Thursday 27 January 2011

Pementasan Tari dan Drama Tari Lakon "Bima Suci"

PEMENTASAN TARI DAN DRAMA TARI LAKON “BIMA SUCI”
SANGGAR SENI LANGGENG BUDAYA
JAKARTA, 20 FEBRUARI 2011

1. Latar Belakang
          Sikap hidup pragmatis pada sebagian be­sar masyarakat Indonesia mengakibatkan terki­kisnya nilai-nilai luhur budaya bangsa. Demikian halnya dengan budaya kekerasan dan anarkisme sosial yang turut serta memperparah kondisi sosial budaya bangsa Indonesia. Budaya adilu­hung dan edipeni bangsa sebagai nilai kearifan lokal (local wisdom) yang santun, saling menghormati, arif-bijaksana, dan religius, seakan terkikis dan tereduksi gaya hidup instan dan modern. Masyarakat sangat mudah tersulut emosinya, pemarah, brutal, anarkisme, kasar, dan vulgar, tanpa mampu mengendalikan hawa nafsunya. Fenomena ini dapat menjadi representasi mele­mahnya karakter bangsa yang terkenal dengan ramah, santun, berperti luhur, dan berbudi mulia.

Sebagai bangsa yang beradab dan ber­mar­tabat, situasi yang demikian itu jelas tidak menguntungkan bagi masa depan bangsa, khu­susnya dalam melahirkan generasi masa depan bangsa yang cerdas bijak bestari (mursid), terampil dan cendekia (sugih kagunan lan pangawikan), ber­budi pekerti luhur (luhur budinipun), berderajat mulia (luhur derajatnipun), berperadaban mulia (mulya gesangipun), serta berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, dibutuh­kan paradigma pendidikan kejiwaan yang berori­entasi pada karakter bangsa, yang tidak sekadar memburu kepentingan kognitif (pikir, nalar), tetapi memperhatikan dan mengintegrasi persoalan-persoalan moral dan keluhuran budi. Salah satu media pendidikan kejiwaan yang berorientasi karakter bangsa itu ialah melalui pertunjukan seni budaya tari nusantara dan drama tari wayang orang dengan lakon “Bima Suci”.

Pertunjukan seni budaya tari nusantara yang akan dipentaskan, meliputi: (1) tari Tiga Mentawai (Kalimantan),  (2) tari Wiranata (Bali), (3) tari Remong (Jawa Timur), (4) tari Piring (Minang), dan (5) tari Berburu (Papua) merepresentasikan budaya bangsa yang adiluhung dan edipeni, penuh nilai-nilai kearifan yang mampu menjadi teladan, dan kasih sayang kepada sesama hidup. Demikian halnya dengan seni budaya drama tari wayang orang dengan lakon “Bima Suci” ini juga merepresentasikan ketangguh­an, keunggulan, dan kesempurnaan tokoh Bima yang telah mampu dan berhasil memperoleh dan melaksanakan “Ilmu Sejati” yang menjukkan jalan kembali bertunggal dengan Tuhan yang Maha Esa di Taman Kemuliaan Abadi.

Untuk mencapai tujuan tersebut, Purusatama Wedding planner & organizer, yang juga peduli akan pembangunan dan pendidikan karakter bangsa, bekerja sama dengan Sekretariat Gedung Pewayangan Kautaman dan Sanggar Seni Langgeng Budaya, Jakarta, akan menyelenggarakan pagelaran tari nusantara dan drama tari wayang orang dengan lakon “Bima Suci”. Kegiatan ini penting dilakukan karena dengan pertunjukan tari nusantara dan drama tari wayang orang lakon “Bima Suci” itu merupakan langkah praktis suatu proses transformasi nilai-nilai karakter bangsa, yakni dengan meneladan nilai-nilai kearifan lokal budaya nusantara dan tokoh Bima yang mampu memperoleh “Ilmu Sejati” sehingga memiliki karakter yang tangguh, unggul, jujur, arif, bijaksana, kasih sayang, religius, dan berbakti kepada Tuhan yang Maha Esa.

