Monday 18 July 2011

Sastra Jendra dan Pendidikan Anak dalam Kandungan


“SASTRA JENDRA HAYUNINGRAT PANGRUWATING DIYU

Begawan Wisrawa adalah seorang penuntut ilmu kesuksmaan yang merosot derajat kesiswaannya karena tergoda oleh tiga macam godaan dan melanggar Paliwara. Godaan pertama, Wisrawa terpeleset oleh godaan kasar gebyaring wentis kuning “sengsemnya asmara”, yakni tergiur oleh kecantikan dan kemolekan Dewi Sukesi, putri raja Negeri Alengka, Prabu Sumali Raja, yang sebenarnya Wisrawa hanya bertugas melamarkan untuk anaknya Prabu Danapati, Raja Negeri Lokapala.
Setelah mampu mewedarkan rahasia ilmu “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” kepada Dewi Sukesi itu Begawam Wisrawa terkena godaan kedua, godaan gawat dengan masuknya Roh Batara Kala dalam tubuh dirinya, dan Dewi Sukesi pun terkena godaan gawat dengan masuknya Roh Betari Durga yang juga masuk ke dalam dirinya. Atas godaan tersebut, keduanya tidak sadarkan diri telah melanggar Paliwara bab syahwat. Perbuatan hina keduanya mendapatkan karma dengan lahirnya Rahwana, lambang keangkamurkaan nafsu amarah yang tidak mampu dikendalikan.
Ketika Wisrawa tengah asyik memadu cinta di Taman Argo Soka Negeri Alengka bersama Dewi Sukesi, di luar Taman Sari terjadilah huru-hara kemarahan Arya Jambumangli mencacimaki dan menantang perang Begawan Wisrawa, serta menghina dina Dewi Sukesi sebagai wanita “pelanyahan” yang haus seksualitas. Merasa dirinya dihina dan diremehkan Jambumangli, Begawan Wisrawa terpeleset lagi akan godaan ketiga, godaan halus akunya (adigang adigung adiguna), bahwa dirinya lebih kuat dan perkasa, serta lebih agung dan lebih pandai dari Arya Jambumangli. Demikian halnya Dewi Sukesi pun sakit hati atas hinaan pamannya tersebut, dan meminta Wistawa untuk membereskannya. Perkelahiannya dengan Arya Jambumangli tanpa disadari pula oleh Wisrawa bahwa hal itu telah melanggar Paliwara bab “cecongkrahan” (berselisih). Arya Jambumangli gugur mengenaskan dengan tubuh termutilasi oleh panah sakti Wisrawa. Atas perbutannya ini keduanya menerima karma dengan lahirnya Kumbakarna dan Sarpakenaka, lambang nafsu Lauwamah dan Sufiah yang tidak mampu dikendalikan.
Wisrawa dan Sukesi kedatangan Resi Wasista dan Dewi Arundati, orang tua Wisrawa. Keduanya mendapatkan nasihat untuk kembali ke jalan benar, ialah jalan utama yang berakhir dalam kesejahteraan dan ketentraman abadi, yakni di hadirat Tuhan Sejati di Taman Kemuliuan Abadi. Bahwa ilmu Sastra Jendra Hayuningrat bukan hanya sekadar untuk pembicaraan, melainkan untuk dilaksanakan (menjadi laku) dengan dimulai menempuh Jalan Rahayu dan menyingkiri Paliwara, agar dapat melaksanakan panembah batin Hastha Sila dengan sempurna.
Dewi Arundati memberi nasihat kepada semua wanita, terutama kepada Dewi Sukesi, agar dapat menjadi mustikanya wanita: (1) menyadari kewajiban suci sebagai lantaran menerima dan mengandung Roh Suci, (2) kewajiban suci ini haruslah dilaksanakan dengan kesucian dan kesusilaan dengan dasar kasih sayang sejati, dan (3) rasa kasih sayang sejati itu setiap hari haruslah dipupuk dan disirami dengan (a) mong-kinemong (saling asah asih dan asuh), (b) apura-ingapura (saling memaafkan), (c) ajen-ingajenan (saling menghormati), dan (d) tansah nuju prana murih adamel suka pirena (senantiasa dapat berkenan di hati agar dapat membuat rasa bahagia).
            Setelah Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi melaksanakan nasihat orang tuanya, Resi Wasista dan Dewi Arundati, dengan benar dan baik, mereka dianugerahi seorang putra yang purusatama: elok rupawan, berbudi suci, berderajat luhur dan mulia, berwatak utama, mursid (cerdas cendekia), dan senantiasa berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa, yakni Gunawan Wibisana, lambang nafsu Mutmainah yang penuh kasih kepada sesama umat dan menghormati semua agama.

