Tuesday 30 June 2015

PAWUKON




PAWUKON

Pawukon hanya salah satu ilmu dalam kalender Jawa
berbicara tentang perhitungan hari, tanggal, bulan, juga
tahun, serta keberuntungan akan nasib hidupnya di dunia.

Pawukon berasal dari kata wuku, kurang lebih bermakna
bagian dari suatu siklus penanggalan orang Bali dan Jawa
berumur tujuh hari atau satu pekan dalam setiap wukunya.

Satu siklus wuku berumur 30 pekan atau 210 hari,
terhitung mulai hari Minggu hingga ke Sabtu lagi,
dan masing-masing wuku memiliki nama tersendiri.

Pawukon masih digunakan masyarakat Jawa dan Bali
terutama untuk menentukan "hari untung" dan "hari rugi"
serta terkait pula dengan weton seseorang di kemudian hari.

Ide dasar perhitungan menurut wuku adalah bertemunya
dua hari jadi satu dalam sistem pancawara dan saptawara.
Sistem pancawara atau pasaran terdiri atas lima hari saja,
Wage, Kliwon, Legi, Pahing, Pon, nama-nama harinya,
sedangkan sistem pekan, tujuh hari, itu disebut saptawara:
Minggu, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, namanya.

Nama-nama wuku yang ada tiga puluh didasarkan pada
kisah zaman purba tentang Prabu Watugunung namanya
berpermaisurikan Dewi Sinta dengan dikaruniai 28 putra,
sebagai penanda betapa kisah mitologis dan fenomenanya
setiap wuku ditandai dengan nama-nama semua tokoh cerita
mulai Sinta, Landep, Wukir, Kurantil, Tolu, Gumbgreg, pula
Warigalit, Warigagung, Julungwangi, Sungsang, Galungan, juga
Kuningan, Langkir, Mandasiya, Julungpujut, Pahang, dan pula
Kuruwelut, Marakeh, Tambir, Medangkungan, Maktal, dan juga
Wuye, Manahil, Prangbakat, Bala, Wugu, Wayang, Kulawu, serta
Dukut, dan (Prabu) Watugunung yang selalu ada Jumat Kliwonnya.

Setiap wuku disertai dengan nama seorang dewa sebagai penjaga
memiliki pohon simbolik, hewan simbolik, tipe rumah, dan candra
sebagai perlambang yang dinyatakan dalam suatu peribahasa Jawa,
ruwatannya juga ada dan berwujud sedekah sebagai penolak bala,
kala sial berupa sengkala bilahi, situasi yang membawa malapetaka,
dan juga dunung atau arah mata angin yang membawa sial nasibnya.

Pada zaman teknologi dan informasi global canggih dewasa ini
Apakah pawukon masih tetap dipercaya oleh orang Jawa dan Bali,
silahkan saja mau dipercayainya atau justru tidak dipercayai lagi
bergantung pada mereka yang menjalankan keyakinan yang dimiliki.

Bekasi, 30 Juni 2015



Monday 29 June 2015

PRANATA MANGSA


PRANATA MANGSA

Pranata mangsa berarti ketentuan akan penanggalan
hal ini berkaitan dengan kegiatan usaha pertanian,
khususnya untuk kepentingan bercocok tanaman
juga ketentuan bagi nelayan untuk penangkapan ikan.

Pranata mangsa berbasis peredaran matahari
siklusnya setahun berumur 365 atau 366 hari
di dalamnya memuat pelbagai aspek fenologi
dan gejala alam lain yang dimanfaatkan petani
sebagai pedoman dalam kegiatan usaha bertani
serta persiapan diri menghadapi pelbagai situasi
seperti bencana kekeringan, kebanjiran, hama padi,
wabah penyakit, dan serangan gangguan lain, berarti
sewaktu-waktu timbul bencana, sudah dapat diprediksi
sehingga para petani dan nelayan mampu mengatasi diri.

Mangsa Kasa, bulan pertama, Kartika, selama 41 hari
mulai 22 Juni sampai 1 Agustus, candranya berbunyi
sesotya murcå ing embanan, kurang lebihnya berarti,
permata melepaskan diri dari ikatan yang menguntai,
maksudnya daun-daun berguguran dari pepohon inti,
kayu-kayu pun mengering, belalang masuk ke bumi,
petani membakar jerami, saatnya palawija ditanami.

