Sunday 6 May 2018

BEPERGIAN MENINGGALKAN DUNIA


BEPERGIAN MENINGGALKAN DUNIA
(Puji Santosa, Bekasi)

1. Pengantar
Bapak, Ibu, dan Saudara para warga Paguyuban Ngesti Tunggal, siswa-siswi Sang Guru Sejati yang berbahagia oleh karena senantiasa berbakti, percaya, dan taat pada semua sabda wejangan perintah Tuhan yang Sejati ialah Suksma Kawekas, yang disampaikan dengan perantaraan Utusan Tuhan yang Abadi ialah Suksma Sejati, Guru sekalian umat, dari pondok dunia hingga nanti sampai di istana akhirat, serta menjadi Penuntun dan Guru hamba yang Sejati.
Bapak, Ibu, dan Saudara sepenyiswaan. Olah rasa kasepuhan pada akhir tahun 2017, Sabtu, 23 Desember 2017, ini mari kita bersama-sama mendekat kepada Sang Guru Sejati agar senantiasa Sang Guru Sejati berkenan melimpahkan sih anugerah, pepadang, tuntunan, daya kekuatan lahir batin untuk melaksanakan kewajiban suci dengan sempurna, serta memberi pengayoman, perlindungan, hingga berakhir pada kesejahteraan, ketenteraman, dan kebahagiaan abadi ialah di hadirat Tuhan Sejati.
Pada bulan Agustus 2017 yang lalu, Bapak Mulyadi dari Sleman Yogyakarta berkenan mengisi olah rasa Ranting Bekasi, ini perkenalan saya pertama dengan Pak Mulyadi, lalu pada bulan berikutnya, September 2017, Pak Mulyadi berkenan memberi pada saya e-book Dwiwindu Pangestu 1949—1965, penyusun Bapak R. Moehammad Hoesodo, terbitan tahun 1967 (setebal 276 halaman). Dari buku Dwiwindu Pangestu itu saya mendapatkan banyak informasi bahwa menjelang akhir hayat Bapak Paranpara Pangestu, Pakde Narto, berkenan berkeliling mengunjungi cabang-cabang Pangestu di Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, dan Jawa Barat. Setiap cabang yang dikunjungi beliau, Pakde Narto, berkenan memberi pengisian olah rasa. Salah satu tema dan anjuran olah rasa Pakde Narto adalah “Empat Pertanyaan Jika Engkau Kelak Dipanggil Kembali Menghadap ke Hadirat Tuhan”, yaitu:
1)    Apa yang harus engkau tinggalkan?
2)    Apa bekalmu?
3)    Apa yang menjadi kendaraanmu?
4)    Siapa yang mengantarkan engkau menghadap ke hadirat Tuhan?
Empat pertanyaan tersebut berkaitan erat dengan perjanjian kita kelak suatu ketika nanti, entah kapan, sewaktu-waktu mau tidak mau harus siap sedia bepergian meninggalkan dunia yang fana. Ya, bepergian meninggalkan dunia. Sebagaimana kalau bepergian meninggalkan rumah tempat tinggal kita, menuju ke suatu tempat baru atau tempat lain yang menjadi tujuan (kantor, dana warih tempat olah rasa, kota lain, negara lain, dan sebagainya). Ada yang harus kita tinggalkan dengan ikhlas, tentunya rumah dengan seisinya. Ada bekal yang harus kita bawa, misalnya makanan, uang, atau perlengkapan perjalanan, seperti obat-obatan, tiket, pakaian, dan lain sebagainya. Supaya lancar perjalanan kita tentu perlu kendaraan, boleh kendaraan pribadi atau kendaraan umum. Tidak kalah pentingnya, supaya tidak tersesat perjalanan kita menuju ke suatu tujuan, perlu pemandu atau penunjuk jalan.
Demikian halnya bilamana kita bepergian meninggalkan dunia yang fana ini. Secara ringkas, ada yang harus kita tingalkan dengan tulus ikhlas, yaitu kecintaan kita pada hal-hal yang bersifat duniawi. Ya, dunia dengan segala isinya ini harus kita tinggalkan secara suka rela. Ada bekal yang harus kita bawa, yaitu sadar kepada Allah dan Utusan-Nya. Ada kendaraan yang dapat memperlancar perjalanan kita, yakni percaya yang bulat hanya kepada Allah. Ada Penuntun Sejati yang menghantarkan kita menghadap Suksma Kawekas di Taman Kemuliaan Abadi, yaitu Suksma Sejati, Sang Guru Sejati, Nur Muhammad, Sang Kristus, Utusan Tuhan Sejati yang abadi.

