Sunday 23 November 2014

MEMAHAMI MAKNA TUNGGAL SABDA


MEMAHAMI MAKNA TUNGGAL SABDA
(Olah Rasa Ranting Bekasi, 10 April 2011)

          Semoga keselamatan, kesejahteraan, ketentraman, serta kebaha­giaan selalu meliputi Bapak, Ibu, dan Saudara-saudara para warga Paguyuban Ngesti Tunggal, baik yang masih dalam tataran calon-calonnya siswa, calon siswa, maupun yang sudah meningkat naik mencapai derajat siswa Sang Guru Sejati, oleh karena kasih, tuntunan, pepadang, daya kekuatan lahir batin, dan lindungan Suksma Sejati, Utusan Tuhan Sejati yang Abadi, Penuntun Sejati, serta Guru Dunia dan Akhirat.
          Bapak, Ibu, dan Saudara-saudara, siswa-siswi Sang Guru Sejati yang suka berbahagia dan berbudi luhur, yang senantiasa berbakti kepada Tuhan Sejati dan Utusan-Nya yang abadi, ialah Suksma Sejati, Guru sekalian umat di dunia dan di akhirat nanti, pada hari ini, Minggu, 10 April 2011, Olah Rasa Ranting Bekasi yang ke 154, saya berdiri di mimbar ini bukan berarti saya sudah mumpuni terhadap Ajaran Sang Guru Sejati, saya belum ada apa-apanya, apa yang saya lakukan hanya belajar menaati dan sebagai tanda atau wujud rasa bakti, mengabdikan diri kepada Suksma Sejati untuk memuliakan ajaran, wejangan, tun­tunan, dan pepadang-Nya bagi seluruh warga Pagu­yuban Ngesti Tungggal yang suka berbahagia.
          Pertemuan olah rasa pada hari ini, kita mencoba ber­sama-sama mengolah-rasakan bab “Tunggal Sabda”. Meng­apa dipilih tema Tunggal Sabda? Ada beberapa alasan yang mendorong saya mengolahrasakan bab “Tunggal Sabda”
  1. Tunggal Sabda merupakan bagian yang tidak terpisah­kan dari pustaka suci Sasangka Jati, pustaka suci pe­gangan hidup kita sehari-hari bagi para warga Pagu­yuban Ngesti Tunggal. Apabila kita membuka pusta­ka suci Sasangka Jati, tempat bab “Tunggal Sabda” berada di tengah-tengah, menempati posisi center. Tentu Sang Guru Sejati mempunyai maksud dan tuju­an mengapa “Tunggal Sabda” ditempatkan pada po­si­si tengah? Apakah karena “Tunggal Sabda” meru­pa­kan wejang­an ke-4 dari Sang Guru Sejati kepada siswanya R. Soenarto Merto­wardojo dari tujuh we­jangan pokok? Bagian awal dan akhir bab “Tunggal Sabda” dicatat oleh R.T. Hardjoprakoso dan R. Trihardono Soemo­dihardjo serta dibe­ri pengantar, dan ular-ular oleh Juru Mengeti, oleh keduanya. Ada­pun “bagian inti” “Tunggal Sab­da”, dicatat langsung oleh Bapak R. Soenarto Mertowardojo sendiri, si penerima dan perantara sab­da dari Suksma Sejati, yaitu bab Intisari Injil dan Intisari Alquran.
  2. “Tunggal Sabda” turun pada tahun 1932 dan selesai pencatatannya pada bulan Desember 1932. Oleh Juru Mengeti dikatakan “sekalipun buku ini (Tunggal Sab­da) dapat dianggap sebagai pembelajaran berat (pasi­naon awrat), yang dapat menimbulkan keraguan, na­mun apabila tidak disertai persangkaan yang tidak baik, Insya Allah orang akan dapat memberi pertim­bangan yang tepat serta putusan akal budi yang murni”. Berdasarkan catatan Juru Mengeti ini berarti “Tunggal Sab­da” merupa­kan pembelajaran yang berat dan harus dengan diser­tai etiket baik, serta harus ada izin Allah ketika mempelajarinya. Karena di sini ada kata Insya Allah (artinya: apabila Allah mengizinkan, memperkenankan). (Lihat juga Arsip Sarjana Budi Santosa nomor 33, hlm. 25, tentang 99% transpirasi (usaha, kerja keras) dan 1 % inspirasi (sih anugerah Sang Guru Serjati).
  3. Dalam bab “Pambuka” Juru Mengeti menyatakan “Tumprap ingkang dereng mangertos, sinten ingkang kita sebut Sang Guru Sejati punika, tuwin ingkang mboten pitados, saha ingkang dereng saged nampi pepadhangipun Sang Guru Sejati ingkang sumorot ing telenging sanubarinupun ingkang sunuci, saget ugi mastani bilih isinipun serat punika namung pituduh ingkang ngayawara, saha saget ugi cengkah kalayan piwulang-piwulang suci ingkang sampun sumebar ing saindenging jagat raya punika.” (Bagi mereka yang belum mengerti, siapa yang disebut Sang Guru Sejati, dan bagi mereka yang tidak percaya, serta bagi mereka yang belum dapat menerima pepadang Sang Guru Sejati yang bersinar di pusat hati sanubarinya yang suci, mereka itu dapat juga beranggapan bahwa isi buku ini hanya petunjuk yang melantur, dan dapat juga dianggap bertentangan dengan ajaran-ajaran suci yang telah tersebar di seluruh jagat raya ini). Oleh karena itu, Sang Guru Sejati bersabda: “Ketahuilah engkau siswa-Ku! Bahwa kedatangan-Ku ini bukan karena hendak merusak atau mengganti peraturan Tuhan yang telah ada, yaitu yang lazimnya disebut agama, dan aku juga tidak hendak mendirikan agama baru”. Arti kata “agama” berdasarkan kamus: “ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya” (KBBI, 2001:12). Makna agama menurut juru mengeti: “piwulang suci” (ajaran suci), menurut Sang Guru Sejati: “pranataning Pangeran” (peraturan Tuhan). Menurut Qurais Sihab agama harus memenuhi syarat: C-5: (1) Credo (pernyataan kepercayaan/ keyakinan pada dasar tuntunan hidup, ikrar ketuhanan: syahadat tauhid), (2) Cultus (penghormatan resmi di dalam agama: rasulullah, nabi), (3) Citab (wahyu Tuhan yang dibukukan, kitab suci Taurat, Zabur, Injil, Alquran), (4) Comunitas (kelompok organisme yang hidup saling berinteraksi, umat, pengikut), dan (5) Ceremoni (upacara keagamaan: persembahyangan, pernikahan, kematian, dll.). Ajaran Sang Guru Sejati memiliki Paugeran, Paranpara (tidak boleh mengkultuskan Pakde Narto: Sabda Khusus 11:8 “Nanging, kadangira Soenanrto aja sira puja-puja lan aja sira anggep kaya dewa. Kadangira Soenarto tetap anggepen kadangira tuwa utama wong tuwanira” (Akan tetapi, saudaramu Soenarto hendaklah jangan engkau puja-puja dan jangan engkau anggap seperti dewa. Saudaramu Soenarto hendaklah tetap engkau anggap sebagai saudara tua atau orang tuamu), Pustaka Suci Sasangka Jati, Paguyuban, dan tidak memiliki sejumlah seremoni, hanya ada tata upacara olah rasa, tata upacara pelantikan anggota baru, tata cara peringatan hari pepadang, dan lain sebagainya.
  4. Selanjutnya, “Pangajeng-ajeng” dari Pakde Narto dalam pengantar Tunggal sabda dikatakan demikian: Dengan terbabarnya “Tunggal Sab­da” diharapkan da­­­pat menyingkap (membuka) kegelapan yang meli­puti hati, se­hingga dapat menerangi bagi mereka yang ber­jalan di jalan masing-masing menuju ke kesem­pur­naan hidup sejati. Dengan demikian, harap­an mulia atas terbabarnya Serat Tunggal Sabda ini agar dapat men­jadi suluh (penerang, obor, lampu, pencerahan) yang bermanfaat se­kali di kalangan mereka yang berusaha mencapai Kasunya­tan bagi yang membu­tuh­kan pepadang.

