Saturday, 26 March 2011

Numpang Bahtera Nuh Mengarungi Lautan Puisi

       


          Judul Buku   : Bahtera Kandas di Bukit: Kajian Semiotika Sajak-sajak Nuh
          Penulis        : Puji Santosa
          Penerbit      : PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, Solo
          Tahun          : 2003
          Halaman      : xii + 244
          Harga          : Rp35.000,00

          Kehadiran buku kritik puisi di negeri ini semakin semarak. Tahun 1980-an terbit buku kritik puisi Sosok Pribadi dalam Sajak (Subagio Sastrowardojo), Tergantung Pada Kata (A. Teeuw), Telaah Puisi Penyair Angkatan Baru (M,S. Hutagalung), kemudian tahun 1990-an terbit buku kritik puisi Dari Sunyi ke Bunyi (Hartoyo Andangdjaja), dan Sihir Rendra: Permainan Makna (Sapardi Djoko Damono), serta tahun 2000-an ini hadir buku kritik puisi Bahtera Kandas di Bukit: Kajian Semiotika Sajak-sajak Nuh (Puji Santosa).

          Buku Bahtera Kandas di Bukit membahas sepuluh sajak Indonesia modern yang menghadirkan Nuh, yaitu sajak “Hanya Satu”(1937) Amir Hamzah, “Kapal Nuh” (1957) dan “Nuh” (1972) Subagio Sastrowardojo, “Nuh” (1978) Sutardji Calzoum Bachri, “Perahu Kertas” (1982) dan “Pokok Kayu” (2000) Sapardi Djoko Damono, “Balada Nabi Nuh” (1994) Taufiq Ismail, “Numpang Perahu Nuh” (1996) Dorothea Rosa Herliany, “Nuh” (1998) Goenawan Mohamad, dan “Bahtera Nuh” (1999) A.D. Donggo, dengan menggunakan pendekatan semiotika dan intertekstualitas.

          Teori semiotika yang digunakan untuk menganalisis sepuluh sajak Indonesia modern yang menghadirkan Nuh itu terutama menggunakan tiga aspek tata sastra Todorov (1985), yaitu meliputi aspek sintaksis, aspek semantik, dan aspek verbal atau pengujaran. Berhubung objek yang dijadikan bahan penelaahan ini adalah sajak, maka aspek bentuk dan bunyi pun dipandang penting untuk dianalisis karena kedua aspek ini mendukung makna sajak. Adapun teori intertekstualitas yang digunakan adalah teori intertekstualitas yang mula-mula dikembangkan oleh Julia Kristeva (1969), yang menyatakan bahwa “setiap teks merupakan mosaik, kutipan-kutipan, penyerapan, dan transformasi teks-teks lain”.

          Tujuan utama penulisan buku ini mengungkapkan makna kehadiran Nuh dalam puisi Indonesia modern dengan cara mendeskripsikan dan menganalisis sepuluh sajak dari delapan penyair sastra Indonesia modern. Di sini kita seolah diajak berlayar menumpang Bahtera Nuh untuk mengarungi lautan puisi Indonesia modern selama satu abad.

          Buku ini dibuka dengan bab “Nuh dan Wacana Kenabian”. Seolah-olah kita dibawa berlayar menyusuri lautan puisi yang bertolak dari puisi-puisi kenabian karya Hamzah Fansuri, kemudian ke Pujangga Baru singgah sebentar ke puisi kenabian Amir Hamzah, berangkat lagi menuju ke Angkatan 45 dan berlabuh pada puisi-puisi Chairil Anwar. Seterusnya menuju ke puisi-puisi kenabian karya Sitor Situmorang, Hartojo Andangdjaja, Subagio Sastrowardojo, Sapardi Djoko Damono, Abdul Hadi W.M., Sutardji Calzoum Bachri, Goenawan Mohamad, Taufiq Ismail, Dorothea Rosa Herliany, dan A. D. Donggo.

          Meningkat pada bab kedua, “Makna Kehadiran Nuh dalam Konstelasi Sajak Kenabian” kita seolah dibawa menjelajahi gugus sajak demi gugus sajak setiap penyair, mulai dari Amir Hamzah hingga A.D, Donggo. Setelah membaca bab ini kita rasanya semakin dekat dan mengenal lebih jauh karakter sajak-sajak kenabian delapan penyair brilian sasrtra Indonesia modern.

          Sebaran sepuluh sajak Indonesia modern yang menghadirkan Nuh itu ter-nyata tersebar luas dalam penerbitan media cetak, seperti surat kabar, majalah sastra atau budaya, buku kumpulan sajak tunggal penyairnya, antologi bersama penyair lain, lampiran buku hasil penelitian, dikutip secara penuh dalam artikel sastra yang dimuat majalah atau buku, dan sampul rekaman kaset. Pemuatan sajak-sajak itu ada yang beberapa kali dalam penerbitan, bahkan ada yang sampai 16 kali. Hal ini menunjukkan bahwa sepuluh sajak yang menghadirkan Nuh itu cukup luas dikenal masyarakat pembaca di mana pun (Lampiran Data Sebaran Sajak, halaman 239–242).