2. Jenis Kegiatan
Pertunjukan seni budaya tari nusantara yang meliputi: (1) tari Tiga Mentawai (Kalimantan),  (2) tari Wiranata (Bali), (3) tari Remong (Jawa Timur), (4) tari Piring (Minang), (5) tari Berburu (Papua), dan (6) pertunjukan wayang orang dengan lakon “BIMA SUCI” oleh Sanggar Seni Langgeng Budaya, Jakarta, dengan pimpinan produksi Tati Prihanggodo, S.H.

3. Tujuan
  1. Menggali dan merepresentasikan nilai-nilai kearifan budaya nusantara yang terkandung dalam tari nusantara dan kisah “Bima Suci”.
  2. Mempedulikan dan melestarikan budaya bangsa tari nusantara dan wayang orang yang adiluhung dan edipeni.
  3. Mendidik jiwa dan karakter bangsa dengan meneladani nilai-nilai kearifan yang terkandung dalam tari nusantara dan kisah “Bima Suci”.
4. Waktu dan Tempat
          Pertunjukan tari nusantara dan drama tari wayang orang dengan lakon “Bima Suci” diadalan pada hari Minggu, 20 Februari 2011, pukul 15.30—18.00 WIB, di Teater Kautaman, Gedung Pewayangan Kautaman, Jalan Raya Pintu 1 Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur.

5. Penonton
          Penonton pertunjukan tari nusantara dan drama tari wayang orang dengan lakon “Bima Suci” ini diha­rap­kan hadir 500 orang, baik penonton undangan (pejabat pemerintahan dan swasta, para penaja atau sponsor, dan tokoh-tokoh masyarakat) maupun penonton umum yang berminat datang dari masyarakat secara umum.

6. Tiket Masuk
          Tiket masuk pertunjukan wayang ini dapat diperoleh melalui sekretariat Gedung Pewayangan Kautaman, Jalan Raya Pintu 1 TMII Jakarta Timur, setiap hari buku pukul 08.00—16.00 WIB, dengan harga tiket masuk:
VIP/utama    : Rp200.000,00
Biasa           : Rp150.000,00

7. Sinopsis Cerita
Bima Suci adalah Raden Bratasena, yang telah berhasil mendapatkan ”Ilmu Sejati” ialah ”Ilmu Sangkan Paraning Dumadi”, melalui petunjuk Sang Begawan Durna.

Raden Bratasena putra kedua Dewi Kunthi dengan mendiang Raja Pandhu Dewanata. Bratasena adalah satria yang gagah perkasa, tidak gentar dalam menghadapi segala rintangan walaupun harus terjun kedalam samudera untuk mendapatkan yang diinginkan agar cita-citanya tercapai.

Raden Bratasena sosok satria yang sangat patuh dan menghormati orang tua dan sayang kepada saudara-saudaranya, sebelum berangkat mencari ”Ilmu Sejati” ya ”Ilmu Sangkan Paraning Dumadi” terlebih dahulu minta do’a restu kepada Ibunda Dewi Kunthi. Dengan rasa haru, Dewi Kunthi merestui kepergian putra tercinta.

Dengan kegigihan Raden Bratasena, ter­ka­bul apa yang diinginkan. Setelah mendapatkan ”Ilmu Sejati” ialah ”Ilmu Sangkan Paraning Dumadi” ingin rasanya menyebarkan ilmu kepa­da semua umat. Terkandung niat dalam hatinya menjadi Brahmana dengan nama Begawan Bima Suci di Arga Kelasa wilayah negara Hastina.

Sebab menurutnya rakyat Hastinapura sangat membutuhkan ajaran hidup tentang kebenaran dan kesempurnaan. Raden Bratasena menganggap bahwa rakyat Hastina hidup dalam kekuasaan raja yang tamak, sehingga timbul dalam hati Raden Bratasena ingin sekali menjadikan rakyat Hastinapura menjadi umat yang baik.

Merasa posisi Prabu Duryudana terancam, maka ia mengirim utusan untuk mengusir Bima Suci. Dengan kegigihan Raden Bratasena, Sang Maha Kuasa memberikan perlindungan pada Bima Suci.

”Sura dira jayaningrat, lebur dening pangastuti”.

