Tuesday, 8 May 2018

PROSES DAN HASIL PENYISWAAN



PROSES DAN HASIL PENYISWAAN
(Puji Santosa, Bekasi)

1. Pengantar
Bapak, Ibu, dan Saudara para warga Paguyuban Ngesti Tunggal, siswa-siswi Sang Guru Sejati yang berbahagia, oleh karena senantiasa berbakti, percaya, dan taat pada semua sabda perintah Tuhan yang Sejati ialah Suksma Kawekas, yang disampaikan dengan perantaraan Utusan Tuhan yang Abadi ialah Suksma Sejati, Guru sekalian umat, baik dari pondok dunia maupun hingga nanti sampai di istana akhirat, serta menjadi Penuntun dan Guru hamba yang Sejati.
Bapak, Ibu, dan Saudara sepenyiswaan. Masih ingatkah Bapak, Ibu, Saudara ketika mengikuti ulasan akhir ceramah penerangan Ajaran Sang Guru Sejati, sebelum dilantik menjadi warga anggota Paguyuban Ngesti Tunggal, yaitu dijelaskannya oleh juru penabaur akan arti M-5 dalam proses penyiswaan, dan juga arti K-5 sebagai hasil penyiswaan. Apabila Bapak, Ibu, dan Saudara semua masih ingat dan memahami serta sudah melaksanakan M-5 dan menghasilkan K-5, hal itu sebagai tanda bahwa Bapak, Ibu, dan Saudara semua adalah siswa Sang Guru Sejati yang sungguh-sungguh tekun menyiswa, yang benar-benar senantiasa berbakti, taat, dan percaya kepada-Nya sehingga hasilnya baik, lancar, sejahtera, damai, tenteram, dan bahagia. Akan tetapi, bilamana Bapak, Ibu, dan Saudara lupa, setengah-setengah ingat, apa itu M-5 dan apa itu K-5, hal itu tentunya juga sebagai pertanda bahwa Bapak, Ibu, dan Saudara semua itu masih bersifat manusiawi, masih berada pada tataran calon siswa, atau calonnya calon siswa yang senantiasa masih memerlukan bimbingan dan tuntunan Sang Guru Sejati. Oleh karena itu, marilah kita bersama-sama mendekat kepada Sang Guru Sejati agar berkenan melimpahkan sih anugerah, pepadang, tuntunan, daya kekuatan lahir batin untuk dapat melaksanakan kewajiban suci dengan sempurna, serta memberi pengayoman, perlindungan, hingga berakhir pada kesejahteraan, ketenteraman, dan kebahagiaan abadi ialah di hadirat Tuhan Sejati.
Salah satu prasaran Pakde Narto pada Kongres ke-3 Paguyuban Ngesti Tunggal, tahun 1961, mengingatkan kepada para peserta Kongres akan Proses Penyiswaan M-5 dan Hasilnya K-5, bahwa “Kebanyakan para siswa hanya mau memetik buahnya saja, yaitu K-5, akan tetapi syarat-syaratnya (M-5) tidak dilaksanakan” (Dwiwindu Pangestu, 1967:49—50). Jikalau demikian halnya, berarti para warga itu pada umumnya hanya berani yang mudah-mudah saja dan takut pada hal-hal yang susah. Padahal, proses penyiswaan ini dipertegas kembali oleh Pakde Narto dalam kunjungan Beliau ke Jawa Barat, pada pertemuan di Jalan Progo, Bandung, 24 Agustus 1962, yaitu dijelaskan oleh Pakde Narto mengenai M-5 ialah:
1) Mau mendengarkan ajaran Sang Guru Sejati.
2) Mau menerima ajaran Sang Guru Sejati.
3) Mau mengerti ajaran Sang Guru Sejati.
4) Mau melaksanakan ajaran Sang Guru Sejati.
5) Mau mendekat kepada Sang Guru Sejati.
Hasilnya ialah K-5, yakni:
1) Kepuasan.
2) Ketenteraman.
3) Kebahagiaan.
4) Kebijaksanaan.
5) Kekuasaan.
[Dwiwindu Pangestu, 1967:74].
Proses penyiswaan melalui M-5 dan hasil penyiswaan dengan mendapatkan K-5 tersebut juga dipertegas kembali oleh Pakde Narto ketika beliau berkunjung ke warga Pangestu Cabang Lamongan, 26 Desember 1962, (Dwiwindu Pangestu, 1967:107) dijelaskan : “... Akhirnya, beliau menerangkan bahwa apabila kita mau menjalankan M-5 akan memperoleh K-5. Jelasnya, kalau kita mau Mendengarkan, Menerima, Mengerti, Menjalankan ajaran Sang Guru Sejati, dan selalu Mendekat kepada-Nya, maka kita akan memperoleh Kepuasan, Ketentraman, Kebahagiaan, Kebijaksanaan, dan kadang-kadang juga Kekuasaan.” Hal ini juga dipertegas Bapak Soedjarwo sebagai Ketua Pengurus Pangestu Pusat dalam Sambutan Ulang Tahun ke-20 Pangestu Cabang Jakarta I, 10 Maret 1973, memberi penjelasan tentang obat yang ampuh untuk menyembuhkan pelbagai penyakit yang diderita umat manusia melalui proses penyiswaan M-5 dan hasilnya menjadi K-5: “Apakah obatnya? Obatnya ialah Jalan Rahayu, Jalan yang Benar, melalui M-5. Adalah justru tugas suci Pangestu untuk meluaskan Ajaran Sang Guru Sejati, untuk menyembuhkan umat manusia dari penyakit-penyakitnya. Umat manusia akan sembuh jika menjalankan M-5, yaitu:
1)    Mendengarkan Ajaran Sang Guru Sejati.
2)    Menerima Ajaran Sang Guru Sejati.
3)    Mengerti Makna Ajaran Sang Guru Sejati.
4)    Melaksanakan Ajaran Sang Guru Sejati.
5)    Mendekat kepada Sang Guru Sejati.

Pelaksanaan M-5 ini akan berubah K-5, yaitu:
1)    Kepuasaan.
2)    Ketenteraman.
3)    Kebahagiaan.
4)    Kebijaksanaan.
5)    Kekuasaan.”
(20 Tahun Pangestu Cabang Jakarta I, 1973:34—35)
Lalu, bagaimanakah sebenarnya proses penyiswaan M-5 dan memperoleh hasilnya K-5 tersebut? Marilah kita bersama-sama memahami dan memawas diri akan proses penyiswaan M-5 dan hasil penyiswaan mendapatkan K-5 sebagai berikut.

2. Mau Mendengarkan Hasilnya Kepuasan
Pada umumnya setiap warga Pangestu, termasuk saya sendiri tentunya, maunya hasilnya, yaitu mendapatkan kepuasaan, ketenteraman, kebahagiaan, kebijaksanaan, dan kekuasaan. Sementara itu, M-5-nya ogah-ogahan, segan, dan pelbagai alasan lain untuk “wania ing gampang wedia ing ewuh” (hanya berani pada hal-hal yang mudah dan takut pada hal-hal yang susah, sulit, sukar). Apabila demikian, tentu semua cita-cita, segala sesuatu yang diharapkan tidak akan tercapai.
Mau mendengarkan Ajaran Sang Guru Sejati tidak hanya pada saat kita mengikuti ceramah penerangan Ajaran Sang Guru Sejati, yaitu pada saat sebelum menjadi warga Pangestu, tetapi setelah masuk menjadi warga Pangestu juga harus mau mendengarkan Ajaran Sang Guru Sejati melalui kegiatan olah rasa, melalui ajar pustaka, melalui pendalaman, dan melalui kegiatan lainnya yang berkenaan dengan Ajaran Sang Guru Sejati. Apakah yang disebut dengan mendengarkan Ajaran Sang Guru Sejati? Pada awalnya, mendengarkan Ajaran Sang Guru Sejati adalah suatu proses menangkap, memahami, dan mengingat dengan sebaik-baiknya apa yang didengarnya atau sesuatu apa yang dikatakan, apa yang diucapkan, atau apa yang dibacakan melalui perantaraan orang lain pada kita tentang Ajaran Sang Guru Sejati.