Mangsa Karo, bulan kedua, Pusa, berlaku 23 hari saja
dimulai 2 Agustus sampai 24 Agustus, bunyi candranya
bantala rengka, maksudnya bumi merekah pecah, pusa:
tanah kering, sumber mata air berhenti mengalir, juga
terjadi paceklik, dan bencana kekeringan di mana-mana
namun pohon randu dan pohon mangga justru berbunga.

Mangsa Katelu, bulan ketiga, Manggasri, 24 hari lamanya
mulai 25 Agustus sampai 18 September, bunyi candranya
suta manut ing bapa, artinya anak menurut pada bapaknya
tanaman merambat mulai setapak menaiki lanjaran yang ada
rebung pohon bambu bermunculan ke permukaan persada,
dan panen palawija sudah dapat dimulai, sebagai pertanda
menyambut pesta kerja dan dilakukan dengan sekuat tenaga.

Mangsa Kapat, bulan keempat, Sitra, berlaku 25 hari saja
mulai 19 September sampai 13 Oktober, bunyi candranya
waspa kumembeng jroning kalbu, candra demikian bermakna
airmata mulai menggenang dalam kalbu manusia, maksudnya
mata air mulai terisi kembali, kapuk randu mulai berbuah, juga
semarak berbuah pohon kuweni, salak, dhuwet, dan mangga,
serta mulai bertelur burung-burung manyar, gelatik, dan gereja,
setelah panen palawija diganti dengan mengolah lahan padi gaga
sebagai persiapan diri menyambut berganti musim penghujan tiba.

Mangsa Kalima, bulan kelima, juga disebut dengan Manggakala,
mulai 14 Oktober sampai 9 November, jadi 27 hari berlakunya,
candranya berbunyi, pancuran emas sumawur ing jagat raya,
pancuran emas mulai bertaburan di dunia, sebagai suatu pertanda
bahwa sudah ada hujan besar mulai turun membasahi bumi persada
pohon asam Jawa mulai menumbuhkan daun-daunnya yang muda
dan ulat-ulat mulai bermunculan, juga laron keluar dari liangnya,
lempuyang dan temu kunci mulai bertunas, ikut serta jadi pertanda
para petani mulai menyebar bibit padi gaga di lahan pekarangannya.

Mangsa Kaenem, bulan keenam, labuh udan, disebut juga Naya
mulai 10 November sampai 22 Desember, ada 43 hari berlakunya,
candranya berbunyi, råså mulyå kasucian, candra demikian bermakna
rasa mulia disertai dengan kesucian, oleh karena pelbagai buah yang ada
seperti manggis, durian, duku, rambutan, belimbing, nanas, dan nangka
berbuah ranum-ranum dan segar, ikut serta menyemarakkan suasana
burung belibis mulai kelihatan di sawah-sawah yang berair, menari ria
para petani berpesta kerja menyebar benih padi di pembenihan sawahnya.

Mangsa Kapitu, bulan ketujuh, rendheng udan, disebut juga Palguna
mulai dari 23 Desember sampai 3 Februari, berlakunya 43 hari juga
candranya berbunyi, wiså kéntir ing marutå, candra demikian bermakna
racun hanyut bersama angin, maksudnya banyak penyakit merajalela,
hujan deras-derasnya, sungai-sungai meluap, banjir pun di mana-mana
oleh karena harap waspada, sewaktu-waktu tanah longsor jadi bencana
dan sudah saatnya para petani memindahkan bibit padi ke sawahnya.

Mangsa Kawolu, bulan kedelapan, rendheng pangarep, disebut Wisaka
mulai dari 4 Februari sampai 28/29 Februari, jadi 25/26 hari berlakunya
candranya berbunyi, anjrah jroning kayun, candra demikian bermakna
merasuk dalam kehendak, pertanda musim kucing kawin maksudnya,
tanaman padi mulai menghijau, indah seperti pengantin baru layaknya,
dan si uret pun mulai terlihat bermunculan di permukaan bumi persada.

