Wednesday 23 March 2011

UPAYA MENCAPAI KEBAHAGIAAN HIDUP



           Semoga keselamatan, kesejahteraan, ketentraman, serta kebaha­giaan hidup senantiasa meliputi Bapak, Ibu, dan Saudara-saudara semua yang senantiasa berbakti, mengindahkan ajaran keutamaan, berjalan di jalan benar, jalan utama, dan tentu saja berbudi pekerti mulia dan luhur, oleh karena kasih, tuntunan, pencerahan, dan lindunganTuhan yang Maha Kuasa.
          Bapak, Ibu, dan Saudara-saudara yang saya muliakan.
          Apakah kebahagiaan hidup itu perlu diupayakan? O, ya jelas tentu, so, pasti, dan harus diupayakan, wajib diusahakan, dan hendaklah diikhtiarkan agar bahagia. Sebab mengapa? Kebahagiaan itu tidak datang dengan sendirinya. Kebahagiaan tidak datang secara tiba-tiba. Tidak ada orang yang bertopang dagu, melamun, atau menganggur itu merasa bahagia lahir dan batin, di dunia dan akhirat. Kebahagiaan itu harus dan harus diupayakan, diusahakan, diikhtiar­kan sekuat kemampuan untuk mencapai kebahagiaan yang abadi, lahir batin dunia akhirat. Oleh karena itu, kalau mampu, kebahagiaan harus diusahakan 99% melalui kerja keras (transpirasi), membanting tulang, bercucuran keringat, usaha dan ikhtiar secara terus-menerus, tanpa mengenal berputus asa, kalau perlu masih mampu dan kuat, siang malam tanpa henti-hentinya. Hanya 1% yang berupa inspirasi atau izin Tuhan. Artinya, kita harus betul mau makan SATE [Sregep, Anteban, Temenan, Eling; Rajin-tekun-ulet, Mantab, Sungguh-sungguh sekuat tenaga, dan Sadar/ berbakti). Jadi, kita harus ada semangat atau motivasi untuk meningkatkan derajat, harkat, dan martabat hidup kita, jangan sampai keplorot (turun drastis) gara-gara suka makan BAKMI [Bosenan, Aras-arasen, Kesed, Malesan, Isinan; Bosanan, mudah jemu, segan, malas, dendaman, maluan].
Mengapa dan mengapa setiap orang yang hidup di dunia ini selalu, bahkan menginginkan kebahagiaan hidup? Mereka menambahkan keinginannya, kalau dapat ”bahagia hidup di dunia hingga di akhirat”. Artinya, mereka menginginkan rasa bahagia itu dapat dirasakan dan dimilikinya ketika masih berada di dunia ini hingga nanti apabila sudah sampai waktunya hidup di akhirat pun juga hidup bahagia. Wah, ini jelas suatu cita-cita dan tujuan hidup yang sungguh mulia, luhur, dan agung. Bahkan, apabila kelak pada waktunya dipanggil Tuhan dapat kembali ke pangkuan Tuhan Sejati di Taman Kemuliaan Abadi yang penuh diliputi rasa tentram, bahagia, dan kasih sayang.  Hal ini merupakan puncak kebahagiaan hidup apabila seseorang dapat bertunggal kembali dengan Tuhan yang Maha Esa di mahligai suci, bebas lepas dari hukum angger-angger langeng, yang berarti dapat memperoleh wahyu kemerdekaan dunia, bebas tinimbal lahir.
          Keinginan, kemauan, atau cita-cita hidup bahagia, lahir batin, dunia akhirat, tentu dambaan setiap orang, setiap insan yang sejati. Akan tetapi, kenyataan secara umum, kebanyakan, yang dihadapi oleh manusia adalah hidup di dunia penuh dengan berbagai cobaan, penderitaan, kesengsaraan, kemelaratan, kesialan, kemalangan, kesedihan, bencana, malapetaka, menderita sakit yang berkepanjangan, duka lara, sedih, pilu yang datang silih berganti tiada henti-hentinya. Mangkono lelakon urip ana ing donya iki [Demikian perjalanan hidup di dunia ini].
          We lha, donya [Oh, dunia]. Apakah dunia? Pangandika-Nya Pakde Narto dalam buku Taman Kamulyan Langgeng [Taman Kemuliaan Abadi] Bab I: ”donya, kerata-basanipun adon-adon kang onya utawi ndon (tegesipun: panggenan), onya (tegesipun risak). Panggenan ingkang kenging risak, ewah utawi gingsir, kawontenan ingkang boten langgeng” [Dunia itu tempat hal-hal yang dapat rusak, berubah-berganti, keadan yang tidak kekal, maka disebut sebagai dunia fana]. Ketika masih muda belia, seseorang itu tampak kuat sehat, rosa, penuh vitalitas hidup, bergairah, dan bersemangat. Lalu, bagaimana ketika memusaki usia lanjut, usia senja, 40 tahun ke atas, tentu stamina tubuh telah menurun, berpenyakitan datang silih berganti, gigi mulai banyak yang tanggal, rambut pun beruban, bahkan ada yang sudah putih semua, kadar gula darah tinggi, asam urat, mata mulai rabun, bahkan katarak, pendengaran mulai berkurang, ada juga penyakit ambeen, yang darah rendah semakin rendah, yang darah tinggi, semakin tidak terkendali, olah raga jarang dilakukan, dan berbagai hal lain yang menyebabkan semakin menurunnya stamina tubuh yang semakin tua renta ini, tidak kuat lagi memikul beban hidup.
Gambaran tentang dunia seperti itu dibuat tembang oleh Pakde Narto, dalam buku ”Sosotya Rinonce” sebagai berikut.
O, DONYA ...

