Friday 9 December 2011

GUBERNUR LEMHANAS REPUBLIK INDONESIA

Gubernur Lemhanas RI: Prof. Dr. Ir. Budi Susilo Soepandji, DEA.

 
"Buah akan mencerminkan pohonnya. Keberhasilan orangtua akan dinilai dari bagaimana mereka membesarkan dan mendidik putra-putrinya." Pepatah tersebut ditulis Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta,  Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, pada halaman pertama buku biografi Roesmiati Soepandji, The Long and Winding Road (Metropolit Media Promosindo, Surabaya, 2009)

Dalam buku The Long and Winding Road: Sebuah Biografi Roesmiati Soepandji dalam Memperoleh Kesejahteraan, Ketenteraman, dan Kebahagiaan Hidup yang Abadi terbitan 2009, Komaruddin menyatakan, dengan formula tersebut, Roesmiati Soepandji telah membesarkan putra-putrinya menjadi sarjana mandiri, berintegritas, terpandang dalam pergaulan nasional, dan sangat hormat kepada kedua orangtua.

”Hanya akar dan pohon yang sehat akan melahirkan dedaunan yang rimbun dan buah yang sehat sehingga memberi berkah bagi lingkungannya,” tulis Komaruddin.

Roesmiati dan suaminya, Brigadir Jenderal (Purn) dr Soepandji (alm), termasuk salah satu keluarga di negeri ini yang melahirkan anak-anak yang sukses. Tiga dari enam anak mereka menduduki jabatan tertinggi di beberapa lembaga, yakni Hendarman Soepandji, SH (64), mantan Jaksa Agung; Mayor Jenderal TNI Hendardji Soepandji (58), mantan Komandan Pusat Polisi Militer TNI dan mantan Asisten Pengamanan Kepala Staf Angkatan Darat; serta Prof Dr Ir Budi Susilo Soepandji, DEA (56) yang saat ini menjabat Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas).

Dua anaknya yang lain sukses berkarier dalam bidang pendidikan, yakni dr Hendarto (66), dosen di Universitas Diponegoro, Semarang; dan Dra Hendarti (60), dosen Universitas Yayasan Administrasi Indonesia, Jakarta. Adapun seorang putra lainnya, Ir Bambang Tri Sasongko (48), adalah pengusaha yang bergerak di berbagai bidang, antara lain batu bara dan pelabuhan.

Bagaimana pasangan Roesmiati dan Soepandji mendidik dan membentuk karakter putra mereka  hingga berhasil dalam studi dan karier? Saat ditemui, awal April 2011 di rumahnya di Magelang, Jawa Tengah, Roesmiati yang September mendatang genap berusia 87 tahun menuturkan, sejak kecil anak-anaknya dilatih disiplin oleh ayah mereka. ”Pukul 04.30 pagi anak-anak sudah dibangunkan dan diajari berenang oleh bapaknya,” ujarnya.

Sementara Roesmiati punya cara tersendiri membesarkan anak-anaknya. Sejak anak-anaknya masih kecil, setiap malam, sebelum tidur, dia menceritakan dongeng-dongeng dengan berbagai pesan moral. Kisah yang didongengkan adalah cerita dari kumpulan dongeng Hans Christian Andersen yang diubah menjadi cerita rakyat dengan cara mengganti nama tokohnya dengan nama-nama Jawa.

”Dengan mengganti nama yang lebih akrab dengan telinga mereka, anak-anak dapat lebih cepat menangkap dan merekam pesan moral dari cerita yang saya sampaikan. Dari  dongeng itulah saya tanamkan kepada mereka agar kelak menjadi kusuma bangsa,” ujarnya seraya mengakui tidak begitu paham cerita rakyat karena sejak kecil mengenyam pendidikan ala Belanda.

Selain menanamkan nilai kesabaran, kasih sayang, dan kejujuran, sang ibu juga mendidik anak-anaknya takut akan Tuhan. ”Saya ingin anak-anak saya menjadi kekasih Tuhan,” ujarnya. Maka, sejak anak-anaknya lahir, doa Roesmiati selalu mengawal langkah anak- anaknya. Bahkan, demi kesuksesan anak- anaknya, sang ibu rela melakukan ritual puasa selama tiga hari, sebelum dan sesudah weton (hari kelahiran sesuai pasaran Jawa) tiap-tiap anak. Kebiasaan ini terus berlanjut hingga mereka menamatkan pendidikan sarjana. Sesuai dengan adat kebiasaan wanita Jawa, hal itu dilakukan sebagai upaya tirakat dan doa agar putra-putrinya dapat hidup sukses dan bahagia.

”Saya selalu pesan, jika jadi dokter sembuhkanlah banyak orang dan jangan cari uang, jadi guru jangan kejam, jadi tentara jangan untuk membunuh, dan jangan pernah korupsi dan memanipulasi dana pembangunan kalau jadi insinyur,” ujarnya.

Pendidikan anak-anak diarahkan
Saat anak-anak mereka lulus SMA, Roesmiati menegaskan, dia dan  suaminya memang mempersiapkan ke mana anak- anak itu harus melanjutkan studi. Kecuali Hendardji yang sejak kecil bercita-cita menjadi tentara, lima anak pasangan Roesmiati dan Soepandji diarahkan kuliah dengan disiplin ilmu berbeda-beda.

Putra sulung, dr Hendarto (Nto), mengikuti jejak sang ayah, menjadi dokter dan kini dosen di Fakultas Kedokteran Undip. Putra kedua, Hendarman Soepandji (Mamang), yang awalnya ngotot masuk jurusan teknik, akhirnya mau kuliah di Fakultas Hukum, sebagaimana keinginan orangtuanya. Hendarman tak hanya menjadi jaksa biasa, tetapi dalam kariernya dia mencapai jabatan tertinggi di Kejaksaan Agung.

Anak ketiga yang merupakan satu-satunya perempuan, Hendarti (Heni), diarahkan kuliah di bidang psikologi dan hingga kini menjadi dosen Psikologi di Kampus YAI Jakarta. Sementara putra keempat, Hendardji (Haji), yang sejak kecil menunjukkan minat dengan dunia tentara, sejak lulus SMA memantapkan diri masuk Akademi Militer Magelang. Tak hanya sukses berkarier militer, kini  Hendardji juga dipercaya menjabat Direktur Utama Pusat Pengelolaan Kompleks Kemayoran (PPKK) Jakarta.

Budi Susilo Soepandji (Usi) yang merupakan anak kelima pasangan Roesmiati dan Soepandji sejak kecil menunjukkan kemampuan berpikir secara bijaksana. Budi pun mengenyam pendidikan S-2 dan S-3 di Perancis. Sebelum dipercaya presiden menjabat Gubernur Lemhannas, Budi pernah menjabat Direktur Jenderal Potensi Pertahanan Departemen Pertahanan dan Dekan Fakultas Teknik Universitas Indonesia.

Berbeda dengan kelima kakaknya, putra bungsu, Bambang Tri Sasongko (48), memilih berkecimpung di dunia usaha. Pendidikan karakter yang ditanamkan sejak kecil hingga kini dipegang anak-anak Roesmiati dan Soepandji. Bahkan, Hendardji dalam buku biografinya mengakui mendidik anak bukan hanya menjadikan seorang anak menjadi pintar, melainkan yang jauh lebih penting harus mempunyai karakter. ”Sehingga sekarang, saat usia kami sudah tua begini, dongeng itu masih membekas sehingga saya merasa inilah pendidikan yang paling efektif,” demikian pandangan Hendardji tentang sosok ibunya.