          Puji, pada akhir bab mengelompokkan makna kehadiran Nuh dalam puisi Indonesia modern menjadi tiga sebagai berikut.

          Makna kehadiran Nuh dalam puisi Indonesia modern merupakan upaya penyatuan hasrat dan tujuan setiap manusia untuk kembali kepada Tuhan, seperti Nabi Musa bertemu Tuhan di puncak Tursina (“Hanya Satu” Amir Hamzah). Kehancuran kaum Nuh (bagian pertama sajak “Hanya Satu” Amir Hamzah, “Balada Nabi Nuh” Taufiq Ismail, dan “Nuh” Goenawan Mohamad) merupakan pelajaran bagi orang yang beriman agar tidak berbuat musyrik terhadap ayat-ayat Tuhan. Mereka yang berbuat musyrik itu akan ditenggelam-karamkan dengan azab Tuhan. Pertikaian di antara dua umat yang merupakan satu nenek moyang, Nuh sebagai kepala gembala atau “bapak segala nabi dan bangsa” setelah terjadinya bencana air bah, tidaklah ada gunanya. “Hanya Satu” yang menjadi teladan utama manusia agar selamat mencapai tujuan ialah selalu dekat rapat dengan Tuhan, mengikuti jejak Nabi Ibrahim dan keturunanya sebagai umat terpilih (termasuk Nabi Musa, Nabi Isa, dan Nabi Muhammad saw).

          Makna kehadiran Nuh dalam puisi Indonesia modern merupakan simbol: “kebenaran dicampakkan oleh umatnya” (“Nuh” Subagio Sastrowardojo), “pende-ritaan yang dalam ketika menghadapi bencana air bah” (“Nuh” Sutardji Calzo-um Bachri), “membutuhkan ketabahan dan ketawakalan dalam menghadapi umat yang musyrik” atau “Keadilan, per-kara besar, telah dibereskan Tuhan” (“Nuh” Goenawan Mohamad), “wakil zaman yang menyedihkan atau mengharukan” (“Balada Nabi Nuh” Taufiq Ismail), dan “upaya manusia untuk selalu menjaga lingkungan agar tidak terjadi bencana banjir” (“Pokok Kayu” Sapardi Djoko Damono).

          Makna kehadiran “jung bertudung/kapal/bahtera/perahu Nuh” dalam puisi Indonesia modern adalah sebagai metafora “penyelamatan umat yang terkasih dan senantiasa bersyukur” (“Hanya Satu” Amir Hamzah dan “Nuh” Goenawan Mohamad), “ajakan atau seruan untuk berkemas menuju ke tanah air baru yang lebih berseri” (“Kapal Nuh” Subagio Sastrowardojo dan “Bahtera Nuh” A.D. Donggo), “sandaran untuk menitipkan keselamatan dan harapan” (“Numpang Perahu Nuh” Dorothea Rosa Herliany), “penghargaan generasi tua kepada generasi muda” (“Perahu Kertas” Sapardi Djoko Damono), dan “puncak kesadaran hidup membumi” (“Nuh” Sutardji Cal-zoum Bachri).

          Hubungan intertekstual sajak-sajak yang menghadirkan Nuh dalam puisi Indonesia modern dengan teks kisah Nabi Nuh dalam Alkitab, Cerita-Cerita Alkitab: Perjanjian Lama, Al-Quran dan Tafsirnya, dan Surat Al-Anbiya dapat dijelaskan sebagai berikut.

          Sepuluh sajak Indonesia modern yang menghadirkan Nuh itu merupakan kreasi, varian, mosaik, serapan, kutipan-kutipan, dan hasil transformasi dari teks-teks kisah Nabi Nuh dalam Alkitab, Ce-rita-Cerita Alkitab: Perjanjian Lama, Al-Qur-an dan Tafsirnya, dan Surat Al-Anbiya. Se-cara genetik teks kisah Nabi Nuh yang terdapat dalam Alkitab, Cerita-Cerita Al-kitab: Perjanjian Lama, Al-Quran dan Tafsir-nya, dan Surat Al-Anbiya merupakan teks dasar yang menjadi rujukan atau acuan penulisan puisi Indonesia modern yang menghadirkan Nuh. Oleh karena itu, mosaik yang berupa kata, frasa, kalimat, dan bahkan gagasan yang terdapat dalam sepuluh sajak Indonesia modern yang menghadirkan Nuh itu dapat dilacakkan atau ditelusuri asal-muasal mosaik tersebut dalam teks kisah Nabi Nuh yang terungkap melalui buku-buku di atas.