Yen rinasa saya angranuhi,
Yen ginagas saya angalela,
Lelakon ing donya kiye
Kabeh tan ana tulus
Bungah susah gilir gumanti
Warna-warneng panandang
Teka pating jredul
Kabeh kang asifat gesang
Pinacangken: tuwa-jompo-lara-mati,
Tan bisa suminggaha.

[Apabila dirasakan semakin pedih dan membimbangkan hati,
Apabila dipikirkan semakin membingungkan
Nasib hidup di dunia ini
Semuanya tidak ada yang tulus-lurus
Senang susah silih berganti
Beraneka macam penderitaan hidup
Saling datang bermunculan
Semua yang bersifat hidup
Dipancangkan tua renta, jompo, sakit, dan mati
Tidak bisa mengelak atau menghindarinya.]

Apa baya tujuaning urip
Perlu apa manungsa tinitah
Kang beda-beda nasibe
Ana dadi gupernur
Weneh dadi perdana menteri
Ana kang nyurung grobag
Ana ingkang nganggur
Ana kang dadi hartawan
Sugih banda raja brana mas lan picis
Ana miskin papriman.

[Apa sebenarnya tujuannya hidup
Apa perlunya manusia ditakdirkan hidup di dunia
Yang berbeda-beda nasibnya
Ada yang menjadi gubernur
Ada juga yang menjadi perdana menteri
Ada yang mendorong gerobak
Ada yang pengangguran
Ada yang menjadi hartawan
Kaya harta benda, uang, emas-emasan, dan perhiasan
Ada fakir miskin peminta-minta.]

Yen ngelingi uriping pra jalmi
Ingkang miskin apa sugih banda
Luhur lan asor derajade
Kabeh iku tan mrucut
Pada nandang lahir batin
Bungah kalawan susah
Kojur miwah mujur
Kadiparan marganira
Luwar saka panandang kang warni-warni
Mulya donya akhirat.

[Apabila mengingat akan kehidupan manusia
Yang miskin dan yang kaya harta benda
Yang berderajat luhur mulia dan yang hina dina
Semuanya itu tidak terlepas
Dari penderitaan lahir dan batin,
Senang dan susah
Malang (sial) dan beruntung (mujur)
Lalu, bagaimana jalannya
Terbebas dari penderitan hidup yang bermacam-macam itu?
Berbahagia mulia di dunia dan akhirat.]