Mangsa Kasanga, bulan kesembilan, rendheng pangarep, disebut Jita
mulai dari 1 Maret sampai 25 Maret, jadi ada 25 hari masa berlakunya
candranya berbunyi, wedharing wacånå mulyå, candra ini bermakna
terbabarnya kata-kata mulia, sudah dijanjikan akan jadi kenyataan, juga
ada tanda beberapa hewan mulai bersuara untuk memikat lawan jenisnya
jangkrik mulai muncul ke permukaan, tonggeret dan gangsir mulai bersuara,
banjir sisa masih mungkin muncul, bunga glagah berguguran di bumi persada
dan yang membahagikan bagi para petani adalah padi-padi mulai berbunga.

Mangsa Kasepuluh, bulan kesepuluh, mareng pangarep, disebut Srawana
mulai dari 26 Maret sampai 18 April, jadi ada 24 hari masa berlakunya
candranya berbunyi, gedhong mineb jroning kalbu, candra ini bermakna
gedung terperangkap dalam kalbu, gedung-gedung sudah tidak terbuka,
yang dimaksudkan adalah sudah masanya banyak hewan bunting, dan juga
burung-burung, ayam, itik, bebek, angsa, dan merpati menetaskan telurnya
serta yang membahagiakan para petani adalah padi sudah menguning tua.

Mangsa Dhestha, bulan kesebelas, mareng panen, disebut Padrawana
mulai dari 19 April sampai 11 Mei, jadi ada 23 hari masa berlakunya
candranya berbunyi, sesotyå sinåråwèdi, candra demikian bermakna
intan permata bersinar amat mulia, alam semarak berbuah hasil nyata
buah kapuk randu merekah, burung-burung memberi makan anaknya,
padi génjah, padi tanaman berumur pendek, saatnya petani panen raya.

Mangsa Sadha, bulan keduabelas, mareng terang, Asuji sebutannya
mulai dari 12 Mei sampai 21 Juni, jadi ada 41 hari masa berlakunya
candranya berbunyi, tirtå sah saking sasånå, candra ini bermakna
air terpisah dari tempatnya, maksudnya jarang berkeringatan karena
suhu begitu dingin, cuaca kering, musim bedinding, turun suhu udara
serta para petani mulai kembali menyiapkan sawahnya untuk palawija
menanam kedelai, kacang, kapas, jagung, ubi, singkong, dan juga nila
agar sawah dan pekarangan menghasilkan sesuatu dapat berguna.  

Pranata mangsa dalam versi pengetahuan
tetap dipegang teguh petani atau nelayan
diwariskannya turun-temurun secara lisan
di Jawa bersifat kewaktuan dan tempatan.

Sentul, 29 Juni 2015

Sunday 28 June 2015

ZAMAN KERAJAAN JAWA




ZAMAN KERAJAAN JAWA

Zaman Kerajaan Pajajaran disebut Anderpati Kalawisesa.
Anderpati berarti sekuat tenaga mempertaruhkan hidupnya.
Kalawisesa adalah sebutan dari Sang Hyang Jagat Girinata.
Bermakna: pada waktu itu banyak orang melakukan tapa brata,
mengurangi segala hal akan kesukaan masalah-masalah dunia
semata hidupnya hanya dipersembahkan pada yang Maha Esa.

Zaman Kerajaan Majapahit disebut juga Raja Pati Dewa Nata.
Raja pati berarti raja dari rajanya raja atau juga Maharaja Diraja.
Dewa nata sebutan bagi seorang dewa turun ke dunia menjadi raja.
Bermakna: pada waktu itu yang bersinggasana di bumi tanah Jawa
adalah seseorang telah berderajat dewa yang turun ke dunia raya
semata mengemban tugas mengatur tata kehidupan para manusia
agar hidupnya menjadi lebih bermartabat, sejahtera, dan mulia.

Zaman Kerajaan Demak Bintara disebut pula Adiyati Kalawisaya.
Adiyati berarti sangat jujur dan mulia, sebutan bagi pendeta utama.
Kalawisaya sebutan bagi seorang raja atau waliyullah yang berbisa.
Bermakna: raja menobatkan para wali sanga sebagai pendeta utama
dengan misi menyebarkan agama Islam ke seluruh penjuru tanah Jawa
orang Majapahit yang tetap keyakinannya menyingkir ke Bali dan Brama
bagi mereka yang berpaham lain, Syeh Siti Jenar, misalnya, menjadi sirna.