          Bapak, Ibu, dan Saudara-saudara para warga Pagu­yuban Ngesti Tungggal yang suka berbahagia karena dekat dengan Sang Guru Sejati.
          Apa arti kata “Tunggal Sabda” itu? “Tunggal Sabda” merupakan dua patah kata yang dirangkaikan menjadi satu kata sebut, yaitu dari kata tunggal dan kata sabda. Kata tunggal merupakan kata bilangan, bermakna: satu-satunya, tiada duanya, bukan jamak, utuh, bulat, atau menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan (awor dadi siji utawa padha jinise). Adapun kata sabda, dalam ilmu bahasa disebut nomina atau kata benda, bermakna: kata, perkataan, suara, ucapan, titah, ka­lam, atau firman (gunem, swara, dhawuh pangendika, tetem­bungan). Dengan demikian, makna dari kata sebut “Tunggal Sabda” yang terukir dalam pustaka suci Sasangka Jati itu dapat diartikan: satu titah, satu kalam, satu perkataan, atau satu firman Tuhan kepada hambanya di seluruh dunia sejak zaman dahulu kala hingga sekarang keadaannya tetap, sama dan sebangun, tidak berubah, dan hanya satu-satunya yang bersifat abadi.
          Dalam buku Ular-ular Juru Mengeti Bab II, Bab Tunggal Sabda, dijelaskan bahwa padanan kata “sabda” da­lam bahasa Yunani itu adalah “logos”, dalam bahasa Arab “lo­gat”, yang dapat diartikan lebih dalam lagi sebagai “Kalamullah” (Sabda Pangandikaning Allah). Juru Mengeti juga mengacu pada Alkitab, Perjanjian Lama, Genesis (Kitab Kejadian), yang menerangkan bahwa terjadinya alam semesta seisinya itu juga atas kebijaksanaan Sang Sabda, yaitu Sabda Pangandi­kaning Allah Yang Mahakuasa, misalnya dalam Kejadian 1 ayat 3, “Allah bersabda: ‘Jadilah terang’, lalu ada terang”, dan seterusnya. Kalau diibaratkan tanaman itu hanya ada “Satu Pohon”, seperti pohon kelapa, yang tumbuh lurus.
          Ular-ular Juru Mengeti juga mengacu pada Alkitab Perjanjian Baru, Johanes 1 ayat 1—4, yang berbunyi “Pada mu­lanya, sebelum dunia dijadikan. Sabda sudah ada. Sabda itu ber­sama Allah, dan Sabda sama dengan Allah. Sejak semula Sabda bersama Allah. Segalanya dijadikan melalui Sabda, dan dari segala yang ada tak satu pun dijadikan tanpa Sabda. Sabda itu sumber hidup, dan hidup memberi terang kepada manusia. ... Sabda ada di dunia, dunia dijadikan melalui Sabda.” Dalam kata “Pengantar” kitab Yohanes (Alkitab, 1993:169) di situ dikatakan bahwa Sabda itu keadaannya abadi, tetap keadaannya dari dahulu hingga sekarang, tidak berubah.
          Selanjutnya, Ular-ular Juru Mengeti juga mengacu da­lam Alquran bahwa Sabda Pangendikaning Allah itu tidak terbatas pada awal terjadinya alam semesta seisinya, tetapi juga ketika hendak menjadikan sesuatu apa pun Tuhan tinggal menyabdakan “kun fayakun” (Jadilah, maka terjadi­lah ia). Sesungguhnya ucapan itu merupakan kalam Allah yang ditujukan kepada sesuatu dengan kehendak untuk mewujudkan atau menjadikannya ‘tercipta’, seperti pencip­ta­an langit dan bumi (Surat Al-Baqarah:117; Al-An’aam:73; Yaasiin:81–82), membangkitkan orang mati menjadi hidup kembali atau menghidupan dan mematikan makhluknya (Su­rat An-Nahl: 38–40; dan Surat Al-Mukmin: 67–68), kela­hiran Nabi Isa melalui Maryam yang tanpa sen­tuhan se­orang lelaki (Surat Ali Imran: 47), dan perumpa­maan pen­ciptaan Nabi Isa yang tidak ubahnya seperti pencip­taan Nabi Adam (Surat Ali Imran:59). Dalam ensiklopedi Islam dika­takan bahwa terjemahan kata “kun” yang paling tepat ada­lah exist, ‘nyatalah’ (nyata tenan). Sebab apa yang terkandung dalam ka­lam Allah itu merupakan sebuah gerakan menuju ke eksis­tensi atau kenyataan yang bersumber dari kehendak Allah untuk mewujudkan sesuatu hal hingga terbentuk atau ter­wujudlah kehendak-Nya itu.
          Bapak, Ibu, dan Saudara-saudara para warga Pagu­yuban Ngesti Tungggal yang suka berbahagia.
          Siapakah sebenarnya Sang Sabda itu? Pertanyaan ini bukan hanya kita saja yang ingin mengetahui siapa Sang Sab­da itu, melainkan juga pernah dilontarkan dalam hati ke­tika Pakde Narto pertama kali menerima Sabda Pratama: “Siapakah gerangan yang menyampaikan sabda tadi?” (Sinten ba­ya ingkang paring sabda pangendika punika wau?). Kemudian Sang Guru Sejati mem­beri jawaban: “Aku, Suksma Sejati, yang menghidupi selu­ruh semesta alam seisinya, bersinggasana di sega­la sifat hidup. Aku Utusan Tuhan yang abadi, yang menjadi Pa­nutan, Penuntun, Guru kamu yang sejati ialah Gurunya Jagat”. (Ingsun Suksma Sejati, kang nguripi sagung dumadi, jumeneng ing kabeh sipat urip. Ingsun Utusaning Pangeran kang langgeng, kang dadi Panutan, Panuntun, Gurunira kang Sejati, iya Guru­ning Jagat).
          Dengan demikian, sejak awal Sang Sabda telah mem­per­kenalkan diri sebagai Suksma Sejati, Utusan Tuhan yang abadi, Panutan-Penuntun-Guru sejati sekalian umat-Guru­nya Jagat, yang bertahta di segala sipat hidup, dan yang menghidupi selu­ruh semesta alam seisinya. Dalam Ular-Ular Juru Mengeti dinyatakan bahwa Sang Sabda itu juga Sang Kristus, juga Putra Allah, juga Nur Muhammad, atau juga Nur-Dattullah. Bahkan Ular-ular Juru Mengeti dalam Bab VI menulis tersendiri tentang Nur Muhammad dalam bentuk tembang macapat, asmaradana, sebanyak 21 bait, yang meng­acu pada Hadis yang diriwayatakan oleh sahabat Jabir.
Dalam Sasangka Jati bab “Tunggal Sabda” secara gam­blang dijelaskan bahwa Sabda Langgeng adalah Pangandika­ning Allah yang berisi Petunjuk Rahayu = Benar yang me­muat berbagai kebijaksanaan dan berintikan syaha­dat tauhid sebagai bakuning piandel atau bebundelaning tekad. Sang Sabda itu disebut pula Sejatining Muhammad, Nur Muhammad, Nur Dat Allah, Sejatining Jesus, Kristus, Sang Putra, Putra­ning Allah, Sejatining Rasul Allah, Sejatining Utusan Kang Langgeng, Cahya Kang Pinuji, Sipating Pangeran Kang Kababar/Gumelar, Suksma Sejati, Guru Sejati, Guru Jagat, Kang pra­bane tan kena kinaya ngapa, rumesep ing dalem kaanan tunggal, kang dadi pusere urip saka pirang-pirang cahya iman (piandel), kang sumimpen ing telenging ati suci, Sang Pepadang, Cahyaning Pangeran.
Sementara itu, dalam Sabda Khusus Nomor 5 alinea 3, Sang Sabda itu disebut juga Malaikat Jibril: “Keta­huilah, se­sung­­guhnya yang disebut Jibril itu adalah Sang Sabda. Adapun Sang Sabda itu sudah bersemayam dalam diri Muham­mad, ialah yang disebut Nur Muhammad. Sang Sabda itu keku­asaan Allah, yaitu Rasulullah, dan Sang Sabda itu ialah Allah yang terbabar, yakni sifatnya Allah” (Wruhanira, seja­tine kang sinebut Jibril iku Sang Sabda. Dene Sang sabda mau wus dumu­nung ing Muham­mad, iya kang sinebut Nur Muham­mad. Sang Sabda iku pangu­wa­saning Allah, iya Rasullullah, lan Sang sabda iku Allah kang gumelar, iya sipating Allah).
          Itulah sebabnya Sang Guru Sejati dalam Tunggal Sab­da menyatakannya bahwa “terbabarnya Sabda Abadi, yaitu Sabda Tuhan yang menjadi peraturan baku atau intisari petunjuk rahayu yang benar, kepada para hamba semua, yang sejak dahulu kala sudah tetap ajeg seperti itu hingga sampai sekarang dan kelak kapan pun tidak pernah berubah. Sebab Tuhan Sejati (Allah Taala) itu hanya satu, meskipun terbabarnya dalam kata-kata (bahasa) di dunia berbeda-beda, tetapi maknanya (hakikatnya) tetap sama saja dengan Sabda yang telah jauh di masa silam. Intinya agar selamat sampai ke akhirat”. Dalam subbab berikutnya Sang Guru Se­jati menjelaskan bahwa “perbedaan peraturan (syariat) yang dilaksanakan itu sudah dengan kebijaksanaan Tuhan, selaras dengan dasar kodrat bangsa masing-masing yang disesuaikan dengan za­man terjadinya.”
          Bapak, Ibu, dan Saudara-saudara para warga Pagu­yuban Ngesti Tungggal yang suka berbahagia. Marilah kita re­nungkan apa sebenarnya isi pokok Sabda wejangan Sang Guru Sejati yang termaktub dalam bab “Tunggal Sabda”.
Sabda wejangan Sang Guru Sejati yang termaktub da­lam serat “Tunggal Sabda” itu maknanya memberi suluh ke­pada mereka yang percaya kepada-Nya. Adapun suluh tadi apabila diperinci pokok-pokoknya sebagai berikut.
  1. Menunjukkan jalan benar, yakni jalan utama yang me­nuju ke kesejahteraan serta ketenteraman abadi (Ka­su­nyatan Jati).
  2. Menunjukkan jalan simpangan yang menuju ke arah Kiri, yakni jalan yang menuju  ke alam para cidra (Alam Kadewataan).
  3. Mengingatkan kepada para umat yang masih ragu-ragu dalam hati atau yang masih tipis kepercayaan­nya (imannya), bahwa agama Islam dan agama Kris­ten itu benar-benar agama yang berasal dari Tuhan (Allah), serta kitab suci Alquran dan kitab suci Injil itu terbabarnya benar-benar berasal dari Wahyu Allah, yang wajib dijunjung tinggi serta dilak­sanakan oleh semua umat.
  4. Bahwa kitab suci tersebut di atas itu apabila diambil intisari atau patinya, dalam hal kesunyataannya sama maknanya, artinya sama-sama berisi petunjuk rahayu yang benar-benar berasal dari Allah.