Kang anglamun kagyat amiarsi,
Bisikan dening kadang wreda
Mangkana ing pamangsite
Wruhanta kadang ulun
Lamun sira kepingin uning
Bab tujuaning gesang
Adiling Hyang Agung
Lan wudar saka panandang
Ayem tentrem mulya donya prapteng akhir
Den enggal sesucia.

[Dia yang melamun mendadak kaget mendengar,
Bisikannya saudara tua
Demikian di dalam nasihatnya
Ketahuilah suadaraku yang terkasih
Apabila engkau ingin mengetahui
Persoalan tujuan hidup,
Keadilan Tuhan Yang Mahaagung,
Dan bebas lepas dari penderitaan
Tenang, tenteram, damai, mulia, bahagia dunia hingga akhirat
Segeralah bersesuci.]

Atinira kumbahen kang suci
Klawan tirta sari panca sila
Winantu tapa bratane
Kang tetep amituhu
Angestoke dhawuhing Widdhi
Lan aja wani nerak
Pepacuh Hyang Agung
Kasbut dhawuh kang winedar
Ing pustaka sinuci Sasangka Jati
Sejatining pepadang.

[Cucilah hatimu hingga suci bersih
Dengan air sari panca sila
Disertai melakukan tapa brata
Yang tetaplah taatmu
Melaksanakan sabda wejangan Tuhan Yang Maha Esa
Dan janganlah berani menerjang/melanggar
Larangan Tuhan Yang Mahaagung
Tersebut sabda wejangan yang terbabar
Dalam pustaka tersucikan Sasangka Jati
Sejatinya pepadang Tuhan.]

Resep mencapai hidup bahagia dari Pakde Narto tersebut boleh dicoba oleh siapa saja, sinten kemawon, dan tidak usah membayarnya dengan uang, cukup dengan pengorbanan tenaga, rasa dan perasaan kita. Resep yang ampuh dan mujarab dari Pakde Narto dalam bentuk tembang dhandhang­gula tersebut ditulis ketika sedang istirahat tiduran, di pondok Gondang-Binangun, 25—26 Agustus 1955, ketika Beliau sedang merasakan lesunya badan jasmani karena sehabis menderita raga, lalu di dalam rasanya melihat seorang calon siswa yang sedang melamun dengan bertopang dagu, terlihat sekali calon siswa tersebut sedang berduka lara, sedih, kecewa, atau masgul. Akhirnya, jadilah rangkaian tembang dhandhanggula yang berjudul ”O, Dunia” ini untuk mengingatkan kita semua agar kembali ke jalan penyiswaan, yakni berusaha bersesuci dengan menetapi watak uta­ma Hastha Sila, melalui tangga Jalan Rahayu, dan tidak menerjang Paliwara.
Kemudian, selanjutnya dalam Serat Warisan Langgeng, masih berupa tem­bang dhandhanggula, bait ke 10 dan 11, Pakde Narto menunjukkan jalan untuk meraih kebahagiaan hidup sejati itu sebagai berikut.
Dadalane kang den ambah kaki
tarlen saking padha angestokna
Guru Sejati dhawuhe
wejangan kang wus kasbut
Hastha Sila ingkang jinarwi
tetap eling pracaya
katri amituhu
mring Allah kang Maha Tunggal
kang jumeneng njroning ati kang sinuci
sinebut Tripurusa.

Atinira kumbahen kang suci
klawan tirta sari Panca Sila
winantu tapa bratane
ameper hawa nafsu
kang tumuju tindak tan yukti
ing tekad den santosa
kababaring laku
anindakna budi-darma
welas asih marang sagunging dumadi
angorbana pangrasa.

[Adapun jalan yang harus engkau lalui anakku
Tiada lain hanya melaksanakan
Sabda Sang Guru Sejati
Yakni wejangan yang telah disebutkan
Hastha Sila yang telah diterang-jelaskan
Hendaknya tetap sadar, percaya
Ketiganya taat
kepada Allah Yang Maha Tunggal
yang bersinggasana di dalam lubuk hati yang tersucikan
disebut Tripurusa.

Hatimu segara cucilah yang bersih (suci)
dengan sari air Panca Sila
disertai dengan melakukan tapa brata
mengendalikan hawa nafsu
yang menuju ke tindakan yang tercela
sentosakanlah tekadmu
wujudkanlah dalam laku tindak pekertimu
melaksanakan budi darma
kasih sayang terhadap semua makhluk
berkorbanlah rasa-perasaan.]

