Thursday, 17 September 2015

ADEDAMAR WAHYU: Pustaka Puisi Falsafah Budaya Jawa


Judul Buku   : ADEDAMAR WAHYU:
                          Pustaka Puisi Falsafah Budaya Jawa
Penulis          : Puji Santosa
Penerbit         : Azzagrafika, Yogyakarta
Tahun            : Juli 2015
Halaman        : xxxvi + 276 halaman
Ukuran Buku   : 15,5 x 21 Cm
ISBN               : 978-602-1048-41-2
Harga             : Rp60.000,00

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


PENGANTAR PEMBACA:
MEMASUKI KESEDERHANAAN MEMAKNAI HIDUP BAHAGIA
MENJADI SEJUK SEPERTI AIR PUTIH YANG MEMBERSIHKAN

(Drs. Dhanu Priyo Prabowo, M.Hum.)

Menulis puisi pada kenyataannya adalah menyampaikan kata-kata bijaksana yang dikemas dalam pilihan dan susunan kata yang menarik. Persoalan untuk menjadi menarik memang relatif ketika puisi itu sudah sampai di tengah pembacanya. Antologi puisi ini menarik untuk disimak karena bahasa yang dipergunakan sederhana dan cenderung lugas. Namun, dengan kesederhanaan dan kelugasan puisi-puisi karya Puji Santosa itu justru menjadi enak untuk disimak ketika mengungkapkan kata-kata bijak yang menjadi visinya.
Membaca kumpulan puisi Adedamar Wahyu karya Puji Santosa ini mengingatkan kita semua pada sebuah piwulang ‘ajaran’ tentang kerendahan-hati yang perlu dimiliki oleh manusia. Karya-karya yang dituangkan di dalam antologi ini bersuasana ajakan yang berisi ajaran falsafah budaya Jawa supaya manusia dapat mengendalikan diri. Hal ini mengingatkan kita pada pujangga-pujangga Jawa yang memberi piwulang ‘ajaran’nya melalui tembang-tembang dengan dirangkai kata-kata bijak yang dibingkai keindahan kiasan dan sejumlah peranti puitis lainnya.
Puji Santosa yang dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan kebudayaan Jawa sangat kental mewartakan kearifan-kearifan kejawaan yang oleh orang Jawa sampai saat ini masih terus diacu dan dipergunakan sebagai petuah luhur. Bahkan, dia berusaha untuk mentransformasikan nilai-nilai luhur kejawaan itu ke dalam masyarakat Indonesia modern. Mungkin, upayanya (lewat antologi ini) merupakan suatu usaha ideal orang Jawa yang telah melihat berbagai hal tentang Indonesia. Namun, baginya membawa nilai luhur kejawaan itu ke persada nusantara bukan merupakan ekspansi politis. Puji, begitu teman-temannya memanggilnya, sama sekali tidak mempunyai keinginan politis seperti itu. Dia hanya ingin menyampaikan bahwa ada nilai-nilai kelokalan yang bisa menjadi sesuatu yang dapat ditebarkan kepada sesamanya di mana pun. Hal tersebut tampak jelas dalam judul kumpulan puisi ini, yaitu Adedamar Wahyu, kata adedamar berasal dari kata dasar damar yang mendapat perulangan dwipurwa menjadi dedamar, lalu mendapat imbuhan a- yang berarti ‘ber-‘ atau ‘menggunakan’. Kata damar berarti dilah, dian, lampu, pelita, atau obor. Jadi, kata adedamar berarti ‘menggunakan banyak lampu penerangan’. Sementara itu, kata wahyu bagi orang Jawa dipahami sebagai ‘kalam atau sabda Tuhan yang berisi petunjuk nyata yang