Tuesday 23 November 2010

Kepala Baru Pusat Bahasa

Prof. Aminudin Aziz Pimpin Pusat Bahasa Kemendiknas RI

Prof. Dr. E. Aminudin Aziz, Jum’at (19/11), dilantik menjadi Kepala Pusat Bahasa, di Gedung A, Lantai 3, Kementrian Pendidikan Nasional RI, Jakarta. Pelantikan guru besar bidang linguistik UPI ini dilakukan langsung oleh Mendiknas, Profesor Muhamad Nuh. Karena tugas barunya itu, berarti, profesor muda sarat prestasi ini harus melepaskan jabatan yang baru diembannya selama 2 bulan, yaitu sebagai Pembantu Rektor Bidang Perencanaan, Penelitian, dan Pengembangan UPI. Menanggapi pelantikannya sebagai Kepala Pusat Bahasa Kemendiknas RI, Prof. Aminudin mengatakan bahwa sebagai abdi negara dirinya harus siap menjalankan tugas yang diamanahkan kepadanya. “Ini bukan persoalan mau atau tidak mau dan suka atau tidak suka, ini persoalan tugas dan tanggungjawab yang dibebankan kepada saya sebagai seorang abdi negara. Saya siap menjalani dan memberikan kemampuan terbaik yang saya miliki,” ungkapnya kepada redaksi berita.upi.edu.
Kepergian Prof. Aminudin untuk menduduki pos baru di Jakarta memang dirasakan sedikit berat, mengingat perannya sebagai Pembantu Rektor di UPI cukup diandalkan. Tak heran jika dalam pemilihan Pembantu Rektor UPI beberapa waktu yang lalu, Prof. Aminudin dipercaya untuk menduduki jabatan sebagai PR Bidang Perencanaan, Peneilitan, dan Pengembangan. Namun demikian, untuk kepentingan nasional yang lebih besar, tidak ada alasan bagi UPI untuk menahan salah satu kader terbaiknya berkiprah di tingkat nasional demi kemajuan bangsa dan negara, terlebih kapasitas Prof. Aminudin sebagai seorang linguist tidak dapat diragukan lagi untuk memimpin lembaga tertinggi yang mengurusi masalah kebahasaan di negeri ini.
Dengan perginya Prof. Aminudin ke Jakarta berarti dalam waktu dekat akan terjadi kekosongan pos Pembantu Rektor Bidang Renlitbang. Kekosongan pos ini dalam waktu dekat mungkin akan segera terisi setelah dilakukan pemilihan untuk mengisi posisi yang ditinggalkannya. Suami dari Teti Herawati ini memohon dukungan dan do’a restu dari seluruh civitas UPI sehingga dirinya bisa menjawab amanah yang diembankan kepada dirinya. Selamat bertugas, Prof! Sukses selalu. Buktikan bahwa UPI memang leading and outstanding. 
(Berita UPI) 