(1)       Begawan Wisrawa

Begawan Wisrawa adalah seorang pendeta sakti dari pertapaan Dederpenyu. Sebelum menjadi pendeta, Wisrawa adalah seorang raja yang sangat termasyhur dari negeri Lokapala dengan permaisurinya Dewi Lokati. Setelah anaknya dewasa, Raden Danapati yang kemudian bergelar menjadi Prabu Danaraja atau Danareja mampu mengemban tugas negara, Wisrawa lengser keprabon meninggalkan istana negeri Lokapala. Segala kemewahan harta benda, termasuk juga anak istri pun, ditinggalkan begitu saja untuk bertapa di Dederpenyu hingga puluhan tahun lamanya.
Beberapa tahun kemudian, Wisrawa dipanggil anaknya, Danaraja, untuk datang ke istana negeri Lokapala. Maksud pemanggilan itu adalah untuk dapat melamarkan putri cantik jelita dari negeri Alengka yang bernama Dewi Sukesi. Pada waktu itu memang di negeri Alengka sedang diadakan sayembara perang tanding melawan Arya Jambumangli bagi siapa pun yang mengiinginkan putri Alengka tersebut. Mengemban amanat anaknya, Prabu Danareja, untuk melamar Dewi Sukesi, kemudian berangkatlah Begawan Wisrawa dari negeri Lokapala ke negeri Alengka menemui Prabu Sumali yang menjadi sahabat karipnya ketika masih remaja. Sesampainya di negeri Alengka, Begawan Wisrawa segera menemui Prabu Sumali. Ketika Begawan Wisrawa dipertemnukan dengan Dewi Sukesi, ternyata Sang Dewi meminta persyaratan diwedarkannya makna Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu bagi siapa pun yang menginginkan dirinya, baik lelaki maupun perempuan, baik yang masih muda maupun yang sudah tua.
Begawan Wisrawa adalah seseorang yang mampu mewedarkan makna  Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu kepada Dewi Sukesi. Para dewata yang berada di kahyangan tidak berkenan kalau Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu itu harus diuraikan maknanya. Turunlah Batara Guru dan Dewi Uma untuk menggoda iman Wisrawa dan Dewi Sukesi hingga jatuh berlumuran noda dosa. Batara Guru masuk ke dalam raga Wisrawa, dan Dewi Uma pun masuk ke dalam raga Dewi Sukesi, sehingga terjalin hubungan intim asmara antara Wisrawa dan Sukesi. Atas terjadinya peristiwa itu, Wisrawa dan Sukesi berserah diri kepada Prabu Sumali yang juga akhirnya menyetujui untuk dinikahkan.
Arya Jambumangli, adik Prabu Sumali yang juga paman Dewi Sukesi sebenarnya juga menginginkan keponakannya itu, menjadi marah besar. Ketika tahu perbuatan Begawan Wisrawa menyunting dan menodai Dewi Sukesi, Arya Jambumangli amarahnya tidak terkendali dan meluapknnya kepada Begawan Wisrawa. Tidak dapat terelakan lagi terjadilah perang tanding antara Arya Jambumangli dengan Begawan Wisrawa. Pertarungan memperebutkan harga diri itu akhirnya dimenangkan oleh Begawan Wisrawa dengan gemilang. Arya Jambumangli tewas mengenaskan oleh ribuan anak panah sakti yang dilepaskan Begawan Wisrawa. Sebelum Arya Jambumangli menghembuskan napas yang terakhir, masih sempat menyampaikan sumpah serapah kutukannya kepada anak-anak yang akan dilahirkan dari pasangan Wisrawa dan Sukesi. Anak-anak Wisrawa dengan Dewi Sukesi ini kelak akan mengalami kematian yang mengenaskan seperti Arya Jambumangli yang terpotong-potong tubuhnya, termutilasi oleh anak panah lawannya.
Arya Jambumangli
            Perkawinan Wisrawa dengan Dewi Sukesi menimbulkan kekecewaan yang besar dan luar biasa pada diri raja Lokapala, Prabu Danareja. Dari perkawinan Begawan Wisrawa dengan Dewi Sukesi itu melahirkan empat orang anak, yaitu Rahwana yang berasal dari darah, Kumbakarna yang berasal dari telinga, Sarpakenaka yang berasal dari kuku, dan ksatria tampan yang baik budi bernama Gunawan Wibisana. Setelah lahir keempat putranya itu, Begawan Wisrawa memintanya kepada anak-anaknya untuk bertapa di puncak gunung Gohkarna. Baik dalam cerita pewayangan maupun dalam novel Anak Bajang Menggiring Angin tidak dikisahkan kapan Begawan Wisrawa menemui ajal kematiannya.
            Dari kisah Anak Bajang Menggiring Angin ini tokoh Begawan Wisrawa merupakan simbol manusia “tua-tua keladi”, makin tua makin menjadi. Seorang tua yang telah lanjut usia, apalagi sudah menjadi seorang begawan atau resi, seharusnya telah dapat mengendalikan hawa nafsunya, lupa akan amanat yang diembannya. Akibat perbuatannya itu, baik Begawan Wisrawa maupun seluruh dunia terancam bencana merajalelanya keangkara murkaan manusia. Lahirnya putra-putri beliau, terutama Rahwana, membuat dunia penuh angkara murka, dusta, loba, biadab, dan bengis. Bagaimana niat baik mereka yang ingin mempelajari sastra jendra hayuningrat justru  menuai kebatilan dan kengkara murkaan manusia. Hal ini secara lengkap akan dibahas lebih lanjut dalam jenis mitologi, bab menguak rahasia sastra jendra hayuningrat pangruwating diyu.