Sebagai perempuan, Roesmiati menyatakan, dia tidak hanya sekadar menjadi ibu yang melahirkan anak-anak, tetapi juga sebagai pendidik anak yang pertama dan utama dalam membentuk anak-anak yang berbudi pekerti luhur. Pertama, karena anak dikandung ibu dan utama karena ibulah yang setiap saat berada di sisi anak-anaknya.

Seperti ungkapan dalam sebuah buku, when you educate one man, you educate one person, but when you educate one women, you educate one generation. Ketika Anda mendidik satu orang, Anda mendidik satu orang, tetapi ketika Anda mendidik satu perempuan, Anda mendidik satu generasi.

Nama:  Budi Susilo Soepandji
Gelar :  Prof., Dr., Ir., DEA.
Departemen : Teknik Sipil
Fakultas : Teknik
NIP / NUP : 130888610
Jabatan Fungsional : Guru Besar
Jenis Kelamin : Pria
Tempat, Tanggal Lahir : Yogyakarta, 27 Oktober 1954
E Mail : budisus@eng.ui.ac.id,
budisoepandji@yahoo.com

Penelitian yang Telah Dilakukan (5 Tahun Terakhir):
  • Peneliti Utama Riset Unggulan Terpadu VIII (RUT/VIII) dengan judul “Uji Laboratorium dan Aplikasi Piranti Lunak untuk Kasus Geotextile sebagai Reinforcement pada Konstruksi Timbunan di atas Tanah Gambut” (2001/2003)
  • Peneliti Utama Riset Unggulan Kemitraan V (RUK/V) dengan judul “Sistem Pondasi dan Lapisan Pendukung Konstruksi Jalan di atas Tanah Gambut” (1999/2001)
Publikasi Karya Ilmiah; Buku, Artikel, Jurnal, Makalah, Presentasi, Paten/ Hak Cipta (5 Tahun Terakhir) :
  • T. Ilyas, C. F. Leung, Y.K. Chow, Soepandji Budi. Centrifuge Model Study of Laterally Loaded Plie Groups in Clay. Journal ASCE Geotecnical and Geoenvieonment Engineering, March 2004
  • Budi Soepandji, Rahayu W.A. Prakoso W, Peran Geoteknik Dalam Reklamasi Pantai, Seminar terbatas FT UI, 10 Desember 2003 • Budi Soepandji, Uji Timbunan Jalan (Trial Embankment) di atas Tanah Gambut Bereng Bengkel, Palangkaraya Menggunakan Bahan Material Ringan (Expanded Poly Styrene), Pertemuan Ilmiah Tahunan HATTI, Jakarta, Agustus 2003
  • Rahayu, W., Fleureau, J.M., Soepandji, B.S., (8--9 Oktober 2002). “Etude de la Tourbe : Comportemen, Mechanique de la Tourbe Indonesienne”, dipresentasikan dan dipublikasikan pada JNGG 2002, Nancy.
  • Trigunarsyah B, Soepandji, B.S., Abidin, I.A., (25027 September 2002). “Improving Building Mantainability using Constructability Approach : A Review of Indonesian Constructed Facilities”, dipresentasikan dan dipublikasikan pada the 3rd Asia Pasific Conference on System Integrity and Mantainance, Brisbane, Australia.
  • Soepandji, B.S., Samudra, H., (6--7 Agustus 2002). “Korelasi Pendekatan dengan Settlement dan Pore Pressure untuk Evaluasi Koefisien Konsolidasi Primer”, dipublikasikan pada The 2001 FTUI Seminar Quality in Research Proceeding (ISSN 1411.1284).
  • Soepandji B.S., Damoerin, D., D. Katili, I., Apriia, Asti W., (6--7 AGUSTUS 2002). “Penelitian Penurunan Konstruksi Trial Embankment dengan EPS di atas Tanah Gambut Menggunakan Metode Elemen Hingga –  Studi Kasus Bereng Bengkel, Kalimantan Tengah”, dipresentasikan dan dipublikasikan pada The 2002 FT UI Seminar Quality in Research (ISSN 1411.1284).
Keanggotaan Organisasi Ilmiah:
  • Anggota Himpunan Ahli Teknik Tanah Indonesia (HATTI)
  • Anggota Himpunan Ahli Manajemen Konstruksi Indonesia (HAMKI)
  • Anggota Himpunan Ahli Konstruksi Indonesia (HAKI)
  • Anggota Conseille Internationale du Batiment (CIB)
  • Anggota Persatuan Insinyur Indonesia (PII)
  • Anggota Ikatan Ahli Manajemen Proyek Indonesia (IAMPI)

Sumber : ekstra.kompas.com

Wednesday 23 November 2011

Manusia, Puisi, dan Kesadaran Lingkungan

Hasil Penelitian Program Insentif Peningkatan Kemampuan Peneliti dan Perekayasa (PKPP) Kementerian Negara Riset dan Teknologi Tahun 2011