Sang Guru Sejati “Menunjukkan jalan benar, yakni jalan utama yang menuju ke kesejahteraan serta ketentraman abadi (Ka­su­nyatan Jati)”. Kata kasunyatan berasal dari kata nyata atau sunya. Kata nyata berpadanan dengan kata temen, sejati, te­men­an, pancen temenan [sungguh, sejati, sesungguhnya, memang sunguh-sungguh] (Sudaryanto, 2001:704). Semen­tara itu, kata sunya berpadanan dengan kata sonya (Sudar­yanto, 2001:980) berarti ‘suwung, sepi’ (kosong, sunyi). Dalam “Tunggal Sabda” ini yang dimaksud dengan kasunya­tan tidak sama artinya dengan ‘kenyataan hidup sehari’ atau ‘realitas hidup’. Pemahaman kata kasunya­tan dalam Tunggal Sabda itu adalah ‘hakikat’ (kenyataan yang se­sungguhnya) atau ‘hakiki’ (benar, sebe­nar-benarnya). Adapun kata Kasunyatan-Jati dipahami seba­gai ‘kebenaran makrifat’ atau ‘kebenaran peng­alam­an spi­ritualnya menyaksikan mahligai Tuhan (baitullah) di pusat sanubari hidup’. Ini jelas merupakan implimentasi dari Sabda Pratama tentang ilmu sejati atau “ilmu kasunyatan”, yaitu Sabda yang pertama, yang berbunyi: “Ketahuilah! Yang disebut Ilmu Sejati itu Petunjuk yang nyata, yaitu petunjuk yang menunjukkan Jalan Benar, ja­lan yang sampai pada asal dan tujuan Hidup” (Wruhanira! Kang diarani Ilmu Sejati iku Pituduh kang Nyata, yaiku pitu­duh kang nuduhake dalan be­ner, dalan kang anjog ing sang­kan paraning Urip). Di sini jelas bahwa yang dimaksud dengan kasunyatan jati itu adalah ‘sangkan paraning Urip’. Sementara itu, dalam Bawa Raos ing Salebeting Raos (Bab XVII “Kahanan Wong Kang Wus Tumeka ing Kasunyatan Jati” dan Bab XVIII “Tundha-tun­dhaning Drajat Tumrap Para Marsudi (nggayuh) Kasunyatan Jati”) yang dimaksud dengan kasunyatan jati adalah “sam­purnaning panunggal” atau “derajat luhur”.
Adapun pokok ilmu yang tersimpan di dalam “Ilmu Sejati” ialah “ilmu asal dan tujuan hidup” itu disebut Hastha Sila, yaitu Panembah Batin Delapan Perkara. Hastha Sila terdiri atas dua bagian, yaitu Tri Sila dan Panca Sila. Tri Sila itu Panembahnya Hati dan Cipta tiga perkara kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Tri Sila juga mewujudkan kesanggupan besar yang perlu sekali dilaksanakan di dalam setiap harinya, yaitu manusia harus senantiasa Sadar, Percaya, dan Taat kepada Tuhan yang mengusai semesta alam seisinya.
Agar dapat sempurna manusia melaksanakan kesanggupan besar tiga perkara tersebut, manusia wajib berusaha agar dapat memiliki watak utama atau perbuatan kebajikan lima perkara, yang disebut Panca Sila, yaitu Rela, Narima, Jujur, Sabar, dan Budi Luhur.
Adapun sebagai tangga untuk dapat mencapai watak Panca Sila, manusia harus berjalan di Jalan Rahayu ialah yang disebut juga dengan Panca Darma Bakti, yaitu:
  1. Meresapkan Paugeran Tuhan kepada hamba.
  2. Melaksanakan Panembah, sebagai tanda bakti dan tali kesadaran.
  3. Melaksanakan Budi Darma, yaitu membabarkan rasa kasih sayang kepada sesama makhluk.
  4. Mengendalikan Hawa Nafsu yang menuju ke perbuatan yang tercela.
  5. Berusaha untuk dapat menetapi derajat Budi Luhur.
Selain daripada itu, setiap manusia wajib berusaha jangan sampai menerjang Larangan Tuhan yang Mahakuasa, yang disebut dengan Paliwara.
Adapun yang menjadi Larangan Tuhan yang Mahakuasa kepada manusia itu ada lima perkara, yaitu:
  1. Jangan menyembah selain kepada Allah.
  2. Berhati-hatilah terhadap hal syahwat.
  3. Jangan makan atau mempergunakan makanan yang memudahkan cepat rusaknya badan jasmani dan budi pekerti.
  4. Patuhilah Undang-undang Negara dan peraturannya.
  5. Jangan berselisih atau bertengkar.
“Pepadang, ialah Sabda Wejangan-Ku sebarluaskanlah dan berikanlah kepada siapa saja, laki-laki perempuan, tua muda, dengan tidak membeda-bedakan jenis bangsa dan derajat, yang membutuhkan Pepadang dan Tuntunan-Ku. Akan tetapi, Ingat! Jangan sekali-kali disertai dengan paksaan dan pamrih apa pun.” Di sini kita diberi amanat oleh Sang Guru Sejati untuk bertindak sebagai siswa utama (berniat mengajak menyiswa kepada siapa saja) dan selanjutnya bertindak sebagai siswa purnama (kesadaran untuk menyebarluaskan Sabda Wejangan Sang Guru Sejati). Syair Pakde Narto untuk Siswa Purnama:

Harapan Pak Narto untuk para Siswa Purnama

Sepasang burung merpati
Hidup tentram dan damai
Saling cinta-mencintai
Cinta sayang nan Sejati
Seia sekata sehidup semati
Melaksanakan tugas nan luhur dan suci
Menaburkan Pepadang Sabda Sang Guru Sejati
Kepada semua insani.

          Laksana pohon kelapa
          Hidup tegak sentosa dan jaya
          Berjasa untuk Nusa dan Bangsa
          Dan Negara Republik Indonesia nan merdeka
          Menerima anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa
          Menjadi penegak Pangestu di Surakarta
          Itulah doa restu harapan Pak Narto
          Yang sangat cinta kepada putra-putranya
          Siswa Purnama dari Surakarta
          Dan dari seluruh Nusantara

                             “Satuhu”

Kemudian pelaksanaan dari ilmu sejati dalam tindakan kita sehari-hari ketika melakukan:
  1. “Intisari Panembah”: “Duh, Suksma Sejati, Penun­tun serta Guru hamba yang sejati, hamba mohon semoga Paduka berkenan menuntun hamba berja­lan di Jalan Benar (margi leres), ialah Jalan Uta­ma (margi utami), yang berakhir dalam kesejahte­raan, ketentramaan, dan kemualiaan abadi ialah di hadirat Tuhan Sejati”.
  2. “Intisari Panembah untuk Kese­jah­teraan Umat”:  “Duh, Suksma Sejati, Penun­tun serta Guru hamba yang sejati, ialah Guru Dunia, hamba mohon se­mo­ga Paduka berkenan menuntun semua umat ber­ja­­lan di jalan benar (margi leres), ialah jalan uta­­ma (margi utami), yang berakhir dalam kesejah­te­raan, keten­traman, dan kemualiaan abadi ialah di hadirat Tuhan Sejati”.
  3. “Pangesti Kesejahteraan Negara”: “Duh, Tuhan, ham­ba mohon semoga Tuan berkenan memberi pepadang dan tuntunan kepada bangsa kami agar bangsa kami berjalan di jalan benar (margi leres), ialah jalan uta­ma (margi utami) yang berakhir dalam kesejahteraan, ketentraman, dan kemuliaan abadi”.
  4. “Pangesti II, Mohon Tuntunan”: “Duh, Suksma Se­jati, Penun­tun serta Guru hamba yang sejati, ham­ba mo­hon semoga Paduka berkenan menuntun ham­ba berja­lan di jalan benar (margi leres), ialah jalan uta­ma (margi utami), yang berakhir dalam kesejahte­raan, ketentramaan, dan kemualiaan aba­di ialah di hadirat Tuhan Sejati”; dan tentu saja disempurnakan dengan melaksanakan:

“Panembah”, “Dasa Sila”, “Jalan Raha­yu”, menja­uhi “Paliwa­ra”, dan melaksanakan “Hasta Sila” seba­gai laku kita hidup sehari-harinya sehingga dicapai derajat luhur [lihat ORDR, Bab XVII, halaman 32—35].
Bapak, Ibu, dan Saudara-saudara para warga Pagu­yuban Ngesti Tungggal yang suka berbahagia.
Dalam “Tunggal Sabda” Sang Guru Sejati menunjuk­kan jalan benar, yaitu jalan utama yang berakhir dalam kesejah­teraan dan ketentraman abadi itu terdapat dengan jelas melalui Bab I, “Petunjuk-petunjuk Benar dari Sang Gu­ru Sejati”, yang meliputi:
(1)   Keadaan Sabda Abadi dan Ter­babarnya,
(2)   Kewajiban Utusan, Tinggi Rendah Derajat, dan Kewa­jiban Hamba,
(3)   Aneka Macam Utusan di Dunia,
(4)   Intisari Sabda Abadi yang Tersimpan dalam Kitab Suci Injil, dan
(5)   Intisari Sabda Abadi yang Tersimpan dalam Kitab Suci Alquran.
Bagian Bab I dari “Tunggal Sabda” itu juga di­maksudkan oleh Sang Guru Sejati untuk mengingatkan bagi para umat yang masih ragu-ragu ataupun yang masih tipis imannya bahwa agama Islam dengan kitab sucinya Alqur­an dan agama Kristen dengan kitab sucinya Injil sung­guh-sung­guh berasal dari wahyu Allah, agama samawi.
Sementara itu, Bab II dari Tunggal Sabda, “Lanjutan Ajaran Sang Guru Sejati” yang meliputi: (1) Jagad Kedewa­taan dan Keadaannya, (2) Jalan Yang Gawat, dan (3) Ke­adaan Pranata Kedewataan, Tinggi-Rendahnya Derajat, Pemerintahan, dan Pemerincian Pekerjaannya, dimaksudkan oleh Sang Guru Sejati sebagai paparan tentang Jalan Sim­pangan, jalan yang menuju ke arah kiri. Dalam kitab-kitab suci sebelumnya, Injil dan Alquran, bahkan Taurat dan Zabur, tidak dipaparkan secara gamblang dan jelas tentang Jagat Kedewataan itu. Memang dalam Alquran ada Surat Al-Jin (Surat ke-72, sebanyak 28 ayat), dan dalam dunia Islam itu juga berkembang eskatologi, yaitu ajaran teologi mengenai akhir zaman, seperti hari kiamat, kematian, dan kebangkitan manusia dari alam kubur. Tentang akhir zaman atau hari kiamat ini memang dalam Alquran dinyatakan dalam Surat ke-78, An-Naba (Berita Besar), 40 ayat. Semuanya masih samar-samar dan tidak jelas, karena penuh kias, banyak tafsir.
Hadirnya “Tunggal Sabda” ini Sang Guru Se­ja­ti mempertegas, memperjelas, lebih memerinci dan lebih menggamblangkan ten­tang makhluk yang berbadan anasir api dalam Bab II. Adapun tentang eskatalogis seperti yang berkembang dalam dunia Islam itu Sang Guru Sejati mem­perjelasnya dalam Bab “Sangkan Paran”, dan Pakde Narto menjelaskan pula lewat tembang macapat megatruh “Sukma Ngumbara” dalam buku Bowo Raos Ing Salebeting Raos.
Adapun “Tunggal Sabda” berada di tengah-tengah dalam satu kesatuan pustaka suci Sasangka Jati dimaksudkan sebagai pesemon/kiasan “barang siapa yang ingin bertemu dengan Sang Sabda yakni Suksma Sejati di mahligai suci, ing telenging batosipun piyambak-piyambak, iya ana ing telenging sa­nu­barine, iya kang sumimpen ing telenging ati suci”. Sang Sabda, ya Sang Guru Sejati, bersinggasana di pusat hati sanubari, di dalam kalbu mukmin baitullah. Siapa pun yang dapat sampai ke pusat hati sanubari-Nya, yang dapat mengalihkan titik berat kesadarannya ke dalam kalbu mukmin-Nya, dijamin dapat bertunggal dengan Sang Sabda. Sang Sabda hanya Satu, Esa, Tunggal, tiada duanya, bersifat Abadi, kekal, langgeng, tetap tidak berubah berganti, suci, penuh kasih, dan juga adil.
SATUHU

Catatan:
Kata cidra dalam Kamus Pepak Bahasa Jawa (2001:168) berari ‘ora setya’, ‘ora netepi janji’ utawa ‘mblenjani janji’, ‘pangapus’, ‘krenah’, ‘pitenah’, ‘luput’, utawa ‘klreru’, dalam terjemahan yang sudah umum digunakan kata culas, mungkar, pendusta; dalam istlah Pakde Soemodihardjo: silap pesona maya dunia.
Kata rahayu atau raharja (dalam Kamus Bahasa Jawa-Bahasa Indonesia II, Sri Nardiati et al, 1993: 188) padan­annya: slamet artinya ‘selamat’.
          Kata rahayu atau raharja (dalam Kamus Praktis Jawa-Indonesia, L. Mardiwarsito et al, 1985: 262) artinya ‘selamat’; ‘sejahtera’.
          Kata selamat dalam bahasa Indonesia berarti : (1) ‘terhindar dari bencana’; ‘aman sentosa’; ‘sejahtera’; ‘tidak kurang suatu apa’; ‘sehat’; ‘tidak mendapat gangguan, kerusakan, dan sebagainya’; ‘beruntung’; ‘tercapai maksud dan tujuannya’; dan ‘tidak gagal’; (2) doa; (3) ucapan yang mengandung harapan supaya tidak kurang suatu apa; (4) untuk persalaman mudah-mudahan dalam keadaan baik, sehat walafiat (KBBI, 1988: 798).
Sedangkan kata keselamatan berarti ‘perihal (keadaan dan sebagainya) selamat’; ‘kesejahteraan’; ‘kebahagiaan’ (KBBI, 1988: 799).
Kata sejahtera ‘aman sentosa dan makmur’; selamat (terlepas dari segala macam gangguan, kesukaran, dan seba­gainya) (KBBI, 1988: 794). Kata kesejahteraan ‘keamanan’, ‘keselamatan’ ‘keten­traman’, ‘kesenangan hidup dan seba­gai­nya’, ‘kemakmuran’ (KBBI, 1988: 794)
Kata rahayu dalam Kamus Pepak Bahasa Jawa (Editor Sudarjanto dan Pranowo, 2001: 871) artinya: ‘slamet’, ‘begja’, ‘luput ing kacilakan lan kangsangsaran’.
Kata slamet dalam Kamus Pepak Bahasa Jawa (Editor Sudarjanto dan Pranowo, 2001: 966) artinya: (1) ‘ara ana sa­kara-kara’; (2) ‘luput ing bebaya, kacilakan, lan sapanung­gal­ane’. Dene tembung ‘keslametan’ tegese ‘keamanan tumrap jasmani lan rohani’.


Thursday 6 November 2014

MAKMUR ANWAR MH: TOKOH SASTRA KALTENG 2008



Pengantar
Pada 24—29 September 2014 saya berkunjung ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah, dalam rangka pencarian data penelitian cerita asal-usul masyarakat Kalimantan Tengah. Disela-sela pencarian data itu saya mendengar kabar bahwa bapak Makmur Anwar, tokoh sastra Kalimantan Tengah 2008 yang dinobatkan oleh Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah, menderita sakit. Lalu, pada hari Sabtu, 27 September 2014, saya berkunjung ke kediaman beliau di Jalan Sanggabuana, Palangkaraya, untuk membesuk beliau yang diantar oleh Umar Nur Sakti dan Muston Sitohang. Saya hanya bertemu dengan Ibu Makmur Anwar yang menyambut kedatangan saya, dan beliau hanya menyatakan bahwa bapak Makmur Anwar tengah ke Jakarta, sudah tiga hari yang lalu.

Satu bulan berikutnya, 26—31 Oktober 2014, saya kembali mengunjungi kota cantik Tambun Bungai, sebutan indah kota Palangkaraya, dan alhasil pada hari Rabu, 29 Oktober 2014, bertemulah saya dengan bapak Makmur Anwar, beliau penuh semangat menyambut kehadiran saya yang disertai oleh Titik Wijanarti, Basori, dan Ai Kurniati. Pak Makmur Anwar yang kini berusia 78 tahun sudah tampak segar, pulih kembali dari derita sakit jantung yang menimpa dirinya, dan sudah dapat bercerita kembali, dan tentu saja penuh ceria. Terhadap saya, meski sudah tidak bertemu lebih dari empat tahun, masih ingat dan hapal betul dengan nama saya, dengan orang lain, seperti pada Basori saja susah mengingatnya, baru beberapa jam kemudian kembali dapat menyebut nama dengan baik, banyak yang lupa nama-bama sahabat dan keluarga dekatnya, atau susah mengingat nama seseorang, meski sering ketemu, bahkan piagam tokoh sastrawan Kalteng 2008 yang saya bubuhi tanda tangan dan cap Balai Bahasa Kalteng, masih ingat dan dipajang di ruangan tamu, menjadi kebanggaan tersendiri.

Untuk mengingat jasa dan perjuangan beliau dalam merintis kesusastraan di wilayah Kalimantan Tengah, dan persaudaraan kami yang penuh kasih sayang, berikut diturunkan beberapa tulisan tentang bapak Makmur Anwar dan juga tulisan beliau sendiri.

Salam dan doa senantiasa menyertai.


MAKMUR ANWAR M.H.
Nama lengkapnya: Makmur Anwar Maksum Hutomodimejo, biasa dipanggil pak Makmur, lahir di Yogyakarta, 16 Maret 1939. Pendidikan S 1. Memotivasi siswa/pemuda untuk berkarya sastra (puisi) lewat BABA Puisi dan Siaran Tebaran Sastra RRI Palangkaraya. Menulis di surat kabar harian lokal, seperti Kalteng Pos, Palangka Pos, Dayak Pos, dan Banjarmasin Post. Antologi Puisi Tiga Berpadu Takdir bersama H.A. Badar Sulaiman Usin (Kalteng) dan Andi Burhanuddin ( Makassar ). Sudut kecil dari Antologi Puisi Penyair Kalteng Negeri Bekantan. Antologi Puisi lokal Majalah Sastra Dermaga.