(2) Dewi Sukesi Dewi Sukesi adalah putri Prabu Sumali dari negeri Alengka. Dewi Sukesi tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik jelita. Atas kecantikan Dewi Sukesi itu banyak para ksatria dan raja yang menginginkan bersanding dengan sang Dewi, termasuk pamannya sendiri, Arya Jambumangli. Oleh karena itu, Arya Jambumangli mengadakan sayembara perang tanding dengan dirinya. Bagi siapa pun yang ingin untuk menyunting Dewi Sukesi, harus melalui perang tanding dengan Arya Jambamangli. Selain itu, suatu hari Dewi Sukesi bermimpi berada di suatu dunia yang tidak mengenal malam dan tidak mengenal siang. Dalam dunia mimpinya itu ada alun-alun bercahaya gemerlapan. Kendaraan makhluknya adalah kereta kencana yang dihela oleh binatang-bintang elok. Di atasnya ada pelangi berupa seekor naga bersisik emas yang senantiasa menetes bagaikan hujan berkah. Dalam keadaan mimpi seperti itulah Dewi Sukesi menerima ajaran tentang Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu. Tentu saja pada saat bermimpi itu Dewi Sukesi belum tahu atau belum dapat memahami makna Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu. Oleh karena itu, siapa pun, baik laki-laki maupun perempuan, baik yang masih muda maupun yang sudah tua, yang dapat mewedarkan makna Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu akan menjadi pendamping hidupnya.
Sayembara tanding yang diselenggarakan di Alengka itu bukan berasal dari permintaan Dewi Sukesi, melainkan atas inisiatif pamannya sendiri, Arya Jambumangli. Kedatangan Begawan Wisrawa di Alengka yang mau melamar Dewi Sukesi untuk anaknya raja Lokapala, Prabu Danareja, pun harus melewati permintaan Dewi Sukesi dan perang tanding melawan Arya Jambumangli yang kelewat sakti tersebut. Akhirnya, sayembara itu dapat dimenangkan oleh Begawan Wisrawa, karena hanya dialah yang dapat mewedakan makna Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu dan sekligus mengalahkan Arya Jambumangli. Akhirnya, Dewi Sukesi pun memenuhi janjinya dengan sukarela dan senang hati bersedia menjadi istri Begawan Wisrawa. Dari pernikahan keduanya, Sukesi dan Wisrawa, tersebut lahirlah empat orang anak yang kelak membawa petaka dunia, yaitu Rahwana atau Dasamuka, Kumbakarna, Sarpakenaka, dan Gunawan Wibisana. Dalam novel Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata ketika terjadi perang besar di Alengka, antara para raksasa melawan prajurit kera dari Maliawan, Dewi Sukesi masih hidup dan Wisrawa sudah meninggal.
Sebagai lambang kehidupan manusia, tokoh Dewi Sukesi juga melambangkan nafsu manusia yang tidak terkendalikan oleh goda asmara. Nafsu asmara manusia tidak memandang umur, dan siapa pun yang masih dikaruniai kehidupan akan juga terjangki nafsu asmara yang membara ketika bertemu dengan lawan jenisnya yang dianggapnya cocok. Nafsu asmara manusia ini tidak dapat dihilangkan, tetapi dapat dikendlikan sesuai dengan tata cara tuntunan agama dan kesusilaan.

