BEPERGIAN MENINGGALKAN DUNIA
(Puji Santosa,
Bekasi)
1. Pengantar
Bapak,
Ibu, dan Saudara para warga Paguyuban Ngesti Tunggal, siswa-siswi Sang Guru
Sejati yang berbahagia oleh karena senantiasa berbakti, percaya, dan taat pada
semua sabda wejangan perintah Tuhan yang Sejati ialah Suksma Kawekas, yang
disampaikan dengan perantaraan Utusan Tuhan yang Abadi ialah Suksma Sejati,
Guru sekalian umat, dari pondok dunia hingga nanti sampai di istana akhirat,
serta menjadi Penuntun dan Guru hamba yang Sejati.
Bapak,
Ibu, dan Saudara sepenyiswaan. Olah rasa kasepuhan pada akhir tahun 2017,
Sabtu, 23 Desember 2017, ini mari kita bersama-sama mendekat kepada Sang Guru
Sejati agar senantiasa Sang Guru Sejati berkenan melimpahkan sih anugerah,
pepadang, tuntunan, daya kekuatan lahir batin untuk melaksanakan kewajiban suci
dengan sempurna, serta memberi pengayoman, perlindungan, hingga berakhir pada
kesejahteraan, ketenteraman, dan kebahagiaan abadi ialah di hadirat Tuhan
Sejati.
Pada
bulan Agustus 2017 yang lalu, Bapak Mulyadi dari Sleman Yogyakarta berkenan
mengisi olah rasa Ranting Bekasi, ini perkenalan saya pertama dengan Pak
Mulyadi, lalu pada bulan berikutnya, September 2017, Pak Mulyadi berkenan
memberi pada saya e-book Dwiwindu
Pangestu 1949—1965, penyusun Bapak R. Moehammad Hoesodo, terbitan tahun 1967
(setebal 276 halaman). Dari buku Dwiwindu
Pangestu itu saya mendapatkan banyak informasi bahwa menjelang akhir hayat
Bapak Paranpara Pangestu, Pakde Narto, berkenan berkeliling mengunjungi
cabang-cabang Pangestu di Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, dan Jawa Barat. Setiap
cabang yang dikunjungi beliau, Pakde Narto, berkenan memberi pengisian olah
rasa. Salah satu tema dan anjuran olah rasa Pakde Narto adalah “Empat
Pertanyaan Jika Engkau Kelak Dipanggil Kembali Menghadap ke Hadirat Tuhan”,
yaitu:
1)
Apa yang harus engkau tinggalkan?
2)
Apa bekalmu?
3)
Apa yang menjadi kendaraanmu?
4)
Siapa yang mengantarkan engkau menghadap ke hadirat
Tuhan?
Empat
pertanyaan tersebut berkaitan erat dengan perjanjian kita kelak suatu ketika
nanti, entah kapan, sewaktu-waktu mau tidak mau harus siap sedia bepergian meninggalkan dunia yang fana. Ya,
bepergian meninggalkan dunia. Sebagaimana kalau bepergian meninggalkan rumah
tempat tinggal kita, menuju ke suatu tempat baru atau tempat lain yang menjadi
tujuan (kantor, dana warih tempat olah rasa, kota lain, negara lain, dan
sebagainya). Ada yang harus kita tinggalkan dengan ikhlas, tentunya rumah
dengan seisinya. Ada bekal yang harus kita bawa, misalnya makanan, uang, atau
perlengkapan perjalanan, seperti obat-obatan, tiket, pakaian, dan lain
sebagainya. Supaya lancar perjalanan kita tentu perlu kendaraan, boleh
kendaraan pribadi atau kendaraan umum. Tidak kalah pentingnya, supaya tidak
tersesat perjalanan kita menuju ke suatu tujuan, perlu pemandu atau penunjuk
jalan.
Demikian
halnya bilamana kita bepergian meninggalkan dunia yang fana ini. Secara
ringkas, ada yang harus kita tingalkan dengan tulus ikhlas, yaitu kecintaan
kita pada hal-hal yang bersifat duniawi. Ya, dunia dengan segala isinya ini
harus kita tinggalkan secara suka rela. Ada bekal yang harus kita bawa, yaitu
sadar kepada Allah dan Utusan-Nya. Ada kendaraan yang dapat memperlancar
perjalanan kita, yakni percaya yang bulat hanya kepada Allah. Ada Penuntun
Sejati yang menghantarkan kita menghadap Suksma Kawekas di Taman Kemuliaan
Abadi, yaitu Suksma Sejati, Sang Guru Sejati, Nur Muhammad, Sang Kristus,
Utusan Tuhan Sejati yang abadi.
2. Apa yang harus engkau tinggalkan?
Pertanyaan pertama, apa yang harus engkau
tinggalkan? Sesungguhnya pertanyaan ini sudah diberi jawaban oleh Saudara
Pangaribawa dalam buku Olah Rasa di Dalam Rasa (2013:102) bahwa
“Saya harus meninggalkan: (1) kecintaan
saya akan keduniawian (harta benda) dengan ikhlas, dan (2) nama baik sebagai
buah beramal atau sebagai darma suci yang saya korbankan bagi sesama hidup”.
Meskipun
banyak yang harus kita tinggalkan di dunia ini, jawaban Saudara Pangaribawa
hanya ada dua hal yang harus ditinggalkan. Pertama, kecintaan akan keduniawian,
termasuk kecintaan pada keluarga (suami atau istri, anak, menantu, cucu, orang
tua, mertua, dan seterusnya), semua harta yang kita peroleh, seperti rumah,
kendaraan, perhiasan, pakaian, dan seterusnya, juga pangkat, derajat, status
sosial, kekuasaan, dan semua apa saja yang pernah kita miliki, wewenang dan
hak, harus ditinggalkan dengan tulus ikhlas, dengan lila legawa, artinya pelaksanaan pancasilanya sudah harus sampai pada
tingkatan rela. “Sejatinya yang disebut
rela itu kelapangan hati untuk menyerahkan semua milik, wewenang, dan semua
buah perbuatannya kepada Tuhan, dengan tulus (ikhlas), karena menyadari bahwa
semua itu ada di dalam kekuasaan Tuhan, maka harus tiada sesuatu pun yang
membekas di hati” (Sasangka Jati, Pancasila, Bab Rela,
2014:12). Watak rela harus diusahakan
hingga mencapai tataran: tidak dikuasai dan tidak menguasai silap pesona maya
keadaan (dunia).