2. Apa yang harus engkau tinggalkan?
           Pertanyaan pertama, apa yang harus engkau tinggalkan? Sesungguhnya pertanyaan ini sudah diberi jawaban oleh Saudara Pangaribawa dalam buku Olah Rasa di Dalam Rasa (2013:102) bahwa “Saya harus meninggalkan: (1) kecintaan saya akan keduniawian (harta benda) dengan ikhlas, dan (2) nama baik sebagai buah beramal atau sebagai darma suci yang saya korbankan bagi sesama hidup”.
Meskipun banyak yang harus kita tinggalkan di dunia ini, jawaban Saudara Pangaribawa hanya ada dua hal yang harus ditinggalkan. Pertama, kecintaan akan keduniawian, termasuk kecintaan pada keluarga (suami atau istri, anak, menantu, cucu, orang tua, mertua, dan seterusnya), semua harta yang kita peroleh, seperti rumah, kendaraan, perhiasan, pakaian, dan seterusnya, juga pangkat, derajat, status sosial, kekuasaan, dan semua apa saja yang pernah kita miliki, wewenang dan hak, harus ditinggalkan dengan tulus ikhlas, dengan lila legawa, artinya pelaksanaan pancasilanya sudah harus sampai pada tingkatan rela. “Sejatinya yang disebut rela itu kelapangan hati untuk menyerahkan semua milik, wewenang, dan semua buah perbuatannya kepada Tuhan, dengan tulus (ikhlas), karena menyadari bahwa semua itu ada di dalam kekuasaan Tuhan, maka harus tiada sesuatu pun yang membekas di hati” (Sasangka Jati, Pancasila, Bab Rela, 2014:12). Watak rela harus diusahakan hingga mencapai tataran: tidak dikuasai dan tidak menguasai silap pesona maya keadaan (dunia).
Sang Guru Sejati menurunkan sabdanya dengan perantaraan siswa wreda Bapak R. Soenarto Mertowardojo pada malam Jumat Pon, tanggal 6/7 Oktober 1949, pukul 02.00, di Pondok Panti Wardoyo, Jalan Gondang 7, Surakarta (Sabda Khusus Peringatan 8, butir 11—13, 2013:39—40) sebagai berikut.
            “Wahai siswa-Ku, maka mulailah bersuci, yaitu buanglah rasa cintamu pada barang-barang yang dapat berubah berganti (rusak), yaitu keadaan dunia ini. Rasa cintamu pada dunia itu hendaklah diganti dengan rasa cinta (bakti) kepada-Ku, jika engkau ingin kembali pada asal dan tujuan segenap makhluk (kembali kepada Allah).
            Untuk menolong hatimu supaya terlepas dari ikatan dunia, yaitu kecintaanmu pada dunia, hendaklah ingat akan kematian. Ingatmu akan kematian itu setiap hari sedikitnya tiga kali. Ketahuilah, ingat akan kematian itu berarti: 1) Percaya akan adanya hari kiamat (hari akhir). Ketahuilah olehmu, yang dinamakan kiamat itu kiamatnya jagat sagir (rusaknya jagat kecil). Percaya akan datangnya hari kiamat (hari akhir) itu juga berarti percaya kepada Allah. 2) Sadar kepada Allah dan Utusan-Nya. 3) Untuk membantu meredakan berkobarnya kemarahan atau hawa nafsu yang tertuju pada keburukan.
        Akan tetapi, ingatmu akan kematian itu tidak berarti ingin lekas mati atau mempercepat tibanya ajal, dan ingatmu akan kematian itu jangan menyebabkan surutnya cita-cita atau ikhtiar tentang apa saja yang tertuju pada kebaikan dan kesejahteraan dunia (masyarakat).”
Selanjutnya, Bapak Pangrasa dalam Olah Rasa di Dalam Rasa (2013:147) Jalan Menjelang Ajal, butir 10, menyatakan: “Jika hatimu (angan-anganmu) tidak disucikan dengan keikhlasan (rela) dan tidak disinari pepadang oleh ‘sadarmu’ kepada Tuhan dan Aku, engkau tidak akan segera kembali (bertunggal) kepada Allah, Tuhanmu yang sejati, tetapi akan diturunkan lagi di alam kewadakan oleh hukum abadi, yaitu sifat keadilan Allah, setelah engkau lebih dahulu melalui alam kegelapan (alam kafiruna), yaitu alam penderitaan jiwa yang berdosa atau lupa kepada Tuhan Sejati (murtad). Adapun berapa lamanya berada di alam tersebut bergantung pada segera tidaknya engkau ‘sadar’ kepada Allah, sadar kepada-Ku.”
Kedua, yang harus kita tinggalkan adalah nama baik sebagai buah beramal atau darma suci yang dikorbankan bagi sesama hidup. Dalam bahasa Indonesia ada peribahasa: Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama. Artinya, seorang manusia terutama diingat akan jasa-jasanya atau kesalahan-kesalahannya. Perbuatannya di dunia ini, baik maupun buruk, akan tetap dikenang meskipun seseorang sudah tiada lagi, meninggal dunia.
Bapak, Ibu, dan Saudara warga Paguyuban Ngesti Tunggal yang berbahagia.  Meninggalkan nama baik, hal ini berarti bunga mawarnya harus sudah bermekaran semerbak mewangi, sudah menjadi kusuma bangsa, sudah banyak beramal kebajikan, juga tentunya sudah banyak pengorbanan yang ditujukan untuk kesejahteraan dunia.
Dalam dunia Islam ada hadis yang berbunyi demikian: Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya, kecuali tiga perkara, yaitu: sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, dan doa anak yang saleh” (HR. Muslim nomor 1631). Sedekah jariyah itu seperti membangun tempat ibadah, membangun dana warih, menggali sumur, membuat jalan, mencetak buku yang bermanfaat, serta berbagai macam budi darma yang dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Ilmu yang bermanfaat, yaitu ilmu keutamaan yang diajarkan kepada orang lain dan mereka terus mengamalkan ilmu yang diajarkan tersebut, atau menulis artikel/pengalaman di Dwija Wara dan menulis buku yang bermanfaat dan terus dimanfaatkan oleh orang lain setelah si penulisnya meninggal dunia. Anak yang saleh karena anak saleh itu hasil dari kerja keras dan bimbingan orang tuanya. Oleh karena itu, kita mendorong semua warga Pangestu untuk memperhatikan pendidikan anak-anaknya agar senantiasa sadar, percaya, dan taat kepada Tuhan Yang Maha Esa, menyiswa kepada Sang Guru Sejati. Usaha ke luar dan ke dalam sebagai upaya mendidik anak-anak sangat perlu, melalui pendidikan formal di bangku sekolah, di tempat-tempat kursus keterampilan, pamiwahan putra, remaja, pemuda, atau lewat pendidikan Pancamarga, yaitu:
1)    Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
2)   Pendidikan lahir batin yang meliputi pendidikan intelek atau kecerdasan otak, pendidikan rohani, dan pendidikan jasmani,
3)    Pergaulan yang baik,
4)    Memupuk hobi yang baik, dan
5)    Mempunyai cita-cita yang tinggi dan luhur.
(50 Tahun Pangestu, 1999:27—28)
Juga tentunya usaha ke dalam dengan Pangesti Nomor 5, Memohon Sih untuk Para Putra, yaitu: “Duh, Suksma Sejati, Penuntun serta Guru hamba yang sejati, hamba mohon melimpahnya sih Paduka, semoga Paduka berkenan membuka dan menyucikan hati anak-anak hamba semua agar mereka dapat menerima tuntunan dan pepadang Paduka, menaati perintah Paduka ialah perintah Tuhan Sejati. Semoga anak-anak hamba semua menjadi umat yang mursid, kaya akan keahlian dan kepandaian, luhur budinya, luhur derajatnya, dan mulia hidupnya karena sih anugerah Tuhan. Satuhu.” (Buku Saku Panembah dan Pangesti, 2012:41).
 Tentang menjaga nama baik, Bapak, Ibu, dan Saudara warga Pangestu semua tentu ingat Sabda Sang Guru Sejati yang termaktub dalam Sabda Khusus Peringatan Nomor 21 (2013:106—107) yang berbunyi: “Siswa-Ku sekalian! Jika engkau sungguh-sungguh bakti kepada Tuhan, jika engkau sungguh-sungguh taat pada perintah Tuhan, jika engkau sungguh-sungguh setia pada Pangestu, jika engkau sungguh-sungguh kasih sayang kepada saudara-saudaramu warga Pangestu, jagalah namamu baik-baik, jangan sampai ternoda oleh perbuatan yang tercela.” Sabda peringatan Sang Guru Sejati tersebut wajib kita luhurkan dan kita taati. Ingatlah, apabila nama Saudara sekalian yang baik itu sampai ternoda oleh perbuatan tercela, itu berarti saudara sekalian menarik jatuhnya hukum abadi, yang menyuramkan nama saudara sekalian. Suramnya nama saudara sekalian akan mengakibatkan suramnya cahaya Pangestu, juga mengakibatkan tidak baiknya nama para anggota Pangestu dan mencemarkan bangsa.
Hal tersebut, tentang menjaga nama baik, ditegaskan kembali dalam prasaran Bapak Paranpara Pangestu, Pakde Narto, yaitu pada Kongres ke-3 Pangestu, tahun 1961, antara lain, beliau menganjurkan: “Segenap anggota Pangestu untuk senantiasa menjaga nama baik Pangestu, dengan menjaga nama baik masing-masing, jangan sampai ternoda oleh perbuatan tercela. Segenap anggota Pangestu dianjurkan untuk berusaha sekuat tenaga melakukan pengorbanan bagi kesejahteraan, ketenteraman, dan keamanan negara Republik Indonesia melalui dua jalan, yaitu ke luar (lahir) dan ke dalam (batin). Ke luar dengan cara menunaikan tugas sehari-hari dalam bidang dan lapangan pekerjaan masing-masing, memiliki rasa bakti dalam mengabdi pada negara Republik Indonesia dengan taat, tabah, jujur, dan berbudi luhur. Menjaga dan memelihara perdamaian dan kesatuan bangsa, saling menghargai, menghormati, dan saling memaafkan segala kekhilafan dan kesalahan siapa pun. Usaha ke dalam dengan cara memanjatkan pangesti memohon ke hadirat Tuhan, untuk kesejahteraan dan kesatuan nusa bangsa negara Republik Indonesia, yaitu Pangesti Kesejahteraan Negara Republik Indonesia, setiap sehabis manembah.” (50 Tahun Pangestu, 1999:39—40).     

