Friday, 18 September 2015

CATATAN PROLOG Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum.




CATATAN PROLOG:
ADEDAMAR WAHYU: GENRE BARU PUISI FILSAFAT JAWA
DAN OBSESI SANG PARAMARTHA KEMBALI KE AKAR SASTRA INDONESIA
Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum.[1]

Setelah sukses menerbitkan antologi puisi pertama berjudul Sang Paramartha (2014), Puji Santosa kini menerbitkan antologi puisi kedua yang diberinya judul Adedamar Wahyu dengan tambahan subjudul “Pustaka Puisi Falsafah Budaya Jawa”. Sepertinya Puji Santosa tidak bermaksud menerbitkan karya-karya baru, yang belum pernah diterbitkan sebelumnya. Banyak puisi dalam Adedamar Wahyu yang justru sudah dimuat dalam Sang Paramartha. Akan tetapi, kehadiran antologi puisi Adedamar Wahyu rupanya bermaksud menegaskan keyakinan atau kredo creative writing Puji Santosa tentang lahirnya sebuah genre baru: puisi filsafat budaya Jawa. Dengan kata lain, Adedamar Wahyu memberikan penegasan akan pentingnya pustaka puisi filsafat budaya Jawa.
            Tulisan singkat ini hanya ingin mengungkap fenomena kelahiran dan keberadaan puisi filsafat. Mengenai filsafat hidup orang Jawa, saya sudah memberikan sedikit catatan dalam antologi Sang Paramartha, lihat pada bagian akhir tulisan ini.
            Plato, filsuf Yunani yang terkemuka, mengungkapkan tegangan antara puisi dan filsafat. Oleh karena puisi adalah seni, dan unsur terpenting dalam seni adalah mimesis (peniruan), meniru dari tiruan, maka puisi tidak berguna. Puisi bahkan sebaiknya dibuang dari sebuah Negara ideal karena meredupkan akal budi. Kata Plato, “So, the poets lack knowledge, and the reason they lack knowledge is that they cannot give an account (logos) of what they are doing.”
            Aristoteles, murid Plato, memiliki pandangan yang jauh berbeda dari gurunya. Bagi Aristoteles, puisi memiliki kontribusi yang signifikan terhadap Negara ideal dalam bidang pemikiran dan ilmu pengetahuan. Puisi adalah filsafat yang menggambarkan pengalaman manusia dan kemanusiaan secara umum. Puisi lebih filosofis dibandingkan sejarah karena sejarah hanya mengisahkan singularitas manusia, sementara puisi menggambarkan tipe-tipe manusia yang sangat pluralis. Oleh karena itulah, puisi dan filsafat merupakan dua entitas yang kompatibel.
            Laura Maguire dalam tulisannya berjudul “Poetry As a Way of Knowing” pertama-tama merasa aneh bahwa puisi dapat menjadi sarana produksi ilmu pengetahuan. Secara umum, kata Maguire, puisi hanya berkaitan dengan menangkap kesan-kesan dan mengekspresikan perasaan. Tujuan puisi bukan mendeskripsikan dunia, karena itu merupakan tugas ilmu pengetahuan.  Puisi memang tidak berkaitan dengan pengetahuan praktis (practical knowledge) atau pengetahuan proposional (propositional knowledge). Akan tetapi, puisi jelas berkaitan dengan jenis pengetahuan ketiga, yaitu pengetahuan tentang fenomena (phenomenal knowledge). Puisi membuka jendela yang khas (unique window) ke dalam pengalaman-pengalaman subjektif. Membaca puisi membuat kita memahami kehidupan dengan cara yang berbeda. Itulah sebabnya Laura Maguire yakin, genre puisi filsafat merupakan sebuah jalan kebijakan umat manusia yang memiliki kedudukan yang sangat penting.
Jika dipahami secara mendalam, genre puisi filsafat sebenarnya memiliki akar sejarah yang panjang. Puisi adalah bentuk seni sastra yang menggunakan bahasa yang bernilai estetik dalam menyampaikan pikiran atau gagasan. Sementara itu, filsafat adalah sistem kepercayaan (system of beliefs) yang diterima oleh sebuah komunitas dan memiliki kekuatan otoritatif terhadap mereka. Filsafat dapat pula mencakup keyakinan pribadi  mengenai hidup dan bagaimana menyiasati kehidupan. Jadi, puisi filsafat adalah puisi yang berbicara mengenai filsafat hidup dan keyakinan sebuah komunitas budaya. Perhatikan puisi filsafat Michael J Ahles dalam puisi berjudul “Poetry” di bawah ini.

