Wednesday 29 February 2012

KEPEMIMPINAN DASASILA



Apa makna kepemimpinan Dasasila, wahai kawan?
Dasasila kesanggupan yang harus engkau laksanakan,
yaitu Jalan Keutamaan agar selamat sejahtera setiap insan
dalam perjalanan dari pondok dunia hingga ke istana keabadian.

Pertama, Berbakti kepada Tuhan yang Maharahman
adapun cara berbakti itu wahai kawan yang budiman
sembahyang yang benar haruslah engkau melaksanakan
caranya dengan memusatkan angan-angan dan perasaan
menuju ke arah dalam pusat batin yang telah tersucikan
raga, cipta, angan-angan, perasaan, dan hati engkau bulatkan
sehingga suasana heneng hening telah dapat engkau rasakan.

Oleh karena itu yang tetap dan ajeg bersembahyangmu, kawan
pada waktu siang dan malam pun tetap harus engkau laksanakan
dengan jalan jangan berani-beraninya menerjang larangan Tuhan
yang tersebut dalam Serat Paliwara, sebagaimna telah tersabdakan.

Kedua, berbakti sungguh-sungguh kepada Utusan Tuhan Mahasuci
yakni Utusan Abadi nan Mulia, yaitu Sang Suksma Sejati
disebut juga Nur Muhammad ialah Kristus Sang Sabda abadi
Penuntun, Pemimpin, dan Guru Dunia kamu sekalian yang sejati.

Adapun pokok atau intisari berbakti itu, wahai kawan
adalah taat melaksanakan perintah ya Sabda Wejangan
juga menjauhi semua larangan Tuhan yang Maharahman
senantiasa meningkatkan takwa dan iman, wahai kawan
berserah sepenuh jiwa raga kepada Penuntun Kesejatian.

Sadar mohon pertolongan agar dituntun dalam perjalanan
laksana engkau itu berada di tengah-tengah medan pertempuran
agar engkau terhindar dari godaan iblis dan para setan jalanan
mengalirnya sih anugrah tak terlepas dari hasil sembah-sujud kalian.

Berbakti yang ketiga kepada Kalifatullah ya Pembesar Negara
mereka itu sebagai wakil Tuhan yang Maha Esa, di dunia
pembesar negara tentu melindungi dan menyehterakan rakyat semua
dengan aturan undang-undang yang adil mengatur hajat hidup bangsa.

Pesanku wahai teman, setialah engkau dengan sungguh-sungguh
kepada Pembesar Negara yang disebut juga sebagai Kalifatullah
terhadap hukum negara dan peraturannya, melanggar, janganlah!
terhadap negara dan bangsamu, lebih baik engkau berkorbanlah
bagimu negeri, jiwa-raga kami, agar negara tegak sentosa dan kokoh.

Berbakti yang keempat dibicarakan
yaitu cinta tanah air: Indonesia tanah kelahiran
tanah pusaka yang suci tempat kita berkorban
tanah tumpah darah kita dan tempat makam di kemudian.

Tanda setia sungguh-sungguh kepada tanah air pusaka
yaitu meluhurkan atau demi kemuliaan Indonesia Raya
sarananya hanya dengan berusaha dan terus berusaha
berdoa dan bekerja keras membangun negara dan bangsa
disertai menuntut ilmu lahir dan batin, juga ilmu agama
menjadi kunci kebudayaan yang termasyhur ke seluruh dunia

Budi pekerti luhur, tata susila, sopan-santun, berwatak mulia,
menghormati bangsa-bangsa lainnya di seluruh dunia,
dan berani membela negara dengan taruhan seluruh jiwa raga,
serta ikut menjaga keselamatan tegaknya Negara Indonesia,
tentu NKRI mandiri, berdaulat, adil, makmur, dan sejahtera.

Berbakti yang kelima itu, wahai kawan-kawan semuanya
adalah berbakti kepada ayah-ibu ya orang tua yang melahirkan kita
menghormatinya dengan penuh rasa belas, kasih, sayang, dan cinta
bersujud secara lahir dan batin, mentaati segala perintahnya
yang menuju ke keutamaan, kemulian, dan kebahagiaan tentunya.

Oleh sebab ayah-ibu itu sama dengan wakil Tuhan di dunia
sadarilah bahwa kelahiranmu di dunia perantaraan ayah-bunda
dengan tumbal dan pengorbanan jiwa dan raga yang senyatanya
sudah sepantasnyalah kalau kita menghormati orang tua kita.

Oleh karena itu, engkau takutlah yang sungguh-sungguh padanya
yaitu terhadap ayah-ibumu demi untuk meluhurkan namanya
dengan sarana berwatak utama atau berbudi pekerti mulia
sebagai bentuk nyata balasan anak kepada orang tua tercinta.

Disebut mikul dhuwur mendhem jero, ungkapan bahasa Jawa,
atau menjunjung tinggi memendam sedalam-dalamnya itu maknanya
usahakanlah di kemudian hari nama orang tua kita tetap terjaga,
nama baik tetap berbau harum mewangi semerbak ke mana-mana
hal itu terjadi apabila engkau menjadi kusuma bangsa Indonesia Raya.

Yang keenam dibicarakan juga berbakti kepada saudara tua
sebab saudara tua itu kelak dapat menjadi wakil orang tua
hal itu terjadi apabila kelak ayah-ibu sudah meninggal semua
oleh sebab itu saudara tua pun wajib dan harus dimuliakannya.

Kesanggupan yang ketujuh berbakti kepada guru kita
sebab guru itu juga dapat sebagai wakilnya orang tua
ketika berada di sekolah, dari TK hingga ke lulus sarjana,
guru menuntun membuka pencerahan ilmu lahir batin jua
sudah pada tempatnya kalau kita berbakti kepada mereka.

Patuh kepada guru sepenuh cinta kasih dan hormat kepadanya
melaksanakan semua perintahnya yang menuju ke hal-hal mulia
janganlah sekali-kali berani engkau membantah pelajarannya
yang menuju ke jalan keutamaan menghantarkan meraih cita-cita.

Wahai kawan semuanya, kesanggupan yang kedelapan
adalah engkau harus berbakti kepada pelajaran keutamaan,
yaitu jalan yang sebenar-benarnya harus engkau lewatkan
agar terhindar dari jalan simpangan yang menuju ke kerajaan setan,
jalan keselamatan yang berakhir dalam kesejahteraan dan kemuliaan.

Bagi mereka yang gemar berbuat onar dan angkara murka
jahat budi, senang terhadap barang-barang kerusakan dunia
perusak, pendengki, pembohong, iri hati, tamak, loba, dan aniaya
mereka akan menemukan musibah, petaka, celaka selama-lamanya
karena itu pesanku wahai kawan, jangan tersesat lakumu yang berhati-hati jua.

Sekarang yang kesembilan dibicarakan tidak kalah pentingnya
kesanggupan yang tersuci ialah belas kasih menyayangi sesama,
rasa cinta dan kasih terhadap semua umat Tuhan Yang Maha Esa,
berbagi kasih dan menghorati terhadap sesama menjadi hidup mulia.

Kesanggupan yang kesepuluh ialah menghormati semua agama
engkau jangan meremehkan dan mencela terhadap agama yang berbeda
sebab semua agama mengajarkan kebajikan dan kembali kepada-Nya
meskipun berbeda-bebeda kepercayaan dan cara-cara beribadahnya,
tetap satu jua, berasal dari Tuhan dan kembali kepada Tuhan di surga.

Percayalah bahwa semua agama itu menuntun agar berbuat keutamaan
tidak berbeda dengan agamamu yang engkau peluk dengan keteguhan
hanya syariat yang tidak sama, hanya berbeda bahasa dan cara peribadatan
oleh sebab itu jangan cela-mencela, lebih baik saling menghormati, bukan?

