah urusan eksekutif – kata kodok sambil makan pizza
enam: masih di era reformasi kita kehilangan tata nilai dan kemapanan dan kebebasan pun
kerukunan yang dulu terkenal dengan gotong royongnya lenyap bahkan beribadah pun dapat dilarang
tujuh: negara kita disebut negara hukum tapi kehilangan supremasi hukumnya
hukum tak tegak aturan tak diikuti larangan dilanggar kewajiban tak diabaikan
ini sih urusan yudikatif – kata tikus sambil garuk-garuk pantat
delapan: acara tv banyak takhormati bahasa Indonesia satu butir sumpah pemuda
para selebriti ikutan ngrusak bahasa tanpa acuh tatanan campur adukkan ku dan aku
you dan I tanpa my
mereka tak punya lubang dinding nyanyi lagu dan ah
Bang Badar,
masih banyak yang menggugah keprihatinan tapi malam sudah lingsir
kita penggal esok disambung
maaf ya bang kalau aku dan keprihatinanku membuatmu tergores
(aku tahu hatimu peka akan halhal ini)
aku tak bermaksud begitu
semoga kau tenang dan damai di sana
2008
DAUN MAWAR
hidupku daun mawar lapangan
sepak bola
luka oleh duri sendiri
diinjakinjak pesta taruhan
aku adalah Nabi Luth
suami terleceh takhenti
nabi Nuh juga adalah aku
bukan banjirnya tapi anaknya
hidupku daun mawar
terluka duri sendiri
perban kain kasar
berselimut janji takdipenuhi
2008
DITUNGGU
kalau begini terus
negeri ini adalah
buah masak dimakan ulat
tinggal ditunggu jatuhnya
ulat dan kadal pesta bareng
rangit berjoged nyamuk bermain musik
2011
BERIBU KALI
buat saudaraku
beribu kali kukatakan kau diam
beribu kali kubilang kau diam
beribu kali kuteriak kau diam
kupikir kau memikirkan
kupikir kau mengerti
kupikir kau tahu
ternyata tuli
ah pantas!
pantas!
2011
L U T H
kuncup mengunyah sekam sisa cahaya kebenaran
merambah menyebar sampai ke hilir masa
terhilir zamanku adalah aku
mengisap menyerap darah luth
pahit manis getir beraduk
kalau dia ﺍﷲ mau mencuci
tak ada pasir
tak ada kerikil
tapi ia mau memberi contoh
menghibur umat-nya
yang ada di hilir-hilir agar tak stress
aku adalah salah satunya
nuh yang hidup dulu
darahnya menetes jadi
contoh juga
obat kedua
jadi ramuan maha mujarab menyerap sinar paling menyilaukan
di jagad raya yang harta kekayaannya menyilaukan mata ini
aku yang tlah minum ramuan itu
dalam sadar dan tak sadar
hingga hidupku terbakar langit
riwayat itu aku telan bulat
kukeluarkan kukunyah lagi
pahit
getir
lidahku bengkak
tapi kukunyah lagi
pahit
getir
pedas
makin pahit
makin getir
makin pedas
tapi kutelan juga
sampai pingsan hidupku
tuhan menolongku mengulurkan tangan-nya
ya luth ya nuh
badanku terbakar habis jadi abu
aku hanyalah bayang-bayang angin laut
menyuruk ke dalam gunung limbah membusuk
tanpa hitungan
tanpa prosentasi
tanpa sisa
tapi api di mataku menyala
260711
Negeri yang tak ada lagi keluh kesah
Bang Badar,
tatkala aku membaca & mendengar tergerak nuraniku:
menghidupkan rasa keprihatinan bahwa
satu: orang miskin penghasilan rendah tak cukup biaya hidup keluarga
mereka yang terbanyak membakar uang hasil kerjanya sendiri untuk
mengasapi parunya, melemahi syahwatnya, menghidupi stroke-nya,
melukai janin di rahim isterinya
dua: masih orang miskin yang diserobot status miskinnya oleh kelas
di atasnya hingga sulit membeli minyak kompornya, makin tak mampu
kenyam goreng-gorengan, makin berat mencari beras untuk keluarganya,
musnah mampunya menyekolahkan anak
tiga: sementara kelompok legislatif yang nyebut diri wakil rakyat panen
honor, proyek, kerja dan pesta di hotel-hotel mewah dan keluar negeri
empat: masih legislatif yang banyak duitnya yang disebut terhormat menyakiti
perempuan yang diwakilinya
mencontohi rakyatnya dengan perilaku semaunya. ia mampu pergi ke Kepulauan Hawai
kenapa cuma ke Hotel Hawai di depan mata isteri
lima : selama reformasi kita sudah kehilangan saudara dua pulau batas wilayah dan
kehormatan di negeri jiran
kini Ambalat dan pulau-pulau lain terancam pencaplokan
ini mah urusan eksekutif – kata kodok sambil makan pizza
enam: masih di era reformasi kita kehilangan tata nilai dan kemapanan dan kebebasan pun
kerukunan yang dulu terkenal dengan gotong royongnya lenyap bahkan beribadah pun dapat dilarang
tujuh: negara kita disebut negara hukum tapi kehilangan supremasi hukumnya
hukum tak tegak aturan tak diikuti larangan dilanggar kewajiban tak diabaikan
ini sih urusan yudikatif – kata tikus sambil garuk-garuk pantat
delapan: acara tv banyak takhormati bahasa Indonesia satu butir sumpah pemuda
para selebriti ikutan ngrusak bahasa tanpa acuh tatanan campur adukkan ku dan aku
you dan I tanpa my
mereka tak punya lubang dinding nyanyi lagu dan ah
Bang Badar,
masih banyak yang menggugah keprihatinan tapi malam sudah lingsir
kita penggal esok disambung
maaf ya bang kalau aku dan keprihatinanku membuatmu tergores
(aku tahu hatimu peka akan halhal ini)
aku tak bermaksud begitu
semoga kau tenang dan damai di sana
2008
DAUN MAWAR
hidupku daun mawar lapangan
sepak bola
luka oleh duri sendiri
diinjakinjak pesta taruhan
aku adalah Nabi Luth
suami terleceh takhenti
nabi Nuh juga adalah aku
bukan banjirnya tapi anaknya
hidupku daun mawar
terluka duri sendiri
perban kain kasar
berselimut janji takdipenuhi
2008
DITUNGGU
kalau begini terus
negeri ini adalah
buah masak dimakan ulat
tinggal ditunggu jatuhnya
ulat dan kadal pesta bareng
rangit berjoged nyamuk bermain musik
2011
BERIBU KALI
buat saudaraku
beribu kali kukatakan kau diam
beribu kali kubilang kau diam
beribu kali kuteriak kau diam
kupikir kau memikirkan
kupikir kau mengerti
kupikir kau tahu
ternyata tuli
ah pantas!