Sunday 23 January 2011

Sayembara Mithila

Sayembara Mithila

Suatu hari, cuaca cerah meliputi suasana Yogaasrama,
Rama, Laksmana, dan Maharesi Wiswamitra pergi bersama
Tujuan mereka tiada lain adalah tempat suci Sungai Gangga
Sungai Gangga adalah tempat untuk membersihkan segala dosa
Mereka dengan suka ria menaburkan bunga-bunga ke Sungai Gangga
Lalu menceburkan diri ke sungai mandi berendam di dalamnya

Badan terasa menjadi segar bugar penuh daya untuk kerja dan doa
Jiwa pun terasa disucikan kembali, sudah terbebas dari segala dosa
Setelah mandi di Sungai Gangga, mereka segera menuju ke negeri Mithila
Terbetik kabar berita bahwa negeri Mithila tengah mengadakan sayembara
Mencari suami bagi putri Prabu Janaka yang sangat jelita, bernama Sita
Maharesi Wiswamitra kali ini menugaskan Rama mengikuti sayembara
Sudah waktunya Rama tampil mengemban darma mulia sebagai ksatria

Syarat menangkan sayembara di negeri Mithila dirasa begitu berat adanya
Peserta sayembara harus mampu mengangkat busur anugerah Batara Siwa
Lalu, menarik talinya, dan kemudian mematahkan busur Gandewa raksasa
Sudah banyak para raja dan ksatria mencobanya, tetapi gagal semuanya

Busur Gandewa raksasa itu seakan menurutkan kata hati Dewi Sita
Sang Dewi belum tergerak hatinya untuk memilih salah seorang ksatria
Banyak para raja dan ksatria yang menjadi kecewa karena gagal mencoba
Seluruh rakyat negeri Mithila mulai cemas, sedih, dan berduka melihatnya

Atas restu Maharesi Wiswamitra, kemudian majulah Rama ke tengah arena
Langkah Rama yang sigap, tenang, dan penuh percaya diri meraih Gandewa
Sungguh ajaib! Dengan mudahnya Rama mengangkat busur Batara Siwa
Lalu, merentangkan talinya, dan kemudian mematahkannya menjadi dua

Hadirin bersorak-sorai dan berseru-seru memuji keperkasaan Rama
Dari tempatnya duduk agak di belakang, Sita tersenyum penuh ceria
Seketika itu pula Prabu Janaka segera naik ke arena tempat Rama berada
“Rama, akulah orang yang berbahagia di antara semua manusia di dunia,
Karena aku mendapatkan dirimu yang sungguh-sungguh gagah perwira.
Semoga engkau senantiasa selamat sejahtera selama-lamanya,”
sabda Raja Negeri Mithila sambil mengangkat kedua tangan Rama.

“Sembah sujud baktiku kepadamu wahai Raja Negeri Mithila,
Anggaplah aku sebagai putramu sendiri juga Prabu Janaka
Siramilah aku dengan kasih sayangmu yang tulus,” jawab Rama

Raja Janaka dengan suka cita lalu menuntun Rama turun dari Arena
Tanpa disia-siakan Dewi Sita pun segera menyambut kehadiran Rama
Perasaan berkecamuk menjadi satu antara senang, haru, dan bahagia
Mereka dipertemukan dalam suasana yang penuh haru dan rasa ceria

Di Balai Pertemua Prabu Janaka berbicara kepada Maharesi Wiswamitra:
“Guru yang kami muliakan, Rama telah berhasil memenangkan sayembara
Busur anugerah Batara Siwa telah berhasil diangkat dan dipatahkan Rama
Aku percaya bahwa kemampuan Rama yang demikian berkat asuhanmu juga
Serta dia selalu taat akan perintah guru. Oleh karenanya, Guru yang mulia
Perintahlah aku untuk melaksanakan apa-apa yang pantas aku lakukannya.”

“Wahai, Raja Negeri Mithila yang sungguh amat mulia, perkenankan kiranya
Raja Negeri Mithila segera menikahkan putranda Rama dengan Dewi Sita
Menurut tradisi wangsamu, mintalah engkau pertimbang para guru dan tetua
Agar selama prosesi pernikahan mereka lancar dan menemukan rasa bahagia
Utuslah pula seseorang segera ke Ayodya untuk memberi tahu Raja Dasarata
Undanglah beliau untuk dapat menghadiri upacara pernikahan putranya,”
jawab Maharesi Wiswamitra seraya memberi tanda setuju kepada Rama.