          Sepuluh sajak Indonesia modern yang menghadirkan Nuh merupakan wujud nyata tafsir sipritual penyair sastra Indonesia modern yang kreatif terhadap teks kisah Nabi Nuh dalam ayat-ayat Alkitab, Cerita-Cerita Alkitab: Perjanjian Lama, Al-Quran dan Tafsirnya, dan Surat Al-Anbiya yang kemudian ditransforma-sikan ke dalam bahasa figuratif. Melalui bahasa figuratif itu penyair sastra Indonesia modern berusaha mengaktualkan sejarah keimanan Nabi Nuh yang mung-kin dilupakan oleh sebagian besar umat manusia yang hidup pada masa kini. Mereka menghadirkan Nuh ke dalam sajak-sajak Indonesia modern yang ditu-lisnya secara esensial tidak mengubah makna dari teks yang dirujuknya, yaitu pewartaan sejarah keimanan seorang nabi dan rasul yang berjuang keras menegak-kan kebenaran di jalan Allah. Ekspresi sepuluh sajak Indonesia modern yang menghadirkan Nuh itu dapat berbeda-beda, namun hakikatnya semua sajak berusaha mengukuhkan kembali keberadaan mitos Nabi Nuh di tengah-tengah kehidupan manusia sekarang.

          Beranalogi pada kisah Nuh yang terungkap dalam kitab suci yang menjadi acuan atau rujukan penulisan sajak Indonesia modern yang menghadirkan Nuh, secara intertekstualitas sepuluh sajak Indonesia modern tersebut juga merupakan tamsil bagi umat beriman dan bertakwa agar menegakkan kebenaran di jalan Allah. Sepuluh sajak Indonesia modern yang menghadirkan Nuh juga merupa-kan petunjuk yang nyata tentang tanda-tanda: (1) kebesaran, (2) kekuasaan, (3) kebijaksanaan, dan (4) keadilan Allah, sebagaimana ditunjukkan melalui kisah Nuh yang terungkap dalam Alkitab, Cerita-Cerita Alkitab: Perjanjian Lama, Al-Quran dan Tafsirnya, dan Surat Al-Anbiya.

          Sebagaimana telah dibuktikan dalam analisis semiotika dan intertekstualitas sepuluh sajak Indonesia modern yang menghadirkan Nuh itu merupakan ungkapan gagasan delapan penyair sastra Indonesia modern tentang pewartaan sejarah keimanan umat yang terpilih, yaitu Nuh. Gagasan tersebut harus digali melalui analogi unsur-unsur yang membentuknya--baik aspek bentuk dan bunyi, aspek sintaksis, aspek semantik, aspek pengujaran, maupun intertekstualitasnya secara keseluruhan sehingga diperoleh makna pewartaan sejarah keimanan umat yang terpilih tersebut. Demikian pula dengan konstelasi sajak yang menghadirkan Nuh dalam sebaran dan konteks dinamikanya menunjukkan adanya perluasan penyebaran pewartaan sejarah keimanan umat yang terpilih itu ke dalam berbagai media penerbitan, seperti surat kabar, majalah, buku, dan kaset rekaman. Penyebaran pewartaan sejarah keimanan umat yang terpilih ke dalam berbagai penerbitan itu diharapkan pembaca luas memiliki kesadaran kembali ke akar atau sumbernya, yaitu Alkitab dan Al-Quran.

          Buku Bahtera Kandas di Bukit: Kajian Semiotika Sajak-sajak Nuh dilihat sepintas dari sampulnya terkesan seperti buku cerita anak-anak. Namun, sesungguhnya buku ini merupakan sebuah kritik puisi tentang sajak Indonesia modern yang membahas khusus tentang sajak-sajak yang bermuatan Nuh. Berhubung dalamnya muatan isi buku ini dan tajamnya analisis seharusnya buku ini kita sambut dengn baik.  Mahasiswa, dosen, peneliti, dan pembaca yang berkecimpung dalam dunia kesusastraan dan sekaligus ingin mendalami dunia keagamaan melalui teladan nabi-nabi, amat pantas memiliki dan membaca buku ini. Bergegaslah menuju ke toko buku atau langsung pesan ke penerbitnya, Jalan Dr. Soepomo 23 Solo, Jawa Tengah.

2 comments:

  1. Gimana ya rasanya bisa menerbitkan sebuah buku? pasti luar biasa ya pak? salam takdzim saya...
    dytautami.wordpress.com

    ReplyDelete
  2. Seseorang dapat menerbitkan buku tentu rasanya senang, sebab dapat memberi sumbangan pemikiran terhadap masyarakat yang membutuhkan ilmu dan wawasan. Ada yang biasa-biasa saja dan ada yang luar biasa. Biasa-biasa saja kalau buku yang diterbitkan itu dibiayai sendiri dan tidak laku dipasaran. Sementara itu yang luar biasa apabila buku yang diterbitkan itu dibiayai oleh proyek, oleh DAK, dan bukunya laris manis di pasaran atau dibeli oleh proyek sehingga royaltinya dapat untuk naik haji atau membeli rumah dan kendaraan. Salam kreatif.

    ReplyDelete

Pertemuan 15 Teori Sastra Tempatan