pantas!
2011
L U T H
kuncup mengunyah sekam sisa cahaya kebenaran
merambah menyebar sampai ke hilir masa
terhilir zamanku adalah aku
mengisap menyerap darah luth
pahit manis getir beraduk
kalau dia ﺍﷲ mau mencuci
tak ada pasir
tak ada kerikil
tapi ia mau memberi contoh
menghibur umat-nya
yang ada di hilir-hilir agar tak stress
aku adalah salah satunya
nuh yang hidup dulu
darahnya menetes jadi
contoh juga
obat kedua
jadi ramuan maha mujarab menyerap sinar paling menyilaukan
di jagad raya yang harta kekayaannya menyilaukan mata ini
aku yang tlah minum ramuan itu
dalam sadar dan tak sadar
hingga hidupku terbakar langit
riwayat itu aku telan bulat
kukeluarkan kukunyah lagi
pahit
getir
lidahku bengkak
tapi kukunyah lagi
pahit
getir
pedas
makin pahit
makin getir
makin pedas
tapi kutelan juga
sampai pingsan hidupku
tuhan menolongku mengulurkan tangan-nya
ya luth ya nuh
badanku terbakar habis jadi abu
aku hanyalah bayang-bayang angin laut
menyuruk ke dalam gunung limbah membusuk
tanpa hitungan
tanpa prosentasi
tanpa sisa
tapi api di mataku menyala
260711
PERKEMBANGAN SASTRA DI KALIMANTAN TENGAH*
Oleh Makmur
Anwar M.H.**
SASTRA adalah cabang seni yang bergerak dan sekaligus menggunakan bahasa. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dinyatakan bahwa sastra adalah (1) bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari); (2) kesusastraan; (3) kitab suci Hindu; kitab ilmu pengetahuan; (4) kitab; pustaka; primbon (berisi ramalan, hitungan, dsb); (5) tulisan; huruf. Dari penjelasan tersebut, arti yang pertama adalah bahasa, dan arti kedua adalah kesusastraan. Ketika saya menjadi siswa kelas satu di SMA Negeri 1 Jurusan Sastra, di Yogyakarta, saya mendapat penjelasan dari guru, bahwa kesusastraan berasal dari susastra yang mendapat imbuhan ke-an; su adalah imbuhan yang berarti indah, sastra berarti tulisan. Jadi, kesusastraan adalah perihal tulisan yang indah.
Kesusastraan
mempunyai arti yang lebih sempit dari kesastraan. Yang mempersempit arti
tersebut adalah su-, yang berarti indah. Tentang keindahan dari kesusastraan
itu sendiri sulit dijelaskan karena indah pada prinsipnya adalah suatu yang
bersifat relatif. Masing-masing orang mempunyai pandangan tentang keindahan.
Karya sastra bertemakan kritik atau pengkritisan meski tetap mempunyai
keindahan. Namun, barangkali orang yang terkena kritikan akan mengatakan bahwa
karya yang dimaksud tidak indah. Kritik sendiri ditulis atau diungkapkan
sebagai sesuatu yang mengandung maksud, yang bagi masyarakat umum baik atau
indah.
Arti sastra yang pertama
diberikan oleh KBBI adalah bahasa, ini berarti bahwa sastra dan bahasa tidak
dapat dipisahkan, sebab sastra adalah tulisan yang menggunakan bahasa. Bahasa
adalah alat atau sarana untuk berpikir. Orang yang tidak mengenal satu bahasa
pun ia tidak akan dapat berpikir. Bahasa juga merupakan alat untuk
mengkspresikan pikiran atau ide yang tersimpan. Orang yang belum mempunyai
bahasa yang dikuasai belum dapat mengungkapkan isi hatinya. Ini pernah saya
alami waktu anak pertama saya baru belajar berbicara. Hampir tiga tahun ia
belum dapat berbicara. Saya konsultasikan kepada seorang dokter apakah anak
saya tersebut bisu. Dokter mengatakan bahwa anak itu tidak bisu, sebab bisu itu
disebabkan karena tidak dapat mendengar dan tentunya tidak dapat menirukan apa yang
diucapkan oleh seseorang. Pendengaran anak saya baik dan tidak ada gangguan.