POETRY
Michael J Ahles

When words have no rules or regulations
And a sentence has no bounds
That is where the poet hides
Where truth can still be found
The word is mightier than the sword they say
When words are truly free
Poetry is the words of a poet
Then the poet has the power of Thee
There is a lesson to learn in poetry
A remedy and a cure
For poetry are words of freedom
And in freedom the truth shall set us free
What is the truth One wonders
In the phrase and phrases of a rhyme
The true poetry of a free poet
Will bring equality to All in Just time
For freedom is equality
Unity of not only mankind
The true words of a poets’ poetry
Is the beautiful true Oneness of All kind.

            Puisi menyembunyikan kebenaran yang sesungguhnya hendak diungkapkannya. Puisi selalu memberikan  nilai-nilai untuk dipelajari. Dengan kata-kata yang bebas di tangan penyair, puisi sesungguhnya membebaskan dan menyatukan kita dan alam semesta.
Dalam sejarah sastra Indonesia, belum terungkap secara tegas kehadiran dan keberadaan puisi filsafat. Sudah ada prosa lirik yang mengungkap filsafat hidup orang Jawa dalam karya Linus Suryadi AG. Puji Santosa kiranya orang pertama yang menegaskan kelahiran puisi filsafat dalam sejarah sastra Indonesia. Sesuai dengan minat dan keahliannya, Puji Santosa mengawali kehidupan genre puisi filsafat ini dengan filsafat Jawa melalui dua antologi puisinya: Sang Paramartha dan  Adedamar Wahyu.
***

Antologi puisi Puji Santosa yang pertama memiliki judul yang kaya makna, Sang Paramartha. Sang Paramartha sebenarnya terdiri dari empat kumpulan sajak, yaitu kumpulan (1) Mustika Dwipa yang berisi 20 buah puisi; (2) Sang Pencerah yang berisi 25 buah puisi; (3) Oh Dunia yang berisi 30 buah puisi; dan (4) Sang Nabi yang berisi 18 buah puisi.
Mengapa Sang Paramartha? Dalam sejarah sastra Budhis, tersebutlah seorang bhiksu besar yang sangat berpengaruh, seorang penerjemah karya-karya Budhisme Cina, bernama Sang Paramartha (499—569). Terlahir dengan nama Kulanātha dari kerajaan Malwa di India bagian tengah, Sang Paramartha mula-mula hijrah ke Kerajaan Funan kemudian mendarat di Cina melalui Guangdong dan menetap sampai meninggal di Cina. Paramartha adalah sebuah gelar kebesaran. Kata itu berasal dari dua kata dasar, yaitu parama yang berarti ‘paling tinggi’, dan artha yang artinya ‘makna atau nilai’. Jadi, Paramartha berarti “makna atau nilai yang paling tinggi”. Gelar ini diberikan karena dedikasi yang total dan kecendekiaannya dalam menerjemahkan sūtra dan sãstra Budhisme, antara lain Golden Light Sutra (Skt. Suvarnaprabhāsa Sūtra). Sang Paramartha adalah representasi makna dan nilai-nilai tertinggi.
            Dalam ajaran Budha, dikenal pula ajaran Dasa Paramartha, yaitu sepuluh macam ajaran kerohanian yang dapat dipakai sebagai penuntun dalam tingkah laku yang baik serta  untuk mencapai  tujuan hidup yang tertinggi (Moksa). Dasa Paramartha ini terdiri dari sepuluh nilai, yaitu: tapa, bratha, samadhi, santa, sanmata, karuna, karuni, upeksa, mudhita, dan maitri. Ajaran Paramartha berarti ajaran tentang nilai-nilai kesempurnaan (completedness).
            Judul antologi puisi Puji Santosa yang pertama, Sang Paramartha, serta-merta menggiring pembaca ke arah berbagai ajaran, panduan, atau pedoman nilai untuk mencapai kesempurnaan dalam hidup di dunia dan di akhirat. Persoalannya adalah, mengapa penyair begitu terobsesi menawarkan ajaran-ajaran kesempurnaan melalui sastra? Apakah sastra itu? Mengapa seorang Puji Santosa, peneliti sastra senior dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa yang telah banyak menerbitkan kajian-kajian sastra, “turun gunung” dengan segudang ajarannya? Mengapa Sang Paramartha ini lahir di tahun politik 2014, tepat sebelum gonjang-ganjing suksesi kepemimpinan nasional bangsa Indonesia? Apa sajakah bekal yang diperlukan pembaca menikmati panorama puisi-puisi Puji Santosa?
Ulasan ini tidak berpretensi membahas atau memetakan semua nilai yang dikandung dalam puisi-puisi Puji Santosa. Selain saya tidak memiliki kemampuan untuk nguri-uri kabudayan Jawi, tidak pada tempatnyalah sebuah catatan prolog menggantikan tugas kritik sastra. Tulisan ini hanya akan menyinggung permukaan dari pertanyaan-pertanyaan tersebut untuk memancing diskusi yang lebih mendalam dan meluas.
***
Secara umum, dikenal dua jenis bacaan sastra, yaitu bacaan ringan (leisure reading) dan bacaan yang berat (serious literature). Menghadapi puisi-puisi Puji Santosa, perlu ditambahkan sebuah jenis bacaan lagi, yaitu bacaan yang menuntut keseriusan pembaca (the most committed of readers). Secara sepintas, susunan puisi Puji Santosa terkesan ringan, tetapi pemahamannya membutuhkan keseriusan yang mendalam dari pembaca. Perhatikan, misalnya, puisi “Catur Kerti” berikut ini.