Persoalan pemeliharaan lingkungan hidup yang bersih dan sehat menjadi masalah yang pelik setelah manusia mengenal perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih serta gaya hidup modern. Semakin berkembang atau bertambahnya manusia dan makhluk lain penghuni dunia, dari tahun ke tahun, bahkan dari abad ke abad, semakin menambah persoalan pemeliharaan lingkungan hidup yang bersih dan sehat bagi penghuni dunia, alam semesta seisinya, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, buku hasil penelitian ini berusaha menganalisis makna dan pesan utama 18 puisi Indonesia modern yang ditulis oleh 8 penyair sastra Indonesia modern (Eka Budianta, Slamet Sukirnanto, Sapardi Djoko Damono, Taufiq Ismail, Suryatati A. Manan, Dorothea Rosa Herliany, Iwan Nurdaya Djafar, dan Ataswarin Kamariah Moewardi Bambang Sarah) sebagai salah satu upaya untuk menyadarkan masyarakat agar senantiasa menjaga, memelihara, dan melestarikan lingkungan hidup yang bersih dan sehat.
Masalah penelitian ini adalah bagaimanakah makna dan pesan utama persoalan pemeliharaan lingkungan hidup yang bersih dan sehat dalam puisi Indonesia modern yang ditulis oleh delapan penyair sastra Indonesia modern di tengah masyarakat perkotaan yang padat penduduknya, terutama masalah pengelolaan sampah dan limbah, usaha pencegahan berbagai polusi udara, pemeliharaan aliran sungai dan drainase, pelestarian hutan demi keseimbangan ekosistem, konteks sosial masyarakat enam kota di Indonesia dengan masalah lingkungan hidup, tingkat keberterimaan masyarakat enam kota di Indonesia atas makna dan pesan utama 18 puisi lingkungan hidup, serta bagaimana tanggapan, pesan, dan harapan masyarakat enam kota di Indonesia tentang puisi dan kesadaran masyarakat akan lingkungan hidup?
Tujuan penelitian ini adalah mengungkapkan dan mendeskripsikan makna dan pesan utama yang termuat dalam 18 puisi bertema lingkungan hidup, konteks sosial masyarakat pembaca enam kota di Indonesia dengan masalah lingkungan hidup, tingkat keberterimaan masyarakat enam kota di Indonesia atas makna dan pesan utama 18 puisi lingkungan hidup, serta bagaimana tanggapan, pesan, dan harapan masyarakat enam kota di Indonesia tentang puisi dan kesadaran masyarakat akan lingkungan hidup. Dengan masalah dan tujuan ini, hasil yang diharapkan dari penelitian adalah agar masyarakat memiliki kesadaran untuk memelihara lingkungan hidupnya yang bersih dan sehat, bebas dari sampah dan limbah yang berserakan, sungai dan drainase airnya tetap jernih dan dapat lancar mengalir, berusaha mencegah terjadinya polusi udara, dan masyarakat gemar menanam dan memelihara pepohonan demi keseimbangan ekosistem.
Berdasarkan masalah dan tujuan tersebut penelitian ini menggunakan metodologi pendekatan kualitatif, yaitu melalui analisis konten terhadap 18 puisi Indonesia modern untuk menemukan makna dan pesan utamanya, lalu menyebarluaskan makna dan pesan utama 18 puisi tersebut kepada masyarakat dengan teknik kuesioner yang dilengkapi dengan tanya jawab atau wawancara kepada 180 responden yang berada di Jakarta, Pekanbaru, Tanjung Pinang, Pontianak, Mataram, dan Makassar.
Hasil penelitian mengungkapkan bahwa makna dan pesan utama 18 puisi Indonesia modern yang bertema lingkungan hidup dan ditulis oleh delapan penyair sastra Indonesia modern adalah masyarakat diharapkan untuk senantiasa dapat: (1) mengelola sampah dan limbah agar tidak menimbulkan berbagai penyakit, terekspresikan dalam puisi “Sampah” karya Ataswarin, “Potret Tukang Sampah” karya Eka Budianta, dan “Air Selokan” karya Sapardi Djoko Damono, (2) mengusahakan pencegahan polusi udara agar dapat diperkecil ambang batas kotornya sehingga udara kembali menjadi bersih dan sehat, terekspresikan dalam puisi “Polusi Udara” karya Ataswarin, “Pohon di Tepi Jalan” karya Sapardi Djoko Damono, “Menengadah ke Atas, Merenungi Ozon yang Tak Tampak” karya Taufiq Ismail, “Membaca Tanda-Tanda” karya Taufiq Ismail, dan “Lingkungan Mati” karya Taufiq Ismail, (3) menjaga dan memelihara aliran sungai dan drainase secara baik agar air tetap jernih dan dapat mengalir lancar, terekspresikan dalam puisi “Perjalanan Sungai” karya Eka Budianta, “Sungai Ciliwung yang Miskin” karya Slamet Sukirnanto, “Sungai yang Mengalirkan Air Mata dan Hujan yang Meneteskan Pasir-Pasir” karya Dorothea Rosa Herliany, “Banjir” karya Suryatati A. Manan, dan “Banjir” karya Ataswarin, dan (4) berusaha melestarikan hutan dan tanaman untuk keseimbangan ekosistem, terekspresikan dalam puisi “Ada Belantara, Pohon di Mana” karya Slamet Sukirnanto, “Gergaji” karya Slamet Sukirnanto, “Hutan” karya Sapardi Djoko Damono, “Pokok Kayu” karya Sapardi Djoko Damono, dan “Cerita dari Hutan Bakau” karya Iwan Nurdaya Djafar.
Pesan utama dari 18 puisi tentang lingkungan hidup itu adalah (1) masyarakat perlu mendapatkan informasi yang benar tentang penanganan sampah dan limbah sebab selama ini mereka tidak diberi solusi tentang penanganan sampah dan limbah secara benar. Oleh karena itu, perangilah sampah dan limbah walau dengan alat sederhana dan jangan biarkan sampah dan limbah berserakan di mana-mana sehingga menimbulkan berbagai penyakit; (2) udara di sebagian besar wilayah kita telah tercemar oleh sisa pembakaran kendaraan bermesin, sisa pembakaran pabrik-pabrik industri, dan asap pembakaran lahan dan hutan secara besar-besaran sehingga udara kotor dan tidak sehat. Oleh karena itu, usahakanlah pencegahan semakin berlarut-larutnya polusi udara dengan mengurangi pembakaran-pembakaran dan berusahalah menanam dan memelihara pohon sebanyak-banyaknya, agar udara kembali menjadi bersih dan nyaman kita hirup bernapas; (3) jaga dan peliharalah aliran sungai dan drainase agar air tetap jernih dan mengalir lancar serta tidak menimbulkan bencana banjir ketika musim penghujan datang. Oleh karena itu, jangan membuang sampah dan limbah di sungai dan selokan, jangan tinggal di bantaran sungai, dan berusahalah membersihkan aliran sungai dan drainase agar tidak menimbulkan berbagai bencana dan penyakit; dan (4) lestarikan hutan dan lahan sebagai paru-paru dunia, jagalah hutan dan lahan agar tidak dibalak dan dibakar oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, bangkitkan kembali gerakan penghijauan, dan fungsikan lahan dan hutan secara benar sehingga terdapat keseimbangan ekosistem.
Konteks sosial masyarakat pembaca enam kota di Indonesia dan tingkat keberterimaan masyarakat tersebut terhadap makna dan pesan utama 18 puisi adalah cukup besar, berkisar 50%--95%, responden tahu, mengerti, dan paham akan persoalan lingkungan hidup dan mereka pun tahu dan paham bagaimana cara mengatasinya, serta dapat menerima dengan baik dan tepat atas makna dan pesan utama kedelapan belas puisi tersebut. Masyarakat berharap agar sosialisasi atau kampanye “sadar lingkungan”, melalui penyuluhan ataupun dengan pembacaan puisi lingkungan hidup, tetap terus dilakukan secara berkesinambungan dan jangan hanya sporadis. Hal ini mengingat bahwa kesadaran masyarakat akan lingkungan hidup yang bersih dan sehat dapat bangkit dan diterapkan dalam perbuatan sehari-hari apabila sering diingatkan atau dipesankan melalui berbagai cara tersebut.
Buku Manusia, Puisi, dan Kesadaran Lingkungan ini merupakan hasil penelitian yang bertajuk ”Persoalan Pemeliharaan Lingkungan Hidup yang Bersih dan Sehat dalam Puisi Indonesia Modern” dari Program Insentif Peningkatan Kemampuan Peneliti dan Perekayasa (PKPP) Kementerian Negara Riset dan Teknologi Tahun 2011. Oleh karena itu, atas terbitnya buku hasil penelitian ini kami tidak lupa mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada: (1) Menteri Negara Riset dan Teknologi melalui Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang telah menyetujui penelitian ini dilaksanakan dengan dukungan dana riset insentif yang diberikannya; (2) Dr. Ir. Anny Sulaswatty, M.Eng., Kepala Biro Hukum dan Humas, beserta Dr. Wisnu dari Kementerian Negara Riset dan Teknologi, atas monitoring dan pengarahannya dalam melaksanakan penelitian ini, (3) teman-teman dari jajaran Pusat Penelitian Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, atas pengelolaan program insentif PKPP TA 2011, (4) Prof. Dr. Cece Sobarna selaku Kepala Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang telah mengusulkan dan menyetujui kegiatan penelitian ini dilakukan hingga selesai; (5) Dr. Mu’jizah selaku Kepala Bidang Pengkajian Bahasa dan Sastra, Badan Bahasa, dan sekaligus sebagai konsultan dan narasumber penelitian yang telah rela meluangkan waktu untuk membimbing dan mengarahkan penelitian ini hingga mencapai hasil yang sedemikian; dan (6) Drs. Dhanu Priyo Prabowo, M.Hum., yang berkenan meyunting hasil penelitian dan mengusahakan terbitan buku ini. Semoga amal baik beliau-beliau mendapatkan imbalan dari Tuhan Yang Maha Esa.
Harapan kami, buku hasil laporan penelitian yang sangat bersahaja ini dapat memberi sumbang sih bagi usaha pelestarian dan pemeliharaan lingkungan hidup yang bersih dan sehat kepada masyarakat di Indonesia, khususnya dalam usaha sosialisasi atau kampanye sadar lingkungan kepada masyarakat Indonesia, dan memberikan apresiasi puisi Indonesia modern yang bertema masalah lingkungan hidup. Buku ini hanya sebagai salah satu sarana untuk ikut serta mengingatkan masyarakat agar sadar lingkungan. Semoga. Amin.

