Judul Buku :
ADEDAMAR
WAHYU:
Pustaka Puisi Falsafah Budaya Jawa
Penulis :
Puji Santosa
Penerbit :
Azzagrafika, Yogyakarta
Tahun :
Juli 2015
Halaman :
xxxvi + 276 halaman
Ukuran Buku :
15,5 x 21 Cm
ISBN :
978-602-1048-41-2
Harga :
Rp60.000,00
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
PENGANTAR PEMBACA:
MEMASUKI KESEDERHANAAN MEMAKNAI HIDUP BAHAGIA
MENJADI SEJUK SEPERTI AIR PUTIH YANG MEMBERSIHKAN
(Drs. Dhanu Priyo
Prabowo, M.Hum.)
Menulis
puisi pada kenyataannya adalah menyampaikan kata-kata bijaksana yang dikemas
dalam pilihan dan susunan kata yang menarik. Persoalan untuk menjadi menarik
memang relatif ketika puisi itu sudah sampai di tengah pembacanya. Antologi
puisi ini menarik untuk disimak karena bahasa yang dipergunakan sederhana dan
cenderung lugas. Namun, dengan kesederhanaan dan kelugasan puisi-puisi karya
Puji Santosa itu justru menjadi enak untuk disimak ketika mengungkapkan
kata-kata bijak yang menjadi visinya.
Membaca
kumpulan puisi Adedamar Wahyu karya
Puji Santosa ini mengingatkan kita semua pada sebuah piwulang ‘ajaran’ tentang kerendahan-hati yang perlu dimiliki oleh
manusia. Karya-karya yang dituangkan di dalam antologi ini bersuasana ajakan
yang berisi ajaran falsafah budaya Jawa supaya manusia dapat mengendalikan
diri. Hal ini mengingatkan kita pada pujangga-pujangga Jawa yang memberi piwulang ‘ajaran’nya melalui
tembang-tembang dengan dirangkai kata-kata bijak yang dibingkai keindahan
kiasan dan sejumlah peranti puitis lainnya.
Puji Santosa
yang dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan kebudayaan Jawa sangat kental
mewartakan kearifan-kearifan kejawaan yang oleh orang Jawa sampai saat ini
masih terus diacu dan dipergunakan sebagai petuah luhur. Bahkan, dia berusaha
untuk mentransformasikan nilai-nilai luhur kejawaan itu ke dalam masyarakat
Indonesia modern. Mungkin, upayanya (lewat antologi ini) merupakan suatu usaha
ideal orang Jawa yang telah melihat berbagai hal tentang Indonesia. Namun,
baginya membawa nilai luhur kejawaan itu ke persada nusantara bukan merupakan
ekspansi politis. Puji, begitu teman-temannya memanggilnya, sama sekali tidak
mempunyai keinginan politis seperti itu. Dia hanya ingin menyampaikan bahwa ada
nilai-nilai kelokalan yang bisa menjadi sesuatu yang dapat ditebarkan kepada
sesamanya di mana pun. Hal tersebut tampak jelas dalam judul kumpulan puisi ini,
yaitu Adedamar Wahyu, kata adedamar berasal dari kata dasar damar yang mendapat perulangan dwipurwa
menjadi dedamar, lalu mendapat
imbuhan a- yang berarti ‘ber-‘ atau
‘menggunakan’. Kata damar berarti dilah, dian, lampu, pelita, atau obor. Jadi, kata adedamar berarti ‘menggunakan banyak lampu penerangan’. Sementara
itu, kata wahyu bagi orang Jawa
dipahami sebagai ‘kalam atau sabda Tuhan yang berisi petunjuk nyata yang
menunjukkan jalan benar ialah jalan utama yang berakhir dalam kesejahteraan,
ketenteraman, dan kemuliaan abadi, yakni di hadirat Tuhan Sejati’. Dengan
demikian, judul kumpulan puisi Adedamar
Wahyu kurang lebihnya bermakna “dari sekian banyak alat atau sarana
penerangan, gunakanlah wahyu sebagai sarana penerangan bagi umat yang berada di
dalam kegelapan dunia.” Dengan wahyu sebagai obor, maka jalan yang ditempuh
dari pondok dunia menuju ke istana akhirat akan semakin jelas, terang, dan
lapang.
