Thursday, 2 February 2012

Ksatria Pinandhita Sinisihan Wahyu


    Siapakah yang dapat disebuat sebagai ksatria pinandhita sinisihan wahyu? Dalam mitologi Jawa terdapat kepercayaan adanya 7 ksatria piningit yang mampu membebaskan bangsa dan negara Indonesia dari kekuasaan zaman edan yang dahsyat mencekam. Dari mitos itu sudah terlihat jelas dipahami, yakni masih berada dalam pingitan atau tersilam dalam hiruk pikuk kekuasaan zaman edan. Seperti yang tersurat secara jelas dalam tembang Kalatidha karya R. Ng. Ranggawarsita, bait kelima: "Ujaring Panitisastra/ awawarah asung peling/ ing jaman keneng musibat/ wong ambeg jatmika kontit" (Menurut buku Panitisastra/ memberi ajaran dan peringatan/ di dalam zaman yang penuh bencana/ bahwa orang berjiwa baik dan bijaksana justru kalah berada di belakang). Orang yang berjiwa baik, bijaksana, mulia, dan luhur inilah justru kalah berada di belakang pada zaman edan. Mereka inilah sesungguhnya disebut sebagai ksatria piningit, orang-orang ambeg jatmika kontit. Demikian halnya Trihardana Somadiahardjo dalam tembang Waluyan mengungkapkan “Yen adharma saya ndadra/ jagat rusak Ingsun rawuh andandani/ dharmaning catur bangsa" (Jikalau kerusakan semakin merajalela/ dunia rusak, Aku datang memperbaikinya/ darma keempat bangsa tersebut.) Kata Ingsun “Aku” dan "wong ambeg jatmika kontit" (orang yang bijaksana, baik, luhur, dan berjiwa mulia, tersilam oleh hiruk-ikuk zaman). Jikalau demikian, lalu siapakah ksatria peningit yang ketujuh dengan sebutan "Ksatria Pinandhita Sinisihan Wahyu" ini?

Tentang masa depan negera dan bangsa Indonesia diyakini oleh para Penuntut ilmu kesuksmaan bahwa telah disabdakan oleh Sang Suksma Sejati, Guru Sejati ialah Nur Datullah melalui R. Soenarto Mertowardojo pada tahun 1932 sebagai berikut.


    "Dalam waktu yang tidak lama lagi negara Indonesia akan merdeka dengan dikawal oleh enam orang ksatria: Sasangka, Sardjono, Soedjono, Soedibjo, Widjaja, dan Soetedjo. Diibaratkan orang mendirikan rumah, berdirinya rumah 13 tahun sesudah Sabda ini, dan akan selesai pembangunannya 50 tahun setelah Sabda. Kemudian 90 tahun setelah Sabda, Indonesia akan sejajar dengan negara-negara lain di dunia, dan 150 tahun kemudian Indonesia akan menjadi pusat kebudayaan dunia."
(Dwija Wara, Maret 1976, No. 11 Tahun ke-19)


    Berdasarkan Sabda Sang Suksma Sejati tersebut keenam ksatria sebagai pengawal dan pengiring bangsa dan negara Republik Indonesia tersebut telah dijelaskan lebih lanjut oleh Prof. Dr. dr. Mayjen. Soemantri Hardjoprakoso, yang menggunakan nama samaran Soewondo--dalam dunia pewayangan nama Soewondo adalah seorang Mahapatih Negeri Maespati, Raden Soemantri--dalam bukunya Ulasan Kang Kelana (Cetakan pertama 1966, cetakan kelima 1990). Inti penjelasan Soemantri Hardjoprakoso tersebut adalah demikian.

1. Ksatria Sasangka
    Arti harfiah kata “Sasangka” adalah rembulan atau bulan, dan bahasa Inggrisnya adalah moon. Sifat rembulan adalah memberi sinar terang atau pepadhang pada malam hari, menyinari kegelapan dunia dengan cahayanya. Sifat sinar terang rembulan itu adalah sejuk, tidak panas, dan dapat membuat ketentraman, ketenangan, dan kedamaian atau suasana romantis. Pengertian sinar rembulan ini adalah kiasan atau metafora, yang arti sebenarnya adalah Sinar Kebijaksanaan Tuhan Yang Maha Esa. Dengan hadirnya ksatria Sasangka ini kita diharapkan menjadi manusia religius atau manusia yang berketuhanan Yang Maha Esa. 


