“Kidung Rumeksa Ing Wengi” karya Sunan Kalidjaga sudah terkenal di seluruh wilayah nusantara, khususnya Jawa, bertahun-tahun yang lalu. Kidung tersebut sering dinyanyikan atau didendangkan oleh saudara-saudara kita di wilayah pedesaan pada waktu malam hari, terutama ketika ronda malam. Sementara itu, diperkotaan juga sering dikidungkan oleh perkumpulan-perkumpulan macapat, baik dalam acara pentas di panggung, siaran di radio, maupun di televisi. Dalam pementasan kesenian Jawa, seperti ketoprak, wayang kulit atau wayang orang, dan ludruk, “Kidung Rumeksa Ing Wengi” juga sering didendangkan oleh si peronda, pelawak, dan punakawan sebagai kawan menjaga ketentraman pada waktu malam hari.
Kidung karya Sunan Kalidjaga itu bersifat sufistik sehingga begitu terkenalnya di seluruh nusantara karena berisi mantra penolak bala, pembebas dari bencana, dan pelebur segala malapetaka, serta menjauhkan dari segenap musibah. Pantaslah kiranya kalau kidung tersebut direkomendasikan untuk dijadikan alternatif mengatasi kedahsyatan kekuasaan zaman edan seperti sekarang ini. Apabila kidung tersebut dicermati, lima bait pertama berisi mantra penolak bala, dan bait keenam hingga kesembilan merupakan petunjuk dan khasiat bagi orang yang menyanyikan, mendengarkan, mengamalkan, menyalin, dan menyimpan kidung tersebut. Sebagai suatu ikhtiar atau usaha yang tidak pernah mengenal putus asa, kenapa tidak sebaiknya kita coba amalkan dalam menghadapi kekuasaan zaman edan seperti sekarang ini.
“Kidung Rumeksa Ing Wengi” termasuk ketegori teks sastra sufi atau sufistik, yakni karya sastra yang mengandung ajaran tentang kesufian atau religiusitas yang berakar pada dunia Islam. Penulisnya adalah Sunan Kalidjaga, seorang wali sanga di Jawa abad XV—XVI Masehi, yang memiliki derajat melebihi seorang sufi. Teks “Kidung Rumeksa Ing Wengi” memilki kedudukan yang tentu saja signifikan dalam rangka penyebaran agama Islam di tanah Jawa pada waktu itu yang disampaikan melalui bentuk tembang. Nasihat atau ajaran dakwah keagamaan yang diwujudkan dalam bentuk karya sastra, yang dirangkai dengan bentuk sebuah kidung dengan metrum tembang dhandhanggula, akan terasa lebih “bernilai abadi” sepanjang zaman. Hal ini bila dibandingkan dengan bentuk nasihat ajaran dakwah yang disampaikan secara lisan atau tuturan sesaat, tentu akan lebih cepat menguap seiring dengan lenyapnya suatu generasi atau peradaban tertentu. Sebagai warisan budaya kepada anak cucu, nasihat ajaran dakwah yang tertulis dalam bentuk tembang akan lebih terasa “langgeng”, abadi, dan awet untuk diingat dan dikenangnya. Sepeninggal penulisnya, meski sudah berusia lebih dari lima ratus tahun, “Kidung Rumeksa Ing Wengi” sudah beralih menjadi milik masyarakat. Siapa pun orangnya yang membaca, mengamalkan, menyimpan, dan menyebarkannya ke masyarakat, sudah tidak lagi dipungut royalti.
Secara tersurat teks “Kidung Rumeksa Ing Wengi” memiliki fungsi, antara lain: (1) menolak bala pada waktu malam hari, seperti teluh, duduk, ngama, maling, panggawe ala, guna-guna, dan kabeh bilahi; (2) mengurungkan atau membebaskan dari denda; (3) menyembuhkan berbagai penyakit, termasuk edan atau gila; (4) membebaskan diri dari pageblug atau wabah penyakit; (5) mempercepat jodoh perawan tua; (6) memenangkan perang, pertempuran; (7) menghilangkan hama padi, seperi tikus, wereng coklat, walang sangit, dan keong sawah; serta (8) memperlancar mencapai cita-cita luhur dan mulia.
Fungsi tersebut akan tercapai (terwujud) apabila disertai laku atau perbuatan yang sesuai dengan tujuan atau harapan yang dikehendakinya, antara lain sebagai berikut.