Kumpulan
puisi Adedamar Wahyu disusun secara
alfabet dari aksara awal judul puisi, yaitu dari A hingga Z, “Adedamar Tanggal Pisan Kapurnaman”
hingga “Zaman Kalabendhu”, bukan
pertema seperti pada kumpulan puisi sebelumnya, Sang Paramartha. Hal ini dimaksudkan hanya untuk memudahkan pembaca
mencari sesuatu atau hal-hal yang berkaitan dengan pemahaman filosofi budaya
Jawa, semacam senarai atau ensiplopedia falsafah budaya Jawa. Oleh karena itu,
pada kumpulan puisi ini tercamtum 72 judul puisi transformatif Jawa, yaitu “Adedamar Tanggal Pisan Kapurnaman”,
“Adigang Adigung Adiguna”, “Adoh Tanpa Wangenan, Cedhak Datan Senggolan”, “Aja
Dumeh”, “Aja Rumangsa Bisa, Nanging Bisaa
Rumangsa”, “Aji Godhong Jati Aking”, “Ajining Dhiri Ana Lathi, Ajining Raga Ana Busana”, “Aji Saka Raja Tanah
Jawa”, ”Alon-Alon Waton Kelakon”, “Anak Polah Bapa Kepradah”, “Ambeg Adil Paramarta”,
“Berbudi Bawa Leksana”, “Blencong”, “Catur Kerti”, “Cegah Dhahar lan Guling”,
“Crah Agawe Bubrah, Rukun Agawe Santosa”, “Cupu Manik Hastha Gina”, “Curiga
Manjing Warangka, Warangka Manjing Curiga”, “Dasadarma Wasesa”, “Godha”,
“Godhong Suruh Lumah lan Kurepe”, “Golek Banyu Apikulan Warih, Golek Geni
Adedamar”, “Golek Wit Gung Susuhing
Tapak Angin”, “Guru: Digugu lan Ditiru”, “Hastha Brata”, “Jati Diri
Semar”, “Jujur Mujur Bakal Makmur”, “Kidung Sunan Kalidjaga”, “Mastuti Ing
Widhi”, “Mati Siji Mati Kabeh, Mukti Siji Mukti Kabeh”, “Memayu Hayuning
Bawana”, “Musthikaning Dewi Kunthi”, “Narpati Caturmulya”, “Ngupaya Sugih ing
Sajroning Panarima”, “Nyandung Cempaka Mulya Sawakul”, “Nyebar Godhong Kara,
Sabar Sawetara”, “Pakuwon”, “Pancadarma Utama”, “Pancatiti Darma”, “Pepali
Sad-Avihimsa”, “Pepali Sadwasesa”, “Praja Pancawicaksana”, “Pranata Mangsa”,
“Ratu Adil Herucakra”, “Rila Lamun Ketaman, Nora Getun Lamun Kelangan”, “Sabar
Sareh Mesthi Bakal Pikoleh, Sabar Subur Musthikaning Laku”, “Sabda Tan Winedar
ing Lesan, Sastra Tan Cinandi ing Tulisan”, “Sadguna Upaya”, “Sadumuk Bathuk
Sanyari Bumi Dilabuhi Tohing Pati”, “Sang Paramartha”, “Sang Prambanan”,
“Saptaguna Wisesa”, “Sastra Cetha”, “Sastra Jendra Hayuningrat”, “Sayuta Siji
Ombyokan”, “Sesambating Jiwa ing Alam Kafiruna”, “Sembah Cipta lan Ati”,
“Sesanggeman Suci Dasasila”, “Sinamun ing Samudana, Sesadone Ingadu Manis
Manuhara”, “Sura Dira Jayaningrat, Lebur Dening Pangastuti”, “Trijana Upaya”,
“Ulat Sumeh Agawe Renaning Wong Akeh”, “Urip Urup, Mung Mampir Ngombe, Saderma
Nglakoni”, “Wahyu Cakraningrat”, “Wahyu Makutharama”, “Wahyu Sasangka Jati”,