Zaman Kerajaan Pajang hanya diperintah oleh raja Sultan Hadiwijaya
Nama lain dari Mas Karebet, Jaka Tingkir, menantu Sultan Trenggana
Zaman keempat dari kerajaan Jawa ini disebut juga zaman Kalajangga.
Kalajangga adalah sebutan bagi Sang Hayang Asmara, Batara Kamajaya.
Bermakna: zaman itu seluruh rakyat kerajaan Pajang suka berulah asmara
sehingga melalaikan kewajiban utama membangun tata kehidupan bangsa
oleh karena sengsemnya akan asmara cinta, membuat runtuhnya negara.

Zaman Kerajaan Mataram mencapai puncak kejayaan disebut Kalasakti.
Kalasakti adalah sebutan dari Sang Hyang Wisnu yang benar-benar sakti.
Bermakna: pada waktu itu raja dan segenap pegawai istana gemar mesudiri
berulah akan keprajuritan, mampu menakhlukkan lawan, mengusir Kompeni,
dan juga membuat kejayaan negara masyhur hingga ditakuti dan disegani,
wibawa negara benar-benar tegak sehingga setiap bangsa menghormati.

Bekasi, 28 Juni 2015

Tuesday 23 June 2015

MENGUKUR KESESUAIAN SASTRA



Judul Buku        : MENGUKUR KESESUAIAN SASTRA
                                PADA SISWA SEKOLAH MENENGAH
Penulis               : Puji Santosa dan Djamari
Narasumber        : 1. Drs. Dhanu Priyo Prabowo, M.Hum.  
                                2. Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum.
Penyunting Ahli  : Drs. Dhanu Priyo Prabowo, M.Hum.
                               (Peneliti Utama Bidang Sastra)
Penerbit             : Elmatera Publishing 
                               Jalan Waru 73 Kav 3 Sambilegi Baru 
                               Maguwoharjo, Yogyakarta 
                               Email: elmaterapublishing@yahoo.com 
                               Telepon: 0274-433287; 0274-552818
ISBN                    : 978-602-1222-37-9
Anggota IKAPI   : Nomor 064/DIY/09
Cetakan Pertama: Maret 2015
Jumlah Halaman : xvi + 148
Ukuran Buku        : 14,5 x 21cm

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

KATA PENGANTAR PENERBIT
 
Cukup banyak keluhan tentang pembelajaran apresiasi sastra di kalangan pelajar remaja, terutama pelajar sekolah menengah pertama (SMP). Ada anggapan bahwa tingkat pembelajaran apresiasi sastra di kalangan remaja pada umumnya belum memadai. Namun, di sisi lain sebagian pelajar sekolah menengah pertama (SMP), terutama di perkotaan atau kota-kota besar di Indonesia, juga memperlihat­kan minat baca yang tinggi, hanya tidak jelas apa yang diminati pelajar sekolah menengah pertama tersebut untuk dibaca dan dipelajarinya. Diharapkan bacaan siswa sekolah menengah tersebut adalah karya sastra yang sesuai dengan usia dan tingkat perkembangan kejiwaan pelajar remaja siswa sekolah menengah.
Apa yang dikemukakan di atas sesungguhnya baru pada tataran anggapan dan dugaan semata, yang perlu divalidasi lebih lanjut lewat suatu penelitian. Dalam rangka itulah penelitian ini mencoba mengukur kesesuaian karya sastra dan usia pembaca di dunia pendidikan sekolah menengah pertama (SMP). Karya sastra genre apa saja yang menjadi bacaan atau materi pembelajaran siswa sekolah lanjutan pertama yang sesuai dengan usia, minat, dan dunia remaja mereka yang masih mencari identitas diri.
Mengingat betapa pentingnya peran pembelajaran apresiasi sastra di sekolah menengah pertama (SMP), Elmatera dengan bangga menerbitkan buku kajian ilmiah bidang sastra Mengukur Kesesuaian Sastra Pada Siswa Sekolah Menengah ini dan menyajikannya yang terbaik kepada masyarakat. Semoga penerbitan buku ini dapat menambah khazanah publikasi hasil penelitian dan kritik sastra di Indonesia sebagai sumbangsih kami kepada masyarakat dan bangsa Indonesia. Selamat membaca dan mengapresiasi sajian penerbitan kami ini.
                                                                    Penerbit Elmatera
 ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
 