CATUR KERTI

Agar hidup kita sungguh berarti
"sepa" atau "sepah" tidak akan terjadi
tetap marsudi agar dapat menjadi "sepi"
tentu ada sarananya untuk tetap berisi
hal pertama haruslah dapat "mangerti"
setelah engkau dapat “mangerti”
leburlah dalam "makarti" setiap hari
pupuk dan siramilah dengan “olah makerti"
agar setiap hari dapat "mastuti ing Widhi"
berbakti kepada Ilahi hingga menembus "rahsa jati".

Bekasi, 21 Maret 2011

            Susunan puisi “Catur Kerti” tampak sederhana. Puisi sepuluh larik ini tersaji dalam satu bait saja dengan perhitungan rima akhir yang cermat. Akan tetapi, isinya tidak mudah ditangkap, bahkan untuk pembaca yang berasal dari komunitas budaya Jawa sekalipun. Puisi singkat ini menyajikan begitu banyak konsep tentang kehidupan yang menuntut keseriusan untuk dimengerti secara mendalam, seperti “sepa”, “marsudi”, “mangerti”, “makarti”, “makerti”, “mastuti ing Widhi”, dan “rahsa jati”. Puisi ini jelas dibangun dari obsesi penyair yang sangat kuat, yang dipenuhi dengan keinginan untuk menyebarkan nilai-nilai luhur yang sangat berguna, baik bagi individu maupun masyarakat. Untuk memahami puisi ini, dibutuhkan keseriusan dan komitmen dari pembaca. Itulah sebabnya puisi-puisi Puji Santosa ini dapat dikategorikan ke dalam sastra obsesif (literature of obsession).
Menurut Plato (dalam Gunsaulus, 1995), seorang sastrawan yang baik menuliskan karyanya pertama-tama bukan sebagai karya seni yang mengutamakan unsur bentuk melainkan karena dia terinspirasi atau terobsesi akan sesuatu (Plato dalam Gunsaulus, 1995). Bukan bentuklah yang penting bagi Plato, melainkan inspirasi dan obsesi pengarang itu yang perlu dan penting untuk dirunut. Pertanyaannya sekarang adalah, apa sesungguhnya obsesi Puji Santosa? Tidak sulit menjawab pertanyaan ini. Mulai dari judul, puisi-puisi Puji Santosa terinspirasi dan terobsesi sebuah panggilan jiwa untuk memberikan tuntunan, pencerahan, dan ajaran moral bagi masyarakat bangsanya yang dinilai sudah mengalami degradasi nilai yang parah. Tuntunan dan pencerahan itu bisa diambil dari berbagai sumber. Puji Santosa tidak segan-segan mengambil saripati tuntutan hidup dari berbagai kebudayaan dan agama.
            Obsesi Puji Santosa ini sedemikian memuncak sehingga struktur atau forma puisi yang sudah diterima sebagai sebuah konvensi umum pun dilanggarnya, seperti terlihat dalam puisi panjang berjudul “Bima Manunggal”, dalam kumpulan puisi Adedamar Wahyu diubah dan direvisi menjadi “Golek Wit Gung Susuhing Tapak Angin”. Pada bait ke-18 dan 19, puisi itu memberikan perincian terhadap sebuah konsep ajaran yang ditandai dengan angka-angka. Pada bait ke-20, dikemukakannya semacam kesimpulan tentang ajaran-ajaran yang dikemukakannya dalam puisi “Golek Wit Gung Susuhing Tapak Angin”. Berikut ini dikutip ketiga bait tersebut.