Kidung karya Sunan Kalidjaga itu bersifat sufistik sehingga begitu terkenalnya di seluruh nusantara karena berisi mantra penolak bala, pembebas dari bencana, dan pelebur segala malapetaka, serta menjauhkan dari segenap musibah. Pantaslah kiranya kalau kidung tersebut direkomendasikan untuk dijadikan alternatif mengatasi kedahsyatan kekuasaan zaman edan seperti sekarang ini. Apabila kidung tersebut dicermati, lima bait pertama berisi mantra penolak bala, dan bait keenam hingga kesembilan merupakan petunjuk dan khasiat bagi orang yang menyanyikan, mendengarkan, mengamalkan, menyalin, dan menyimpan kidung tersebut. Sebagai suatu ikhtiar atau usaha yang tidak pernah mengenal putus asa, kenapa tidak sebaiknya kita coba amalkan dalam menghadapi kekuasaan zaman edan seperti sekarang ini.
“Kidung Rumeksa Ing Wengi” termasuk ketegori teks sastra sufi atau sufistik, yakni karya sastra yang mengandung ajaran tentang kesufian atau religiusitas yang berakar pada dunia Islam. Penulisnya adalah Sunan Kalidjaga, seorang wali sanga di Jawa abad XV—XVI Masehi, yang memiliki derajat melebihi seorang sufi. Teks “Kidung Rumeksa Ing Wengi” memilki kedudukan yang tentu saja signifikan dalam rangka penyebaran agama Islam di tanah Jawa pada waktu itu yang disampaikan melalui bentuk tembang. Nasihat atau ajaran dakwah keagamaan yang diwujudkan dalam bentuk karya sastra, yang dirangkai dengan bentuk sebuah kidung dengan metrum tembang dhandhanggula, akan terasa lebih “bernilai abadi” sepanjang zaman. Hal ini bila dibandingkan dengan bentuk nasihat ajaran dakwah yang disampaikan secara lisan atau tuturan sesaat, tentu akan lebih cepat menguap seiring dengan lenyapnya suatu generasi atau peradaban tertentu. Sebagai warisan budaya kepada anak cucu, nasihat ajaran dakwah yang tertulis dalam bentuk tembang akan lebih terasa “langgeng”, abadi, dan awet untuk diingat dan dikenangnya. Sepeninggal penulisnya, meski sudah berusia lebih dari lima ratus tahun, “Kidung Rumeksa Ing Wengi” sudah beralih menjadi milik masyarakat. Siapa pun orangnya yang membaca, mengamalkan, menyimpan, dan menyebarkannya ke masyarakat, sudah tidak lagi dipungut royalti.
Secara tersurat teks “Kidung Rumeksa Ing Wengi” memiliki fungsi, antara lain: (1) menolak bala pada waktu malam hari, seperti teluh, duduk, ngama, maling, panggawe ala, guna-guna, dan kabeh bilahi; (2) mengurungkan atau membebaskan dari denda; (3) menyembuhkan berbagai penyakit, termasuk edan atau gila; (4) membebaskan diri dari pageblug atau wabah penyakit; (5) mempercepat jodoh perawan tua; (6) memenangkan perang, pertempuran; (7) menghilangkan hama padi, seperi tikus, wereng coklat, walang sangit, dan keong sawah; serta (8) memperlancar mencapai cita-cita luhur dan mulia.
Fungsi tersebut akan tercapai (terwujud) apabila disertai laku atau perbuatan yang sesuai dengan tujuan atau harapan yang dikehendakinya, antara lain sebagai berikut.
- Sebagai penolak bala agar terhindari dari semua malapetaka atau bencana adalah dengan cara melakukan sembahyang tengah malam, lalu membacakan atau mendendangkan kidung tersebut sebanyak sebelas kali (kata sebelas dalam bahasa Jawa berasal dari kata sewelas, maknanya agar mendapat kawelasan “belas kasih Tuhan”). Hal ini hendaknya dilakukan secara rutin setiap malam, kalau perlu sampai empat puluh malam.
- Bersesuci dengan cara mandi air tujuh sumur (jika banyak) atau dapat juga diminum (jika sedikit) yang telah dibacai kidung untuk dapat menyembuhkan segala penyakit, membebaskan dari denda, dan mempercepat mendapatkan jodoh bagi perawan atau jejaka tua.
