Menyelami puisi-puisi di dalam
antologi ini bagaikan diajak pesiar secara spiritual di tengah gelombang
kehidupan manusia. Membayangkan puisi-puisi ini, paling tidak, seperti undhak-undhakan Candi Borobudur (kamadhatu, rupadhatu, arupadhatu). Di
dalam antologi ini penyair membagi puisi-puisinya menjadi 4 bagian: “Mustika
Dwipa”, “Sang Pencerah”, “Oh Dunia”, dan “Sang Nabi”. Memang tidak seperti
pembagian di Candi Borobudur, tetapi pembagian di dalam antologi ini paling
tidak mengingatkan kita bahwa Puji Santosa memang berusaha ingin membagi
‘ajarannya’ sesuai dengan konteksnya (ketika puisi-puisinya sampai di hadapan
kita).
[Drs. Dhanu Priyo
Brabowo, M.Hum.
Penerima Hadiah
Sastra Rancage 2014
Peneliti Utama
Bidang Sastra
Balai Bahasa
Yogyakarta]
Judul antologi ini, Sang Paramartha, serta-merta menggiring
pembaca ke arah berbagai ajaran, panduan, atau pedoman nilai untuk mencapai
kesempurnaan dalam hidup di dunia dan di akhirat. Persoalannya adalah, mengapa
penyair begitu terobsesi menawarkan ajaran-ajaran kesempurnaan melalui sastra?
Apakah sastra itu? Mengapa seorang Puji Santosa, peneliti sastra senior dari
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa yang telah banyak menerbitkan
kajian-kajian sastra, “turun gunung” dengan segudang ajarannya? Mengapa Sang Paramartha ini lahir di tahun
politik 2014, tepat sebelum gonjang-ganjing suksesi kepemimpinan nasional
bangsa Indonesia? Apa sajakah bekal yang diperlukan pembaca menikmati panorama
puisi-puisi Puji Santosa?
[Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum.
Dosen dan Pakar
Ilmu Kritik Sastra
Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta]
Sajak-sajak Puji Santosa yang
terpumpun dalam antologi Sang Paramatha
merupakan kumpulan sajak yang mengambil sumber dari kearifan ajaran moral dalam
spiritualisme Jawa sebagaimana dijelaskan Yoseph Yapi Taum dan Dhanu Priyo
Prabowo dalam tanggapan mereka untuk antologi ini. Sebagai pembaca non-Jawa,
kesan pertama yang muncul setelah membaca antologi puisi Puji Santosa adalah
sajak-sajak ini memiliki khalayak andaian (ostensible
audience) dan khalayak sasaran (intended
audience) pembaca Jawa yang memahami ajaran sinkretisme seperti Kejawen. Ajaran-ajaran
Kejawen yang sangat kental menjadi isi sebagian besar sajak yang berjumlah
sebanyak 93 sajak dalam antologi ini.
[Dr. Sastri
Sunarti Sweeney, M.Hum.
Peneliti Sastra
pada Badan Bahasa,
Redaktur Horision Online]
No comments:
Post a Comment