Sang
Guru Sejati menurunkan sabdanya dengan perantaraan siswa wreda Bapak R.
Soenarto Mertowardojo pada malam Jumat Pon, tanggal 6/7 Oktober 1949, pukul
02.00, di Pondok Panti Wardoyo, Jalan Gondang 7, Surakarta (Sabda
Khusus Peringatan 8, butir 11—13, 2013:39—40) sebagai berikut.
“Wahai
siswa-Ku, maka mulailah bersuci, yaitu buanglah rasa cintamu pada barang-barang
yang dapat berubah berganti (rusak), yaitu keadaan dunia ini. Rasa cintamu pada
dunia itu hendaklah diganti dengan rasa cinta (bakti) kepada-Ku, jika engkau
ingin kembali pada asal dan tujuan segenap makhluk (kembali kepada Allah).
Untuk
menolong hatimu supaya terlepas dari ikatan dunia, yaitu kecintaanmu pada
dunia, hendaklah ingat akan kematian. Ingatmu akan kematian itu setiap hari
sedikitnya tiga kali. Ketahuilah, ingat akan kematian itu berarti: 1) Percaya
akan adanya hari kiamat (hari akhir). Ketahuilah olehmu, yang dinamakan kiamat
itu kiamatnya jagat sagir (rusaknya jagat kecil). Percaya akan datangnya hari
kiamat (hari akhir) itu juga berarti percaya kepada Allah. 2) Sadar kepada
Allah dan Utusan-Nya. 3) Untuk membantu meredakan berkobarnya kemarahan atau
hawa nafsu yang tertuju pada keburukan.
Akan
tetapi, ingatmu akan kematian itu tidak berarti ingin lekas mati atau
mempercepat tibanya ajal, dan ingatmu akan kematian itu jangan menyebabkan
surutnya cita-cita atau ikhtiar tentang apa saja yang tertuju pada kebaikan dan
kesejahteraan dunia (masyarakat).”
Selanjutnya,
Bapak Pangrasa dalam Olah Rasa di Dalam Rasa (2013:147) Jalan Menjelang Ajal, butir 10,
menyatakan: “Jika hatimu (angan-anganmu)
tidak disucikan dengan keikhlasan (rela) dan tidak disinari pepadang oleh
‘sadarmu’ kepada Tuhan dan Aku, engkau tidak akan segera kembali (bertunggal)
kepada Allah, Tuhanmu yang sejati, tetapi akan diturunkan lagi di alam
kewadakan oleh hukum abadi, yaitu sifat keadilan Allah, setelah engkau lebih
dahulu melalui alam kegelapan (alam kafiruna), yaitu alam penderitaan jiwa yang
berdosa atau lupa kepada Tuhan Sejati (murtad). Adapun berapa lamanya berada di
alam tersebut bergantung pada segera tidaknya engkau ‘sadar’ kepada Allah,
sadar kepada-Ku.”
Kedua,
yang harus kita tinggalkan adalah nama baik sebagai buah beramal atau darma suci
yang dikorbankan bagi sesama hidup. Dalam bahasa Indonesia ada peribahasa: “Gajah mati
meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati
meninggalkan nama. Artinya,
seorang manusia terutama diingat akan jasa-jasanya atau
kesalahan-kesalahannya. Perbuatannya di dunia ini, baik maupun buruk, akan
tetap dikenang meskipun seseorang sudah tiada lagi, meninggal dunia”.
Bapak,
Ibu, dan Saudara warga Paguyuban Ngesti Tunggal yang berbahagia. Meninggalkan
nama baik, hal ini berarti bunga mawarnya harus sudah bermekaran semerbak
mewangi, sudah menjadi kusuma bangsa, sudah banyak beramal kebajikan, juga tentunya
sudah banyak pengorbanan yang ditujukan untuk kesejahteraan dunia.
Dalam dunia Islam ada hadis yang berbunyi demikian: “Jika
seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya, kecuali tiga perkara,
yaitu: sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, dan doa anak yang saleh”
(HR. Muslim nomor 1631). Sedekah jariyah itu seperti membangun tempat ibadah, membangun dana warih,
menggali sumur, membuat jalan, mencetak buku yang bermanfaat, serta berbagai
macam budi darma yang dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Ilmu yang bermanfaat, yaitu ilmu keutamaan yang diajarkan
kepada orang lain dan mereka terus mengamalkan ilmu yang diajarkan tersebut,
atau menulis artikel/pengalaman di Dwija
Wara dan menulis buku yang bermanfaat dan terus dimanfaatkan oleh orang
lain setelah si penulisnya meninggal dunia. Anak yang saleh karena
anak saleh itu hasil dari kerja keras dan bimbingan orang tuanya. Oleh karena
itu, kita mendorong semua warga Pangestu untuk memperhatikan pendidikan
anak-anaknya agar senantiasa sadar, percaya, dan taat kepada Tuhan Yang Maha
Esa, menyiswa kepada Sang Guru Sejati. Usaha ke luar dan ke
dalam sebagai upaya mendidik anak-anak sangat perlu, melalui pendidikan formal
di bangku sekolah, di tempat-tempat kursus keterampilan, pamiwahan putra,
remaja, pemuda, atau lewat pendidikan Pancamarga, yaitu:
1) Kepercayaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa,
2) Pendidikan
lahir batin yang meliputi pendidikan intelek atau kecerdasan otak, pendidikan
rohani, dan pendidikan jasmani,
3) Pergaulan
yang baik,
4) Memupuk
hobi yang baik, dan
5) Mempunyai
cita-cita yang tinggi dan luhur.