- Memakan nasi tiga genggam yang telah dibacai kidung untuk dapat memenangkan peperangan atau pertempuran di mana pun.
- Berpuasa sehari semalam disertai membaca kidung di tengah malam dengan cara mengelilingi rumah agar pencuri, perampok, orang berbuat jahat, teluh, duduk, guna-guna sakti jauh darinya; atau dapat juga berkeliling pematang sawah sambil membaca kidung agar hama dan pencuri tanaman padi jauh darinya.
- Berpuasa gonyu (sego lan banyu “nasi dan air”) selama empat puluh hari empat puluh malam dengan disertai setiap malamnya membaca kidung sebelas kali agar tercapai cita-cita luhur dan mulia.
Selain hal di atas, kedua kidung juga memiliki kesejajaran: (1) sebagai media dakwah yang dirangkaikan dalam bentuk kidung, bermatra tembang dhandhanggula atau sekar macapat Jawa baru; (2) ditulis oleh orang yang dianggap suci oleh umat atau warganya, yaitu Sunan Kalidjaga dan R. Soenarto Mertowardojo; (3) memiliki fungsi sebagai penolak bala pada zaman edan yang sedang merajalela dengan cara memohon bantuan kekuasaan Tuhan yang Maha Kuasa; (4) mengajarkan kepada umat (warga)-nya agar memiliki kebaktian, keimanan, ketakwaan, dan berwatak keutamaan yang menuju ke arah kemuliaan dan keluhuran budi; dan (5) menuntun serta mengarahkan semua umat manusia agar kembali kepada jalan kebenaran, yakni jalan keutamaan yang ditunjukkan dengan benar oleh Tuhan melalui nabi, wali, aulia, atau orang-orang suci.
Meskipun kita sekarang hidup di era globalisasi dengan kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi yang penuh dengan hal-hal rasional, tetap saja kekuatan gaib, daya magis, dan nilai-nilai sakral masih membelenggu kehidupan kita sehari-hari di dunia ini. Kekuatan gaib dan daya magis yang terdapat pada kedua kidung tersebut masih terasa memiliki daya pukau yang mampu menyihir kita semua sehingga takhluk dan bertekuk lutut dihadapan yang Maha Gaib. “Kidung Rumeksa Ing Wengi” mampu menghimpun semua kekuatan malaikat, nabi-rasul, serta orang tua, sahabat, anak, dan istri nabi-rasul ke dalam satu kekuatan yang maha dahsyat melawan keangkara-murkaan, jim setan, paneluhan, guna duduk, maling, sato galak, dan lemah sangar. Sementara itu, “Kidung Suci” mampu menghimpun kekuatan pangastuti “sembah sujud hamba ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa” dalam melawan dhemit ingkang tindhak dur, kang rubeda tentreming bumi, kasektene diyu kang pinunjul mangkrak krura ngisis jatha, dan kang rawe-rawe rantas kang malang-malang putung “hantu yang berbuat jahat, mereka yang mengganggu ketentraman dunia, kesaktian raksasa yang berlebihan dengan berteriak buas marah menunjukkan gigi taringnya, dan mereka yang menghalangi, merintangi, menghadang, dan menghambat” akan sirna, hancur lebur tanpa bekas. Semua diserahkan atas kekuasaan, keagungan, keadilan, dan kebijaksanaan Tuhan Yang Maha Esa yang lebih berkuasa atas segenap makhluknya. Ungkapan bahasa Jawa: Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti “kekuasaan, keberanian, ketangguhan, dan keunggulan dunia dapat hancur lebur oleh doa dan sembah sujud sembahyang kepada Tuhan Yang Maha Esa”.
Kedua kidung sakti di atas menunjukkan tema yang sama sebagai penolak bala pada kekuasaan zaman edan, kalabendu, kalatidha, dan jaman retu. Napas keislaman atau kesufian tampak mewarnai kedua kidung di atas. “Kidung Rumekasa Ing Wengi” mulai bait ketiga dan seterusnya menyebut asma Allah, Malaikat, Nabi-Rasul (Adam, Esis, Musa, Isa, Yakub, Yusuf, Daud, Sulaiman, Ibrahim, Idris, Nuh, Ayub, Yunus, dan Muhammad), sahabat nabi (Baginda Ali, Abu Bakar, Umar, Usman), anak nabi (Fatimah), ibu nabi (Siti Aminah), dan nama seorang wali sanga di Jawa (Sunan Kalidjaga). Selain nama-nama tokoh Islam, dalam “Kidung Rumeksa Ing Wengi” juga kita temukan penggunaan register (idiom) yang sering digunakan dalam dunia keislaman, seperti kata puwasa (puasa), subuh, sabar, sukur (syukur), insya Allah, date (dzatnya), malaikat, nabi, rasul, dan Adam sarak (Hukum Adam, Adam Makrifat).