Namun, pada awalnya mendengarkan Ajaran Sang Guru Sejati ini pun orang susah menerimanya, bahkan menolak atau tidak mau mendengarkan, dan ada juga yang menutup rapat-rapat kedua telinganya. Hal ini terbukti, meskipun mereka sudah dipangestikan mohon dibukakan dan disucikan hatinya, ada beberapa calon warga mengikuti ceramah penerangan, baru beberapa kali mengikuti ceramah penerangan Ajaran Sang Guru Sejati (ada yang sesudah dijelaskan tentang Tripurusa, ada yang sesudah dijelaskan tentang Paliwara, dan ada juga yang sesudah dijelaskan tentang Sangkan Paran), sesudah itu tidak mau melanjutkan untuk mendengarkan ceramah penerangan Ajaran Sang Guru Sejati, dan berhenti untuk tidak diteruskan ceramahnya. Ada juga yang sudah menjadi warga dan dilantik, juga hanya beberapa kali mendatangi olah rasa, setelah itu tidak mau lagi melanjutkan penyiswaan kepada Sang Guru Sejati.
Sabda Sang Guru Sejati terdahulu, melalui Nabi Yeremia (5:21) menyatakan bahwa: “Kamu mempunyai mata tetapi tidak melihat, mempunyai telinga tetapi tidak mendengar”. Oleh karena itu, anugerah pancaindra telinga yang berfungsi untuk mendengarkan, bagi yang normal, bukan tuna rungu, marilah kita manfaatkan sebaik-baiknya agar berfungsi sebagaimana mestinya. Jangan ada yang mau mendengarkan ajaran Sang Guru Sejati hanya numpang lewat, masuk dari telinga kiri dan keluar dari telinga kanan. Hal ini dikarenakan dia tidak menyediakan botol kosong, botolnya sudah berisi aneka rupa masalah dan aneka macam ilmu, konsentrasinya terpecah, pikirannya melayang-layang, berkelana mengembara ke negeri bayangan, bermain HP, menguap-nguap, mengantuk, lalu tertidur atau ketiduran, dan atau sudah ada prasangka terlebih dahulu terhadap Ajaran Sang Guru Sejati. Jikalau kondisi dan situasinya demikian, bagaimana mungkin dia mendapatkan rasa kepuasan? Apa yang dirasakan hanyalah resah gelisah, kecewa, bété, dan pelbagai perasaan lain yang berkecamuk dalam batinnya. Dalam keadaan yang demikian itu, bagaimana mungkin mereka mau meningkatkan diri untuk dapat mendengarkan langsung Sabda Sang Suksma Sejati yang bersinggasana dalam lubuk hati sanubari atau rahsa jati? Sudah barang tentu hal itu jauh panggang dari api, artinya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.
Pakde Narto ketika pertama kali mendengarkan Sabda Suksma Sejati pada hari Minggu, 14 Februari 1932, merasakan betapa kepuasan yang tiada tara: “Pada waktu siswa muda menerima sabda pembuka sebagaimana tersebut, di dalam sanubarinya tiba-tiba seperti ada mata air membubul mengalir keluar menggenangi batin, meresap ke dalam hati, terasa “cles” bagaikan disiram air dingin pada waktu pagi, badan terasa gemetar merinding, lalu disusul rasa takut, akhirnya air seperti berhenti mengalir.” (Sabda Pratama, 2014:1—2). Ungkapan “di dalam sanubarinya tiba-tiba seperti ada mata air membubul mengalir keluar menggenangi batin, meresap ke dalam hati, terasa “cles” bagaikan disiram air dingin pada waktu pagi” menunjukkan hasil penyiswaan berwujud rasa kepuasan yang tiada taranya pada diri Pakde Narto.
Kemudian, dilanjutkan mendengarkan Sabda Suksma Sejati yang kedua, juga mendapatkan hasil penyiswaan betapa rasa kepuasan tiada tara meliputi hati Pakde Narto: “Turunnya sabda bagaikan lepasnya anak panah yang mengenai sasaran. Selama Sang Guru Sejati menyampaikan sabda wejangan yang kedua itu, hati siswa muda terasa sangat terang benderang seperti diliputi cahaya sang sitaresmi (bulan purnama). Meresapnya pepadang menimbulkan rasa tenang, tenteram, dan bahagia yang belum pernah dialami oleh siswa muda tersebut.” (Sabda Pratama, 2014:3—4). Pernyataan kalimat terakhir, “Meresapnya pepadang menimbulkan rasa tenang, tenteram, dan bahagia yang belum pernah dialami oleh siswa muda tersebut.” menunjukkan hasil penyiswaan rasa kepuasan tiada taranya, luar biasa dahsyatnya.
Demikian halnya pengalaman Saudara Jatmika saat pertama kali mendengarkan Sabda Suksma Sejati, yang dirasakan oleh Saudara Jatmika betapa kepuasan tiada tara: “Tadi pagi kira-kira pukul lima, setelah saya bersuci dengan air suci, saya lalu melakukan kewajiban suci manembah kepada Tuhan yang saya dasari dengan perasaan nelangsa disertai pangesti memohon sih pepadang Sang Guru Sejati. Dengan tidak terduga-duga, panembah saya dapat sampai pada keadaan heneng hening. Alam pikiran dan angan-angan saya yang biasanya selalu bermunculan serta ramai seperti di dalam pasar malam berhenti tidak bergerak, demikian juga pancaindra saya tidak bekerja. Barangkali itulah yang disebut luyut (khusyuk), yang menyebabkan rasa saya dapat menyusup ke dalam rahsa jati. Adapun yang terasa di dalam hati hanya: sunyi, senyap, tenang, tenteram, ayem. Persoalan hidup dan bermacam-macam penderitaan seketika itu hilang dari perasaan saya. Selanjutnya saya dapat menerima sabda Sang Guru Sejati yang terdengar jelas sekali dalam perasaan saya.” (Taman Kemuliaan Abadi, 2015:15).
Pernyataan dua kalimat: “Adapun yang terasa di dalam hati hanya: sunyi, senyap, tenang, tenteram, ayem. Persoalan hidup dan bermacam-macam penderitaan seketika itu hilang dari perasaan saya.” menunjukkan hasil penyiswaan rasa kepuasan yang tiada taranya, luar biasa banget. Apalagi ditambah pernyataan Saudara Jatmika selanjutnya, yang berbunyi: “Angan-angan dan pancaindra saya sudah kembali bekerja lagi. Namun, rasa tenang tenteram serta bahagia yang belum pernah saya alami masih terasa membekas di dalam perasaan saya hingga sekarang.” (Taman Kemuliaan Abadi, 2015:15). Jelas hal ini, apa yang dialami oleh Saudara Jatmika, merupakan representasi proses penyiswaan dengan mendengarkan Sabda Sang Guru Sejati hasilnya memperoleh rasa kepuasan yang tiada bandingannya.

3. Mau Menerima Hasilnya Ketenteraman
Proses penyiswaan selanjutnya, sesudah mau mendengarkan ajaran Sang Guru Sejati sebanyak 7 kali yang disampaikan juru penabur, kemudian kita menerima formulir kesediaan menjadi warga Pangestu. Apabila mau menerima ajaran Sang Guru Sejati dan bersedia menjadi warga Pangestu, akan diberikan Ceramah Penerangan terakhir, yaitu Bab Panembah. Namun, apabila tidak mau menerima ajaran Sang Guru Sejati, dan juga tidak bersedia menjadi warga Pangestu, ya sudah cerita berakhir sampai di sini, tidak ada kelanjutnya. Kepada mereka, yang tidak mau menerima atau menolak, kita sampaikan “andum basuki kémawon”, berbagi keselamatan masing-masing.