E. Aminudin Aziz

 
Nama lengkap: Prof. Dr. E. Aminudin Aziz, M.A.
NIP: 196711161992031001
e-mail: aminudin@upi.edu
Penelitian/publikasi lima tahun terakhir:
  1. Modul Pendidikan Profesi Guru Bahasa Inggris (2009)
  2. Peningkatan Sumber Daya Manusia dan Penguatan Identitas Nasional Melalui Identifikasi Penggunaan Cerita Lokal Berbahasa Inggris (2009)
  3. Pengembangan Model Alat Ukur untuk Menakar Kompetensi Komunikasi Bahasa Inggris sebagai Bahasa Asing (2009)
  4. Are Women more Polite than Men? An Observation from Indonesian Data (2008)
  5. Filsafat, Teori, dan Praksis Ilmu Pendidikan (2008)
  6. Peningkatan Kemampuan Bahasa Inggris Pelaku Wisata di Daerah Tobalangbras Berbasiskan Kebutuhan Lokal Tahun I dan II (2007)
  7. Aspek Sosiopragmatik dalam Proses Pembelajaran Bahasa (2007)
  8. Tiga Dimensi Kesantunan Berbahasa: Tinjauan Terkini (2007)
  9. Peningkatan Kemampuan Bahasa Inggris Pelaku Wisata di Daerah Tobalangbras Berbasiskan Kebutuhan Lokal di Sumatera Utara Tahun-2 (2006)
  10. Makna Interpersonal dalam Interaksi Guru-Murid: Sebuah Kajian Wacana Kritis (2006)
  11. Building International Partnerships for Better Quality of Education (2006)
  12. The Triadic Logic of Linguistic Politeness Theories (2006)
  13. Realisasi Pertuturan Meminta Maaf dan Berterima Kasih di Kalangan Penutur Bahasa Indonesia: Sebuah Kajian Kesantunan Berbahasa (2006)
  14. Assessing Pragmatic Competence by Using Discourse Completion Tasks (2006)
  15. “Face” Facing Dilemma: A Study on the Concepts of Face and Politeness Phenomena in the Changing China (2005)
  16. Politik Bahasa untuk Integrasi Bangsa. Harian Umum Pikiran Rakyat (2005)
  17. Concept of Face and Politeness Phenomena in the Changing China: The Case of Shanghai (2005)
  18. Pendekatan Pragmatik dalam Pendidikan Kedwibahasaan (2005)
  19. Peningkatan Kemampuan Bahasa Inggris Pelaku Wisata di Daerah Tobalangbras Berbasiskan Kebutuhan Lokal di Sumatera Utara Tahun-1 (2005)
  20.  

Politik Bahasa untuk Integrasi Bangsa

Oleh : E. Aminudin Aziz
Pada usia kemerdekaan negeri ini memasuki 60 tahun, persatuan dan kesatuan bangsa memperoleh ujian yang teramat berat. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tengah diuji dengan beragam persoalan kebangsaan yang di antaranya menyudut ke arah disintegrasi bangsa.

Sepertinya Sumpah Pemuda yang 77 tahun lalu diikrarkan oleh para pemuda Indonesia untuk menggapai cita-cita unifikasi menuju Indonesia yang satu, sudah tak ampuh lagi menyatukan dan mengatasi berbagai perbedaan yang ada. Tak pelak lagi, komitmen agung dalam butir-butir Sumpah Pemuda telah ternodai.

Ancaman disintegrasi para separatis di sejumlah wilayah bangsa dewasa ini menimbulkan konsekuensi melonggarnya ikatan fusi tersebut, terutama komitmen untuk berbangsa dan bertanah air satu, walaupun tampaknya komitmen pada kesatuan bahasa masih tersimpan sejumput harapan.

Politik Bahasa Nasional
Politik bahasa merupakan masalah yang pelik. Selain bisa mengatasi permasalahan yang nantinya berujung pada kesatuan suatu bangsa, politik bahasa bisa juga memicu konflik antar negara atau antardaerah. Sungguh beruntung bangsa Indonesia ini karena masalah bahasa sudah dapat tertangani dengan baik, bahkan jauh sebelum proklamasi kemerdekaan, yakni melalui ikrar besar Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, yang berisi tekad kuat untuk menjunjung dan bahkan menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.

Di dalam sejarahnya, bahasa Melayu (yang merupakan cikal bakal bahasa Indonesia) bukanlah bahasa etnis besar di tanah air ini. Penuturnya sangat jauh dibanding penutur bahasa etnis lainnya seperti bahasa Jawa dan Sunda. Anton Moeliono menyatakan, pada 1928 populasi orang Indonesia yang menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa ibu sebanyak 4,9%, sedangkan bahasa Jawa dan Sunda berturut-turut 47,8% dan 14,5%. Dalam perkembangannya, bahasa Melayu menggeser bahasa etnis yang kecil dan menggoyangkan bahasa etnis yang besar. Melalui vernakularisasi, bahasa Indonesia menjadi bahasa dari masyarakat baru yang bernama masyarakat Indonesia. Benar adanya bahwa bahasa Melayu pada mulanya merupakan lingua franca ketika orang Eropa pada abad ke-15 mendarat di Selat Malaka, tersebar mulai dari daerah timur yaitu Maluku, Filipina di utara dan barat Samudra Hindia.