Sebagai tangga dapat menuju mencapai watak Hastha Sila
haruslah berjalan di Jalan Rahayu, Jalan Keselamatan Jiwa,
disebut juga dengan Panca Darma Bakti, yaitu lima perkara:
1.      Meresapkan Paugeran Tuhan kepada hamba,
sebagai dasar keparcayaan yang benar-benar nyata.
2.      Melaksanakan Panembah kepada Tuhan Yang Maha Esa
sebagai tanda berbakti dan tali kasih kesadaran hamba.
3.      Melaksanakan Budi Darma, sarana dapat menyucikan jiwa,
upaya membabarkan rasa kasih sayang kepada sesama.
4.      Mengendalikan Hawa Nafsu dengan melakukan tapa brata,
mengekang hawa nafsu yang menuju ke perbuatan tercela.
5.      Berusaha dapat menetapi derajat Budi Luhur, Budi Mulia.

Selain itu, semua umat wajib berikhtiar atau berusaha:
jangan sampai menerjang Larangan Yang Mahakuasa,
dengan apa yang disebut sebagai perintah akan Paliwara,
yaitu ada lima hal atau perkara yang menjadi larangan-Nya:
1.      Janganlah engkau menyembah selain kepada Allah Taala.
2.      Berhati-hatilah engkau semua terhadap hal syahwat manusia.
3.      Janganlah makan atau mempergunakan makanan apa saja
dapat memudahkan cepat rusaknya jiwa raga kalian semua.
4.      Patuhilah sungguh Undang-undang Negara dan peraturannya.
5.      Janganlah engkau berselisih atau bertengkar dengan sesama.

Demikian ringkasan apa yang disebut dengan Ilmu Sejati,
Ilmu yang menunjukkan asal mula dan tujuan hidup insani,
akhirnya Bima dapat bertunggal dengan Sang Guru Sejati,
di pusat wit gung susuhing tapak angin, pusat hati sanubari,
berbahagia dapat menemukan tirta pawitra mahening suci,
air penghidupan yang suci, berwujud Wahyu Sasangka Jati.
Sebenarnya semua sudah bertunggal pada diri Bima sendiri.

            Jika kutipan ini dibaca terpisah dari keseluruhan puisi “Golek Wit Gung Susuhing Tapak Angin”, barangkali orang tidak akan berpikir bahwa kutipan tersebut merupakan larik-larik puisi. Kutipan itu barangkali akan dinilai sebagai sebuah ringkasan ajaran dengan uraian yang rinci yang diakhiri dengan kesimpulan tertentu.
            Beberapa perspektif teori sastra barangkali akan mengkritik model sastra obsesif seperti karya-karya Puji Santosa ini. Para pelopor ilmu sastra, yaitu kaum formalis Rusia, menegaskan bahwa yang membuat sebuah konstruksi bahasa disebut sebagai karya sastra adalah format atau bentuknya. Karena itu, menurut kaum formalis Rusia, sastra terutama puisi, perlu menyulap aspek-aspek kebahasaan untuk menimbulkan berbagai efek seperti musikalitas bahasa, rima, gaya bahasa, defamiliarisasi, dan berbagai gejala kebahasaan lainnya.
Jika aspek struktur atau bentuk atau format pada puisi-puisi Puji Santosa dicermati, kita bakal menemukan dua ciri yang sangat menonjol. Pertama, perhitungan rima akhir yang relatif konsisten pada hampir semua puisinya. Kedua, penggunaan istilah dan diksi yang berakar dalam dan luar pada tradisi spiritualisme orang Jawa, yang merupakan ramuan Taoisme, Hinduisme, dan Budhisme yang menjelma menjadi keunikan sejati dari Kejawen. Puji Santosa juga tidak segan-segan menggali ajaran dari berbagai agama lainnya, termasuk Islam dan Kristen. Dua ciri kebahasaan ini sangat menonjol dari puisi-puisi Puji Santosa. Ciri lainnya yang berkaitan dengan gaya dan gejala bahasa tidak banyak ditemukan. Dapat dikatakan bahwa aspek formal atau bentuk tidak menarik perhatian Puji Santosa secara intens. Hal ini pun, bukan sebuah persoalan yang terlalu penting untuk karya sastra obsesif karena yang utama baginya adalah otentisitas pesannya dan bukan medium penyampaiannya.
            Pilihan Puji Santosa ini bukan tanpa pembenarannya dalam paham sastra menurut tradisi Indonesia. Dalam bahasa Indonesia, kata ‘sastra’ diturunkan dari bahasa Sanskerta Sãs- artinya mengajar, memberi petunjuk atau instruksi, mengarahkan; akhiran -tra biasanya menunjukkan alat atau sarana. Karena itulah, dalam tradisi kita, sastra berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran. Misalnya: silpasastra (buku petunjuk arsitektur), kamasastra (buku petunjuk mengenai seni bercinta). Dapat dikatakan bahwa Puji Santosa menempatkan karya sastranya sebagai alat untuk mengajar atau sarana pencerahan bagi pembaca. Dengan memilih posisi sastra seperti itulah, peneliti utama bidang sastra ini berupaya untuk menggali dan merevitalisasikan akar kesusastraan Indonesia.

