PROSES DAN HASIL PENYISWAAN
(Puji
Santosa, Bekasi)
1. Pengantar
Bapak, Ibu,
dan Saudara para warga Paguyuban Ngesti Tunggal, siswa-siswi Sang Guru Sejati
yang berbahagia, oleh karena senantiasa berbakti, percaya, dan taat pada semua
sabda perintah Tuhan yang Sejati ialah Suksma Kawekas, yang disampaikan dengan
perantaraan Utusan Tuhan yang Abadi ialah Suksma Sejati, Guru sekalian umat,
baik dari pondok dunia maupun hingga nanti sampai di istana akhirat, serta
menjadi Penuntun dan Guru hamba yang Sejati.
Bapak, Ibu,
dan Saudara sepenyiswaan. Masih ingatkah Bapak, Ibu, Saudara ketika mengikuti
ulasan akhir ceramah penerangan Ajaran Sang Guru Sejati, sebelum dilantik
menjadi warga anggota Paguyuban Ngesti Tunggal, yaitu dijelaskannya oleh juru
penabaur akan arti M-5 dalam proses penyiswaan, dan juga arti K-5 sebagai hasil
penyiswaan. Apabila Bapak, Ibu, dan Saudara semua masih ingat dan memahami
serta sudah melaksanakan M-5 dan menghasilkan K-5, hal itu sebagai tanda bahwa
Bapak, Ibu, dan Saudara semua adalah siswa Sang Guru Sejati yang sungguh-sungguh
tekun menyiswa, yang benar-benar senantiasa berbakti, taat, dan percaya
kepada-Nya sehingga hasilnya baik, lancar, sejahtera, damai, tenteram, dan
bahagia. Akan tetapi, bilamana Bapak, Ibu, dan Saudara lupa, setengah-setengah
ingat, apa itu M-5 dan apa itu K-5, hal itu tentunya juga sebagai pertanda bahwa
Bapak, Ibu, dan Saudara semua itu masih bersifat manusiawi, masih berada pada
tataran calon siswa, atau calonnya calon siswa yang senantiasa masih memerlukan
bimbingan dan tuntunan Sang Guru Sejati. Oleh karena itu, marilah kita bersama-sama
mendekat kepada Sang Guru Sejati agar berkenan melimpahkan sih anugerah,
pepadang, tuntunan, daya kekuatan lahir batin untuk dapat melaksanakan
kewajiban suci dengan sempurna, serta memberi pengayoman, perlindungan, hingga
berakhir pada kesejahteraan, ketenteraman, dan kebahagiaan abadi ialah di
hadirat Tuhan Sejati.
Salah satu prasaran Pakde Narto pada Kongres ke-3 Paguyuban Ngesti Tunggal,
tahun 1961, mengingatkan kepada para peserta Kongres akan Proses Penyiswaan M-5
dan Hasilnya K-5, bahwa “Kebanyakan para
siswa hanya mau memetik buahnya saja, yaitu K-5, akan tetapi syarat-syaratnya
(M-5) tidak dilaksanakan” (Dwiwindu Pangestu, 1967:49—50). Jikalau
demikian halnya, berarti para warga itu pada umumnya hanya berani yang
mudah-mudah saja dan takut pada hal-hal yang susah. Padahal, proses penyiswaan ini
dipertegas kembali oleh Pakde Narto dalam kunjungan Beliau ke Jawa Barat, pada
pertemuan di Jalan Progo, Bandung, 24 Agustus 1962, yaitu dijelaskan oleh Pakde
Narto mengenai M-5 ialah:
1) Mau mendengarkan ajaran Sang Guru Sejati.
2) Mau menerima ajaran Sang Guru Sejati.
3) Mau mengerti ajaran Sang Guru Sejati.
4) Mau melaksanakan ajaran Sang Guru Sejati.
5) Mau mendekat kepada Sang Guru Sejati.
Hasilnya ialah K-5, yakni:
1) Kepuasan.
2) Ketenteraman.
3) Kebahagiaan.
4) Kebijaksanaan.
5) Kekuasaan.
[Dwiwindu Pangestu, 1967:74].
Proses penyiswaan melalui M-5 dan hasil penyiswaan dengan
mendapatkan K-5 tersebut juga dipertegas kembali oleh Pakde Narto ketika beliau
berkunjung ke warga Pangestu Cabang Lamongan, 26 Desember 1962, (Dwiwindu
Pangestu, 1967:107) dijelaskan : “... Akhirnya, beliau menerangkan bahwa apabila kita mau menjalankan M-5
akan memperoleh K-5. Jelasnya, kalau kita mau Mendengarkan, Menerima, Mengerti,
Menjalankan ajaran Sang Guru Sejati, dan selalu Mendekat kepada-Nya, maka kita
akan memperoleh Kepuasan, Ketentraman, Kebahagiaan, Kebijaksanaan, dan
kadang-kadang juga Kekuasaan.” Hal ini juga dipertegas Bapak Soedjarwo
sebagai Ketua Pengurus Pangestu Pusat dalam Sambutan Ulang Tahun ke-20 Pangestu
Cabang Jakarta I, 10 Maret 1973, memberi penjelasan tentang obat yang ampuh
untuk menyembuhkan pelbagai penyakit yang diderita umat manusia melalui proses
penyiswaan M-5 dan hasilnya menjadi K-5: “Apakah obatnya? Obatnya ialah
Jalan Rahayu, Jalan yang Benar, melalui M-5. Adalah justru tugas suci Pangestu
untuk meluaskan Ajaran Sang Guru Sejati, untuk menyembuhkan umat manusia dari
penyakit-penyakitnya. Umat manusia akan sembuh jika menjalankan M-5, yaitu:
1)
Mendengarkan
Ajaran Sang Guru Sejati.
2)
Menerima
Ajaran Sang Guru Sejati.
3)
Mengerti
Makna Ajaran Sang Guru Sejati.
4)
Melaksanakan
Ajaran Sang Guru Sejati.
5)
Mendekat
kepada Sang Guru Sejati.
Pelaksanaan M-5 ini akan berubah
K-5, yaitu:
1)
Kepuasaan.
2)
Ketenteraman.
3)
Kebahagiaan.
4)
Kebijaksanaan.
5) Kekuasaan.”
(20
Tahun Pangestu Cabang Jakarta I, 1973:34—35)
Lalu, bagaimanakah sebenarnya proses penyiswaan M-5 dan memperoleh hasilnya
K-5 tersebut? Marilah kita bersama-sama memahami dan memawas diri akan proses
penyiswaan M-5 dan hasil penyiswaan mendapatkan K-5 sebagai berikut.
2. Mau Mendengarkan Hasilnya Kepuasan
Pada umumnya setiap warga Pangestu, termasuk saya sendiri tentunya, maunya
hasilnya, yaitu mendapatkan kepuasaan, ketenteraman, kebahagiaan, kebijaksanaan,
dan kekuasaan. Sementara itu, M-5-nya ogah-ogahan,
segan, dan pelbagai alasan lain untuk “wania
ing gampang wedia ing ewuh” (hanya berani pada hal-hal yang mudah dan takut
pada hal-hal yang susah, sulit, sukar). Apabila demikian, tentu semua
cita-cita, segala sesuatu yang diharapkan tidak akan tercapai.
Mau mendengarkan Ajaran Sang Guru Sejati tidak hanya pada saat kita
mengikuti ceramah penerangan Ajaran Sang Guru Sejati, yaitu pada saat sebelum
menjadi warga Pangestu, tetapi setelah masuk menjadi warga Pangestu juga harus
mau mendengarkan Ajaran Sang Guru Sejati melalui kegiatan olah rasa, melalui ajar
pustaka, melalui pendalaman, dan melalui kegiatan lainnya yang berkenaan dengan
Ajaran Sang Guru Sejati. Apakah yang disebut dengan mendengarkan Ajaran Sang Guru Sejati? Pada awalnya, mendengarkan
Ajaran Sang Guru Sejati adalah suatu proses menangkap, memahami, dan mengingat
dengan sebaik-baiknya apa yang didengarnya atau sesuatu apa yang dikatakan, apa
yang diucapkan, atau apa yang dibacakan melalui perantaraan orang lain pada
kita tentang Ajaran Sang Guru Sejati.