    Dengan kata lain, kita semua hendaknya menjadi manusia Sasangka yang taat (mituhu atau taqwa dari bahasa Arab: at-taqwá) patuh kepada segala perintah Allah dengan menjauhi semua larangannya, dan beriman (pracaya) kepada Tuhan, dan sadar (eling, zikir, doa, tafakur) kepada Tuhan dengan diwujudkan melaksanakan sembahyang, lalu kemudian disucikan watak lima perkara (rila = ridho, narima = tawakal, sabar, temen = jujur, dan budiluhur). Pada hakikatnya ksatria Sasangka telah memiliki semua watak hastha sila (trisila dan pancasila). Hastha Sila adalah watak delapan perkara yang meliputi: eling, pracaya, mituhu, rila, sabar, narima, temen, budi luhur. Kemudian, berjalan di Jalan Rahayu yang meliputi: ngrasuk sejatine sahadat, manembah, budi darma, ngunjara hawa nafsu, dan budi luhur; serta menjauhi Paliwara, larangan Tuhan yang ada lima perkara, yaitu (1) aja manembah marang saliyane Allah, (2) dingati-ati bab sahwat, (3) aja memangan panganan kang gawe rusaking raga lan pikiran, (4) aja nerak marang angger-angering praja lan pranatane, dan (5) aja padha cecongkrahan.


    Aplikasi tindakan ksatria Sasangka itu sesuai dengan Panca Marga, yaitu Marga Pertama, “Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa”, dan Sila Pertama dan Kedua dari Dasa Sila, “Berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa” dan “Berbakti kepada Utusan Tuhan”. Jadi, seperti tulis Soemantri Hardjoprakosa dalam Ulasan Kang Kelana (1990: 3) “Cita-citaku ialah supaya bangsaku sama berbakti dan sadar akan Tuntunan Tuhan Yang Maha Esa, agar negara menjadi bahagia, tentram, makmur, adil, dan sejahtera.”

2. Ksatria Sarjana
    Arti harfiah kata “Sarjana” adalah orang yang pandai, bijaksana, bijak bestari, pakar ilmu pengetahuan, atau kaya ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu pengetahuan dan kepandaian adalah pangkal kemajuan. Sekarang dengan perkembangan ilmu (sain, dari bahasa Inggris: science) pengetahuan (knowledge), dan tekologi komunikasi dan informasi canggih, seperti komputer, telepon seluler, dan internet, memacu kita semua untuk berlomba-lomba mengejar prestasi di bidang keilmuan teknologi informasi dan komunikasi canggih tersebut.


    Harapan kita bangsa Indonesia dalam mengejar pendidikan tidak hanya berhenti sampai tamat sekolah menengah saja (wajib belajar sembilan tahun), tetapi harus juga berusaha menjadi sarjana (S-1), dan kalau kemampuan serta dana masih sanggup, bangsa Indonesia pun harus berusaha dapat juga menjadi master (S-2) atau doktor (S-3) di sebuah bidang ilmu, ataupun menjadi sarjana-sarjana pakar ilmu pengetahuan lainnya di bidang masing-masing. Banyaknya perguruan tinggi dan sekolah-sekolah tinggi modern sejenis lainnya, baik yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri, mampu menggembleng pemuda-pemuda Indonesia yang genius dan berlian. Hal ini tergantung kita-kita bagaimana mewujudkan Indonesia yang cerdas dan kompetitif di segala capaian tataran ilmu pengetahuan dan teknologi canggih lainnya.


Alur pemikirannya tentang ksatria utama ini adalah setelah menjadi manusia religius atau menjadi ksatria Sasangka, yakni seorang ksatria yang berke-Tuhan-an yang Maha Esa, kita juga memiliki kepandaian, kecerdasan, intelektual, atau otak yang berlian sebagai ksatria Sarjana. Aplikasi dalam kehidupan ini sesuai dengan marga kedua Panca Marga, “Pendidikan lahir-batin yang meliputi pendidikan pikiran/intelek, pendidikan rohani, dan pendidikan jasmani.”; atau sila ketujuh, kedelapan, dan kesembilan Dasa Sila, “Berbakti kepada Guru, Berbakti kepada pelajaran keutamaan, dan Kasih Sayang kepada sesama hidup”; ataupun UUD negara Republik Indonesia yang berbunyi “Melaksanakan pendidikan dan ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa”.