(3) Prabu Danaraja
Nama lain Prabu Danareja adalah Danapati. Dia merupakan putra Begawan Wisrawa dengan Dewi Lokawati. Setelah ayahnya lengser keprabon dan menjadi pendeta di pertapaan Dederpenyu, kekuasaan negara Lokapala diserahkan kepadanya dengan didampingi patih kembarnya Banendra dan Gohmuka. Ketika raja negeri Lokapala yang tampan itu jatuh cinta pada Dewi Sukesi, dia memanggil ayahnya ke istana untuk dapat melamarkan dan mengikuti sayembara di Alengka yang diadakan oleh Arya Jambumangli. Namun, kemudian Prabu Danareja sangat kecewa kepada ayahnya, Begawan Wisrawa, karena Dewi Sukesi akhirnya tidak menjadi permaisurinya, tetapi justru menjadi ibu tirinya. Pertarungan antara Danareja dengan Wisrawa pun terjadi akibat kesalahpahaman tersebut. Mereka dapat berdamai setelah dilerai oleh Batara Narada. Kelak di kemudian hari Danareja mati terbunuh oleh Rahwana, adik tirinya, dan arwahnya diangkat menjadi dewa dengan nama Batara Kuwera atau Ganeswara. Negeri Lokapala pun dikuasai oleh Rahwana.
            Sebagai lambang manusia, tokoh Prabu Danareja adalah pihak yang terkalahkan, orang tersisih, dan orang yang tidak memiliki nyali berjuang sampai titik darah penghabisan. Dalam bahasa Jawa ada ungkapan “Sadumuk bathuk sanyari bumi ditohi pati” yang maknanya “barang siapa yang berani menggangu wanita pujaannya dan tanah yang dimilikinya, maka akan dibela mati-matian hingga titik darah penghabisan”. Danareja tidak berani melamar sendiri wanita pujaannya, Dewi Sukesi, dan hanya menyerahkan hal itu kepada ayahnya. Ketika negaranya, Lokapala, diminta oleh adik tirinya, Rahwana, Danareja menyerahkan begitu saja meski melalui pertarungan hingga mati. Jadi, barang siapa yang menginginkan wanita pujaannya harus berjuang sendiri sampai titik darah penghabisan.

(4) Rahwana
Nama lain Rahwana adalah Dasamuka, manusia yang memiliki sepuluh wajah. Dia adalah putra sulung Begawan Wisrawa dengan Dewi Sukesi yang terlahir dari segumpal darah. Sejak lahir hingga dewasa Rahwana diminta oleh ayahnya untuk bertapa di puncak gunung Gohkarna. Ketekunan Rahwana bertapa hingga lima puluh tahun membuahkan kesaktian yang luar biasa. Rahwana dapat terbang tanpa sayap. Rahwana juga memiliki kesaktian ajian Candrasa dan aji Pancasona dari Resi Subali yang tidak akan mati apabila bersentuhan dengan bumi. Setelah turun dari gunung Gohkarna, Rahwana memaksa kakeknya, Prabu Sumali, turun tahta dan digantikan oleh dirinya. Prabu Sumali yang sudah tua itu pun menuruti kehendak cucunya dan menobatkan Rahwana menjadi raja Alengka dengan didampingi oleh Prahasta, paman yang merupakan adik Dewi Sukesi, sebagai patih negeri Alengka.

Patih Prahasta
            Mulai saat itu negeri Alengka dibawah kekuasaan Rahwana selalu berselimutkan darah. Kesaktian Rahwana yang luar biasa itu mampu menakhlukkan daerah-daerah sekitarnya menjadi negara jajahan Alengka. Banyak raja dan ksatria mati terbunuh oleh Rahwana, antara lain Prabu Danareja, Patih Gohmuka, Patih Suwanda, dan Jatayu. Demi memenuhi keinginannya untuk menculik Dewi Sinta, Rahwana pun dengan suka rela mengorbankan sahabatnya Kala Marica untuk menjelma menjadi seekor Kijang Emas dan memisahkan Dewi Sinta dari Rama dan Laksaman. Setelah berhasil menculik Dewi Sinta dan memboyongnya ke Alengka, Rahwana menebar kematian di mana-mana hingga membuat Gunawan Wibisana berbalik memihak kepada Rama. Dalam perang besar Alengka antara para raksasa melawan balatentara wanara membuat kematian Rahwana di tangan anak panah Guwawijaya milik Rama. Jasad Rahwana ditimbun gunung Suwelagiri oleh Anoman. Meski jasadnya tertimbun oleh gunung Suwelagiri dan tidak dapat bergerak, gelembung Roh Rahwana tetap menyebar ke seluruh dunia untuk tetap menyebarkan kejahatan di mana-mana. Tokoh Rahwana melambangkan nafsu angkara murka manusia yang tidak dapat terkendalikan, seperti pemarah, tamak, iri, dengki, loba, kejam, bengis, dan aniaya.