Namun, pada awalnya mendengarkan Ajaran Sang Guru
Sejati ini pun orang susah menerimanya, bahkan menolak atau tidak mau
mendengarkan, dan ada juga yang menutup rapat-rapat kedua telinganya. Hal ini terbukti,
meskipun mereka sudah dipangestikan mohon dibukakan dan disucikan hatinya, ada
beberapa calon warga mengikuti ceramah penerangan, baru beberapa kali mengikuti
ceramah penerangan Ajaran Sang Guru Sejati (ada yang sesudah dijelaskan tentang
Tripurusa, ada yang sesudah dijelaskan tentang Paliwara, dan ada juga yang
sesudah dijelaskan tentang Sangkan Paran), sesudah itu tidak mau melanjutkan untuk
mendengarkan ceramah penerangan Ajaran Sang Guru Sejati, dan berhenti untuk
tidak diteruskan ceramahnya. Ada juga yang sudah menjadi warga dan dilantik,
juga hanya beberapa kali mendatangi olah rasa, setelah itu tidak mau lagi
melanjutkan penyiswaan kepada Sang Guru Sejati.
Sabda Sang Guru Sejati terdahulu, melalui Nabi Yeremia
(5:21) menyatakan bahwa: “Kamu mempunyai mata tetapi tidak melihat,
mempunyai telinga tetapi tidak mendengar”. Oleh karena itu, anugerah
pancaindra telinga yang berfungsi untuk mendengarkan, bagi yang normal, bukan
tuna rungu, marilah kita manfaatkan sebaik-baiknya agar berfungsi sebagaimana
mestinya. Jangan ada yang mau mendengarkan ajaran Sang Guru Sejati hanya
numpang lewat, masuk dari telinga kiri dan keluar dari telinga kanan. Hal ini
dikarenakan dia tidak menyediakan botol kosong, botolnya sudah berisi aneka
rupa masalah dan aneka macam ilmu, konsentrasinya terpecah, pikirannya
melayang-layang, berkelana mengembara ke negeri bayangan, bermain HP, menguap-nguap,
mengantuk, lalu tertidur atau ketiduran, dan atau sudah ada prasangka terlebih
dahulu terhadap Ajaran Sang Guru Sejati. Jikalau kondisi dan situasinya
demikian, bagaimana mungkin dia mendapatkan rasa kepuasan? Apa yang dirasakan
hanyalah resah gelisah, kecewa, bété,
dan pelbagai perasaan lain yang berkecamuk dalam batinnya. Dalam keadaan yang
demikian itu, bagaimana mungkin mereka mau meningkatkan diri untuk dapat
mendengarkan langsung Sabda Sang Suksma Sejati yang bersinggasana dalam lubuk
hati sanubari atau rahsa jati? Sudah barang tentu hal itu jauh panggang dari api,
artinya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.
Pakde Narto ketika pertama kali mendengarkan Sabda Suksma Sejati pada hari
Minggu, 14 Februari 1932, merasakan betapa kepuasan yang tiada tara: “Pada waktu siswa muda menerima sabda pembuka
sebagaimana tersebut, di dalam sanubarinya tiba-tiba seperti ada mata air
membubul mengalir keluar menggenangi batin, meresap ke dalam hati, terasa
“cles” bagaikan disiram air dingin pada waktu pagi, badan terasa gemetar
merinding, lalu disusul rasa takut, akhirnya air seperti berhenti mengalir.”
(Sabda
Pratama, 2014:1—2). Ungkapan “di
dalam sanubarinya tiba-tiba seperti ada mata air membubul mengalir keluar
menggenangi batin, meresap ke dalam hati, terasa “cles” bagaikan disiram air
dingin pada waktu pagi” menunjukkan hasil penyiswaan berwujud rasa kepuasan
yang tiada taranya pada diri Pakde Narto.
Kemudian, dilanjutkan mendengarkan Sabda Suksma Sejati yang kedua, juga mendapatkan
hasil penyiswaan betapa rasa kepuasan tiada tara meliputi hati Pakde Narto: “Turunnya sabda bagaikan lepasnya anak panah
yang mengenai sasaran. Selama Sang Guru Sejati menyampaikan sabda wejangan yang
kedua itu, hati siswa muda terasa sangat terang benderang seperti diliputi
cahaya sang sitaresmi (bulan
purnama). Meresapnya pepadang menimbulkan rasa tenang, tenteram, dan bahagia
yang belum pernah dialami oleh siswa muda tersebut.” (Sabda Pratama, 2014:3—4).
Pernyataan kalimat terakhir, “Meresapnya
pepadang menimbulkan rasa tenang, tenteram, dan bahagia yang belum pernah
dialami oleh siswa muda tersebut.” menunjukkan hasil penyiswaan rasa
kepuasan tiada taranya, luar biasa dahsyatnya.
Demikian
halnya pengalaman Saudara Jatmika saat pertama kali mendengarkan Sabda Suksma
Sejati, yang dirasakan oleh Saudara Jatmika betapa kepuasan tiada tara: “Tadi pagi kira-kira pukul lima, setelah saya
bersuci dengan air suci, saya lalu melakukan kewajiban suci manembah kepada
Tuhan yang saya dasari dengan perasaan nelangsa disertai pangesti memohon sih
pepadang Sang Guru Sejati. Dengan tidak terduga-duga, panembah saya dapat
sampai pada keadaan heneng hening.
Alam pikiran dan angan-angan saya yang biasanya selalu bermunculan serta ramai
seperti di dalam pasar malam berhenti tidak bergerak, demikian juga pancaindra
saya tidak bekerja. Barangkali itulah yang disebut luyut (khusyuk), yang menyebabkan rasa saya dapat menyusup ke dalam
rahsa jati. Adapun yang terasa di dalam hati hanya: sunyi, senyap, tenang,
tenteram, ayem. Persoalan hidup dan bermacam-macam penderitaan seketika itu
hilang dari perasaan saya. Selanjutnya saya dapat menerima sabda Sang Guru
Sejati yang terdengar jelas sekali dalam perasaan saya.” (Taman
Kemuliaan Abadi, 2015:15).
Pernyataan
dua kalimat: “Adapun yang terasa di dalam
hati hanya: sunyi, senyap, tenang, tenteram, ayem. Persoalan hidup dan
bermacam-macam penderitaan seketika itu hilang dari perasaan saya.” menunjukkan hasil penyiswaan rasa kepuasan yang tiada
taranya, luar biasa banget. Apalagi ditambah pernyataan Saudara Jatmika
selanjutnya, yang berbunyi: “Angan-angan
dan pancaindra saya sudah kembali bekerja lagi. Namun, rasa tenang tenteram
serta bahagia yang belum pernah saya alami masih terasa membekas di dalam
perasaan saya hingga sekarang.” (Taman Kemuliaan Abadi,
2015:15). Jelas hal ini, apa yang dialami oleh Saudara Jatmika, merupakan
representasi proses penyiswaan dengan
mendengarkan Sabda Sang Guru Sejati hasilnya memperoleh rasa kepuasan yang
tiada bandingannya.
3. Mau Menerima Hasilnya Ketenteraman
Proses
penyiswaan selanjutnya, sesudah mau mendengarkan
ajaran Sang Guru Sejati sebanyak 7 kali yang disampaikan juru penabur, kemudian
kita menerima formulir kesediaan menjadi warga Pangestu. Apabila mau menerima
ajaran Sang Guru Sejati dan bersedia menjadi warga Pangestu, akan diberikan
Ceramah Penerangan terakhir, yaitu Bab Panembah. Namun, apabila tidak mau
menerima ajaran Sang Guru Sejati, dan juga tidak bersedia menjadi warga
Pangestu, ya sudah cerita berakhir sampai di sini, tidak ada kelanjutnya.