(50
Tahun Pangestu, 1999:27—28)
Juga tentunya usaha ke dalam dengan Pangesti Nomor 5, Memohon Sih untuk
Para Putra, yaitu: “Duh, Suksma Sejati,
Penuntun serta Guru hamba yang sejati, hamba mohon melimpahnya sih Paduka,
semoga Paduka berkenan membuka dan menyucikan hati anak-anak hamba semua agar
mereka dapat menerima tuntunan dan pepadang Paduka, menaati perintah Paduka
ialah perintah Tuhan Sejati. Semoga anak-anak hamba semua menjadi umat yang
mursid, kaya akan keahlian dan kepandaian, luhur budinya, luhur derajatnya, dan
mulia hidupnya karena sih anugerah Tuhan. Satuhu.” (Buku Saku Panembah dan Pangesti,
2012:41).
Tentang menjaga nama baik, Bapak,
Ibu, dan Saudara warga Pangestu semua tentu ingat Sabda Sang Guru Sejati yang
termaktub dalam Sabda Khusus Peringatan Nomor 21 (2013:106—107) yang berbunyi:
“Siswa-Ku sekalian! Jika engkau
sungguh-sungguh bakti kepada Tuhan, jika engkau sungguh-sungguh taat pada
perintah Tuhan, jika engkau sungguh-sungguh setia pada Pangestu, jika engkau
sungguh-sungguh kasih sayang kepada saudara-saudaramu warga Pangestu, jagalah namamu baik-baik, jangan sampai
ternoda oleh perbuatan yang tercela.” Sabda peringatan Sang Guru Sejati
tersebut wajib kita luhurkan dan kita taati. Ingatlah, apabila nama Saudara
sekalian yang baik itu sampai ternoda oleh perbuatan tercela, itu berarti
saudara sekalian menarik jatuhnya hukum abadi, yang menyuramkan nama saudara
sekalian. Suramnya nama saudara sekalian akan mengakibatkan suramnya cahaya
Pangestu, juga mengakibatkan tidak baiknya nama para anggota Pangestu dan
mencemarkan bangsa.
Hal tersebut, tentang menjaga nama baik, ditegaskan kembali dalam prasaran
Bapak Paranpara Pangestu, Pakde Narto, yaitu pada Kongres ke-3 Pangestu, tahun
1961, antara lain, beliau menganjurkan: “Segenap
anggota Pangestu untuk senantiasa
menjaga nama baik Pangestu, dengan
menjaga nama baik masing-masing, jangan sampai ternoda oleh perbuatan
tercela. Segenap anggota Pangestu dianjurkan untuk berusaha sekuat tenaga
melakukan pengorbanan bagi kesejahteraan, ketenteraman, dan keamanan negara
Republik Indonesia melalui dua jalan, yaitu ke luar (lahir) dan ke dalam
(batin). Ke luar dengan cara menunaikan tugas sehari-hari dalam bidang dan
lapangan pekerjaan masing-masing, memiliki rasa bakti dalam mengabdi pada
negara Republik Indonesia dengan taat, tabah, jujur, dan berbudi luhur. Menjaga
dan memelihara perdamaian dan kesatuan bangsa, saling menghargai, menghormati,
dan saling memaafkan segala kekhilafan dan kesalahan siapa pun. Usaha ke dalam
dengan cara memanjatkan pangesti memohon ke hadirat Tuhan, untuk kesejahteraan
dan kesatuan nusa bangsa negara Republik Indonesia, yaitu Pangesti
Kesejahteraan Negara Republik Indonesia, setiap sehabis manembah.” (50
Tahun Pangestu, 1999:39—40).
3. Apa bekalmu?
Pertanyaan
kedua, Apa bekalmu? Sesungguhnya pertanyaan ini sudah diberi jawaban oleh
Saudara Pangaribawa dalam buku Olah Rasa di Dalam Rasa (2013:102)
bahwa “bekal saya adalah: (1) sadar akan
Tuhan (Allah), dan (2) sadar akan Sang Guru Sejati (Suksma Sejati)”. Sadar
artinya berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa (Allah) dan Utusan-Nya yang Abadi
(Suksma Sejati). Agar dapat sadar kepada Tuhan Yang Maha Esa, kita harus selalu
manembah dengan kebulatan hati yang hening dan suci. Oleh karena itu, panembah
merupakan tali sadar sehingga kita harus mengusahakan melakukan panembah yang
sejati dengan benar.
Bapak Pangrasa dalam Olah
Rasa di Dalam Rasa (2013:59--62), Bab XXV. Panembah Sejati (Panembah
yang Sempurna) Menjadi ‘Kunci’ Panunggal, menjelaskan bahwa “Supaya para siswa dapat melakukan panembah
sejati, terlebih dahulu harus mengerti: (1) Siapa yang wajib disembah? (2) Di
mana beradanya yang disembah? (3) Apa yang menjadi syarat panembah? (4)
Bagaimana cara panembah yang benar?”
Siapa yang wajib disembah? Yang
wajib disembah itu hanyalah Allah pribadi (Tuhan Yang Maha Esa).
Di
mana beradanya yang disembah? Beradanya yang disembah (Allah) adalah di pusat
hati sanubari yang manembah yang suci (kalbu
mukmin baitullah).
Apa
yang menjadi syarat panembah? Yang menjadi syarat panembah adalah kesucian
hati. Adapun kesucian hati itu jika hati tidak ditumbuhi rasa perasaan sebagaimana
saya terangkan di atas [1. Bekerjanya pancaindra. 2. Bergeraknya nafsu
keinginan yang menyebabkan timbulnya kehendak. 3. Bekerjanya cipta (pikir), bergeraknya
angan-angan (nalar), dan pengerti]. Adapun para siswa dapat menyucikan hati
jika sudah membangun tiga macam watak utama, yaitu: rela, sabar, dan narima,
sebagaimana dijelaskan di muka. Serat Warisan Langgeng (1990:9—10)
pupuh dhandhanggula pada 11 berbunyi demikian.
Atinira kumbahen kang suci
klawan tirta sari Panca Sila
winantu tapa bratane
ameper hawa nafsu
kang tumuju tindak tan yukti
ing tekad den santosa
kababaring laku
anindakna budi-darma
welas asih marang sagunging dumadi
angurbana pangrasa.
