Tuesday, 14 February 2012

KIDUNG PENOLAK BALA DI ZAMAN EDAN

“Kidung Rumeksa Ing Wengi” karya Sunan Kalidjaga sudah terkenal di seluruh wilayah nusantara, khususnya Jawa, bertahun-tahun yang lalu. Kidung tersebut sering dinyanyikan atau didendangkan oleh saudara-saudara kita di wilayah pedesaan pada waktu malam hari, terutama ketika ronda malam. Sementara itu, diperkotaan juga sering dikidungkan oleh perkumpulan-perkumpulan macapat, baik dalam acara pentas di panggung, siaran di radio, maupun di televisi. Dalam pementasan kesenian Jawa, seperti ketoprak, wayang kulit atau wayang orang, dan ludruk, “Kidung Rumeksa Ing Wengi” juga sering didendangkan oleh si peronda, pelawak, dan punakawan sebagai kawan menjaga ketentraman pada waktu malam hari.

Kidung karya Sunan Kalidjaga itu bersifat sufistik sehingga begitu terkenalnya di seluruh nusantara karena berisi mantra penolak bala, pembebas dari bencana, dan pelebur segala malapetaka, serta menjauhkan dari segenap musibah. Pantaslah kiranya kalau kidung tersebut direkomendasikan untuk dijadikan alternatif mengatasi kedahsyatan kekuasaan zaman edan seperti sekarang ini. Apabila kidung tersebut dicermati, lima bait pertama berisi mantra penolak bala, dan bait keenam hingga kesembilan merupakan petunjuk dan khasiat bagi orang yang menyanyikan, mendengarkan, mengamalkan, menyalin, dan menyimpan kidung tersebut. Sebagai suatu ikhtiar atau usaha yang tidak pernah mengenal putus asa, kenapa tidak sebaiknya kita coba amalkan dalam menghadapi kekuasaan zaman edan seperti sekarang ini.

    “Kidung Rumeksa Ing Wengi” termasuk ketegori teks sastra sufi atau sufistik, yakni karya sastra yang mengandung ajaran tentang kesufian atau religiusitas yang berakar pada dunia Islam. Penulisnya adalah Sunan Kalidjaga, seorang wali sanga di Jawa abad XV—XVI Masehi, yang memiliki derajat melebihi seorang sufi. Teks “Kidung Rumeksa Ing Wengi” memilki kedudukan yang tentu saja signifikan dalam rangka penyebaran agama Islam di tanah Jawa pada waktu itu yang disampaikan melalui bentuk tembang. Nasihat atau ajaran dakwah keagamaan yang diwujudkan dalam bentuk karya sastra, yang dirangkai dengan bentuk sebuah kidung dengan metrum tembang dhandhanggula, akan terasa lebih “bernilai abadi” sepanjang zaman. Hal ini bila dibandingkan dengan bentuk nasihat ajaran dakwah yang disampaikan secara lisan atau tuturan sesaat, tentu akan lebih cepat menguap seiring dengan lenyapnya suatu generasi atau peradaban tertentu. Sebagai warisan budaya kepada anak cucu, nasihat ajaran dakwah yang tertulis dalam bentuk tembang akan lebih terasa “langgeng”, abadi, dan awet untuk diingat dan dikenangnya. Sepeninggal penulisnya, meski sudah berusia lebih dari lima ratus tahun, “Kidung Rumeksa Ing Wengi” sudah beralih menjadi milik masyarakat. Siapa pun orangnya yang membaca, mengamalkan, menyimpan, dan menyebarkannya ke masyarakat, sudah tidak lagi dipungut royalti.

Secara tersurat teks “Kidung Rumeksa Ing Wengi” memiliki fungsi, antara lain: (1) menolak bala pada waktu malam hari, seperti teluh, duduk, ngama, maling, panggawe ala, guna-guna, dan kabeh bilahi; (2) mengurungkan atau membebaskan dari denda; (3) menyembuhkan berbagai penyakit, termasuk edan atau gila; (4) membebaskan diri dari pageblug atau wabah penyakit; (5) mempercepat jodoh perawan tua; (6) memenangkan perang, pertempuran; (7) menghilangkan hama padi, seperi tikus, wereng coklat, walang sangit, dan keong sawah; serta (8) memperlancar mencapai cita-cita luhur dan mulia.

