Sunday 20 April 2014

WAHYU CAKRANINGRAT


WAHYU CAKRANINGRAT

Si cendekia menyebut wahyu roda dunia,
wahyu cakramanggilingan nama lainnya
wahyu kekuasaan dunia dan akhirat artinya,
siapa pun orangnya tentu berhak menerima
asalkan mereka memenuhi syarat-syaratnya
berjalan di Jalan Benar, yakni Jalan Utama
jalan yang berakhir dalam hidup sejahtera,
tenang, tenteram, damai, dan juga bahagia.

Alkisah, dalam dunia pewayangan Jawa
ada tiga ksatria penuntut wahyu roda dunia:
pertama, putra mahkota negeri Hastinapura
bernama Raden Lesmana Mandrakumara,
kedua, seorang ksatria dari Parang Garuda
bernama Raden Samba ialah si Wisnubrata,
dan ketiga, ksatria Plangkawati kediamannya,
bernama Abimayu atau Raden Angkawijaya.

Berbekal keinginan memiliki wahyu roda dunia
mereka bertiga itu lalu saling berlomba-lomba
melakukan tapa brata di tengah hutan Gangga
dengan laku dan cara menurut pemahamannya
satu dengan lainnya tentu dapat berbeda-beda.

Saat ditanya tentang kesanggupannya bertapa
Lesmana Mandrakumara menyanggupi bertapa
tetapi, laku dari Raden Lesmana Mandrakumara
menjalankan tapa brata di hutan itu ada syaratnya
ialah dia menginginkan dijaga pamannya Kurawa,
yang terpenting baginya bekal harus diawa serta
terutama minuman dan makanan segala rupa
agar nantinya tidak kelaparan pada saat bertapa
dengan bekal itu diri si tapa akan tenang terjaga
wahyunya pun akan mudah menyatu ke dalam raga
keberangkatannya pun diantar oleh para punggawa
Lesmana Mandrakumara juga naik Joli Jempana,
yaitu kereta yang ditarik lebih dari dua ekor kuda.

Lain lagi laku dari putra mahkota Raden Samba
ksatria pemberani yang ingin meraih wahyu juga
keberangkatan dia bertapa di hutan Gangga
juga diantarkan oleh para sentana negara
akan tetapi, hanya sampai di perbatasan kota
selanjutnya berangkat sendiri dengan berkuda.

Ketika dalam perjalanan menuju ke hutan Gangga,
Raden Samba bertemu dengan orang-orang Kurawa
yang juga akan menyambut turunnya wahyu roda dunia.
Secara persaudaraan mereka saling bertegur-sapa
akan tetapi, setelah mengetahui keperluan mereka,
terjadilah selisih pendapat hingga pertengkaran raga
oleh karena Raden Samba hanya sendiri, tanpa bala,
maka dengan sendiri tidak mampu melawan Kurawa,
akhirnya, menyingkirlah Raden Samba dari mereka.

Ada satu kebulatan tekad dalam diri Raden Samba.
walau kalah perang melawan orang-orang Kurawa
bukan berarti harapan memiliki wahyu berhenti juga.
Wahyu Cakraningrat harus diraih dan bisa dimiliknya,
tentu agar tidak bertemu dengan orang-orang Hastina
Raden Samba melanjutkan perjalanan ke hutan Gangga
dari sisi dan arah yang berbeda dengan para Kurawa.



Di hutan, Raden Abimanyu dikeroyok oleh lima raksasa
tampak ksatria tersebut agak kewalahan melawan mereka,
dan kebetulan sekali di angkasa terlihat Raden Gathutkaca
sedang mencari Raden Abimanyu atas perintah pamannya
dari angkasa, Raden Gathutkaca telah melihat saudaranya
dengan jelas kejadian yang menimpa Raden Angkawijaya,
segera dan cepat-cepat pulalah turun untuk membantunya
dan dalam sekejab saja, sudah tamat riwayat lima raksasa
ada terpenggal lehernya, ada pula yang pecah kepalanya.