KEPRIHATINANKU
untuk : Bang H A Badar Sulaiman Usin di
Negeri yang tak ada lagi keluh kesah

Bang Badar,
tatkala aku membaca & mendengar tergerak nuraniku:
menghidupkan rasa keprihatinan bahwa
satu: orang miskin penghasilan rendah tak cukup biaya hidup keluarga
mereka yang terbanyak membakar uang hasil kerjanya sendiri untuk
mengasapi parunya, melemahi syahwatnya, menghidupi stroke-nya,
melukai janin di rahim isterinya
dua: masih orang miskin yang diserobot status miskinnya oleh kelas
di atasnya hingga sulit membeli minyak kompornya, makin tak mampu
kenyam goreng-gorengan, makin berat mencari beras untuk keluarganya,
musnah mampunya menyekolahkan anak
tiga: sementara kelompok legislatif yang nyebut diri wakil rakyat panen
honor, proyek, kerja dan pesta di hotel-hotel mewah dan keluar negeri
empat: masih legislatif yang banyak duitnya yang disebut terhormat menyakiti
perempuan yang diwakilinya
mencontohi rakyatnya dengan perilaku semaunya. ia mampu pergi ke Kepulauan Hawai
kenapa cuma ke Hotel Hawai di depan mata isteri
lima : selama reformasi kita sudah kehilangan saudara dua pulau batas wilayah dan
kehormatan di negeri jiran
kini Ambalat dan pulau-pulau lain terancam pencaplokan
ini mah urusan eksekutif – kata kodok sambil makan pizza
enam: masih di era reformasi kita kehilangan tata nilai dan kemapanan dan kebebasan pun
kerukunan yang dulu terkenal dengan gotong royongnya lenyap bahkan beribadah pun dapat dilarang
tujuh: negara kita disebut negara hukum tapi kehilangan supremasi hukumnya
hukum tak tegak aturan tak diikuti larangan dilanggar kewajiban tak diabaikan
ini sih urusan yudikatif – kata tikus sambil garuk-garuk pantat
delapan: acara tv banyak takhormati bahasa Indonesia satu butir sumpah pemuda
para selebriti ikutan ngrusak bahasa tanpa acuh tatanan campur adukkan ku dan aku
you dan I tanpa my
mereka tak punya lubang dinding nyanyi lagu dan ah
Bang Badar,
masih banyak yang menggugah keprihatinan tapi malam sudah lingsir
kita penggal esok disambung
maaf ya bang kalau aku dan keprihatinanku membuatmu tergores
(aku tahu hatimu peka akan halhal ini)
aku tak bermaksud begitu
semoga kau tenang dan damai di sana

2008

DAUN MAWAR

hidupku daun mawar lapangan
sepak bola
luka oleh duri sendiri
diinjakinjak pesta taruhan
aku adalah Nabi Luth
suami terleceh takhenti
nabi Nuh juga adalah aku
bukan banjirnya tapi anaknya
hidupku daun mawar
terluka duri sendiri
perban kain kasar
berselimut janji takdipenuhi

2008

DITUNGGU

kalau begini terus
negeri ini adalah
buah masak dimakan ulat
tinggal ditunggu jatuhnya
ulat dan kadal pesta bareng
rangit berjoged nyamuk bermain musik

2011


BERIBU KALI
buat saudaraku

beribu kali kukatakan kau diam
beribu kali kubilang kau diam
beribu kali kuteriak kau diam
kupikir kau memikirkan
kupikir kau mengerti
kupikir kau tahu
ternyata tuli
ah pantas!
pantas!

2011


L U T H

kuncup mengunyah sekam sisa cahaya kebenaran
merambah menyebar sampai ke hilir masa
terhilir zamanku adalah aku
mengisap menyerap darah luth
pahit manis getir beraduk
kalau dia ﺍﷲ mau mencuci
tak ada pasir
tak ada kerikil
tapi ia mau memberi contoh
menghibur umat-nya
yang ada di hilir-hilir agar tak stress
aku adalah salah satunya

nuh yang hidup dulu
darahnya menetes jadi
contoh juga
obat kedua
jadi ramuan maha mujarab menyerap sinar paling menyilaukan
di jagad raya yang harta kekayaannya menyilaukan mata ini
aku yang tlah minum ramuan itu
dalam sadar dan tak sadar
hingga hidupku terbakar langit
riwayat itu aku telan bulat
kukeluarkan kukunyah lagi
pahit
getir
lidahku bengkak
tapi kukunyah lagi
pahit
getir
pedas
makin pahit
makin getir
makin pedas
tapi kutelan juga
sampai pingsan hidupku
tuhan menolongku mengulurkan tangan-nya
ya luth ya nuh
badanku terbakar habis jadi abu
aku hanyalah bayang-bayang angin laut
menyuruk ke dalam gunung limbah membusuk
tanpa hitungan
tanpa prosentasi
tanpa sisa
tapi api di mataku menyala

260711


PERKEMBANGAN SASTRA DI KALIMANTAN TENGAH*
Oleh Makmur Anwar M.H.**

SASTRA adalah cabang seni yang bergerak dan sekaligus menggunakan bahasa. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dinyatakan bahwa sastra adalah (1) bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari); (2) kesusastraan; (3) kitab suci Hindu; kitab ilmu pengetahuan; (4) kitab; pustaka; primbon (berisi ramalan, hitungan, dsb); (5) tulisan; huruf. Dari penjelasan tersebut, arti yang pertama adalah bahasa, dan arti kedua adalah kesusastraan. Ketika saya menjadi siswa kelas satu di SMA Negeri 1 Jurusan Sastra, di Yogyakarta, saya mendapat penjelasan dari guru, bahwa kesusastraan berasal dari susastra yang mendapat imbuhan ke-an; su adalah imbuhan yang berarti indah, sastra berarti tulisan. Jadi, kesusastraan adalah perihal tulisan yang indah.

Kesusastraan mempunyai arti yang lebih sempit dari kesastraan. Yang mempersempit arti tersebut adalah su-, yang berarti indah. Tentang keindahan dari kesusastraan itu sendiri sulit dijelaskan karena indah pada prinsipnya adalah suatu yang bersifat relatif. Masing-masing orang mempunyai pandangan tentang keindahan. Karya sastra bertemakan kritik atau pengkritisan meski tetap mempunyai keindahan. Namun, barangkali orang yang terkena kritikan akan mengatakan bahwa karya yang dimaksud tidak indah. Kritik sendiri ditulis atau diungkapkan sebagai sesuatu yang mengandung maksud, yang bagi masyarakat umum baik atau indah.

Arti sastra yang pertama diberikan oleh KBBI adalah bahasa, ini berarti bahwa sastra dan bahasa tidak dapat dipisahkan, sebab sastra adalah tulisan yang menggunakan bahasa. Bahasa adalah alat atau sarana untuk berpikir. Orang yang tidak mengenal satu bahasa pun ia tidak akan dapat berpikir. Bahasa juga merupakan alat untuk mengkspresikan pikiran atau ide yang tersimpan. Orang yang belum mempunyai bahasa yang dikuasai belum dapat mengungkapkan isi hatinya. Ini pernah saya alami waktu anak pertama saya baru belajar berbicara. Hampir tiga tahun ia belum dapat berbicara. Saya konsultasikan kepada seorang dokter apakah anak saya tersebut bisu. Dokter mengatakan bahwa anak itu tidak bisu, sebab bisu itu disebabkan karena tidak dapat mendengar dan tentunya tidak dapat menirukan apa yang diucapkan oleh seseorang. Pendengaran anak saya baik dan tidak ada gangguan.

Akhirnya, saya konsultasi dan mohon petunjuk kepada Prof. KMA.M. Usop, M.A. Beliau menanyakan kepada saya apa bahasa yang saya gunakan di rumah, apa bahasa yang dipakai istri saya, dan bahasa apa pula yang dipakai oleh teman-teman bermainnya. Saya mengatakan kepada beliau bahwa bahasa sehari-hari saya berbeda dengan istri saya dan berbeda pula dengan bahasa yang dipakai teman-temannnya. Akhirnya, beliau menjelaskan kepada saya bahwa anak saya tersebut tidak mengalami kesulitan dalam menyerap bahasa, karena bahasa yang bermacam-macam yang dialami oleh anak tersebut dalam kehidupan sehari-harinya. Beliau mengatakan agar saya tidak perlu cemas karena anak tersebut hanya sedang mencari dan memilih bahasa yang akan dijadikan pegangan.

Ternyata apa yang beliau katakan adalah benar, karena begitu anak saya dapat berkata-kata, ia langsung dapat membedakan bahasa apa yang harus disampaikan kepada ibunya, kepada saya, dan kepada teman-teman bermain-mainnya dalam waktu yang bersamaan. Ini adalah pengalaman saya yang sangat berharga dan penjelasan Pak Usop tersebut adalah sesuatu yang sangat berharga dan tidak pernah saya lupakan. Pak Usop adalah dosen saya yang banyak membantu saya baik dalam studi saya maupun dalam penulisan skripsi dan bahkan hal-hal lain seperti organisasi.

Saya menyukai sastra, terutama puisi sejak saat masih duduk di SMP Jurusan A (Sastra Budaya) di Yogyakarta. Saya mulai mengarang puisi mulai kelas 1 SMA di Yogyakarta dan puisi itu saya kirimkan ke redaksi majalah siswa. Betapa gembiranya saya karena karya pertama saya dimuat di majalah Tifa Siswa, begitu nama majalah itu. Sayang, saya tidak dapat mengingat karya tersebut. Majalahnya pun hilang. Pada tahun 1955, SMA Sastra Negeri di Yogyakarta telah memiliki majalah siswa yang bernama Rakta Pangkajia. Majalah itu bukan lagi berbentuk majalah dinding, tetapi sudah berupa majalah terbitan tercetak yang dikelola oleh para siswa dengan rapi. Ini barangkali kelebihan SMA Sastra dari SMA-SMA umum lainnnya. Penyajian pengajaran bahasa Indonesia dan sastra banyak disampaikan dalam bentuk diskusi dan terbimbing (guided discussion). Dari diskusi itulah saya menjadi tahu betapa luasnya makna dan maksud yang dikandung oleh karya sastra, dari makna sebenarnya, kiasan, majasi, dan metaforis atau perbandingan dan perumpamaan.