Fungsi tersebut akan tercapai (terwujud) apabila disertai laku atau perbuatan yang sesuai dengan tujuan atau harapan yang dikehendakinya, antara lain sebagai berikut.
  1. Sebagai penolak bala agar terhindari dari semua malapetaka atau bencana adalah dengan cara melakukan sembahyang tengah malam, lalu membacakan atau mendendangkan kidung tersebut sebanyak sebelas kali (kata sebelas dalam bahasa Jawa berasal dari kata sewelas, maknanya agar mendapat kawelasan “belas kasih Tuhan”). Hal ini hendaknya dilakukan secara rutin setiap malam, kalau perlu sampai empat puluh malam.
  2. Bersesuci dengan cara mandi air tujuh sumur (jika banyak) atau dapat juga diminum (jika sedikit) yang telah dibacai kidung untuk dapat menyembuhkan segala penyakit, membebaskan dari denda, dan mempercepat mendapatkan jodoh bagi perawan atau jejaka tua.
  3. Memakan nasi tiga genggam yang telah dibacai kidung untuk dapat memenangkan peperangan atau pertempuran di mana pun.
  4. Berpuasa sehari semalam disertai membaca kidung di tengah malam dengan cara mengelilingi rumah agar pencuri, perampok, orang berbuat jahat, teluh, duduk, guna-guna sakti jauh darinya; atau dapat juga berkeliling pematang sawah sambil membaca kidung agar hama dan pencuri tanaman padi jauh darinya.
  5. Berpuasa gonyu (sego lan banyu “nasi dan air”) selama empat puluh hari empat puluh malam dengan disertai setiap malamnya membaca kidung sebelas kali agar tercapai cita-cita luhur dan mulia.
Selain hal di atas, kedua kidung juga memiliki kesejajaran: (1) sebagai media dakwah yang dirangkaikan dalam bentuk kidung, bermatra tembang dhandhanggula atau sekar macapat Jawa baru; (2) ditulis oleh orang yang dianggap suci oleh umat atau warganya, yaitu Sunan Kalidjaga dan R. Soenarto Mertowardojo; (3) memiliki fungsi sebagai penolak bala pada zaman edan yang sedang merajalela dengan cara memohon bantuan kekuasaan Tuhan yang Maha Kuasa; (4) mengajarkan kepada umat (warga)-nya agar memiliki kebaktian, keimanan, ketakwaan, dan berwatak keutamaan yang menuju ke arah kemuliaan dan keluhuran budi; dan (5) menuntun serta mengarahkan semua umat manusia agar kembali kepada jalan kebenaran, yakni jalan keutamaan yang ditunjukkan dengan benar oleh Tuhan melalui nabi, wali, aulia, atau orang-orang suci.

Meskipun kita sekarang hidup di era globalisasi dengan kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi yang penuh dengan hal-hal rasional, tetap saja kekuatan gaib, daya magis, dan nilai-nilai sakral masih membelenggu kehidupan kita sehari-hari di dunia ini. Kekuatan gaib dan daya magis yang terdapat pada kedua kidung tersebut masih terasa memiliki daya pukau yang mampu menyihir kita semua sehingga takhluk dan bertekuk lutut dihadapan yang Maha Gaib. “Kidung Rumeksa Ing Wengi” mampu menghimpun semua kekuatan malaikat, nabi-rasul, serta orang tua, sahabat, anak, dan istri nabi-rasul ke dalam satu kekuatan yang maha dahsyat melawan keangkara-murkaan, jim setan, paneluhan, guna duduk, maling, sato galak, dan lemah sangar. Sementara itu, “Kidung Suci” mampu menghimpun kekuatan pangastuti “sembah sujud hamba ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa” dalam melawan dhemit ingkang tindhak dur, kang rubeda tentreming bumi, kasektene diyu kang pinunjul mangkrak krura ngisis jatha, dan kang rawe-rawe rantas kang malang-malang putung “hantu yang berbuat jahat, mereka yang mengganggu ketentraman dunia, kesaktian raksasa yang berlebihan dengan berteriak buas marah menunjukkan gigi taringnya, dan mereka yang menghalangi, merintangi, menghadang, dan menghambat” akan sirna, hancur lebur tanpa bekas. Semua diserahkan atas kekuasaan, keagungan, keadilan, dan kebijaksanaan Tuhan Yang Maha Esa yang lebih berkuasa atas segenap makhluknya. Ungkapan bahasa Jawa: Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti “kekuasaan, keberanian, ketangguhan, dan keunggulan dunia dapat hancur lebur oleh doa dan sembah sujud sembahyang kepada Tuhan Yang Maha Esa”.