Wahai kawan, kepemimpinan Dasasila yang telah diuraikan
adalah kewajiban sejati yang harus diwujudkan setiap insan
dapat mengangkat derajat dan martabat bangsa Indonesia menawan
namun sepuluh kewajiban itu apabila diringkas hanya satu keutamaan
yaitu Sifat Cinta Kasih terhadap semua yang bersifat makhluk Tuhan.

Itulah wahai kawan-kawan yang menjadi jalannya
engkau bertunggal dengan Hidup Sejati-jatinya
yakni Sejati-jatinya keadaan yang tidak berubah jua
dan berubah berganti atau bergeser senyatanya
oleh sebab itu laksanakanlah kewajiban suci nan mulia
agar memancar sinar purnama, cahaya Tuhan, menerangi hidup kita.

Dasasila kesanggupan suci itu simpanlah di dalam batin
ejawantahkan dalam kehidupan senyata-nyatanya, kawan
disertai dengan menyucikan hati, pikiran, dan perasaan
seperti dipaparkan dalam Pancasila, lima watak keutamaan.

Melaksanakan Dasasila secara sungguh-sungguh, kawan
engkau mendapat sih anugerah Tuhan yang Maharahman
hidup teratur, sejahtera, tentram bahagia selamanya, kawan
sebab kasih Tuhan itu melimpah turun mengalir terus-terusan
apa yang kita angan-angankan terlaksana menjadi kenyataan
dan apa yang dikehendaki pun diperkenankan atau dikabulkan.

Bekasi, 29 Februari 2012

(Sumber: R. Soenarto Mertowardojo, Serat Warisan Langeng, 1949)

KEPEMIMPINAN PANCA TATA PRAJA

Apakah makna panca tata praja?
ialah lima dasar mengatur tartatanya negara
seperti yang tersirat dalam ajaran utama
prasasti Siwa Budhagama Tatwa.

Pertama, upaya maya tata praja
maknanya berupaya serasi-rasinya mengatur negara
terjalinnya hubungan yang harmonis dan mesra
antara penyelenggara negara dan rakyat jelata
menghapus segala kesenjangan di antara mereka.

Kedua, upaya upasaka tata praja
maknanya berupaya agar semua menghormati agama
mengutamakan toleransi antar sesama pemeluk agama
negara menjamin rakyat beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa
mereka khusuk beribadah tanpa terusik keamanannya
oleh siapa pun yang mengatas namakan agama.

Ketiga, upaya indra jala wisaya
maknanya berupaya menemukan solusi problema
senantiasa siap dan bersedia menerima siapa saja
selalu siaga dan waspada menghadapi berbagai bencana
mengatur negara penuh dengan wibawa dan bijaksana.

Keempat, upaya wikrama wisaya
maknanya senantiasa berusaha membakar segala angkara
berani bertindak tegas secara nyata berpihak pada rakyat jelata
menghukum bagi mereka yang melanggar undang-undang negara
memberi anugerah bagi mereka yang nyata-nyata berjasa.

Kelima, upaya lokika wisaya
maknanya senantiasa berusaha agar ucapan dan tindakan sama
selalu mengutamakan tindakan atas dasar akal sehat, nalar, logika
mengendalikan segala bentuk amarah dan emosi semata
agar rakyat mencapai hidup sejahtera, tentram, dan bahagia.

Bekasi, 28 Februari 2012

KEPEMIMPINAN SAD GUNA UPAYA

Apa makna sad guna upaya?
ialah enam macam kepemimpinan mulia
yang harus diterapkan oleh seorang penguasa
seperti yang diungkapkan dalam kitab Niti Sastra.

Pertama, seorang pemimpin yang sidi wasesa
maknanya dia mampu memimpin negara dan bangsa
tiada cacat sedikitpun, bahkan boleh dikata sempurna
tiada cela sedikitpun dia dalam mengayomi rakyat jelata
tampak begitu mesra hubungan antara rakyat dan penguasa
persahabatan dengan negara-negara tetangga pun terjaga.

Kedua, seorang pemimpin yang wigraha wasesa
maknanya dia mampu memerangi tindak angkara murka
semua bentuk kejahatan di negarannya mampu direda
rakyat hidup tenang tentram damai penuh suka cita.  

Ketiga, seorang pemimpin yang wibawa wasesa
maknanya dia mampu memiliki kewibawaan bernegara
seluruh rakyat negeri menjadi patuh dan menghormatinya
bahkan negara-negara di dunia pun segan dan kagum kepadanya.

Keempat, seorang pemimpin yang winarya wasesa
maknanya dia menawan, cerdas, cakap, dan bijaksana
tutur kata, budi bahasa, dan semua yang dilakukannya
rakyat merasa hidupnya tertata dan puas semuanya.

Kelima, seorang pemimpin yang gasraya wasesa
maknanya dia mampu menghadapi semua problema
lawan politik yang tangguh pun dapat tunduk kepadanya
rakyat terjamin kehidupannya sehingga bebas papa sengsara

Keenam, seorang pemimpin yang setana wasesa
maknanya dia mampu mengubur hal-hal yang tercela
watak angkara murka, tamak, iri hati, serakah, dan loba
terkubur dalam-dalam sehingga kesejahteraan dunia terjaga
rakyat bangga, hidup sejahtera, dan bahagia tiada taranya.

Bekasi, 28 Februari 2012

Tuesday 14 February 2012

KIDUNG PENOLAK BALA DI ZAMAN EDAN

“Kidung Rumeksa Ing Wengi” karya Sunan Kalidjaga sudah terkenal di seluruh wilayah nusantara, khususnya Jawa, bertahun-tahun yang lalu. Kidung tersebut sering dinyanyikan atau didendangkan oleh saudara-saudara kita di wilayah pedesaan pada waktu malam hari, terutama ketika ronda malam. Sementara itu, diperkotaan juga sering dikidungkan oleh perkumpulan-perkumpulan macapat, baik dalam acara pentas di panggung, siaran di radio, maupun di televisi. Dalam pementasan kesenian Jawa, seperti ketoprak, wayang kulit atau wayang orang, dan ludruk, “Kidung Rumeksa Ing Wengi” juga sering didendangkan oleh si peronda, pelawak, dan punakawan sebagai kawan menjaga ketentraman pada waktu malam hari.

Kidung karya Sunan Kalidjaga itu bersifat sufistik sehingga begitu terkenalnya di seluruh nusantara karena berisi mantra penolak bala, pembebas dari bencana, dan pelebur segala malapetaka, serta menjauhkan dari segenap musibah. Pantaslah kiranya kalau kidung tersebut direkomendasikan untuk dijadikan alternatif mengatasi kedahsyatan kekuasaan zaman edan seperti sekarang ini. Apabila kidung tersebut dicermati, lima bait pertama berisi mantra penolak bala, dan bait keenam hingga kesembilan merupakan petunjuk dan khasiat bagi orang yang menyanyikan, mendengarkan, mengamalkan, menyalin, dan menyimpan kidung tersebut. Sebagai suatu ikhtiar atau usaha yang tidak pernah mengenal putus asa, kenapa tidak sebaiknya kita coba amalkan dalam menghadapi kekuasaan zaman edan seperti sekarang ini.