Seseorang untuk mau menerima ajaran Sang Guru Sejati tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Hal ini sudah diantisipasi oleh Pakde Narto, seperti yang tersurat dalam “Tuntunan atau Petunjuk Bagi Para Siswa Utama”, yaitu “Jika Saudara sudah mendengarkan Ceramah Pangestu, padahal tidak merasa cocok atau tidak dapat menerimanya, hal itu tidaklah mengapa. Adapun jika Saudara merasa cocok, setelah ceramah berakhir, sudah tamat, Saudara lalu dipersilakan menentukan sikap dengan mengisi formulir untuk dapat diterima menjadi anggota Pangestu. Akhirnya, keputusan itu terserah sepenuhnya kepada Saudara.” (Golongan Kesiswaan dan Tuntunan bagi Para Siswa Utama, 1990:21).
Memang, keputusan terakhir terserah sepenuhnya pada masing-masing peserta ceramah. Ketika menerima formulir kesediaan menjadi warga Pangestu, beberapa peserta ceramah ada yang masih menimbang-nimbang, bimbang, berpikir lama-lama, ragu-ragu, dan mengulur-ulur nalar apa benar ajaran Sang Guru Sejati ini berasal dari Sabda Tuhan Yang Maha Esa? Jangan-jangan ajaran ini hanya sekadar mengada-ada, atau ajaran yang berasal dari para dewata, sehingga menyebarkan ilmu kebatinan yang aneh-aneh bin ajaib yang lazimnya disebut ilmu klenik? Ada juga peserta ceramah yang langsung menutup diri, ditutuplah mata hati dan telinganya, yaitu menolak atau tidak mau menerima ajaran Sang Guru Sejati dengan tidak bersedia mengisi formulir menjadi warga Pangestu. Pelbagai alasan dan prasangka hanya berdasarkan pada cekak rupak brangasan, yaitu menganggap keliru pengetahuan orang lain yang tidak sama dengan pengetahuannya sendiri. Namun, masih ada juga peserta ceramah yang mau menerima ajaran Sang Guru Sejati dengan rasa bersyukur sehingga bersedia mengisi formulir menjadi warga Pangestu, siap mendengarkan ceramah selanjutnya Bab Panembah, siap diulas oleh Ketua Cabang, siap dilantik menjadi warga Pangestu bersama-sama menyiswa dengan warga Pangestu lainnya, dan berjanji dengan sungguh-sungguh akan melaksanakan secara lahir dan batin dengan bertekun dalam kehidupan sehari-hari semua sabda Sang Suksma Sejati yang terukir dalam pustaka suci Sasangka Jati. 
Manusia diberi keleluasan memilih antara mau menerima ajaran Sang Guru Sejati dan atau menolak ajaran Sang Guru Sejati. Setiap pilihan membawa konsekuensi masing-masing. Apabila orang mau menerima ajaran Sang Guru Sejati, perasaannya positif, tumbuh rasa senang, riang gembira, setuju, dan tenteram. Perasaan positif yang demikian itu mengakibatkan hati atau batin seolah-olah membuka atau mengendur. Dengan perasaan positif mampu membawa kesanggupan untuk mempersatukan diri dengan keadaan atau orang lain sehingga sanggup untuk mengurangi kedaulatan Aku. Oleh karena itu, “untuk menjalankan Trisila dan Pancasila diperlukan kesanggupan mengurangi kedaulatan Aku terhadap kedaulatan Tripurusa. Manusia harus sanggup membelakangkan kepentingan diri sendiri terhadap kesadaran Tripurusa.” (Arsip Sarjana Budi Santosa, Butir 30, 2015:19). Hal ini hanya dapat dilakukan apabila seseorang tersebut mau menerima ajaran Sang Guru Sejati dengan rasa bersyukur.
Sebaliknya, apabila seseorang tidak mau menerima atau menolak ajaran Sang Guru Sejati, perasaannya menjadi negatif, dipenuhi oleh pelbagai prasangka negatif, dihinggapi rasa sedih, resah, gelisah, kecewa, dan juga tidak setuju. Perasaan negatif tersebut membuat hati atau batin menutup dan tegang sehingga menjauhkan diri dari apa yang diseganinya. Akibatnya, “perasaan negatif selalu memisahkan Aku dan mempertahankan Aku.” (Arsip Sarjana Budi Santosa, Butir 29, 2015:19). Itulah sebabnya perasaan negatif selalu menentang terlaksananya Tri Sila dan Panca Sila.   
Mau menerima ajaran Sang Guru Sejati itu merupakan suatu anugerah yang tiada bandingannya. Pakde Menggung Hardjoprakoso dan Pakde Soemodihardjo pada awalnya mau mendengarkan ajaran Sang Guru Sejati hanya melalui kabar berita tentang seorang siswa muda bernama R. Soenarto Mertowardojo menerima wahyu pepadang Tuhan, lalu beliau berdua langsung mau menerima ajaran Sang Guru Sejati. Hal ini terbukti bahwa mereka berdua “Pada malam Sabtu Paing, tanggal 21 Sura, tahun Dal 1863, atau tanggal 27 menjelang 28 Mei 1932, Saudara R.T. Hardjoprakoso disertai Saudara Trihardono Soemodihardjo datang di Pondok Widuran, bertemu dengan siswa muda. Pada malam itulah kedua saudara tersebut menerima wahyu Tuhan dengan perantaraan Sang Guru Sejati, selanjutnya menerima wejangan-wejangan yang disabdakan secara berturut-turut hingga beberapa bulan, yang kini telah terhimpun dalam pustaka Sasangka Jati.” (Sabda Pratama, 2014:8—9). Selanjutnya, melalui ketiga siswa Sang Guru Sejati tersebut Ajaran Sang Guru Sejati diseratakan ke seluruh penjuru dunia, dengan dibantu oleh para siswa yang senantiasa bakti, percaya, dan taat, hingga sekarang.
Hasil penyiswaan bagi mereka yang mau menerima ajaran Sang Guru Sejati bukan hanya berwujud harta benda, kekuasaan, ataupun jabatan, melainkan berwujud ketenteraman abadi yang tersimpan di dalam hati sanubari. Hal ini secara jelas disampaikan oleh Sang Guru Sejati melalui perantaraan Pakde Narto pada 20 Mei 1949, Sabda Khusus Peringatan Nomor 1 Butir 9 yang berbunyi: “Adapun anugerah tersebut tidak berupa harta benda, tetapi ketenteraman abadi yang tersimpan di dalam hati sanubari.” (Sabda Khusus, 2013:4).

4. Mau Mengerti Hasilnya Kebahagiaan
            Proses penyiswaan selanjutnya, sesudah mau menerima ajaran Sang Guru Sejati dengan bersedia mengisi formulir menjadi warga Pangestu, bersedia dilantik menjadi warga Pangestu, dan berjanji dengan sungguh-sungguh akan melaksanakan secara lahir dan batin dengan bertekun dalam kehidupan sehari-hari semua sabda Sang Suksma Sejati yang terukir dalam pustaka suci Sasangka Jati, adalah mau mengerti akan ajaran Sang Guru Sejati. Apa yang dimaksud dengan mau mengerti akan ajaran Sang Guru Sejati? Mau mengerti akan ajaran Sang Guru Sejati adalah upaya untuk dapat memahami, mengetahui, dan mengerti sehingga paham benar apa yang maksud dan tujuannya, serta isi/kandungan/makna ajaran Sang Guru Sejati. Apabila kita mengerti dengan benar ajaran Sang Guru Sejati, sudah barang tentu diharapkan akan dapat memperlancar jalannya penyiswaan kita mencapai tujuan yang semestinya, yakni ‘sangkan paraning dumadi atau asal dan tujuan segenap makhluk.