Itulah resep yang mujarab, ampuh, dan cespleng untuk dapat mencapai kebahagiaan hidup sejati di dunia dan akhirat warisan Pakde Narto. Sungguh kita beruntung, begja kemayangan, mendapat kesem­patan menjadi siswa, menemukan Ajaran Sang Guru Sejati yang terukir dalam pustaka suci Sasangka Jati, dan ikut mengenyam nikmat­nya menyiswa kepada Suksma Sejati, Utusan Tuhan yang abadi, Guru Dunia, Nur Muhammad, Nur Dattullah, ya Sang Kristus.
Bapak, Ibu, dan Saudara-saudara yang berbahagia.
Seseorang, atau kita semua, untuk memperoleh kebahagiaan hidup itu ada tahap-tahapnya. Lho, kok begitu? Kenapa dan mengapa? Tidak mungkin alias mustahil kita mendapatkan kebahagiaan hidup itu secara tiba-tiba. Ya apa tidak, Bapak/Ibu? ”Sumurupa, ora ana kadadean kang tanpa sebab” [Ketahuilah, tidak ada satu pun kejadian atau peristiwa yang tanpa sebab]. Demikian nasihat Bapak Pangrasa dalam buku Bawa Raos Ing Salebeting Raos [Olah Rasa di Dalam Rasa].
Semua kejadian atau peristiwa tentu ada sebab-musababnya, ada rangkaian sebab-akibatnya. Demikian juga kita memperoleh kebahagiaan hidup itu. Semua bukan hadiah tiba-tiba. Marilah kembali kita renungkan makna kata-kata yang terungkap dalam “Sasanti Karahayon” dalam setiap pembukaan olah rasa. ”Mugi karahayon, katentreman, tuwin kabahagian tetap kasalira dening bapak, ibu, lan para warga Paguyuban Ngesti Tunggal, awit saking sih, tuntunan, pepadang, tuwin pangayomanipun Sang Guru Sejati.”. Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi: ”Semoga kesejahteraan, ketentraman, dan kebahagiaan tetap meliputi bapak, ibu, dan para warga Paguyuban Ngesti Tunggal, karena sih, tuntunan, pepadang, dan lindungan Sang Guru Sejati”.
Bapak, Ibu, dan Saudara-saudara semuanya, untuk dapat mencapai kebahagiaan hidup itu ternyata harus mendapatkan terlebih dahulu apa yang disebut dengan ”karahayon”, yakni keselamatan dan kesejahteraan lahir dan batin di dunia hingga di akhirat, selamat sejahtera. Kata kesejahteraan jangan hanya dipa­hami dengan tercukupinya kebutuhan material, sandang, pangan, dan papan. Akan tetapi, kesejahteraan juga mencakupi rasa aman sentosa, subur mak­mur, dan selamat (terlepas dari segala macam gangguan atau bencana). Setelah benar-benar “karahayon” dapat kita peroleh, lalu meningkat jalan kita untuk dapat menemukan ”katentreman”, yakni ketentraman dan kedamaian (rasa ayem tentrem sidem jinem). Setelah itu semua kita peroleh, barulah kita mendapatkan apa yang namanya ”kabahagian” [kebahagiaan].
Apabila ketiga hal itu, ”karahayon, katentreman, tuwin kabaha­gian”, sudah tetap senantiasa ”kasalira” [melebur luluh menjadi satu dengan badan jasmani kasar dan jasmani halus, sudah meraga], hal itu berarti kita telah mencapai kebahagiaan sejati atau mencapai kasunyatan jati. Tentu semua itu dapat tercapai karena kasih, tuntunan, pepadang, dan lindungan Sang Guru Sejati. Puncak kebahagiaan itu, seperti yang termaktub dalam tembang ”O, Donya..” adalah: ”wudar saka panandang/ Ayem tentrem mulya donya prapteng akhir” [bebas lepas dari penderitaan,/ tenang, tenteram, damai, mulia, bahagia dunia hingga akhirat].
Pakde Narto dalam Serat Warisan Langgeng menggambarkan orang yang mendapatkan kebahagiaan sejati tersebut sebagai berikut.
Wruhanira janma kang wus manjing
wiwaraning Pura Pamudharan
rasa bagya ing batine
ayem tentrem budyayu
Ujwalane pasemon kengis
sunaring tyas kawuryan
ngumala ngunguwung
pangucap weh sreping liyan
mungkur marang krameyan mung mamalad sih
sihing Suksma Kawekas.