***

Puisi berjudul “Sang Paramartha” yang dijadikan judul antologi puisi yang pertama tentu memiliki fungsi dan kedudukan yang lebih istimewa dibandingkan dengan puisi-puisi lainnya. Dalam Adedamar Wahyu ini puisi “Sang Paramartha” dimuat ulang sebagai puisi yang ke-84. Mengingat pentingnya puisi ini, akan dibahas beberapa pokok pikiran yang menyangkut struktur dan isinya.
            Dari segi struktur, puisi Sang Paramartha terdiri dari sembilan bait. Jumlah larik dalam setiap bait bervariasi: yang paling pendek 5 larik dan yang paling panjang 9 larik. Puisi ini sangat didominasi oleh bunyi-bunyi eufoni (a, i, u, e, o) yang menimbulkan efek merdu dan berirama. Dengan rima akhir yang sama dan konsisten, puisi ini ingin memberikan kesan bersemangat dalam mengajarkan tanpa mengguruinya.
                Dari segi isinya, puisi Sang Paramartha menawarkan sembilan ajaran dan tuntunan keutamaan. Kesembilan ajaran pada setiap bait dapat diringkas sebagai berikut. (1) sosok berhati mulia dan menyenangkan; (2) ramah, bersahabat, bersusila; (3) sedikit bertutur tetapi berbobot dan jujur; (4) sopan, berwibawa, ramah, menimbulkan rasa segan; (5) bersahaja, sederhana, rapi, bersih, dan enak dipandang; (6) adil, bijaksana, sabar; (7) setia pada negara, menghormati semua agama, aturan, undang-undang; (8) mampu menjaga harkat, martabat, harga diri, dan tidak sombong; serta (9) mampu menyejahterakan dunia.
Susunan antologi Sang Paramartha ini pun mengandung pemaknaan semiotisnya sendiri. Dalam kumpulan pertama Mustika Dwipa, puisi “Aji Saka” justru diletakkan sebagai puisi ketiga, setelah “Adigang Adigung Adiguna” dan “Aja Dumeh”. Pakar dan pengamat kebudayaan Jawa tentu bertanya-tanya, mengapa “Aji Saka” tidak ditempatkan sebagai ‘sang pembuka’? Bukankah Aji Saka adalah cultural hero Jawa yang dikenal sebagai awal, alfa atau alif dalam perjalanan kebudayaan Jawa?
            Logika pertanyaan itu terjawab dengan mengungkap makna dua puisi sebelumnya, yakni “Adigang Adigung Adiguna” dan “Aja Dumeh”. Kedua puisi ini menunjukkan sifat-sifat turunan yang dimiliki manusia saat ini (existing attitude) yang perlu diluruskan dengan kedatangan Sang Aji Saka.
Dalam “Adigang Adigung Adiguna” Puji Santosa menyindir tiga jenis watak, yaitu (1) adigang (orang yang congkak mengandalkan kedudukan, pangkat, derajat, dan jabatan); (2) adigung (orang takabur yang mengandalkan derajat yang berasal dari darah biru keturunan ataupun yang mengandalkan harta kekayaan; (3) adiguna (orang-orang cerdik cendekia yang berwatak sombong karena ilmunya dan meremehkan orang lain). Dalam alam kapitalistik dan hedonistik seperti sekarang ini, hampir semua orang berwatak “Adigang Adigung Adiguna” tanpa pengecualian. Sistem kapitalisme bahkan menciptakan sistem dan ruang di mana manusia berlomba-lomba mendapatkan kesemuanya itu tanpa batas.
            Segera setelah menyadari sisi busuk “Adigang Adigung Adiguna” yang merusak dan menghancurkan, Puji Santosa menampilkan puisi “Aja Dumeh” yang secara eksplisit memberikan jawaban berupa pedoman mawas diri orang Jawa. Aja Dumeh berisi nasihat bagi orang yang “mentang-mentang” berkuasa, mentang-mentang kuat dan gagah, mentang-mentang kaya-raya, dan mentang-mentang sekarang menang” untuk melakukan tindakan pongah, congkak, loba, ceroboh, gegabah terhadap orang lain. Berikut in saya kutip dua bait pertama puisi tersebut.

AJA DUMEH

Aja dumeh merupakan pedoman mawas diri orang Jawa
bilamana engkau dikaruniai sesuatu kelebihan apa saja
janganlah engkau sombong, congkak, takabur, dan loba
serta janganlah lupakan terhadap asal-usul di sekitar kita
senantiasa harus sadar bahwa kelebihanmu itu amanah saja
oleh karenanya, janganlah engkau melupakan jasa mereka.