Akhirnya, saya
konsultasi dan mohon petunjuk kepada Prof. KMA.M. Usop, M.A. Beliau menanyakan
kepada saya apa bahasa yang saya gunakan di rumah, apa bahasa yang dipakai
istri saya, dan bahasa apa pula yang dipakai oleh teman-teman bermainnya. Saya
mengatakan kepada beliau bahwa bahasa sehari-hari saya berbeda dengan istri
saya dan berbeda pula dengan bahasa yang dipakai teman-temannnya. Akhirnya,
beliau menjelaskan kepada saya bahwa anak saya tersebut tidak mengalami
kesulitan dalam menyerap bahasa, karena bahasa yang bermacam-macam yang dialami
oleh anak tersebut dalam kehidupan sehari-harinya. Beliau mengatakan agar saya
tidak perlu cemas karena anak tersebut hanya sedang mencari dan memilih bahasa
yang akan dijadikan pegangan.
Ternyata apa yang
beliau katakan adalah benar, karena begitu anak saya dapat berkata-kata, ia
langsung dapat membedakan bahasa apa yang harus disampaikan kepada ibunya,
kepada saya, dan kepada teman-teman bermain-mainnya dalam waktu yang bersamaan.
Ini adalah pengalaman saya yang sangat berharga dan penjelasan Pak Usop
tersebut adalah sesuatu yang sangat berharga dan tidak pernah saya lupakan. Pak
Usop adalah dosen saya yang banyak membantu saya baik dalam studi saya maupun
dalam penulisan skripsi dan bahkan hal-hal lain seperti organisasi.
Saya menyukai
sastra, terutama puisi sejak saat masih duduk di SMP Jurusan A (Sastra Budaya)
di Yogyakarta. Saya mulai mengarang puisi mulai kelas 1 SMA di Yogyakarta dan
puisi itu saya kirimkan ke redaksi majalah siswa. Betapa gembiranya saya karena
karya pertama saya dimuat di majalah Tifa Siswa, begitu nama majalah itu.
Sayang, saya tidak dapat mengingat karya tersebut. Majalahnya pun hilang. Pada
tahun 1955, SMA Sastra Negeri di Yogyakarta telah memiliki majalah siswa yang
bernama Rakta Pangkajia. Majalah itu bukan lagi berbentuk majalah dinding,
tetapi sudah berupa majalah terbitan tercetak yang dikelola oleh para siswa
dengan rapi. Ini barangkali kelebihan SMA Sastra dari SMA-SMA umum lainnnya.
Penyajian pengajaran bahasa Indonesia dan sastra banyak disampaikan dalam
bentuk diskusi dan terbimbing (guided discussion). Dari diskusi itulah saya
menjadi tahu betapa luasnya makna dan maksud yang dikandung oleh karya sastra,
dari makna sebenarnya, kiasan, majasi, dan metaforis atau perbandingan dan
perumpamaan.
Kepengarangan saya
terhenti ketika saya menekuni ilmu dan pengetahuan hukum di Fakultas Hukum
Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Namun, saya kembali menekuni dunia kepengarangan
setelah saya menjadi guru di SMA Negeri Pangkalanbun, Kalimantan Tengah. Saya
mulai mengajarkan sastra dengan cara yang seperti saya peroleh. Kami mulai
mengadakan lomba baca puisi pada hari-hari penting seperti Hari Sumpah Pemuda
dan Hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
Demikian halnya
ketika saya mengajar di SMA Negeri 1 Palangkaraya, Kalimantan Tengah, tepatnya
tahun 1971. Kami mengadakan lomba baca puisi pada Hari Pendidikan Nasional.
Sejak saat itu, sekolah-sekolah lain di Palangkaraya juga mulai mengadakan
lomba baca puisi. Dari kegiatan lomba tersebut, saya juga menjadi tahu betapa
miskinnya perbendaharaan puisi di kalangan siswa dan sekolah. Ini yang
mendorong saya untuk melakukan kegiatan bimbingan sastra, baik dalam kegiatan
”Tebaran Sastra di RRI Palangkaraya” maupun ”Tabib (Taman Bina Ide dan Bakat)
Puri Damai”. Tebaran Sastra adalah acara yang dulu diasuh Bang Jack F. Nahan.
Disela-sela kegiatan itu saya sering berdiskusi dengan Bang Badar Sulaiman Usin
(BSU) almarhum.
Selanjutnya kami
menyelenggarakan Baba (Baca-Bahas) Puisi bersama Mas Eko (Yulianto Eko
Sunugroho = YES) dan mendirikan Kelompok Teater Senjang. Saat itu Teater
Senjang menampilkan M. Razi, Mahmudah, dan Elsi Suriani Titin. Sebenarnya Baba
Puisi direncanakan sebagai program tahunan dan sudah berjalan sampai lima
tahun. Namun, akhirnya kegiatan ini harus kandas karena tidak adanya dana
pendukung, sementara saat itu sangat sulit mencari sponsor untuk kegiatan
sastra. Kelompok Baba Puisi juga diramaikan oleh teman-teman yang berteater
tersebut dan teman-teman lain diantaranya Mirza Wanara Fitri kakak beradik.
Salah satu yang ikut aktif di dalamnya adalah Siti Nafsiah yang sekarang
berkarya politk bersama Golkar dan duduk sebagai Ketua Komisi C DPRD Kalimantan
Tengah. Pada waktu Kanwil Dekdikbud dipimpin oleh Bapak Hengki Sumuan dan Drs.