Monday 17 January 2011

Pendadaran di Yogaasrama

4. Pendadaran di Yogasarama

Di tengah suasana penuh gembira menyambut kehadiran putra raja,
yang baru tiba di Ayodya dari pertapaan pendeta negara Resi Wasista,
Datanglah di Ayodya Maharesi Wiswamitra didampingi Resi Wasista
Raja Dasarata pun menyambut kehadiran mereka dengan penuh suka cita
“Selamat datang di negeriku, wahai Maharesi Wiswamitra yang mulia
Adakah gerangan tujuan Paduka Maharesi berkenan datang di Ayodya,”
sabda Baginda Raja Dasarata setelah mempersilakan duduk tamunya.

“Wahai Raja Dasarata, engkau sungguh rendah hati dan berbudi mulia
Kedatanganku ke Ayodya hendak meminta bantuan menumpas angkara
Hutan tempat pertapaanku akhir-akhir ini diganggu oleh para raksasa
Mereka tak segan-segannya memporak-porandakan tempat puja brata
Para resi menjadi tidak tenang lagi melaksanakan berbagai upacara,
tentu bantuan dari negeri Kosala yang menjadi harapan para pertapa,”
tutur Maharesi Wismamitra menjawab pertanyaan Baginda Raja.

“Siapakah mereka berani membuat kekacauan di negeri bangsa Arya
Janganlah engkau merasa was-khawatir lagi Sang Maharesi Wiswamitra
Tentulah aku sebagai Raja Negeri Kosala melindungi setiap warganya
Sudah menjadi kewajiban raja untuk membantu pendeta dan pertapa,”
sabda Baginda Raja Dasarata dengan suara lantang penuh membara.

Maharesi Wiswamitra segera menjawab sabda Baginda Raja Dasarata:
“Mereka adalah Subahu dan kawan-kawan raksasa suruhan Rahwana
Dengan kekuatan gaibnya mereka berupaya memperdaya para pertapa
Oleh karenanya kami memohon bantuan Ananda Rama dan Laksmana
Agar berkenan menjadi pelindung dengan mengusir para raksasa.”

Baginda Raja Dasarata terkejut mendengar permintaan Wiswamitra
Rama dan Laksmana adalah kedua putranya masih sangat muda belia
Tentu belum berpengalaman di medan laga melawan para raksasa
Merasa ragu Baginda Raja Dasarata akan kemampuan kedua putranya

Keraguan Baginda Raja Dasarata tampaknya diketahui juga oleh Wasista
Dengan kerendahan hati Guru para ksatria itu memohon dikabulkannya
Percayalah bahwa Rama dan Laksmana mampu melindungi para pertapa
Meski berat hati, Raja Dasarata akhirnya meluluskan permintaan mereka

Hari itu juga Rama dan Laksmana kembali meninggalkan istana Ayodya
Maharesi Wiswamitra kembali ke pertapaan diiringi Rama dan Laksmana
Kedua ksatria itu kini menjadi murid utama Sang Maharesi Wiswamitra
Mengemban tugas mengusir para raksasa yang mengganggu para pertapa

Pertapaan Sang Maharesi Wiswamitra berada di tengah hutan Dandaka
Hutan lebat, belantara penuh mara bahaya, siapa pun berani melewatinya
taruhannya nyawa, binatang buas, jin, setan, dan raksasa siap memangsa
Rama dan Laksmana mengikuti pendadaran Sang Maharesi Wiswamitra.

Kedua ksatria diberi tambahan ilmu sebelum mengemban tugas mulia
Maharesi Wiswamitra berkenan menurunkan “Sanjiwani” kepada Rama
Kepada Laksmana, Wiswamitra berkenan memberi ilmu “Rajah Kalacakra”
Gabungan ilmu keduanya mampu menakhlukan segala angkara di dunia
Selain itu, Rama juga mendapatkan pusaka panah sakti Guwa Wijaya

Suatu malam telah larut, tiba-tiba datang raksasa Tadaka ke asrama
Secara beringas raksasa Tadaka memporak-porandakan altar gita puja
Rama dan Laksmana dengan cekatan segera berusaha mencegahnya
Melihat kehadiran dua ksatria itu Tadaka semakin membabi buta