Kepada mereka, yang tidak mau menerima atau menolak, kita sampaikan “andum basuki kémawon”, berbagi
keselamatan masing-masing.
Seseorang untuk mau menerima ajaran Sang Guru Sejati tidaklah semudah
membalikkan telapak tangan. Hal ini sudah diantisipasi oleh Pakde Narto, seperti
yang tersurat dalam “Tuntunan atau Petunjuk Bagi Para Siswa Utama”, yaitu “Jika Saudara sudah mendengarkan Ceramah
Pangestu, padahal tidak merasa cocok atau tidak dapat menerimanya, hal itu
tidaklah mengapa. Adapun jika Saudara merasa cocok, setelah ceramah berakhir,
sudah tamat, Saudara lalu dipersilakan menentukan sikap dengan mengisi formulir
untuk dapat diterima menjadi anggota Pangestu. Akhirnya, keputusan itu terserah
sepenuhnya kepada Saudara.” (Golongan Kesiswaan dan Tuntunan bagi Para
Siswa Utama, 1990:21).
Memang,
keputusan terakhir terserah sepenuhnya pada masing-masing peserta ceramah. Ketika
menerima formulir kesediaan menjadi warga Pangestu, beberapa peserta ceramah ada
yang masih menimbang-nimbang, bimbang, berpikir lama-lama, ragu-ragu, dan
mengulur-ulur nalar apa benar ajaran Sang Guru Sejati ini berasal dari Sabda
Tuhan Yang Maha Esa? Jangan-jangan ajaran ini hanya sekadar mengada-ada, atau
ajaran yang berasal dari para dewata, sehingga menyebarkan ilmu kebatinan yang
aneh-aneh bin ajaib yang lazimnya disebut ilmu klenik? Ada juga peserta ceramah
yang langsung menutup diri, ditutuplah mata hati dan telinganya, yaitu menolak
atau tidak mau menerima ajaran Sang Guru Sejati dengan tidak bersedia mengisi
formulir menjadi warga Pangestu. Pelbagai alasan dan prasangka hanya
berdasarkan pada cekak rupak brangasan,
yaitu menganggap keliru pengetahuan orang lain yang tidak sama dengan
pengetahuannya sendiri. Namun, masih ada juga peserta ceramah yang mau menerima
ajaran Sang Guru Sejati dengan rasa bersyukur sehingga bersedia mengisi
formulir menjadi warga Pangestu, siap mendengarkan ceramah selanjutnya Bab
Panembah, siap diulas oleh Ketua Cabang, siap dilantik menjadi warga Pangestu
bersama-sama menyiswa dengan warga Pangestu lainnya, dan berjanji dengan
sungguh-sungguh akan melaksanakan secara lahir dan batin dengan bertekun dalam
kehidupan sehari-hari semua sabda Sang Suksma Sejati yang terukir dalam pustaka
suci Sasangka
Jati.
Manusia
diberi keleluasan memilih antara mau menerima ajaran Sang Guru Sejati dan atau
menolak ajaran Sang Guru Sejati. Setiap pilihan membawa konsekuensi masing-masing.
Apabila orang mau menerima ajaran Sang Guru Sejati, perasaannya positif, tumbuh
rasa senang, riang gembira, setuju, dan tenteram. Perasaan positif yang
demikian itu mengakibatkan hati atau batin seolah-olah membuka atau mengendur. Dengan
perasaan positif mampu membawa kesanggupan untuk mempersatukan diri dengan
keadaan atau orang lain sehingga sanggup untuk mengurangi kedaulatan Aku. Oleh
karena itu, “untuk menjalankan Trisila
dan Pancasila diperlukan kesanggupan mengurangi kedaulatan Aku terhadap kedaulatan
Tripurusa. Manusia harus sanggup membelakangkan kepentingan diri sendiri
terhadap kesadaran Tripurusa.” (Arsip Sarjana Budi Santosa, Butir 30,
2015:19). Hal ini hanya dapat dilakukan apabila seseorang tersebut mau menerima
ajaran Sang Guru Sejati dengan rasa bersyukur.
Sebaliknya,
apabila seseorang tidak mau menerima atau menolak ajaran Sang Guru Sejati,
perasaannya menjadi negatif, dipenuhi oleh pelbagai prasangka negatif, dihinggapi
rasa sedih, resah, gelisah, kecewa, dan juga tidak setuju. Perasaan negatif
tersebut membuat hati atau batin menutup dan tegang sehingga menjauhkan diri
dari apa yang diseganinya. Akibatnya, “perasaan
negatif selalu memisahkan Aku dan mempertahankan Aku.” (Arsip
Sarjana Budi Santosa, Butir 29, 2015:19). Itulah sebabnya perasaan
negatif selalu menentang terlaksananya Tri Sila dan Panca Sila.
Mau
menerima ajaran Sang Guru Sejati itu merupakan suatu anugerah yang tiada
bandingannya. Pakde Menggung Hardjoprakoso dan Pakde Soemodihardjo pada awalnya
mau mendengarkan ajaran Sang Guru Sejati hanya melalui kabar berita tentang
seorang siswa muda bernama R. Soenarto Mertowardojo menerima wahyu pepadang
Tuhan, lalu beliau berdua langsung mau menerima ajaran Sang Guru Sejati. Hal
ini terbukti bahwa mereka berdua “Pada
malam Sabtu Paing, tanggal 21 Sura, tahun Dal 1863, atau tanggal 27 menjelang
28 Mei 1932, Saudara R.T. Hardjoprakoso disertai Saudara Trihardono
Soemodihardjo datang di Pondok Widuran, bertemu dengan siswa muda. Pada malam
itulah kedua saudara tersebut menerima wahyu Tuhan dengan perantaraan Sang Guru
Sejati, selanjutnya menerima wejangan-wejangan yang disabdakan secara
berturut-turut hingga beberapa bulan, yang kini telah terhimpun dalam pustaka Sasangka Jati.” (Sabda
Pratama, 2014:8—9). Selanjutnya, melalui ketiga siswa Sang Guru Sejati
tersebut Ajaran Sang Guru Sejati diseratakan ke seluruh penjuru dunia, dengan
dibantu oleh para siswa yang senantiasa bakti, percaya, dan taat, hingga
sekarang.
Hasil
penyiswaan bagi mereka yang mau menerima ajaran Sang Guru Sejati bukan hanya
berwujud harta benda, kekuasaan, ataupun jabatan, melainkan berwujud ketenteraman
abadi yang tersimpan di dalam hati sanubari. Hal ini secara jelas disampaikan
oleh Sang Guru Sejati melalui perantaraan Pakde Narto pada 20 Mei 1949, Sabda
Khusus Peringatan Nomor 1 Butir 9 yang berbunyi: “Adapun anugerah tersebut tidak berupa harta benda, tetapi ketenteraman abadi yang tersimpan di
dalam hati sanubari.” (Sabda Khusus, 2013:4).
4. Mau Mengerti Hasilnya Kebahagiaan
Proses penyiswaan selanjutnya, sesudah mau menerima ajaran Sang Guru Sejati dengan
bersedia mengisi formulir menjadi warga Pangestu, bersedia dilantik menjadi
warga Pangestu, dan berjanji dengan sungguh-sungguh akan melaksanakan
secara lahir dan batin dengan bertekun dalam kehidupan sehari-hari semua sabda
Sang Suksma Sejati yang terukir dalam pustaka suci Sasangka Jati, adalah mau mengerti akan ajaran Sang Guru Sejati. Apa
yang dimaksud dengan mau mengerti akan ajaran Sang Guru Sejati? Mau mengerti
akan ajaran Sang Guru Sejati adalah upaya untuk dapat memahami, mengetahui, dan
mengerti sehingga paham benar apa yang maksud dan tujuannya, serta
isi/kandungan/makna ajaran Sang Guru Sejati. Apabila kita mengerti dengan benar
ajaran Sang Guru Sejati, sudah barang tentu diharapkan akan dapat memperlancar
jalannya penyiswaan kita mencapai tujuan yang semestinya, yakni ‘sangkan
paraning dumadi’ atau asal dan tujuan segenap makhluk.