3.    Apa bekalmu?
Pertanyaan kedua, Apa bekalmu? Sesungguhnya pertanyaan ini sudah diberi jawaban oleh Saudara Pangaribawa dalam buku Olah Rasa di Dalam Rasa (2013:102) bahwa “bekal saya adalah: (1) sadar akan Tuhan (Allah), dan (2) sadar akan Sang Guru Sejati (Suksma Sejati)”. Sadar artinya berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa (Allah) dan Utusan-Nya yang Abadi (Suksma Sejati). Agar dapat sadar kepada Tuhan Yang Maha Esa, kita harus selalu manembah dengan kebulatan hati yang hening dan suci. Oleh karena itu, panembah merupakan tali sadar sehingga kita harus mengusahakan melakukan panembah yang sejati dengan benar.
      Bapak Pangrasa dalam Olah Rasa di Dalam Rasa (2013:59--62), Bab XXV. Panembah Sejati (Panembah yang Sempurna) Menjadi ‘Kunci’ Panunggal, menjelaskan bahwa “Supaya para siswa dapat melakukan panembah sejati, terlebih dahulu harus mengerti: (1) Siapa yang wajib disembah? (2) Di mana beradanya yang disembah? (3) Apa yang menjadi syarat panembah? (4) Bagaimana cara panembah yang benar?”
            Siapa yang wajib disembah? Yang wajib disembah itu hanyalah Allah pribadi (Tuhan Yang Maha Esa).
Di mana beradanya yang disembah? Beradanya yang disembah (Allah) adalah di pusat hati sanubari yang manembah yang suci (kalbu mukmin baitullah).
Apa yang menjadi syarat panembah? Yang menjadi syarat panembah adalah kesucian hati. Adapun kesucian hati itu jika hati tidak ditumbuhi rasa perasaan sebagaimana saya terangkan di atas [1. Bekerjanya pancaindra. 2. Bergeraknya nafsu keinginan yang menyebabkan timbulnya kehendak. 3. Bekerjanya cipta (pikir), bergeraknya angan-angan (nalar), dan pengerti]. Adapun para siswa dapat menyucikan hati jika sudah membangun tiga macam watak utama, yaitu: rela, sabar, dan narima, sebagaimana dijelaskan di muka. Serat Warisan Langgeng (1990:9—10) pupuh dhandhanggula pada 11 berbunyi demikian.
Atinira kumbahen kang suci
klawan tirta sari Panca Sila
winantu tapa bratane
ameper hawa nafsu
kang tumuju tindak tan yukti
ing tekad den santosa
kababaring la­ku
anindakna budi-darma
welas asih marang sagung­ing dumadi
angurbana pangrasa.