Sesudah merdeka, peranan bahasa Indonesia semakin jelas dan nyata. Dalam pergaulannya dengan bahasa-bahasa yang sudah terlebih dahulu ada di tanah air, identitas bahasa Indonesia semakin mengemuka. Namun bukan berarti bahasa Indonesia aman dari masalah. Justru masalah kebahasaan di Indonesia cukup rumit, tidak hanya mencakup aspek bahasa saja, tetapi juga melibatkan aspek pemakai dan pemakaiannya. Dari aspek bahasa, bahasa Indonesia berhadapan dengan bahasa asing, dan bahasa daerah. Pemakaian bahasa mengacu pada ranah pemakaian bahasa.

Secara politik bahasa, bahasa Indonesia menggunakan model kebijakan "formula tiga-bahasa" (bahasa nasional, bahasa asing, dan bahasa daerah) yang menurut Kedreogo cocok bagi negara yang multilingual. Kebijakan serupa diterapkan di India. Tentunya kebijakan bahasa ini dalam realisasinya tetap berlandaskan pada Pasal 36 UUD 1945.

Dalam perkembangannya, bahasa Indonesia tumbuh ke arah bahasa tinggi dan bahasa rendah, terutama pada komunikasi lisan. Hal ini terlihat pada ungkapan tertentu yang dipakai oleh para pemakainya (khususnya ketika terkait dengan kekuasaan) yang semakin meluas, terutama ketika rezim Orde Baru berkuasa.

Pada era Orde Baru, bahasa Indonesia diajarkan kepada siswa kelas 3 sekolah dasar. Sekarang ini, anak taman kanak-kanak pun sudah mendapatkannya. Hal ini tentunya sangat menguntungkan karena bahasa Indonesia bisa lebih mengindonesia sejak dini. Sisi lainnya, kebijakan ini seperti mengebiri potensi bahasa daerah terutama, meskipun sebenarnya dalam praktik pengajarannya bisa diberikan secara paralel. Gebrakan baru pemerintah pada masa Orde Baru ini adalah diberlakukannya Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) tahun 1972. Sebelum adanya EYD, Bahasa Indonesia yang digunakan masih diwarnai oleh bahasa etnis masing-masing atau unsur lain dari bahasa asing. Pemberlakuan EYD ditujukan untuk mengakomodasi keragaman bahasa yang ditemukan di tanah air ini.

Disinyalir di beberapa negara di dunia ini, isu penggunaan bahasa menjadi sumber konflik dalam negeri, seperti yang terjadi di Filipina. Menurut laporan dari hasil studi McFarland, Filipina memiliki sekitar 120 bahasa etnis. Bahasa Inggris dan bahasa Filipino merupakan bahasa resmi negara bekas jajahan Spanyol dan Amerika ini, sedangkan bahasa nasionalnya adalah bahasa Filipino. Bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa resmi negara karena dominannya penggunaan bahasa ini di berbagai bidang sejak berakhirnya penjajahan Amerika. Sementara itu bahasa Filipino sangat berdasarkan pada Tagalog yang merupakan bahasa dari tiga etnis besar di Filipina. Dalam kenyataannya, fungsi dan kegunaan bahasa Filipino baik dalam bidang pemerintahan, pengadilan dan pendidikan banyak terkalahkan oleh bahasa Inggris.