Dene kang wus malbeng jroning Puri
Pamudharan ingkang sanyatanya
sirna rasa-pangrasane
mati kalawan hidup
rasa bungah-susah sirnating
ruwat sagung panandhang
tatali wus putus
kang nangsaya batinira
tarlen saking megat katresnan-nireki
marang kang para cidra.

Pangrasane pan wus dadi siji
lan sagung ingkang sipat gesang
anglimputi sakabehe
welas asih satuhu
marang kabeh kang sipat urip
adil apara marta
ambeg budi luhur
sasat sarira Suksmana
wudhar saking ngger-angger tumimbal lahir
winahyu mardhikeng rat.

          [Ketahuilah, manusia yang sudah masuk
ke pintu gerbang Istana Pamudharan
rasa bahagia di dalam batinnya
tenang, tenteram, berbudi mulia
wajahnya bersinar dapat diibaratkan
bersinarnya hati tersingkap
bagai intan permata yang mempelangi
ucapan mampu memberi ketenteram orang lain
meninggalkan dunia keramaian, hanya semata memohon sih
Kasih Tuhan Yang Maha Esa.

          Adapun manusia yang telah masuk di dalam Istana
Pamudharan yang sebenar-benarnya
sirna rasa-perasaannya
(tentang) mati dengan hidup
rasa senang-susah pun sirna
terbebas (dari) semua penderitaan
tali-tali telah putus
yang mengikat batinmu
tiada lain dari (usaha) memisahkan kecintaanmu
terhadap semua yang dusta (ingkar).

          Rasa-perasaanya sebab telah menjadi satu
dengan sumua yang bersifat hidup
meliputi keseluruhannya
kasih sayang yang sesungguhnya
terhadap semua yang bersifat hidup
adil merata keseluruh yang bersifat hidup
berwatak budi luhur
seakan-akan berbadan ke-Tuhan-an
bebas lepas dari hukum terlahir kembali
(memperoleh) wahyu kemerdekaan (pembebasan) dunia].