Kendatipun banyak jalan atau banyak
cara untuk dapat mau mengerti ajaran Sang Guru Sejati, soal mengerti atau tidak
mengerti itu bukan bergantung pada lamanya seseorang tersebut menjadi warga
Pangestu, melainkan berdasarkan atas kesungguhannya menyiswa kepada Sang Guru
Sejati. Saudara Kelana menjelaskan soal mengerti atau tidak mengerti kepada
keenam saudaranya, bahwa “Sebenarnya,
mengerti atau tidak mengerti itu bukan bergantung pada lamanya menyiswa,
melainkan kesungguhan menyiswa. Saya pun tidak mengerti, kalau tidak ada
pepadang dari Sang Guru Sejati dan selalu didorong oleh Pakde Narto.” (Ulasan
Kang Kelana, 2015:47). Dengan demikian, bilamana kita sungguh-sungguh
menyiswa kepada Sang Guru Sejati dengan berdasarkan pada keteguhan tekad yang
disertai pengorbanan, tidak berpura-pura (lelamisan)
dan juga tidak seenaknya, tentu Sang Guru Sejati melimpahkan sih pepadang dan tuntunan-Nya
sehingga kita mengerti, mengetahui, dan memahami makna ajaran Sang Guru Sejati.
Sebagaimana kita ketahui bahwa
tuntunan Sang Guru Sejati diterjemahkan oleh si penerima melalui tiga jurusan,
yaitu (1) melalui jurusan angan-angan, (2) melalui jurusan perasaan, dan (3)
melalui jurusan keinginan-kemauan dan diteruskan ke alat-alat pelaksana (Arsip
Sarjana Budi Santosa, Butir 118—120, 2015:83—84). Tuntunan Sang Guru
Sejati yang berkaitan untuk dapat mau mengerti akan makna ajaran Sang Guru
Sejati dipancarkan melalui jurusan angan-angan yang berbunyi demikian: “Si penerima lalu melihat sesuatu dalam
hatinya yang mengandung arti pepadang baginya. Atau diterjemahkannya tuntunan
yang diterimanya sebagai kata-kata yang menyatakan suatu pepadang pula. Lain
segi lagi diterjemahkannya sebagai suatu pengertian tentang sesuatu yang
sebelumnya masih belum dipahami. Ini juga suatu pepadang. Semua itu terjadi
secepat kilat dan si penerima tidak menyadari bahwa ia menerjemahkan tuntunan.
Yang diterimanya sebagai pepadang itu sebenarnya bukan orisinal pepadang lagi,
tetapi hanya terjemahan.” (Arsip Sarjana Budi Santosa, Butir
118, 2015:83). Pernyataan kalimat: “Lain
segi lagi diterjemahkannya sebagai suatu pengertian tentang sesuatu yang
sebelumnya masih belum dipahami.” Maksudnya pengertian itu adalah
sesuatu yang sebelumnya masih belum dipahami, jika sudah dipahami menjadi sudah
dimengerti, sudah dipahami, dan sudah diketahui.
Meskipun ajaran Sang Guru Sejati itu
sudah tidak lagi dibungkus dengan pelbagai perumpamaan atau kiasan-kiasan
(ibarat emasnya ajaran sudah sampai pada peraknya, tidak lagi dibungkus dengan
timah; atau ibarat kelapa sudah dikupas sabut dan batoknya, tinggal mengolah
kelapanya menjadi minyak), tetap saja bagi mereka yang awam atau masih berderajat
calon siswa, masih banyak hal yang tidak dimengerti, banyak hal yang tidak
dipahami, dan banyak hal yang tidak diketahui. Oleh karena itu, Sang Guru
Sejati sejak menurunkan Sabda Pratama (1932), Sasangka
Jati (1932), hingga Sabda Khusus Peringatan Nomor 23 (1959)
selalu didahului dengan pernyataan “Wruhanira!”
(Ketahuilah olehmu), “Wruhanira
siswaning-Sun” (Ketahuilah olehmu siswa-Ku!), atau “Mangertia sira siwaning-Sun!” (Mengertilah engkau siswa-Ku!) dengan
segala variasinya. Hal ini suatu pertanda bahwa kita yang menyiswa kepada Sang
Guru Sejati tersebut yang sebelumnya tidak mengerti, yang sebelumnya tidak
mengetahui, dan yang sebelumnya tidak memahami, dengan diturunkan ajaran Sang
Guru Sejati ini menjadi mengerti, menjadi mengetahui, dan menjadi memahami
maksud dan tujuan serta isi/kandungan/makna ajaran Sang Guru Sejati.
Untuk dapat mau mengerti ajaran Sang
Guru Sejati dapat ditempuh melalui usaha ke luar dan ke dalam. Usaha keluar
dapat dilakukan dengan cara mendengarkan ceramah penerangan ajaran Sang Guru
Sejati, membaca buku-buku wajib, menghadiri pertemuan olah rasa, mengikuti ajar
pustaka atau pendalaman, belajar merasa-rasakan
ajaran Sang Guru Sejati dengan memperhatikan sabda yang tergelar karena apa
yang tergelar di dunia ini merupakan sabda yang tidak terucapkan atau sastra
yang tidak tertulis, kalam ikhtibar, serta mencari literatur lainnya
dalam kaitannya memahami ajaran Sang Guru Sejati.
Usaha ke
dalam untuk dapat mau mengerti ajaran Sang Guru Sejati dapat ditempuh dengan jalan
menyiswa secara sunggguh-sungguh, salah satunya melakukan Pengesti Nomor 1 untuk
menjadi seorang yang mursid. Melalui percakapan Sri Rejeki dan Jatmika, dalam Taman
Kemuliaan Abadi (2015:37—38), dinyatakan: “Mas, Jatmika, setelah saya mendengarkan keteranganmu itu tadi,
pengertian saya yang sebelumnya buntu lalu bolong, mak plong, dan mengerti secara gamblang terang apa yang menjadi
karsa Sang Guru Sejati. Mas, Mas, sekarang Kanda kok menjadi siswa yang mursid,
padahal dulu – ya minta maaflah – dengan saya ibarat setali tiga uang,
sama-sama bodohnya. Di mana Kanda belajar? Apa sekarang ada fakultas mursid?
Mbok saya dimaksukkan, saya ingin ikut kuliah jurusan kemursidan, biar tidak
keterlanjuran bodoh, melongo saja seperti kerbau.”
Saudara Jatmika dengan tersenyum menanggapi pertanyaan
istrinya: “Jeng Sri, sampai sekarang di seluruh dunia belum ada fakultas
mursid, juga belum ada sekolah yang mengajarkan supaya orang menjadi cekatan,
tangkas, dan terampil. Adapun saya mendapat berkah menjadi agak mursid setelah saya sering menghadap Bapak, sebab saya lalu
mengetahui, sumbernya kemursidan berada di dalam rahsa jati, di pusat hati
sanubari yang suci. Bagaimana caranya agar Diajeng dapat dialiri air
kemursidan, menurut Bapak adalah sebagai berikut.
Setiap waktu ketika sedang senggang, ibaratnya setiap
detik, panjatkanlah Pangesti Nomor 1, selanjutnya perasaanmu hendaklah dipenuhi
dengan rasa mendekat kepada Sang Sasangka Jati ialah Sang Guru Sejati. Jika
rasa mendekat kepada Sang Pepadang tersebut sudah tertanam atau menggores di
dalam batinmu, engkau akan disinari kebijaksanaan Sang Guru Sejati, akhirnya
engkau menjadi siswa yang mursid. Ketahuilah, Jeng, bahwa Rahsa Jati adalah
sumber kebijaksanaan, ketenteraman, kebahagiaan, dan kemuliaan. Rahsa Jati
adalah gapura Taman Kemuliaan Abadi.” [Taman Kemuliaan Abadi, 2015:37—38].