Tradisi penulisan kidung dalam sastra Jawa tradisional tidak hanya berhenti pada abad XVI Masehi, tetapi hingga abad XX Masehi pun masih ada yang menulisnya. Penulis kidung tidak sembarang orang, tetapi orang yang terpilih dan berderajat suci, seperti wali atau aulia. Meskipun tradisi kidung sudah lama ada dan sudah mulai ditinggalkan oleh para generasi muda Jawa, perlu kiranya kidung tetap dilestarikan untuk menjaga kesinambungan sebuah kebudayaan tradisi yang adiluhung dan edipeni. Kandungan makna yang begitu mendalam, bersifat sufistik atau religiusitas yang berakar pada ajaran keislaman, bahkan mengandung mantra penolak bala, kidung tersebut mampu memberi tuntunan hidup bagi pembacanya. Ada nilai-nilai warna kearifan lokal budaya Jawa yang terdapat dalam dua kidung itu juga mampu mengemban misi sebagai pembentukan karakter bangsa yang lebih beradab dan bermartabat, yakni berbudi pekerti luhur dan mulia.
1. Teks “Kidung Rumeksa Ing Wengi”
KIDUNG RUMEKSA ING WENGI
Meskipun kita sekarang hidup di era globalisasi dengan kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi yang penuh dengan hal-hal rasional, tetap saja kekuatan gaib, daya magis, dan nilai-nilai sakral masih membelenggu kehidupan kita sehari-hari di dunia ini. Kekuatan gaib dan daya magis yang terdapat pada kedua kidung tersebut masih terasa memiliki daya pukau yang mampu menyihir kita semua sehingga takhluk dan bertekuk lutut dihadapan yang Maha Gaib. “Kidung Rumeksa Ing Wengi” mampu menghimpun semua kekuatan malaikat, nabi-rasul, serta orang tua, sahabat, anak, dan istri nabi-rasul ke dalam satu kekuatan yang maha dahsyat melawan keangkara-murkaan, jim setan, paneluhan, guna duduk, maling, sato galak, dan lemah sangar. Sementara itu, “Kidung Suci” mampu menghimpun kekuatan pangastuti “sembah sujud hamba ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa” dalam melawan dhemit ingkang tindhak dur, kang rubeda tentreming bumi, kasektene diyu kang pinunjul mangkrak krura ngisis jatha, dan kang rawe-rawe rantas kang malang-malang putung “hantu yang berbuat jahat, mereka yang mengganggu ketentraman dunia, kesaktian raksasa yang berlebihan dengan berteriak buas marah menunjukkan gigi taringnya, dan mereka yang menghalangi, merintangi, menghadang, dan menghambat” akan sirna, hancur lebur tanpa bekas. Semua diserahkan atas kekuasaan, keagungan, keadilan, dan kebijaksanaan Tuhan Yang Maha Esa yang lebih berkuasa atas segenap makhluknya. Ungkapan bahasa Jawa: Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti “kekuasaan, keberanian, ketangguhan, dan keunggulan dunia dapat hancur lebur oleh doa dan sembah sujud sembahyang kepada Tuhan Yang Maha Esa”.
Kedua kidung sakti di atas menunjukkan tema yang sama sebagai penolak bala pada kekuasaan zaman edan, kalabendu, kalatidha, dan jaman retu. Napas keislaman atau kesufian tampak mewarnai kedua kidung di atas. “Kidung Rumekasa Ing Wengi” mulai bait ketiga dan seterusnya menyebut asma Allah, Malaikat, Nabi-Rasul (Adam, Esis, Musa, Isa, Yakub, Yusuf, Daud, Sulaiman, Ibrahim, Idris, Nuh, Ayub, Yunus, dan Muhammad), sahabat nabi (Baginda Ali, Abu Bakar, Umar, Usman), anak nabi (Fatimah), ibu nabi (Siti Aminah), dan nama seorang wali sanga di Jawa (Sunan Kalidjaga). Selain nama-nama tokoh Islam, dalam “Kidung Rumeksa Ing Wengi” juga kita temukan penggunaan register (idiom) yang sering digunakan dalam dunia keislaman, seperti kata puwasa (puasa), subuh, sabar, sukur (syukur), insya Allah, date (dzatnya), malaikat, nabi, rasul, dan Adam sarak (Hukum Adam, Adam Makrifat).