Sunday 2 October 2011

Bang Adji Balon Gub DKI 2012--2017


Pemilik nama lengkap Mayjen TNI (Purn). Drs. H. Hendardji Soepandji, SH., ini lahir dan besar di Semarang. Sosok yang dikenal punya jiwa kepemimpinan (leadership), tegas, konsisten, jujur dan bersih, kompeten, serta berintegritas tinggi ini menyelesaikan pendidikan militernya di AKABRI Magelang pada 1974.

Beliau merupakan anak ke-4 dari 6 bersaudara dari pasangan almarhum Brigjen (Purn) dr. Soepandji dan Roesmiati (Magelang), serta cucu dari almarhum dr. Roestamadji (Semarang). Di militer, pria yang akrab disapa Bang Adji ini pernah dipercaya mengemban jabatan Komandan Pusat Polisi Militer Angkatan Darat (Dan Puspomad) pada 2006 dan Asisten Pengamanan (Aspam) KSAD pada tahun 2008.

Sukses Bang Adji dalam karir, juga dialami kelima saudara kandungnya. Kakak sulungnya, dr. Hendarto Soepandji, menjadi dosen di Universitas Diponegoro Semarang. Kakak keduanya, Hendarman Soepandji, adalah mantan Jaksa Agung RI. Lalu kakak ketiganya, Dr. (Cand) Hendarti Permono, adalah dosen di Universitas Yayasan Administrasi Indonesia Jakarta. Sementara adiknya Prof. Dr. Ir. Budi Susilo Soepandji saat ini menjabat Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas). Adapun adik bungsunya, Ir. Bambang Tri Sasongko, adalah pengusaha yang bergerak di berbagai bidang, antara lain batu bara dan pelabuhan.

Menikah dengan dr. Ratna Rosita, MPHM, saat ini menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan, Bang Adji  dikaruniai dua putra, yaitu Adit dan Ica.

Bang Adji mencurahkan waktu, pikiran, dan energi untuk berikhtiar memajukan dan menyejahterakan bangsa, khususnya Kota Jakarta. Terkait itu, Bang Adji terbuka terhadap berbagai ide dan gagasan demi terwujudnya kemajuan dan kesejahteraan tersebut.

Pada akhir 1997 dan awal 1998, ketika krisis moneter terjadi, sembilan bahan pokok (sembako) hilang dari peredaran, Hendardji Soepandji yang saat itu sebagai Dan Pomdam Jaya dapat menyelesaikan masalah penimbun sembako.

Pada 10 November 1998, ketika bentrok fisik antara PAM Swakarsa dan masyarakat setempat di tugu proklamasi, Hendardji berdiri di antara dua kelompok massa yang terlibat bentrok untuk melerai dan mengevakuasi salah satu kelompok keluar dari Tugu Proklamasi.

Pada 22 November 1998, Hendardji menyelamatkan dan mengevakuasi 300 orang kelompok suku Ambon dari Basement Gajah Mada Plaza ketika terjadi amuk massa di jalan Ketapang, Jakarta.

Sebagai Dirut PPKK, Hendardji akan menjadikan Kemayoran sebagai kawasan Green International Business District (GIBD) seluas 454 ha dengan RTH 30% dan akan membangun gedung Grand Kemayoran yang mampu menampung 25.000 penonton untuk berbagai even, baik olahraga, kesenian & budaya, maupun berbagai acara lainnya. Kemayoran (Jakarta ke depan) juga akan dikembangkan sebagai Cyber City. Hendardji Soepandji juga merencanakan untuk membangun transportasi sampai ke Kawasan kelurahan.

Saat ini Bang Adji mempersiapkan diri untuk maju menjadi bakal Calon Gubernur DKI Jakarta 2012-2017.
(Sumber: http://bangadjicenter.com/page.php?p=biografi)

Friday 5 August 2011

Wahyu Agung Pembebas Jagat

Sastra Jendra Hayuningrat

Werdining Sastra Jendra Puniki

Sastra Ngelmu Jendra Gung Bawana

Ya Ngelmu Sangkan Parane

Ngelmu Sajati Tuhu

Pituduh Nyata Guru Jati

Lakune Hastha Sila

Ngambah Dalan Hayu

Nyingkiri Kabeh Paliwara

Dadia Hayune Bawana Sayekti

nTuk Nugrahaning Suksma



Lakune Hastha Sila Puniki

Tarlen Saking Netepi Trisila

Kapindho Pancasilane

Trisila Tegesipun

Panembahing Cipta Lan Ati

Tri Prakara Binagya:

Pracaya Mituhu

Eling Kang Mangka Purwanya

Marang Gusti Pangeran Kang Maha Suci

Sinebut Tripurusa



Kang Aran Pancasila puniki

Susilayu Silastuteng Driya

Sucining Kalbu Tegese

Limang Prakara Iku

Dihin Rila Mring Kukum Widdhi

Kapindho Anarima

Ing Sakadar Pandum

Katri Temen Barang Karya

Ping Pat Sabar Nampa Cobaning Hyang Widdhi

Lima Luhur Budinya



(Terjemahan dalam Bahasa Indonesia kurang lebih sebagai berikut.
Rahasia makna Sastra Jendra Hayuningrat ialah
Sastra = Ilmu, Jendra = Agung, Hayuningrat = Wahyu Pembebas Jagat,
Yakni Ilmu Asal dan Tujuan Hidup,
Ilmu Sejati yang sesungguh-sungguhnya,
Petunjuk Nyata Guru Sejati,
Lakunya (dengan watak) Hasta Sila,
Menempuh Jalan Rahayu (Jalan Keselamatan), dan
Menyingkiri semua Paliwara (Lima Larangan Tuhan),
Jadilah Keselamatan, Kesejahteraan, dan Ketentraman Dunia
Mendapatkan Anugerah Tuhan.

Laku (dengan watak) Hasta Sila ialah
Tiada lain hanya dari menetapi Trisila,
dan yang kedua Pancasila.
Trisila maknanya:
Panembahnya Cipta dan Hati,
Terdiri atas Tiga Hal:
Percaya (Iman), Taat (Takwa), dan
Sadar (Zikir, Sembahyang, dan berbakti) untuk yang utamanya
Kepada Tuhan Yang Maha Esa ialah Tuhan Yang Maha Suci
Disebut Tripurusa.