Pernyataan
Sri Rejeki: “pengertian saya yang
sebelumnya buntu lalu bolong, mak plong,
dan mengerti secara gamblang terang apa yang menjadi karsa Sang Guru Sejati.”
menunjukkan hasil penyiswaan dari mau mengerti akan ajaran Sang Guru Sejati,
yaitu rasa kebahagiaan. Terlebih, hal itu diperkuat oleh pernyataan Saudara
Jatmika bahwa “Jika rasa mendekat kepada
Sang Pepadang tersebut sudah tertanam atau menggores di dalam batinmu, engkau
akan disinari kebijaksanaan Sang Guru Sejati, akhirnya engkau menjadi siswa
yang mursid. Ketahuilah, Jeng, bahwa Rahsa Jati adalah sumber kebijaksanaan,
ketenteraman, kebahagiaan, dan kemuliaan.” Hal ini jelas menandakan sesudah
siswa mengetahui, sesudah siswa mengerti, dan sesudah siswa memahami ajaran
Sang Guru Sejati, buah atau hasil yang diperolehnya adalah kebahagiaan yang
luar biasa.
5. Mau Melaksanakan Hasilnya Kebijaksanaan
Proses
penyiswaan selanjutnya, sesudah mau mengerti
ajaran Sang Guru Sejati adalah mau melaksanakan ajaran Sang Guru Sejati. Artinya,
dalam penyiswaan kepada Sang Guru Sejati, kita tidak boleh hanya berhenti
sampai pada pengertian, sementara laku, pelaksanaannya, atau penerapannya dalam
kehidupan sehari-hari tidak ada, atau tidak dilanjutkan ke laku. Apabila
seseorang hanya pandai dalam hal teori, tanpa disertai praktik, adalah omong
kosong. Ilmu tanpa amal ibarat pohon tanpa buah. Oleh karena itu, Juru Mengeti,
Bapak Tumenggung Hardjoprakosa dan Bapak Trihardono Soemodihardjo, dalam
Pendahuluan Buku Hasta Sila menyatakan: “Ilmu
itu agar dapat menjadi kenyataan harus disertai laku; ilmu yang tanpa laku
mustahil kita dapat menyaksikan kenyataannya (terhenti dalam pikiran).” (Sasangka
Jati, 2014:3). Ilmu yang terhenti pada pikiran, hanya sampai pada pengertian,
tidak akan dapat menjadi kenyataan sehingga tidak dapat menghasilkan anugerah.
Bapak
Pangrasa, dalam Olah Rasa di Dalam Rasa,
mengingatkan kepada ketiga putranya agar segera melaksanakan kesabaran yang
tersimpan dalam Hasta Sila dan jangan hanya berhenti dalam hal pengertian.
Nasihat Bapak Pangrasa tersebut demikian: “Oleh
karena itu, segeralah memakai baju kesabaran yang tersedia di dalam ‘peti’
Hasta Sila; jangan hanya berhenti dalam pengertian kalau kalian ingin menerima
kasih sayang Allah.” (Olah Rasa di Dalam Rasa, 2014:4).
Kesabaran yang hanya berhenti pada pengertian, ibarat baju yang tidak dipakai
sehingga tidak merasakan fungsi baju yang menyehatkan dan memberi kehormatan,
artinya tanpa melaksanakan kesabaran tidak
akan menerima kasih sayang Allah.
Nasihat
Bapak Pangrasa tersebut ditegaskan kembali ketika Pangaribawa berhasil dengan
benar menjawab empat pertanyaan jika kelak dipanggil kembali menghadap ke
hadirat Tuhan, yaitu “Pangaribawa,
setelah engkau mengerti empat macam syarat untuk kembali menghadap ke hadirat
Tuhan, pengertianmu itu lalu masukkanlah ke dalam pusat sanubarimu yang suci
sampai kandas terasa tertanam dalam rahsa jati dan jangan sampai dicampuri
pengertian atau ilmu lainnya. Sebab, jika hanya berhenti pada pengertian, yaitu
tidak diikuti dengan perbuatan, kelak pada saat hajatan ‘bertemunya sang
pengantin’ (sampai janjinya), pengertian tanpa perbuatan atau ilmu tanpa laku
itu akan mengingkari.” (Olah Rasa di Dalam Rasa, 2014:103).
Setelah mengerti ajaran Sang Guru Sejati segeralah dilaksanakan, bukan sekadar menjadi
pengetahuan semata, dan janganlah ditunda-tunda pelakasanaannya. Sebab, apabila
hanya berhenti pada pengertian, tidak diikuti dengan perbuatan, pengertian itu
tidak dapat memberi apa-apa, tidak berfungsi apa-apa, dan tidak dapat menolong
kita dalam perjalanan kembali pulang menghadap ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam hal
mau melaksanakan ajaran Sang Guru Sejati, Saudara Sasangka memberi penegasan
atas penjelasan Saudara Kelana atas pertanyaan Saudara Sudibya tentang
menyerahkan angan-angan pada waktu manembah, yaitu “Soalnya ialah pelaksanaan, bukan pengetahuan semata-mata. Sekadar
pengetahuan cukup sebagai batu loncatan, jangan terus-menerus menambah
pengertian dengan menunda-nunda dimulainya tindakan. Bapak Pangrasa di dalam Bawa Raos ing Salebeting Raos bersabda
bahwa pangerti harus disertai pakarti dan ilmu disusul oleh laku. Pangerti dan ilmu dengan sendirinya akan bertambah karena pakarti dan laku.” (Ulasan
Kang Kelana, 2015:142).
Apabila
kita sudah mengerti akan ajaran Sang Guru Sejati, janganlah sekadar dijadikan
pengetahuan semata, dan janganlah pula ditunda-tunda pelaksanaannya hanya
karena berhasrat menambah pengertian terus. Sesuai dengan Prasetia Suci yang
kita ucapkan dalam pelantikan menjadi warga Pangestu, segeralah dengan
sungguh-sungguh melaksanakan secara lahir dan batin dengan bertekun di dalam
kehidupan sehari-hari semua Sabda Sang Suksma Sejati yang terukir dalam pustaka
suci Sasangka Jati. Segeralah dengan
sungguh-sungguh berusaha untuk dapat mengalihkan titik berat kesadaran ke Alam
Sejati ialah kepada Tripurusa. Segeralah dengan sungguh-sungguh melaksanakan
Dasa Sila ialah pedoman para warga Paguyuban Ngesti Tunggal. Mumpung gedhe rembulane, mumpung jembar
kalangane (Senyampang besar bulannya, senyampang luas lingkarannya) “mempunyai arti: memberi peringatan supaya
para hamba jangan menunda-nunda waktu; senyampang masih muda, sehat walafiat,
dan masih mempunyai waktu panjang, bergegaslah untuk bersiap-siap atau siaga
mengenakan busana kesucian untuk menghadap, sewaktu-waktu dipanggil ke hadirat
Tuhan. Sebab, jika sudah terlanjur tua dan pikun, mustahil dapat mengenakan
busana kesucian serta membangun kepercayaan yang benar.” (Taman
Kemuliaan Abadi, 2015:45)
Pokok sabda
wejangan Sang Guru Sejati yang terukir dalam pustaka suci Sasangka Jati, “yaitu: (1)
memberi petunjuk tentang jalan benar ialah jalan utama yang berakhir dalam
kesejahteraan, ketenteraman, dan kemuliaan abadi; (2) memberi petunjuk tentang
adanya jalan simpangan yang membelok ke kiri, yang sampai di alam para
pengingkar, yaitu alam kerusakan; dan (3) memberi petunjuk tentang pengolahan
jiwa dan budi pekerti supaya jiwa para siswa menjadi kuat dan sehat, serta
mempunyai budi pekerti yang utama.” (Taman Kemuliaan Abadi, 2015:51). Intisari
sabda wejangan Sang Guru Sejati yang harus dilaksanakan oleh para siswa adalah
delapan bab yang disebut Hasta Sila, yaitu Panembah Batin Delapan Perkara.