    “Kidung Rumeksa Ing Wengi” termasuk ketegori teks sastra sufi atau sufistik, yakni karya sastra yang mengandung ajaran tentang kesufian atau religiusitas yang berakar pada dunia Islam. Penulisnya adalah Sunan Kalidjaga, seorang wali sanga di Jawa abad XV—XVI Masehi, yang memiliki derajat melebihi seorang sufi. Teks “Kidung Rumeksa Ing Wengi” memilki kedudukan yang tentu saja signifikan dalam rangka penyebaran agama Islam di tanah Jawa pada waktu itu yang disampaikan melalui bentuk tembang. Nasihat atau ajaran dakwah keagamaan yang diwujudkan dalam bentuk karya sastra, yang dirangkai dengan bentuk sebuah kidung dengan metrum tembang dhandhanggula, akan terasa lebih “bernilai abadi” sepanjang zaman. Hal ini bila dibandingkan dengan bentuk nasihat ajaran dakwah yang disampaikan secara lisan atau tuturan sesaat, tentu akan lebih cepat menguap seiring dengan lenyapnya suatu generasi atau peradaban tertentu. Sebagai warisan budaya kepada anak cucu, nasihat ajaran dakwah yang tertulis dalam bentuk tembang akan lebih terasa “langgeng”, abadi, dan awet untuk diingat dan dikenangnya. Sepeninggal penulisnya, meski sudah berusia lebih dari lima ratus tahun, “Kidung Rumeksa Ing Wengi” sudah beralih menjadi milik masyarakat. Siapa pun orangnya yang membaca, mengamalkan, menyimpan, dan menyebarkannya ke masyarakat, sudah tidak lagi dipungut royalti.

Secara tersurat teks “Kidung Rumeksa Ing Wengi” memiliki fungsi, antara lain: (1) menolak bala pada waktu malam hari, seperti teluh, duduk, ngama, maling, panggawe ala, guna-guna, dan kabeh bilahi; (2) mengurungkan atau membebaskan dari denda; (3) menyembuhkan berbagai penyakit, termasuk edan atau gila; (4) membebaskan diri dari pageblug atau wabah penyakit; (5) mempercepat jodoh perawan tua; (6) memenangkan perang, pertempuran; (7) menghilangkan hama padi, seperi tikus, wereng coklat, walang sangit, dan keong sawah; serta (8) memperlancar mencapai cita-cita luhur dan mulia.

Fungsi tersebut akan tercapai (terwujud) apabila disertai laku atau perbuatan yang sesuai dengan tujuan atau harapan yang dikehendakinya, antara lain sebagai berikut.
  1. Sebagai penolak bala agar terhindari dari semua malapetaka atau bencana adalah dengan cara melakukan sembahyang tengah malam, lalu membacakan atau mendendangkan kidung tersebut sebanyak sebelas kali (kata sebelas dalam bahasa Jawa berasal dari kata sewelas, maknanya agar mendapat kawelasan “belas kasih Tuhan”). Hal ini hendaknya dilakukan secara rutin setiap malam, kalau perlu sampai empat puluh malam.
  2. Bersesuci dengan cara mandi air tujuh sumur (jika banyak) atau dapat juga diminum (jika sedikit) yang telah dibacai kidung untuk dapat menyembuhkan segala penyakit, membebaskan dari denda, dan mempercepat mendapatkan jodoh bagi perawan atau jejaka tua.
  3. Memakan nasi tiga genggam yang telah dibacai kidung untuk dapat memenangkan peperangan atau pertempuran di mana pun.
  4. Berpuasa sehari semalam disertai membaca kidung di tengah malam dengan cara mengelilingi rumah agar pencuri, perampok, orang berbuat jahat, teluh, duduk, guna-guna sakti jauh darinya; atau dapat juga berkeliling pematang sawah sambil membaca kidung agar hama dan pencuri tanaman padi jauh darinya.
  5. Berpuasa gonyu (sego lan banyu “nasi dan air”) selama empat puluh hari empat puluh malam dengan disertai setiap malamnya membaca kidung sebelas kali agar tercapai cita-cita luhur dan mulia.
Selain hal di atas, kedua kidung juga memiliki kesejajaran: (1) sebagai media dakwah yang dirangkaikan dalam bentuk kidung, bermatra tembang dhandhanggula atau sekar macapat Jawa baru; (2) ditulis oleh orang yang dianggap suci oleh umat atau warganya, yaitu Sunan Kalidjaga dan R. Soenarto Mertowardojo; (3) memiliki fungsi sebagai penolak bala pada zaman edan yang sedang merajalela dengan cara memohon bantuan kekuasaan Tuhan yang Maha Kuasa; (4) mengajarkan kepada umat (warga)-nya agar memiliki kebaktian, keimanan, ketakwaan, dan berwatak keutamaan yang menuju ke arah kemuliaan dan keluhuran budi; dan (5) menuntun serta mengarahkan semua umat manusia agar kembali kepada jalan kebenaran, yakni jalan keutamaan yang ditunjukkan dengan benar oleh Tuhan melalui nabi, wali, aulia, atau orang-orang suci.

Meskipun kita sekarang hidup di era globalisasi dengan kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi yang penuh dengan hal-hal rasional, tetap saja kekuatan gaib, daya magis, dan nilai-nilai sakral masih membelenggu kehidupan kita sehari-hari di dunia ini. Kekuatan gaib dan daya magis yang terdapat pada kedua kidung tersebut masih terasa memiliki daya pukau yang mampu menyihir kita semua sehingga takhluk dan bertekuk lutut dihadapan yang Maha Gaib. “Kidung Rumeksa Ing Wengi” mampu menghimpun semua kekuatan malaikat, nabi-rasul, serta orang tua, sahabat, anak, dan istri nabi-rasul ke dalam satu kekuatan yang maha dahsyat melawan keangkara-murkaan, jim setan, paneluhan, guna duduk, maling, sato galak, dan lemah sangar. Sementara itu, “Kidung Suci” mampu menghimpun kekuatan pangastuti “sembah sujud hamba ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa” dalam melawan dhemit ingkang tindhak dur, kang rubeda tentreming bumi, kasektene diyu kang pinunjul mangkrak krura ngisis jatha, dan kang rawe-rawe rantas kang malang-malang putung “hantu yang berbuat jahat, mereka yang mengganggu ketentraman dunia, kesaktian raksasa yang berlebihan dengan berteriak buas marah menunjukkan gigi taringnya, dan mereka yang menghalangi, merintangi, menghadang, dan menghambat” akan sirna, hancur lebur tanpa bekas. Semua diserahkan atas kekuasaan, keagungan, keadilan, dan kebijaksanaan Tuhan Yang Maha Esa yang lebih berkuasa atas segenap makhluknya. Ungkapan bahasa Jawa: Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti “kekuasaan, keberanian, ketangguhan, dan keunggulan dunia dapat hancur lebur oleh doa dan sembah sujud sembahyang kepada Tuhan Yang Maha Esa”.

Kedua kidung sakti di atas menunjukkan tema yang sama sebagai penolak bala pada kekuasaan zaman edan, kalabendu, kalatidha, dan jaman retu. Napas keislaman atau kesufian tampak mewarnai kedua kidung di atas. “Kidung Rumekasa Ing Wengi” mulai bait ketiga dan seterusnya menyebut asma Allah, Malaikat, Nabi-Rasul (Adam, Esis, Musa, Isa, Yakub, Yusuf, Daud, Sulaiman, Ibrahim, Idris, Nuh, Ayub, Yunus, dan Muhammad), sahabat nabi (Baginda Ali, Abu Bakar, Umar, Usman), anak nabi (Fatimah), ibu nabi (Siti Aminah), dan nama seorang wali sanga di Jawa (Sunan Kalidjaga). Selain nama-nama tokoh Islam, dalam “Kidung Rumeksa Ing Wengi” juga kita temukan penggunaan register (idiom) yang sering digunakan dalam dunia keislaman, seperti kata puwasa (puasa), subuh, sabar, sukur (syukur), insya Allah, date (dzatnya), malaikat, nabi, rasul, dan Adam sarak (Hukum Adam, Adam Makrifat).