Setelah beristirahat sejenak, Raden Abimanyu bercerita
bahwa dirinya saat ini sedang mencari wahyu roda dunia,
yakni wahyu kekuasaan yang menurunkan raja-raja Jawa,
lebih dahulu Raden Gathutkaca dimohon pulang ke Amarta
memberi kabar kepada para sesepuh yang menantikannya.
Raden Abimanyu melanjutkan perjalanan ke hutan Gangga
hingga sampai di suatu tempat yang dijadikan untuk bertapa.
Punakawan: Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong, sementara
berada di tempat yang jauh, menanti selesai tuannya bertapa.

Sudah berbulan-bulan belum ada tanda-tanda selesai bertapa
suatu waktu larut malam, tiba-tiba punakawan melihat cahaya
sungguh sangat terang benderang dan turun di hutan Gangga
pada bagian sebelah timur dan disusul dengan suara bergelora
Punakawan bingung, khawatir terhadap keselamatan tuannya
jangan-jangan gelora suara tadi mengenai Raden Angkawijaya
sehingga mengakibatkan kematian atas diri sang bendaranya.

Baru saja akan beranjak dari tempatnya,
para punakawan mendengar sorak gembira,
ternyata mereka adalah orang-orang Kurawa,
mengapa dan ada apa mereka bersorak-gembira
ternyata wahyu cakraningrat sudah turun pada mereka
dan menyatu pada diri Raden Lesmana Mandrakumara.

Para Kurawa langsung mengajak Lesmana Mandrakumara
pulang kembali ke negeri Hastina, memberi kabar kepada raja.
dengan penuh rasa suka cita dan bahagia yang tiada taranya
hal itu benar-benar dirasakan oleh semua punggawa Hastina
dalam hati masing-masing merasa sukses dan berhasil-guna.
Para golongan tua, antaranya Sengkuni dan Begawan Durna,
merasa berhasil dan sukses mendidik Lesmana Mandrakumara.
Yang muda merasa berhasil memberikan petunjuk dan arahannya
kepada putra mahkota itu, dan masing-masing merasa berjasa:
“kalau tak ada saya mungkin gagal mendapat wahyu roda dunia.”
Mereka akan segera berpesta pora merayakan keberhasilannya.

Di tengah perjalanan kembali pulang ke negeri Hastinapura
rombongan para Kurawa tersebut berhenti dengan tiba-tiba
sebab Lesmana Mandrakumara bertemu orang berjalan saja
membawa barang bawaan dan tidak menghormat kepadanya
saat tepat berada di depan Raden Lesmana Mandrakumara
maka ditendanglah orang itu hingga terguling-guling merana
dan barang bawaannya terlempar jauh, hancur tiada tersisa.

Para punggawa yang merasa berjasa ikut menganiayanya
orang tua tadi terus saja dipukul dan ditendang seperti bola
lama dianiaya, hingga orang itu hilang berubah jadi cahaya
kemudian masuk ke tubuh Raden Lesmana Mandrakumara
tidak lama kemudian keluar lagi bersama wahyu roda dunia
seketika itu pula, jatuhlah Raden Lesmana Mandrakumara
pingsan, tidak sadarkan diri, hingga waktu beberapa lama,
para Kurawa bersama-sama lari mengejar wahyu roda dunia
Raden Lesmana Mandrakumara ditinggal sendiri di tempatnya.

Sejenak peristiwa berlalu atas kepergian wahyu roda dunia,
tiada tenteram tinggal dalam raga Lesmana Mandrakumara
terlihatlah dua cahaya dari angkasa, turun di hutan Gangga
bagian sebelah barat daya, di tempat Raden Samba bertapa
merasa bahwa dirinya sudah mendapatkan wahyu roda dunia
Raden Samba tentu saja sangat berbesar hati dan bangga
bahwa dengan kekuatan diri sendiri dapat wahyu roda dunia
sebuah wahyu agung yang akan menurunkan raja-raja Jawa.

