Wednesday, 2 April 2014

SANG PARAMARTHA


Menyelami puisi-puisi di dalam antologi ini bagaikan diajak pesiar secara spiritual di tengah gelombang kehidupan manusia. Membayangkan puisi-puisi ini, paling tidak, seperti undhak-undhakan Candi Borobudur (kamadhatu, rupadhatu, arupadhatu). Di dalam antologi ini penyair membagi puisi-puisinya menjadi 4 bagian: “Mustika Dwipa”, “Sang Pencerah”, “Oh Dunia”, dan “Sang Nabi”. Memang tidak seperti pembagian di Candi Borobudur, tetapi pembagian di dalam antologi ini paling tidak mengingatkan kita bahwa Puji Santosa memang berusaha ingin membagi ‘ajarannya’ sesuai dengan konteksnya (ketika puisi-puisinya sampai di hadapan kita).
[Drs. Dhanu Priyo Brabowo, M.Hum.
Penerima Hadiah Sastra Rancage 2014
Peneliti Utama Bidang Sastra
Balai Bahasa Yogyakarta]


Judul antologi ini, Sang Paramartha, serta-merta menggiring pembaca ke arah berbagai ajaran, panduan, atau pedoman nilai untuk mencapai kesempurnaan dalam hidup di dunia dan di akhirat. Persoalannya adalah, mengapa penyair begitu terobsesi menawarkan ajaran-ajaran kesempurnaan melalui sastra? Apakah sastra itu? Mengapa seorang Puji Santosa, peneliti sastra senior dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa yang telah banyak menerbitkan kajian-kajian sastra, “turun gunung” dengan segudang ajarannya? Mengapa Sang Paramartha ini lahir di tahun politik 2014, tepat sebelum gonjang-ganjing suksesi kepemimpinan nasional bangsa Indonesia? Apa sajakah bekal yang diperlukan pembaca menikmati panorama puisi-puisi Puji Santosa?
 [Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum.
Dosen dan Pakar Ilmu Kritik Sastra
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta]


Sajak-sajak Puji Santosa yang terpumpun dalam antologi Sang Paramatha merupakan kumpulan sajak yang mengambil sumber dari kearifan ajaran moral dalam spiritualisme Jawa sebagaimana dijelaskan Yoseph Yapi Taum dan Dhanu Priyo Prabowo dalam tanggapan mereka untuk antologi ini. Sebagai pembaca non-Jawa, kesan pertama yang muncul setelah membaca antologi puisi Puji Santosa adalah sajak-sajak ini memiliki khalayak andaian (ostensible audience) dan khalayak sasaran (intended audience) pembaca Jawa yang memahami ajaran sinkretisme seperti Kejawen. Ajaran-ajaran Kejawen yang sangat kental menjadi isi sebagian besar sajak yang berjumlah sebanyak 93 sajak dalam antologi ini.
[Dr. Sastri Sunarti Sweeney, M.Hum.
Peneliti Sastra pada Badan Bahasa,
Redaktur Horision Online]



No comments:

Post a Comment

Pertemuan 15 Teori Sastra Tempatan