Taya Paembunan. Saat itu puisi sangat diperhatikan sehingga tiap-tiap ada
kegiatan baik intern Kanwil maupun kala ada kunjungan pejabat dari Pusat baik
itu Dirjen, Sekjen maupun menteri P dan K selalu disuguhkan bacaan puisi.
Pernah suatu saat,
ada kegiatan yang tidak menampilkan bacaan puisi, Bapak H Sumuan dan Pak Taya
menanyakan kepada saya perihal ketiadaan baca puisi. Sehingga pada saat Pisah
Sambut kepindahan Pak Taya kembali ke Jakarta, kami juga mengadakan acara baca
puisi, khusus untuk Pak Taya. Salah satu kalimat dalam puisi itu berbunyi”
Selamat jalan Pak Taya, jangan lupakan kami, jangan lupakan Kalimantan Tengah”.
Puisi ini memberi kesan tersendiri di hati beliau sehingga beliau menuliskan
sebuah buku tentang Kalteng dan diluncurkan di gedung Aula Kanwil Depdikbud.
Menurut beliau puisi tidak boleh dipandang hanya sebagia hiburan, tetapi juga
sebagai media yang dapat dititipi pesan apa saja, dari masalah pendidikan agama
sampai masalah pembangunan.
Kepindahan Bung
Yohanes Djoko Santoso Passandaran dari Kuala Kapuas ke Palangkaraya menjadi
dosen di Program Studi Bahasa dan Sastra Indoensia FKIP Universitas
Palangkaraya memberikan dorongan kegiatan sastra di Palangkaraya, Kalimantan
Tengah. Ia membukukan sendiri beberapa puisinya dalam kumpulan puisi Sajak-
Sajak Kecil Perjalanan. Saya sering berdiskusi dengan beliau tentang bagaimana
mendorong dan mengajak para siswa berkarya puisi dan meningkatkan karangan
serta kualitasnya. Lewat Tabib Puri Damai, beliau ikut menyelenggarakan lomba
Baca Puisi. Bang HABSU (Haji Ahmad Badar Sulaiman Usin, Saapan Badar Sulaiman
Usin setelah menunaikan ibadah haji).
Saya maupun
teman-teman yang lain termasuk sastrawan yang kurang produktif dalam hal
penerbitan buku, karena kemampuan finansial yang sangat terbatas. Kami baru
menuangkan karya-katrya dalam buku setelah ada pihak yang berkenan mensponsori.
Keadaan agak berubah setelah buletin sastra Dermaga terbit. Buletin ini digagas
oleh Bang HABSU dan didukung Ikatan Pecinta Seni Sastra Palangkaraya (IPSSP).
Buletin ini dimotori oleh Wansel Eryanatha Rabu, Barthel Usin dan Sutran.
Ketiga orang ini memang bergelut dalam bidang jurnalistik. Selain itu ada pula
Dini Sofian serta Bambang Juniarto yang sejak tamat kuliah sampai sekarang
belum terlacak keberadaannya. Selain menerbitkan Dermaga, IPSSP juga pernah
menerbitkan antologi puisi penyair Palangkaraya, sayang saya tidak memiliki
arsipnya.
ISASI (Ikatah
Satrawan Indonesia) daerah Kalimantan Tengah kemudian ikut bergabung bersama
IPSSP. Saat itu ISASI dipimpin oleh Bang Jack F. Nahan. Kehadiran ISASI ikut
memperkuat buletin Dermaga. Meskipun baru berupa stensilan, HABSU berani
mengirimkan beberapa edisi ke teman-teman seniman sastra di daerah lain, juga
ke pusat dokumentasi sastra HB Yassin. HABSU lalu membukukan puisinya dalam
kumpulan puisi yang berjudul Rambahan. Buku ini disponsori oleh Mas Dapi Fajar
Raharjo, Mohammad Alimulhuda, Samsul Munir, Suyitno BT, dan teman-teman yang
tergabung dalam ISASI. Saat itu ISASI berada di bawah koordinasi Dr. J.J Koesni
selaku Ketua ISASI. Setelah kumpulan puisi ini terbit, lalu terbit pula
kumpulan puisi yang disponsori oleh Kantor Wilayah Pariwisata Seni dan Budaya
(Parsenibud) Kalimantan Tengah. Kumpulan puisi ini berjudul Tiga Sosok Berpadu
Takdir, memunculkan puisi-puisi bertemakan pariwisata karya HABSU, Makmur Anwar
M.H, dan Andi Burhanuddin. Saat itu Kantor Parsenibud berada di bawah
kepemimpinan Bapak Drs.H Hamdulilah Salim.
Setelah Tiga Sosok
Berpadu Takdir, Aliemha (sapaan Mohammad Alimulhuda) dan kawan-kawan dari ISASI
Kalteng menerbitkan Negeri Bekantan, sebuah antologi puisi para penyair
Kalimantan Tengah. Di dalamnya memuat karya-karya Lukman Juhara, Dra. Nani
Setiawati, M.Si., Sujudi Akbar Pamungkas, M. Anwar M.H., Alifiah Nurahmana,
Supardi, R. Bagaspathi, Suyitno BT, Titin Nafsiah Rafles, Amang Bilem, Esa
Sukmawijaya, Padmi Sando Eraini, S.Pd., Samsul Munir, Qomaruddin Asss’adah SP,
Harland S. Muhammad, Wansel Eryanatha Rabu, Drs. Fajar Siddiq, Ariel Abuhasan,
Lamatsyiah M Tiong, Tutur Krishandojo, Ruslimah, Surya Wira Buana, Yohanes C
Karambut, Priyatna, Misnawati, Yuliati Eka Asi, Ad Rahmayanti, dan Nor Hasanah.