Aja dumeh kuwasa,
banjur tumindakmu dadi daksura
lan daksia marang ing sapadha-padha.
“Janganlah mentang-mentang engkau berkuasa
lalu perbuatanmu menjadi pongah, congkak, dan loba
serta sewenang-wenang terhadap sesama makhluk-Nya.”

Aji Saka tidak muncul dari kekosongan seperti Adam di Firdaus. Ia hadir ketika penduduk negeri Medangkamulan hidup dalam kegelapan dan ketakutan. Konon nama aslinya Empu Sangkala yang berasal dari Hindustan. Rakyatnya hidup sengsara, tanpa perlindungan, resah, gelisah tanpa harapan karena setiap hari sang raja raksasa siap memakan daging manusia. Empu Sangkala suatu ketika mengalahkan dan membunuh raja raksasa Dewata Cengkar. Maka terbebaslah rakyat dari ketakutan. Dia pulalah yang memperkenalkan aksara Jawa (ha na ca ra ka), lengkap dengan berbagai ajaran tentang kosmologi, manusia, dan Tuhan, yang disebut Jawanisme. Beberapa sarjana menyebut Jawanisme sebagai kebatinan Jawa. Tuntutan dan pedoman itu pun dimulailah. Bagi orang Jawa, tokoh Aji Saka, dapat dipandang sebagai Adam, manusia pertama yang memperkenalkan (kebudayaan) tulisan kepada orang Jawa.
Sekalipun tidak meledak-ledak, Puji Santosa sepertinya geram dengan budaya instan-hedonistik yang tengah mengakar dalam masyarakat kita. Orang modern senantiasa mabuk mengejar harta, kekuasaan, dan kesenangan sampai semuanya lupa daratan dan hidup di awang-awang bagai layang-layang. Inilah pula kiranya alasan Puji Santosa bangkit seperti seorang resi yang geram untuk “turun gunung” membimbing kaumnya menuju sebuah peradaban yang ideal, yang menjamin kedamaian hidup dan kesejahteraan umat manusia di bumi dan keselamatan jiwanya di akhirat. Sebagai seorang yang sebagian besar hidupnya diabdikan dalam bidang penelitian bahasa dan sastra, Puji Santosa mengenal dengan sangat baik saripati ajaran-ajaran berbagai agama dan budaya yang terekspresikan dalam karya sastra.
***