(Terjemahan dalam bahasa Indonesia kurang lebih demikian:
Hatimu sucikanlah hingga bersih
dengan sari pati air Panca Sila
disertai dengan bertapa brata
mengendalikan hawa nafsu
yang menuju pada tindakan tidak terpuji
sentosa­kanlah tekadmu
wujudkanlah dalam lakumu
dengan cara melaksa­na­kan budi darma
yaitu kasih sayang terhadap semua ma­khluk
berkorbanlah rasa-perasaan.)

Bagaimana cara panembah yang benar? Supaya para siswa dapat melakukan panembah dengan cara yang benar, yang menuntun hingga panembah yang sejati (panembah yang sempurna), terlebih dahulu para siswa hendaklah mengerti bahwa panembah itu jika diperinci (dipilah-pilah) ada empat tingkatan, yaitu: sembah raga, sembah cipta, sembah kalbu (hati), dan sembah rasa.
Jika panembah empat perkara tersebut (sembah raga, sembah cipta, sembah kalbu, dan sembah rasa), sudah digulung menjadi satu, artinya sudah menyatu dengan jiwa raga (kebadan) para siswa berada dalam pemusatan angan-angan (panembah rasa jati) hingga terasa menembus masuk ke dalam rahsa jati di pusat hati sanubari yang suci, siswa mampu membuka tabir panunggal, karena pancaindranya, ciptanya, angan-angannya, dan pengertinya, sama-sama tidak bekerja, seumpama bunga semua menguncup tidak menebarkan baunya yang harum. Akhirnya, siswa dapat sampai pada panembah yang sejati (panembah yang sempurna), yang manembah dan yang disembah sudah bertunggal menjadi satu, Roh Suci bertunggal dengan Suksma Sejati dipusat hati sanubari yang suci, yaitu di pusat Hidup. Siswa bertunggal dengan Sang Guru Sejati dan naik derajatnya menjadi Guru. Jadi, cara panembah yang benar ialah apabila raganya-ciptanya-hatinya-rasanya bersama-sama manembah kepada Allah sehingga yang manembah dapat meninggalkan ‘alam keramaian’ menyelam ke dalam keadaan heneng-hening-awas-eling” (Olah Rasa di Dalam Rasa, Bab XXV. Panembah Sejati (Panembah yang Sempurna) Menjadi ‘Kunci’ Panunggal, 2013:62).
Selanjutnya, dalam Serat Warisan Langgeng (1990:10) pupuh dhandhanggula pada 12 berbunyi demikian.
Jroning meleng manembah mring Widhi
dikarasa nem­bus ndoning rahsa
telenging sanubarine
ing kono ung­gyanipun
kang manembah sinembah yekti
nanging aywa anggagantha
marang sipatipun
Pangeran Kang Maha Esa
tan lyan amung mangajab sihing Hyang Wi­dhi
muga paring nugraha.

(Terjemahan dalam bahasa Indonesia kurang lebih demikian:
Saat memusatkan angan-angan manenembah kepada Tuhan
diusahakan sampai dapat menembus ke rahsa jati
yaitu pusat hati sanubari
di situlah tempat yang sesungguhnya
antara yang bersembah dan yang disembah sungguh nyata
akan tetapi, jangan mewujudkan (membayang-bayangkan)
tentang sifat Tuhan yang Maha Esa
tiada lain hanyalah mendambakan melimpahnya sih Tuhan
semoga berkenan memberi anugerah.)