Dari sekian banyak nama itu ada beberapa yang memang sudah dikenal sebelumnya
dan ada pula yang baru dikenal. Beberapa di antaranya kini sudah tidak
terdengar gaungnya, namun ada pula terus berkarya, hidup dan berkibar
benderanya.
Tabib diminati oleh
adik-adik yang masih kecil diantaraya Elis, yang dulu sering ditampilkan di
layar TVRI, Herawati, Citra, Pahit, Amy, dan Sekar yang sering pula tampil di
RRI Palangkaraya membaca puisi dan bermain sandiwara udara, menyosialkan
program Pendidikan Dasar Sembilan Tahun. Citra dan Amy sempat diundang ke
Jakarta oleh IKAPI di bawah ibu Upi Tuti Sundari Azmi yang akrab dipanggil Bu
Upi, untuk membacakan pusi di acara pembukaan Pameran Buku Internasional. Acara
itu dibuka oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Bapak Sumantri
Brodjonegoro di Balai Sidang Senayan, Jakarta.
Tabib juga
memunculkan adik-adik yang kemudian ikut dalam kegiatan-kegiatan lain baik
dalam berteater maupun berpuisi bersama dengan teman-teman yang lain. Tabib,
Baba Puisi dan Teater Senjang sering mengadakan kegiatan lomba baca Puisi.
Bahkan para anggota Teater Senjang berhasil menang dalam Lomba Menulis dan Baca
Puisi bertemakan Pancasila yang diselenggarakan oleh BP-7. Lomba menulis Essai
bertemakan Pancasila memunculkan Mamahut, permunculan nama lain dari M Anwar
MH, juga anggota teater Senjang sebagai juara pertama. Selain itu masih banyak
prestasi yang berhasil diraih oleh para anggota teater Senjang.
Bersama redupnya
Baba Puisi, Teater Senjang pun mulai tenggelam dan pulas dalam tidurnya. Sejak
itu muncullah Teater Kharisma di bawah pimpinan Drs. Puji Santoso. Tetapi kehidupannya
juga tidak mampu bertahan lama, walaupun sempat berkiprah meramaikan panggung
teater Palangkaraya. Namun, Alhamdulillah. setelahnya muncul sanggar teater
yang baru yang sampai sekarang masih menunjukkan keaktifannya, yaitu Srikandi
Tiung Gunung Balamping Emas di bawah pimpinan Rr. Tri Rahayuningsih. Pemain
utama dan seniornya adalah Aliemha. Teater ini banyak melibatkan adik-adik
mahasiswa, siswa-siswi SMP, SMA, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah.
Sememtara itu di
kampus Universitas Palangkaraya juga berkembang Teater Tunas sebagai ajang
berkiprah bagi para mahasiswa-mahasiswi FKIP Program Studi Bahasa Indonesia dan
sastra Jurusan Bahasa Indonesia dan Daerah. Bersamaan dengan aktifnya
sanggar-sanggar teater ini, muncullah satu lagi teater dan sastra kampung
(Terapung) di bawah kepemimpinan Aliemha. Teater ini diminati banyak pihak
untuk bergabung dan bekarya di bidang teater, bahkan adik-adik kita yang kecil
ikut bermain di dalamnya, salah salatunya adalah melakonkan ”Ember”. Teater
Terapung sangat menarik perhatian karena membina anak-anak untuk cinta teater,
juga dengan kehadiran teater bocahnya (diberi nama teater Ember). Sampai
sekarang sanggar ini masih aktif dan terus aktif bahkan sering bermuhibah ke
beberapa daerah lain. Terakhir bulan Juli lalu mereka ke Pontianak, Kalimantan
Barat. Di era aktifnya, sanggar-sanggar teater ini berhasil menjadi tuan rumah
dalam adu kreasi pekan teater dengan menghadirkan Group Teater dari
Banjarmasin, Malang, Jombang, Jatim, dan Sampit. Kelompok Sampit yang aktif
melalui studi Art Sampit sering mengundang Teater Terapung dan sebaliknya
mereka juga bermain di Palangkaraya dan mengikuti program-program Terapung.
Dengan dibukanya
Kantor Bahasa Palangkaraya pada tahun 2000 di Kalimantan Tengah, kegiatan
sastra semakin marak saja. Kantor Bahasa Palangkaraya ini sering mengadakan
Bengkel Sastra di SMA-SMA di Palangkaraya dan daerah-daerah lain di Kalimantan
Tengah dengan melibatkan tenaga-tenaga yang ada seperti Mas Eko, Aliemha, Dapi
Fajar Raharjo, M. Anwar MH, dan para dosen Bahasa Indonesia dan Sastra Unpar.
Setelah Kantor
Bahasa Palangkaraya berubah menjadi Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah
pada tahun 2003, mereka pun semakin meningkatkan peranan dan partisipasinya
dalam membina mengembangkan serta menggerakan para seniman sastra dan teater di
wilayah ini. Di antaranya adalah seminar sastra yang menampilkan Tokoh
Budayawan Prof. K.M.A.M. Usop, M.A., dan dihadiri pejabat dari Pusat Bahasa,
Drs. Abdul Rozak Zaidan, M.A. Saat itu Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah
berada dibawah kepemimpinan ibu Jatiwati, S.Pd., Di sini, tampak kesastrawanan
dan kebudayawaman Pak Usop di tengah masyarakat luas Kalimantan Tengah.