Tradisi penulisan kidung dalam sastra Jawa tradisional tidak hanya berhenti pada abad XVI Masehi, tetapi hingga abad XX Masehi pun masih ada yang menulisnya. Penulis kidung tidak sembarang orang, tetapi orang yang terpilih dan berderajat suci, seperti wali atau aulia. Meskipun tradisi kidung sudah lama ada dan sudah mulai ditinggalkan oleh para generasi muda Jawa, perlu kiranya kidung tetap dilestarikan untuk menjaga kesinambungan sebuah kebudayaan tradisi yang adiluhung dan edipeni. Kandungan makna yang begitu mendalam, bersifat sufistik atau religiusitas yang berakar pada ajaran keislaman, bahkan mengandung mantra penolak bala, kidung tersebut mampu memberi tuntunan hidup bagi pembacanya. Ada nilai-nilai warna kearifan lokal budaya Jawa yang terdapat dalam dua kidung itu juga mampu mengemban misi sebagai pembentukan karakter bangsa yang lebih beradab dan bermartabat, yakni berbudi pekerti luhur dan mulia.
1. Teks “Kidung Rumeksa Ing Wengi”
KIDUNG RUMEKSA ING WENGI
1) Ana kidung rumeksa ing wengi
teguh hayu luputa ing lara
luputa bilahi kabeh
jim setan datan purun
paneluhan tan ana wani
miwah panggawe ala
gunane wong luput
geni atemahan tirta
maling adoh tan ana ngarah mring mami
guna duduk pan sirna.
2) Sakabehing lara pan samya bali
sakeh ngama pan sami miruda
welas asih pandulune
sakehing braja luput
kadi kapuk tibaning wesi
sakehing wisa tawa
sato galak tutut
kayu aeng lemah sangar
songing landak guwaning wong lemah miring
myang pokiponing merak.
3) Pagupakaning warak sakalir
nadyan arca myang segara asat
temahan rahayu kabeh
apan sarira ayu
ingideran sang widadari
rineksa malaekat
sakatahing rasul
pan dadi sarira tunggal
ati Adam utekku bagendha Esis
pangucapku ya Musa.
4) Napasku nabi Ngisa linuwih
nabi Yakub pamiyarsaningwang
Yusup ing rupaku mangke
nabi Dawut swaraku
jeng Suleman kasekten mami
nabi Ibrahim nyawaku
Edris ing rambutku
bagendha Li kulitingwang
getih daging Abu Bakar Ngumar singgih
balung bagendha Ngusman.
5) Sungsumingsun Patimah linuwih
Siti Aminah bayuning angga
Ayub ing ususku mangke
nabi Nuh ing jejantung
nabi Yunus ing otot mami
netraku ya Muhammad
pamuluku rasul
pinayungan Adam sarak
sampun pepak sakathahing para nabi
dadya sarira tunggal.
6) Wiji sawiji mulane dadi
apan pencar saisining jagat
kasamadan dening date
kang maca kang angrungu
kang anurat kang anyimpeni
dadi ayuning badan
kinarya sesembur
yen winacakna ing toya
kinarya dus rara tuwa gelis laki
wong edan nuli waras.
7) Lamun ana wong kadhendha kaki
wong kabanda wong kabotan utang
yogya wacanen den age
nalika tengah dalu
ping sewelas wacanen singgih
luwar saking kabanda
kang kadhendha wurung
aglis nuli sinauran
mring hyang Suksma kang utang puniku singgih
kang agring nuli waras.
8) Lumun arsa tulus nandur pari
puwasa sawengi sadina
iderana galengane
wacanen kidung iku
sakeh ngama sami abali
yen sira lunga perang
wateken ing sekul
antuka tigang pulukan
musuhira rep sirep tan ana wani
rahayu ing payudan.