Tradisi penulisan kidung dalam sastra Jawa tradisional tidak hanya berhenti pada abad XVI Masehi, tetapi hingga abad XX Masehi pun masih ada yang menulisnya. Penulis kidung tidak sembarang orang, tetapi orang yang terpilih dan berderajat suci, seperti wali atau aulia. Meskipun tradisi kidung sudah lama ada dan sudah mulai ditinggalkan oleh para generasi muda Jawa, perlu kiranya kidung tetap dilestarikan untuk menjaga kesinambungan sebuah kebudayaan tradisi yang adiluhung dan edipeni. Kandungan makna yang begitu mendalam, bersifat sufistik atau religiusitas yang berakar pada ajaran keislaman, bahkan mengandung mantra penolak bala, kidung tersebut mampu memberi tuntunan hidup bagi pembacanya. Ada nilai-nilai warna kearifan lokal budaya Jawa yang terdapat dalam dua kidung itu juga mampu mengemban misi sebagai pembentukan karakter bangsa yang lebih beradab dan bermartabat, yakni berbudi pekerti luhur dan mulia.

1. Teks “Kidung Rumeksa Ing Wengi”

       KIDUNG RUMEKSA ING WENGI
 
    1) Ana kidung rumeksa ing wengi
        teguh hayu luputa ing lara
        luputa bilahi kabeh
        jim setan datan purun
        paneluhan tan ana wani
        miwah panggawe ala
        gunane wong luput
        geni atemahan tirta
        maling adoh tan ana ngarah mring mami
        guna duduk pan sirna.

    2) Sakabehing lara pan samya bali
        sakeh ngama pan sami miruda
        welas asih pandulune
        sakehing braja luput
        kadi kapuk tibaning wesi
        sakehing wisa tawa
        sato galak tutut
        kayu aeng lemah sangar
        songing landak guwaning wong lemah miring
        myang pokiponing merak.

    3) Pagupakaning warak sakalir
        nadyan arca myang segara asat
        temahan rahayu kabeh
        apan sarira ayu
        ingideran sang widadari
        rineksa malaekat
        sakatahing rasul
        pan dadi sarira tunggal
        ati Adam utekku bagendha Esis
        pangucapku ya Musa.

    4) Napasku nabi Ngisa linuwih
        nabi Yakub pamiyarsaningwang
        Yusup ing rupaku mangke
        nabi Dawut swaraku
        jeng Suleman kasekten mami
        nabi Ibrahim nyawaku
        Edris ing rambutku
        bagendha Li kulitingwang
        getih daging Abu Bakar Ngumar singgih
        balung bagendha Ngusman.

    5) Sungsumingsun Patimah linuwih
        Siti Aminah bayuning angga
        Ayub ing ususku mangke
        nabi Nuh ing jejantung
        nabi Yunus ing otot mami
        netraku ya Muhammad
        pamuluku rasul
        pinayungan Adam sarak
        sampun pepak sakathahing para nabi
        dadya sarira tunggal.

    6) Wiji sawiji mulane dadi
        apan pencar saisining jagat
        kasamadan dening date
        kang maca kang angrungu
        kang anurat kang anyimpeni
        dadi ayuning badan
        kinarya sesembur
        yen winacakna ing toya
        kinarya dus rara tuwa gelis laki
        wong edan nuli waras.

    7) Lamun ana wong kadhendha kaki
        wong kabanda wong kabotan utang
        yogya wacanen den age
        nalika tengah dalu
        ping sewelas wacanen singgih
        luwar saking kabanda
        kang kadhendha wurung
        aglis nuli sinauran
        mring hyang Suksma kang utang puniku singgih
        kang agring nuli waras.

    8) Lumun arsa tulus nandur pari
        puwasa sawengi sadina
        iderana galengane
        wacanen kidung iku
        sakeh ngama sami abali
        yen sira lunga perang
        wateken ing sekul
        antuka tigang pulukan
        musuhira rep sirep tan ana wani
        rahayu ing payudan.


    9) Sing sapa reke bisa nglakoni
        amutiya lawan anawaa
        patang puluh dina bae
        lan tangi wektu subuh
        lan den sabar syukur ing ati
        insya Allah tinekan
        sakarsanireku
        tumrap sanak rakyatira
        saking sawabing ngelmu pangiket mami
        duk aneng Kalidjaga.

(Serat Kidungan Warna-warni. Surakarta: Boedi Oetomo, 1919)

2. Terjemahannya dalam bahasa Indonesia kurang lebih sebagai berikut.

    KIDUNG PENJAGA DI WAKTU MALAM

1) Ada kidung yang menjaga di waktu malam
    kukuh selamat terbebas dari berbagai penyakit
    terbebas dari semua malapetaka
    jin setan kejahatan pun tidak berkenan
    guna-guna pun tidak ada yang berani
    juga perbuatan jahat
    ilmu-ilmunya orang yang bersalah
    api dan juga air
    pencuri pun jauh tidak ada yang mengarah kepadaku
    guna-guna sakti pun lenyap.

2) Segala penyakit pun bersama-sama kembali ke asal
    berbagai hama pun terpaksa terkikis habis
    dengan kasih sayang dipandang
    terhindar dari semua senjata
    seperti kapuk jatuhnya besi
    semua bisa menjadi hambar
    binatang buas pun menjadi jinak
    kayu ajaib dan tanah keramat bahaya
    relung landak guanya orang tanah miring
    dan rumah tinggalnya merak.

3) Kandangnya segenap badak
    walau batu-batu dan lautan kering
    pada akhirnya semua selamat sejahtera
    sebab berbadan jelita keselamatan
    kelelilingi penuh bidadari
    dijaga oleh para malaikat
    juga segenap rasul
    menyatu menjadi berbadan tunggal
    hati Adam, otakku Baginda Sis
    pengucapku ialah Musa.

4) Napasku mengalir Nabi Isa yang amat mulia
    Nabi Yakub menjadi pendengaranku
    Nabi Yusuf wajahku kini
    Nabi Daud menjadi suaraku
    Tuan Sulaiman menjadi kesaktianku
    Nabi Ibrahim menjadi nyawaku
    Nabi Idris dalam rambutku
    Baginda Ali menjadi kulitku
    Darah dagingku Abu Bakar dan Umar
    Tulangku baginda Usman.

5) Sumsumku Fatimah yang amat mulia
    Siti Aminah menjadi kekuatan badanku
    Nabi Ayub kini ada dalam ususku
    Nabi Nuh di dalam jantungku
    Nabi Yunus di dalam ototku
    penglihatanku ialah Nabi Muhammad
    wajahku rasul
    terlindungi oleh hukum Adam
    sudah mencakupi seluruh para nabi
    berkumpul menjadi badan yang tunggal.

6) Terjadinya berasal dari biji yang satu
    sebab-musabab kemudian berpencar ke seluruh dunia
    terimbas oleh dzat-Nya
    yang membaca dan yang mendengarkan
    yang menyalin dan yang menyimpan
    menjadi selamat sejahtera badannya
    sebagai sarana mengusir
    jikalau dibacakan di dalam air
    sarana mandi perawan tua cepat mendapat jodoh
    orang gila pun cepat sembuh.

7) Apabila ada orang yang didenda, wahai cucuku
    orang yang dihimpit keberatan hutang-piutang
    seyogyanya engkau membaca dengan segera
    pada waktu tengah malam hari
    bacalah dengan sungguh-sungguh sebelas kali
    terbebas dari jeratan
    yang didenda pun urung
    lekas kemudian terbayarkan
    yang berhutang itu sungguh oleh Tuhan
    yang sakit pun segera mendapat kesembuhan.

8) Jikalau akan lancar menanam padi
    berpuasalah sehari semalaman
    kelilingilah pematangnya
    bacalah kidung ini
    semua hama bersama-sama kembali ke asal
    apabila engkau pergi berperang
    bacakanlah ke dalam nasi
    dapatkan tiga suapan
    musuhmu tersihir tidak ada yang berani
    selamat engkau di medan perang.