            Kendatipun banyak jalan atau banyak cara untuk dapat mau mengerti ajaran Sang Guru Sejati, soal mengerti atau tidak mengerti itu bukan bergantung pada lamanya seseorang tersebut menjadi warga Pangestu, melainkan berdasarkan atas kesungguhannya menyiswa kepada Sang Guru Sejati. Saudara Kelana menjelaskan soal mengerti atau tidak mengerti kepada keenam saudaranya, bahwa “Sebenarnya, mengerti atau tidak mengerti itu bukan bergantung pada lamanya menyiswa, melainkan kesungguhan menyiswa. Saya pun tidak mengerti, kalau tidak ada pepadang dari Sang Guru Sejati dan selalu didorong oleh Pakde Narto.” (Ulasan Kang Kelana, 2015:47). Dengan demikian, bilamana kita sungguh-sungguh menyiswa kepada Sang Guru Sejati dengan berdasarkan pada keteguhan tekad yang disertai pengorbanan, tidak berpura-pura (lelamisan) dan juga tidak seenaknya, tentu Sang Guru Sejati melimpahkan sih pepadang dan tuntunan-Nya sehingga kita mengerti, mengetahui, dan memahami makna ajaran Sang Guru Sejati.
            Sebagaimana kita ketahui bahwa tuntunan Sang Guru Sejati diterjemahkan oleh si penerima melalui tiga jurusan, yaitu (1) melalui jurusan angan-angan, (2) melalui jurusan perasaan, dan (3) melalui jurusan keinginan-kemauan dan diteruskan ke alat-alat pelaksana (Arsip Sarjana Budi Santosa, Butir 118—120, 2015:83—84). Tuntunan Sang Guru Sejati yang berkaitan untuk dapat mau mengerti akan makna ajaran Sang Guru Sejati dipancarkan melalui jurusan angan-angan yang berbunyi demikian: “Si penerima lalu melihat sesuatu dalam hatinya yang mengandung arti pepadang baginya. Atau diterjemahkannya tuntunan yang diterimanya sebagai kata-kata yang menyatakan suatu pepadang pula. Lain segi lagi diterjemahkannya sebagai suatu pengertian tentang sesuatu yang sebelumnya masih belum dipahami. Ini juga suatu pepadang. Semua itu terjadi secepat kilat dan si penerima tidak menyadari bahwa ia menerjemahkan tuntunan. Yang diterimanya sebagai pepadang itu sebenarnya bukan orisinal pepadang lagi, tetapi hanya terjemahan.” (Arsip Sarjana Budi Santosa, Butir 118, 2015:83). Pernyataan kalimat: “Lain segi lagi diterjemahkannya sebagai suatu pengertian tentang sesuatu yang sebelumnya masih belum dipahami.” Maksudnya pengertian itu adalah sesuatu yang sebelumnya masih belum dipahami, jika sudah dipahami menjadi sudah dimengerti, sudah dipahami, dan sudah diketahui.
            Meskipun ajaran Sang Guru Sejati itu sudah tidak lagi dibungkus dengan pelbagai perumpamaan atau kiasan-kiasan (ibarat emasnya ajaran sudah sampai pada peraknya, tidak lagi dibungkus dengan timah; atau ibarat kelapa sudah dikupas sabut dan batoknya, tinggal mengolah kelapanya menjadi minyak), tetap saja bagi mereka yang awam atau masih berderajat calon siswa, masih banyak hal yang tidak dimengerti, banyak hal yang tidak dipahami, dan banyak hal yang tidak diketahui. Oleh karena itu, Sang Guru Sejati sejak menurunkan Sabda Pratama (1932), Sasangka Jati (1932), hingga Sabda Khusus Peringatan Nomor 23 (1959) selalu didahului dengan pernyataan “Wruhanira!” (Ketahuilah olehmu), “Wruhanira siswaning-Sun” (Ketahuilah olehmu siswa-Ku!), atau “Mangertia sira siwaning-Sun!” (Mengertilah engkau siswa-Ku!) dengan segala variasinya. Hal ini suatu pertanda bahwa kita yang menyiswa kepada Sang Guru Sejati tersebut yang sebelumnya tidak mengerti, yang sebelumnya tidak mengetahui, dan yang sebelumnya tidak memahami, dengan diturunkan ajaran Sang Guru Sejati ini menjadi mengerti, menjadi mengetahui, dan menjadi memahami maksud dan tujuan serta isi/kandungan/makna ajaran Sang Guru Sejati.
            Untuk dapat mau mengerti ajaran Sang Guru Sejati dapat ditempuh melalui usaha ke luar dan ke dalam. Usaha keluar dapat dilakukan dengan cara mendengarkan ceramah penerangan ajaran Sang Guru Sejati, membaca buku-buku wajib, menghadiri pertemuan olah rasa, mengikuti ajar pustaka atau pendalaman, belajar merasa-rasakan ajaran Sang Guru Sejati dengan memperhatikan sabda yang tergelar karena apa yang tergelar di dunia ini merupakan sabda yang tidak terucapkan atau sastra yang tidak tertulis, kalam ikhtibar, serta mencari literatur lainnya dalam kaitannya memahami ajaran Sang Guru Sejati.
Usaha ke dalam untuk dapat mau mengerti ajaran Sang Guru Sejati dapat ditempuh dengan jalan menyiswa secara sunggguh-sungguh, salah satunya melakukan Pengesti Nomor 1 untuk menjadi seorang yang mursid. Melalui percakapan Sri Rejeki dan Jatmika, dalam Taman Kemuliaan Abadi (2015:37—38), dinyatakan: “Mas, Jatmika, setelah saya mendengarkan keteranganmu itu tadi, pengertian saya yang sebelumnya buntu lalu bolong, mak plong, dan mengerti secara gamblang terang apa yang menjadi karsa Sang Guru Sejati. Mas, Mas, sekarang Kanda kok menjadi siswa yang mursid, padahal dulu – ya minta maaflah – dengan saya ibarat setali tiga uang, sama-sama bodohnya. Di mana Kanda belajar? Apa sekarang ada fakultas mursid? Mbok saya dimaksukkan, saya ingin ikut kuliah jurusan kemursidan, biar tidak keterlanjuran bodoh, melongo saja seperti kerbau.”
Saudara Jatmika dengan tersenyum menanggapi pertanyaan istrinya: “Jeng Sri, sampai sekarang di seluruh dunia belum ada fakultas mursid, juga belum ada sekolah yang mengajarkan supaya orang menjadi cekatan, tangkas, dan terampil. Adapun saya mendapat berkah menjadi agak mursid setelah saya sering menghadap Bapak, sebab saya lalu mengetahui, sumbernya kemursidan berada di dalam rahsa jati, di pusat hati sanubari yang suci. Bagaimana caranya agar Diajeng dapat dialiri air kemursidan, menurut Bapak adalah sebagai berikut.
Setiap waktu ketika sedang senggang, ibaratnya setiap detik, panjatkanlah Pangesti Nomor 1, selanjutnya perasaanmu hendaklah dipenuhi dengan rasa mendekat kepada Sang Sasangka Jati ialah Sang Guru Sejati. Jika rasa mendekat kepada Sang Pepadang tersebut sudah tertanam atau menggores di dalam batinmu, engkau akan disinari kebijaksanaan Sang Guru Sejati, akhirnya engkau menjadi siswa yang mursid. Ketahuilah, Jeng, bahwa Rahsa Jati adalah sumber kebijaksanaan, ketenteraman, kebahagiaan, dan kemuliaan. Rahsa Jati adalah gapura Taman Kemuliaan Abadi.” [Taman Kemuliaan Abadi, 2015:37—38].