“Wajik Klethik Gula Jawa, Luwih Becik Sing Prasaja”, “Wedi Wirang Wani Mati”,
“Yen Wani Aja Wedi-Wedi, Yen Wedi Aja Wani-Wani”, “Yitna Yuwana, Lena Kena”, “Zaman
Kerajaan ing Jawa”, dan “Zaman
Kalabendhu”. Judul-judul tersebut sangat jelas “Jawa”, tetapi isinya bisa
ditempatkan sebagai sebuah refleksi batin yang mencintai sesamanya tanpa
melihat adanya sekat-sekat apa pun, misalnya di dalam puisi yang berjudul “Aja Dumeh.” Puisi tersebut setelah
dibaca keseluruhan ternyata dapat membawa kita pada gambaran bahwa menjadi
manusia itu yang terutama rendah hati. Manusia yang rendah hati adalah manusia
yang dapat melihat lingkungannya sebagai guru yang mengajarkan kebijaksanaan
hidup, seperti berikut.
Aja dumeh merupakan pedoman mawas diri orang Jawa
bilamana engkau dikaruniai
sesuatu kelebihan apa saja
janganlah engkau sombong,
congkak, takabur, dan loba
serta janganlah lupakan terhadap
asal-usul di sekitar kita
harus senantiasa sadar bahwa
kelebihanmu itu amanah saja
oleh
karenanya, janganlah engkau melupakan jasa mereka.
Hidup dengan
sikap seperti itu (rendah hati) merupakan jalan untuk menjadi bahagia, karena
kebahagiaan itulah salah satu dambaan manusia hidup. Barangkali, itulah yang
ingin disampaikan puisi-puisi ‘kebatinan’ Puji Santosa. Kebahagiaan menurut dia
adalah suatu relasi yang saling menghidupi antara beberapa kenyataan dan
suasana hidup sehingga akan berdekatan dan menemukan ‘pepadang’ (terang).
Lalu, apa
sesungguhnya bahagia?
Ternyata dan
ternyata, e... ternyata
bahagia itu
adalah mereka, ya mereka
yang senantiasa
dekat Tuhan Yang Mahakuasa
iklim jiwa yang
tenang, tenteram, damai, dan juga
suci, serta
kasih sayang sejati kepada sesama,
berada dalam
suasana kasih sayang, serta
tuntunan, pepadang, dan lindungan-Nya.
Dari kutipan
yang sudah kita baca di atas, ada sesuatu yang sangat tipikal, yang agak
“berbeda” dengan “kebatinan” yang umum dipahami. Di dalam puisi ini, suasana
bahagia seseorang karena ia dekat Tuhan sehingga tercipta iklim jiwa yang
tenang, tenteram, damai, suci, kasih sayang sejati kepada sesamanya, serta
adanya tuntunan, pepadang, dan lindungan Tuhan. Seseorang yang bahagia karena
ia ‘dekat dengan Tuhan’, tidak ‘menyatu dengan Tuhan’ (manunggaling kawula lawan Gusti). Hadirnya kebahagiaan di dalam
diri seseorang karena ‘anugerah’, bukan karena pencariannya. Kebahagiaan yang
sejati adalah karena karunia-Nya, bukan karena usahanya menemukan
‘kebahagiaan’. Bagi Puji Santosa, kebahagiaan itu sesuatu yang ‘pasti’ jika
seseorang dapat melewati beberapa untaian kata yang menyejukkan itu.