Bapak, Ibu, dan Saudara-saudaku semua yang berbaha­gia. Sebagai penutup olah rasa kita pada pagi hari ini, saya akan mengutip Sabda Suksma Sejati dalam pustaka suci Sasangka Jati yang menje­laskan tentang bahagia pada bab ”Mujur dan Malangnya Perjalanan Hidup” bagian dari Sangkan Paran, demikian sabdanya:
Sekarang Aku hendak menerangkan mengenai sejatinya yang disebut bahagia. Bagi jiwamu, yang dianggap bahagia adalah apabila engkau dapat dekat dengan Tuhan atau Aku (Suksma Sejati). Arti­nya, engkau dapat menerima pepadang Tuhan. Jadi, betapapun wujud kebahagiaan lahir dalam kehidupan dunia ini, apabila engkau jauh dari Tuhan atau lupa kepada Tuhan, engkau sengsara dalam wawasan jiwamu, sebab engkau tidak mengerti akan tujuan hidup yang senyata-nyatanya. Sebaliknya, betapapun wujud kesengsraan lahir mengenai kehidupan dunia ini, seperti: menderita papa dan sebagainya, apabila engkau sangat dekat dengan Tuhan, mengenai jiwamu: engkau adalah makhluk yang paling bahagia di antara sesama makhluk hidup di dunia ini. Sebab, dalam hal mujur dan malangnya perjalanan hidup mengenai kehidupanmu di dunia, dalam wawasan jiwamu tidak ada, karena keadaan jiwamu itu abadi dan tenteram. Jadi, tidak terpengaruh oleh rasa suka dan susah serta giris, atau oleh semua keadaan yang berubah berganti”.
Ketika masih sugengnya Ibu Marsaid Susilo dahulu, kalau saya tidak salah dengar, beliau mengatakan bahwa ada tujuh tanda-tanda seseorang itu dekat dengan Sang Guru Sejati, sangat dikasihi Tuhan, adalah:
  1. MAT (Marem, Ayem, Tentrem). Suatu keadaan jiwa yang dapat merasakan betapa puas, lega, tenang, damai, penuh ketenteraman, dan sejahtera, di mana pun kita berada tetap merasakan ketenangan, ketentraman, dan kedamaian, sebab Tuhan sumber kasih, ketenangan, dan ketentraman.
  2. Banyak permohononan kita yang dikabulkan atau diperkenankan Tuhan. Hal ini sebagai tanda betapa Tuhan penuh kasih kepada semua makhluknya. Akan tetapi, kasih Tuhan tidak dapat didikte oleh siapa pun. Kasih Tuhan dianugerahkan kepada siapa pun yang senantiasa berbakti, yang benar-benar taat melaksanakan perintah dan menjauhi semua larangan-Nya, serta yang benar-benar yakin atau beriman kepada-Nya.
  3. Apabila memberi cepat kembali, semakin memberi banyak kepada orang lain yang membutuhkan atau memerlukan bantuan, kembalinya kepada kita juga semakin banyak berlipat. Apabila saldo kebajikannya kita melimpah, sehingga cepat kembali apa pun yang diberikan kepada orang lain yang memerlukan bantuan itu. Kita mendekat kepada Tuhan satu langkah, Tuhan akan menyambutnya sepuluh langkah, demikian seterusnya.
  4. Seringkali kita diberi pinjaman kebijaksanaan Tuhan, dapat memecahkan persoalan yang dihadapiu oleh diri sendiri dan orang lain. Hal ini jelas merupakan buah dari sadar (berbakti) kita kepada Tuhan. Barang siapa yang senantiasa berbakti kepada Tuhan dengan penuh keimanan dan ketakwaan, sinar pencerahan kebijaksanaan Tuhan senantiasa menyertainya.
  5. Sering pula kita diberi pinjaman kekuasaan Tuhan, berkuasa menjadi Ketua Tim, berkuasa mendapat jabatan, dan lain sebagainya. Hal ini jelas merupakan buah dari percaya, keyakinan, keimanan kita kepada Tuhan. Keimanam yang bulat mendatangkan kekuasaan yang luar biasa, bisa ngampil panguwasa. Syarat keimanan yang bukat adalah (1) Tidak menyekutukan Tuhan, tidak sirik atau musyrik, (2) Tidak percaya lagi pada tahyul, gugon tuhon, ramalan nasib, ramalan bintang, perdukunan, dan lainnya, dan (3) Tidak lagi memiliki rasa waswas, khawatir, ragu-ragu, dan bimbang.
  6. Kita juga diperkenankan dapat membabarkan karsa Tuhan. Hal ini buah dari taat melaksanakan perintah dan menjahiu semua larangan, atau hasil dari ketakwaan kita kepada Tuhan yang Maha Esa. Dalam Serat Warisan Langgeng bagian 3, ”Mijil” apabila kita dapat: Melaksanakan Dasa Sila (itu) sungguh/ mendapat anugerah Tuhan/ teratur mengalir hingga mendapatkan rasa tata tenteram bahagia selamanya/ kasih Tuhan turun mengalir terus-menerus tanpa henti/ apa yang diangankan dapat terlaksana/ apa yang dikehendaki pun diperkenankan (dikabulkan). Luar biasa, “saciptanta dadi, sakarsa jinurung”.
  7. Sudah tidak memiliki keinginan apa-apa lagi, sudah merasakan kebahagiaan hidup sejati, bertunggal dengan Suksma Kawekas dan Suksma Sejati, mencapai kasunyatan jati. Hidup bahagia lahir batin penuh kasih, tentram, damai, dan sejahtera.

Satuhu.                                                               Bekasi, 23 Maret 2011

No comments:

Post a Comment

Pertemuan 15 Teori Sastra Tempatan