(5) Kumbakarna
Kumbakarna adalah anak kedua Begawan Wisrawa dengan Dewi Sukesi yang terlahir dalam wujud telinga. Tidak lama kemudian telinga berubah wujud menjadi raksasa sebesar gunung anakan dan diberi nama Kumbakarna. Meskipun dalam wujudnya raksasa sebesar gunung anakan, Kumbakarna berjiwa ksatria. Kumbakarna memiliki kebiasaan bertapa tidur hingga bertahun-tahun dan susah sekali untuk dibangunkan. Tempat tinggal Kumbakarna disebut ksatrian Pangleburgangsa dengan ditemani abdi kinasih Togog Tejamantri. Ketika mengetahui kakaknya berhasil menculik Dewi Sinta dan memboyongnya ke Alengka, Kumbakarna mencoba mengigatkan agar kakaknya, Rahwana, bersedia mengembalikan Sinta dengan baik-baik kepada Rama. Akan tetapi, nasihat adiknya itu dianggap angin lalu oleh Rahwana. Bahkan, Kumbakarna dianggap sok suci dan dimarahi habis-habisan oleh Rahwana sehingga membuat Kumbakarna patah arang dan kembali ke ksatrian Pangleburgangsa untuk bertapa tidur.
            Setelah terjadi peperangan besar antara para raksasa melawan bala tentara wanara di negeri Alengka, Kumbakarna dibangunkan dan diminta oleh Rahwana menjadi senapati perang setelah pamannya Prahasta gugur. Kumbakarna berkenan maju ke medan laga bukan untuk membela kakaknya yang telah menculik Dewi Sinta, melainkan membela tanah air negeri nenek moyangnya yang telah diinjak-injak oleh musuh. Di tengah medan peperangan Kumbakarna dikerubuti ribuan balatentara wanara yang menyerangnya. Akhirnya, di tengah medan peperangan itu pula Kumbakarna binasa secara mengenaskan dengan tubuhnya terpotong-potong oleh ribuan anak panah Laksamana, dan lehernya pun putus oleh anak panah Guwawijaya milik Rama. Arwah Kumbakarna menjadi penasaran dan mengembara ke seluruh jagat sebelum pada akhirnya kembali kepada Sang Illahi.
            Dalam “Serat Tripama” karya Sri Mangkunegara IV, Kumbakarna menjadi tokoh teladan bagi para wira tamtama prajurit istana Mangkenaran. Tokoh Kumbakarna, seorang ksatria dari Pangleburgangsa di negeri Alengka, ketika terjadi perang besar Alengka dengan prajurit Rama, dia sebagai panglima perang. Setelah Patih Prahasta yang menjadi handalan kerajaan Alengka menghadapi bala tentara Rama itu gugur di medan laga, Rahwana segara menyuruh prajurit raksasa untuk pergi ke ksatrian Pangleburgangsa. Pangleburgangsa adalah tempat tinggal Kumbakarna yang tengah bertapa tidur. Rahwana meminta para raksasa itu membangunkan adiknya yang sedang bertapa tidur. Segala upaya dilakukan oleh para raksasa untuk membangunkan Kumbakarna, misalnya dengan berteriak sekeras-kerasnya dan memukul-mukul segala bunyi-bunyian, tetap saja Kumbakarna tidur pulas. Ketika mereka hampir putus asa, seorang raksasa menemukan cara tepat membangunkan Kumbakarna yang sedang bertapa tidur, yaitu dengan cara mencabut bulu kuduk kakinya.
            Usaha raksasa itu berhasil dengan terbangunnya Kumbakarna dari tidurnya. Setelah bangun, Kumbakarna dijamu makanan yang banyak oleh para raksasa yang membangunkannya itu. Setelah selesai Kumbakarna makan dengan lahapnya semua makanan yang tersedia, dia diberitahu tentang keadaan peperangan di negerinya yang telah menggugurkan Patih Prahasta. Tanpa banyak berbicara Kumbakarna langsung menghadap kakaknya di istana. Sekali lagi, Kumbakarna mengingatkan kakaknya, Rahwana, untuk menyerahkan saja Dewi Sinta kepada Rama. Tindakan merebut Dewi Sinta dari tangan Rama jelas keliru dan menyebabkan peperangan dan bencana ini. Peringatan Kumbakarna tidak dihiraukan oleh Rahwana, justru pada saat itu Rahwana marah besar kepada Kumbakarna. Merasa tidak ada gunanya Kumbakarna mengingatkan kakaknya terhadap jalan kebenaran, tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada kakaknya, Kumbakarna berangkat ke medan peperangan. Di dalam hatinya, Kumbakarna tidak membela keserakahan dan keangkaramurkaan Rahwana, tetapi dia maju berperang karena membela negara, tanah air leluhurnya, dan sebagai warga negara wajib hukumnya membela tanah airnya.
            Di tengah medan peperangan, Kumbakarna berhadapan dengan beribu-ribu prajurit kera dari kerajaan Pancawati. Tanpa mengenal takut terhadap banyaknyaknya musuh yang menghadang, Kumbakarna tetap maju terus menggempur musuh-musuhnya. Korban dari prajurit kera pun berjatuhan satu per satu hingga ribuan jumlahnya. Melihat pasukannya banyak yang gugur di medan laga, Narpati Sugriwa pun maju sendirian menghadapi kemarahan Kumbakarna. Namun, apa daya kekuatan Narpati Sugriwa kalah unggul dengan kesaktian yang dimiliki Kumbakarna. Narpati Sugriwa tak mampu mengakhiri perlawanan Kumbakarna yang dahsyat itu.
Akhirnya, Wibisana meminta kepada Prabu Rama untuk memerintahkan Raden Laksmana maju ke medan laga menghadapi Kumbakarna. Tanpa banyak berbicara Raden Laksmana segera berangkat ke medan laga menghadapi kemarahan Kumbakarna. Berkat panah saktinya yang bernama Sarawara, Raden Laksmana mampu menghancurkan mahkota Kumbakarna, memutuskan kedua tangannya, dan juga mematahkan kedua kaki yang dimiliki oleh Kumbakarna. Tanpa mahkota, tangan, dan kaki lagi, Kumbakarna tetap maju terus melawan musuh. Semua prajurit ketakutan atas sepak terjang Kumbakarna yang demikian itu. Prabu Rama segera mengambil inisiatif dengan melepaskan panah saktinya yang bernama Amogha Sanjata Guawijaya, ketika Kumbakarna sedang berteriak dengan mulutnya yang terbuka lebar. Tepat mengenai telak pangkal lidahnya, Kumbakarna kemudian menemui ajalnya. Kumbakarna gugur sebagai kusuma bangsa membela tanah airnya, yakni negeri Alengka. Hal seperti inilah yang perlu dicontoh oleh semua prajurit wira tamtama negeri ini. Jadi, Kumbakarna adalah tokoh ksatria yang rela berkorban hingga menemui ajalnya membela negara, tanah tumpah darahnya.