PENGANTAR PENYUNTING AHLI
 Mengukur tingkat pembelajaran apresiasi siswa sekolah menengah pertama (SMP) terhadap karya sastra untuk menemukan formulasi karya sastra yang sesuai dengan tingkat usia sekolah menengah pertama (SMP) tidaklah mudah. Agar formulasi tersebut dapat mengakomodasi pelbagai ragam kualitas sastra, genre sastra, dan latar belakang pendidikan siswa sekolah menengah pertama, maka ditentukannyalah sejumlah kriteria karya sastra yang akan diapresiasi oleh siswa sekolah menengah pertama. Setelah mempertimbangkan pelbagai hal, maka kriteria karya sastra yang diapresiasi siswa sekolah menengah itu ditentukan berdasarkan pada:
(1) topik/tema (tidak mengandung SARA),
(2) tingkat kerumitan gramatika,
(3) panjang pendek karya sastra,
(4) kerumitan konflik/alur cerita,
(5) kerumitan perwatakan (termasuk jumlah tokoh), dan
(6) tingkat pemicu imajinasi.
Berdasarkan kriteria dasar di atas disusurilah sejumlah teks karya sastra yang diajarkan pada siswa sekolah menengah pertama Kurikulum Tingkat Satuan Pelajaran (KTSP) 2008 dan Kurikulum 2013 dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia kelas VII, VIII, dan IX terdapat sejumlah teks karya sastra genre prosa, puisi, dan fragmen drama, baik sastra lama maupun sastra modern, menjadi materi ajar mata pelajaran Bahasa Indonesia. Setelah dilakukan pengamatan, pembacaan, peresapan, dan pelbagai pertimbangan atas dasar enam kriteria dasar kesesuaian karya sastra dengan usia pembaca di jenjang pendidikan sekolah menengah, maka dipilihlah puisi “Diponegoro” karya Chairil Anwar dan puisi “Sawah” karya Sanusi Pane yang kedua-duanya terdapat pada buku pelajaran Bahasa Indonesia kelas VII KTSP 2008. Kedua puisi tersebut oleh tim peneliti diasumsikan sebagai karya sastra yang sangat sesuai dengan usia pembaca pada jenjang pendidikan sekolah menengah pertama. Akan tetapi, tidak mungkin hanya dua teks puisi itu saja yang diujicobakan kepada sejumlah siswa sekolah menengah pertama. Tim peneliti berinisiatif menambah dua atau tiga teks sastra yang akan diujicobakan kepada siswa sekolah menengah pertama tersebut. Kemudian Tim peneliti menyusuri teks sastra lainnya di luar buku pelajaran Bahasa Indonesia SMP KTSP 2008 dan di luar buku pelajaran Bahasa Indonesia SMP Kurikulum 2013.
Setelah dilakukan penelusuran secara mendalam, dengan pertimbangan 6 kriteria dasar yang telah ditentukan di atas, dipilih dan ditentukan penambahan satu teks genre puisi (“Menyesal” karya Ali Hasjmy), satu teks genre cerita pendek (“Kacamata” karya Rosidah), dan satu teks genre fragmen drama (“Kuala” karya Mansur Samin). Dengan demikian ada lima teks sastra (3 genre puisi, 1 genre cerita pendek, dan 1 genre fragmen drama) terpilih yang akan diujicobakan kepada 100 siswa sekolah menengah pertama. Setiap teks sastra disertai kuesioner tertutup sebanyak enam persoalan dengan masing-masing pertanyaan terdapat empat alternatif jawaban. Dengan demikian terdapat 30 persoalan yang harus dijawab oleh siswa atas 5 teks sastra yang diapresiasinya. Tugas siswa sebagai responden adalah mimilih salah satu (a, b, c, atau d) jawaban yang dianggap paling benar atas alternatif jawaban masing-masing persoalan.
Persoalan apresiasi sastra yang disodorkan kepada siswa sekolah menengah pertama meliputi: (1) topik, tema, gagasan utama, (2) nilai estetika dan nilai etika, (3) bentuk sastra, (4) peranti puitis, (5) makna ungkapan, (6) diksi atau pilihan kata, (7) padanan kata, (8) gramatika, (9) perwatakan tokoh, (10) latar dan suasana, (11) kiasan atau metafora, (12) simbol, dan (13) pesan atau amanat yang terkandung dalam teks karya sastra. Ketiga belas persoalan tersebut dijabarkan menjadi 30 pertanyaan dengan 120 alternatif jawaban dalam bentuk kuesioner tertutup (pilihan a, b, c, atau d). Hasil jawaban 100 siswa sekolah menengah pertama (SMP Negeri 2 Bantul) atas ketiga belas persoalan itu sebagaimana telah kita ketahui dalam pembahasan Bab III.