Kiranya seperti itulah gambaran cita-cita kastria Sarjana. Soemantri  Hardjoprakosa dalam Ulasan Kang Kelana (1990:3) menyatakan melalui ucapan kastria Sarjana: “Saya ingin melihat bangsaku kaya akan ilmu pengetahuan, karena ilmu pengetahuan dan kepandaian adalah pangkal kemajuan. Bangsa yang bodoh akan tetap berada di kegelapan dan kesengsaraan.” Jadi, setelah menjadi manusia religius, kastria Sasangka, kita harus memiliki kecerdasan otak, kaya ilmu pengetahuan dan teknologi canggih agar kita tidak ketinggalan dengan bangsa lain, artinya menjadi pula kastria Sarjana yang kaya ilmu pengetahuan dan teknologi canggih.


Selanjutnya Soemantri menyatakan: “Pepadang dari Sang Suksma Sejati itu tidak pilih umur. Dan sekolahnya hanya SR saja. Pepadang itu tidak diterima dengan otak, Dik Sarjana, tetapi di dalam hati yang suci. Pepadang tidak membebani otak, malahan sebaliknya, menambah jernih otak dan kemampuan otak. Manusia yang menerima pepadang dari Sang Suksma Sejati sekaligus menyadari dan mengerti sesuatu yang orang lain, sekalipun pandai sekali, tidak dapat menangkapnya. Jadi, tingkatannya melebihi si cerdas otak” (Ulasan Kang Kelana, 1990: 8)

3. Ksatria Sujana
Arti harfiah kata “Sujana” adalah waspada atau memiliki kemampuan dan kecermatan membaca tanda-tanda zaman. Waspada dalam arti yang seluas-luasnya adalah kita tidak boleh lengah, harus memiliki kehati-hatian, dalam bahasa Jawanya: wiweka. Jadi, setelah menjadi manusia religius, ksatria Sasangka, dan berilmu, menjadi ksatria Sarjana, kita juga harus memiliki kewaspadaan atau menjadi ksatria Sujana, sebagai sarana menanggulangi bahaya, ancaman, tantangan, dan gangguan disintegrasi bangsa. Istilah dalam mata-kuliah “Kewiraan” di berbagai perguruan tinggi adalah memiliki “wawasan nusantara”. Dengan kewaspadaan tinggi dan kuat, kita tidak akan menjadi bangsa terjajah oleh bangsa lain, tidak terbelenggu oleh modernisasi dunia, dan kita pun tidak akan terseret dalam arus globalisasi dan pasar bebas, karena kita punya pegangan yang teguh, kokoh, dan kuat, yakni Pancasila.


Aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan marga ketiga dari Panca Marga, yaitu “Pergaulan yang baik”. Kita boleh bergaul dengan berbagai-bagai bangsa yang ada di dunia ini, mencari kawan yang sebanyak-banyaknya, asalkan kita memiliki kewaspadaan atau berhati-hati. Hal ini juga sesuai dengan Dasa Sila, yaitu sila ketiga “Berbakti kepada kalifatullah (pembesar negara dan undang-undangnya)” dengan kebijaksanaan dan kemursidan, juga sesuai dengan sila kesembilan “Kasih sayang kepada sesama hidup” serta sila kesepuluh Dasa Sila, “Menghormati semua agama”. Semua dilakukan dengan penuh kebijaksanaan, kewaspadaan, dan kehati-hatian sehingga tetap diberi “wiweka”, eling lan waspada.


Terhadap cita-cita ksatria Sudjono, Soemantri Hardjoprakosa dalam buku Ulasan Kang Kelana (1990:3) menyatakan demikian: “Untukku, bangsaku harus waspada dalam menghadapi bangsa lain. Riwayat bangsa kita ini cukup menunjukkan bahwa kita tidak boleh lebih percaya kepada bangsa lain daripada bangsanya sendiri. Sekalipun bangsa kita ini terdiri dari beraneka suku, akan tetapi hubungan antara suku bangsa yang satu dengan yang lain adalah lebih dekat daripada dengan bangsa lain.”

4. Ksatria Sudibja
Arti harfiah kata “Sudibja” adalah kekuatan atau kekokohan yang penuh kesentosaan. Bangsa Indonesia ini memiliki ungkapan “Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah”, atau “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”. Persatuan dan kesatuan itu membuat bangsa Indonesia menjadi kuat, teguh, kokoh, sentosa yang bulat, bersatu padu mencapai cita-cita bangsa yang luhur, adil makmur hidup sejahtera lahir dan batin.