Pemerintah Filipina mengeluarkan kebijakan dwibahasa. Bahasa Filipino hanya digunakan dalam pengajaran bahasa Filipino dan studi Sosial. Sedangkan bahasa Inggris digunakan dalam mata ajar bahasa Inggris, matematika, dan Sains. Bahasa Filipino hanya digunakan di awal-awal masa pengajaran, dan selebihnya bahasa Inggris. Walhasil, bahasa Filipino sulit berkembang. Ketidakmampuan bahasa Filipino memenuhi tuntutan globalisasi mengakibatkan penguasaan bahasa Inggris semakin meningkat. Identitas kebangsaan negara ini semakin pudar dan terancam krisis.

India yang juga bekas jajahan Inggris, mendapatkan pengalaman yang kurang lebih sama hanya berbeda musababnya. Terjadi resistensi politik dari para pendukung bahasa etnis besar di bagian selatan India (bahasa Dravida dan Bengali) terhadap penggunaan bahasa Hindi sebagai bahasa nasional selain bahasa Inggris. Konstitusi 1950 yang memproklamasikan Hindi sebagai bahasa nasional terpaksa diamendemen untuk menghindari konflik antar etnis. Kebijakan baru menetapkan 12 bahasa sebagai bahasa resmi regional. Sedangkan bahasa Hindi dipilih sebagai bahasa nasional karena meskipun usianya baru 100 tahun, menurut Ghose dan Bhog bahasa ini memuat elemen-elemen dari bahasa yang usianya jauh lebih tua seperti Sansekerta, juga dari bahasa-bahasa regional dan lokal.

Kedua kasus di atas menggambarkan politik bahasa. Pertama, masalah dapat muncul karena adanya ketidakpuasan dari pihak pemakai bahasa atas ketidakmampuan bahasanya mengikuti tantangan zaman (kasus Filipino). Yang kedua adalah karena adanya kecemburuan sosial dari penutur bahasa etnis kecil terhadap etnis besar (kasus India). Lebih jauhnya apabila etnis kecil tidak ”berdaya” terhadap etnis besar, hal itu bisa mengakibatkan kematian bahasa.

Tampaknya, menyadari kemungkinan terburuk tersebut terjadi, pemerintah Indonesia cepat tanggap mengantisipasi potensi munculnya konflik karena bahasa ini. Menyikapi tantangan zaman atas kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi berupa persoalan tata istilah dan ungkapan ilmiah, pemerintah melalui Pusat Bahasa bekerja sama dengan para pakar dalam disiplin ilmu tertentu menerbitkan berbagai kamus. Bahasa di kalangan etnis-etnis kecil maupun etnis-etnis besar diupayakan untuk dipertahankan. Dalam pelaksanaannya kebijakan yang diterapkan pemerintah Indonesia berbeda dari negara-negara lain di dunia.

Untuk menangani masalah kecemburuan etnis ini, negara seperti India, Tanzania, atau Spanyol menerapkan kebijakan bahasa resmi regional. Sementara itu, Indonesia melakukannya melalui penerapan kebijakan muatan lokal dalam dunia pendidikan, yaitu program pendidikan yang isi dan media penyampaiannya dikaitkan dengan lingkungan alam, lingkungan sosial, lingkungan budaya, dan kebutuhan daerah yang perlu dipelajari murid. Selain hal-hal tersebut, tentunya media massa, guru bahasa Indonesia, penyuluhan bahasa Indonesia, pelibatan organisasi kepemudaan, kepedulian para petinggi negara maupun daerah sangat berperan dalam upaya pengindonesiaan bangsa.

Namun, dalam pengejawantahannya ada kendala. Dalam hal pengajaran, terlihat bahwa bahasa Indonesia tidak kontekstual dengan budaya lokal. Materi yang diajarkan di Pulau Jawa (sebutlah di pusat pemerintahan ibu kota Jakarta) sama dengan materi yang akan harus disampaikan di Papua. Perhatikan misalnya contoh-contoh latar budaya buku teks bahasa Indonesia di sekolah dasar yang sangat Pulau Jawa sentris dengan tokoh bernama Budi dan keluarganya. Kecerobohan lainnya kebanyakan terkait dengan sikap mental para pemakai bahasa yang terkadang kurang lihai menempatkan diri atau kurang bisa berperilaku bijak. Masih ditemui para oknum petinggi di negara kita yang kurang memedulikan seruan Pusat Bahasa akan norma bahasa, seperti penggunaan kata-kata: daripada, yang mana, di mana, dan saudara-saudara sekalian. Atau, masih ada di antaranya yang secara disengaja beralih menggunakan bahasa daerahnya dalam acara-acara resmi keindonesiaan.