Pernyataan Sri Rejeki: “pengertian saya yang sebelumnya buntu lalu bolong, mak plong, dan mengerti secara gamblang terang apa yang menjadi karsa Sang Guru Sejati.” menunjukkan hasil penyiswaan dari mau mengerti akan ajaran Sang Guru Sejati, yaitu rasa kebahagiaan. Terlebih, hal itu diperkuat oleh pernyataan Saudara Jatmika bahwa “Jika rasa mendekat kepada Sang Pepadang tersebut sudah tertanam atau menggores di dalam batinmu, engkau akan disinari kebijaksanaan Sang Guru Sejati, akhirnya engkau menjadi siswa yang mursid. Ketahuilah, Jeng, bahwa Rahsa Jati adalah sumber kebijaksanaan, ketenteraman, kebahagiaan, dan kemuliaan.” Hal ini jelas menandakan sesudah siswa mengetahui, sesudah siswa mengerti, dan sesudah siswa memahami ajaran Sang Guru Sejati, buah atau hasil yang diperolehnya adalah kebahagiaan yang luar biasa.

5. Mau Melaksanakan Hasilnya Kebijaksanaan
Proses penyiswaan selanjutnya, sesudah mau mengerti ajaran Sang Guru Sejati adalah mau melaksanakan ajaran Sang Guru Sejati. Artinya, dalam penyiswaan kepada Sang Guru Sejati, kita tidak boleh hanya berhenti sampai pada pengertian, sementara laku, pelaksanaannya, atau penerapannya dalam kehidupan sehari-hari tidak ada, atau tidak dilanjutkan ke laku. Apabila seseorang hanya pandai dalam hal teori, tanpa disertai praktik, adalah omong kosong. Ilmu tanpa amal ibarat pohon tanpa buah. Oleh karena itu, Juru Mengeti, Bapak Tumenggung Hardjoprakosa dan Bapak Trihardono Soemodihardjo, dalam Pendahuluan Buku Hasta Sila menyatakan: “Ilmu itu agar dapat menjadi kenyataan harus disertai laku; ilmu yang tanpa laku mustahil kita dapat menyaksikan kenyataannya (terhenti dalam pikiran).” (Sasangka Jati, 2014:3). Ilmu yang terhenti pada pikiran, hanya sampai pada pengertian, tidak akan dapat menjadi kenyataan sehingga tidak dapat menghasilkan anugerah.
Bapak Pangrasa, dalam Olah Rasa di Dalam Rasa, mengingatkan kepada ketiga putranya agar segera melaksanakan kesabaran yang tersimpan dalam Hasta Sila dan jangan hanya berhenti dalam hal pengertian. Nasihat Bapak Pangrasa tersebut demikian: “Oleh karena itu, segeralah memakai baju kesabaran yang tersedia di dalam ‘peti’ Hasta Sila; jangan hanya berhenti dalam pengertian kalau kalian ingin menerima kasih sayang Allah.” (Olah Rasa di Dalam Rasa, 2014:4). Kesabaran yang hanya berhenti pada pengertian, ibarat baju yang tidak dipakai sehingga tidak merasakan fungsi baju yang menyehatkan dan memberi kehormatan, artinya tanpa melaksanakan  kesabaran tidak akan menerima kasih sayang Allah.
Nasihat Bapak Pangrasa tersebut ditegaskan kembali ketika Pangaribawa berhasil dengan benar menjawab empat pertanyaan jika kelak dipanggil kembali menghadap ke hadirat Tuhan, yaitu “Pangaribawa, setelah engkau mengerti empat macam syarat untuk kembali menghadap ke hadirat Tuhan, pengertianmu itu lalu masukkanlah ke dalam pusat sanubarimu yang suci sampai kandas terasa tertanam dalam rahsa jati dan jangan sampai dicampuri pengertian atau ilmu lainnya. Sebab, jika hanya berhenti pada pengertian, yaitu tidak diikuti dengan perbuatan, kelak pada saat hajatan ‘bertemunya sang pengantin’ (sampai janjinya), pengertian tanpa perbuatan atau ilmu tanpa laku itu akan mengingkari.” (Olah Rasa di Dalam Rasa, 2014:103). Setelah mengerti ajaran Sang Guru Sejati segeralah dilaksanakan, bukan sekadar menjadi pengetahuan semata, dan janganlah ditunda-tunda pelakasanaannya. Sebab, apabila hanya berhenti pada pengertian, tidak diikuti dengan perbuatan, pengertian itu tidak dapat memberi apa-apa, tidak berfungsi apa-apa, dan tidak dapat menolong kita dalam perjalanan kembali pulang menghadap ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam hal mau melaksanakan ajaran Sang Guru Sejati, Saudara Sasangka memberi penegasan atas penjelasan Saudara Kelana atas pertanyaan Saudara Sudibya tentang menyerahkan angan-angan pada waktu manembah, yaitu “Soalnya ialah pelaksanaan, bukan pengetahuan semata-mata. Sekadar pengetahuan cukup sebagai batu loncatan, jangan terus-menerus menambah pengertian dengan menunda-nunda dimulainya tindakan. Bapak Pangrasa di dalam Bawa Raos ing Salebeting Raos bersabda bahwa pangerti harus disertai pakarti dan ilmu disusul oleh laku. Pangerti dan ilmu dengan sendirinya akan bertambah karena pakarti dan laku.” (Ulasan Kang Kelana, 2015:142).
Apabila kita sudah mengerti akan ajaran Sang Guru Sejati, janganlah sekadar dijadikan pengetahuan semata, dan janganlah pula ditunda-tunda pelaksanaannya hanya karena berhasrat menambah pengertian terus. Sesuai dengan Prasetia Suci yang kita ucapkan dalam pelantikan menjadi warga Pangestu, segeralah dengan sungguh-sungguh melaksanakan secara lahir dan batin dengan bertekun di dalam kehidupan sehari-hari semua Sabda Sang Suksma Sejati yang terukir dalam pustaka suci Sasangka Jati. Segeralah dengan sungguh-sungguh berusaha untuk dapat mengalihkan titik berat kesadaran ke Alam Sejati ialah kepada Tripurusa. Segeralah dengan sungguh-sungguh melaksanakan Dasa Sila ialah pedoman para warga Paguyuban Ngesti Tunggal. Mumpung gedhe rembulane, mumpung jembar kalangane (Senyampang besar bulannya, senyampang luas lingkarannya) “mempunyai arti: memberi peringatan supaya para hamba jangan menunda-nunda waktu; senyampang masih muda, sehat walafiat, dan masih mempunyai waktu panjang, bergegaslah untuk bersiap-siap atau siaga mengenakan busana kesucian untuk menghadap, sewaktu-waktu dipanggil ke hadirat Tuhan. Sebab, jika sudah terlanjur tua dan pikun, mustahil dapat mengenakan busana kesucian serta membangun kepercayaan yang benar.” (Taman Kemuliaan Abadi, 2015:45)
Pokok sabda wejangan Sang Guru Sejati yang terukir dalam pustaka suci Sasangka Jati, “yaitu: (1) memberi petunjuk tentang jalan benar ialah jalan utama yang berakhir dalam kesejahteraan, ketenteraman, dan kemuliaan abadi; (2) memberi petunjuk tentang adanya jalan simpangan yang membelok ke kiri, yang sampai di alam para pengingkar, yaitu alam kerusakan; dan (3) memberi petunjuk tentang pengolahan jiwa dan budi pekerti supaya jiwa para siswa menjadi kuat dan sehat, serta mempunyai budi pekerti yang utama.” (Taman Kemuliaan Abadi, 2015:51). Intisari sabda wejangan Sang Guru Sejati yang harus dilaksanakan oleh para siswa adalah delapan bab yang disebut Hasta Sila, yaitu Panembah Batin Delapan Perkara. Hasta Sila terdiri atas dua bagian, yaitu Tri Sila dan Panca Sila. Tri Sila itu Panembahnya Hati dan Cipta tiga perkara kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Tri Sila juga wujud kesanggupan besar yang perlu sekali dilaksanakan dalam setiap harinya, yaitu siswa harus senantiasa Sadar, Percaya, dan Taat kepada Tuhan yang menguasai semesta alam seisinya.