Untuk itu marilah kita semua mengggalang rasa bersatu, memperteguh persatuan dan kesatuan bangsa. Ikrar Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, tetap berlaku, adalah “Berbangsa Satu, Bernegara atau Bertanah Air Satu, dan Menjunjung bahasa Persatuan, ialah Bahasa Indonesia”. Indonesia yang bersatu, bersama kita bisa, bergotong royong dan berguyub rukun membangun negara dan bangsa. Pancasila dasar negara kita menyatakan “Persatuan Indonesia”. Hidup kita pun Satu, berasal dari Allah Tuhan Yang Maha Esa dan kembali pula kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa.


Soemantri Hardjoprakosa dalam Ulasan Kang Kelana menuliskannya: “Bagiku yang penting adalah kesentosaan. Kita harus berani menyusun suatu kekuatan yang bulat. Ah, kalau kekuatan sudah tercapai, mudah untuk mengejar cita-cita.”


Aplikasinya terhadap Panca Marga adalah termasuk marga keempat, yaitu memupuk “Hobby yang baik”. Membiasakan diri untuk senantiasa bersatu padu; “Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”. Kalau derajad bangsa kita ini telah mencapai tingkatan Sudibjo, berarti pula kita sudah berada dalam tataran Pangaribawa, memiliki pengaruh yang kuat terhadap bangsa yang lain, segala perkataan dan tindakannya selalu diperhatikan oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Apakah ini bukan suatu kebanggaan bagi kita semua kalau hal itu suatu saat benar-benar tercapai?

5. Ksatria Wijaya
Makna yang terkandung dalam ksatria ini adalah kejayaan, kemenangan, keberhasilan dan kesuksesan. Indonesia akan ditakuti oleh negara-negara lain dan akan memberi ketenangan bagi penduduknya. Suatu saat negara-negara adidaya di dunia akan takhluk menghormati negeri kita Indonesia, segan terhadap negeri ini karena berhasil pembangunannya, baik fakta mental maupun fakta sosial. Bangsa yang telah berhasil mencapai kejayaan karena keadaan negerinya subur, makmur, sejahtera, tenang, dan damai, mencapai manusia Indonesia yang seutuhnya. Pada tataran ini kita telah mencapai kemenangan, kejayaan, kemakmuran, dan keadilan di semua sektor atau bidang, baik ekonomi, keamanan, sosial, politik, sosial, budaya, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.


Soemantri Hardjoprakosa dalam Ulasan Kang Kelana menuliskannya: “Negara yang ditakuti oleh negara tetangganya dapat memberikan hidup yang tenang bagi penduduknya. Negara yang kuat dapat memimpin negara-negara lain untuk menyusun kebahagiaan hidup di seluruh dunia. Negara yang jaya menjadi pelindung bagi negara yang lemah. Itulah cita-citaku.”


Aplikasinya cita-cita ksatria Wijaya dalam Panca Marga adalah sesuai dengan marga kelima, yaitu “Cita-cita yang tinggi”, cita-cita yang mulia dan luhur. Kita sering mendengar ucapan Bung Karno: “Gantungkan cita-citamu setinggi langit”. Setiap ksatria hukumnya adalah wajib untuk bercita-cita tinggi setinggi langit sap tujuh. Seperti doa kita setiap hari dan setiap waktu dalam “Pangesti Kesejahteraan Negara”, yaitu “Duh, Tuhan, hamba mohon, semoga Tuan berkenan menurunkan sih anugerah kepada bangsa kami, agar bangsa kami menjadi bangsa yang luhur budinya, luhur derajatnya, dan mulia hidupnya.” 


Kalau derajat bangsa kita sudah sampai pada tingkatan ksatria Wijaya, berarti kita sudah berada dalam tataran Prabawa, memiliki wibawa yang luar biasa terhadap negara lain di dunia. Derajat negara kita sudah tidak lagi tampak sunya-ruri, tidak lagi suwung atau kosong, dan sepi-sunyi. Bukan lagi dianggap dari belahan dunia ketiga yang remeh dan tak berarti, yang dimana orang Barat selalu memalingkan muka setiap bertemu dan dipandang hanya sebelah mata, melainkan akan ditatap dengan takjub, dipandang dengan segan, dan diikuti kebijak-kebijakan yang diputuskan. Baru ada lima ksatria saja derajat negara kita sudah berwibawa luar biasa, sudah penuh keteladanan, dan sudah mencapai kemakmuran dan kesejahteraan. Indonesia akan lebih menjadi negara yang bersinar, berbinar-binar, atau mercusuar bila dilengkapi dengan kehadiran ksatria keenam, yakni ksatria Sutedjo.