Yang disebut dengan Pancasila ialah
Hati yang bersih penuh dengan kesusilaan
Maknanya Sucinya Hati
Itu ada lima hal:
Yang pertama: Rela terhadap Hukum Tuhan,
Yang kedua: Menerima
apa pun yang sudah menjadi bagiannya,
Yang ketiga: Jujur menepati janji dan kesanggupan,
Yang keempat: Sabar menerima cobaan Tuhan,
Yang kelimanya: Berbudi Luhur.)


Monday 18 July 2011

Sastra Jendra dan Pendidikan Anak dalam Kandungan


“SASTRA JENDRA HAYUNINGRAT PANGRUWATING DIYU

Begawan Wisrawa adalah seorang penuntut ilmu kesuksmaan yang merosot derajat kesiswaannya karena tergoda oleh tiga macam godaan dan melanggar Paliwara. Godaan pertama, Wisrawa terpeleset oleh godaan kasar gebyaring wentis kuning “sengsemnya asmara”, yakni tergiur oleh kecantikan dan kemolekan Dewi Sukesi, putri raja Negeri Alengka, Prabu Sumali Raja, yang sebenarnya Wisrawa hanya bertugas melamarkan untuk anaknya Prabu Danapati, Raja Negeri Lokapala.
Setelah mampu mewedarkan rahasia ilmu “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” kepada Dewi Sukesi itu Begawam Wisrawa terkena godaan kedua, godaan gawat dengan masuknya Roh Batara Kala dalam tubuh dirinya, dan Dewi Sukesi pun terkena godaan gawat dengan masuknya Roh Betari Durga yang juga masuk ke dalam dirinya. Atas godaan tersebut, keduanya tidak sadarkan diri telah melanggar Paliwara bab syahwat. Perbuatan hina keduanya mendapatkan karma dengan lahirnya Rahwana, lambang keangkamurkaan nafsu amarah yang tidak mampu dikendalikan.
Ketika Wisrawa tengah asyik memadu cinta di Taman Argo Soka Negeri Alengka bersama Dewi Sukesi, di luar Taman Sari terjadilah huru-hara kemarahan Arya Jambumangli mencacimaki dan menantang perang Begawan Wisrawa, serta menghina dina Dewi Sukesi sebagai wanita “pelanyahan” yang haus seksualitas. Merasa dirinya dihina dan diremehkan Jambumangli, Begawan Wisrawa terpeleset lagi akan godaan ketiga, godaan halus akunya (adigang adigung adiguna), bahwa dirinya lebih kuat dan perkasa, serta lebih agung dan lebih pandai dari Arya Jambumangli. Demikian halnya Dewi Sukesi pun sakit hati atas hinaan pamannya tersebut, dan meminta Wistawa untuk membereskannya. Perkelahiannya dengan Arya Jambumangli tanpa disadari pula oleh Wisrawa bahwa hal itu telah melanggar Paliwara bab “cecongkrahan” (berselisih). Arya Jambumangli gugur mengenaskan dengan tubuh termutilasi oleh panah sakti Wisrawa. Atas perbutannya ini keduanya menerima karma dengan lahirnya Kumbakarna dan Sarpakenaka, lambang nafsu Lauwamah dan Sufiah yang tidak mampu dikendalikan.
Wisrawa dan Sukesi kedatangan Resi Wasista dan Dewi Arundati, orang tua Wisrawa. Keduanya mendapatkan nasihat untuk kembali ke jalan benar, ialah jalan utama yang berakhir dalam kesejahteraan dan ketentraman abadi, yakni di hadirat Tuhan Sejati di Taman Kemuliuan Abadi. Bahwa ilmu Sastra Jendra Hayuningrat bukan hanya sekadar untuk pembicaraan, melainkan untuk dilaksanakan (menjadi laku) dengan dimulai menempuh Jalan Rahayu dan menyingkiri Paliwara, agar dapat melaksanakan panembah batin Hastha Sila dengan sempurna.
Dewi Arundati memberi nasihat kepada semua wanita, terutama kepada Dewi Sukesi, agar dapat menjadi mustikanya wanita: (1) menyadari kewajiban suci sebagai lantaran menerima dan mengandung Roh Suci, (2) kewajiban suci ini haruslah dilaksanakan dengan kesucian dan kesusilaan dengan dasar kasih sayang sejati, dan (3) rasa kasih sayang sejati itu setiap hari haruslah dipupuk dan disirami dengan (a) mong-kinemong (saling asah asih dan asuh), (b) apura-ingapura (saling memaafkan), (c) ajen-ingajenan (saling menghormati), dan (d) tansah nuju prana murih adamel suka pirena (senantiasa dapat berkenan di hati agar dapat membuat rasa bahagia).
            Setelah Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi melaksanakan nasihat orang tuanya, Resi Wasista dan Dewi Arundati, dengan benar dan baik, mereka dianugerahi seorang putra yang purusatama: elok rupawan, berbudi suci, berderajat luhur dan mulia, berwatak utama, mursid (cerdas cendekia), dan senantiasa berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa, yakni Gunawan Wibisana, lambang nafsu Mutmainah yang penuh kasih kepada sesama umat dan menghormati semua agama.