Di malam yang gelap gulita terjadilah peperangan di antara mereka
Rama dan Laksamana dengan lincahnya melayani tingkah-polah raksasa
Namun, tiba-tiba datang raksasa lain yang sungguh banyak jumlahnya
Rama dan Laksamana segera mengambil busur dan anak panahnya
Satu per satu raksasa yang datang mengerubutnya itu tewas seketika
Anak panah sakti kedua kasatria itu mampu menyudahi riwayat mereka
Setelah menyelesaikan tugasnya, Rama dan Laksmana kembali ke asrama
Maharesi Wiswamitra merasa bangga menyambut kedua ksatria utama
Sejak saat itu pertapaan Yogaasrama tempat tinggal Wiswamitra
Kembali aman, tentram, dan tidak ada lagi gangguan dari para raksasa

Kedua ksatria digembleng mental dan kepribadiannya setangguh baja
Pendadaran di pertapaan Yogaasrama ini bagaikan kawah candradimuka
Dari bangun pagi hingga larut malam terus berlatih raga, pikir, dan rasa
Akhirnya, Rama dan Laksmana pun tumbuh menjadi ksatria purusatama.

Sunday 16 January 2011

Rama Bersaudara

3. Rama Bersaudara



Beberapa waktu setelah diadakan upacara aswameda,
Ketiga permaisuri jelita itu kemudian mengandung anak raja
Wajah cerah tampak berseri-seri menghiasi roman muka mereka
Baginda Raja Dasarata pun bersyukur dan merasa bahagia.

Setelah menunggu dengan gembira sembilan bulan lamanya
Permaisuri Kosala melahirkan seorang putra yang perwira
Anak itu sungguh tampan, gagah, dan diberi nama Rama,
dengan harapan kelak tumbuh menjadi ksatria pengemban darma.

Permaisuri Kekayi juga melahirkan seorang putra
Anak itu tampak gagah pemberani dan rupawan jua
Raja Dasarata memberi nama anak keduanya Bharata,
dengan harapan kelak menjadi ksatria masyhur di seluruh dunia.

Sementara itu, permaisuri raja yang ketiga, Sumitra
Dua anak lelaki kembar dilahirkan dari gua-garbanya
Laksmana, anak yang senantiasa patuh, tabah, dan jaya
Satruguna, ksatria pemberani dan pantang putus asa.

Keempat putra raja Dasarata keturunan Raghuwangsa
Menyatu dalam ikatan kasih sayang bersaudara
Rama dan Laksmana tumbuh sebagai ksatria utama
Bharata dan Sutruguna selalu patuh setia kepada saudara tua.

Untuk mengasah keterampilan mereka sebagai seorang ksatria
Raja Dasarata mempercayakan hal itu kepada Resi Wasista
Untuk mendidik, melatih, dan mengajarinya akan ilmu utama
Oleh karenanya mereka harus meninggalkan istana Ayodya.

Di tengah hutan belantara tempat pertapaan Resi Wasista
Bersama istri tercinta, Arundati, Sang Resi mendidik putra raja
Wasista mengajari mereka disiplin hidup, kerja keras, dan puja brata
Arundati mendampinginya dengan melatih kepekaan akan rasa,
menumbuhkan harga diri, semangat hidup, mencintai alam semesta,
berolah seni, dan menghaluskan budi pekerti yang luhur dan mulia.

Mereka berdua mendidik dengan mamadukan olah raga, pikir, dan rasa
Olah raga mengembangkan kekuatan jasmani agar gagah perkasa
Olah pikir membentuk ketajaman nalar secara cerdas bijaksana
Olah rasa menumbuhkan kepekaan supra-sosial kasih yang nyata
Cara pendidikan ini jikalau berhasil masuk ke dalam nurani siswa,
mereka akan menjadi ksatria yang berkepribadian utuh dan mulia.

Sudah bertahun-tahun lamanya mereka menjadi siswa Resi Wasista
Sang Resi telah mengajarkan segala ilmu yang dimilikinya
Arundati pun senantiasa mengamati kemajuan keempat putra raja
Suatu hari ibu asrama ini menghadap Sang Resi seraya berkata:
“Wahai Suamiku, sudah saatnyalah mereka kembali ke Ayodya
Segala ilmu yang kita miliki telah kita berikan kepada mereka
Kini, keempat putra raja itu tumbuh menjadi ksatria purusatama,
yakni sakti tak tertandingi, rendah hati, berpekerti luhur dan mulia.
Sudah saatnyalah mereka menghadap ayah-bunda di istana Ayodya.”