(Terjemahan
dalam bahasa Indonesia kurang lebih demikian:
Hatimu
sucikanlah hingga bersih
dengan
sari pati air Panca Sila
disertai
dengan bertapa brata
mengendalikan
hawa nafsu
yang
menuju pada tindakan tidak terpuji
sentosakanlah
tekadmu
wujudkanlah
dalam lakumu
dengan
cara melaksanakan budi darma
yaitu
kasih sayang terhadap semua makhluk
berkorbanlah
rasa-perasaan.)
Bagaimana
cara panembah yang benar? Supaya para siswa dapat melakukan panembah dengan
cara yang benar, yang menuntun hingga panembah yang sejati (panembah yang
sempurna), terlebih dahulu para siswa hendaklah mengerti bahwa panembah itu
jika diperinci (dipilah-pilah) ada empat tingkatan, yaitu: sembah raga, sembah
cipta, sembah kalbu (hati), dan sembah rasa.
“Jika panembah empat perkara tersebut (sembah
raga, sembah cipta, sembah kalbu, dan sembah rasa), sudah digulung menjadi
satu, artinya sudah menyatu dengan jiwa raga (kebadan) para siswa berada dalam
pemusatan angan-angan (panembah rasa jati) hingga terasa menembus masuk ke
dalam rahsa jati di pusat hati sanubari yang suci, siswa mampu membuka tabir
panunggal, karena pancaindranya, ciptanya, angan-angannya, dan pengertinya,
sama-sama tidak bekerja, seumpama bunga semua menguncup tidak menebarkan baunya
yang harum. Akhirnya, siswa dapat sampai pada panembah yang sejati (panembah
yang sempurna), yang manembah dan yang disembah sudah bertunggal menjadi satu,
Roh Suci bertunggal dengan Suksma Sejati dipusat hati sanubari yang suci, yaitu
di pusat Hidup. Siswa bertunggal dengan Sang Guru Sejati dan naik derajatnya
menjadi Guru. Jadi, cara panembah yang benar ialah apabila raganya-ciptanya-hatinya-rasanya
bersama-sama manembah kepada Allah sehingga yang manembah dapat meninggalkan
‘alam keramaian’ menyelam ke dalam keadaan heneng-hening-awas-eling” (Olah
Rasa di Dalam Rasa, Bab XXV. Panembah Sejati (Panembah yang Sempurna)
Menjadi ‘Kunci’ Panunggal, 2013:62).
Selanjutnya,
dalam Serat Warisan Langgeng (1990:10) pupuh dhandhanggula pada 12
berbunyi demikian.
Jroning meleng manembah mring Widhi
dikarasa nembus ndoning rahsa
telenging sanubarine
ing kono unggyanipun
kang manembah sinembah yekti
nanging aywa anggagantha
marang sipatipun
Pangeran Kang Maha Esa
tan lyan amung mangajab sihing Hyang Widhi
muga paring nugraha.
(Terjemahan
dalam bahasa Indonesia kurang lebih demikian:
Saat
memusatkan angan-angan manenembah kepada Tuhan
diusahakan
sampai dapat menembus ke rahsa jati
yaitu
pusat hati sanubari
di
situlah tempat yang sesungguhnya
antara
yang bersembah dan yang disembah sungguh nyata
akan
tetapi, jangan mewujudkan (membayang-bayangkan)
tentang
sifat Tuhan yang Maha Esa
tiada
lain hanyalah mendambakan melimpahnya sih Tuhan
semoga
berkenan memberi anugerah.)
Bekal
sadar kepada Allah dan Utusan-Nya,
tentu harus dilatih terus-menerus, dibiasakan setiap hari, di mana pun berada,
serta dalam keadaan dan situasi apa pun, harus senantiasa sadar kepada Allah
dan Utusan-Nya, sebagaimana termaktub dalam Sasangka Jati, Hasta Sila,
Bab Sadar (2014:8): “Adapun sadar akan
Tripurusa itu hendaklah diusahakan setiap hari hingga menjadi kebiasaan, ibarat
orang lapar, yang ingatnya akan makan tanpa perlu diperintah luamah. Jadi, sekalipun sedang
berjalan, duduk menganggur, selagi bekerja, tidur, dan pada saat apa saja
hendaklah selalu sadar kepada Tuhan Yang Maha Esa (Suksma Kawekas-Suksma
Sejati-Roh Suci)”.
Bagaimana
caranya supaya dapat melatih sadar kepada Allah dan Utusan-Nya secara
terus-menerus, pada saat apa pun, dalam keadaan apa pun, serta di mana pun
berada? Bapak Pangrasa melalui percakapan antara Jatmika dan Sri Rejeki dalam
buku Taman
Kemualiaan Abadi (2015:38) memberi petunjuk agar senantiasa sadar dalam
setiap waktu ketika dalam keadaan senggang, ibaratnya setiap detik, demikian: “Saudara Jatmika dengan tersenyum menanggapi
pertanyaan istrinya: Jeng Sri, sampai sekarang di seluruh dunia belum ada
fakultas mursid, juga belum ada sekolah yang mengajarkan supaya orang menjadi
cekatan, tangkas, dan terampil. Adapun saya mendapat berkah menjadi agak mursid
setelah saya sering menghadap Bapak, sebab saya lalu mengetahui, sumbernya
kemursidan berada di dalam rahsa jati, di pusat hati sanubari yang suci. Bagaimana
caranya agar Diajeng dapat dialiri air kemursidan, menurut Bapak adalah sebagai
berikut. Setiap waktu ketika sedang
senggang, ibaratnya setiap detik, panjatkanlah Pangesti Nomor 1,
selanjutnya perasaanmu hendaklah dipenuhi dengan rasa mendekat kepada Sang
Sasangka Jati ialah Sang Guru Sejati. Jika rasa mendekat kepada Sang Pepadang
tersebut sudah tertanam atau menggores di dalam batinmu, engkau akan disinari
kebijaksanaan Sang Guru Sejati, akhirnya engkau menjadi siswa yang mursid.
Ketahuilah, Jeng, bahwa Rahsa Jati adalah sumber kebijaksanaan, ketenteraman,
kebahagiaan, dan kemuliaan. Rahsa Jati adalah gapura Taman Kemuliaan Abadi.”