Kebahagiaan itu bukan sesuatu yang semu yang harus dicari ‘tanpa arah’ dan
harus melewati ‘guru’, karena kebahagiaan itu sebenarnya sudah dipersiapkan
Yang Maha Kuasa kepada setiap orang asalkan orang dapat membaca tanda-tanda
yang telah Dia berikan. Relasi dengan Tuhan, menurut penyair ini, adalah
sesuatu yang mutlak. Relasi seperti itu bukan sebagai bentuk ‘kemalasan’
manusia yang lemah, tetapi sebagai bukti bahwa keberadaannya memang tidak
dapat melepaskan-Nya dalam setiap langkah. Hidup menjadi berarti dan bahagia
karena eksistensi Tuhan selalu ‘menerangi’ jiwa manusia.
Menjadi
manusia yang bahagia karena selain selalu berelasi dengan Tuhan, juga karena
manusia senantiasa memperoleh ‘harapan’ atas kepastian kedekatannya dengan-Nya.
Puisi yang berjudul “Harapan” barangkali menjadi salah satu kunci bagaimana
hidup itu menjadi bermakna.
HARAPAN
Tuhan...
hanya kepada Tuan
segala doa dan harapan
setiap waktu kami panjatkan
agar Tuan berkenan melimpahkan
rahmat, hidayah, dan karunia
kesejahteraan
kepada setiap insan yang
berbakti dan beriman
agar memperoleh ketenteraman dan
kebahagiaan
serta hidup di dunia dan akhirat
mendapat kemuliaan.
Bekasi, 9
Juni 2012
‘Kunci’ dari
harapan adalah iman. Dengan mengangkat kata ‘iman’ di dalam puisi tersebut,
kita diingatkan bahwa melintasi batas-batas atau sekat-sekat yang ada dapat
dilakukan jika kita memiliki iman. Iman itu berarti ‘percaya’, dan setiap orang
yang percaya kepada Tuhan pasti tidak hanya dimonopoli oleh satu dua orang
(termasuk agama). Dengan beriman, orang dari berbagai latar belakang dapat
bertemu tanpa tersekat oleh formalitas. Beriman itu berarti percaya melintasi
semua persoalan yang sering menjadi masalah dengan pokok bersama mengabdi
kepada Yang Maha Kuasa.
Ketika
membaca secara keseluruhan dari sejumlah puisi karya Puji Santosa (110 judul
puisi), terbersit sebuah pendapat di dalam benak saya bahwa saya sedang
memasuki relung-relung “dunia kebatinan Jawa” yang disajikan dalam konteks
keindonesiaan. Penyair ini dengan kekayaan khazanah budayanya ingin mengajak
para pembacanya untuk melihat sebuah “keteduhan” dunia batin orang Jawa untuk
siapa pun orangnya (tanpa terperangkap oleh sekat-sekat primordial).
Kenyataan
inilah yang mendorong saya untuk bersedia menerima dhawuh (perintah) dari sang penyair untuk menuliskan semacam kata
pengantar. Memperkenalkan suasana batin dalam kata-kata bijak, sebagaimana yang
tertuang pada puisi-puisinya, memang menjadi tugas setiap orang, termasuk
seorang penyair ini. Kata-kata bijak ternyata dapat lahir dari susunan dan
verbalismenya yang cukup sederhana. Sederhana merupakan “cita-cita ideal” yang
menjadi dasar pandangan hidup orang Jawa, walaupun dalam praktiknya boleh dikatakan
kesederhanaan “prasaja” ini hanya
menjadi “mitos” saja pada keseharian orang Jawa. Di tengah hidup yang modern
dan cenderung hedonis itulah, puisi-puisi penyair ini (dapat dikatakan) untuk
mengingatkan kembali tentang makna dari “cita-cita ideal” tersebut. Puisi
berjudul “Wajik Klethik Gula Jawa, Luwih
Becik Sing Prasaja” jelas menunjukkan hal itu sebagai berikut.