(1)       Begawan Wisrawa

Begawan Wisrawa adalah seorang pendeta sakti dari pertapaan Dederpenyu. Sebelum menjadi pendeta, Wisrawa adalah seorang raja yang sangat termasyhur dari negeri Lokapala dengan permaisurinya Dewi Lokati. Setelah anaknya dewasa, Raden Danapati yang kemudian bergelar menjadi Prabu Danaraja atau Danareja mampu mengemban tugas negara, Wisrawa lengser keprabon meninggalkan istana negeri Lokapala. Segala kemewahan harta benda, termasuk juga anak istri pun, ditinggalkan begitu saja untuk bertapa di Dederpenyu hingga puluhan tahun lamanya.
Beberapa tahun kemudian, Wisrawa dipanggil anaknya, Danaraja, untuk datang ke istana negeri Lokapala. Maksud pemanggilan itu adalah untuk dapat melamarkan putri cantik jelita dari negeri Alengka yang bernama Dewi Sukesi. Pada waktu itu memang di negeri Alengka sedang diadakan sayembara perang tanding melawan Arya Jambumangli bagi siapa pun yang mengiinginkan putri Alengka tersebut. Mengemban amanat anaknya, Prabu Danareja, untuk melamar Dewi Sukesi, kemudian berangkatlah Begawan Wisrawa dari negeri Lokapala ke negeri Alengka menemui Prabu Sumali yang menjadi sahabat karipnya ketika masih remaja. Sesampainya di negeri Alengka, Begawan Wisrawa segera menemui Prabu Sumali. Ketika Begawan Wisrawa dipertemnukan dengan Dewi Sukesi, ternyata Sang Dewi meminta persyaratan diwedarkannya makna Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu bagi siapa pun yang menginginkan dirinya, baik lelaki maupun perempuan, baik yang masih muda maupun yang sudah tua.
Begawan Wisrawa adalah seseorang yang mampu mewedarkan makna  Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu kepada Dewi Sukesi. Para dewata yang berada di kahyangan tidak berkenan kalau Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu itu harus diuraikan maknanya. Turunlah Batara Guru dan Dewi Uma untuk menggoda iman Wisrawa dan Dewi Sukesi hingga jatuh berlumuran noda dosa. Batara Guru masuk ke dalam raga Wisrawa, dan Dewi Uma pun masuk ke dalam raga Dewi Sukesi, sehingga terjalin hubungan intim asmara antara Wisrawa dan Sukesi. Atas terjadinya peristiwa itu, Wisrawa dan Sukesi berserah diri kepada Prabu Sumali yang juga akhirnya menyetujui untuk dinikahkan.
Arya Jambumangli, adik Prabu Sumali yang juga paman Dewi Sukesi sebenarnya juga menginginkan keponakannya itu, menjadi marah besar. Ketika tahu perbuatan Begawan Wisrawa menyunting dan menodai Dewi Sukesi, Arya Jambumangli amarahnya tidak terkendali dan meluapknnya kepada Begawan Wisrawa. Tidak dapat terelakan lagi terjadilah perang tanding antara Arya Jambumangli dengan Begawan Wisrawa. Pertarungan memperebutkan harga diri itu akhirnya dimenangkan oleh Begawan Wisrawa dengan gemilang. Arya Jambumangli tewas mengenaskan oleh ribuan anak panah sakti yang dilepaskan Begawan Wisrawa. Sebelum Arya Jambumangli menghembuskan napas yang terakhir, masih sempat menyampaikan sumpah serapah kutukannya kepada anak-anak yang akan dilahirkan dari pasangan Wisrawa dan Sukesi. Anak-anak Wisrawa dengan Dewi Sukesi ini kelak akan mengalami kematian yang mengenaskan seperti Arya Jambumangli yang terpotong-potong tubuhnya, termutilasi oleh anak panah lawannya.
Arya Jambumangli
            Perkawinan Wisrawa dengan Dewi Sukesi menimbulkan kekecewaan yang besar dan luar biasa pada diri raja Lokapala, Prabu Danareja. Dari perkawinan Begawan Wisrawa dengan Dewi Sukesi itu melahirkan empat orang anak, yaitu Rahwana yang berasal dari darah, Kumbakarna yang berasal dari telinga, Sarpakenaka yang berasal dari kuku, dan ksatria tampan yang baik budi bernama Gunawan Wibisana. Setelah lahir keempat putranya itu, Begawan Wisrawa memintanya kepada anak-anaknya untuk bertapa di puncak gunung Gohkarna. Baik dalam cerita pewayangan maupun dalam novel Anak Bajang Menggiring Angin tidak dikisahkan kapan Begawan Wisrawa menemui ajal kematiannya.
            Dari kisah Anak Bajang Menggiring Angin ini tokoh Begawan Wisrawa merupakan simbol manusia “tua-tua keladi”, makin tua makin menjadi. Seorang tua yang telah lanjut usia, apalagi sudah menjadi seorang begawan atau resi, seharusnya telah dapat mengendalikan hawa nafsunya, lupa akan amanat yang diembannya. Akibat perbuatannya itu, baik Begawan Wisrawa maupun seluruh dunia terancam bencana merajalelanya keangkara murkaan manusia. Lahirnya putra-putri beliau, terutama Rahwana, membuat dunia penuh angkara murka, dusta, loba, biadab, dan bengis. Bagaimana niat baik mereka yang ingin mempelajari sastra jendra hayuningrat justru  menuai kebatilan dan kengkara murkaan manusia. Hal ini secara lengkap akan dibahas lebih lanjut dalam jenis mitologi, bab menguak rahasia sastra jendra hayuningrat pangruwating diyu.

(2) Dewi Sukesi Dewi Sukesi adalah putri Prabu Sumali dari negeri Alengka. Dewi Sukesi tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik jelita. Atas kecantikan Dewi Sukesi itu banyak para ksatria dan raja yang menginginkan bersanding dengan sang Dewi, termasuk pamannya sendiri, Arya Jambumangli. Oleh karena itu, Arya Jambumangli mengadakan sayembara perang tanding dengan dirinya. Bagi siapa pun yang ingin untuk menyunting Dewi Sukesi, harus melalui perang tanding dengan Arya Jambamangli. Selain itu, suatu hari Dewi Sukesi bermimpi berada di suatu dunia yang tidak mengenal malam dan tidak mengenal siang. Dalam dunia mimpinya itu ada alun-alun bercahaya gemerlapan. Kendaraan makhluknya adalah kereta kencana yang dihela oleh binatang-bintang elok. Di atasnya ada pelangi berupa seekor naga bersisik emas yang senantiasa menetes bagaikan hujan berkah. Dalam keadaan mimpi seperti itulah Dewi Sukesi menerima ajaran tentang Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu. Tentu saja pada saat bermimpi itu Dewi Sukesi belum tahu atau belum dapat memahami makna Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu. Oleh karena itu, siapa pun, baik laki-laki maupun perempuan, baik yang masih muda maupun yang sudah tua, yang dapat mewedarkan makna Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu akan menjadi pendamping hidupnya.
Sayembara tanding yang diselenggarakan di Alengka itu bukan berasal dari permintaan Dewi Sukesi, melainkan atas inisiatif pamannya sendiri, Arya Jambumangli. Kedatangan Begawan Wisrawa di Alengka yang mau melamar Dewi Sukesi untuk anaknya raja Lokapala, Prabu Danareja, pun harus melewati permintaan Dewi Sukesi dan perang tanding melawan Arya Jambumangli yang kelewat sakti tersebut. Akhirnya, sayembara itu dapat dimenangkan oleh Begawan Wisrawa, karena hanya dialah yang dapat mewedakan makna Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu dan sekligus mengalahkan Arya Jambumangli. Akhirnya, Dewi Sukesi pun memenuhi janjinya dengan sukarela dan senang hati bersedia menjadi istri Begawan Wisrawa. Dari pernikahan keduanya, Sukesi dan Wisrawa, tersebut lahirlah empat orang anak yang kelak membawa petaka dunia, yaitu Rahwana atau Dasamuka, Kumbakarna, Sarpakenaka, dan Gunawan Wibisana. Dalam novel Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata ketika terjadi perang besar di Alengka, antara para raksasa melawan prajurit kera dari Maliawan, Dewi Sukesi masih hidup dan Wisrawa sudah meninggal.
Sebagai lambang kehidupan manusia, tokoh Dewi Sukesi juga melambangkan nafsu manusia yang tidak terkendalikan oleh goda asmara. Nafsu asmara manusia tidak memandang umur, dan siapa pun yang masih dikaruniai kehidupan akan juga terjangki nafsu asmara yang membara ketika bertemu dengan lawan jenisnya yang dianggapnya cocok. Nafsu asmara manusia ini tidak dapat dihilangkan, tetapi dapat dikendlikan sesuai dengan tata cara tuntunan agama dan kesusilaan.