Ketika
dalam keadaan bekerja, untuk dapat senantiasa sadar perlu Pangesti Nomor 4.
Bapak Pangrasa, dalam buku Olah Rasa di Dalam Rasa (2013:131) menjelaskan kepada para
putra-putranya tentang Pangesti Nomor 4: Mohon Daya Kekuatan, demikian
jelasnya. “Kecuali itu, Prabawa, supaya
hatimu tetap suci dan kuat, tidak akan tertembus oleh getaran berkilaunya betis
kuning dan godaan yang lain, setiap matahari terbit dan terbenam, setelah
manembah kepada Tuhan, ucapkanlah Pangesti Nomor 4 (Memohon sih Sang Guru
Sejati). Jika pangestimu kaulakukan dengan sungguh-sungguh, yaitu dapat masuk
hingga menyentuh sampai di pusat sanubari, dengan didasari percaya, engkau akan
dapat menyingkir dari berbagai macam godaan, dan engkau akan dapat melaksanakan
kewajiban lahir batin dengan sempurna karena sih, tuntunan, pepadang, dan
lindungan Sang Guru Sejati.”
Ketika
dalam keadaan tidur, untuk dapat senantiasa sadar perlu Pangesti Nomor 2. Dalam
Olah
Rasa di Dalam Rasa (2013:130—131)
Bapak Pangrasa menyatakan bahwa “Mengertilah
putraku bahwa getaran yang tergelar di dunia ini tidak dapat ditolak dengan
peranti apa pun. Segala getaran akan menyingkir, artinya tidak dapat
mengguncangkan ketenteraman dan mengotori kesucian batin jika ditolak dengan
keteguhan hati. Adapun hati dapat teguh jika berisi percaya bahwa hati yang
suci itu singgasana Tuhan. Oleh
karena itu, Prabawa, pesanku kepadamu, juga kepada putra-putraku sekalian, jika
angan-anganmu sedang bergerak oleh pengaruh getaran dari luar, mengenai apa
saja, dan bergerak karena dibangunkan oleh nafsu yang tertuju ke perbuatan yang
menyalahi keutamaan dan kesusilaan, pada saat itu juga pejamkanlah mata dengan
menahan napas sebentar, lalu ucapkan Pangesti Nomor 2”.
Pangesti
Nomor 2, Mohon Tuntunan, selain berkhasiat untuk menolak getaran yang berasal
dari luar, juga dapat dipanjatkan ketika hendak tidur (Sabda Khusus Peringatan
Nomor 6 butir 7). “Seyogianya jika engkau
berbaring hendak tidur harus pasrah kepada-Ku dan jangan berniat bangun lagi”
(2014:27). Lalu oleh juru mengeti, Bapak Goenawan, diberi catatan kaki: “Para siswa hendahlah menaatinya. Adapun
caranya: tidur selonjor, lebih baik membujur ke utara, kedua tangan bersidekap
di dada, di atas jantung, telapak tangan kanan terletak di atas tangan kiri,
dengan mengucapkan pangesti di dalam batin demikian: “Duh Suksma Sejati, Penuntun serta Guru hamba yang sejati, hamba mohon
semoga hamba dituntun berjalan di jalan benar ialah jalan utama yang berakhir
di kesejahteraan dan ketenteraman abadi ialah di hadirat Tuhan sejati. Satuhu.”
Kemudian berzikir menurut keluar masuknya napas dengan tenang “Hu.... Allah” (“Hu” napas masuk,
“Allah” napas keluar, hingga sampai masuk alam tidur)”.
Berdasarkan
penjelasan tersebut kita dapat melatih sadar kepada Allah dan Utusan-Nya secara
terus menerus, pada saat apa pun, dalam keadaan apa pun, serta di mana pun
berada, dapat dengan melakukan/meresapkan/mengucapkan Paugeran Tuhan kepada
hamba, lalu Inti Sari Panembah, dilanjutkan dengan berzikir Hu
Allah di dalam batin. Hu Allah digunakan sebagai tali
sadar pada akhir pujian panembah. Kata hu diucapkan bersamaan dengan napas
masuk, dan kata Allah diucapkan bersamaan dengan napas ke luar. Sebagaimana
dijelaskan dalam pustaka Sasangka Jati, Buku Panembah, Bab 2,
Arti-arti yang Berkaitan Dengan Panembah Raga (Hamba) kepada Roh Suci
(2014:116): “Ketahuilah, kata hu juga dapat diartikan: Allah itu satu. Namun, sesungguhnya juga
mengandung makna yang lebih dalam, yaitu istana atau singgasana Tuhan
(Baitullah) yang berada dalam batin setiap hamba. Hanya saja, karena yang ada
di luar dunia kecil itu juga termasuk dalam wilayah istana Tuhan yang Agung,
maka kata hu itu lalu berarti:
istana singgasana Tuhan itu luas dan tanpa batas, yakni berada baik di dalam
maupun di luar dunia kecil, sebab Tuhan meliputi segalanya. Adapun kata Allah itu berarti: Suksma Kawekas,
yang Mahaluhur, Mahakasih, yang meliputi semesta raya, serta menguasai semua
alam seisinya, yakni yang menjadi asal mula segenap ciptaan.”
Selanjutnya,
Bapak Soemantri Hardjoprakosa dalam percakapan dengan Bapak Haji Chambali bab “Upaya
Agar Panembah Dapat Luyut” menjelaskan demikian: “Usai mengucapkan panembah, hendaklah berhenti sesaat untuk mengatur
masuk-keluarnya napas. Upayakan masuknya napas sampai kandas di hati sanubari.
Demikian pula ketika mengeluarkan napas harus perlahan-lahan sekali, jangan
sampai terburu-buru. Jangan lupa merasakan makna kata-kata dzikir HU-ALLAH. HU
bersamaan dengan masuknya napas, artinya Allah berada di lubuk hati sanubari.
ALLAH bersamaan dengan keluarnya napas, artinya alam seisinya ini penuh dengan
Dzat Allah. Jadi, Allah itu meliputi alam semesta seisinya.