WAJIK KLETHIK GULA JAWA
LUWIH BECIK SING PRASAJA
Falsafah budaya: wajik klethik gula jawa,
luwih becik sing prasaja, hal itu bermakna:
daripada hidup kalian di dunia
berfoya-foya,
alangkah lebih baiknya engkau
hidup bersahaja.
Orang kaya yang tidak sadar akan
kekayaannya
biasanya hidup bermewah-mewah
dan berfoya-foya
setiap hari menghambur-hamburkan
uang dan harta
bahkan kadang suka pada hal yang
bersifat angkara
juga senang membuat orang lain
hidupnya sengsara
sayang bila hidup di dunia tiada
berguna bagi sesama.
Sekalipun hidup di dunia
bergelimpang harta benda
jikalau tetap sadar akan
kekayaan yang dimilikinya
berkelimpahan harta benda itu
sekadar amanah saja
dalam kehidupan sehari-hari
dapat berlaku bersahaja
segala sesuatunya akan menjadi
lebih mudah diterima
oleh siapa pun dalam masyarakat
yang ada di sekitarnya
tidak merepotkan dan
menjengkelkan karena sederhana,
bersahaja itu dapat diterima
oleh siapa dan di mana saja.
Ukuran bersahaja atau sederhana
itu beraturan juga,
tidak boleh hanya asal-asalan
ataupun seenaknya saja,
sekalipun bersahaja itu relatif
yang menjadi ukurannya
tetap ada nilai-nilai kewajaran
yang melekat pada dirinya
senantiasa sederhana, bersahaja,
dan tidak berlaku jumawa
tentu akan selalu membuat orang
lain merasa suka bahagia
oleh karena dia dapat menjadi
suri teladan masyarakat kita
yang selalu merasa haus akan
panutan dan penuntun utama.
Bekasi, 20
Mei 2015
Mungkin
pembaca tidak melihat puisi tersebut sebagai puisi, tetapi hanya sekedar sebuah
narasi yang ditata layaknya sebagai susunan puisi. Akan tetapi, karena tulisan
ini tidak bertujuan menganilis struktur sebuah puisi, persoalan yang baru saja
disampaikan itu tidak akan diungkapkan. Saya menempatkan puisi seperti di atas
tadi sebagai “kesederhanaan” puisi tanpa menghilangkan inti persoalan yang
disampaikannya. Menjadi sederhana dalam konteks zaman seperti saat ini,
mungkin, menjadi masalah tersendiri yang harus dilalui manusia. Sederhana itu
ternyata tidak sesederhana ketika diucapkan. Memang menjadi sederhana itu
ternyata rumit seperti yang diungkapkan pada bait terakhir yang berbunyi: sekalipun bersahaja itu relatif yang menjadi
ukurannya/ tetap ada nilai-nilai
kewajaran yang melekat pada dirinya. Walaupun relatif tetapi tetap memiliki
ukurannya, dan mungkin ukuran yang dimaksud adalah tidak jumawa.
Kerelatifan
itu merupakan sebuah bagian dari hidup manusia, terutama ketika manusia
bertujuan untuk manunggal dengan Yang
Mahakuasa sebagaimana yang diimpikan oleh para pembelajar “ilmu kesukmaan” atau
“ilmu kasunyatan”: Seorang penuntut ilmu kesukmaan diibaratkan orang
bepergian/ dapat cepat segera sampai atau lama dia sampai di tempat tujuan/
serta mudah atau sulitnya medan yang dihadapi dalam perjalanan/ hal itu
tentunya sangat bergantung pada orang yang menjalankan:/ apakah pelaksanaannya
berdasarkan tekad disertai pengorbanan/ dan apakah mau melakukan itu seenaknya
atau hanya lelamisan// (“Adedamar Tanggal Pisan Kapurnaman”). Dengan
kerelatifan itu manusia diajarkan untuk selalu “bergulat” dengan kehidupan yang
sangat mudah berubah dan sangat majemuk. Untuk mencapai “tujuan” dari
bepergiannya itu, tekad menjadi inti dari sampai atau tidaknya perjalannya.