(3) Prabu Danaraja
Nama lain Prabu Danareja adalah Danapati. Dia merupakan putra Begawan Wisrawa dengan Dewi Lokawati. Setelah ayahnya lengser keprabon dan menjadi pendeta di pertapaan Dederpenyu, kekuasaan negara Lokapala diserahkan kepadanya dengan didampingi patih kembarnya Banendra dan Gohmuka. Ketika raja negeri Lokapala yang tampan itu jatuh cinta pada Dewi Sukesi, dia memanggil ayahnya ke istana untuk dapat melamarkan dan mengikuti sayembara di Alengka yang diadakan oleh Arya Jambumangli. Namun, kemudian Prabu Danareja sangat kecewa kepada ayahnya, Begawan Wisrawa, karena Dewi Sukesi akhirnya tidak menjadi permaisurinya, tetapi justru menjadi ibu tirinya. Pertarungan antara Danareja dengan Wisrawa pun terjadi akibat kesalahpahaman tersebut. Mereka dapat berdamai setelah dilerai oleh Batara Narada. Kelak di kemudian hari Danareja mati terbunuh oleh Rahwana, adik tirinya, dan arwahnya diangkat menjadi dewa dengan nama Batara Kuwera atau Ganeswara. Negeri Lokapala pun dikuasai oleh Rahwana.
            Sebagai lambang manusia, tokoh Prabu Danareja adalah pihak yang terkalahkan, orang tersisih, dan orang yang tidak memiliki nyali berjuang sampai titik darah penghabisan. Dalam bahasa Jawa ada ungkapan “Sadumuk bathuk sanyari bumi ditohi pati” yang maknanya “barang siapa yang berani menggangu wanita pujaannya dan tanah yang dimilikinya, maka akan dibela mati-matian hingga titik darah penghabisan”. Danareja tidak berani melamar sendiri wanita pujaannya, Dewi Sukesi, dan hanya menyerahkan hal itu kepada ayahnya. Ketika negaranya, Lokapala, diminta oleh adik tirinya, Rahwana, Danareja menyerahkan begitu saja meski melalui pertarungan hingga mati. Jadi, barang siapa yang menginginkan wanita pujaannya harus berjuang sendiri sampai titik darah penghabisan.

(4) Rahwana
Nama lain Rahwana adalah Dasamuka, manusia yang memiliki sepuluh wajah. Dia adalah putra sulung Begawan Wisrawa dengan Dewi Sukesi yang terlahir dari segumpal darah. Sejak lahir hingga dewasa Rahwana diminta oleh ayahnya untuk bertapa di puncak gunung Gohkarna. Ketekunan Rahwana bertapa hingga lima puluh tahun membuahkan kesaktian yang luar biasa. Rahwana dapat terbang tanpa sayap. Rahwana juga memiliki kesaktian ajian Candrasa dan aji Pancasona dari Resi Subali yang tidak akan mati apabila bersentuhan dengan bumi. Setelah turun dari gunung Gohkarna, Rahwana memaksa kakeknya, Prabu Sumali, turun tahta dan digantikan oleh dirinya. Prabu Sumali yang sudah tua itu pun menuruti kehendak cucunya dan menobatkan Rahwana menjadi raja Alengka dengan didampingi oleh Prahasta, paman yang merupakan adik Dewi Sukesi, sebagai patih negeri Alengka.

Patih Prahasta
            Mulai saat itu negeri Alengka dibawah kekuasaan Rahwana selalu berselimutkan darah. Kesaktian Rahwana yang luar biasa itu mampu menakhlukkan daerah-daerah sekitarnya menjadi negara jajahan Alengka. Banyak raja dan ksatria mati terbunuh oleh Rahwana, antara lain Prabu Danareja, Patih Gohmuka, Patih Suwanda, dan Jatayu. Demi memenuhi keinginannya untuk menculik Dewi Sinta, Rahwana pun dengan suka rela mengorbankan sahabatnya Kala Marica untuk menjelma menjadi seekor Kijang Emas dan memisahkan Dewi Sinta dari Rama dan Laksaman. Setelah berhasil menculik Dewi Sinta dan memboyongnya ke Alengka, Rahwana menebar kematian di mana-mana hingga membuat Gunawan Wibisana berbalik memihak kepada Rama. Dalam perang besar Alengka antara para raksasa melawan balatentara wanara membuat kematian Rahwana di tangan anak panah Guwawijaya milik Rama. Jasad Rahwana ditimbun gunung Suwelagiri oleh Anoman. Meski jasadnya tertimbun oleh gunung Suwelagiri dan tidak dapat bergerak, gelembung Roh Rahwana tetap menyebar ke seluruh dunia untuk tetap menyebarkan kejahatan di mana-mana. Tokoh Rahwana melambangkan nafsu angkara murka manusia yang tidak dapat terkendalikan, seperti pemarah, tamak, iri, dengki, loba, kejam, bengis, dan aniaya.