Hasta Sila terdiri atas dua bagian, yaitu Tri Sila dan Panca Sila. Tri Sila itu
Panembahnya Hati dan Cipta tiga perkara kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Tri Sila
juga wujud kesanggupan besar yang perlu sekali dilaksanakan dalam setiap
harinya, yaitu siswa harus senantiasa Sadar, Percaya, dan Taat kepada Tuhan
yang menguasai semesta alam seisinya.
Agar dapat
sempurna siswa melaksanakan kesanggupan besar tiga perkara tersebut, siswa
wajib berusaha agar dapat memiliki watak utama atau perbuatan keutamaan lima
perkara, disebut Panca Sila, yaitu Rela, Narima, Jujur, Sabar, dan Budi Luhur.
Adapun sebagai tangga untuk dapat mencapai watak Panca Sila, siswa harus
berjalan di Jalan Rahayu sebagai kewajiban yang harus dilaksanakan oleh para
calon siswa, disebut Panca Darma Bakti, yaitu:
1)
Meresapkan Paugeran Tuhan kepada hamba (sejatinya
syahadat).
2)
Melaksanakan baktinya kepada Tuhan dengan Panembah,
sebagai tanda bakti kepada Tuhan dan tali sadar.
3)
Melaksanakan Budi Darma, yaitu membabarkan rasa kasih
sayang kepada sesama hidup dengan memberi kebaikan atau pertolongan kepada
siapa saja.
4)
Mengendalikan Hawa Nafsu yang menuju pada tindak
kejahatan yang didasari tapa brata sekadarnya, yaitu dengan mengurangi atau
membatasi makan, minum, tidur, syahwat, kegemaran, kesenangan, dan sebagainya.
5)
Berusaha untuk dapat mempunyai watak Budi Luhur, yaitu
budi pekerti yang utama.
Selain hal
tersebut, setiap siswa wajib berusaha jangan sampai menerjang larangan Tuhan,
yang disebut dengan Paliwara. Adapun yang menjadi Larangan Tuhan yang Mahakuasa
kepada manusia itu ada lima perkara, yaitu:
1)
Jangan menyembah kepada selain Allah.
2)
Berhati-hatilah dalam hal syahwat.
3)
Jangan memakan atau menggunakan makanan yang memudahkan
cepat rusaknya badan jasmani dan budi pekerti.
4)
Patuhilah Undang-undang Negara dan peraturannya.
5)
Jangan berselisih atau bertengkar.
Sebagai
warga Pangestu, sesuai dengan Prasetia Suci yang ketiga, kita juga wajib
melaksanakan Dasa Sila, pedoman para warga Paguyuban Ngesti Tunggal, yaitu:
1) Berbakti
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2) Berbakti
kepada Utusan Tuhan.
3) Setia
kepada Kalifatullah (pembesar negara).
4) Berbakti
kepada tanah tumpah darah (tanah air).
5) Berbakti
kepada orang tua (ayah-ibu).
6) Berbakti
kepada saudara tua.
7) Berbakti
kepada guru.
8) Berbakti
kepada pelajaran keutamaan.
9) Kasih
sayang kepada sesama hidup.
10)
Menghormati semua agama.
Dasa Sila
itu apabila diringkas hanya berisi satu wejangan pokok, yaitu “Sifat Kasih
Sayang dan Cinta” terhadap semua yang bersifat hidup. Anugerah, buah, atau
hasil mau melaksanakan ajaran Sang Guru Sejati sesungguhnya sudah dijawab oleh
Saudara Kemayan ketika menjawab pertanyaan yang ke-8 dari 10 pertanyaan Bapak
Pangrasa, yaitu: “Apakah
hasil dan buahnya jika kita menyiswa kepada Sang Guru Sejati? Jawaban: Pada
waktu kita masih hidup di alam kewadakan (dunia) ini, kita selalu dilindungi
dan mendapat tuntunan berjalan di jalan benar, yakni jalan utama yang berakhir
dalam kesejahteraan, ketentraman, dan kemuliaan abadi. Kita akan mendapat sinar
pepadang Sang Guru Sejati yang berdaya menumbuhkan rasa tenang-tentram-bahagia
yang abadi, yang dapat menyingkirkan rasa waswas, khawatir, takut, cemas,
senang, dan susah. Kadang-kadang menjadi perantara karsa ialah karsa Tuhan,
yang berdaya menumbuhkan rasa suka bahagia. Adapun yang terpenting ialah kelak
kita akan dituntun kembali bertunggal dengah Allah, di alam kemuliaan abadi.”
(Olah
Rasa di Dalam Rasa, 2013:100).
6. Mau Mendekat Hasilnya Kekuasaan
Proses
penyiswaan selanjutnya, sesudah mau melaksanakan
ajaran Sang Guru Sejati adalah mau mendekat kepada Sang Guru Sejati. Untuk
dapat mendekat kepada Sang Guru Sejati siswa harus percaya dengan bersaksi
adanya Sang Guru Sejati. Siswa juga harus tahu siapa Sang Guru Sejati itu. Sang
Guru Sejati adalah Suksma Sejati ialah Utusan Tuhan yang Abadi, Nur Dzat Allah,
yang menjadi Panutan, Penuntun, dan Guru kita yang sejati, yang juga disebut Nur
Muhammad, Sang Kristus, Sang Sabda ialah Guru Dunia. Siswa juga harus tahu
singgasana atau persemayaman Sang Guru Sejati. Sang Guru Sejati bersinggasana
di pusat hidup abadi, bersemayam atau bertunggal di pusat hati sanubari kita
yang suci. Hal tersebut secara jelas dinyatakan oleh Saudara Kelana kepada
keenam Saudaranya, yaitu: “Bagi yang ingin mendekat kepada
Sang Suksma Sejati, yang menjadi pegangan ialah pengertiannya bahwa Sang Suksma
Sejati sudah ada dalam dirinya sendiri dan di tiap-tiap manusia. Manusia hanya
dapat menyadari Sang Suksma Sejati melalui Rahsa Jatinya sendiri. Ia tidak
dapat menyadari Sang Suksma Sejati melalui orang lain. Rahsa Jati itu iklim
jiwanya sendiri yang sedalam-dalamnya, iklim jiwa yang tidak diisi dengan
pikiran, perasaan atau keinginan macam-macam, iklim jiwa yang bersih murni,
terang-benderang.” (Ulasan
Kang Kelana, 2015:120).
Walaupun
kita berusaha mendekat kepada Sang Guru Sejati, kita tidak dapat bertemu dengan
Sang Guru Sejati, tetapi kita mempunyai rasa dekat dan merasa ditunggali oleh
Sang Guru Sejati di pusat hati sanubari, yakni di rahsa jati. Kendatipun kita
mempunyai rasa dekat dan merasa ditunggali oleh Sang Guru Sejati, kita juga tidak
dapat melihat roman muka atau wujud Sang Guru Sejati. Sebab roman muka Sang
Guru Sejati itu tidak dapat dilihat dengan mata kepala, juga tidak dapat
dilihat dengan penglihatan yang halus (kewaspadaan penglihatan) karena Guru
Sejati itu sinar cahaya Allah, yang tidak berwarna-berupa-berwujud. Jadi, Sang
Guru Sejati itu tidak berbentuk atau berwujud apa pun. (Olah Rasa di Dalam Rasa,
2013:99—100).
Bilamana
seorang siswa dengan segala usaha untuk dapat mendekat kepada Sang Guru Sejati
mempunyai tujuan ingin bertemu dengan Beliau, jelas hal ini keliru. Kita tidak
ingin bertemu dengan Sang Guru Sejati, tetapi kita berhasrat untuk dapat
bertunggal atau ditunggali dengan Sang Guru Sejati di rahsa jati ialah di pusat
hati sanubari kita yang suci, asal kita melaksanakan (menaati) semua sabda
ajaran Sang Guru Sejati sebagaimana termaktub dalam pustaka suci Sasangka Jati.