Mungkin ada baiknya supaya gambaran tersebut dapat dipahami jika kita bersama
membaca keseluruhan puisi “Adedamar
Tanggal Pisan Kapurnaman” sebagai berikut.
ADEDAMAR
TANGGAL PISAN KAPURNAMAN
Adedamar tanggal pisan kapurnaman itu
bermakna:
menggunakan
penerangan sinar bulan tanggal pertama,
secara
tiba-tiba mendapat anugerah sinar bulan purnama.
[baru tanggal
satu sudah mendapatkan sinar bulan purnama]
Bawasannya
seseorang mencapai ilmu kesunyataan,
yakni seorang
penuntut ilmu kusukmaan atau ketuhanan,
cita-cita hidup
sejati bertunggal dengan Yang Maharahman,
tidak terbatas
pada ruang dan waktu yang menjadi tujuan.
Ada kalanya
penuntut ilmu kesukmaan baru melaksanakan,
baru saja
mendapatkan petunjuk jalan benar dan dijalankan,
secara
tiba-tiba mendapat anugerah mencapai kesempurnaan,
berhasil lulus,
dan tercapailah sudah apa yang dia cita-citakan.
Akan tetapi,
banyak orang yang sudah berpuluh-puluh tahun,
bahkan
sepanjang hidupnya di dunia tidak dapat menemukan
sari rasa
tenang damai tersimpan dalam Rahsa Jati tiap insan,
takhta
singgasana Tuhan Yang Maha Esa di pusat kehidupan.
Demikian itu
disebabkan oleh usahanya menggunakan pikiran,
perasaannya
tidak tetap dan tidak mempunyai keteguhan iman,
lalu
berbelok-belok jalan yang di tempuh, ke kiri dan kebablasan,
sehingga masuk
ke istana Ratu Kidul, Penguasa Lautan Selatan.
Seorang
penuntut ilmu kesukmaan diibaratkan orang bepergian,
dapat cepat
segera sampai atau lama dia sampai di tempat tujuan
serta mudah
atau sulitnya medan yang dihadapi dalam perjalanan
hal itu
tentunya sangat bergantung pada orang yang menjalankan:
apakah
pelaksanaannya berdasarkan tekad disertai pengorbanan,
dan apakah mau
melakukan itu seenaknya atau hanya lelamisan.
Jikalau engkau
semua mempunyai cita-cita mulia setinggi apa saja,
janganlah takut
pada sukarnya laku yang menjadi tebusan cita-cita,
sebab bilamana
engkau hanya berani pada yang mudah-mudah saja,
takut pada hal
yang sukar, sulit, dan pelik, tentu tidak akan terlaksana.
