Wednesday, 2 March 2011

Dunia Kesastraan Nasjah Djamin


Hubungan Indonesia dengan Malaysia, negara serumpun, pernah mengalami pasang surut. Ketika penjajah Inggris memberi hak kemerdekaan kepada bekas jajahannya di semenanjung Malaka dan sekitarnya, termasuk wilayah Kalimanta Utara, pada tahun 1957, dibentuklah negara perserikatan atau persemakmuran Malaysia. Negara Indonesia, ketika itu, dibawah kepemimpinan Presiden Ir. Soekarno, menyatakan ketidak-setujuannya apabila wilayah Kalimantan Utara (bagian utara Pulau Borneo) menjadi wilayah negera persemakmuran itu. Akibatnya, terjadilah politik konfrontasi hubungan itu dengan semboyan yang terkenal “ganyang Malaysia”.
          Setelah reda konflik politik konfrontasi Indonesia dengan Malaysia, tahun 1960-an, hubungan itu menjadi baik lagi. Meskipun berikutnya terjadi ketegangan lagi antara Indonesia dengan Malaysia ketika negara persemakmuran itu mengklaim Pulau Sipadan dan Ligitan, blok Ambalat, dan mengklim pula beberapa karya seni yang sebenarnya merupakan karya asli bangsa Indonesaia, seperti kesenian Angklung, Reog Ponorogo, lagu Rasa Sayange, Batik, tari Pendet-Bali, dan lain sebagainya. Apalagi ada peristiwa penangkapan dua petugas pengawas laut yang ditangkap oleh tentara diraja Malaysia, penyiksaan TKI, hukum gantung, dan juga kematian warga negara Indonesia yang bekerja di Malaysia, tentu bertambah runyam.
Hubungan politik kedua negara memang dapat juga seperti itu. Namun, hubungan antara person, masing-masing manusia dari kedua negara di kawasan Asia Tenggara itu tidaklah demikian adanya. Salah satunya adalah yang terlukiskan dalam karya seni susastra dalam bentuk novel yang ditulis oleh Nasjah Djamin (1924—1997) berjudul Malam Kuala Lumpur (1968). Novel yang cukup tebal ini menggambarkan keadaan hubungan dua negara melalui dua personan antara insan Indonesia (diwakili oleh tokoh Budi) dengan insan Malaysia (diwakili oleh tokoh Latifah) cukup harmonis, asyik, romantis, dan penuh dinamika hidup.
Buku Dunia Kesastraan Nasjah Djamin dalam Novel Malam Kuala Lumpur ini menguak hubungan antara Indonesia dan Malaysia yang diwakili oleh beberapa insan kedua negara. Buku yang juga merupakan hasil penelitian sastra dari tim ini mudah-mudahan memberi alternatif pandangan masyarakat dalam menyikapi hubungan kedua negera serumpun di wilayah Asia Tenggara. Selain itu, kami juga mengharapkan dapat membuka rahasia hubungan kedua negara, melalui beberapa tokoh yang ditampilkan dalam novel ini, menjadi alternatif sikap menghadapi klaim-klaim Malaysia di masa-masa mendatang.
Akhir kata, kami sampaikan selamat membaca dan berapresiasi terhadap hasil penelitian tim ini. Ada pepatah: Tidak ada gading yang tidak retak. Kami mohon masukan, sumbang saran, dan kritik yang membangun untuk perbaikan buku ini pada penerbitan selanjutnya. Salam kami.

No comments:

Post a Comment

Pertemuan 15 Teori Sastra Tempatan