Adapun
jalan yang terdekat untuk dapat sampai ke singgasana Sang Guru Sejati, yaitu
sampai pada rahsa jati, kita harus mempunyai rasa cinta (bakti), rasa rindu,
rasa sengsem, rasa dekat, rasa ditunggali (didekati), dan rasa bertunggal
dengan Sang Guru Sejati. Pelaksanaannya harus diusahakan dengan cara selalu
manembah dengan kebulatan hati yang hening dan suci. Supaya dapat melaksanakan
panembah dengan kebulatan hati yang hening dan suci siswa harus dapat melakukan
panembah dengan cara yang benar, yang menuntun hingga panembah yang sejati
(panembah yang sempurna). “Panembah itulah yang senantiasa
harus dilaksanakan secara teratur sebagai usaha yang nyata untuk mendekat
kepada Sang Suksma Sejati.” (Ulasan Kang Kelana, 2015:122).
Bapak
Pangrasa memberi resep panembah yang sejati, yang benar, dan yang sempurna, dengan
terlebih dahulu para siswa hendaklah mengerti bahwa panembah itu jika diperinci
(dipilah-pilah) ada empat tingkatan atau empat tataran, yaitu: sembah raga,
sembah cipta, sembah kalbu (hati), dan sembah rasa. “Jika panembah empat perkara tersebut (sembah raga, sembah cipta, sembah
kalbu, dan sembah rasa), sudah digulung menjadi satu, artinya sudah menyatu
dengan jiwa raga (kebadan) para
siswa berada dalam pemusatan angan-angan (panembah rahsa jati) hingga terasa
menembus masuk ke dalam rahsa jati di pusat hati sanubari yang suci, siswa
mampu membuka tabir panunggal, karena pancaindranya, ciptanya, angan-angannya,
dan pengertinya, sama-sama tidak bekerja, seumpama bunga semua menguncup tidak
menebarkan baunya yang harum. Akhirnya, siswa dapat sampai pada panembah yang
sejati (panembah yang sempurna), yang manembah dan yang disembah sudah
bertunggal menjadi satu, Roh Suci bertunggal dengan Suksma Sejati dipusat hati
sanubari yang suci, yaitu di pusat Hidup. Siswa bertunggal dengan Sang Guru
Sejati dan naik derajatnya menjadi Guru. Jadi, cara panembah yang benar ialah
apabila raganya-ciptanya-hatinya-rasanya bersama-sama manembah kepada Allah
sehingga yang manembah dapat meninggalkan ‘alam keramaian’ menyelam ke dalam
keadaan heneng-hening-awas-eling” (Olah Rasa di Dalam Rasa, 2013:62).
Selain hal
di atas, jalan terdekat untuk sampai ke singgasana Sang Guru Sejati, siswa
harus sudah meresapi sejatinya syahadat atau paugeran Tuhan kepada hamba,
berjalan di Jalan Rahayu atau menetapi Panca Darma Bakti, menetapi Tri Sila dan
Panca Sila, menetapi Dasa Sila, dan senantiasa membangun rasa kasih sayang
kepada sesama hidup yang didasari tapa brata sekadarnya. Hal ini merupakan
jawaban ke-10 dan ke-7 Saudara Kemayan atas 10 pertanyaan Bapak Pangrasa dalam Olah
Rasa di Dalam Rasa (2013:100—101).
Buah atau
hasil penyiswaan bilamana kita mau mendekat kepada Sang Guru Sejati adalah
kekuasaan yang berwujud ketenangan dan ketenteraman yang tidak akan luntur dan
sukar hilang bilamana kita kembali terjun ke dalam keramaian dunia. Hal ini
secara jelas disampaikan oleh Saudara Kelana kepada keenam saudaranya, yaitu: “Cirinya
bahwa kita telah dekat kepada Sang Suksma Sejati ialah ketenangan dan ketentraman
yang tidak luntur dan sukar hilang, apabila kita kembali terjun ke dalam
keramaian dunia.” (Ulasan Kang Kelana, 2015:121).
Ketika
masih sugengnya Ibu Marsaid Susilo
dahulu, saya sering mengikuti pendalam di rumah beliau, kalau saya tidak salah
dengar dan salah catat, ada tujuh tanda-tanda seseorang itu dekat dengan Sang
Guru Sejati, yaitu sangat dikasihi Tuhan, sebagai berikut.
1) MAT (Marem, Ayem, Tentrem). Suatu keadaan
jiwa yang dapat merasakan betapa puas, tenang, dan tenteram. “Berkumpulnya tiga rasa itu menjadi rasa
‘bahagia’. Selain mempunyai rasa demikian, ia sudah bebas dari rasa waswas,
khawatir, takut, dan cemas’ juga sudah tidak mempunyai watak dengki, benci,
iri, pelit, curang, dan culas.” (Olah Rasa di Dalam Rasa, 2013:53).
Hal ini berulang dinyatakan dalam buku Olah
Rasa di Dalam Rasa, yaitu: “ayem-tentrem-bahagia”,
merasakan iklim tenang-tenteram-bahagia (2013:70); “ayem, tentrem, lan bahagia”, siswa kemudian mempunyai rasa tenang,
tenteram, dan bahagia (2013:71); “seger-marem-ayem-tentrem”,
siraman air menimbulkan rasa segar, puas, tenang, dan tenteram (2013:76); “ayem-tentrem-bahagia ingkang langgeng,
ingkang saget nyingkiraken raos was-was, samar-samar, giris-miris, bingah tuwin
susah”, kita akan mendapat sinar pepadang Sang Guru Sejati yang
berdaya menumbuhkan rasa tenang-tentram-bahagia yang abadi, yang dapat
menyingkirkan rasa waswas, khawatir, takut, cemas, senang, dan susah (2013:100);
“sih pepadhangipun Sang Guru Sejati
rumesep ing jiwa raga kula, ingkang kuwasa mbirat warna-warnaning panandhang
batin, ingkang suwaunipun ‘nusuh’ ing batos kula, inggih punika raos ajrih,
was-was, samar-samar, giris-miris, sangga-runggi, meri, cuwa-gela, tuwin
sapanunggilanipun, sapunika santun raos marem-ayem-tentrem, madhep, manteb,
tetep, heneng-hening, eling”, sih
pepadang Sang Guru Sejati yang meresap dalam jiwa raga saya dapat melenyapkan
aneka warna penderitaan batin yang sebelumnya ‘bersarang’ dalam hati saya,
yaitu rasa takut, waswas, khawatir, giris miris, syak wasangka, iri, kecewa,
dan sebagainya, kini berganti menjadi rasa puas-tenang-tenteram, teguh, mantap,
heneng-hening-sadar (2013:112).
2) Banyak
permohononan yang dikabulkan, sebagai tanda betapa Tuhan penuh kasih kepada
semua makhluknya. Sabda Khusus Peringatan
Nomor 24 butir 2 (2014:118): “Sesungguhnya
Allah Mahamurah dan Mahakasih, tetapi jangan lupa, Allah itu Mahaadil.
Sungguhpun engkau dapat menerima sih anugerah Allah, engkau juga dapat
menerima keadilan Allah.” Bapak Pangrasa dalam buku Olah Rasa di Dalam Rasa
(2013:133—134) menyatakan “Engkau harus mengerti bahwa Pangesti I sampai IV dan
lain-lainnya itu bukan doa, rapal, mantra, juga bukan guna-guna, yang konon
berisi daya kekuasaan, salah kalau begitu anggapanmu. Lagi pula, jangan hanya
dianggap seperti formulir
permohonan. Mengertilah, pangesti-pangesti yang kuberikan kepada engkau
sekalian itu pemberian Sang Guru sejati sebagai tali penghubung antara hamba dan Tuhan, siswa dan Sang Guru Sejati.
Maka, jika pangesti dilaksanakan hingga meresap dan menembus ke rahsa jati
ialah pusat hati sanubari, pangesti itu lalu menjadi wadah yang menampung menetesnya air suci, yaitu sih Sang
Guru Sejati. Adapun terbabarnya sih
itu luas sekali cakupannya. Namun, pangesti yang hanya diucapkan dalam batin
atau di bibir, tidak didasari kepercayaan dan kesucian pangesti, akan tetap
menjadi kata-kata yang dihapalkan, artinya tidak berdaya apa-apa bagi orang
yang mengucapkan pangesti dengan cara seperti itu.”