Sering sekali ditemui, ketika oknum tersebut bertemu dengan sesama etnisnya, mereka langsung beralih menggunakan bahasanya sendiri, walaupun perlu diketahui bahwa hal itu tidaklah salah. Akan tetapi, secara norma pergaulan, cara seperti itu menunjukkan lemahnya sensitivitas budaya penuturnya di tengah-tengah keberagaman yang sedang ia hadapi. Apabila hal ini terjadi pada level elite, maka bisa memicu terjadinya konflik kepentingan yang eksesnya dapat terlihat dalam power sharing, pendayagunaan aspek ekonomi, dan kedekatan personal. Ekses negatif lainnya terutama, bila etnis minoritas memiliki semangat primordialisme tinggi terhadap etnis mayoritas, yang bisa menimbulkan stereotip terhadap etnis mayoritas dan yang lebih parahnya hal itu bisa mengantarkan pada munculnya resistansi terhadap etnis ini. Secara kasarnya, hal ini menimbulkan kesan imperialisme bahasa dalam bingkai keindonesiaan yang lebih modern.

Politik Bahasa ke Depan
Seiring dengan otonomi daerah, seharusnya kebijakan bahasa pun tidak lagi sentralistik karena dalam penyelenggaraan pemerintahan atau yang terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan baik secara langsung ataupun tidak, kebijakan ini secara politik telah dipergunakan oleh para elite untuk mengakomodasi kepentingannya memperkokoh dan memperpanjang waktu kekuasaan mereka. Di sisi lain, kenyataan di beberapa tempat malah memperlihatkan rendahnya dukungan politis dari lembaga politik daerah yaitu eksekutif dan legislatif terhadap pengembangan bahasa daerah.

Bagaimanapun, Indonesia termasuk salah satu negara yang sukses dalam politik bahasa. Bukti-bukti sejarah dan kenyataan mempersaksikannya. Walaupun demikian, masih ada celah yang harus ditutup agar bahasa Indonesia pada masa ke depan bisa lebih baik, di antaranya memperbaiki kesalahan-kesalahan yang sudah lewat terutama yang terkait dengan imperialisme bahasa; politik bahasa Indonesia tetap mempertimbangkan aspek keragaman bahasa (tidak represif); politik bahasa Indonesia hendaknya tidak terlalu berkiblat pada bahasa-bahasa di daerah Jawa terutama dalam hal peminjaman kata dan istilah yang selama ini disinyalir lebih mengakomodasi bahasa-bahasa di daerah Jawa. Adapun adanya sikap kurang bijak para pengguna bahasa, yang dari segi potensi bisa memunculkan konflik bahasa, sepertinya masih bisa tertangani. Ini hanyalah letupan-letupan kecil agar bangsa ini semakin dewasa menghadapi permasalahannya.
__________
E. Aminudin Aziz, adalah dosen pada Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris FPBS Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
*Artikel ini pernah dimuat pada Harian Pikiran Rakyat (www.pikiran-rakyat.com) pada tanggal 28 Oktober 2005, dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda yang ke 7