Kedua kidung sakti di atas menunjukkan tema yang sama sebagai penolak bala pada kekuasaan zaman edan, kalabendu, kalatidha, dan jaman retu. Napas keislaman atau kesufian tampak mewarnai kedua kidung di atas. “Kidung Rumekasa Ing Wengi” mulai bait ketiga dan seterusnya menyebut asma Allah, Malaikat, Nabi-Rasul (Adam, Esis, Musa, Isa, Yakub, Yusuf, Daud, Sulaiman, Ibrahim, Idris, Nuh, Ayub, Yunus, dan Muhammad), sahabat nabi (Baginda Ali, Abu Bakar, Umar, Usman), anak nabi (Fatimah), ibu nabi (Siti Aminah), dan nama seorang wali sanga di Jawa (Sunan Kalidjaga). Selain nama-nama tokoh Islam, dalam “Kidung Rumeksa Ing Wengi” juga kita temukan penggunaan register (idiom) yang sering digunakan dalam dunia keislaman, seperti kata puwasa (puasa), subuh, sabar, sukur (syukur), insya Allah, date (dzatnya), malaikat, nabi, rasul, dan Adam sarak (Hukum Adam, Adam Makrifat).

Tradisi penulisan kidung dalam sastra Jawa tradisional tidak hanya berhenti pada abad XVI Masehi, tetapi hingga abad XX Masehi pun masih ada yang menulisnya. Penulis kidung tidak sembarang orang, tetapi orang yang terpilih dan berderajat suci, seperti wali atau aulia. Meskipun tradisi kidung sudah lama ada dan sudah mulai ditinggalkan oleh para generasi muda Jawa, perlu kiranya kidung tetap dilestarikan untuk menjaga kesinambungan sebuah kebudayaan tradisi yang adiluhung dan edipeni. Kandungan makna yang begitu mendalam, bersifat sufistik atau religiusitas yang berakar pada ajaran keislaman, bahkan mengandung mantra penolak bala, kidung tersebut mampu memberi tuntunan hidup bagi pembacanya. Ada nilai-nilai warna kearifan lokal budaya Jawa yang terdapat dalam dua kidung itu juga mampu mengemban misi sebagai pembentukan karakter bangsa yang lebih beradab dan bermartabat, yakni berbudi pekerti luhur dan mulia.

1. Teks “Kidung Rumeksa Ing Wengi”

       KIDUNG RUMEKSA ING WENGI
 
    1) Ana kidung rumeksa ing wengi
        teguh hayu luputa ing lara
        luputa bilahi kabeh
        jim setan datan purun
        paneluhan tan ana wani
        miwah panggawe ala
        gunane wong luput
        geni atemahan tirta
        maling adoh tan ana ngarah mring mami
        guna duduk pan sirna.

    2) Sakabehing lara pan samya bali
        sakeh ngama pan sami miruda
        welas asih pandulune
        sakehing braja luput
        kadi kapuk tibaning wesi
        sakehing wisa tawa
        sato galak tutut
        kayu aeng lemah sangar
        songing landak guwaning wong lemah miring
        myang pokiponing merak.

    3) Pagupakaning warak sakalir
        nadyan arca myang segara asat
        temahan rahayu kabeh
        apan sarira ayu
        ingideran sang widadari
        rineksa malaekat
        sakatahing rasul
        pan dadi sarira tunggal
        ati Adam utekku bagendha Esis
        pangucapku ya Musa.

    4) Napasku nabi Ngisa linuwih
        nabi Yakub pamiyarsaningwang
        Yusup ing rupaku mangke
        nabi Dawut swaraku
        jeng Suleman kasekten mami
        nabi Ibrahim nyawaku
        Edris ing rambutku
        bagendha Li kulitingwang
        getih daging Abu Bakar Ngumar singgih
        balung bagendha Ngusman.

    5) Sungsumingsun Patimah linuwih
        Siti Aminah bayuning angga
        Ayub ing ususku mangke
        nabi Nuh ing jejantung
        nabi Yunus ing otot mami
        netraku ya Muhammad
        pamuluku rasul
        pinayungan Adam sarak
        sampun pepak sakathahing para nabi
        dadya sarira tunggal.

    6) Wiji sawiji mulane dadi
        apan pencar saisining jagat
        kasamadan dening date
        kang maca kang angrungu
        kang anurat kang anyimpeni
        dadi ayuning badan
        kinarya sesembur
        yen winacakna ing toya
        kinarya dus rara tuwa gelis laki
        wong edan nuli waras.

    7) Lamun ana wong kadhendha kaki
        wong kabanda wong kabotan utang
        yogya wacanen den age
        nalika tengah dalu
        ping sewelas wacanen singgih
        luwar saking kabanda
        kang kadhendha wurung
        aglis nuli sinauran
        mring hyang Suksma kang utang puniku singgih
        kang agring nuli waras.

    8) Lumun arsa tulus nandur pari
        puwasa sawengi sadina
        iderana galengane
        wacanen kidung iku
        sakeh ngama sami abali
        yen sira lunga perang
        wateken ing sekul
        antuka tigang pulukan
        musuhira rep sirep tan ana wani
        rahayu ing payudan.