(6) Sarpakenaka
Sarpakenaka adalah anak ketiga dari pasangan Begawan Wisrawa dengan Dewi Sukesi yang terlahir dalam wujud kuku. Tidak lama kemudian kuku itu berubah wujud menjadi seorang raksasa perempuan yang tidak sedap baunya dan diberi nama Sarpakenaka. Perempuan raksasa ini tidak memiliki keistimewaan apa-apa kecuali kegemaran akan lelaki. Meskipun Sarpakenaka telah memiliki suami raksasa yang bernama Karadursana dan Trimurda, dia tetap menggoda Rama dan Laksmana di hutan Dandaka untuk melayani nafsu birahinya. Kemarahan Laksmana atas goda rayuan asmara itu mengakibatkan putusnya hidung Sarpakenaka. Menerima perlakuan Laksamana yang demikian Sarpakenaka segera mengadukan kepada kedua suaminya, Karadursana dan Trimurda. Kedua suami Sarpakenaka ini pun akhirnya binasa oleh anak panah yang dilepaskan oleh Laksmana.
Setelah kematian kedua suaminya itu, Sarpakenaka lalu mengadukan nasibnya kepada kakaknya Rahwana. Menerima aduan adiknya seperti itu, Rahwana tidak membela adiknya justru bermaksud untuk menculik Dewi Sinta dengan bantuan sahabatnya Kala Marica. Kematian Sarpakenaka kembali ke asalnya semula menjadi sepotong kuku lagi ketika terjadi peristiwa penggerogotan tambak cinta yang dibangun Rama dengan bala tentaranya. Anoman dapat mengalahkan Sarpakenaka yang dibantu Yuyu Rumpung berkat daya kesaktian air kehidupan permata mendung dari Cupumanik Astagina yang diwarisi dari ibunya Retna Anjani. Dalam diri tokoh Sarpakenaka terkandung nafsu birahi asmara yang tidak terkendali sehingga sering menggoda iman para lelaki hidung belang. Oleh karena itu, Sarpakenaka dapat dipakai sebagai lambang wanita yang senantiasa mengumbar nafsu birahinya dengan menggoda setiap lelaki tampan. Lelaki tampan yang tidak tergoda oleh bujuk rayu Sarpakenaka adalah Laksmana.