9) Siapa pun yang dapat melaksanakan
    berpuasa mutih hanya (minum) air dan (makan) nasi
    empat puluh hari saja
    dan bangun pada waktu subuh
    lalu berlaku sabar serta bersyukur di dalam hati
    insya Allah dapat tercapai
    atas izin kehendak Allah
    bagi semua sanak-saudaramu
    oleh daya kekuatan ilmu pengikatku
    pada waktu berada di Kalijaga.

    (Serat Kidungan Warna-warni. Surakarta: Boedi Oetomo, 1919)

Saturday 11 February 2012

NARIMA: TAWAKAL DAN BERSYUKUR

Makna sesungguhnya narima
banyak mengarah ke ketenteraman hati kita
bukan orang yang malas atau enggan bekerja
melainkan orang yang menerima apa pun bagiannya.
Apa yang sudah ada di tangannya,
dikerjakan dengan senang hati jua,
tidak tamak, tidak serakah, dan tidak loba.

Narima yang sesungguhnya:
tidak menginginkan milik orang diluar dirinya,
tidak iri akan keberuntungan orang diluar dirinya,
tetapi orang yang senantiasa tawakal dan bersyukur atas karunia-Nya.

Watak narima adalah suatu harta
yang tiada dapat habis sepanjang masa,
oleh karena barang siapa yang ingin kaya raya,
upayakanlah di dalam watak narima.
Orang yang sudah dapat narima
tentulah beruntung di dalam segala hidupnya
oleh sebab dia unggul dan senantiasa jaya
atas berubah bergantinya keadaan dunia.

Ketahuilah wahai engkau semua
bahwa kehidupan di dunia
merupakan suatu roda perputaran masa
cakramanggilingan istilah lainnya
yang setiap saat berubah berganti tentunya:
apabila engkau tetap dalam panarima
dengan apa pun yang telah dianugerahkan-Nya
engkau senantiasa akan menjadi orang yang paling kaya
di antara para umat manusia.

Apabila kenginanmu tidak terpenuhi jua
tetaplah engkau dalam panarima,
dengan apa yang telah engkau milikinya,
sebab sekalipun tidak terpenuhi semuanya,
bukankah sebagian sudah engkau peroleh atau milikinya?

Hanya watak narimalah, tentunya
yang dapat menutun hatimu menjadi cerah ceria.
Hanya watak narimalah, semestinya
yang mengandung rasa tenang, tentram, dan bahagia.
Hanya watak narimalah, seharusnya
engkau tidak akan merasa:
terombang-ambing perputaran dunia,
timbul-tenggelamnya bahtera kehidupan fana,
yang senantiasa engkau alami dalam setiap harinya.

Bekasi, 10 April 2011

Tuesday 7 February 2012

KEPEMIMPINAN SAPTA GUNA UPAYA


 
 

Apa makna sapta guna upaya
tujuh watak mulia seorang penguawasa
teladan utama dari Prabu Harjuna
di negeri Mahespati namanya
dengan mahapatih Suwanda.

Pertama, watak Sih Wisesa,
seorang pemimpin yang berkuasa
hendaklah memiliki watak kasih kepada sesama
terutama kasih kepada rakyat jelata di negerinya
dengan tidak membeda-bedakan satu dengan lainnya.

Kedua, watak Sidi Wisesa,
seorang pemimpin yang berkuasa
hendaklah memiliki watak bersaudara
tidak bermusuhan dengan siapa saja
hidup rukun damai sejahtera terpelihara.

Ketiga, watak Wiweka Wisesa
seorang pemimpin yang berkuasa
hendaklah memiliki watak arif bijaksana
dapat memilahkan semua persoalan yang ada
dan dapat pula memecahkan persoalan dengan nyata.

Keempat, watak Wibawa Wisesa
seorang pemimpin yang berkuasa
hendaklah memiliki watak yang berwibawa
tegas bernas tringginas memutuskan perkara
rakyat hormat patuh dan seluruh dunia segan kepadanya.

Kelima, watak Wasis Wisesa
seorang pemimpin yang berkuasa
hendaklah memiliki watak cerdik cendekia
mengembangkan visi membangun negara penuh dinamika
dan senantiasa waspada bilamana ada gejolak krisis dunia
dapat diselesaikan dengan cekatan tanpa merugikan siapa saja.

Keenam, watak Winarya Wisesa
seorang pemimpin yang berkuasa
hendaklah memiliki watak berbudi mulia
menerima kritik yang membangun demi negara,
melayani dengan setia mereka yang membutuhkannya.

Ketujuh, watak Hayu Bawana Wisesa
seorang pemimpin yang berkuasa
hendaklah mengusahakan perdamaian dunia
mengupayakan kesejahteraan semua umat di dunia
memprioritaskan kedaulatan negara dan hak azasi manusia.

Bekasi, 6 Februari 2012

Monday 6 February 2012

MENUJU KE TAMAN KEMULIAAN

Berbahagialah kawan yang tahu Jalan Kebenaran
ialah Jalan Kebajikan, Jalan menuju ke Keselamatan
disebut juga Jalan Keutamaan menuju ke Sangkan Paran
Jalan yang berakhir di Kesejahteraan
Jalan yang berakhir di Ketenteraman
Jalan yang berakhir di Kebahagiaan
Jalan yang berakhir di sebuah Taman
Taman yang bukan sembarang taman
ialah Taman Kemuliaan atau Taman Keluhuran
yakni Taman yang sungguh bersifat Keabadian

Namun, di perjalanan tidaklah mudah kawan
sungguh-sungguh gawat dan rawan
di perjalanan banyak simpangan
di perjalanan banyak rintangan
di perjalanan banyak godaan
ada ada saja hambatan dan cobaan
datang silih berganti terus-terusan.

Begitu gelap, tidak ada penerangan
begitu rumit, tidak ada pegangan
dan begitu licin itu jalan kebenaran
harus melewati juga sebuah titian
rambut di belah tujuh bagaikan
terkepung bahaya kiri dan kanan
penjahat pun ada belakang dan depan
semuanya penuh itu ancaman
binatang buas, jin, dan setan
mereka datang bergantian
siap menerkam dan memangsa kalian
menggoda dan merontokkan iman
hati-hatilah perjalanan kalian
mencapai Taman Kemuliaan.

Akan tetapi, wahai semua kawan
jangan gentar untuk menakhlukkan
mereka semua dapatlah dikalahkan
dengan senantiasa meningkatkan
sadar: penuh berbakti kepada Tuhan;
takwa: semua perintah dilaksanakan,
juga menjauhi semua larangan; dan
iman: hakulyakin hanya kepada Tuhan,
jujur, narima, sabar, dan relalah kawan
kunci utama budi luhur telah engkau dapatkan
untuk memohon sih, perlindungan, dan tuntunan,
juga kekuatan, pengayoman, serta pencerahan.

Wahai kawan, perlu juga bekal di perjalanan
semata-mata hanya untuk bekal keselamatan
selama di perjalanan yang gawat dan rawan
delapan watak keutamaan sebagai kendaraan
jangan lagi engkau menoleh ke kiri dan ke kanan
bawalah obor sejati sebagai penerangan di jalan
pergunakan tongkat sejati sebagai pegangan
lurus-lurulsah jalanmu sampai ke tempat tujuan
juga tempat asalmu dahulu sebelum engkau diturunkan:
yakni Taman Kemuliaan Abadi yang juga Istana Tuhan.

Bekasi, 7 September 2010

Saturday 4 February 2012

DOA MENGENTASKAN PAPA SENGSARA



Ya Allah, ya Tuhan hamba
Engkau pencipta alam semesta
Engkau maha dari segala maha
sungguh Engkau maha perkasa,
maha tiada banding dari apa yang ada
maha kuasa lagi pula maha bijaksana
segenap semesta alam raya dengan seisinya.