Kepengarangan saya terhenti ketika saya menekuni ilmu dan pengetahuan hukum di Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Namun, saya kembali menekuni dunia kepengarangan setelah saya menjadi guru di SMA Negeri Pangkalanbun, Kalimantan Tengah. Saya mulai mengajarkan sastra dengan cara yang seperti saya peroleh. Kami mulai mengadakan lomba baca puisi pada hari-hari penting seperti Hari Sumpah Pemuda dan Hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.

Demikian halnya ketika saya mengajar di SMA Negeri 1 Palangkaraya, Kalimantan Tengah, tepatnya tahun 1971. Kami mengadakan lomba baca puisi pada Hari Pendidikan Nasional. Sejak saat itu, sekolah-sekolah lain di Palangkaraya juga mulai mengadakan lomba baca puisi. Dari kegiatan lomba tersebut, saya juga menjadi tahu betapa miskinnya perbendaharaan puisi di kalangan siswa dan sekolah. Ini yang mendorong saya untuk melakukan kegiatan bimbingan sastra, baik dalam kegiatan ”Tebaran Sastra di RRI Palangkaraya” maupun ”Tabib (Taman Bina Ide dan Bakat) Puri Damai”. Tebaran Sastra adalah acara yang dulu diasuh Bang Jack F. Nahan. Disela-sela kegiatan itu saya sering berdiskusi dengan Bang Badar Sulaiman Usin (BSU) almarhum.

Selanjutnya kami menyelenggarakan Baba (Baca-Bahas) Puisi bersama Mas Eko (Yulianto Eko Sunugroho = YES) dan mendirikan Kelompok Teater Senjang. Saat itu Teater Senjang menampilkan M. Razi, Mahmudah, dan Elsi Suriani Titin. Sebenarnya Baba Puisi direncanakan sebagai program tahunan dan sudah berjalan sampai lima tahun. Namun, akhirnya kegiatan ini harus kandas karena tidak adanya dana pendukung, sementara saat itu sangat sulit mencari sponsor untuk kegiatan sastra. Kelompok Baba Puisi juga diramaikan oleh teman-teman yang berteater tersebut dan teman-teman lain diantaranya Mirza Wanara Fitri kakak beradik. Salah satu yang ikut aktif di dalamnya adalah Siti Nafsiah yang sekarang berkarya politk bersama Golkar dan duduk sebagai Ketua Komisi C DPRD Kalimantan Tengah. Pada waktu Kanwil Dekdikbud dipimpin oleh Bapak Hengki Sumuan dan Drs. Taya Paembunan. Saat itu puisi sangat diperhatikan sehingga tiap-tiap ada kegiatan baik intern Kanwil maupun kala ada kunjungan pejabat dari Pusat baik itu Dirjen, Sekjen maupun menteri P dan K selalu disuguhkan bacaan puisi.

Pernah suatu saat, ada kegiatan yang tidak menampilkan bacaan puisi, Bapak H Sumuan dan Pak Taya menanyakan kepada saya perihal ketiadaan baca puisi. Sehingga pada saat Pisah Sambut kepindahan Pak Taya kembali ke Jakarta, kami juga mengadakan acara baca puisi, khusus untuk Pak Taya. Salah satu kalimat dalam puisi itu berbunyi” Selamat jalan Pak Taya, jangan lupakan kami, jangan lupakan Kalimantan Tengah”. Puisi ini memberi kesan tersendiri di hati beliau sehingga beliau menuliskan sebuah buku tentang Kalteng dan diluncurkan di gedung Aula Kanwil Depdikbud. Menurut beliau puisi tidak boleh dipandang hanya sebagia hiburan, tetapi juga sebagai media yang dapat dititipi pesan apa saja, dari masalah pendidikan agama sampai masalah pembangunan.

Kepindahan Bung Yohanes Djoko Santoso Passandaran dari Kuala Kapuas ke Palangkaraya menjadi dosen di Program Studi Bahasa dan Sastra Indoensia FKIP Universitas Palangkaraya memberikan dorongan kegiatan sastra di Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Ia membukukan sendiri beberapa puisinya dalam kumpulan puisi Sajak- Sajak Kecil Perjalanan. Saya sering berdiskusi dengan beliau tentang bagaimana mendorong dan mengajak para siswa berkarya puisi dan meningkatkan karangan serta kualitasnya. Lewat Tabib Puri Damai, beliau ikut menyelenggarakan lomba Baca Puisi. Bang HABSU (Haji Ahmad Badar Sulaiman Usin, Saapan Badar Sulaiman Usin setelah menunaikan ibadah haji).

Saya maupun teman-teman yang lain termasuk sastrawan yang kurang produktif dalam hal penerbitan buku, karena kemampuan finansial yang sangat terbatas. Kami baru menuangkan karya-katrya dalam buku setelah ada pihak yang berkenan mensponsori. Keadaan agak berubah setelah buletin sastra Dermaga terbit. Buletin ini digagas oleh Bang HABSU dan didukung Ikatan Pecinta Seni Sastra Palangkaraya (IPSSP). Buletin ini dimotori oleh Wansel Eryanatha Rabu, Barthel Usin dan Sutran. Ketiga orang ini memang bergelut dalam bidang jurnalistik. Selain itu ada pula Dini Sofian serta Bambang Juniarto yang sejak tamat kuliah sampai sekarang belum terlacak keberadaannya. Selain menerbitkan Dermaga, IPSSP juga pernah menerbitkan antologi puisi penyair Palangkaraya, sayang saya tidak memiliki arsipnya.

ISASI (Ikatah Satrawan Indonesia) daerah Kalimantan Tengah kemudian ikut bergabung bersama IPSSP. Saat itu ISASI dipimpin oleh Bang Jack F. Nahan. Kehadiran ISASI ikut memperkuat buletin Dermaga. Meskipun baru berupa stensilan, HABSU berani mengirimkan beberapa edisi ke teman-teman seniman sastra di daerah lain, juga ke pusat dokumentasi sastra HB Yassin. HABSU lalu membukukan puisinya dalam kumpulan puisi yang berjudul Rambahan. Buku ini disponsori oleh Mas Dapi Fajar Raharjo, Mohammad Alimulhuda, Samsul Munir, Suyitno BT, dan teman-teman yang tergabung dalam ISASI. Saat itu ISASI berada di bawah koordinasi Dr. J.J Koesni selaku Ketua ISASI. Setelah kumpulan puisi ini terbit, lalu terbit pula kumpulan puisi yang disponsori oleh Kantor Wilayah Pariwisata Seni dan Budaya (Parsenibud) Kalimantan Tengah. Kumpulan puisi ini berjudul Tiga Sosok Berpadu Takdir, memunculkan puisi-puisi bertemakan pariwisata karya HABSU, Makmur Anwar M.H, dan Andi Burhanuddin. Saat itu Kantor Parsenibud berada di bawah kepemimpinan Bapak Drs.H Hamdulilah Salim.

Setelah Tiga Sosok Berpadu Takdir, Aliemha (sapaan Mohammad Alimulhuda) dan kawan-kawan dari ISASI Kalteng menerbitkan Negeri Bekantan, sebuah antologi puisi para penyair Kalimantan Tengah. Di dalamnya memuat karya-karya Lukman Juhara, Dra. Nani Setiawati, M.Si., Sujudi Akbar Pamungkas, M. Anwar M.H., Alifiah Nurahmana, Supardi, R. Bagaspathi, Suyitno BT, Titin Nafsiah Rafles, Amang Bilem, Esa Sukmawijaya, Padmi Sando Eraini, S.Pd., Samsul Munir, Qomaruddin Asss’adah SP, Harland S. Muhammad, Wansel Eryanatha Rabu, Drs. Fajar Siddiq, Ariel Abuhasan, Lamatsyiah M Tiong, Tutur Krishandojo, Ruslimah, Surya Wira Buana, Yohanes C Karambut, Priyatna, Misnawati, Yuliati Eka Asi, Ad Rahmayanti, dan Nor Hasanah. Dari sekian banyak nama itu ada beberapa yang memang sudah dikenal sebelumnya dan ada pula yang baru dikenal. Beberapa di antaranya kini sudah tidak terdengar gaungnya, namun ada pula terus berkarya, hidup dan berkibar benderanya.

Tabib diminati oleh adik-adik yang masih kecil diantaraya Elis, yang dulu sering ditampilkan di layar TVRI, Herawati, Citra, Pahit, Amy, dan Sekar yang sering pula tampil di RRI Palangkaraya membaca puisi dan bermain sandiwara udara, menyosialkan program Pendidikan Dasar Sembilan Tahun. Citra dan Amy sempat diundang ke Jakarta oleh IKAPI di bawah ibu Upi Tuti Sundari Azmi yang akrab dipanggil Bu Upi, untuk membacakan pusi di acara pembukaan Pameran Buku Internasional. Acara itu dibuka oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Bapak Sumantri Brodjonegoro di Balai Sidang Senayan, Jakarta.
Tabib juga memunculkan adik-adik yang kemudian ikut dalam kegiatan-kegiatan lain baik dalam berteater maupun berpuisi bersama dengan teman-teman yang lain. Tabib, Baba Puisi dan Teater Senjang sering mengadakan kegiatan lomba baca Puisi. Bahkan para anggota Teater Senjang berhasil menang dalam Lomba Menulis dan Baca Puisi bertemakan Pancasila yang diselenggarakan oleh BP-7. Lomba menulis Essai bertemakan Pancasila memunculkan Mamahut, permunculan nama lain dari M Anwar MH, juga anggota teater Senjang sebagai juara pertama. Selain itu masih banyak prestasi yang berhasil diraih oleh para anggota teater Senjang.