Hasi penelitian menunjukkan bahwa pada dasarnya siswa SMP Negeri 2 Bantul, Yogyakarta, memiliki peringkat apresiasi sastra yang baik dan tinggi. Hal ini terbukti nilai setiap siswa bergerak antara nilai 60—90, jawaban benar 18—27 dari 30 persoalan, atau dari peringkat nilai madya sampai peringkat nilai sangat istimewa. Dua orang siswa mampu memperoleh nilai 90 atau peringkat nilai sangat istimewa, dan hanya ada 4 orang siswa yang memperoleh nilai 60 sebagai peringkat nilai madya. Dengan demikian ada 96 orang siswa yang memperoleh nilai 70—89 (jawaban benar 21—26 dari 30 persoalan) yang memiliki peringkat nilai apresiasi sastra unggul dan istimewa. Kemampuan apresiasi sastra siswa SMP Negeri 2 Bantul, Yogyakarta, yang baik dan tinggi tersebut membuktikan bahwa karya sastra yang diapresiasi (puisi “Diponegoro”, puisi “Menyesal”, puisi “Sawah”, cerpen “Kacamata”, dan fragmen drama “Kuala”) itu cocok atau sesuai dengan kemampuan siswa sekolah menengah pertama. Akan tetapi, dari hasil uji apresiasi terhadap 100 siswa SMP Negeri 2 Bantul tersebut kelima teks karya sastra yang menjadi materi apresiasi memiliki gradasi tingkat kesukaran yang berbeda. Puisi “Menyesal” karya Ali Hasjmy yang oleh Tim Peneliti diasumsikan sebagai karya sastra yang mudah diapresiasi, ternyata setelah diujicobakan kepada 100 siswa tersebut memiliki tingkat kesukaran pemahaman apresiasi yang tinggi. Hal ini terbukti dari 100 siswa tidak ada satu siswa pun yang mampu memperoleh peringkat nilai sangat istimewa. Sementara itu, cerita pendek “Kacamata” karya Rosidah memiliki tingkat apresiasi yang paling mudah dipahami oleh siswa sekolah menengah. Terbukti dari hasil uji coba terhadap 100 siswa yang mengapresiasi cerpen “Kacamata” tersebut berhasil memperoleh nilai sangat istimewa, benar semua, sebanyak 97 siswa.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap siswa SMP Negeri 2 Bantul di atas membuktikan bahwa teks karya sastra yang sesuai dengan usia pembaca pada jenjang pendidikan sekolah menengah ditentukan oleh pilihan: (1) topik/tema yang sesuai dengan lingkungan dan usia siswa, misalnya tema semangat kebangsaan, cinta tanah air, kerja keras, jujur dan bertanggung jawab, serta pilihan hidup yang sesuai dengan keyakinannya; (2) tingkat kerumitan gramatika yang tidak begitu kompleks, bahasa yang mudah dipahami; (3) panjang pendek karya sastra yang tidak banyak memerlukan waktu untuk memahaminya; (4) kerumitan konflik atau alur cerita yang tidak begitu kompleks dan absurd; (5) kerumitan perwatakan, termasuk jumlah tokoh, yang tidak begitu panyak penafsiran; dan (6) tingkat pemicu imajinasi yang dapat cepat menggerakan pikiran siswa pada hal-hal yang dihadapinya sehari-hari.
Atas dasar alasan di atas, saya bangga bertindak sebagai penyunting ahli buku Mengukur Kesesuaian Sastra Pada Siswa Sekolah Menengah ini, baik dari sisi teknis bahasa maupun isi kajian yang mendalam tentang betapa pentingnya peran pembelajaran apresiasi sastra dalam pengembangan sastra di Indonesia. Hasil penelitian Saudara Puji Santosa dan Djamari ini mampu membuka cakrawala betapa kaya makna dan luasnya wawasan tentang kiat-kiat mengukur apresiasi karya sastra pada siswa yang menyenangkan, menghibur, menambah wawasan, kreatif, dan inovatif. Buku ini pantas dibaca khalayak masyarakat Indonesia yang membuka cakrawala tentang kiat-kiat mengukur dan mengevaluasi pembelajaran apresiasi sastra di sekolah menengah pertama (SMP).
                                                Drs. Dhanu Priyo Prabowo, M.Hum.
                                                Peneliti Utama Bidang Sastra
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
 