    Tuesday 2 November 2010

    Pelestari Karungut

    Syaer Sua, Hidupkan Huma Betang Budaya

















    SYAER SUA. (KOMPAS/M SYAIFULLAH)*** 
    Syaer Sua, Hidupkan Huma Betang Budaya
    Oleh M Syaifullah dan Defri Werdiono
    ”Cita-cita saya hanya satu. Jangan sampai adat budaya Dayak ditinggalkan. Saya lihat adat budaya kita makin tenggelam, lama-kelamaan nanti tinggal menjadi legenda.”
    Kata-kata itu diucapkan Syaer Sua, seniman Dayak Ngaju, saat ditemui di tempat tinggalnya di Desa Tumbang Manggu, Kecamatan Sanaman Mantikei, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah, pada Juni lalu. Impian melestarikan seni budaya itulah yang menggerakkan Syaer Sua membangun dua huma (rumah) betang tahun 2002-2008.
    Untuk mewujudkannya, pria bernama lengkap Syaer Sua U Rangka ini mendirikan bangunan rumah panjang khas Dayak, Kalimantan Tengah, itu di Tumbang Manggu, kawasan hulu Sungai Katingan. Ia sengaja tak membangun huma di ibu kota provinsi itu, Palangkaraya, tempatnya menapaki masa remaja selepas lulus sekolah rakyat.
    Tumbang Manggu adalah kampung asal orangtua Syaer. Dia sendiri lahir di Bukit Rawi, Kahayan Tengah, Kabupaten Katingan. Masa kecilnya dihabiskan di tempat itu sebelum pindah ke Palangkaraya.
    Sebelum hidup dan bermukim di rumah-rumah tunggal, masyarakat Dayak Kalimantan mendiami huma betang. Rumah itu dihuni puluhan keluarga yang umumnya masih kerabat. Satu kampung biasanya memiliki satu huma betang.
    Sampai kini hal itu masih dilakukan. Sebagian dari mereka tetap tinggal di rumah panjang. Namun, sebagian lainnya sudah meninggalkan huma betang. Mereka hanya berkumpul di rumah betang ketika ada upacara adat.
    ”Saya ingin mempertahankan budaya betang. Oleh karena itu, saya membangun ini (huma betang) meski biayanya tak terhitung,” katanya.
    Syaer Sua tak goyah walau ada orang yang menilai pembangunan rumah betang itu pekerjaan ”pemimpi”, bahkan dianggap aneh. Ia tetap berusaha mewujudkannya.
    Tahun 2002, ia mulai mencari pohon ulin atau belian (Eusideraoxylon zwageri) di hutan adat sebagai bahan baku utama. Rumah pertama itu kemudian diberi nama Betang Bintang Patendu.
    Lantai Rumah yang selesai dibangun tahun 2003 itu memiliki ketinggian sekitar empat meter dengan fondasi sekitar 70 pohon ulin. Luas bangunan utama 171 meter persegi. Sedangkan bangunan kedua, yakni dapur dan ruang makan, luasnya 135 meter persegi.
    Tahun 2005-2008 Syaer Sua membangun huma betang kedua bernama Balai Basara Bintang Semaya. Luas bangunan utama yang ditopang 80 pohon ulin sekitar 300 meter persegi dan bagian belakang 96 meter persegi.
    ”Pembuatannya lama. Selain menyesuaikan dana, bahan baku kayu ulin harus dicari ke dalam hutan selama dua-tiga bulan. Untung ada perusahaan perkayuan membantu pengangkutannya,” ujarnya.
    Karungut dan RRI
    Memiliki rumah betang, bagi Syaer Sua, tak sekadar wahana untuk menikmati hari tua. Tetapi, sebagai tempat pengembangan seni budaya Dayak di pedalaman Katingan. Oleh karena sebelumnya, tahun 1970-1980-an ia menekuni dan mengembangkan seni karungut di Palangkaraya.
    Karungut merupakan seni bertutur, semacam pantun atau syair tentang nilai moral, adat, perjuangan, bahkan pesan semangat untuk membangun. Seni ini diiringi ketabung atau kecapi khas Dayak, kakanong, suling, dan gendang. Bersama seniman lain, Syaer Sua bermain karungut di Radio Republik Indonesia (RRI) Palangkaraya setiap Minggu malam.