Suatu hari di musim semi angin menebarkan bau semerbak mewangi
Keempat putra raja Dasarata menghadap Guru hendak memohon diri
Dirasa telah cukup mereka menimba berbagai ilmu dari Sang Maharesi
Wasista dan Arundati pun melepas mereka pergi walaupun berat di hati.

Sesampainya di istana Ayodya, mereka segera menghadap Baginda Raja
Mewakili adik-adiknya, Rama menghaturkan sembah seraya berkata:
“Sembah bakti sujud Ananda semua sekiranya Ayah-Bunda terima
Kami telah menyelesaikan segala kewajiban sebagai siswa Resi Wasista
Segenap ilmu raga dan batin telah hamba pelajari dengan sempurna
Kini saatnya, kami semua siap sedia mengemban tugas mulia negara.”

Baginda Raja dan ketiga Permaisuri itu pun merasa bangga dan bahagia
“Wahai, anakku semua. Engkau kini telah tumbuh sebagai ksatria utama
Darma seorang ksatria utama memang harus mampu membela negara
Melindungi rakyat dari segala ancaman perbuatan jahat para angkara
Beristirahatlah terlebih dahulu engkau semua, tak perlu tergesa-gesa,”
sabda Baginda Raja kepada anak-anaknya yang baru tiba di Ayodya.

Kehadiran kembali putra-putra Raja Ayodya itu menyemarakkan suasana
Baginda bahagia melihat putra-putranya tumbuh sebagai ksatria utama
Apalagi mereka memiliki sifat-sifat yang sungguh berbudi pekerti mulia
Jujur, dapat dipercaya, sabar, adil, penuh kasih, santun, dan bijaksana.

Upacara Aswameda


Upacara Aswameda 

Kanda pertama Ramayana dinamai Balakanda
Kisah ini bermula dari negeri Ayodya
Prabu Dasarata memiliki tiga permaisuri jelita
Mereka adalah Kosala, Kekayi, dan Sumitra

Prabu Dasarata sedang bermuram durja
Sudah lama menikah tidak kunjung dikaruniai putra
Sehingga Raja Dasarata merasa dirinya hampa
Senantiasa gelisah, resah, kecewa, dan putus asa

Sutau hari, dalam keputusasaan Raja Dasarata
Datanglah guru negara mereka, Resi Wasista
Lalu, segeralah Sang Raja Dasarata bersabda:
“Wahai Guru yang mulia, satu-satunya permohonan hamba
Jangan biarkan matahari tenggelam bersama kematian hamba.”

Takzim hormat Raja diikuti juga ketiga permaisurinya
Raja Dasarata bersujud di hadapan Sang Resi Wasista
Sang Resi pun menerima sembah sujud mereka
Seraya berkata: “Baginda dan Tuanku Putri-Putri nan jelita
Janganlah engkau semua merana dan putus asa,
Tuhan tentu akan mengabulkan apa yang Tuan pinta
Namun, ada syarat yang harus dipenuhi jua
Upacara persembayangan memohon anugerah putra.”

“Jikalau hanya demikian yang menjadi persyaratannya,
Tentulah kami semua dapat melaksanakannya.
Untuk hal itu sekiranya tidak perlu ditunda-tunda,”
desak ketiga permaisuri raja dengan semangat membara.

“Tuanku Putri, mohon maaf beribu maaf sekiranya
Hamba bukanlah orang yang pantas memimpin upacara
Hanya mahaguru yang menguasai kitab Atharwa Weda
Berwenang memimpin upacara, yakni Maharesi Risyasringa.”

Atas saran bijakasana Resi Wasista itu selanjutnya
Raja Dasarata menghadap sendiri ke Maharesi Risyasringa
Sang Pertapa Mulia pun berkenan memimpin upacara aswameda,
yaitu upacara persembahan kuda untuk memohon anugerah putra.