Bekal sadar kepada Allah dan Utusan-Nya, tentu harus dilatih terus-menerus, dibiasakan setiap hari, di mana pun berada, serta dalam keadaan dan situasi apa pun, harus senantiasa sadar kepada Allah dan Utusan-Nya, sebagaimana termaktub dalam Sasangka Jati, Hasta Sila, Bab Sadar (2014:8): “Adapun sadar akan Tripurusa itu hendaklah diusahakan setiap hari hingga menjadi kebiasaan, ibarat orang lapar, yang ingatnya akan makan tanpa perlu  diperintah luamah. Jadi, sekalipun sedang berjalan, duduk menganggur, selagi bekerja, tidur, dan pada saat apa saja hendaklah selalu sadar kepada Tuhan Yang Maha Esa (Suksma Kawekas-Suksma Sejati-Roh Suci)”.
Bagaimana caranya supaya dapat melatih sadar kepada Allah dan Utusan-Nya secara terus-menerus, pada saat apa pun, dalam keadaan apa pun, serta di mana pun berada? Bapak Pangrasa melalui percakapan antara Jatmika dan Sri Rejeki dalam buku Taman Kemualiaan Abadi (2015:38) memberi petunjuk agar senantiasa sadar dalam setiap waktu ketika dalam keadaan senggang, ibaratnya setiap detik, demikian: “Saudara Jatmika dengan tersenyum menanggapi pertanyaan istrinya: Jeng Sri, sampai sekarang di seluruh dunia belum ada fakultas mursid, juga belum ada sekolah yang mengajarkan supaya orang menjadi cekatan, tangkas, dan terampil. Adapun saya mendapat berkah menjadi agak mursid setelah saya sering menghadap Bapak, sebab saya lalu mengetahui, sumbernya kemursidan berada di dalam rahsa jati, di pusat hati sanubari yang suci. Bagaimana caranya agar Diajeng dapat dialiri air kemursidan, menurut Bapak adalah sebagai berikut. Setiap waktu ketika sedang senggang, ibaratnya setiap detik, panjatkanlah Pangesti Nomor 1, selanjutnya perasaanmu hendaklah dipenuhi dengan rasa mendekat kepada Sang Sasangka Jati ialah Sang Guru Sejati. Jika rasa mendekat kepada Sang Pepadang tersebut sudah tertanam atau menggores di dalam batinmu, engkau akan disinari kebijaksanaan Sang Guru Sejati, akhirnya engkau menjadi siswa yang mursid. Ketahuilah, Jeng, bahwa Rahsa Jati adalah sumber kebijaksanaan, ketenteraman, kebahagiaan, dan kemuliaan. Rahsa Jati adalah gapura Taman Kemuliaan Abadi.”
Ketika dalam keadaan bekerja, untuk dapat senantiasa sadar perlu Pangesti Nomor 4. Bapak Pangrasa, dalam buku Olah Rasa di Dalam Rasa (2013:131) menjelaskan kepada para putra-putranya tentang Pangesti Nomor 4: Mohon Daya Kekuatan, demikian jelasnya. “Kecuali itu, Prabawa, supaya hatimu tetap suci dan kuat, tidak akan tertembus oleh getaran berkilaunya betis kuning dan godaan yang lain, setiap matahari terbit dan terbenam, setelah manembah kepada Tuhan, ucapkanlah Pangesti Nomor 4 (Memohon sih Sang Guru Sejati). Jika pangestimu kaulakukan dengan sungguh-sungguh, yaitu dapat masuk hingga menyentuh sampai di pusat sanubari, dengan didasari percaya, engkau akan dapat menyingkir dari berbagai macam godaan, dan engkau akan dapat melaksanakan kewajiban lahir batin dengan sempurna karena sih, tuntunan, pepadang, dan lindungan Sang Guru Sejati.”
Ketika dalam keadaan tidur, untuk dapat senantiasa sadar perlu Pangesti Nomor 2. Dalam Olah Rasa di Dalam Rasa (2013:130—131) Bapak Pangrasa menyatakan bahwa “Mengertilah putraku bahwa getaran yang tergelar di dunia ini tidak dapat ditolak dengan peranti apa pun. Segala getaran akan menyingkir, artinya tidak dapat mengguncangkan ketenteraman dan mengotori kesucian batin jika ditolak dengan keteguhan hati. Adapun hati dapat teguh jika berisi percaya bahwa hati yang suci itu singgasana Tuhan. Oleh karena itu, Prabawa, pesanku kepadamu, juga kepada putra-putraku sekalian, jika angan-anganmu sedang bergerak oleh pengaruh getaran dari luar, mengenai apa saja, dan bergerak karena dibangunkan oleh nafsu yang tertuju ke perbuatan yang menyalahi keutamaan dan kesusilaan, pada saat itu juga pejamkanlah mata dengan menahan napas sebentar, lalu ucapkan Pangesti Nomor 2”.
Pangesti Nomor 2, Mohon Tuntunan, selain berkhasiat untuk menolak getaran yang berasal dari luar, juga dapat dipanjatkan ketika hendak tidur (Sabda Khusus Peringatan Nomor 6 butir 7). “Seyogianya jika engkau berbaring hendak tidur harus pasrah kepada-Ku dan jangan berniat bangun lagi” (2014:27). Lalu oleh juru mengeti, Bapak Goenawan, diberi catatan kaki: “Para siswa hendahlah menaatinya. Adapun caranya: tidur selonjor, lebih baik membujur ke utara, kedua tangan bersidekap di dada, di atas jantung, telapak tangan kanan terletak di atas tangan kiri, dengan mengucapkan pangesti di dalam batin demikian: “Duh Suksma Sejati, Penuntun serta Guru hamba yang sejati, hamba mohon semoga hamba dituntun berjalan di jalan benar ialah jalan utama yang berakhir di kesejahteraan dan ketenteraman abadi ialah di hadirat Tuhan sejati. Satuhu.” Kemudian berzikir menurut keluar masuknya napas dengan tenang “Hu.... Allah” (“Hu” napas masuk, “Allah” napas keluar, hingga sampai masuk alam tidur)”.
Berdasarkan penjelasan tersebut kita dapat melatih sadar kepada Allah dan Utusan-Nya secara terus menerus, pada saat apa pun, dalam keadaan apa pun, serta di mana pun berada, dapat dengan melakukan/meresapkan/mengucapkan Paugeran Tuhan kepada hamba, lalu Inti Sari Panembah, dilanjutkan dengan berzikir Hu Allah di dalam batin. Hu Allah digunakan sebagai tali sadar pada akhir pujian panembah. Kata hu diucapkan bersamaan dengan napas masuk, dan kata Allah diucapkan bersamaan dengan napas ke luar. Sebagaimana dijelaskan dalam pustaka Sasangka Jati, Buku Panembah, Bab 2, Arti-arti yang Berkaitan Dengan Panembah Raga (Hamba) kepada Roh Suci (2014:116): “Ketahuilah, kata hu juga dapat diartikan: Allah itu satu. Namun, sesungguhnya juga mengandung makna yang lebih dalam, yaitu istana atau singgasana Tuhan (Baitullah) yang berada dalam batin setiap hamba. Hanya saja, karena yang ada di luar dunia kecil itu juga termasuk dalam wilayah istana Tuhan yang Agung, maka kata hu itu lalu berarti: istana singgasana Tuhan itu luas dan tanpa batas, yakni berada baik di dalam maupun di luar dunia kecil, sebab Tuhan meliputi segalanya. Adapun kata Allah itu berarti: Suksma Kawekas, yang Mahaluhur, Mahakasih, yang meliputi semesta raya, serta menguasai semua alam seisinya, yakni yang menjadi asal mula segenap ciptaan.”
Selanjutnya, Bapak Soemantri Hardjoprakosa dalam percakapan dengan Bapak Haji Chambali bab “Upaya Agar Panembah Dapat Luyut” menjelaskan demikian: “Usai mengucapkan panembah, hendaklah berhenti sesaat untuk mengatur masuk-keluarnya napas. Upayakan masuknya napas sampai kandas di hati sanubari. Demikian pula ketika mengeluarkan napas harus perlahan-lahan sekali, jangan sampai terburu-buru. Jangan lupa merasakan makna kata-kata dzikir HU-ALLAH. HU bersamaan dengan masuknya napas, artinya Allah berada di lubuk hati sanubari. ALLAH bersamaan dengan keluarnya napas, artinya alam seisinya ini penuh dengan Dzat Allah. Jadi, Allah itu meliputi alam semesta seisinya.
Sesudah kata-kata HU ALLAH dipahami maknanya, perasaan Pak Haji hendaknya jangan terikat oleh kata-kata HU ALLAH. Sebab, kata-kata HU ALLAH itu sebenarnya hanya sebagai sarana agar angan-angan tidak melayang-layang ke mana-mana. Yang lebih penting adalah bergetarnya jiwa yang senantiasa kontak ke pangkuan Tuhan yang kita sembah.” (Kumpulan Ceramah dan Buah Pena Prof. Dr. Soemantri Hardjoprakosa, 2005: 512).
Apabila Bapak, Ibu, dan Saudara warga Pangestu dapat melaksanakan sadar kepada Allah dan Utusan-Nya secara terus-menerus, pada saat apa pun, dan dalam keadaan apa pun, serta di mana pun kita berada, itu berarti Bapak, Ibu, dan Saudara semua sudah dapat melaksanakan salat daim, seperti Pakde Narto ketika pertama kali menerima wahyu pepadang Tuhan (Sabda Pratama, 2014:11). Selanjutnya, apabila Bapak, Ibu, dan Saudara semua dapat sadar kepada Allah dan Utusan-Nya secara abadi, terus-menerus, tiada henti, akan mendapatkan anugerah watak wiweka atau kehati-hatian. “Ketahuilah, anugerah sadar kekal itu dapat menuntunmu kepada watak hati-hati, yaitu dapat membeda-bedakan yang benar dan yang salah, yang nyata dan yang bukan, yang kekal dan yang berubah berganti. Segala tindak-tanduk yang engkau lakukan setiap hari, apabila sadarmu itu kekal, tidak akan berpisah dengan kehati-hatian (wiweka), sekalipun sampai di akhirat.” (Sasangka Jati, Hasta Sila, Bab Sadar, 2014:8).   