Ya Allah, ya Tuhan semua umat
hanya kepada Engkau kami memohon rahmat
hanya kepada Engkau kami memohon nikmat
hanya kepada Engkau kami memohon selamat
dari pondok dunia hingga sampai ke istana akhirat.

Ya Allah, ya Tuhan yang maha rahman
hamba memohon semoga Engkau berkenan
mengangkat dan mengentaskan semua insan
dari lembah kekotoran ke kesucian
dari alam kegelapan ke pencerahan
dari jalan kesesatan ke kebenaran
dari hidup kesengsaraan ke kemuliaan
dari jurang kehancuran ke keselamatan
dari jagat kehinaan ke keluhuran
dari dunia kefanaan ke surga keabadian.

Ya Allah, ya Tuhan yang maha penuntun
hamba momohon semoga Engkau berkenan
menuntun hamba berjalan
di jalan keselamatan
di jalan kebenaran
di jalan keutamaan
jalan yang berakhir hingga sampai di kesejahteraan
jalan yang berakhir hingga sampai di ketentraman
jalan yang berakhir hingga sampai di kemuliaan
jalan yang berakhir hingga sampai di kebahagiaan
ialah di hadirat Tuhan, di Taman Kemuliaan Abadi.

Bekasi, 1 Januari 2011

Siapa yang Masih...

 










Siapa yang masih tergoda
harta, tahta, dan asmara
serta berkilaunya maya pesona dunia,
yakni keadaan semesta raya seisinya,
masih belumlah suci dia.

Siapa yang masih ingin berprestasi,
sekalipun prestasi itu mulia dan tinggi,
apalagi berambisi ingin dipuji-puji,
menjadi bupati, gubernur, atau menteri,
sekalipun menjadi panglima tertinggi,
dia belumlah tenang yang sejati.

Siapa yang masih memiliki keinginan
memberantas segala tindak kejahatan
dan juga segala tindak keangkaramurkaan,
ternyata belumlah damai yang dia rasakan.

Siapa yang masih suka membenci
terhadap apa-apa yang tidak baik ini,
apalagi tamak, loba, dan dengki,
juga jengkel, pendendam, dan iri hati,
tentu belumlah dia dirahmati kasih Ilahi
sebab belum sayang kepada sesama insani.

Bekasi, 21 September 2010

Thursday 2 February 2012

Ksatria Pinandhita Sinisihan Wahyu


    Siapakah yang dapat disebuat sebagai ksatria pinandhita sinisihan wahyu? Dalam mitologi Jawa terdapat kepercayaan adanya 7 ksatria piningit yang mampu membebaskan bangsa dan negara Indonesia dari kekuasaan zaman edan yang dahsyat mencekam. Dari mitos itu sudah terlihat jelas dipahami, yakni masih berada dalam pingitan atau tersilam dalam hiruk pikuk kekuasaan zaman edan. Seperti yang tersurat secara jelas dalam tembang Kalatidha karya R. Ng. Ranggawarsita, bait kelima: "Ujaring Panitisastra/ awawarah asung peling/ ing jaman keneng musibat/ wong ambeg jatmika kontit" (Menurut buku Panitisastra/ memberi ajaran dan peringatan/ di dalam zaman yang penuh bencana/ bahwa orang berjiwa baik dan bijaksana justru kalah berada di belakang). Orang yang berjiwa baik, bijaksana, mulia, dan luhur inilah justru kalah berada di belakang pada zaman edan. Mereka inilah sesungguhnya disebut sebagai ksatria piningit, orang-orang ambeg jatmika kontit. Demikian halnya Trihardana Somadiahardjo dalam tembang Waluyan mengungkapkan “Yen adharma saya ndadra/ jagat rusak Ingsun rawuh andandani/ dharmaning catur bangsa" (Jikalau kerusakan semakin merajalela/ dunia rusak, Aku datang memperbaikinya/ darma keempat bangsa tersebut.) Kata Ingsun “Aku” dan "wong ambeg jatmika kontit" (orang yang bijaksana, baik, luhur, dan berjiwa mulia, tersilam oleh hiruk-ikuk zaman). Jikalau demikian, lalu siapakah ksatria peningit yang ketujuh dengan sebutan "Ksatria Pinandhita Sinisihan Wahyu" ini?

Tentang masa depan negera dan bangsa Indonesia diyakini oleh para Penuntut ilmu kesuksmaan bahwa telah disabdakan oleh Sang Suksma Sejati, Guru Sejati ialah Nur Datullah melalui R. Soenarto Mertowardojo pada tahun 1932 sebagai berikut.


    "Dalam waktu yang tidak lama lagi negara Indonesia akan merdeka dengan dikawal oleh enam orang ksatria: Sasangka, Sardjono, Soedjono, Soedibjo, Widjaja, dan Soetedjo. Diibaratkan orang mendirikan rumah, berdirinya rumah 13 tahun sesudah Sabda ini, dan akan selesai pembangunannya 50 tahun setelah Sabda. Kemudian 90 tahun setelah Sabda, Indonesia akan sejajar dengan negara-negara lain di dunia, dan 150 tahun kemudian Indonesia akan menjadi pusat kebudayaan dunia."
(Dwija Wara, Maret 1976, No. 11 Tahun ke-19)


    Berdasarkan Sabda Sang Suksma Sejati tersebut keenam ksatria sebagai pengawal dan pengiring bangsa dan negara Republik Indonesia tersebut telah dijelaskan lebih lanjut oleh Prof. Dr. dr. Mayjen. Soemantri Hardjoprakoso, yang menggunakan nama samaran Soewondo--dalam dunia pewayangan nama Soewondo adalah seorang Mahapatih Negeri Maespati, Raden Soemantri--dalam bukunya Ulasan Kang Kelana (Cetakan pertama 1966, cetakan kelima 1990). Inti penjelasan Soemantri Hardjoprakoso tersebut adalah demikian.

1. Ksatria Sasangka
    Arti harfiah kata “Sasangka” adalah rembulan atau bulan, dan bahasa Inggrisnya adalah moon. Sifat rembulan adalah memberi sinar terang atau pepadhang pada malam hari, menyinari kegelapan dunia dengan cahayanya. Sifat sinar terang rembulan itu adalah sejuk, tidak panas, dan dapat membuat ketentraman, ketenangan, dan kedamaian atau suasana romantis. Pengertian sinar rembulan ini adalah kiasan atau metafora, yang arti sebenarnya adalah Sinar Kebijaksanaan Tuhan Yang Maha Esa. Dengan hadirnya ksatria Sasangka ini kita diharapkan menjadi manusia religius atau manusia yang berketuhanan Yang Maha Esa. 


    Dengan kata lain, kita semua hendaknya menjadi manusia Sasangka yang taat (mituhu atau taqwa dari bahasa Arab: at-taqwá) patuh kepada segala perintah Allah dengan menjauhi semua larangannya, dan beriman (pracaya) kepada Tuhan, dan sadar (eling, zikir, doa, tafakur) kepada Tuhan dengan diwujudkan melaksanakan sembahyang, lalu kemudian disucikan watak lima perkara (rila = ridho, narima = tawakal, sabar, temen = jujur, dan budiluhur). Pada hakikatnya ksatria Sasangka telah memiliki semua watak hastha sila (trisila dan pancasila). Hastha Sila adalah watak delapan perkara yang meliputi: eling, pracaya, mituhu, rila, sabar, narima, temen, budi luhur. Kemudian, berjalan di Jalan Rahayu yang meliputi: ngrasuk sejatine sahadat, manembah, budi darma, ngunjara hawa nafsu, dan budi luhur; serta menjauhi Paliwara, larangan Tuhan yang ada lima perkara, yaitu (1) aja manembah marang saliyane Allah, (2) dingati-ati bab sahwat, (3) aja memangan panganan kang gawe rusaking raga lan pikiran, (4) aja nerak marang angger-angering praja lan pranatane, dan (5) aja padha cecongkrahan.