Bersama redupnya Baba Puisi, Teater Senjang pun mulai tenggelam dan pulas dalam tidurnya. Sejak itu muncullah Teater Kharisma di bawah pimpinan Drs. Puji Santoso. Tetapi kehidupannya juga tidak mampu bertahan lama, walaupun sempat berkiprah meramaikan panggung teater Palangkaraya. Namun, Alhamdulillah. setelahnya muncul sanggar teater yang baru yang sampai sekarang masih menunjukkan keaktifannya, yaitu Srikandi Tiung Gunung Balamping Emas di bawah pimpinan Rr. Tri Rahayuningsih. Pemain utama dan seniornya adalah Aliemha. Teater ini banyak melibatkan adik-adik mahasiswa, siswa-siswi SMP, SMA, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah.

Sememtara itu di kampus Universitas Palangkaraya juga berkembang Teater Tunas sebagai ajang berkiprah bagi para mahasiswa-mahasiswi FKIP Program Studi Bahasa Indonesia dan sastra Jurusan Bahasa Indonesia dan Daerah. Bersamaan dengan aktifnya sanggar-sanggar teater ini, muncullah satu lagi teater dan sastra kampung (Terapung) di bawah kepemimpinan Aliemha. Teater ini diminati banyak pihak untuk bergabung dan bekarya di bidang teater, bahkan adik-adik kita yang kecil ikut bermain di dalamnya, salah salatunya adalah melakonkan ”Ember”. Teater Terapung sangat menarik perhatian karena membina anak-anak untuk cinta teater, juga dengan kehadiran teater bocahnya (diberi nama teater Ember). Sampai sekarang sanggar ini masih aktif dan terus aktif bahkan sering bermuhibah ke beberapa daerah lain. Terakhir bulan Juli lalu mereka ke Pontianak, Kalimantan Barat. Di era aktifnya, sanggar-sanggar teater ini berhasil menjadi tuan rumah dalam adu kreasi pekan teater dengan menghadirkan Group Teater dari Banjarmasin, Malang, Jombang, Jatim, dan Sampit. Kelompok Sampit yang aktif melalui studi Art Sampit sering mengundang Teater Terapung dan sebaliknya mereka juga bermain di Palangkaraya dan mengikuti program-program Terapung.

Dengan dibukanya Kantor Bahasa Palangkaraya pada tahun 2000 di Kalimantan Tengah, kegiatan sastra semakin marak saja. Kantor Bahasa Palangkaraya ini sering mengadakan Bengkel Sastra di SMA-SMA di Palangkaraya dan daerah-daerah lain di Kalimantan Tengah dengan melibatkan tenaga-tenaga yang ada seperti Mas Eko, Aliemha, Dapi Fajar Raharjo, M. Anwar MH, dan para dosen Bahasa Indonesia dan Sastra Unpar.
Setelah Kantor Bahasa Palangkaraya berubah menjadi Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah pada tahun 2003, mereka pun semakin meningkatkan peranan dan partisipasinya dalam membina mengembangkan serta menggerakan para seniman sastra dan teater di wilayah ini. Di antaranya adalah seminar sastra yang menampilkan Tokoh Budayawan Prof. K.M.A.M. Usop, M.A., dan dihadiri pejabat dari Pusat Bahasa, Drs. Abdul Rozak Zaidan, M.A. Saat itu Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah berada dibawah kepemimpinan ibu Jatiwati, S.Pd., Di sini, tampak kesastrawanan dan kebudayawaman Pak Usop di tengah masyarakat luas Kalimantan Tengah.

Dalam waktu dua tahun terakhir, Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah semakin menggiatkan program kesastraannya dengan mengadakan Lomba Baca Puii bagi Guru SD, Lomba Bertutur/Mendongeng atau Bercerita bagi Siswa SD, Lomba Mengarang Cerita Pendek, Lomba Musikalisasi Puisi, Sayembara Penulisan Cerita Rakyat, Bengkel Sastra, Penulisan Kreatif Cerpen, temu sastra, dialog sastra, seminar pengajaran sastra, bedah buku sastra, bimbingan penulisan sastra, dan lain-lain (maaf, saya tidak mampu menghafalnya). Ini merupakan momen yang sangat menggairahkan bagi keatifitas para sastrawan di daerah Kalimantan Tengah ini. Ucapan terima kasih tentunya pantas saya sampaikan kepada Bapak Dra. Puji Santosa, M.Hum. selaku Kepala Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah dan segenap stafnya atas kegiatan-kegiatan kesastraan yang diadakannya ini. Satu hal yang sangat mengejutkan adalah adanya acara Pemberian Penghargaan kepada Tokoh Kebahasaan dan Kesasatraan. Ini baru untuk pertama kalinya terjadi di wilayah Kalimantan Tengah ini. Kalau program ini tidak terhenti dengan pemberian penghargaan kepada kami sekarang ini, saya yakin akan dapat membawa dampak positif untuk peningkatan karya dan kreatifitas para sastrawan dan tokoh kebahasaan di daerah Kalimantan Tengah ini.

Saya juga mengucapkan selamat kepada Bapak Prof. K.M.A.M Usop, M.A. atas terpilihnya beliau sebagai tokoh Kebahasaan Kalimantan Tengah. Selain itu, saya juga pantas memantapkan ucapan terimakasih saya karena bimbingan beliaulah saya dapat bertahan dan berkarya di bidang kesastraan sampai sekarang ini. Beliaulah yang menyarankan agar saya membukukan puisi-puisi saya. Bagi saya, beliau adalah dosen pembimbing dan seorang tokoh yang menjadi idola saya. Terima kasih Pak Usop.

Palangkaraya, 27 Agustus 2008

* Disampaikan dalam Orasi Tokoh Kesusastraan Kalimantan Tengah pada Puncak Acara Semarak Tahun Bahasa 2008, Pekan Bahasa dan Sastra, di Palangkaraya, 27—28 Agustus 2008

** Tokoh Kesastraan Kalimantan Tengah 2008 versi Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah.




MAKMUR ANWAR
Makmur Anwar MH adalah seorang penyair Kalimantan Tengah yang sangat konsisten terhadap dunia yang digelutinya. Kiprah penyair yang memiliki nama lengkap Makmur Anwar Maksum H di dunia sastra tak perlu diragukan. Usahanya dalam memperkenalkan sastra terutama puisi kepada para pelajar di Kalimantan Tengah merupakan satu bukti nyata kecintaannya terhadap dunia yang digelutinya itu.

Makmur Anwar pun mendirikan Taman Bina Ide dan Bakat (TABIB). Selain itu penulis yang telah mulai menulis sastra sejak duduk di bangku SMA ini juga intens memperkenalkan teater kepada anak-anak melalui teater Senjang yang ia dirikan. Makmur Anwar juga merupakan aktivis Baba (Baca dan Bahas) Puisi . Saat ini dia masih aktif membina program “Tebaran Sastra” di Radio Republik Indonesia (RRI) Regional I Palangkaraya yang dibinanya sejak tahun 1973.

Makmur Anwar Maksum H. lahir di Jombokan, Kulon Progo, Yogyakarta, 16 Maret 1937. Ia merupakan anak bungsu empat bersaudara dari R.H. Maksum bin Abdussamad dan H. Maksum. Pada tanggal 3 Maret 1969 Makmur Anwar menikahi Florhianne Yuce Anwar, S.Pd. Dari perempuan kelahiran Buntok, Kalimantan Tengah 17 Juni 1947 itu dia dikaruniai seorang putra dan dua orang putri. Anak pertamanya, Pahit Sediarsi Narottama, S.Hut. lahir di Buntok pada tanggal 23 Maret 1971. Anak keduanya, Ajimahayomi Tilakottami, S. Pd. lahir di Palangkaraya pada tanggal 8 Maret 1973. Anak ketiga, Sekar Rukmi Mahendrottami, juga lahir di Palangkaraya 9 Juli 1975. Makmur Anwar memperoleh gelar dokterandus dari FKIP Bahasa Inggris Universitas Palangkaraya. Selain itu dia pernah mengecap pendidikan jurnalistik, humas keprotokolan, dan teknologi pendidikan. Selanjutnya dia menjadi guru di Pangkalan Bun pada tahun 1966. Pada tahun 1971 dia sempat menjadi guru bahasa Inggris di sebuah sekolah menengah pertama di Palangkaraya. Awal mula kepangarangan Makmur Anwar dimuali ketika ia menulis di sebuah majalah dinding pada tahun 1957. Sejak itu, dia mulai menulis puisi dan esai. Ia juga pernah terlibat dalam majalah Dermaga yang memuat puisi-pusi penyair Kalteng.

Puisi-puisi Makmur Anwar pernah diantologikan dalam Tiga Sosok Berpadu Takdir (2000) bersama dua penyair lainnya (HABSU dan Andi Burhanuddin). Antologi itu diterbitkan oleh Kantor Menteri Negara Pariwisata dan Kesenian Proyek Pengembangan Pariwisata dan Kesenian tahun 2000. Dalam antologi tersebut, puisi-puisi Makmur Anwar umumnya menceritakan tentang objek wisata di Kalimantan Tengah seperti puisi yang dibuatnya pada tahun 1975, yang berjudul “Taman Alam Bukit Tengkiling, Pantai Baun Bango (dibuat 1994), Betang Tumbang Malahoi (dibuat pada tahun 1996), dan masih banyak puisi lainnya. Selain antologi itu, puisi Makmur Anwar juga tercatat dalam Negeri Bekantan, sebuah antologi puisi yang memuat 106 puisi karya penyair Kalimantan Tengah. Makmur Anwar dapat dikategorikan sebagai salah satu penyair paling produktif di Kalimantan Tengah.