Dalam waktu dua
tahun terakhir, Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah semakin menggiatkan program
kesastraannya dengan mengadakan Lomba Baca Puii bagi Guru SD, Lomba
Bertutur/Mendongeng atau Bercerita bagi Siswa SD, Lomba Mengarang Cerita
Pendek, Lomba Musikalisasi Puisi, Sayembara Penulisan Cerita Rakyat, Bengkel
Sastra, Penulisan Kreatif Cerpen, temu sastra, dialog sastra, seminar
pengajaran sastra, bedah buku sastra, bimbingan penulisan sastra, dan lain-lain
(maaf, saya tidak mampu menghafalnya). Ini merupakan momen yang sangat
menggairahkan bagi keatifitas para sastrawan di daerah Kalimantan Tengah ini.
Ucapan terima kasih tentunya pantas saya sampaikan kepada Bapak Dra. Puji
Santosa, M.Hum. selaku Kepala Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah dan
segenap stafnya atas kegiatan-kegiatan kesastraan yang diadakannya ini. Satu
hal yang sangat mengejutkan adalah adanya acara Pemberian Penghargaan kepada
Tokoh Kebahasaan dan Kesasatraan. Ini baru untuk pertama kalinya terjadi di
wilayah Kalimantan Tengah ini. Kalau program ini tidak terhenti dengan
pemberian penghargaan kepada kami sekarang ini, saya yakin akan dapat membawa
dampak positif untuk peningkatan karya dan kreatifitas para sastrawan dan tokoh
kebahasaan di daerah Kalimantan Tengah ini.
Saya juga
mengucapkan selamat kepada Bapak Prof. K.M.A.M Usop, M.A. atas terpilihnya
beliau sebagai tokoh Kebahasaan Kalimantan Tengah. Selain itu, saya juga pantas
memantapkan ucapan terimakasih saya karena bimbingan beliaulah saya dapat
bertahan dan berkarya di bidang kesastraan sampai sekarang ini. Beliaulah yang
menyarankan agar saya membukukan puisi-puisi saya. Bagi saya, beliau adalah
dosen pembimbing dan seorang tokoh yang menjadi idola saya. Terima kasih Pak
Usop.
Palangkaraya, 27
Agustus 2008
* Disampaikan dalam
Orasi Tokoh Kesusastraan Kalimantan Tengah pada Puncak Acara Semarak Tahun
Bahasa 2008, Pekan Bahasa dan Sastra, di Palangkaraya, 27—28 Agustus 2008
** Tokoh Kesastraan
Kalimantan Tengah 2008 versi Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah.
MAKMUR ANWAR
Makmur Anwar MH
adalah seorang penyair Kalimantan Tengah yang sangat konsisten terhadap dunia yang
digelutinya. Kiprah penyair yang memiliki nama lengkap Makmur Anwar Maksum H di
dunia sastra tak perlu diragukan. Usahanya dalam memperkenalkan sastra terutama
puisi kepada para pelajar di Kalimantan Tengah merupakan satu bukti nyata
kecintaannya terhadap dunia yang digelutinya itu.
Makmur Anwar pun
mendirikan Taman Bina Ide dan Bakat (TABIB). Selain itu penulis yang telah
mulai menulis sastra sejak duduk di bangku SMA ini juga intens memperkenalkan
teater kepada anak-anak melalui teater Senjang yang ia dirikan. Makmur Anwar
juga merupakan aktivis Baba (Baca dan Bahas) Puisi . Saat ini dia masih aktif
membina program “Tebaran Sastra” di Radio Republik Indonesia (RRI) Regional I
Palangkaraya yang dibinanya sejak tahun 1973.
Makmur Anwar Maksum
H. lahir di Jombokan, Kulon Progo, Yogyakarta, 16 Maret 1937. Ia merupakan anak
bungsu empat bersaudara dari R.H. Maksum bin Abdussamad dan H. Maksum. Pada
tanggal 3 Maret 1969 Makmur Anwar menikahi Florhianne Yuce Anwar, S.Pd. Dari
perempuan kelahiran Buntok, Kalimantan Tengah 17 Juni 1947 itu dia dikaruniai
seorang putra dan dua orang putri. Anak pertamanya, Pahit Sediarsi Narottama, S.Hut.
lahir di Buntok pada tanggal 23 Maret 1971. Anak keduanya, Ajimahayomi
Tilakottami, S. Pd. lahir di Palangkaraya pada tanggal 8 Maret 1973. Anak
ketiga, Sekar Rukmi Mahendrottami, juga lahir di Palangkaraya 9 Juli 1975.
Makmur Anwar memperoleh gelar dokterandus dari FKIP Bahasa Inggris Universitas
Palangkaraya. Selain itu dia pernah mengecap pendidikan jurnalistik, humas
keprotokolan, dan teknologi pendidikan. Selanjutnya dia menjadi guru di Pangkalan
Bun pada tahun 1966. Pada tahun 1971 dia sempat menjadi guru bahasa Inggris di
sebuah sekolah menengah pertama di Palangkaraya. Awal mula kepangarangan Makmur
Anwar dimuali ketika ia menulis di sebuah majalah dinding pada tahun 1957.
Sejak itu, dia mulai menulis puisi dan esai. Ia juga pernah terlibat dalam
majalah Dermaga yang memuat puisi-pusi penyair Kalteng.