(7) Gunawan Wibisana
Gunawan Wibisana adalah putra keempat dari pasangan Begawan Wisrawa dengan Dewi Sukesi. Anak terakhir Dewi Sukesi ini berwujud manusia sempurna yang baik dan bijaksana, karena dia terlahir dari cinta sejati, jauh dari hawa nafsu Sukesi dan Wisrawa. Wibisana memiliki istri seorang bidadari cantik dari Kahyangan bernama Dewi Triwati. Dari perkawinannya itu Wibisana dianugrahi sepasang anak, yakni Denta Wilukrama dan Dewi Trijata. Ketika terjadi perang besar antara raksasa dengan bala tentara wanara di Alengka, Wibisana balik menyebarang memusuhi kakak­nya yang angkara murka. Awalnya Sugriwa dan kawan-kawannya tidak menyetujui Wibisana bergabung dengan bala tentara Rama karena dianggap sebagai mata-mata musuh. Setelah mereka yakin, Wibisana dapat diterima bergabung dengan bala tentara wanara untuk memerangi keangkara murkaan Rahwana. Setelah perang besar di Alengka berakhir, Wibisana dinobatkan oleh Rama sebagai raja di negeri Alengka.

Sunday 17 July 2011

Hastha Sila


HASTHA SILA SUMBER KEARIFAN
PEMBENTUKAN PEKERTI BANGSA

Hastha sila adalah ajaran delapan macam watak utama
yang memumpunkan panembah batin, hati dan cipta,
kepada Tuhan Yang Maha Esa
yang perlu sekali dilaksanakan dalam setiap harinya.

Hastha sila terdiri atas trisila dan pancasila
Trisila merupakan panembah batin secara vertikal, kepada Allah Ta’ala
Pancasila merupakan penembah batin secara horizontal, sesama
Trisila terdiri atas Sadar, Percaya, dan Takwa
Pancasila terdiri atas Rela, Narima, Sabar, Jujur, dan Budi Mulia.

Apabila ajaran tentang  hastha sila
dapat dilaksanakan secara baik oleh setiap manusia
bukan hanya oleh orang Jawa
yang mengenal bahasa, sastra, dan budaya Jawa,
melainkan juga oleh semua insan atau semua umat di dunia,
tentu dapat sebagai sumber kearifan dalam pembentukan jiwa,
watak, karakter, atau pekerti bangsa, bahkan umat di dunia.

Sejatinya hastha sila merupakan hati semua agama
atau inti sari ajaran yang tersimpan di dalam kitab suci Sabda Allah Ta’ala
tentunya hastha sila dapat dilaksanakan oleh siapa saja
yang berhasrat mencapai kesunyataan hidup sejahtera dan bahagia,
baik ketika masih hidup di dunia mapun hingga nanti hidup di alam baka.

Sekalipun ajaran tentang hastha sila
itu tampak sangat bersahaja,
tidak dihiasi dengan berbagai kata-kata
yang muluk-muluk dan pelik-pelik yang membingungkan kita,
tidak berliku-liku jalannya,
dan tidak memakai syarat yang aneh-aneh jua;
sesungguhnya ajaran yang tersimpan dalam hastha sila
itu dapat diibaratkan sebagai minuman jamu yang pahit rasanya,
yang hanya dapat diminum oleh mereka yang teguh budinya
dan yang percaya bahwa jamu itu dapat meyembuhkan penyakitnya.

Oleh karena itu, mudah dan sukarnya
setiap orang menetapi makna ajaran hastha sila
itu hanya sangat bergantung pada orang yang menjalaninya,
apakah berdasarkan keteguhan hati ataukah hanya seenaknya saja.