9) Sing sapa reke bisa nglakoni
amutiya lawan anawaa
patang puluh dina bae
lan tangi wektu subuh
lan den sabar syukur ing ati
insya Allah tinekan
sakarsanireku
tumrap sanak rakyatira
saking sawabing ngelmu pangiket mami
duk aneng Kalidjaga.
(Serat Kidungan Warna-warni. Surakarta: Boedi Oetomo, 1919)
2. Terjemahannya dalam bahasa Indonesia kurang lebih sebagai berikut.
KIDUNG PENJAGA DI WAKTU MALAM
1) Ada kidung yang menjaga di waktu malam
kukuh selamat terbebas dari berbagai penyakit
terbebas dari semua malapetaka
jin setan kejahatan pun tidak berkenan
guna-guna pun tidak ada yang berani
juga perbuatan jahat
ilmu-ilmunya orang yang bersalah
api dan juga air
pencuri pun jauh tidak ada yang mengarah kepadaku
guna-guna sakti pun lenyap.
2) Segala penyakit pun bersama-sama kembali ke asal
berbagai hama pun terpaksa terkikis habis
dengan kasih sayang dipandang
terhindar dari semua senjata
seperti kapuk jatuhnya besi
semua bisa menjadi hambar
binatang buas pun menjadi jinak
kayu ajaib dan tanah keramat bahaya
relung landak guanya orang tanah miring
dan rumah tinggalnya merak.
3) Kandangnya segenap badak
walau batu-batu dan lautan kering
pada akhirnya semua selamat sejahtera
sebab berbadan jelita keselamatan
kelelilingi penuh bidadari
dijaga oleh para malaikat
juga segenap rasul
menyatu menjadi berbadan tunggal
hati Adam, otakku Baginda Sis
pengucapku ialah Musa.
4) Napasku mengalir Nabi Isa yang amat mulia
Nabi Yakub menjadi pendengaranku
Nabi Yusuf wajahku kini
Nabi Daud menjadi suaraku
Tuan Sulaiman menjadi kesaktianku
Nabi Ibrahim menjadi nyawaku
Nabi Idris dalam rambutku
Baginda Ali menjadi kulitku
Darah dagingku Abu Bakar dan Umar
Tulangku baginda Usman.
5) Sumsumku Fatimah yang amat mulia
Siti Aminah menjadi kekuatan badanku
Nabi Ayub kini ada dalam ususku
Nabi Nuh di dalam jantungku
Nabi Yunus di dalam ototku
penglihatanku ialah Nabi Muhammad
wajahku rasul
terlindungi oleh hukum Adam
sudah mencakupi seluruh para nabi
berkumpul menjadi badan yang tunggal.
6) Terjadinya berasal dari biji yang satu
sebab-musabab kemudian berpencar ke seluruh dunia
terimbas oleh dzat-Nya
yang membaca dan yang mendengarkan
yang menyalin dan yang menyimpan
menjadi selamat sejahtera badannya
sebagai sarana mengusir
jikalau dibacakan di dalam air
sarana mandi perawan tua cepat mendapat jodoh
orang gila pun cepat sembuh.
7) Apabila ada orang yang didenda, wahai cucuku
orang yang dihimpit keberatan hutang-piutang
seyogyanya engkau membaca dengan segera
pada waktu tengah malam hari
bacalah dengan sungguh-sungguh sebelas kali
terbebas dari jeratan
yang didenda pun urung
lekas kemudian terbayarkan
yang berhutang itu sungguh oleh Tuhan
yang sakit pun segera mendapat kesembuhan.
8) Jikalau akan lancar menanam padi
berpuasalah sehari semalaman
kelilingilah pematangnya
bacalah kidung ini
semua hama bersama-sama kembali ke asal
apabila engkau pergi berperang
bacakanlah ke dalam nasi
dapatkan tiga suapan
musuhmu tersihir tidak ada yang berani
selamat engkau di medan perang.
9) Siapa pun yang dapat melaksanakan
berpuasa mutih hanya (minum) air dan (makan) nasi
empat puluh hari saja
dan bangun pada waktu subuh
lalu berlaku sabar serta bersyukur di dalam hati
insya Allah dapat tercapai
atas izin kehendak Allah
bagi semua sanak-saudaramu
oleh daya kekuatan ilmu pengikatku
pada waktu berada di Kalijaga.
(Serat Kidungan Warna-warni. Surakarta: Boedi Oetomo, 1919)
No comments:
Post a Comment