6. Ksatria Suteja
Makna yang terkandung dalam ksatria Suteja adalah cahaya yang berkilau-kilau atau mercusuar. Setelah Indonesia menjadi negara yang dihormati di seluruh dunia, negara lain segan, dan menjadi negara adidaya yang tidak tertandingi di dunia. Di sinilah kita mencapai tataran Kemayan, artinya mampu mempengaruhi negara-negara lain di dunia. Pada tataran ini kita mencapai “puncak kebudayaan dunia”, dan Sinar Ajaran Tuhan Yang Maha Esa dengan kekayaan kearifan lokal (local wisdom) bahkan kearifan budaya (cuktural wisdom)-nya memancar memenuhi dunia seisinya. Indonesia menjadi negara pengayom, pelindung, bagi negara-negara yang lemah.


Soemantri Hardjoprakosa dalam Ulasan Kang Kelana menuliskannya: “Impianku ialah supaya negaraku kelak dihormati di seluruh dunia, supaya bangsaku diterima sebagai sahabat kehormatan di segenap negara. Supaya setiap bangsa, bila mengucapkan nama negaraku, dihinggapi rasa hormat dan setia kawan. Semoga Tuhan Yang Maha Esa mewujudkan cita-citaku ini. Amin”.


Hal itu sesuai dengan doa kita setiap hari, yakni “Pangesti Kesejahteraan Negara”: “Duh, Tuhan, hamba mohon semoga Tuan berkenan melimpahkan berkah serta lindungan kepada negara kami Republik Indonesia, agar negara kami segera aman, tenteram, subur, makmur, sejahtera, jaya, dan masyhur di dunia.”


Demikianlah keberdaraan ksatria piningit yang akan hadir sebagai Ratu Adil, Mesias, atau Imam Mahdi sehingga mengembalikan derajat negara bangsa Indonesia menjadi negara dan bangsa yang berwiba, berderajat mulia, luhur budi pekertinya, dikagumi dan disegani kawan dan lawan, bangsa yang beradab, bermartabat, dan unggul dari negara dan bangsa lainnya di dunia. Pernyataan Soemantri Hardjoprakosa melalui tokoh Pemuda Kelana dalam bukunya Ulasan Kang Kelana (1990: 4) sebagai berikut.


"Itulah semua cita-cita yang luhur. Memang sudah seharusnya bahwa setiap ksatria menumbuhkan dan mengejar cita-cita yang setinggi langit....Ksatria itu harapan bangsa. Ksatria tanpa cita-cita luhur bagi negaranya adalah sampah bangsa. Setiap ksatria harus ingin menjadi kusuma bangsa. Untuk menjadi kusuma bangsa tidak cukup kita mempunyai cita-cita yang tinggi saja. Perlu ada cara pelaksanaan yang tertentu dalam mengejar cita-cita yang membikin manusia menjadi kusuma bangsa. Pelaksanaan yang tertentu itu ialah garis-garis yang telah disabdakan oleh Tuhan Yang Maha Esa melalui rasul-Nya”.


Jadi, ksatria pinandhita sinisihan wahyu adalah seorang pemimpin negara yang mengaplikasikan watak keutamaan enam ksatria purusatama, yakni ksatria Sasangka, Sarjana, Sujana, Sudibja, Wijaya, dan Suteja.

2 comments:

  1. Bersabarlah wahai saudara-2 ku semua...kita nantikan tahun 2014, dengan tetap berbakti & mengabdi sebagai anak negeri NKRI...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tentulah bersabar, dalam bersabar tentu berbuat sesuai dengan kemampuan,makna kastria piningit tersebut dalam bahasa Jawa adalah: "ksatria pinandhita sinisihan wahyu" tegesipun "wong sing luhur bebudene lan saguh mbelani nusa lan bangsane kang awewatak pandhita uga tinresnanan dening wahyu, Gusti Ingkang Akarya Jagat", mila dipunsebat "satriya piningit" punika tegesipun "satriya sing durung katon tandang grayange, nanging nduweni daya linuwih sing ngedab-edabi".

      Delete

Pertemuan 15 Teori Sastra Tempatan