KATA PENGANTAR PENULIS
Kegiatan memberi penilaian atau penghargaan terhadap sastra itu hanya dapat dilaku­kan oleh seseorang yang mempunyai kemampuan apresiasi, betapa pun relatif sifatnya. Hanya orang yang mempunyai apresiasi senilah, khususnya karya sastra, yang dapat memberikan apresiasinya terhadap karya sastra. Sebagai konsekuensinya, apresiasi seseorang siswa terhadap karya sastra itu berbeda-beda tingkatannya: (1) ada yang rendah, sempit dan dangkal, (2) ada yang sedang-sedang saja atau semenjana, dan (3) ada pula yang tinggi, luas, mendalam, dan istimewa. Apabila kita mau mengikuti pola pemeringkatan UKBI (Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia) ada peringkat: Terbatas, Marginal, Semenjana, Madya, Unggul, Sangat Unggul, dan Istimewa. Dalam apresiasi sastra pun tampaknya juga ada pemeringkatan demikian dalam mengkukur tingkat kesesuaian sastra pada siswa SMP Negeri 2 Bantul, Yogyakarta, yang menjadi sampel penelitian kebijakan ini, tetapi dengan penyesuaian untuk apresiasi sastra.
Apresiasi seseorang terhadap karya sastra itu tidak mungkin langsung tinggi, luas, dan mendalam (istimewa), tetapi berangsur-angsur meningkat dari taraf yang terendah (terbatas, marginal), tersempit, dan terdangkal menuju ke taraf yang lebih tinggi (semenjana, madya, unggul), lebih luas, dan lebih mendalam, hingga ke tingkatan istimewa dan sangat istimewa. Dengan begitu tingkat apresiasi seseorang itu dapat ditingkatkan, dapat diperluas, dan dapat diperdalam sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh sang apresiator. Hanya sang apresiatorlah yang harus berusaha sebaik-baiknya untuk dapat meningkatkan kemampuan apresiasinya terhadap karya sastra.
Cara meningkatkan apresiasi seseorang terhadap karya sastra dapat melalui kegiatan membaca karya sastra yang sebanyak-banyaknya, mendengar­kan pembacaan sastra sesering mungkin, dan juga menonton pertunjukan pentas sastra yang sebanyak-banyaknya. Kesediaan untuk terus-menerus membaca, mendengar, dan menonton pertunjukan pentas sastra adalah salah satu cara dalam upaya meningkatkan apresiasi terhadap karya sastra.
Buku Mengukur Kesesuaian Sastra Pada Siswa Sekolah Menengah merupakan hasil penelitian sastra yang kami tulis berdua. Buku hasil penelitian ini mengungkapkan masalah bagaimana mengukur kesesuaian sastra pada siswa sekolah menengah (SMP). Penelitian ini mengambil sampel sebanyak 100 responden siswa SMP Negeri 2 Bantul, Yogyakarta. Karya sastra yang diapresiasi siswa sekolah menengah itu ditentukan berdasarkan: (1) topik/tema (tidak mengandung SARA), (2) tingkat kerumitan gramatika, (3) panjang pendek karya sastra, (4) kerumitan konflik/alur cerita, (5) kerumitan perwatakan (termasuk jumlah tokoh), dan (6) tingkat pemicu imajinasi. Berdasarkan kriteria ini dipilihlah puisi “Diponegoro” karya Chairil Anwar, puisi “Sawah” karya Sanusi Pane, puisi “Menyesal” karya Ali Hasjmy, cerita pendek “Kacamata” karya Rosidah, dan fragmen drama “Kuala” karya Mansur Samin. Ada lima teks sastra (3 genre puisi, 1 genre cerita pendek, dan 1 genre fragmen drama) terpilih yang diujicobakan kepada 100 siswa SMP Negeri 2 Bantul. Setiap teks sastra disertai kuesioner tertutup sebanyak 6 soal dengan masing-masing pertanyaan terdapat empat alternatif jawaban pilihan ganda. Terdapat 30 soal yang harus dijawab oleh siswa atas 5 teks sastra yang diapresiasinya. Tugas siswa sebagai responden adalah mimilih salah satu (a, b, c, atau d) jawaban yang dianggap paling benar atas alternatif jawaban masing-masing soal. Hasil jawaban siswa itulah untuk menentukan peringkat apresiasi sastra siswa sekolah menengah. Kami berharap masyarakat Indonesia pantas membaca buku ini karena dapat membuka wawasan tentang kiat-kiat mengukur dan mengevaluasi tingkat apresiasi sastra siswa sekolah menengah dengan menggunakan skor peringkat kemampuan apresiasi sastra siswa, mulai peringkat Terbatas, Marginal, Semenjana, Madya, Unggul, Istimewa, dan Sangat Istimewa.
Akhirnya, selamat membaca dan mengapresiasi hasil penelitian sederhana ini. Tidak ada gading yang tidak retak. Apabila ada kekurangan, sesuatu yang salah dan kilaf, mohon koreksian, kritik, dan saran perbaikan atas buku ini. Salam dan doa.