    Dari RRI, Syaer Sua kemudian dikenal sebagai salah satu pangarungut (seniman karungut) produkif. Ia tak hanya pandai melantunkan, tetapi juga mencipta ratusan judul karungut yang sifatnya spontan maupun tertulis.
    ”Saya lupa berapa banyak yang saya cipta, semua master rekamannya ada di RRI Palangkaraya,” katanya.
    Syaer Sua juga populer. Pengemarnya tak hanya dari Palangkaraya, tetapi juga masyarakat di beberapa daerah pedalaman di Kalteng yang terjangkau siaran radio.
    ”Kami tahu karena kerap mendapat kiriman pesan dari pendengar di pelosok,” katanya.
    Berkat kepiawaiannya, tahun 1970 Syaer Sua dipercaya pemerintah daerah tampil memainkan karungut serta tarian dayak di RRI dan TVRI Jakarta, termasuk pada peresmian Taman Mini Indonesia Indah. Bersama grup kesenian asal Kalteng, tahun 1992, Syaer Sua pentas di Spanyol, dan 1994 ia tampil di Kuala Lumpur, Malaysia, dan Singapura.
    Dalam empat kali lomba musik karungut tingkat Kalteng, Syaer Sua selalu juara, sampai-sampai ia tak boleh lagi ikut berlomba.
    Dia juga menjadi andalan Kalteng dalam olahraga sumpit. Beberapa kali ia meraih medali emas. Dia juga pernah melatih atlet sumpit Kalteng untuk Pekan Olahraga Nasional. Tahun 2001, ia diminta Panglima Kostrad untuk melatih keterampilan menyumpit kepada pasukan khusus.
    Enggan jadi pegawai
    Syaer Sua bercerita, dia sempat beberapa kali mendapat tawaran dari gubernur Kalteng untuk menjadi pegawai negeri atau terjun dalam partai politik. Namun, semua tawaran itu dia tolak.
    ”Saya tidak mampu melakukannya. Saya tidak suka politik yang banyak bohong,” katanya.
    Penghasilan Syaer Sua diperoleh, antara lain, dari pembuatan album musik karungut yang mencapai 20-an buah. Ratusan ribu keping VCD atau DVD album karungut Syaer Sua beredar di Kalteng. Selain penggemarnya, album Syaer Suar juga diminati para pakar musik etnik dari mancanegara.
    Dia bukanlah satu-satunya seniman karungut di Kalteng. Sedikitnya ada 10 pangarungut yang masih bertahan. Banyak anak muda yang masih menekuninya, terbukti dari keikutsertaan mereka pada lomba seni tradisional Dayak.
    Buah dari usaha Syaer Sua itu dirasakan warga Tumbang Manggu. Kampung yang ditempuh selama empat jam perjalanan darat dari Kota Palangkaraya ini menjadi salah satu tujuan wisata budaya dan alam yang menarik. Setiap tahun seratusan wisatawan mengunjungi kampung ini.
    Mereka, antara lain, bisa menikmati karungut, belajar menyumpit, mencicipi minuman dan makanan khas warga setempat. Mereka juga bisa menjelajah hutan melalui riam-riam pada beberapa anak Sungai Katingan. Semua itu menjadi pengalaman tersendiri buat wisatawan yang merasakan tinggal di huma betang.
    Pada perkembangannya, rumah betang menjadi terbuka bagi siapa saja yang cinta dan peduli seni budaya Kalimantan. Moto rumah ini: berbeda suku agama bukan penghalang, sudah membudaya dari nenek moyang, hidup rukun damai selalu berkembang, itulah yang disebut budaya betang.
    ”Saya tidak akan menyerah untuk bisa mewujudkannya,” demikian tekad Syaer Sua. ***
    Source : Kompas, Kamis, 8 Juli 2010 | 03:29 WIB

    BETANG BINTANG PATENDU

    Karungut Kal-Teng Membangun (karungut modern)

    Pertemuan 15 Teori Sastra Tempatan