Bekasi, 26 Januari 2015
Sisi lain
yang menarik di dalam antologi ini, penyair memasukkan kosa kata dan
istilah-istilah dari bahasa Jawa ke dalam puisinya. Menikmati satu persatu-satu
puisi ini terasa bahasa Jawa pada puisi Indonesia tidak mengganggu dan terasa
cair serta menyatu. Tidak ada kesan untuk dipaksakan supaya menjadi “lain” dan
unik. Paling tidak, lihat saja judul-judul yang sangat tipikal Jawa ini: “Adedamar Tanggal Pisan Kapurnaman”, “Adigang
Adigung Adiguna”, “Adoh Tanpa Wangenan”, “Cedhak Datan Senggolan”, “Aja
Dumeh”, “Aja Rumangsa Bisa, Nanging Bisaa Rumangsa”, “Aji Godhong Jati Aking”, “Ajining Dhiri Ana
Lathi”, “Ajining Raga Ana Busana”, “Aji Saka Raja Tanah Jawa”, “Alon-Alon Waton
Kelakon”, “Anak Polah Bapa Kepradah”, “Ambeg Adil Paramarta”, “Berbudi Bawa
Leksana”, dan sebagainya. Saya katakan tidak seperti dipaksakan munculkan
kosa kata dalam puisi Puji Santosa ini karena ketika sudah memasuki buah
pikiran yang disampaikan, kata-kata itu menjadi “mencair” untuk dinikmati
dengan sejuk seperti air putih yang membersihkan. Kata-kata dari bahasa Jawa
yang akhirnya dapat berterima di Nusantara ini, misalnya legawa “menerima dengan lapang dada” yang diucapkankan oleh banyak
kalangan, terutama oleh para politisi (ketika muncul di media massa). Kata yang
sangat tipikal Jawa itu (penuh makna filosofi kebatinan), akhirnya dapat
dipakai umum (dengan mungkin agak berbeda nuansa kebatinannya).
Demikian
pula serangkaian judul, kata, dan kalimat yang ditemukan di dalam antologi
puisi ini yang banyak ditaburi khasanah Jawa, semoga bukan menjadi semacam
“perintang” untuk mempelajari Kejawaan yang tetap menyala di tengah modernisme
saat ini. Upaya penyair ini “mengaktualisasi” ajaran-ajaran Jawa melalui
percampuran kode antara bahasa Indonesia dan Jawa menjadi semacam kesadaran
personal yang perlu dilakukan. Sebagaimana sesanti yang kemudian menjadi puisi
di dalam antologi ini, alon-alon waton
kelakon, menyadari pergerakan zaman untuk berinteraksi dengan modernisme
bukan berarti larut dan hilang ditelan modernime itu sendiri. Kesadaran dan
keheningan adalah kata kunci ketika kita ingin lebih bijaksana di dalam
menyikapi hidup ini secara bijaksana, “alon-alon
waton kelakon” sering dipahami sebagai sesuatu yang “negatif” di tengah
pergerakan sosial dan budaya seperti saat ini. Pada hal, sesanti itu sebenarnya
mengajarakan dan mengajak manusia untuk senantiasa mampu mengendalikan dirinya
supaya tergapai keheningan, karena keheningan itulah yang akan menciptakan
keseimbanga/keselarasan di tengah alam raya seisinya.
Menyelami puisi-puisi di dalam antologi ini bagaikan diajak pesiar secara
spiritual di tengah gelombang kehidupan manusia. Membayangkan puisi-puisi ini,
paling tidak, seperti undhak-undhakan
Candi Borobudur (kamadhatu, rupadhatu,
arupadhatu), untuk dapat memahami fase-fase kehidupan manusia dari satu
dunia ke dunia lainnya, yakni dari dunia abstrak, ke dunia realitas, menuju ke
dunia kesunyataan. Memang tidak seperti pembagian di Candi Borobudur, tetapi
pembagian di dalam antologi ini paling tidak mengingatkan dan menyiratkan makna
bahwa Puji Santosa memang berusaha ingin membagi ‘ajarannya’ sesuai dengan
konteksnya (ketika puisi-puisinya sampai di hadapan kita). Oleh karena itu, membaca puisi-puisi karya
Puji Santosa adalah diajak untuk menguasai diri supaya tidak tergelincir di
dalam “kegelapan” perjalanan di dunia menuju ke alam baka. Mungkin kalimat yang
saya sampaikan ini agak “bombastis”, tetapi sebenarnya itulah (penguasaan diri)
yang disampaikan sang penyair secara menyeluruh. Selamat menikmati.
Yogyakarta, 8 Juli 2015
Drs. Dhanu Priyo Prabowo, M.Hum.
No comments:
Post a Comment