Jakarta, 1 Maret 2015 
 Penulis 

Saturday 20 June 2015

YITNA YUWANA, LENA KENA




YITNA YUWANA, LENA KENA

Yitna yuwana, lena kena itu bermakna:
berhati hati senantiasa selamat sejahtera,
ceroboh dan terlena mendapatkan celaka.

Secara umumnya dalam pelbagai kesempatan
pada anak cucu orang tua selalu mengingatkan
berhati-hati dalam menempuh setiap perjalanan
oleh sebab sikap berhati-hati dapat membedakan
mana yang sesungguhnya dan mana yang bukan
mana jalan yang lurus dan mana jalan dibelokkan
mana yang senyatanya dan mana yang dipalsukan
hati-hati itu selalu sadar akan Yang Maharahman
sehingga kau dapat dituntun pada jalan kebenaran
dan tentu dapat selamat sejahtera sampai di tujuan.

Sebaliknya, bilamana engkau ceroboh dan terlena
terpikat oleh pelbagai goda silap maya pesona dunia
tidak dapat mengendalikan hawa nafsu angkara murka
terutama pada goda kasar yang jelas-jelas kasat mata
seperti goda akan tahta, harta, dan wanita cantik jelita
sudah barang tentu engkau akan mendapatkan celaka
penjara dan hukuman yang membuat engkau sengsara
ganjaran yang setimpal engkau rasakan hidup di dunia
juga nanti, sudah barang tentu kau rasakan di kafiruna
penderitaan berkepanjangan akibat engkau lalai terlena.

Sekarang bagi engkau sekalian pilih yang mana saja:
mau pilih yitna yuwana mendapatkan selamat sejahtera
bahkan juga merasakan hidup bahagia selama-lamanya
atau mau pilih lena kena mendapatkan hidup sengsara,
terus-menerus, baik di dunia maupun di akhirat nantinya.

Hal itu semua, tentu saja bergantung pada pilihan Anda
yang telah diberi otonomi dan ditunjukkan resikonya.

Bekasi, 29 Mei 2015

Pertemuan 15 Teori Sastra Tempatan