Upacara aswameda dimulai dengan persembahan agnihotra
Pemujaan terhadap Brahma sebagai Hyang Widhi Sang Pencipta
Agnihotra dilaksanakan dengan melakukan sembahyang puja brata
Obor altar pemujaan menyala terang memancarkan sinar biru maya.

Kuda-kuda persembahan sebenarnya sebagai simbol nafsu manusia
Setiap saat, setiap waktu, nafsu-nafsu manusia harus dikendalikannya
Jangan sampai nafsu-nafsu manusia itu merajalela menjadi angkara
Mengatur sedemikian rupa nafsu hinga mampu melaksanakan tugas mulia

Kuda hitam sebagai nafsu Lauwamah berasal dari anasir tanah dunia
Dia berada di sekujur daging menjadi dasar kekuatan jasmani manusia
Lauwamah berwatak makan, minum, tidur, syahwat, tamak, iri, dan loba
Juga Lauwamah bersifat dengki, fitnah, munafik, aniaya, serta angkara
Apabila dapat dikendalikannya, Lauwamah itu dapat tahan menderita.

Kuda kuning berasal dari unsur air, ada di sumsum, nafsu Sufiah namanya
Kekuatan Sufiah dapat mendekatkan segala apa yang diinginkan manusia
Sufiah berwatak keinginan yang beraneka rupa yang terlintas di cipta
Apabila dapat dikendalikannya, Sufiah itu dapat menjadi cita-cita mulia.

Kuda merah berasal dari unsur api, ada di darah, nafsu Amarah namanya
Kekuatan Amarah sebagai motivator dapat menggerakkan kemauan manusia
Apabila Amarah kuat, manusia mempunyai kemauan yang tak kunjung reda
Amarah sewaktu-waktu dapat dilepasakan mendadak seketika itu juga
Apabila dapat dikendalikan, Amarah dapat menjadi sumber kekuatan kerja
yang tepat berdaya dan berhasil guna serta tak pernah mengenal putus asa.

Kuda putih berasal dari unsur suasana, berada di dalam napas manusia
Secara transenden, kuda putih melambangkan nafsu Mutmainah namanya
Kekuatan Mutmainah mampu menyusun kehidupan secara bersama-sama,
mendorong manusia mencapai persatuan dan kesatuan yang rukun sentosa,
rela berkorban, saling menghormati, dan kasih sayang terhadap sesama
serta bersatu kembali dengan Sang Pencipta yang didorong Mutmainah juga.

Makna upacara aswameda tiada lain mengatur kuda nafsu-nafsu manusia
Kombinasi Lauwamah, Amarah, dan Sufiah dapat menjadi kekuatan raga
Kombinasi demikian itu dapat berlebiham sehingga mendatangkan bencana
Sebaiknya dikombinasi antara Mutmainah, Amarah, dan Sufiah yang sentosa
agar dapat mendatangkan rasa aman, tentram, sejahtera, dan bahagia.

Saturday 15 January 2011

Perkenalkan Aku











  1. Perkenalkan Aku

Perkenalkan wahai Saudara
Aku adalah Ramayana
Kisahku semula berasal dari India
Walmiki itu penulis awalnya

Dalam khazanah sastra Jawa
Aku digubah juga oleh mereka
Dikenal sebagai Kakawin Ramayana
Berbentuk bahasa Jawa Kuna

Selain itu, dalam bahasa Jawa
Ada juga Aku dinamai Serat Rama 
Ditulis oleh pujangga Surakarta
Raden Ngabehi Jasadipura namanya

Masih berada di tanah Jawa
Kisahku dipakai sebagai relief candi
Kadang dibuat lakon sentratari
Sering sebagai pedalangan wayang kulit purwa

Di tanah Melayu Aku juga ada
Mereka menamakan Hikayat Sri Rama
Kisahku juga kurang lebih sama
Perjalanan hidup Sang Sri Rama

Asal-muasal kisahku, Ramayana
Ditulis dalam bahasa Sansekerta
Terdiri atas tujuh bab atau kanda
Itulah sebabnya disebut Saptakanda

          Agar saudaraku semua mengetahuinya
          Baiklah kukisahkan Wiracarita Ramayana
          Dari kanda pertama hingga ketujuh kanda
          Baik-baik bacalah dengan rasa suka cita.

Pertemuan 15 Teori Sastra Tempatan