Puisi-puisi Makmur
Anwar pernah diantologikan dalam Tiga Sosok Berpadu Takdir (2000) bersama dua
penyair lainnya (HABSU dan Andi Burhanuddin). Antologi itu diterbitkan oleh
Kantor Menteri Negara Pariwisata dan Kesenian Proyek Pengembangan Pariwisata
dan Kesenian tahun 2000. Dalam antologi tersebut, puisi-puisi Makmur Anwar umumnya
menceritakan tentang objek wisata di Kalimantan Tengah seperti puisi yang
dibuatnya pada tahun 1975, yang berjudul “Taman Alam Bukit
Tengkiling, Pantai Baun Bango (dibuat 1994), Betang Tumbang Malahoi (dibuat
pada tahun 1996), dan masih banyak puisi lainnya. Selain antologi itu, puisi
Makmur Anwar juga tercatat dalam Negeri Bekantan, sebuah antologi puisi yang
memuat 106 puisi karya penyair Kalimantan Tengah. Makmur Anwar dapat
dikategorikan sebagai salah satu penyair paling produktif di Kalimantan Tengah.
Meskipun usianya
sudah tua, dia masih aktif dalam kegiatan sastra. Selain menulis puisi,
legenda, dia juga menulis esai yang telah banyak di muat di media massa,
seperti Banjarmasin Post, Dinamika Berita, Kalteng Pos, Palangka Post, dan Bimbingan
Membaca. Pada umumnya esai yang ia tulis merupakan kritik sosial terhadap
keadaan di sekitarnya. Pada awal menulis, dia hanya ingin mencurahkan ide dan
pendapatnya. Kebanyakan karya ia tulis dalam bahasa Indonesia sebagai salah
satu bentuk kecintaannya terhadap bahasa persatuan. Walaupun demikian, ia juga
sering memasukkan unsur kedaerahan dalam beberapa karyanya sebagai bentuk
penghayatan terhadap tradisi masyarakat yang ada di sekitarnya Sebagai orang
yang bergelut di dunia sastra, Makmur Anwar memiliki harapan terhadap para
pengarang sastra Indonesia agar jangan meninggalkan dan sejarah Sumpah Pemuda
sebagai tonggak sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Baginya, sastra adalah
sesuatu yang hidup. Untuk itulah Makmur Anwar bertekad akan berhenti menulis bila
ia sudah tidak mampu lagi menghasilkan karya. Satu-satunya hambatan yang ia
alami selama menulis adalah tidak adanya penerbit di Kalimantan Tengah yang
membuat para sastrawan tidak mampu membukukan karyanya. Selain menjadi pembina
di ISASI, saat ini Makmur Anwar dipercaya sebagai Ketua Harian Dewan Kesenian
Daerah Kalimantan Tengah periode 2007-2011. Ia juga sangat menikmati upayanya
dalam menumbuhkembangkan kecintaan anak-anak di Palangkaraya terhadap Sastra
Indonesia melalui program “Tebaran Sastra” yang dibinanya bekerja sama dengan
RRI Regional I Palangkaraya. Di tengah-tengah kesibukannya, Makmur Anwar masih
sering menjadi pemakalah di berbagai seminar sastra dan menjadi juri di
berbagai perlombaan puisi yang diadakan di Kota Palangkaraya. Balai Bahasa
Provinsi Kalteng
KESAN DAN PESAN MAKMUR ANWAR,
PADA ACARA SERAH TERIMA JABATAN
KEPALA BALAI BAHASA PROVINSI KALTENG
Aku punya teman. Orangnya
biasa-biasa saja, namanya biasa-biasa saja, gelarnya biasa-biasa saja, tapi pergaulannya
sangat mengesankan. Tidak memilih satu kelompok untuk dipergauli, tapi rata menyeluruh.
Pertama datang ke sebuah kota tempat kerjanya yang baru, ia diajak hadir ke
sebuah peringatan Hari Ulang Tahun sebuah sanggar, ia mau bahkan ikut memeriahkan
acara dengan membaca puisi. Dalam dialog yang diadakan ikut bergabung dan duduk
lesehan di lantai. Ia menyisihkan predikat jabatan yang disandangnya sementara
untuk bergaul bersama manusia yang ia anggap sama sederajat, meski oleh pihak
lain tidak dipandang sebelah mata sekalipun. Penampilan sehari-harinya dalam pergaulan
tidak membeda-bedakan kedudukan dan jabatan. Ia benar-benar menunjukkkan kalau
dirinya adalah pelayan masyarakat. Ia orang baru di sana tapi cepat menjadi
akrab dengannya karena banyak teman yang disapa dan menyapanya. Dengan
masyarakat atau komunitas sastra objek garapannya yang utama sangat baik.
Dialah yang menggoyang citra sastrawan di kota ini yang semula adem ayem tanpa
aktivitas dilibatkan dengan program-program kegiatan lembaga yang dipimpinnya.
Guru-guru SD yang
selama ini hanya dipandang sebelah mata dalam aktivitas kesastraannya mulai
menggeliat dengan ituk lomba baca puisi bahkan pemenangnya dikirimkan ke
ibukota negara Jakarta kota metropolitan yang jarang dikunjungi kelompok orang
kelas akar rumput itu. Siswa-siswinya diajak berceloteh dengan cerita pendek
dan cerita rakyatnya. Siswa-siswi SMP dan SLTA-nya juga diajak bergabung dengan
cabang seni sastra yang lain. Baca puisi, Musikalisasi Puisi dan sebagainya.