4.    Apa yang menjadi kendaraanmu?
Pertanyaan ketiga, Apa yang menjadi kendaraanmu? Sesungguhnya pertanyaan ini sudah diberi jawaban oleh Saudara Pangaribawa dalam buku Olah Rasa di Dalam Rasa (2013:102) bahwa “kendaraan saya adalah percaya dengan keteguhan hati kembali kepada Allah, yakni asal dan tujuan segenap makhluk (hidup)”. Ya, Bapak, Ibu, dan Saudara semuanya, kendaraan yang kita naiki, kendaraan yang kita tumpangi, untuk bepergian meninggalkan dunia fana ini hanya percaya, iman, hakul yakin semata-mata hanya kepada Allah dan Utusan-Nya yang abadi.
Sasangka Jati, Hasta Sila, Bab Percaya (2014:8—9) menyatakan: “Sekalipun beberapa golongan ada yang meremehkan bab kepercayaan, sesungguhnya kepercayaan itu merupakan alat yang penting atau tali yang kuat, yang dapat menghubungkan rasamu dengan yang engkau sembah. Bagaimana Sang Guru Sejati (Suksma Sejati) akan dapat menolongmu, apabila engkau tidak mempunyai kepercayaan kepada-Nya, sebab tidak ada tali penghubung yang mengalirkan daya kekuatan-Nya. Oleh karena itu, apabila engkau berkehendak mendapatkan pertolongan-Nya, engkau harus percaya kepada Sang Guru Sejati, sebab Dia itu memang telah disertakan kepadamu, supaya menjadi Panutanmu, Penuntunmu, yakni Guru Sejatimu. Ketahuilah, bahwa sejatimu (Roh Suci) itu satu dengan Suksma Sejati (Guru Sejati) dan Suksma Kawekas (Tuhan Sejati). Jadi, apabila engkau tidak mempunyai kepercayaan, engkau seakan-akan memutuskan tali rasa yang menghubungkan engkau dengan Dia. Ketahuilah, apabila tidak ada kepercayaan yang teguh, tidak akan ada aliran sih dan kekuasaan yang linuwih (luar biasa) dari-Nya. Oleh karena itu, upayakanlah dengan kepercayaan yang besar kepada Panutanmu Sejati tersebut, sehingga dapat bertemu di dalam pusat batinmu, supaya engkau selalu dilindungi untuk selama-lamanya, serta selalu dituntun oleh-Nya ke jalan yang benar hingga sampai ke tujuanmu yang senyatanya.”
Mengapa beberapa golongan ada yang meremehkan bab kepercayaan? Padahal, kepercayaan ini merupakan alat atau sarana penting sebagai kendaraan kita pulang kembali kepada Allah di Taman Kemuliaan Abadi. Sabda Khusus Peringatan Nomor 23 butir 13 (2013:115) menyatakan: “Mengertilah siswa-Ku sekalian, berjuta-juta jumlahnya umat yang telah mengerti akan asma-Ku dan mengerti kewajiban-Ku, tetapi sesungguhnya hanya sedikit jumlahnya yang percaya dan bertemu dengan Aku.”    
          Berjuta-juta umat yang telah mengetahui dan mengerti akan nama Allah, Tuhan Yang Maha Esa, tetapi hanya sedikit jumlahnya yang benar-benar percaya. Mereka percayanya hanya sebatas mengetahui dan mengerti saja, belum memiliki kepercayaan yang benar, utuh, murni, bulat, sejati. Oleh karena itu, kita perlu memiliki kepercayaan yang benar, utuh, murni, bulat, dan sejati, kendatipun hanya sebesar biji sawi (Matius 17:20) sudah dapat memindahkan gunung, semua itu tidak mustahil (Olah Rasa di Dalam Rasa, 2013:137). Sabda Khusus Peringatan Nomor 2 butir 9—12 (2013:11) berbunyi sebagai berikut.
   “Kehendak itu tidak dapat tumbuh (bersemi), jika orang bertekun membangun kepercayaan yang benar, yaitu kerpercayaan yang sejati atau iman. Kepercayaan itu wadah kekuasaan, atau utuhnya kepercayaan memiliki kekuasaan gaib.
       Orang yang mempunyai kepercayaan yang utuh (murni), sudah tidak dihinggapi rasa waswas, ragu-ragu, takut, gentar, atau cemas. Orang yang memiliki kepercayaan yang benar mempunyai perasaan tekad yang mantap, teguh, tabah, sentosa, tidak goncang terserang angin atau bahaya apa pun yang mengancam.
       Kepercayaan itu tidak terletak pada cipta, nalar, pengerti, dan juga tidak terletak pada angan-angan. Orang percaya bahwa gula itu manis, api itu panas, kepercayaan yang demikian adalah kepercayaan dari pengerti. Adapun kepercayaan yang sejati (murni) terletak di dalam rahsa jati.
    Jika orang telah mempunyai perasaan bahwa dia dihidupi dan menjadi tempat bersemayam Sejatinya Hidup, orang itu telah mendekati letak rahsa jati, yakni telah mendekati kepercayaan yang benar”.
      Orang yang tekun membangun kepercayaan yang benar, kepercayaan yang murni sejati, haruslah dapat memurnikan kepercayaan yang benar. Bapak Pangrasa dalam buku Olah Rasa di Dalam Rasa (2013:54—55) menyatakan: “Memurnikan kepercayaan yang benar itu artinya, jangan sampai kepercayaannya dikotori atau dicampuri kepercayaan yang salah atau sesat. Adapun jelasnya sebagai berikut.
            Para siswa jangan mengabdi kepada dua majikan, artinya: tidak boleh bermuka dua, yaitu kepercayaannya (imannya) harus hanya satu kepada Tripurusa (Tuhan Yang Maha Esa), dengan mengingat larangan Tuhan: Jangan menyembah kepada selain Allah.
         Ketahuilah olehmu, bahwa di antara para siswa ada yang turun derajat kesiswaannya karena keluar dari garis Paugeran Tuhan, yaitu keluar dari lingkungan sejatinya syahadat sebab lakunya menyeleweng ke kiri karena kesengsem mendengarkan ‘lagu yang merdu merayu’ (ajaran-ajaran atau ramalan-ramalan) dari ‘pemancar kedewataan’. Ibaratnya, seperti domba yang meninggalkan gembalanya sehingga dimangsa oleh binatang buas.
         Siswa terlepas dari lingkungan tuntunan dan lindungan Sang Guru Sejati, akhirnya tercebur ke dalam alam para pengingkar. Maka pesanku kepada putra-putraku sekalian, ingat, jangan mengabdi kepada dua majikan (jangan bermuka dua)”.
     Dari paparan di atas, dapatlah disimpulkan bahwa kepercayaan yang benar, kepercayaan yang murni, kepercayaan yang sejati, kepercayaan utuh dan bulat itu apabila: (1) Sudah tidak Paliwara satu, sudah tidak mengabdi kepada dua majikan, sudah tidak lagi terbuai oleh ajaran-ajaran, ramalan-ramalan, hari baik buruk, gugon tuhon, takhayul, jimat, batu mestika, wasiat besi aji, dan sebagainya yang dipancarkan oleh para dewata; (2) sudah tidak dihinggapi rasa waswas, khawatir, ragu-ragu, takut, gentar, atau cemas; dan (3) mempunyai perasaan tekad yang mantap, teguh, tabah, sentosa, tidak goncang terserang oleh pelbagai godaan, cobaan, atau bahaya apa pun yang mengancam. Adapun anugerah siswa yang percaya adalah senantiasa berada di pangkuan Sang Guru Sejati, sebagaimana yang tersabda dalam Sabda Khusus Peringatan Nomor 4 butir 4 dan 5 (2013:17) berbunyi: “Wahai siswa-ku, ketahuilah, sejatinya mereka yang percaya kepada-Ku, senantiasa berada di pangkuan-Ku. Maka, percayamu kepada-Ku hendaklah seperti percayanya anak kecil yang berada di pangkuan ibunya supaya engkau tidak terlepas dari pangkuan-Ku. Ketahuilah olehmu, bahwa sejatinya tiada pekerjaan yang sukar dan berat apabila engkau benar-benar tidak memisah dari Aku. Yang sukar akan menjadi mudah, yang berat akan menjadi ringan.