Berangkatlah Raden Samba meninggalkan tempat bertapa
pulanglah ke Dwarawati dengan hati yang sungguh jemawa
oleh karena Wahyu Cakraningrat sudah berada pada dirinya
tiba-tiba Kurawa datang meminta wahyu pada Raden Samba.
sudah barang tentu Raden Samba tidak memperbolehkannya.
terjadilah peperangan yang seru dengan adu pelbagai senjata
ternyata tidak ada yang bisa melawan kekuatan Raden Samba
para Kurawa lalu lari tunggang langgang meninggalkan Samba
dan tidak ada lagi yang berani berhadapan dengan Wisnubrata.
  
Raden Samba merasa dirinya paling kuat dan sakti mandraguna
sekarang dia pun berani mengatakan: ”akulah segala-galanya.”
bahkan Raden Samba telah berani pula mengukuhkan kredonya:
”Akulah orang yang akan menurunkan raja-raja di tanah Jawa“.
Sesudah melontarkan kata-kata demikian, lalu diam sementara,
dia sepertinya mendengarkan lengkingan kata-kata sang ibunda
Anakku Samba, eling den eling, ati-ati marang kehing panggoda.”
dasar Samba anak yang congkak, sombong, takabur, dan jemawa
kata-kata ibundanya itu selalu diingat, tetapi tidak diperhatikannya
bahkan dalam hati kecil Raden Samba menyangkal nasihat bunda
”namanya orang kuat berkuasa karena mendapat wahyu roda dunia,
tidak ada seorang pun yang mampu mengganggu keselamatan saya
contohnya Kurawa tidak akan mampu mengalahkanku ha...ha...ha…”

Sejenak kesombongan Raden Samba sedang bertakhta dalam dirinya,
seketika itu tampak seorang perempuan bersama seorang laki-laki tua
perempuan itu masih muda belia, cantik jelita, anggun, menawan pula  
berkulit kuning langsap, bermata juling, berambut panjang, memesona
dan mereka berdua lalu menghaturkan sembah kepada Raden Samba
sudah barang tentu, Raden Samba sangat rela menerima sembahnya
keduanya ingin mengabdi kepadanya, itulah keperluan mereka berdua
mengapa keduanya menghadap ke sang penerima wahyu roda dunia
seketika itu juga Raden Samba tampak berkenan untuk menerimanya
akan tetapi, si laki-laki tua bangka itu ditolak dengan alasan sudah tua
dan dipastikan tidak mampu bekerja, justru akan membuat kesal saja.

Dengan hinaan seperti itu, lalu menyingkirlah orang tua
tentu saja si perempuan cantik itu mengikuti jejak si tua
akan tetapi, Raden Samba tetap mengejar keduanya,
sambil merayu-rayu si perempuan yang cantik jelita
lalu, jawab si Jelita sambil melontarkan kemarahannya
atas ketidak adilan dan tiada belas kasih pada orang tua,
hanya kepada perempuan cantik saja yang dikejar-kejarnya.
“Wahyu Cakraningrat tidak pantas menghujat dan menghina”.
Kemudian, si perempuan cantik jelita dan orang laki-laki tua
menghilang bersamaan dengan sinar wahyu roda dunia
untuk pergi meninggalkan badan jasmani dari Raden Samba.
Seketika itu, raga Raden Samba terasa lemas, tiada berdaya
bagai orang tak berpengharapan, tak tahu yang diperbuatnya.
Bukan main rasa kecewa Raden Samba atas watak jemawa
yang senantiasa bersarang meliputi kegelapan lubuk hatinya
hingga berakibat wahyu cakraningrat pergi meninggalkannya
tiada tenteram menempati rumah congkak, sombong, jemawa.
Akhirnya, Raden Samba menyadari bahwa wahyu roda dunia
bukanlah miliknya dan bukanlah tempat yang tepat bagi dirinya.