Seminar-seminar tentang kebahasaan juga ramai mewarnai gedung yang baru selesai
dibangunnya itu. Seminar pengajaran bahasa Indonesia dan Seminar bahasa Dayak
tidak terlewatkan dari garapannya juga.
Dunia maya
dirambahnya pula sehingga perihal kegiatan lembaganya dapat dibaca dan diikuti
oleh siapa pun yang punya ketertarikan. Ditelusurinya lorong-lorong kecil dunia
kesastraan yang orang lain merasa benci dan kurang perhatian justru dicatat dan
pertama kalinya di daerah ini ada sebuah penghargaan untuk tokoh-tokoh
kebahasaan dan kesastraan. Sekarang di benaknya ada sebuah gagasan yang akan
diluncurkan namun saying ia akan segera meninggalkan kota cantik kita.
Orang-orang sastra yang lemah dan tidak memihak itu kini harus menitipkan
harapannya ke mana? Tapi biarlah semua itu terjadi karena harus terjadi sebab
kepindahannya ke kota Cantik karena karya dan pengabdiannya dibutuhkan di
tempat lain juga. Dan kursi yang ditinggalkannya pasti ada orang lain yang
duduk untuk mengendalikan aktivitas kantornya. Di kantor pusat pun ia
diperlukan karena butir-butir akal dan nalarnya yang kreatif. Kalau ia tetap di
sini malah ia tak memiliki peran lagi. Siapakah tokoh sentral dalam cerita
pendek tadi?
Ialah Puji santosa,
Drs. Puji Santosa, M. Hum. Kepala Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah yang
telah dicabut SK- nya dan akan segera meninggalkan kota cantik ini. Kita sampaikan selamat
menunaikan tugas di tempat baru semoga sukses.
Kelompok sastra memang sedih meski tak menitikkan air mata. Satu hal
yang sangat diharapkan adalah agar kepada mereka Pak Puji sapaan akrab kami
tidak lupa dan masih mau mengulurkan tangan untuk memberi bimbingan bantuan dan
arahan terutama untuk menghubungkan dengan orang-orang yang punya izin
penerbitan agar karya orang di kota cantik ini pun dapat mengisi perpustakaan
Pusat Bahasa dan minimal Perpustakaan daerah Kalimantan Tengah di Palangkaraya.
Dalam serah terima jabatan tadi diserahkan catatan perihal yang sudah
dilaksanakan.
Harapan kami itu
akan menjadi catatan untuk pejabat baru mengawali tugasnya, melengkapi
kekurangannya, meningkatkan kelemahannya. Ciri organisasi yang hidup memang ada
perubahan dan ada permutasian. Orang baru yang duduk di kursinya diharpkan oleh
masyarakat daerah dan kota ini untuk melanjutkan apa-apa yang sudah
dirintisnya. Diteruskan dan dikembangkan dan dipercepat pergerakannya. Kami
yakin bahwa ia juga orang yang berperhatian terhadap dunia kesastraan. Selamat
dating Bapak Sumadi di kota cantik Palangkaraya tugas berat menanti anda karena
tugas berat menanti anda karena tugas Pak Puji belum sepenuhnya berhasil.
Manusiasi. Semoga di bawah garapan tangan anda balai Bahasa Provinsi Kalimantan
Tengah berjalan cepat dan mempunya jalinan kerja yang lebih akrab. Kepada Bapak
saya perkenalkan bahwa saya penganut Prof. Dr. Amran Halim dalam penggunaan
kata provinsi dan propinsi. Karena itu mohon maaf kalau bibir saya mengucap
kata propinsi. Selamat Bekerja.
Palangkaraya, 10
Desember 2008
MARI KAYUHLAH LAGI
Ini bukan sebuah keberakhiran.
Bukan pula saat horison semburatkan jingga di ujung hari.
Kita hanya tiba di satu titik perhentian
Untuk melepas penat sejenak.
Untuk mengisi ulang perbekalan
Untuk menapak tilas sejauh mana kita telah berjalan.
Sepanjang perjalanan lalu,
ada gumam ada racauan
ada buraian pemikiran ada
persangkaan tawa tangis
Ada banyak hal
tereja dalam kebersamaan,
lalu termangu dalam kekinian
Detik ini ingin kuulas saja,
sebuah epilog yang mungkin saja tak terkatakan karena ragu.
Aku bukan Kuntowijoyo yang melarang kalian
jatuh cinta pada bunga-bunga
Bukan pula Danarto yang menjaring
malaikat
Atau bahkan Hamsad Rangkuti
yang melihat Biibir dalam Pispot
Bukan pula salah satu dari orang-orang Bloomington
yang tersesat di Bumi Tambun Bungai
Aku hanyalah
jukung di Bumi Manusia
Mencoba bawa
kalian ke Kota Asa
Mari kayuhlah
lagi
Tidak peduli
cinta datang dan pergi,
perjalanan
harus tetap dilanjutkan bukan?
Dengan
permohonan maaf yang mengalir dari hulu kealpaan
serta terima
kasih yang meriak dari lubuk pengabdian,
kuucap SELAMAT JALAN PAK PUJI
Baktimu telah
terpahat abadi dalam memori tiada pudar
Terhembus pula
euforia SELAMAT DATANG pada Pak Sumadi
Terimalah dayung
ini dengan segenap cintamu
Mari kita
susuri Kahayan dengan segala lekuknya
Ini bukan
sebuah keberakhiran,
Tapi doa kala
horison bersemu jingga di awal hari
Mari kayuhlah
lagi...
Palangkaraya,
9 Desember 2008
No comments:
Post a Comment