5.    Siapa yang mengantarkanmu menghadap ke hadirat Tuhan?
Pertanyaan keempat, Siapa yang mengantarkanmu menghadap ke hadirat Tuhan? Sesungguhnya pertanyaan ini sudah diberi jawaban oleh Saudara Pangaribawa dalam buku Olah Rasa di Dalam Rasa (2013:102) bahwa “yang mengantarkan saya adalah Suksma Sejati ialah Penuntun dan Guru hamba yang Sejati (Utusan Tuhan yang Abadi, yakni Sang Kristus atau Nur Muhammad)”. Ya, yang menjadi penuntun, yang menghantar kita menghadap Suksma Kawekas di Taman Kemuliaan Abadi adalah Suksma Sejati, Guru Sejati, Sang Sabda, Nur Muhammad, Sang Kristus, Utusan Tuhan yang Abadi. Hal ini secara jelas disabdakan Sang Guru Sejati yang termaktub dalam pustaka Sasangka Jati, Hasta Sila, Bab Sadar (2014:7—8): “Engkau tidak mungkin dapat mendekat ke hadirat Sang Guru Sejati, apabila engkau belum menetapi makna Hasta Sila ini, karena petunjuk itulah yang akan menuntunmu menghadap di hadirat Sang Guru Sejati ialah Penuntunmu yang sejati, yang akan mengantarkan engkau ke hadirat Tuhan (Suksma Kawekas).
Hamba tidak dapat menghadap sendiri ke hadirat Tuhan, apabila tidak mendapat pertolongan Sang Guru Sejati yang memberi tuntunan. Ibarat kelelawar yang terbang pada siang hari, yang kemudian mati sebab silau oleh sinar matahari. Guru Sejati itu ibarat bulan, yang menerima sinar matahari (Suksma Kawekas) yang terangnya tidak membuat silau kelelawar dan sebagainya. Demikianlah, perlunya hamba dapat memperoleh tuntunan Sang Guru Sejati, supaya selamat dalam menempuh jalan keutamaan, karena itu perlu sekali hamba terus berupaya untuk dapat tunggal keadaan dengan Guru Sejati (Suksma Sejati), agar dapat mendekat ke singgasana Tuhan (Suksma Kawekas).”  
       Demikianlah diterangkan secara jelas oleh Sang Guru Sejati dalam pustaka Sasangka Jati, Bab Sadar, bahwa kita, Roh Suci, tidak dapat menghadap sendiri ke hadapan Suksma Kawekas tanpa tuntunan Suksma Sejati. Demikian juga kepergian kita meninggalkan dunia fana ini setelah tugas dan kewajiban selesai sampai pada perjanjian, hanya Suksma Sejati-lah yang menghantar kita menghadap Suksma Kawekas. Hal ini secara jelas juga disampaikan dalam Serat Warisan Langgeng (1990:10—11) pupuh dhandhanggula pada 13—15 yang berbunyi demikian.
          Uripira neng donya tan lami
            upamane angger menyang pasar
            tan lana neng pasar bae
            tan wande lamun man­tuk
            mring sangkane wismane nguni
            ing mengko aywa samar
            ing sangkane mau
            yen lali dedalanira
            yekti sira tan mantuk wismanya nguni
            temah sasar keblasar.