Sesudah kata-kata HU ALLAH dipahami maknanya, perasaan
Pak Haji hendaknya jangan terikat oleh kata-kata HU ALLAH. Sebab, kata-kata HU
ALLAH itu sebenarnya hanya sebagai sarana agar angan-angan tidak
melayang-layang ke mana-mana. Yang lebih penting adalah bergetarnya jiwa yang
senantiasa kontak ke pangkuan Tuhan yang kita sembah.” (Kumpulan
Ceramah dan Buah Pena Prof. Dr. Soemantri Hardjoprakosa, 2005: 512).
Apabila
Bapak, Ibu, dan Saudara warga Pangestu dapat melaksanakan sadar kepada Allah
dan Utusan-Nya secara terus-menerus, pada saat apa pun, dan dalam keadaan apa
pun, serta di mana pun kita berada, itu berarti Bapak, Ibu, dan Saudara semua
sudah dapat melaksanakan salat daim, seperti Pakde Narto
ketika pertama kali menerima wahyu
pepadang Tuhan (Sabda Pratama, 2014:11). Selanjutnya, apabila Bapak, Ibu, dan
Saudara semua dapat sadar kepada Allah dan Utusan-Nya secara abadi, terus-menerus,
tiada henti, akan mendapatkan anugerah watak wiweka atau
kehati-hatian. “Ketahuilah, anugerah
sadar kekal itu dapat menuntunmu kepada watak hati-hati, yaitu dapat
membeda-bedakan yang benar dan yang salah, yang nyata dan yang bukan, yang
kekal dan yang berubah berganti. Segala tindak-tanduk yang engkau lakukan
setiap hari, apabila sadarmu itu kekal, tidak akan berpisah dengan
kehati-hatian (wiweka), sekalipun
sampai di akhirat.” (Sasangka Jati, Hasta Sila, Bab
Sadar, 2014:8).
4. Apa yang menjadi kendaraanmu?
Pertanyaan
ketiga, Apa yang menjadi kendaraanmu? Sesungguhnya pertanyaan ini sudah diberi
jawaban oleh Saudara Pangaribawa dalam buku Olah Rasa di Dalam Rasa
(2013:102) bahwa “kendaraan saya adalah
percaya dengan keteguhan hati kembali kepada Allah, yakni asal dan tujuan
segenap makhluk (hidup)”. Ya, Bapak, Ibu, dan Saudara semuanya, kendaraan
yang kita naiki, kendaraan yang kita tumpangi, untuk bepergian meninggalkan
dunia fana ini hanya percaya, iman, hakul yakin
semata-mata hanya kepada Allah dan Utusan-Nya yang abadi.
Sasangka
Jati, Hasta Sila, Bab Percaya (2014:8—9) menyatakan: “Sekalipun beberapa golongan ada yang meremehkan bab kepercayaan, sesungguhnya
kepercayaan itu merupakan alat yang penting atau tali yang kuat, yang dapat
menghubungkan rasamu dengan yang engkau sembah. Bagaimana Sang Guru Sejati
(Suksma Sejati) akan dapat menolongmu, apabila engkau tidak mempunyai
kepercayaan kepada-Nya, sebab tidak ada tali penghubung yang mengalirkan daya
kekuatan-Nya. Oleh karena itu, apabila engkau berkehendak mendapatkan
pertolongan-Nya, engkau harus percaya kepada Sang Guru Sejati, sebab Dia itu
memang telah disertakan kepadamu, supaya menjadi Panutanmu, Penuntunmu, yakni
Guru Sejatimu. Ketahuilah, bahwa sejatimu (Roh Suci) itu satu dengan Suksma
Sejati (Guru Sejati) dan Suksma Kawekas (Tuhan Sejati). Jadi, apabila engkau
tidak mempunyai kepercayaan, engkau seakan-akan memutuskan tali rasa yang menghubungkan
engkau dengan Dia. Ketahuilah, apabila tidak ada kepercayaan yang teguh, tidak
akan ada aliran sih dan kekuasaan yang linuwih
(luar biasa) dari-Nya. Oleh karena itu, upayakanlah dengan kepercayaan yang
besar kepada Panutanmu Sejati tersebut, sehingga dapat bertemu di dalam pusat
batinmu, supaya engkau selalu dilindungi untuk selama-lamanya, serta selalu
dituntun oleh-Nya ke jalan yang benar hingga sampai ke tujuanmu yang senyatanya.”
Mengapa
beberapa golongan ada yang meremehkan bab kepercayaan? Padahal, kepercayaan ini
merupakan alat atau sarana penting sebagai kendaraan kita pulang kembali kepada
Allah di Taman Kemuliaan Abadi. Sabda Khusus Peringatan Nomor 23 butir
13 (2013:115) menyatakan: “Mengertilah
siswa-Ku sekalian, berjuta-juta jumlahnya umat yang telah mengerti akan asma-Ku
dan mengerti kewajiban-Ku, tetapi sesungguhnya hanya sedikit jumlahnya yang
percaya dan bertemu dengan Aku.”
Berjuta-juta umat yang telah
mengetahui dan mengerti akan nama Allah, Tuhan Yang Maha Esa, tetapi hanya sedikit
jumlahnya yang benar-benar percaya. Mereka percayanya hanya sebatas mengetahui
dan mengerti saja, belum memiliki kepercayaan yang benar, utuh, murni, bulat,
sejati. Oleh karena itu, kita perlu memiliki kepercayaan yang benar, utuh,
murni, bulat, dan sejati, kendatipun hanya sebesar biji sawi (Matius 17:20)
sudah dapat memindahkan gunung, semua itu tidak mustahil (Olah Rasa di Dalam Rasa,
2013:137). Sabda Khusus Peringatan Nomor 2 butir 9—12 (2013:11) berbunyi
sebagai berikut.
“Kehendak
itu tidak dapat tumbuh (bersemi), jika orang bertekun membangun kepercayaan
yang benar, yaitu kerpercayaan yang sejati atau iman. Kepercayaan itu wadah
kekuasaan, atau utuhnya kepercayaan memiliki kekuasaan gaib.