(5) Kumbakarna
Kumbakarna adalah anak kedua Begawan Wisrawa dengan Dewi Sukesi yang terlahir dalam wujud telinga. Tidak lama kemudian telinga berubah wujud menjadi raksasa sebesar gunung anakan dan diberi nama Kumbakarna. Meskipun dalam wujudnya raksasa sebesar gunung anakan, Kumbakarna berjiwa ksatria. Kumbakarna memiliki kebiasaan bertapa tidur hingga bertahun-tahun dan susah sekali untuk dibangunkan. Tempat tinggal Kumbakarna disebut ksatrian Pangleburgangsa dengan ditemani abdi kinasih Togog Tejamantri. Ketika mengetahui kakaknya berhasil menculik Dewi Sinta dan memboyongnya ke Alengka, Kumbakarna mencoba mengigatkan agar kakaknya, Rahwana, bersedia mengembalikan Sinta dengan baik-baik kepada Rama. Akan tetapi, nasihat adiknya itu dianggap angin lalu oleh Rahwana. Bahkan, Kumbakarna dianggap sok suci dan dimarahi habis-habisan oleh Rahwana sehingga membuat Kumbakarna patah arang dan kembali ke ksatrian Pangleburgangsa untuk bertapa tidur.
            Setelah terjadi peperangan besar antara para raksasa melawan bala tentara wanara di negeri Alengka, Kumbakarna dibangunkan dan diminta oleh Rahwana menjadi senapati perang setelah pamannya Prahasta gugur. Kumbakarna berkenan maju ke medan laga bukan untuk membela kakaknya yang telah menculik Dewi Sinta, melainkan membela tanah air negeri nenek moyangnya yang telah diinjak-injak oleh musuh. Di tengah medan peperangan Kumbakarna dikerubuti ribuan balatentara wanara yang menyerangnya. Akhirnya, di tengah medan peperangan itu pula Kumbakarna binasa secara mengenaskan dengan tubuhnya terpotong-potong oleh ribuan anak panah Laksamana, dan lehernya pun putus oleh anak panah Guwawijaya milik Rama. Arwah Kumbakarna menjadi penasaran dan mengembara ke seluruh jagat sebelum pada akhirnya kembali kepada Sang Illahi.
            Dalam “Serat Tripama” karya Sri Mangkunegara IV, Kumbakarna menjadi tokoh teladan bagi para wira tamtama prajurit istana Mangkenaran. Tokoh Kumbakarna, seorang ksatria dari Pangleburgangsa di negeri Alengka, ketika terjadi perang besar Alengka dengan prajurit Rama, dia sebagai panglima perang. Setelah Patih Prahasta yang menjadi handalan kerajaan Alengka menghadapi bala tentara Rama itu gugur di medan laga, Rahwana segara menyuruh prajurit raksasa untuk pergi ke ksatrian Pangleburgangsa. Pangleburgangsa adalah tempat tinggal Kumbakarna yang tengah bertapa tidur. Rahwana meminta para raksasa itu membangunkan adiknya yang sedang bertapa tidur. Segala upaya dilakukan oleh para raksasa untuk membangunkan Kumbakarna, misalnya dengan berteriak sekeras-kerasnya dan memukul-mukul segala bunyi-bunyian, tetap saja Kumbakarna tidur pulas. Ketika mereka hampir putus asa, seorang raksasa menemukan cara tepat membangunkan Kumbakarna yang sedang bertapa tidur, yaitu dengan cara mencabut bulu kuduk kakinya.
            Usaha raksasa itu berhasil dengan terbangunnya Kumbakarna dari tidurnya. Setelah bangun, Kumbakarna dijamu makanan yang banyak oleh para raksasa yang membangunkannya itu. Setelah selesai Kumbakarna makan dengan lahapnya semua makanan yang tersedia, dia diberitahu tentang keadaan peperangan di negerinya yang telah menggugurkan Patih Prahasta. Tanpa banyak berbicara Kumbakarna langsung menghadap kakaknya di istana. Sekali lagi, Kumbakarna mengingatkan kakaknya, Rahwana, untuk menyerahkan saja Dewi Sinta kepada Rama. Tindakan merebut Dewi Sinta dari tangan Rama jelas keliru dan menyebabkan peperangan dan bencana ini. Peringatan Kumbakarna tidak dihiraukan oleh Rahwana, justru pada saat itu Rahwana marah besar kepada Kumbakarna. Merasa tidak ada gunanya Kumbakarna mengingatkan kakaknya terhadap jalan kebenaran, tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada kakaknya, Kumbakarna berangkat ke medan peperangan. Di dalam hatinya, Kumbakarna tidak membela keserakahan dan keangkaramurkaan Rahwana, tetapi dia maju berperang karena membela negara, tanah air leluhurnya, dan sebagai warga negara wajib hukumnya membela tanah airnya.
            Di tengah medan peperangan, Kumbakarna berhadapan dengan beribu-ribu prajurit kera dari kerajaan Pancawati. Tanpa mengenal takut terhadap banyaknyaknya musuh yang menghadang, Kumbakarna tetap maju terus menggempur musuh-musuhnya. Korban dari prajurit kera pun berjatuhan satu per satu hingga ribuan jumlahnya. Melihat pasukannya banyak yang gugur di medan laga, Narpati Sugriwa pun maju sendirian menghadapi kemarahan Kumbakarna. Namun, apa daya kekuatan Narpati Sugriwa kalah unggul dengan kesaktian yang dimiliki Kumbakarna. Narpati Sugriwa tak mampu mengakhiri perlawanan Kumbakarna yang dahsyat itu.
Akhirnya, Wibisana meminta kepada Prabu Rama untuk memerintahkan Raden Laksmana maju ke medan laga menghadapi Kumbakarna. Tanpa banyak berbicara Raden Laksmana segera berangkat ke medan laga menghadapi kemarahan Kumbakarna. Berkat panah saktinya yang bernama Sarawara, Raden Laksmana mampu menghancurkan mahkota Kumbakarna, memutuskan kedua tangannya, dan juga mematahkan kedua kaki yang dimiliki oleh Kumbakarna. Tanpa mahkota, tangan, dan kaki lagi, Kumbakarna tetap maju terus melawan musuh. Semua prajurit ketakutan atas sepak terjang Kumbakarna yang demikian itu. Prabu Rama segera mengambil inisiatif dengan melepaskan panah saktinya yang bernama Amogha Sanjata Guawijaya, ketika Kumbakarna sedang berteriak dengan mulutnya yang terbuka lebar. Tepat mengenai telak pangkal lidahnya, Kumbakarna kemudian menemui ajalnya. Kumbakarna gugur sebagai kusuma bangsa membela tanah airnya, yakni negeri Alengka. Hal seperti inilah yang perlu dicontoh oleh semua prajurit wira tamtama negeri ini. Jadi, Kumbakarna adalah tokoh ksatria yang rela berkorban hingga menemui ajalnya membela negara, tanah tumpah darahnya.

(6) Sarpakenaka
Sarpakenaka adalah anak ketiga dari pasangan Begawan Wisrawa dengan Dewi Sukesi yang terlahir dalam wujud kuku. Tidak lama kemudian kuku itu berubah wujud menjadi seorang raksasa perempuan yang tidak sedap baunya dan diberi nama Sarpakenaka. Perempuan raksasa ini tidak memiliki keistimewaan apa-apa kecuali kegemaran akan lelaki. Meskipun Sarpakenaka telah memiliki suami raksasa yang bernama Karadursana dan Trimurda, dia tetap menggoda Rama dan Laksmana di hutan Dandaka untuk melayani nafsu birahinya. Kemarahan Laksmana atas goda rayuan asmara itu mengakibatkan putusnya hidung Sarpakenaka. Menerima perlakuan Laksamana yang demikian Sarpakenaka segera mengadukan kepada kedua suaminya, Karadursana dan Trimurda. Kedua suami Sarpakenaka ini pun akhirnya binasa oleh anak panah yang dilepaskan oleh Laksmana.
Setelah kematian kedua suaminya itu, Sarpakenaka lalu mengadukan nasibnya kepada kakaknya Rahwana. Menerima aduan adiknya seperti itu, Rahwana tidak membela adiknya justru bermaksud untuk menculik Dewi Sinta dengan bantuan sahabatnya Kala Marica. Kematian Sarpakenaka kembali ke asalnya semula menjadi sepotong kuku lagi ketika terjadi peristiwa penggerogotan tambak cinta yang dibangun Rama dengan bala tentaranya. Anoman dapat mengalahkan Sarpakenaka yang dibantu Yuyu Rumpung berkat daya kesaktian air kehidupan permata mendung dari Cupumanik Astagina yang diwarisi dari ibunya Retna Anjani. Dalam diri tokoh Sarpakenaka terkandung nafsu birahi asmara yang tidak terkendali sehingga sering menggoda iman para lelaki hidung belang. Oleh karena itu, Sarpakenaka dapat dipakai sebagai lambang wanita yang senantiasa mengumbar nafsu birahinya dengan menggoda setiap lelaki tampan. Lelaki tampan yang tidak tergoda oleh bujuk rayu Sarpakenaka adalah Laksmana.

(7) Gunawan Wibisana
Gunawan Wibisana adalah putra keempat dari pasangan Begawan Wisrawa dengan Dewi Sukesi. Anak terakhir Dewi Sukesi ini berwujud manusia sempurna yang baik dan bijaksana, karena dia terlahir dari cinta sejati, jauh dari hawa nafsu Sukesi dan Wisrawa. Wibisana memiliki istri seorang bidadari cantik dari Kahyangan bernama Dewi Triwati. Dari perkawinannya itu Wibisana dianugrahi sepasang anak, yakni Denta Wilukrama dan Dewi Trijata. Ketika terjadi perang besar antara raksasa dengan bala tentara wanara di Alengka, Wibisana balik menyebarang memusuhi kakak­nya yang angkara murka. Awalnya Sugriwa dan kawan-kawannya tidak menyetujui Wibisana bergabung dengan bala tentara Rama karena dianggap sebagai mata-mata musuh. Setelah mereka yakin, Wibisana dapat diterima bergabung dengan bala tentara wanara untuk memerangi keangkara murkaan Rahwana. Setelah perang besar di Alengka berakhir, Wibisana dinobatkan oleh Rama sebagai raja di negeri Alengka.

Pertemuan 15 Teori Sastra Tempatan