Agar dapat sempurna siswa melaksanakan kesanggupan besar tiga perkara tersebut, siswa wajib berusaha agar dapat memiliki watak utama atau perbuatan keutamaan lima perkara, disebut Panca Sila, yaitu Rela, Narima, Jujur, Sabar, dan Budi Luhur. Adapun sebagai tangga untuk dapat mencapai watak Panca Sila, siswa harus berjalan di Jalan Rahayu sebagai kewajiban yang harus dilaksanakan oleh para calon siswa, disebut Panca Darma Bakti, yaitu:
1)    Meresapkan Paugeran Tuhan kepada hamba (sejatinya syahadat).
2)    Melaksanakan baktinya kepada Tuhan dengan Panembah, sebagai tanda bakti kepada Tuhan dan tali sadar.
3)    Melaksanakan Budi Darma, yaitu membabarkan rasa kasih sayang kepada sesama hidup dengan memberi kebaikan atau pertolongan kepada siapa saja.
4)    Mengendalikan Hawa Nafsu yang menuju pada tindak kejahatan yang didasari tapa brata sekadarnya, yaitu dengan mengurangi atau membatasi makan, minum, tidur, syahwat, kegemaran, kesenangan, dan sebagainya.
5)    Berusaha untuk dapat mempunyai watak Budi Luhur, yaitu budi pekerti yang utama.
Selain hal tersebut, setiap siswa wajib berusaha jangan sampai menerjang larangan Tuhan, yang disebut dengan Paliwara. Adapun yang menjadi Larangan Tuhan yang Mahakuasa kepada manusia itu ada lima perkara, yaitu:
1)    Jangan menyembah kepada selain Allah.
2)    Berhati-hatilah dalam hal syahwat.
3)    Jangan memakan atau menggunakan makanan yang memudahkan cepat rusaknya badan jasmani dan budi pekerti.
4)    Patuhilah Undang-undang Negara dan peraturannya.
5)    Jangan berselisih atau bertengkar.
Sebagai warga Pangestu, sesuai dengan Prasetia Suci yang ketiga, kita juga wajib melaksanakan Dasa Sila, pedoman para warga Paguyuban Ngesti Tunggal, yaitu:
1) Berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2) Berbakti kepada Utusan Tuhan.
3) Setia kepada Kalifatullah (pembesar negara).
4) Berbakti kepada tanah tumpah darah (tanah air).
5) Berbakti kepada orang tua (ayah-ibu).
6) Berbakti kepada saudara tua.
7) Berbakti kepada guru.
8) Berbakti kepada pelajaran keutamaan.
9) Kasih sayang kepada sesama hidup.
10) Menghormati semua agama.
Dasa Sila itu apabila diringkas hanya berisi satu wejangan pokok, yaitu “Sifat Kasih Sayang dan Cinta” terhadap semua yang bersifat hidup. Anugerah, buah, atau hasil mau melaksanakan ajaran Sang Guru Sejati sesungguhnya sudah dijawab oleh Saudara Kemayan ketika menjawab pertanyaan yang ke-8 dari 10 pertanyaan Bapak Pangrasa, yaitu: “Apakah hasil dan buahnya jika kita menyiswa kepada Sang Guru Sejati? Jawaban: Pada waktu kita masih hidup di alam kewadakan (dunia) ini, kita selalu dilindungi dan mendapat tuntunan berjalan di jalan benar, yakni jalan utama yang berakhir dalam kesejahteraan, ketentraman, dan kemuliaan abadi. Kita akan mendapat sinar pepadang Sang Guru Sejati yang berdaya menumbuhkan rasa tenang-tentram-bahagia yang abadi, yang dapat menyingkirkan rasa waswas, khawatir, takut, cemas, senang, dan susah. Kadang-kadang menjadi perantara karsa ialah karsa Tuhan, yang berdaya menumbuhkan rasa suka bahagia. Adapun yang terpenting ialah kelak kita akan dituntun kembali bertunggal dengah Allah, di alam kemuliaan abadi.” (Olah Rasa di Dalam Rasa, 2013:100).

6. Mau Mendekat Hasilnya Kekuasaan
Proses penyiswaan selanjutnya, sesudah mau melaksanakan ajaran Sang Guru Sejati adalah mau mendekat kepada Sang Guru Sejati. Untuk dapat mendekat kepada Sang Guru Sejati siswa harus percaya dengan bersaksi adanya Sang Guru Sejati. Siswa juga harus tahu siapa Sang Guru Sejati itu. Sang Guru Sejati adalah Suksma Sejati ialah Utusan Tuhan yang Abadi, Nur Dzat Allah, yang menjadi Panutan, Penuntun, dan Guru kita yang sejati, yang juga disebut Nur Muhammad, Sang Kristus, Sang Sabda ialah Guru Dunia. Siswa juga harus tahu singgasana atau persemayaman Sang Guru Sejati. Sang Guru Sejati bersinggasana di pusat hidup abadi, bersemayam atau bertunggal di pusat hati sanubari kita yang suci. Hal tersebut secara jelas dinyatakan oleh Saudara Kelana kepada keenam Saudaranya, yaitu: “Bagi yang ingin mendekat kepada Sang Suksma Sejati, yang menjadi pegangan ialah pengertiannya bahwa Sang Suksma Sejati sudah ada dalam dirinya sendiri dan di tiap-tiap manusia. Manusia hanya dapat menyadari Sang Suksma Sejati melalui Rahsa Jatinya sendiri. Ia tidak dapat menyadari Sang Suksma Sejati melalui orang lain. Rahsa Jati itu iklim jiwanya sendiri yang sedalam-dalamnya, iklim jiwa yang tidak diisi dengan pikiran, perasaan atau keinginan macam-macam, iklim jiwa yang bersih murni, terang-benderang.” (Ulasan Kang Kelana, 2015:120).
Walaupun kita berusaha mendekat kepada Sang Guru Sejati, kita tidak dapat bertemu dengan Sang Guru Sejati, tetapi kita mempunyai rasa dekat dan merasa ditunggali oleh Sang Guru Sejati di pusat hati sanubari, yakni di rahsa jati. Kendatipun kita mempunyai rasa dekat dan merasa ditunggali oleh Sang Guru Sejati, kita juga tidak dapat melihat roman muka atau wujud Sang Guru Sejati. Sebab roman muka Sang Guru Sejati itu tidak dapat dilihat dengan mata kepala, juga tidak dapat dilihat dengan penglihatan yang halus (kewaspadaan penglihatan) karena Guru Sejati itu sinar cahaya Allah, yang tidak berwarna-berupa-berwujud. Jadi, Sang Guru Sejati itu tidak berbentuk atau berwujud apa pun. (Olah Rasa di Dalam Rasa, 2013:99—100).
Bilamana seorang siswa dengan segala usaha untuk dapat mendekat kepada Sang Guru Sejati mempunyai tujuan ingin bertemu dengan Beliau, jelas hal ini keliru. Kita tidak ingin bertemu dengan Sang Guru Sejati, tetapi kita berhasrat untuk dapat bertunggal atau ditunggali dengan Sang Guru Sejati di rahsa jati ialah di pusat hati sanubari kita yang suci, asal kita melaksanakan (menaati) semua sabda ajaran Sang Guru Sejati sebagaimana termaktub dalam pustaka suci Sasangka Jati.