            Menjawab obsesi penyair yang nota bene juga seorang pakar sastra yang menawarkan nilai-nilai kearifan untuk menciptakan keselamatan (termasuk kedamaian di bumi dan di akhirat), kumpulan puisi yang penuh dengan butir-butir mutiara budaya Jawa ini menawarkan berbagai perspektif. Dalam kumpulan pertama, Mustika Dwipa, tampak obsesi pengarang menempatkan ajaran-ajaran yang umumnya berasal dari Jawanisme, yang menuntun ke jalan keselamatan itu. Dalam “Bima Manunggal”, dikemukakan “ilmu sejati” yang menunjukkan secara simbolis asal-usul dan tujuan hidup manusia. Dalam “Catur Kerti”, dikemukakan lima keutamaan untuk menembus “rahsa jati”. Dalam “Cupu Manik Hastha Gina”, dikemukakan delapan ajaran pokok tentang hal-hal yang penting dan berguna dalam hidup manusia, yang mencakup: wanita, garwa, wisma, turangga, curiga, kukila, waranggana, dan pradangga. Dalam “Hastha Brata 1” dikemukakan kebijakan pemimpin Negara, Wibisana, dalam memerintah negeri Alengka. Wibisana perlu meneladan delapan dewa dengan sifat dan keutamaannya masing-masing, yaitu: Dewa Indra, Dewa Surya, Dewa Bayu, Dewa Kuwera, Dewa Baruna, Dewa Yama, Dewa Candra, dan Dewa Brama. Dalam “Hastha Brata 2” dikemukakan teladan Prabu Ramawijaya dalam memimpin negeri Pancawatidhendha dengan arif bijaksana dan berwibawa mencontoh laku sifat alam, yaitu bumi atau tanah, air, angin, samudra, bulan, bintang, matahari, dan api.
            Kumpulan Kedua: Sang Pencerah berisi ajaran-ajaran dan tuntunan kehidupan yang terlahir dari orang yang sudah dicerahkan. Tidak banyak nguri-uri kabudayan di sini karena pedoman-pedoman ini tidak banyak mengikuti ajaran-ajaran, sebagaimana banyak dikutip, disadur, dan digunakan pada kumpulan pertama.
Judul-judulnya telah mengindikasikan secara jelas, ke arah mana isi ajaran dan tuntunan hendak diarahkan. “Bahagia”, “Berjalan di Jalan Kebenaran”, “Cahaya”, “Cendekia Bersyukur”, “Cita-Citaku”, “Doa”, “Doa dan Harapan”, “Doa Pengentasan Insan”, “Guru”, “Harapan”, “Ikrar Ksatria Utama,” “Jujur: Menepati Janji”, “Kesanggupan Suci Dasasila”, “Kredo”, “Lautan Kesabaran”, “Mencapai Taman Kemuliaan”, “Menembus Jiwa Mewujud Karsa”, “Meniti Jalan Benar”, “Piawai Berbakti”, “Rela: Tulus Ikhlas”, “Rezeki Datang dari Ilahi”, “Sang Paramartha”, “Sembah Cipta dan Hati”, “Siapa yang Masih”, “Tawakal dan Bersyukur”.
            Kumpulan Ketiga: Oh, Dunia berisi keprihatinan penyair terhadap berbagai peristiwa sehari-hari sampai tragedi besar yang menimpa umat manusia di tanah air. Perhatikan judul-judul puisi dalam kumpulan ketiga ini. “Balada Marsinah dan Wiji Tukul”, “Berbagi”, “Bertambah”, “Dari Desa Dunia Menuju ke Istana Mulia”, “Flu Berat”, “Goda”, “Harus Tetap Dijaga”, “Kafilah di Bumi”, “Kasih,” “Kekasihku”, “Ketentuan Ilahi”, “Lebaran 1: Sebentar Lagi”, “Lebaran 2: Membawa Berkah”, “Lebaran 3: Nikmat Ketupat”, “Lebaran 4: Selamat Kemenangan”, “Maju! Mari”, “Manusia dan Dunia”, “Masih Ada Asa”, “Mengukir Muaro Jambi”, “Merajut Gerakan”, “Merdeka”, “Oh Dunia 1”, “Oh Dunia 2”, “Oh Dunia 3”, “Oh Jakarta”, “Pemimpin Dunia Akhirat”, “Sampah”, “Seperti Merpati”, “Siapa Cepat Selamat”, “Ulang Tahun”.
Sekalipun penyair bermaksud mengungkapkan realitas kehidupan sehari-hari, obsesi eskatologisnya tidak pernah benar-benar hilang. Ketika menyinggung soal sampah sekalipun, penyair tetap terobsesi dengan kehidupan akhirat. “Setumpuk sampah mulai gelisah//Tersengat bau busuk merebak resah//Kenapa hidup harus berkeluh kesah//Marilah kita berserah kepada Allah”. Penyair tidak lupa mengeksplisitkan nilai-nilai watak berbudi luhur yang diperlukan “Akan menjadi bekal jalan kembali ke Surga.” Perhatikan keprihatinan penyair pada dunia dan ajakannya menuju ke surga dalam puisi “Mari” berikut ini.

MARI....

Segulung ombak mulai menerjang
Kapal nelayan terempas melayang
Kenapa bencana mesti selalu datang
Mari tingkatkan semangat berjuang

Sebungkah angin topan menghempas
Meluluhlantakkan tanah tanpa belas
Raung jeritan anak manusia memelas
Mari kita selesaikan agar semua puas

Setumpuk sampah mulai gelisah
Tersengat bau busuk merebak resah
Kenapa hidup harus berkeluh kesah
Marilah kita berserah kepada Allah

Segumpal awan mulai berarakan
Sebentar pertanda hari akan hujan
Kenapa hidup tidak ada kepastian
Mari kita berserah kepada Tuhan

Sepanjang zaman selalu ada bencana
Pertanda hidup di dunia penuh dinamika
Tiada menyesal seusai terusir dari Surga
Mari berusaha agar kembali kepada-Nya

Sabar, jujur, tawakal narima, dan rela
Menjadi perantara watak berbudi mulia
Disertai selalu sadar, bakti, iman, dan takwa
Akan menjadi bekal jalan kembali ke Surga.

Bekasi, 1 Desember 2013.