Meskipun usianya sudah tua, dia masih aktif dalam kegiatan sastra. Selain menulis puisi, legenda, dia juga menulis esai yang telah banyak di muat di media massa, seperti Banjarmasin Post, Dinamika Berita, Kalteng Pos, Palangka Post, dan Bimbingan Membaca. Pada umumnya esai yang ia tulis merupakan kritik sosial terhadap keadaan di sekitarnya. Pada awal menulis, dia hanya ingin mencurahkan ide dan pendapatnya. Kebanyakan karya ia tulis dalam bahasa Indonesia sebagai salah satu bentuk kecintaannya terhadap bahasa persatuan. Walaupun demikian, ia juga sering memasukkan unsur kedaerahan dalam beberapa karyanya sebagai bentuk penghayatan terhadap tradisi masyarakat yang ada di sekitarnya Sebagai orang yang bergelut di dunia sastra, Makmur Anwar memiliki harapan terhadap para pengarang sastra Indonesia agar jangan meninggalkan dan sejarah Sumpah Pemuda sebagai tonggak sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Baginya, sastra adalah sesuatu yang hidup. Untuk itulah Makmur Anwar bertekad akan berhenti menulis bila ia sudah tidak mampu lagi menghasilkan karya. Satu-satunya hambatan yang ia alami selama menulis adalah tidak adanya penerbit di Kalimantan Tengah yang membuat para sastrawan tidak mampu membukukan karyanya. Selain menjadi pembina di ISASI, saat ini Makmur Anwar dipercaya sebagai Ketua Harian Dewan Kesenian Daerah Kalimantan Tengah periode 2007-2011. Ia juga sangat menikmati upayanya dalam menumbuhkembangkan kecintaan anak-anak di Palangkaraya terhadap Sastra Indonesia melalui program “Tebaran Sastra” yang dibinanya bekerja sama dengan RRI Regional I Palangkaraya. Di tengah-tengah kesibukannya, Makmur Anwar masih sering menjadi pemakalah di berbagai seminar sastra dan menjadi juri di berbagai perlombaan puisi yang diadakan di Kota Palangkaraya. Balai Bahasa Provinsi Kalteng


KESAN DAN PESAN MAKMUR ANWAR,
PADA ACARA SERAH TERIMA JABATAN
KEPALA BALAI BAHASA PROVINSI KALTENG

Aku punya teman. Orangnya biasa-biasa saja, namanya biasa-biasa saja, gelarnya biasa-biasa saja, tapi pergaulannya sangat mengesankan. Tidak memilih satu kelompok untuk dipergauli, tapi rata menyeluruh. Pertama datang ke sebuah kota tempat kerjanya yang baru, ia diajak hadir ke sebuah peringatan Hari Ulang Tahun sebuah sanggar, ia mau bahkan ikut memeriahkan acara dengan membaca puisi. Dalam dialog yang diadakan ikut bergabung dan duduk lesehan di lantai. Ia menyisihkan predikat jabatan yang disandangnya sementara untuk bergaul bersama manusia yang ia anggap sama sederajat, meski oleh pihak lain tidak dipandang sebelah mata sekalipun. Penampilan sehari-harinya dalam pergaulan tidak membeda-bedakan kedudukan dan jabatan. Ia benar-benar menunjukkkan kalau dirinya adalah pelayan masyarakat. Ia orang baru di sana tapi cepat menjadi akrab dengannya karena banyak teman yang disapa dan menyapanya. Dengan masyarakat atau komunitas sastra objek garapannya yang utama sangat baik. Dialah yang menggoyang citra sastrawan di kota ini yang semula adem ayem tanpa aktivitas dilibatkan dengan program-program kegiatan lembaga yang dipimpinnya.

Guru-guru SD yang selama ini hanya dipandang sebelah mata dalam aktivitas kesastraannya mulai menggeliat dengan ituk lomba baca puisi bahkan pemenangnya dikirimkan ke ibukota negara Jakarta kota metropolitan yang jarang dikunjungi kelompok orang kelas akar rumput itu. Siswa-siswinya diajak berceloteh dengan cerita pendek dan cerita rakyatnya. Siswa-siswi SMP dan SLTA-nya juga diajak bergabung dengan cabang seni sastra yang lain. Baca puisi, Musikalisasi Puisi dan sebagainya. Seminar-seminar tentang kebahasaan juga ramai mewarnai gedung yang baru selesai dibangunnya itu. Seminar pengajaran bahasa Indonesia dan Seminar bahasa Dayak tidak terlewatkan dari garapannya juga.

Dunia maya dirambahnya pula sehingga perihal kegiatan lembaganya dapat dibaca dan diikuti oleh siapa pun yang punya ketertarikan. Ditelusurinya lorong-lorong kecil dunia kesastraan yang orang lain merasa benci dan kurang perhatian justru dicatat dan pertama kalinya di daerah ini ada sebuah penghargaan untuk tokoh-tokoh kebahasaan dan kesastraan. Sekarang di benaknya ada sebuah gagasan yang akan diluncurkan namun saying ia akan segera meninggalkan kota cantik kita. Orang-orang sastra yang lemah dan tidak memihak itu kini harus menitipkan harapannya ke mana? Tapi biarlah semua itu terjadi karena harus terjadi sebab kepindahannya ke kota Cantik karena karya dan pengabdiannya dibutuhkan di tempat lain juga. Dan kursi yang ditinggalkannya pasti ada orang lain yang duduk untuk mengendalikan aktivitas kantornya. Di kantor pusat pun ia diperlukan karena butir-butir akal dan nalarnya yang kreatif. Kalau ia tetap di sini malah ia tak memiliki peran lagi. Siapakah tokoh sentral dalam cerita pendek tadi?

Ialah Puji santosa, Drs. Puji Santosa, M. Hum. Kepala Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah yang telah dicabut SK- nya dan akan segera meninggalkan    kota cantik ini. Kita sampaikan selamat menunaikan tugas di tempat baru semoga sukses.  Kelompok sastra memang sedih meski tak menitikkan air mata. Satu hal yang sangat diharapkan adalah agar kepada mereka Pak Puji sapaan akrab kami tidak lupa dan masih mau mengulurkan tangan untuk memberi bimbingan bantuan dan arahan terutama untuk menghubungkan dengan orang-orang yang punya izin penerbitan agar karya orang di kota cantik ini pun dapat mengisi perpustakaan Pusat Bahasa dan minimal Perpustakaan daerah Kalimantan Tengah di Palangkaraya. Dalam serah terima jabatan tadi diserahkan catatan perihal yang sudah dilaksanakan.

Harapan kami itu akan menjadi catatan untuk pejabat baru mengawali tugasnya, melengkapi kekurangannya, meningkatkan kelemahannya. Ciri organisasi yang hidup memang ada perubahan dan ada permutasian. Orang baru yang duduk di kursinya diharpkan oleh masyarakat daerah dan kota ini untuk melanjutkan apa-apa yang sudah dirintisnya. Diteruskan dan dikembangkan dan dipercepat pergerakannya. Kami yakin bahwa ia juga orang yang berperhatian terhadap dunia kesastraan. Selamat dating Bapak Sumadi di kota cantik Palangkaraya tugas berat menanti anda karena tugas berat menanti anda karena tugas Pak Puji belum sepenuhnya berhasil. Manusiasi. Semoga di bawah garapan tangan anda balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah berjalan cepat dan mempunya jalinan kerja yang lebih akrab. Kepada Bapak saya perkenalkan bahwa saya penganut Prof. Dr. Amran Halim dalam penggunaan kata provinsi dan propinsi. Karena itu mohon maaf kalau bibir saya mengucap kata propinsi. Selamat Bekerja.

Palangkaraya, 10 Desember 2008


MARI KAYUHLAH LAGI

Ini bukan sebuah keberakhiran.
Bukan pula saat horison semburatkan jingga di ujung hari.
Kita hanya tiba di satu titik perhentian
Untuk melepas penat sejenak.
Untuk mengisi ulang perbekalan
Untuk menapak tilas sejauh mana kita telah berjalan.
Sepanjang perjalanan lalu,
ada gumam ada racauan
ada buraian pemikiran ada
persangkaan  tawa tangis
Ada banyak hal
tereja dalam kebersamaan,
lalu termangu dalam kekinian
Detik ini ingin kuulas saja,
sebuah epilog yang mungkin saja tak terkatakan karena ragu.
Aku bukan Kuntowijoyo yang melarang kalian
jatuh cinta pada bunga-bunga
Bukan pula Danarto yang menjaring  malaikat
Atau bahkan Hamsad Rangkuti
yang melihat Biibir dalam Pispot
Bukan pula salah satu dari orang-orang Bloomington
yang tersesat di Bumi Tambun Bungai
Aku hanyalah jukung di Bumi Manusia
Mencoba bawa kalian ke Kota Asa
Mari kayuhlah lagi
Tidak peduli cinta datang dan pergi,
perjalanan harus tetap dilanjutkan bukan? 
Dengan permohonan maaf yang mengalir dari hulu kealpaan
serta terima kasih yang meriak dari lubuk pengabdian,
kuucap  SELAMAT JALAN PAK PUJI
Baktimu telah terpahat abadi dalam memori tiada pudar
Terhembus pula euforia SELAMAT DATANG pada Pak Sumadi
Terimalah dayung ini dengan segenap cintamu
Mari kita susuri Kahayan dengan segala lekuknya
Ini bukan sebuah keberakhiran,
Tapi doa kala horison bersemu jingga di awal hari 
Mari kayuhlah lagi...

Palangkaraya, 9 Desember 2008


Pertemuan 15 Teori Sastra Tempatan