3) Memberi
cepat kembali, semakin memberi banyak kepada orang lain, kembalinya kepada kita
juga banyak. Arsip Sarjana Budi Santosa (2015:21) butir 33: “Kalau transpirasi besar, sih pepadang banyak
pula. Kalau si Siswa lebih suka malas daripada lelah, ya inspirasinya juga
hanya kedip-kedip saja atau terus tertangguhkan saja. Andaikata sih dari Sang
Guru Sejati meningkatkan derajat si Siswa 10 X usahanya, maka siswa yang
misalnya 1 meter majunya akan ditarik menjadi 10 meter. Siswa yang majunya 10
meter akan melangkah sampai 10 X 10 meter = 100 meter. Akan tetapi, anugerah
tidak tetap sama bagi tiap-tiap usaha. Sih dari Suksma Sejati makin besar
bilamana usahanya makin keras. Untuk usaha yang besar misalnya, sihnya tidak
tetap 10 X, melainkan 100 X.”
4) Seringkali
kita diberi pinjaman kebijaksanaan, buah dari sadar kita kepada Tuhan. Arsip
Sarjana Budi Santosa (2015:29) butir 46: “Sadar menjelma menjadi kebijaksanaan”. Olah Rasa di Dalam Rasa
(2013:123): “Kadang-kadang siswa
diperkenankan menerima sinar kebijaksanaan meskipun ibarat hanya sekilap cahaya
kunang-kuang”.
5) Sering pula
kita diberi pinjaman kekuasaan, buah dari rasa percaya atau iman kita kepada
Tuhan. Arsip Sarjana Budi Santosa (2015:29) butir 46: “Percaya membawa kekuasaan”. Sabda
Khusus Peringatan Nomor 2
(2014:11) butir 9: “Kepercayaan itu wadah
kekuasaan atau utuhnya kepercayaan memiliki kekuasaan gaib”. Olah
Rasa di Dalam Rasa (2013:123): “Kadang-kadang
siswa diperkenankan meminjam kekuasaan meskipun ibarat hanya sebesar miang
kolang-kaling”.
6) Kita juga
diperkenankan dapat membabarkan karsa Tuhan, buah dari taat melaksanakan
perintah. Arsip Sarjana Budi Santosa (2015:29) butir 46: “taat membawa kemauan manusia kepada tingkat
Kehendak Suksma Kawekas”. Dalam Serat Warisan Langgeng bagian 3,
”Mijil”, apabila kita dapat melaksanakan Dasa Sila dengan sungguh-sungguh
mendapatkan sih anugerah Tuhan secara teratur, tata tenteram, bahagia
selamanya, kasih Tuhan senantiasa turun mengalir terus, apa pun yang diangankan
terlaksana, yang dikehendaki pun diperkenankan atau dikabulkan. Olah
Rasa di Dalam Rasa (2013:123): “Kadang-kadang
siswa diperkenankan menjadi perantaraan karsa ialah karsa Tuhan yang terbabar,
yang mengakibatkan kemuliaan hidup lahir batin”.
7) Sudah tidak
memiliki keinginan apa-apa lagi, sudah merasakan kebahagiaan hidup sejati,
bertunggal dengan Suksma Kawekas dan Suksma Sejati, mencapai kasunyatan sejati. Dalam Arsip
Sarjana Budi Santosa (2015:28) alinea 44 menyatakan bahwa ”Gejala-gejala bahwa kita telah dekat kepada
Suksma Sejati ialah lenyapnya keinginan
dan kemauan. Adanya hanya menyerah saja, tetapi rasa menyerah ini tidak
disertai lumpuh aktivitas. Siswa yang dekat kepada Suksma Sejati tetap aktif.
Di samping aktif si siswa menerima dengan ikhlas apa saja yang dijumpainya.”
Tanda yang
ketujuh seorang siswa dekat dengan Sang Guru Sejati itu sebenarnya sudah
bertunggal dengan Sang Guru Sejati, sudah mencapai kesunyataan sejati. Adapun keadaan orang yang sudah
mencapai kesunyataan sejati, seperti yang dijelaskan oleh Bapak Pangrasa dalam
buku Olah
Rasa di Dalam Rasa Bab XVII (2013:31—32) sebagai berikut.
1) Tindak tanduknya bersahaja
dan menyenangkan.
2) Sikapnya terhadap siapa pun
ramah dan bersahabat.
3) Tingkah lakuknya tertib dan
susila.
4) Sedikit bicaranya dan sabar
tutur katanya.
5) Sopan santun jika berbicara
dan tidak bergapaian tangannya.
6) Cerah dan ramah roman
mukanya, tetapi berwibawa.
7) Tajam dan bersinar matanya.
8) Bersahaja pakaiannya.
9) Bersahaja hidupnya, luhur
budinya.
10) Kesabarannya laksana
samudera raya.
11) Pemaaf, adil dan baik budi
pekertinya.
12) Belas-kasih-cinta kepada
sesama hidup.
13) Menetapi kewajiban hidup
dengan tertib dan susila.
14) Menghormati dan meluhurkan
semua agama.
15) Setia kepada undang-undang
dan peraturan negara.
16) Tidak membeda-bedakan
derajat, golongan, bangsa, pria wanita, tua muda.
17) Semua diperlakukan sama,
tetapi tidak meninggalkan tata krama.
18) Tidak meninggalkan tata cara
hidup bermasyarakat.
19) Saling memedulikan, saling
menjaga dengan sopan santun.
20) Tidak berganti nama, tidak
memakai gelar yang dibuat-buat serta tidak muluk-muluk supaya terkenal dan
dipuja-puja di dunia.
21) Tidak menyombongkan
kepandaian, kewaspadaan, dan kekuasaan meskipun ketiga-tiganya itu telah
dimilikinya.
“Adapun rasa perasaan yang dapat kuterangkan dengan
kata-kata, yang nyata-nyata dirasakan: (1) tenang, tenteram, puas; (2) diam,
hening, sadar; (3) nikmat, bermanfaat; (4) bahagia, mulia, bijaksana; dan (5)
tetap merasa bertunggal dengan Tuhan. Sejatinya Hidup, yang menghidupi semua
sifat hidup, terasa bertunggal dengan semua sifat hidup, meresap ke dalam semua
wujud yang ada, yaitu keadaan yang tergelar ini, tidak dibatasi oleh waktu dan
tempat, jauh dan dekat, sempit dan sesak.” (Olah Rasa di Dalam Rasa, 2013:33).
7. Penutup
Dari
paparan olah rasa tentang proses penyiswaan melalui M-5 dan hasil penyiswaan
memperoleh K-5 tersebut bahwa tercapainya hingga sampai tujuan itu sangat
bergantung pada siswa yang menjalankannya. Bapak Pangrasa berpesan kepada
putranya Prabawa, melalui Bab XIV, Jika Hanya Berani Pada yang Mudah, Takut
Pada yang Sukar, Segala Sesuatu Tidak Tercapai, bahwa “Andaikata orang bepergian, cepat atau lamanya ia sampai di tempat
tujuan, mudah atau sulitnya jalan yang harus ditempuh, hal itu semata-mata juga
bergantung pada yang menjalankan, apakah pelaksanaannya (perjalanannya)
berdasarkan keteguhan tekad disertai pengorbanan, apakah hanya pura-pura atau
seenaknya. Oleh sebab itu, Prabawa, aku berpesan kepadamu, jika engkau
mempunyai cita-cita apa saja, jangan takut pada sukarnya laku yang merupakan
syarat atau penebus untuk mencapai cita-cita itu. Sebab, jika engkau hanya
berani pada yang mudah dan takut pada yang sukar (sulit), apa yang engkau
cita-citakan tidak akan tercapai.” (Olah Rasa di Dalam Rasa, 2013:21—22).
Satuhu.
No comments:
Post a Comment