Dalam kumpulan keempat, Sang Nabi, penyair mengajak kita untuk belajar dari sejarah hidup dan teladan para nabi. Ada enam nabi yang dipaparkannya dalam bentuk balada, yaitu “Balada Nabi Adam AS”, “Balada Nabi Idris AS”, “Balada Nabi Nuh AS”, “Balada Nabi Hud AS”, “Balada Nabi Saleh AS”, “Balada Nabi Luth AS”.  Hal yang menarik adalah dikemukakannya dua tokoh dari Kitab Suci Perjanjian Lama, Kain dan Habil, sebagai salah satu kisah panutan, agar kita memberikan kepada Tuhan persembahan yang terbaik.
***
Sebuah ekspresi artistik, secara umum dapat ditinjau dari dua kondisi, yaitu otentisitas pesan yang disampaikan dan orisinalitas medium penyampaian (Ignas Kleden, 2001). Pesan-pesan yang disampaikan Puji Santosa berasal dari penghayatan pribadinya yang begitu intens terhadap Jawanisme dan ajaran-ajaran lainnya. Sebagai seorang yang bukan berasal dari etnis dan kebudayaan Jawa, saya menilai Puji Santosa begitu total melibatkan seluruh kemampuan mentalnya dengan ajaran-ajaran Jawanisme. Intensitas pemahaman dan penghayatan Puji Santosa pada ajaran Jawanisme tidak hanya terjadi pada level olah pikir dan olah rasa saja, melainkan lebih dari itu telah menjadi ungkapan seluruh kepribadiannya. Puji Santosa dan Jawanisme bukan lagi dua entitas yang berbeda melainkan sudah saling merasuk dalam satu manifestasi: Sang Paramartha.
            Menyangkut orisinalitas medium penyampaiannya, Puji Santosa memilih bentuk puisi. Struktur puisi-puisi Puji Santosa dibangun dengan memperhatikan rima akhir dan tentu saja ritme puitis. Ia tidak banyak menggunakan bahasa bersayap dengan kombinasi gaya bahasa yang rumit. Bahasanya justru terlihat polos, tidak ada ambiguitas pemaknaan. Hal ini barangkali bukan sebuah kebetulan, karena bahasa puisi Puji Santosa banyak mengandung dan membawa pesan-pesan yang berat, sebagian masih menggunakan istilah-istilah Jawa Kuna, Hindu, Budha, dan Islam. Agar dapat dinikmati, puisi-puisi Puji Santosa memerlukan pembaca yang serius.
Hadirnya antologi puisi Sang Paramarta patut dicatat sebagai sebuah peristiwa budaya yang tidak terjadi sebagai sebuah kebetulan belaka, “Ketahuilah olehmu sekalian// bahwa tidak ada kejadian// yang tanpa sebab nyata” (lihat puisi Puji Santosa, “Tiada Hal Kebetulan”). Terbitnya antologi Sang Paramartha ini memang mendapat momentum yang baik justru ketika bangsa Indonesia dihadapkan pada sebuah peristiwa politik ‘pergantian kepemimpinan nasional’ di tahun 2014 ini. Sejarah membuktikan bahwa suksesi di Indonesia jarang terlaksana secara mulus tanpa keributan dan korban, baik korban nyawa maupun korban harta benda. Momentum pergantian kepemimpinan nasional juga mengandung harapan yang sangat besar dari seluruh rakyat untuk mendapatkan seorang pemimpin bangsa yang benar-benar memiliki integritas moral dan keberanian yang teguh untuk  memimpin bangsa ini keluar dari berbagai keterpurukan. Bangsa ini membutuhkan Sang Paramartha. Karena itu, antologi puisi Sang Paramartha yang lahir sebelum hiruk-pikuk pergantian kepemimpinan nasional ini adalah kado bagi pemimpin bangsa dan rezim pemerintahannya yang baru. Sang Paramartha ibarat Yohanes Pembaptis yang mempersiapkan jalan bagi kedatangan Isa Almasih.
Antologi ini hadir di tahun politik 2014 sebagai sebuah ajakan untuk melakukan perjalanan rohani (spiritual journey) menimba kekayaan spiritual bangsa yang tersimpan dalam khazanah pemikiran berbagai ajaran agama dan kepercayaan komunitas lokal. Kearifan, keutamaan, dan kebijaksanaan hidup warisan leluhur terbukti tahan uji dan memiliki daya hidup yang sangat tinggi. Berkat berbagai ajaran nilai-nilai luhur itulah, masyarakat kita dapat senantiasa survived mengatasi tantangan zaman. Kita menyaksikan pula bahwa Jawanisme tetap tegak mempertahankan identitas kulturnya di tengah gempuran kebudayaan modern yang semakin pragmatis, instan, dan hedonistik. Semoga Sang Paramartha membuka jalan bagi Sang Paramartha, pemimpin yang akan mewujudkan impian lebih dari dua ratus juta penduduk Indonesia mencapai kesejahteraan hidup di dunia dan mencapai kesempurnaannya di akhirat. 


Yogyakarta, 6 Februari 2014



[1] Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum.  adalah pakar kritik sastra dan dosen pada Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

No comments:

Post a Comment

Pertemuan 15 Teori Sastra Tempatan