Orang
yang mempunyai kepercayaan yang utuh (murni), sudah tidak dihinggapi rasa
waswas, ragu-ragu, takut, gentar, atau cemas. Orang yang memiliki kepercayaan
yang benar mempunyai perasaan tekad yang mantap, teguh, tabah, sentosa, tidak
goncang terserang angin atau bahaya apa pun yang mengancam.
Kepercayaan
itu tidak terletak pada cipta, nalar, pengerti, dan juga tidak terletak pada
angan-angan. Orang percaya bahwa gula itu manis, api itu panas, kepercayaan
yang demikian adalah kepercayaan dari pengerti. Adapun kepercayaan yang sejati
(murni) terletak di dalam rahsa jati.
Jika
orang telah mempunyai perasaan bahwa dia dihidupi dan menjadi tempat bersemayam
Sejatinya Hidup, orang itu telah mendekati letak rahsa jati, yakni telah
mendekati kepercayaan yang benar”.
Orang yang tekun membangun
kepercayaan yang benar, kepercayaan yang murni sejati, haruslah dapat
memurnikan kepercayaan yang benar. Bapak Pangrasa dalam buku Olah
Rasa di Dalam Rasa (2013:54—55) menyatakan: “Memurnikan kepercayaan yang benar itu artinya, jangan sampai
kepercayaannya dikotori atau dicampuri kepercayaan yang salah atau sesat.
Adapun jelasnya sebagai berikut.
Para
siswa jangan mengabdi kepada dua majikan, artinya: tidak boleh bermuka dua,
yaitu kepercayaannya (imannya) harus hanya
satu kepada Tripurusa (Tuhan Yang Maha Esa), dengan mengingat larangan
Tuhan: Jangan menyembah kepada selain Allah.
Ketahuilah
olehmu, bahwa di antara para siswa ada yang turun derajat kesiswaannya karena
keluar dari garis Paugeran Tuhan, yaitu keluar dari lingkungan sejatinya
syahadat sebab lakunya menyeleweng ke kiri karena kesengsem mendengarkan ‘lagu
yang merdu merayu’ (ajaran-ajaran atau ramalan-ramalan) dari ‘pemancar
kedewataan’. Ibaratnya, seperti domba yang meninggalkan gembalanya sehingga
dimangsa oleh binatang buas.
Siswa
terlepas dari lingkungan tuntunan dan lindungan Sang Guru Sejati, akhirnya
tercebur ke dalam alam para pengingkar. Maka pesanku kepada putra-putraku
sekalian, ingat, jangan mengabdi
kepada dua majikan (jangan bermuka dua)”.
Dari paparan di
atas, dapatlah disimpulkan bahwa kepercayaan yang benar, kepercayaan yang
murni, kepercayaan yang sejati, kepercayaan utuh dan bulat itu apabila: (1)
Sudah tidak Paliwara satu, sudah tidak mengabdi kepada dua majikan, sudah tidak
lagi terbuai oleh ajaran-ajaran, ramalan-ramalan, hari baik buruk, gugon tuhon, takhayul, jimat, batu
mestika, wasiat besi aji, dan sebagainya yang dipancarkan oleh para dewata; (2)
sudah tidak dihinggapi rasa waswas, khawatir, ragu-ragu, takut, gentar, atau
cemas; dan (3) mempunyai perasaan tekad yang mantap, teguh, tabah, sentosa,
tidak goncang terserang oleh pelbagai godaan, cobaan, atau bahaya apa pun yang
mengancam. Adapun anugerah siswa yang
percaya adalah senantiasa berada di pangkuan Sang Guru Sejati, sebagaimana yang
tersabda dalam Sabda Khusus Peringatan Nomor 4 butir 4 dan 5 (2013:17) berbunyi:
“Wahai siswa-ku, ketahuilah, sejatinya
mereka yang percaya kepada-Ku,
senantiasa berada di pangkuan-Ku. Maka, percayamu kepada-Ku hendaklah seperti
percayanya anak kecil yang berada di pangkuan ibunya supaya engkau tidak terlepas
dari pangkuan-Ku. Ketahuilah olehmu,
bahwa sejatinya tiada pekerjaan yang sukar dan berat apabila engkau benar-benar
tidak memisah dari Aku. Yang sukar akan menjadi mudah, yang berat akan menjadi
ringan.”
5. Siapa yang mengantarkanmu menghadap ke hadirat Tuhan?
Pertanyaan
keempat, Siapa yang mengantarkanmu menghadap ke hadirat Tuhan? Sesungguhnya
pertanyaan ini sudah diberi jawaban oleh Saudara Pangaribawa dalam buku Olah
Rasa di Dalam Rasa (2013:102) bahwa “yang mengantarkan saya adalah Suksma Sejati ialah Penuntun dan Guru
hamba yang Sejati (Utusan Tuhan yang Abadi, yakni Sang Kristus atau Nur
Muhammad)”. Ya, yang menjadi penuntun, yang menghantar kita menghadap
Suksma Kawekas di Taman Kemuliaan Abadi adalah Suksma Sejati, Guru Sejati, Sang
Sabda, Nur Muhammad, Sang Kristus, Utusan Tuhan yang Abadi. Hal ini secara
jelas disabdakan Sang Guru Sejati yang termaktub dalam pustaka Sasangka
Jati, Hasta Sila, Bab Sadar (2014:7—8): “Engkau tidak mungkin dapat mendekat ke hadirat Sang Guru Sejati,
apabila engkau belum menetapi makna Hasta Sila ini, karena petunjuk itulah yang
akan menuntunmu menghadap di hadirat Sang Guru Sejati ialah Penuntunmu yang
sejati, yang akan mengantarkan engkau ke hadirat Tuhan (Suksma Kawekas).
Hamba tidak dapat menghadap sendiri ke hadirat Tuhan,
apabila tidak mendapat pertolongan Sang Guru Sejati yang memberi tuntunan.
Ibarat kelelawar yang terbang pada siang hari, yang kemudian mati sebab silau
oleh sinar matahari. Guru Sejati itu ibarat bulan, yang menerima sinar matahari
(Suksma Kawekas) yang terangnya tidak membuat silau kelelawar dan sebagainya.