    Aplikasi tindakan ksatria Sasangka itu sesuai dengan Panca Marga, yaitu Marga Pertama, “Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa”, dan Sila Pertama dan Kedua dari Dasa Sila, “Berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa” dan “Berbakti kepada Utusan Tuhan”. Jadi, seperti tulis Soemantri Hardjoprakosa dalam Ulasan Kang Kelana (1990: 3) “Cita-citaku ialah supaya bangsaku sama berbakti dan sadar akan Tuntunan Tuhan Yang Maha Esa, agar negara menjadi bahagia, tentram, makmur, adil, dan sejahtera.”

2. Ksatria Sarjana
    Arti harfiah kata “Sarjana” adalah orang yang pandai, bijaksana, bijak bestari, pakar ilmu pengetahuan, atau kaya ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu pengetahuan dan kepandaian adalah pangkal kemajuan. Sekarang dengan perkembangan ilmu (sain, dari bahasa Inggris: science) pengetahuan (knowledge), dan tekologi komunikasi dan informasi canggih, seperti komputer, telepon seluler, dan internet, memacu kita semua untuk berlomba-lomba mengejar prestasi di bidang keilmuan teknologi informasi dan komunikasi canggih tersebut.


    Harapan kita bangsa Indonesia dalam mengejar pendidikan tidak hanya berhenti sampai tamat sekolah menengah saja (wajib belajar sembilan tahun), tetapi harus juga berusaha menjadi sarjana (S-1), dan kalau kemampuan serta dana masih sanggup, bangsa Indonesia pun harus berusaha dapat juga menjadi master (S-2) atau doktor (S-3) di sebuah bidang ilmu, ataupun menjadi sarjana-sarjana pakar ilmu pengetahuan lainnya di bidang masing-masing. Banyaknya perguruan tinggi dan sekolah-sekolah tinggi modern sejenis lainnya, baik yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri, mampu menggembleng pemuda-pemuda Indonesia yang genius dan berlian. Hal ini tergantung kita-kita bagaimana mewujudkan Indonesia yang cerdas dan kompetitif di segala capaian tataran ilmu pengetahuan dan teknologi canggih lainnya.


Alur pemikirannya tentang ksatria utama ini adalah setelah menjadi manusia religius atau menjadi ksatria Sasangka, yakni seorang ksatria yang berke-Tuhan-an yang Maha Esa, kita juga memiliki kepandaian, kecerdasan, intelektual, atau otak yang berlian sebagai ksatria Sarjana. Aplikasi dalam kehidupan ini sesuai dengan marga kedua Panca Marga, “Pendidikan lahir-batin yang meliputi pendidikan pikiran/intelek, pendidikan rohani, dan pendidikan jasmani.”; atau sila ketujuh, kedelapan, dan kesembilan Dasa Sila, “Berbakti kepada Guru, Berbakti kepada pelajaran keutamaan, dan Kasih Sayang kepada sesama hidup”; ataupun UUD negara Republik Indonesia yang berbunyi “Melaksanakan pendidikan dan ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa”.


Kiranya seperti itulah gambaran cita-cita kastria Sarjana. Soemantri  Hardjoprakosa dalam Ulasan Kang Kelana (1990:3) menyatakan melalui ucapan kastria Sarjana: “Saya ingin melihat bangsaku kaya akan ilmu pengetahuan, karena ilmu pengetahuan dan kepandaian adalah pangkal kemajuan. Bangsa yang bodoh akan tetap berada di kegelapan dan kesengsaraan.” Jadi, setelah menjadi manusia religius, kastria Sasangka, kita harus memiliki kecerdasan otak, kaya ilmu pengetahuan dan teknologi canggih agar kita tidak ketinggalan dengan bangsa lain, artinya menjadi pula kastria Sarjana yang kaya ilmu pengetahuan dan teknologi canggih.


Selanjutnya Soemantri menyatakan: “Pepadang dari Sang Suksma Sejati itu tidak pilih umur. Dan sekolahnya hanya SR saja. Pepadang itu tidak diterima dengan otak, Dik Sarjana, tetapi di dalam hati yang suci. Pepadang tidak membebani otak, malahan sebaliknya, menambah jernih otak dan kemampuan otak. Manusia yang menerima pepadang dari Sang Suksma Sejati sekaligus menyadari dan mengerti sesuatu yang orang lain, sekalipun pandai sekali, tidak dapat menangkapnya. Jadi, tingkatannya melebihi si cerdas otak” (Ulasan Kang Kelana, 1990: 8)

3. Ksatria Sujana
Arti harfiah kata “Sujana” adalah waspada atau memiliki kemampuan dan kecermatan membaca tanda-tanda zaman. Waspada dalam arti yang seluas-luasnya adalah kita tidak boleh lengah, harus memiliki kehati-hatian, dalam bahasa Jawanya: wiweka. Jadi, setelah menjadi manusia religius, ksatria Sasangka, dan berilmu, menjadi ksatria Sarjana, kita juga harus memiliki kewaspadaan atau menjadi ksatria Sujana, sebagai sarana menanggulangi bahaya, ancaman, tantangan, dan gangguan disintegrasi bangsa. Istilah dalam mata-kuliah “Kewiraan” di berbagai perguruan tinggi adalah memiliki “wawasan nusantara”. Dengan kewaspadaan tinggi dan kuat, kita tidak akan menjadi bangsa terjajah oleh bangsa lain, tidak terbelenggu oleh modernisasi dunia, dan kita pun tidak akan terseret dalam arus globalisasi dan pasar bebas, karena kita punya pegangan yang teguh, kokoh, dan kuat, yakni Pancasila.


Aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan marga ketiga dari Panca Marga, yaitu “Pergaulan yang baik”. Kita boleh bergaul dengan berbagai-bagai bangsa yang ada di dunia ini, mencari kawan yang sebanyak-banyaknya, asalkan kita memiliki kewaspadaan atau berhati-hati. Hal ini juga sesuai dengan Dasa Sila, yaitu sila ketiga “Berbakti kepada kalifatullah (pembesar negara dan undang-undangnya)” dengan kebijaksanaan dan kemursidan, juga sesuai dengan sila kesembilan “Kasih sayang kepada sesama hidup” serta sila kesepuluh Dasa Sila, “Menghormati semua agama”. Semua dilakukan dengan penuh kebijaksanaan, kewaspadaan, dan kehati-hatian sehingga tetap diberi “wiweka”, eling lan waspada.


Terhadap cita-cita ksatria Sudjono, Soemantri Hardjoprakosa dalam buku Ulasan Kang Kelana (1990:3) menyatakan demikian: “Untukku, bangsaku harus waspada dalam menghadapi bangsa lain. Riwayat bangsa kita ini cukup menunjukkan bahwa kita tidak boleh lebih percaya kepada bangsa lain daripada bangsanya sendiri. Sekalipun bangsa kita ini terdiri dari beraneka suku, akan tetapi hubungan antara suku bangsa yang satu dengan yang lain adalah lebih dekat daripada dengan bangsa lain.”

4. Ksatria Sudibja
Arti harfiah kata “Sudibja” adalah kekuatan atau kekokohan yang penuh kesentosaan. Bangsa Indonesia ini memiliki ungkapan “Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah”, atau “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”. Persatuan dan kesatuan itu membuat bangsa Indonesia menjadi kuat, teguh, kokoh, sentosa yang bulat, bersatu padu mencapai cita-cita bangsa yang luhur, adil makmur hidup sejahtera lahir dan batin.