Adapun jalan yang terdekat untuk dapat sampai ke singgasana Sang Guru Sejati, yaitu sampai pada rahsa jati, kita harus mempunyai rasa cinta (bakti), rasa rindu, rasa sengsem, rasa dekat, rasa ditunggali (didekati), dan rasa bertunggal dengan Sang Guru Sejati. Pelaksanaannya harus diusahakan dengan cara selalu manembah dengan kebulatan hati yang hening dan suci. Supaya dapat melaksanakan panembah dengan kebulatan hati yang hening dan suci siswa harus dapat melakukan panembah dengan cara yang benar, yang menuntun hingga panembah yang sejati (panembah yang sempurna). “Panembah itulah yang senantiasa harus dilaksanakan secara teratur sebagai usaha yang nyata untuk mendekat kepada Sang Suksma Sejati.” (Ulasan Kang Kelana, 2015:122).
Bapak Pangrasa memberi resep panembah yang sejati, yang benar, dan yang sempurna, dengan terlebih dahulu para siswa hendaklah mengerti bahwa panembah itu jika diperinci (dipilah-pilah) ada empat tingkatan atau empat tataran, yaitu: sembah raga, sembah cipta, sembah kalbu (hati), dan sembah rasa. “Jika panembah empat perkara tersebut (sembah raga, sembah cipta, sembah kalbu, dan sembah rasa), sudah digulung menjadi satu, artinya sudah menyatu dengan jiwa raga (kebadan) para siswa berada dalam pemusatan angan-angan (panembah rahsa jati) hingga terasa menembus masuk ke dalam rahsa jati di pusat hati sanubari yang suci, siswa mampu membuka tabir panunggal, karena pancaindranya, ciptanya, angan-angannya, dan pengertinya, sama-sama tidak bekerja, seumpama bunga semua menguncup tidak menebarkan baunya yang harum. Akhirnya, siswa dapat sampai pada panembah yang sejati (panembah yang sempurna), yang manembah dan yang disembah sudah bertunggal menjadi satu, Roh Suci bertunggal dengan Suksma Sejati dipusat hati sanubari yang suci, yaitu di pusat Hidup. Siswa bertunggal dengan Sang Guru Sejati dan naik derajatnya menjadi Guru. Jadi, cara panembah yang benar ialah apabila raganya-ciptanya-hatinya-rasanya bersama-sama manembah kepada Allah sehingga yang manembah dapat meninggalkan ‘alam keramaian’ menyelam ke dalam keadaan heneng-hening-awas-eling” (Olah Rasa di Dalam Rasa, 2013:62).
Selain hal di atas, jalan terdekat untuk sampai ke singgasana Sang Guru Sejati, siswa harus sudah meresapi sejatinya syahadat atau paugeran Tuhan kepada hamba, berjalan di Jalan Rahayu atau menetapi Panca Darma Bakti, menetapi Tri Sila dan Panca Sila, menetapi Dasa Sila, dan senantiasa membangun rasa kasih sayang kepada sesama hidup yang didasari tapa brata sekadarnya. Hal ini merupakan jawaban ke-10 dan ke-7 Saudara Kemayan atas 10 pertanyaan Bapak Pangrasa dalam Olah Rasa di Dalam Rasa (2013:100—101).
Buah atau hasil penyiswaan bilamana kita mau mendekat kepada Sang Guru Sejati adalah kekuasaan yang berwujud ketenangan dan ketenteraman yang tidak akan luntur dan sukar hilang bilamana kita kembali terjun ke dalam keramaian dunia. Hal ini secara jelas disampaikan oleh Saudara Kelana kepada keenam saudaranya, yaitu: “Cirinya bahwa kita telah dekat kepada Sang Suksma Sejati ialah ketenangan dan ketentraman yang tidak luntur dan sukar hilang, apabila kita kembali terjun ke dalam keramaian dunia.” (Ulasan Kang Kelana, 2015:121).
Ketika masih sugengnya Ibu Marsaid Susilo dahulu, saya sering mengikuti pendalam di rumah beliau, kalau saya tidak salah dengar dan salah catat, ada tujuh tanda-tanda seseorang itu dekat dengan Sang Guru Sejati, yaitu sangat dikasihi Tuhan, sebagai berikut.

1)    MAT (Marem, Ayem, Tentrem). Suatu keadaan jiwa yang dapat merasakan betapa puas, tenang, dan tenteram. “Berkumpulnya tiga rasa itu menjadi rasa ‘bahagia’. Selain mempunyai rasa demikian, ia sudah bebas dari rasa waswas, khawatir, takut, dan cemas’ juga sudah tidak mempunyai watak dengki, benci, iri, pelit, curang, dan culas.” (Olah Rasa di Dalam Rasa, 2013:53). Hal ini berulang dinyatakan dalam buku Olah Rasa di Dalam Rasa, yaitu: “ayem-tentrem-bahagia”, merasakan iklim tenang-tenteram-bahagia (2013:70); “ayem, tentrem, lan bahagia”, siswa kemudian mempunyai rasa tenang, tenteram, dan bahagia (2013:71); “seger-marem-ayem-tentrem”, siraman air menimbulkan rasa segar, puas, tenang, dan tenteram (2013:76); “ayem-tentrem-bahagia ingkang langgeng, ingkang saget nyingkiraken raos was-was, samar-samar, giris-miris, bingah tuwin susah”, kita akan mendapat sinar pepadang Sang Guru Sejati yang berdaya menumbuhkan rasa tenang-tentram-bahagia yang abadi, yang dapat menyingkirkan rasa waswas, khawatir, takut, cemas, senang, dan susah (2013:100); “sih pepadhangipun Sang Guru Sejati rumesep ing jiwa raga kula, ingkang kuwasa mbirat warna-warnaning panandhang batin, ingkang suwaunipun ‘nusuh’ ing batos kula, inggih punika raos ajrih, was-was, samar-samar, giris-miris, sangga-runggi, meri, cuwa-gela, tuwin sapanunggilanipun, sapunika santun raos marem-ayem-tentrem, madhep, manteb, tetep, heneng-hening, eling”, sih pepadang Sang Guru Sejati yang meresap dalam jiwa raga saya dapat melenyapkan aneka warna penderitaan batin yang sebelumnya ‘bersarang’ dalam hati saya, yaitu rasa takut, waswas, khawatir, giris miris, syak wasangka, iri, kecewa, dan sebagainya, kini berganti menjadi rasa puas-tenang-tenteram, teguh, mantap, heneng-hening-sadar (2013:112).
2)    Banyak permohononan yang dikabulkan, sebagai tanda betapa Tuhan penuh kasih kepada semua makhluknya. Sabda Khusus Peringatan Nomor 24 butir 2 (2014:118): “Sesungguhnya Allah Mahamurah dan Mahakasih, tetapi jangan lupa, Allah itu Mahaadil. Sungguhpun engkau dapat mene­rima sih anugerah Allah, engkau juga dapat menerima keadilan Allah.” Bapak Pangrasa dalam buku Olah Rasa di Dalam Rasa (2013:133—134) menyatakan “Engkau harus mengerti bahwa Pangesti I sampai IV dan lain-lainnya itu bukan doa, rapal, mantra, juga bukan guna-guna, yang konon berisi daya kekuasaan, salah kalau begitu anggapanmu. Lagi pula, jangan hanya dianggap seperti formulir permohonan. Mengertilah, pangesti-pangesti yang kuberikan kepada engkau sekalian itu pemberian Sang Guru sejati sebagai tali penghubung antara hamba dan Tuhan, siswa dan Sang Guru Sejati. Maka, jika pangesti dilaksanakan hingga meresap dan menembus ke rahsa jati ialah pusat hati sanubari, pangesti itu lalu menjadi wadah yang menampung menetesnya air suci, yaitu sih Sang Guru Sejati. Adapun terbabarnya sih itu luas sekali cakupannya. Namun, pangesti yang hanya diucapkan dalam batin atau di bibir, tidak didasari kepercayaan dan kesucian pangesti, akan tetap menjadi kata-kata yang dihapalkan, artinya tidak berdaya apa-apa bagi orang yang mengucapkan pangesti dengan cara seperti itu.”