Demikianlah, perlunya hamba dapat memperoleh tuntunan Sang Guru Sejati, supaya
selamat dalam menempuh jalan keutamaan, karena itu perlu sekali hamba terus
berupaya untuk dapat tunggal keadaan dengan Guru Sejati (Suksma Sejati), agar
dapat mendekat ke singgasana Tuhan (Suksma Kawekas).”
Demikianlah diterangkan secara jelas
oleh Sang Guru Sejati dalam pustaka Sasangka Jati, Bab Sadar, bahwa
kita, Roh Suci, tidak dapat menghadap sendiri ke hadapan Suksma Kawekas tanpa
tuntunan Suksma Sejati. Demikian juga kepergian kita meninggalkan dunia fana ini
setelah tugas dan kewajiban selesai sampai pada perjanjian, hanya Suksma Sejati-lah
yang menghantar kita menghadap Suksma Kawekas. Hal ini secara jelas juga
disampaikan dalam Serat Warisan Langgeng (1990:10—11)
pupuh dhandhanggula pada 13—15 yang berbunyi demikian.
Uripira neng donya tan lami
upamane angger menyang pasar
tan lana neng pasar bae
tan wande lamun mantuk
mring sangkane wismane nguni
ing mengko aywa samar
ing sangkane mau
yen lali dedalanira
yekti sira tan mantuk wismanya nguni
temah sasar keblasar.
Lamun angger sira tekeng janji
aywa pegat angger dhikirira
ingkang sareh panatane
napas ngucap Allah Hu
Hu binareng napas umanjing
Allah napas umedal
kang santosa tuhu
jro lalaku keh panggodha
poma-poma angger aywa den tanggapi
kang ikhlas ninggal donya.
Rasanira kumpulna sawiji
isi eling marang Allah-ira
poma ywa mandheg tumoleh
anyuwuna pitulung
mring Panuntunira Sejati
sinebut Nur Muhammad
Utusan Hyang Agung
muga karsa nuntun sira
umareg ingayunan Hyang Maha Suci
ywa wudhar elingira.
(Terjemahan
dalam bahasa Indonesia kurang lebih demikian:
Hidupmu di
dunia tidak akan lama
seumpama
anakku, engkau pergi ke pasar
tidak selamanya di pasar
saja
sudah
tentu juga akan pulang
ke asal
mula, ke rumahnya dahulu
oleh
sebab itu sekarang janganlah sangsi
pada
tempat asalmu tersebut
apabila engkau
lupa akan jalanmu
sungguh engkau tidak dapat
pulang ke rumah asalmu dahulu
akhirnya,
keliru dan tersesat-sesat.
Apabila
engkau telah sampai pada perjanjian (sakaratul maut)
anakku,
janganlah terputus dzikirmu,
usahakanlah
diatur dengan tenang
masuk
keluarnya napas mengucapkan: Allah Hu
Hu
bersamaan dengan napas masuk
Allah
bersamaan dengan keluarnya napas
hendaklah
dengan sungguh-sungguh sentosa
sebab di
dalam perjalanan sakaratul maut banyak godaan
pesanku
anakku, janganlah engkau tanggapi
tinggalkanlah
dunia ini dengan ikhlas.
Rasamu
kumpulkanlah menjadi satu
berisi
sadar kepada Allah (Tuhan)-mu
pesan-Ku, janganlah berhenti
dan berpaling
memohonlah
pertolongan
kepada
Penuntunmu yang Sejati
yang
disebut Nur Muhammad
Utusan Abadi
Tuhan yang Mahaagung
semoga
berkenan menuntunmu
menghadap
di hadirat Tuhan Yang Maha Suci
janganlah terlepas akan
sadarmu.)
6. Simpulan
Dari paparan
apa yang sudah kita olah rasakan pada hari ini bahwa bepergian meninggalkan
dunia yang fana ini kita harus berbekal SEPI, seperti yang disampaikan oleh
Bapak Pangrasa dalam Olah Rasa di Dalam Rasa (2013:149) Jalan Menjelang Ajal, butir 19,
menyatakan: “Ketahuilah, mati yang
sempurna atau bekal untuk kembali kepada Tuhanmu yang sejati itu ada empat
macam, yaitu: Pertama, hendaklah merasuk sejatinya Syahadat. Kedua, sadar (eling,
bakti) kepada Allah dan Aku. Ketiga, percaya
akan kembali kepada Allah, dan berniat kembali kepada Allah. Keempat, ikhlas meninggalkan dunia. Keempat
macam itu dimohon dalam hati yang suci dan dengan keteguhan tekad.”
Bapak
Pangrasa memberi nasihat kepada kita melalui Saudara Pangaribawa yang telah
berhasil dengan benar menjawab empat pertanyaan jika kelak dipanggil kembali
menghadap ke hadirat Tuhan, bahwa
setelah mengerti ajaran Sang Guru Sejati segeralah dilaksanakan, bukan sekadar
menjadi pengetahuan semata, dan janganlah ditunda-tunda pelakasanaannya.
Sebab, apabila hanya berhenti pada pengertian, tidak diikuti dengan perbuatan,
pengertian itu tidak dapat memberi apa-apa, tidak berfungsi apa-apa, dan tidak
dapat menolong kita dalam perjalanan kembali pulang menghadap ke hadirat Tuhan
Yang Maha Esa. Nasihat Bapak Pangrasa tersebut demikian: “Pangaribawa, setelah engkau mengerti empat macam syarat untuk kembali
menghadap ke hadirat Tuhan, pengertianmu itu lalu masukkanlah ke dalam pusat
sanubarimu yang suci sampai kandas terasa tertanam dalam rahsa jati dan jangan
sampai dicampuri pengertian atau ilmu lainnya. Sebab, jika hanya berhenti pada
pengertian, yaitu tidak diikuti dengan perbuatan, kelak pada saat hajatan
‘bertemunya sang pengantin’ (sampai janjinya), pengertian tanpa perbuatan atau
ilmu tanpa laku itu akan mengingkari.” (Olah Rasa di Dalam Rasa,
2014:103).
Satuhu.
No comments:
Post a Comment