    9) Sing sapa reke bisa nglakoni
        amutiya lawan anawaa
        patang puluh dina bae
        lan tangi wektu subuh
        lan den sabar syukur ing ati
        insya Allah tinekan
        sakarsanireku
        tumrap sanak rakyatira
        saking sawabing ngelmu pangiket mami
        duk aneng Kalidjaga.

(Serat Kidungan Warna-warni. Surakarta: Boedi Oetomo, 1919)

2. Terjemahannya dalam bahasa Indonesia kurang lebih sebagai berikut.

    KIDUNG PENJAGA DI WAKTU MALAM

1) Ada kidung yang menjaga di waktu malam
    kukuh selamat terbebas dari berbagai penyakit
    terbebas dari semua malapetaka
    jin setan kejahatan pun tidak berkenan
    guna-guna pun tidak ada yang berani
    juga perbuatan jahat
    ilmu-ilmunya orang yang bersalah
    api dan juga air
    pencuri pun jauh tidak ada yang mengarah kepadaku
    guna-guna sakti pun lenyap.

2) Segala penyakit pun bersama-sama kembali ke asal
    berbagai hama pun terpaksa terkikis habis
    dengan kasih sayang dipandang
    terhindar dari semua senjata
    seperti kapuk jatuhnya besi
    semua bisa menjadi hambar
    binatang buas pun menjadi jinak
    kayu ajaib dan tanah keramat bahaya
    relung landak guanya orang tanah miring
    dan rumah tinggalnya merak.

3) Kandangnya segenap badak
    walau batu-batu dan lautan kering
    pada akhirnya semua selamat sejahtera
    sebab berbadan jelita keselamatan
    kelelilingi penuh bidadari
    dijaga oleh para malaikat
    juga segenap rasul
    menyatu menjadi berbadan tunggal
    hati Adam, otakku Baginda Sis
    pengucapku ialah Musa.

4) Napasku mengalir Nabi Isa yang amat mulia
    Nabi Yakub menjadi pendengaranku
    Nabi Yusuf wajahku kini
    Nabi Daud menjadi suaraku
    Tuan Sulaiman menjadi kesaktianku
    Nabi Ibrahim menjadi nyawaku
    Nabi Idris dalam rambutku
    Baginda Ali menjadi kulitku
    Darah dagingku Abu Bakar dan Umar
    Tulangku baginda Usman.

5) Sumsumku Fatimah yang amat mulia
    Siti Aminah menjadi kekuatan badanku
    Nabi Ayub kini ada dalam ususku
    Nabi Nuh di dalam jantungku
    Nabi Yunus di dalam ototku
    penglihatanku ialah Nabi Muhammad
    wajahku rasul
    terlindungi oleh hukum Adam
    sudah mencakupi seluruh para nabi
    berkumpul menjadi badan yang tunggal.

6) Terjadinya berasal dari biji yang satu
    sebab-musabab kemudian berpencar ke seluruh dunia
    terimbas oleh dzat-Nya
    yang membaca dan yang mendengarkan
    yang menyalin dan yang menyimpan
    menjadi selamat sejahtera badannya
    sebagai sarana mengusir
    jikalau dibacakan di dalam air
    sarana mandi perawan tua cepat mendapat jodoh
    orang gila pun cepat sembuh.

7) Apabila ada orang yang didenda, wahai cucuku
    orang yang dihimpit keberatan hutang-piutang
    seyogyanya engkau membaca dengan segera
    pada waktu tengah malam hari
    bacalah dengan sungguh-sungguh sebelas kali
    terbebas dari jeratan
    yang didenda pun urung
    lekas kemudian terbayarkan
    yang berhutang itu sungguh oleh Tuhan
    yang sakit pun segera mendapat kesembuhan.

8) Jikalau akan lancar menanam padi
    berpuasalah sehari semalaman
    kelilingilah pematangnya
    bacalah kidung ini
    semua hama bersama-sama kembali ke asal
    apabila engkau pergi berperang
    bacakanlah ke dalam nasi
    dapatkan tiga suapan
    musuhmu tersihir tidak ada yang berani
    selamat engkau di medan perang.

9) Siapa pun yang dapat melaksanakan
    berpuasa mutih hanya (minum) air dan (makan) nasi
    empat puluh hari saja
    dan bangun pada waktu subuh
    lalu berlaku sabar serta bersyukur di dalam hati
    insya Allah dapat tercapai
    atas izin kehendak Allah
    bagi semua sanak-saudaramu
    oleh daya kekuatan ilmu pengikatku
    pada waktu berada di Kalijaga.

    (Serat Kidungan Warna-warni. Surakarta: Boedi Oetomo, 1919)

No comments:

Post a Comment

Pertemuan 15 Teori Sastra Tempatan