3)    Memberi cepat kembali, semakin memberi banyak kepada orang lain, kembalinya kepada kita juga banyak. Arsip Sarjana Budi Santosa (2015:21) butir 33: “Kalau transpirasi besar, sih pepadang banyak pula. Kalau si Siswa lebih suka malas daripada lelah, ya inspirasinya juga hanya kedip-kedip saja atau terus tertangguhkan saja. Andaikata sih dari Sang Guru Sejati meningkatkan derajat si Siswa 10 X usahanya, maka siswa yang misalnya 1 meter majunya akan ditarik menjadi 10 meter. Siswa yang majunya 10 meter akan melangkah sampai 10 X 10 meter = 100 meter. Akan tetapi, anugerah tidak tetap sama bagi tiap-tiap usaha. Sih dari Suksma Sejati makin besar bilamana usahanya makin keras. Untuk usaha yang besar misalnya, sihnya tidak tetap 10 X, melainkan 100 X.”
4)    Seringkali kita diberi pinjaman kebijaksanaan, buah dari sadar kita kepada Tuhan. Arsip Sarjana Budi Santosa (2015:29) butir 46: “Sadar menjelma menjadi kebijaksanaan”. Olah Rasa di Dalam Rasa (2013:123): “Kadang-kadang siswa diperkenankan menerima sinar kebijaksanaan meskipun ibarat hanya sekilap cahaya kunang-kuang”.
5)    Sering pula kita diberi pinjaman kekuasaan, buah dari rasa percaya atau iman kita kepada Tuhan. Arsip Sarjana Budi Santosa (2015:29) butir 46: “Percaya membawa kekuasaan”. Sabda Khusus Peringatan Nomor 2 (2014:11) butir 9: “Kepercayaan itu wadah kekuasaan atau utuhnya kepercayaan memiliki kekuasaan gaib”. Olah Rasa di Dalam Rasa (2013:123): “Kadang-kadang siswa diperkenankan meminjam kekuasaan meskipun ibarat hanya sebesar miang kolang-kaling”.
6)    Kita juga diperkenankan dapat membabarkan karsa Tuhan, buah dari taat melaksanakan perintah. Arsip Sarjana Budi Santosa (2015:29) butir 46: “taat membawa kemauan manusia kepada tingkat Kehendak Suksma Kawekas”. Dalam Serat Warisan Langgeng bagian 3, ”Mijil”, apabila kita dapat melaksanakan Dasa Sila dengan sungguh-sungguh mendapatkan sih anugerah Tuhan secara teratur, tata tenteram, bahagia selamanya, kasih Tuhan senantiasa turun mengalir terus, apa pun yang diangan­kan terlaksana, yang dikehendaki pun diperkenankan atau dikabulkan. Olah Rasa di Dalam Rasa (2013:123): “Kadang-kadang siswa diperkenankan menjadi perantaraan karsa ialah karsa Tuhan yang terbabar, yang mengakibatkan kemuliaan hidup lahir batin”.
7)    Sudah tidak memiliki keinginan apa-apa lagi, sudah merasakan kebahagiaan hidup sejati, bertunggal dengan Suksma Kawekas dan Suksma Sejati, mencapai kasunyatan sejati. Dalam Arsip Sarjana Budi Santosa (2015:28) alinea 44 menyatakan bahwa ”Gejala-gejala bahwa kita telah dekat kepada Suksma Sejati ialah lenyapnya keinginan dan kemauan. Adanya hanya menyerah saja, tetapi rasa menyerah ini tidak disertai lumpuh aktivitas. Siswa yang dekat kepada Suksma Sejati tetap aktif. Di sam­ping aktif si siswa menerima dengan ikhlas apa saja yang dijumpai­nya.”
Tanda yang ketujuh seorang siswa dekat dengan Sang Guru Sejati itu sebenarnya sudah bertunggal dengan Sang Guru Sejati, sudah mencapai kesunyataan sejati. Adapun keadaan orang yang sudah mencapai kesunyataan sejati, seperti yang dijelaskan oleh Bapak Pangrasa dalam buku Olah Rasa di Dalam Rasa Bab XVII (2013:31—32) sebagai berikut.
1)     Tindak tanduknya bersahaja dan menyenangkan.
2)     Sikapnya terhadap siapa pun ramah dan bersahabat.
3)     Tingkah lakuknya tertib dan susila.
4)     Sedikit bicaranya dan sabar tutur katanya.
5)     Sopan santun jika berbicara dan tidak bergapaian tangannya.
6)     Cerah dan ramah roman mukanya, tetapi berwibawa.
7)     Tajam dan bersinar matanya.
8)     Bersahaja pakaiannya.
9)     Bersahaja hidupnya, luhur budinya.
10)  Kesabarannya laksana samudera raya.
11)  Pemaaf, adil dan baik budi pekertinya.
12)  Belas-kasih-cinta kepada sesama hidup.
13)  Menetapi kewajiban hidup dengan tertib dan susila.
14)  Menghormati dan meluhurkan semua agama.
15)  Setia kepada undang-undang dan peraturan negara.
16)  Tidak membeda-bedakan derajat, golongan, bangsa, pria wanita, tua muda.
17)  Semua diperlakukan sama, tetapi tidak meninggalkan tata krama.
18)  Tidak meninggalkan tata cara hidup bermasyarakat.
19)  Saling memedulikan, saling menjaga dengan sopan santun.
20)  Tidak berganti nama, tidak memakai gelar yang dibuat-buat serta tidak muluk-muluk supaya terkenal dan dipuja-puja di dunia.
21)  Tidak menyombongkan kepandaian, kewaspadaan, dan kekuasaan meskipun ketiga-tiganya itu telah dimilikinya.
“Adapun rasa perasaan yang dapat kuterangkan dengan kata-kata, yang nyata-nyata dirasakan: (1) tenang, tenteram, puas; (2) diam, hening, sadar; (3) nikmat, bermanfaat; (4) bahagia, mulia, bijaksana; dan (5) tetap merasa bertunggal dengan Tuhan. Sejatinya Hidup, yang menghidupi semua sifat hidup, terasa bertunggal dengan semua sifat hidup, meresap ke dalam semua wujud yang ada, yaitu keadaan yang tergelar ini, tidak dibatasi oleh waktu dan tempat, jauh dan dekat, sempit dan sesak.” (Olah Rasa di Dalam Rasa, 2013:33).

7. Penutup
            Dari paparan olah rasa tentang proses penyiswaan melalui M-5 dan hasil penyiswaan memperoleh K-5 tersebut bahwa tercapainya hingga sampai tujuan itu sangat bergantung pada siswa yang menjalankannya. Bapak Pangrasa berpesan kepada putranya Prabawa, melalui Bab XIV, Jika Hanya Berani Pada yang Mudah, Takut Pada yang Sukar, Segala Sesuatu Tidak Tercapai, bahwa “Andaikata orang bepergian, cepat atau lamanya ia sampai di tempat tujuan, mudah atau sulitnya jalan yang harus ditempuh, hal itu semata-mata juga bergantung pada yang menjalankan, apakah pelaksanaannya (perjalanannya) berdasarkan keteguhan tekad disertai pengorbanan, apakah hanya pura-pura atau seenaknya. Oleh sebab itu, Prabawa, aku berpesan kepadamu, jika engkau mempunyai cita-cita apa saja, jangan takut pada sukarnya laku yang merupakan syarat atau penebus untuk mencapai cita-cita itu. Sebab, jika engkau hanya berani pada yang mudah dan takut pada yang sukar (sulit), apa yang engkau cita-citakan tidak akan tercapai.” (Olah Rasa di Dalam Rasa, 2013:21—22).
Satuhu.  

No comments:

Post a Comment

Pertemuan 15 Teori Sastra Tempatan