Alkisah, pada tempat lain, di sebelah selatan hutan Gangga
terlihat punakawan, biasa menanti selesai sang bendara bertapa
pekerjaan seperti itu sudah biasa mereka lakukan sejak dulu kala,
sejak zaman Maharesi Manumayasa, nenek moyang Pandawa,
melakukan tapa brata demi kejayaan masa depan anak cucunya
Namun, pada malam hari ini mereka berempat benar-benar merasa
seperti ada bayangan hitam berada tepat di tengah-tengah mereka,
terasa sejuk, tenang, tenteram, dan bayangan tersebut sambil berkata:
Bendaramu bakal kaparingan Wahyu Cakraningrat  dening Jawata”.
begitu mendengar kata-kata demikian itu punakawan bergembira ria
karena bendaranya telah mendapatkan apa yang didiinginkannya
benarlah, kemudian Raden Angkawijaya keluar dari tempat bertapa
wajahnya tampak cerah bersinar dan tubuhnya segar utuh tanpa cela
alam serkitar pun ikut merasakan betapa tenang, tenteram, bahagia.
Memang demikian itulah tubuh yang telah berisi wahyu roda dunia
Oleh karena itu, mereka segera berangkat pulang ke negeri Amarta
mengabarkan bahwa wahyu roda dunia sudah ada pada Angkawijaya.

Tiba-tiba datanglah para Kurawa mengejar-ngejar Raden Angkawijaya
karena mendapat wahyu, semula ada pada Lesmana Mandrakumara,
para Kurawa ingin merebut kembali wahyu kekuasaan atas raja-raja
yang akan menjayakan seluruh bumi nusantara masyhur di dunia,
akan tetapi, para Kurawa dihadang oleh Gathutkaca dan Bimasena,
sehingga para Kurawa tidak mampu mengejar Raden Angkawijaya.
Selamat sejahteralah negeri Amarta hingga menurunkan raja-raja Jawa
dari Angkawijaya ke Parikesit, raja negeri Hastina sesudah Baratayuda,
dari Parikesit hingga raja-raja di Kediri, Majapahit, Demak Bintara,
Mataram, Surakarta, Yogyakarta, hingga Republik Indonesia Jaya,
dan siapa sajalah mereka, tentu Wahyu Roda Dunia akan berbicara:
ketahuilah wahyu kekuasaan itu tidak dapat menetap pada diri mereka
suka dimanja, kurang prihatinnya, suka berbohong, suka berfoya-foya,
dan tentu saja bagi mereka yang memiliki sifat-sifat tercela lainnya.
Demikian juga dengan orang yang memiliki watak hina dina, angkara,
termasuk congkak, sombong, angkuh, iri, dengki, tamak, dan juga loba.
Orang yang mampu menerima wahyu cakraningrat itu dinilai oleh mereka
mencukupi persyaratan yang telah ditentukan, yakni haruslah sembada,
sepi ing pamrih, tulus pambegan, temen-temen, ambeg adil paramarta,
berbudi bawa leksana, dan tentu saja benar-benar dapat dipercaya.

Bekasi, 20 Maret 2014



Sunday 13 April 2014

JATI DIRI SEMAR




JATI DIRI SEMAR

Hari-hari dia tiada samar
meski selalu ada gempar
hujan badai dan halilintar
kejahatan suka menampar
membuat hidup bergelepar.


Mengapa dan haruskah Semar
merelakan turun dari dhampar
padahal rakyatnya telah pintar
pemimpin muda perlu dihantar
agar kelak rakyat tidak terlantar.