Untuk itu marilah kita semua mengggalang rasa bersatu, memperteguh persatuan dan kesatuan bangsa. Ikrar Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, tetap berlaku, adalah “Berbangsa Satu, Bernegara atau Bertanah Air Satu, dan Menjunjung bahasa Persatuan, ialah Bahasa Indonesia”. Indonesia yang bersatu, bersama kita bisa, bergotong royong dan berguyub rukun membangun negara dan bangsa. Pancasila dasar negara kita menyatakan “Persatuan Indonesia”. Hidup kita pun Satu, berasal dari Allah Tuhan Yang Maha Esa dan kembali pula kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa.


Soemantri Hardjoprakosa dalam Ulasan Kang Kelana menuliskannya: “Bagiku yang penting adalah kesentosaan. Kita harus berani menyusun suatu kekuatan yang bulat. Ah, kalau kekuatan sudah tercapai, mudah untuk mengejar cita-cita.”


Aplikasinya terhadap Panca Marga adalah termasuk marga keempat, yaitu memupuk “Hobby yang baik”. Membiasakan diri untuk senantiasa bersatu padu; “Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”. Kalau derajad bangsa kita ini telah mencapai tingkatan Sudibjo, berarti pula kita sudah berada dalam tataran Pangaribawa, memiliki pengaruh yang kuat terhadap bangsa yang lain, segala perkataan dan tindakannya selalu diperhatikan oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Apakah ini bukan suatu kebanggaan bagi kita semua kalau hal itu suatu saat benar-benar tercapai?

5. Ksatria Wijaya
Makna yang terkandung dalam ksatria ini adalah kejayaan, kemenangan, keberhasilan dan kesuksesan. Indonesia akan ditakuti oleh negara-negara lain dan akan memberi ketenangan bagi penduduknya. Suatu saat negara-negara adidaya di dunia akan takhluk menghormati negeri kita Indonesia, segan terhadap negeri ini karena berhasil pembangunannya, baik fakta mental maupun fakta sosial. Bangsa yang telah berhasil mencapai kejayaan karena keadaan negerinya subur, makmur, sejahtera, tenang, dan damai, mencapai manusia Indonesia yang seutuhnya. Pada tataran ini kita telah mencapai kemenangan, kejayaan, kemakmuran, dan keadilan di semua sektor atau bidang, baik ekonomi, keamanan, sosial, politik, sosial, budaya, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.


Soemantri Hardjoprakosa dalam Ulasan Kang Kelana menuliskannya: “Negara yang ditakuti oleh negara tetangganya dapat memberikan hidup yang tenang bagi penduduknya. Negara yang kuat dapat memimpin negara-negara lain untuk menyusun kebahagiaan hidup di seluruh dunia. Negara yang jaya menjadi pelindung bagi negara yang lemah. Itulah cita-citaku.”


Aplikasinya cita-cita ksatria Wijaya dalam Panca Marga adalah sesuai dengan marga kelima, yaitu “Cita-cita yang tinggi”, cita-cita yang mulia dan luhur. Kita sering mendengar ucapan Bung Karno: “Gantungkan cita-citamu setinggi langit”. Setiap ksatria hukumnya adalah wajib untuk bercita-cita tinggi setinggi langit sap tujuh. Seperti doa kita setiap hari dan setiap waktu dalam “Pangesti Kesejahteraan Negara”, yaitu “Duh, Tuhan, hamba mohon, semoga Tuan berkenan menurunkan sih anugerah kepada bangsa kami, agar bangsa kami menjadi bangsa yang luhur budinya, luhur derajatnya, dan mulia hidupnya.” 


Kalau derajat bangsa kita sudah sampai pada tingkatan ksatria Wijaya, berarti kita sudah berada dalam tataran Prabawa, memiliki wibawa yang luar biasa terhadap negara lain di dunia. Derajat negara kita sudah tidak lagi tampak sunya-ruri, tidak lagi suwung atau kosong, dan sepi-sunyi. Bukan lagi dianggap dari belahan dunia ketiga yang remeh dan tak berarti, yang dimana orang Barat selalu memalingkan muka setiap bertemu dan dipandang hanya sebelah mata, melainkan akan ditatap dengan takjub, dipandang dengan segan, dan diikuti kebijak-kebijakan yang diputuskan. Baru ada lima ksatria saja derajat negara kita sudah berwibawa luar biasa, sudah penuh keteladanan, dan sudah mencapai kemakmuran dan kesejahteraan. Indonesia akan lebih menjadi negara yang bersinar, berbinar-binar, atau mercusuar bila dilengkapi dengan kehadiran ksatria keenam, yakni ksatria Sutedjo.

6. Ksatria Suteja
Makna yang terkandung dalam ksatria Suteja adalah cahaya yang berkilau-kilau atau mercusuar. Setelah Indonesia menjadi negara yang dihormati di seluruh dunia, negara lain segan, dan menjadi negara adidaya yang tidak tertandingi di dunia. Di sinilah kita mencapai tataran Kemayan, artinya mampu mempengaruhi negara-negara lain di dunia. Pada tataran ini kita mencapai “puncak kebudayaan dunia”, dan Sinar Ajaran Tuhan Yang Maha Esa dengan kekayaan kearifan lokal (local wisdom) bahkan kearifan budaya (cuktural wisdom)-nya memancar memenuhi dunia seisinya. Indonesia menjadi negara pengayom, pelindung, bagi negara-negara yang lemah.


Soemantri Hardjoprakosa dalam Ulasan Kang Kelana menuliskannya: “Impianku ialah supaya negaraku kelak dihormati di seluruh dunia, supaya bangsaku diterima sebagai sahabat kehormatan di segenap negara. Supaya setiap bangsa, bila mengucapkan nama negaraku, dihinggapi rasa hormat dan setia kawan. Semoga Tuhan Yang Maha Esa mewujudkan cita-citaku ini. Amin”.


Hal itu sesuai dengan doa kita setiap hari, yakni “Pangesti Kesejahteraan Negara”: “Duh, Tuhan, hamba mohon semoga Tuan berkenan melimpahkan berkah serta lindungan kepada negara kami Republik Indonesia, agar negara kami segera aman, tenteram, subur, makmur, sejahtera, jaya, dan masyhur di dunia.”


Demikianlah keberdaraan ksatria piningit yang akan hadir sebagai Ratu Adil, Mesias, atau Imam Mahdi sehingga mengembalikan derajat negara bangsa Indonesia menjadi negara dan bangsa yang berwiba, berderajat mulia, luhur budi pekertinya, dikagumi dan disegani kawan dan lawan, bangsa yang beradab, bermartabat, dan unggul dari negara dan bangsa lainnya di dunia. Pernyataan Soemantri Hardjoprakosa melalui tokoh Pemuda Kelana dalam bukunya Ulasan Kang Kelana (1990: 4) sebagai berikut.


"Itulah semua cita-cita yang luhur. Memang sudah seharusnya bahwa setiap ksatria menumbuhkan dan mengejar cita-cita yang setinggi langit....Ksatria itu harapan bangsa. Ksatria tanpa cita-cita luhur bagi negaranya adalah sampah bangsa. Setiap ksatria harus ingin menjadi kusuma bangsa. Untuk menjadi kusuma bangsa tidak cukup kita mempunyai cita-cita yang tinggi saja. Perlu ada cara pelaksanaan yang tertentu dalam mengejar cita-cita yang membikin manusia menjadi kusuma bangsa. Pelaksanaan yang tertentu itu ialah garis-garis yang telah disabdakan oleh Tuhan Yang Maha Esa melalui rasul-Nya”.


Jadi, ksatria pinandhita sinisihan wahyu adalah seorang pemimpin negara yang mengaplikasikan watak keutamaan enam ksatria purusatama, yakni ksatria Sasangka, Sarjana, Sujana, Sudibja, Wijaya, dan Suteja.

Pertemuan 15 Teori Sastra Tempatan