            Lamun angger sira tekeng janji
            aywa pegat angger dhi­kirira
            ingkang sareh panatane
            napas ngucap Allah Hu
            Hu binareng napas umanjing
            Allah napas umedal
            kang santosa tuhu
            jro lalaku keh panggodha
            poma-poma angger aywa den tanggapi
            kang ikhlas ninggal donya.

            Rasanira kumpulna sawiji
            isi eling marang Allah-ira
            poma ywa mandheg tumoleh
            anyuwuna pitulung
            mring Panuntunira Sejati
            sinebut Nur Muhammad
            Utusan Hyang Agung
            muga karsa nuntun sira
            umareg ingayunan Hyang Maha Suci
            ywa wudhar elingira.

(Terjemahan dalam bahasa Indonesia kurang lebih demikian:

            Hidupmu di dunia tidak akan lama
            seumpama anakku, engkau pergi ke pasar
            tidak selamanya di pasar saja
            sudah tentu juga akan pulang
            ke asal mula, ke rumahnya dahulu
            oleh sebab itu sekarang janganlah sangsi
            pada tempat asalmu tersebut
            apabila engkau lupa akan jalanmu
            sungguh engkau tidak dapat pulang ke rumah asalmu dahulu
            akhirnya, keliru dan tersesat-sesat.

            Apabila engkau telah sampai pada perjanjian (sakaratul maut)
            anakku, janganlah terputus dzikirmu,
            usahakanlah diatur dengan tenang
            masuk keluarnya napas mengucapkan: Allah Hu
            Hu bersamaan dengan napas masuk
            Allah bersa­maan dengan keluarnya napas
            hendaklah dengan sungguh-sungguh sentosa
            sebab di dalam perjalanan sakaratul maut banyak godaan
            pesanku anakku, janganlah engkau tanggapi
            tinggalkanlah dunia ini dengan ikhlas.

            Rasamu kumpulkanlah menjadi satu
            berisi sadar kepada Allah (Tuhan)-mu
            pesan-Ku, janganlah berhenti dan berpaling
            memohonlah pertolongan
            kepada Penuntunmu yang Sejati
            yang disebut Nur Muhammad
            Utusan Aba­di Tuhan yang Mahaagung
            semoga berkenan menun­tun­mu
            menghadap di hadirat Tuhan Yang Maha Suci
            janganlah terlepas akan sadarmu.)

6.    Simpulan
Dari paparan apa yang sudah kita olah rasakan pada hari ini bahwa bepergian meninggalkan dunia yang fana ini kita harus berbekal SEPI, seperti yang disampaikan oleh Bapak Pangrasa dalam Olah Rasa di Dalam Rasa (2013:149) Jalan Menjelang Ajal, butir 19, menyatakan: “Ketahuilah, mati yang sempurna atau bekal untuk kembali kepada Tuhanmu yang sejati itu ada empat macam, yaitu: Pertama, hendaklah merasuk sejatinya Syahadat. Kedua, sadar (eling, bakti) kepada Allah dan Aku. Ketiga, percaya akan kembali kepada Allah, dan berniat kembali kepada Allah. Keempat, ikhlas meninggalkan dunia. Keempat macam itu dimohon dalam hati yang suci dan dengan keteguhan tekad.”
Bapak Pangrasa memberi nasihat kepada kita melalui Saudara Pangaribawa yang telah berhasil dengan benar menjawab empat pertanyaan jika kelak dipanggil kembali menghadap ke hadirat Tuhan, bahwa setelah mengerti ajaran Sang Guru Sejati segeralah dilaksanakan, bukan sekadar menjadi pengetahuan semata, dan janganlah ditunda-tunda pelakasanaannya. Sebab, apabila hanya berhenti pada pengertian, tidak diikuti dengan perbuatan, pengertian itu tidak dapat memberi apa-apa, tidak berfungsi apa-apa, dan tidak dapat menolong kita dalam perjalanan kembali pulang menghadap ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Nasihat Bapak Pangrasa tersebut demikian: “Pangaribawa, setelah engkau mengerti empat macam syarat untuk kembali menghadap ke hadirat Tuhan, pengertianmu itu lalu masukkanlah ke dalam pusat sanubarimu yang suci sampai kandas terasa tertanam dalam rahsa jati dan jangan sampai dicampuri pengertian atau ilmu lainnya. Sebab, jika hanya berhenti pada pengertian, yaitu tidak diikuti dengan perbuatan, kelak pada saat hajatan ‘bertemunya sang pengantin’ (sampai janjinya), pengertian tanpa perbuatan atau ilmu tanpa laku itu akan mengingkari.” (Olah Rasa di Dalam Rasa, 2014:103).

Satuhu.


No comments:

Post a Comment

Pertemuan 15 Teori Sastra Tempatan