Saatnya Semar mbabar jati diri
dari dewata yang selalu disegani
menjadi seorang pemimpin negeri
di mana-mana senantiasa dihormati
seluruh rakyat negeri ikut menikmati
apa saja yang telah diberikan diamini


Semar tiada lagi membutuhkan takhta
sudah waktunya memberi singgasana
membuka jalan bagi pemimpin muda
menjadikan tampuk pimpinan negara
satria utama mengemban tugas mulia
membangun nusa, bangsa, dan agama
rakyatnya hidup sejahtera dan bahagia
dan negara masyhur ke seluruh dunia.


Inilah jati diri Semar yang sesungguhnya
menjadi pamong para satria sang perwira
dia menjadi lebih mulia sebagai paranpara
dengan arif bijaksana selalu memberi fatwa
lemah lembut tutur kata dan budi bahasanya
memberi apa saja demi kesejahteraan dunia
siapa pun akan segan dan hormat kepadanya
karena jati diri Semar telah berbadan Weda.


Bekasi, 13 April 2014




Wednesday 2 April 2014

SANG PARAMARTHA


Menyelami puisi-puisi di dalam antologi ini bagaikan diajak pesiar secara spiritual di tengah gelombang kehidupan manusia. Membayangkan puisi-puisi ini, paling tidak, seperti undhak-undhakan Candi Borobudur (kamadhatu, rupadhatu, arupadhatu). Di dalam antologi ini penyair membagi puisi-puisinya menjadi 4 bagian: “Mustika Dwipa”, “Sang Pencerah”, “Oh Dunia”, dan “Sang Nabi”. Memang tidak seperti pembagian di Candi Borobudur, tetapi pembagian di dalam antologi ini paling tidak mengingatkan kita bahwa Puji Santosa memang berusaha ingin membagi ‘ajarannya’ sesuai dengan konteksnya (ketika puisi-puisinya sampai di hadapan kita).
[Drs. Dhanu Priyo Brabowo, M.Hum.
Penerima Hadiah Sastra Rancage 2014
Peneliti Utama Bidang Sastra
Balai Bahasa Yogyakarta]


Judul antologi ini, Sang Paramartha, serta-merta menggiring pembaca ke arah berbagai ajaran, panduan, atau pedoman nilai untuk mencapai kesempurnaan dalam hidup di dunia dan di akhirat. Persoalannya adalah, mengapa penyair begitu terobsesi menawarkan ajaran-ajaran kesempurnaan melalui sastra? Apakah sastra itu? Mengapa seorang Puji Santosa, peneliti sastra senior dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa yang telah banyak menerbitkan kajian-kajian sastra, “turun gunung” dengan segudang ajarannya? Mengapa Sang Paramartha ini lahir di tahun politik 2014, tepat sebelum gonjang-ganjing suksesi kepemimpinan nasional bangsa Indonesia? Apa sajakah bekal yang diperlukan pembaca menikmati panorama puisi-puisi Puji Santosa?
 [Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum.
Dosen dan Pakar Ilmu Kritik Sastra
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta]


Sajak-sajak Puji Santosa yang terpumpun dalam antologi Sang Paramatha merupakan kumpulan sajak yang mengambil sumber dari kearifan ajaran moral dalam spiritualisme Jawa sebagaimana dijelaskan Yoseph Yapi Taum dan Dhanu Priyo Prabowo dalam tanggapan mereka untuk antologi ini. Sebagai pembaca non-Jawa, kesan pertama yang muncul setelah membaca antologi puisi Puji Santosa adalah sajak-sajak ini memiliki khalayak andaian (ostensible audience) dan khalayak sasaran (intended audience) pembaca Jawa yang memahami ajaran sinkretisme seperti Kejawen. Ajaran-ajaran Kejawen yang sangat kental menjadi isi sebagian besar sajak yang berjumlah sebanyak 93 sajak dalam antologi ini.
[Dr. Sastri Sunarti Sweeney, M.Hum.
Peneliti Sastra pada Badan Bahasa,
Redaktur Horision Online]



Pertemuan 15 Teori Sastra Tempatan