Bekasi, 17 Juli 2011

(Abstrak kandidat makalah Kongres Bahasa Jawa V, Surabaya, 27—30 November 2011)

Trisila

Trisila ialah tiga macam panembah hati dan cipta
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Trisila juga merupakan Kesanggupan Besar para hamba
yang sangat perlu sekali wajib dan harus dilaksanakan setiap harinya,
yakni Eling (Sadar), Pracaya (Percaya, Iman), dan Mituhu (Takwa)
kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Kesanggupan besar para hamba itu sesungguhnya
telah diprasetiakan oleh Roh Suci (Jiwa sejatinya manusia)
ketika hendak diturunkan hidup ke alam dunia.
Hal itu secara jelas dinyatakan dalam Sasangka Jati, begini bunyinya:
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kesanggupan besar tiga perkara
itu telah engkau sanggupi, ketika engkau hendak diturunkan ke alam dunia.”

Kesanggupan hamba untuk melaksanakan panembah batin trisila
sesungguhnya telah termuat sekaligus dalam makna:
Paugeran Tuhan kepada hamba.
Hal itu secara jelas dinyatakan dalam Sasangka Jati, bab Dalan Rahayu jua
“oleh sebab Paugeran tersebut mengandung maksud pula
akan kesanggupan besar tiga perkara, trisila
yang disucikan dengan perilaku baik lima perkara
seperti yang sudah Aku sabdakan dalam ajaran Hastha Sila,
yakni bagian Trisila dan Pancasila.”

Paugeran Tuhan kepada hamba
inilah merupakan perjanjian agung antara Tuhan dan hamba,
yang telah diprasetiakan oleh Roh Suci, ketika
hendak diturunkan ke alam dunia,
hal ini menjadi kesaksian, bahwa dari awal (sebelum lahir ke dunia)
hingga akhir (ajal kematian meninggalkan dunia)
kita tetap (tidak berubah berganti) bahwa:

Suksma Kawekas adalah tetap menjadi
sembahan hamba yang sejati,
adapun Suksma Sejati
adalah tetap menjadi Utusan Tuhan Sejati,
serta menjadi Penuntun dan Guru hamba yang sejati.

Hanya Suksma Kawekas pribadi
yang menguasai semesta alam seisinya,
hanya Suksma Sejati pribadi
yang menuntun para hamba semua.

Semua kekuasaan
ialah kekuasaan Suksma Kawekas,
ada pada Suksma Sejati,
adapun hamba
ada di dalam kekuasaan Suksma Sejati.

Oleh karena itu, wahai semu insani
setiap hamba janganlah sampai
melupakan prasetia suci
yang telah dikrarkan sejati
sampai kapan pun nanti,
harus dan harus senantiasa hidup di dalam batin hati
yakni jiwa insani, di pusat hati sanubari yang suci.

Apabila Paugeran Tuhan kepada hamba ini
sudah senantiasa dapat hidup di dalam batin setiap insani,
dapat menjadi tali yang kukuh terkendali,
yang menghubungkan hamba dengan Ilahi,
dan dapat menjadi jalan mengalirnya daya kekuatan Ilahi,
yang dihantarkan oleh Sang Guru Sejati
sampai ke pusat hati sanubari.

Paugeran Tuhan kepada hamba
haruslah menjadi pedoman (kompas) yang nyata
yang dipegang teguh oleh hamba di alam apa saja,
baik di alam dunia, alam kafiruna, maupun alam baka.

Seandainya ada seorang hamba
terjerumus masuk ke alam kafiruna,
maka yang akan dapat menolong hamba
terentas (agar dapat keluar) dari alam kafiruna,
tidak ada lain kecuali hanya Paugeran Tuhan kepada hamba.

Oleh karena itu, hai para manusia
Peugeran Tuhan kepada hamba
bermanfaat sekali untuk menolong jiwa manusia
jiwa manusia yang silap akan maya pesona dunia
agar kembali sadar akan kebulatan tekadnya
yang telah menjadi keyakinan jiwanya.

Jadi, kesanggupan besar trsila
yang sudah terkandung dalam makna
Paugeran Tuhan kepada hamba
itu sudah harus dijiwai dan diresapkan hingga
ke dalam pusat hati sanubari manusia
sehingga menjadi dasar panembah yang benar dan nyata.

Bekasi, 8 Juli 2011

(Pengisian Olah Rasa Cabang Rangkasbitung, Minggu, 10 Juli 2011)

Pertemuan 15 Teori Sastra Tempatan