menunjukkan jalan benar ialah jalan utama yang berakhir dalam kesejahteraan, ketenteraman, dan kemuliaan abadi, yakni di hadirat Tuhan Sejati’. Dengan demikian, judul kumpulan puisi Adedamar Wahyu kurang lebihnya bermakna “dari sekian banyak alat atau sarana penerangan, gunakanlah wahyu sebagai sarana penerangan bagi umat yang berada di dalam kegelapan dunia.” Dengan wahyu sebagai obor, maka jalan yang ditempuh dari pondok dunia menuju ke istana akhirat akan semakin jelas, terang, dan lapang.
Kumpulan puisi Adedamar Wahyu disusun secara alfabet dari aksara awal judul puisi, yaitu dari A hingga Z, “Adedamar Tanggal Pisan Kapurnaman” hingga “Zaman Kalabendhu”, bukan pertema seperti pada kumpulan puisi sebelumnya, Sang Paramartha. Hal ini dimaksudkan hanya untuk memudahkan pembaca mencari sesuatu atau hal-hal yang berkaitan dengan pemahaman filosofi budaya Jawa, semacam senarai atau ensiplopedia falsafah budaya Jawa. Oleh karena itu, pada kumpulan puisi ini tercamtum 72 judul puisi transformatif Jawa, yaitu “Adedamar Tanggal Pisan Kapurnaman”, “Adigang Adigung Adiguna”, “Adoh Tanpa Wangenan, Cedhak Datan Senggolan”, “Aja Dumeh”, “Aja Rumangsa Bisa, Nanging Bisaa Rumangsa”, “Aji Godhong Jati Aking”, “Ajining Dhiri Ana Lathi, Ajining Raga Ana Busana”, “Aji Saka Raja Tanah Jawa”, ”Alon-Alon Waton Kelakon”, “Anak Polah Bapa Kepradah”, “Ambeg Adil Paramarta”, “Berbudi Bawa Leksana”, “Blencong”, “Catur Kerti”, “Cegah Dhahar lan Guling”, “Crah Agawe Bubrah, Rukun Agawe Santosa”, “Cupu Manik Hastha Gina”, “Curiga Manjing Warangka, Warangka Manjing Curiga”, “Dasadarma Wasesa”, “Godha”, “Godhong Suruh Lumah lan Kurepe”, “Golek Banyu Apikulan Warih, Golek Geni Adedamar”, “Golek Wit Gung Susuhing Tapak Angin”, “Guru: Digugu lan Ditiru”, “Hastha Brata”, “Jati Diri Semar”, “Jujur Mujur Bakal Makmur”, “Kidung Sunan Kalidjaga”, “Mastuti Ing Widhi”, “Mati Siji Mati Kabeh, Mukti Siji Mukti Kabeh”, “Memayu Hayuning Bawana”, “Musthikaning Dewi Kunthi”, “Narpati Caturmulya”, “Ngupaya Sugih ing Sajroning Panarima”, “Nyandung Cempaka Mulya Sawakul”, “Nyebar Godhong Kara, Sabar Sawetara”, “Pakuwon”, “Pancadarma Utama”, “Pancatiti Darma”, “Pepali Sad-Avihimsa”, “Pepali Sadwasesa”, “Praja Pancawicaksana”, “Pranata Mangsa”, “Ratu Adil Herucakra”, “Rila Lamun Ketaman, Nora Getun Lamun Kelangan”, “Sabar Sareh Mesthi Bakal Pikoleh, Sabar Subur Musthikaning Laku”, “Sabda Tan Winedar ing Lesan, Sastra Tan Cinandi ing Tulisan”, “Sadguna Upaya”, “Sadumuk Bathuk Sanyari Bumi Dilabuhi Tohing Pati”, “Sang Paramartha”, “Sang Prambanan”, “Saptaguna Wisesa”, “Sastra Cetha”, “Sastra Jendra Hayuningrat”, “Sayuta Siji Ombyokan”, “Sesambating Jiwa ing Alam Kafiruna”, “Sembah Cipta lan Ati”, “Sesanggeman Suci Dasasila”, “Sinamun ing Samudana, Sesadone Ingadu Manis Manuhara”, “Sura Dira Jayaningrat, Lebur Dening Pangastuti”, “Trijana Upaya”, “Ulat Sumeh Agawe Renaning Wong Akeh”, “Urip Urup, Mung Mampir Ngombe, Saderma Nglakoni”, “Wahyu Cakraningrat”, “Wahyu Makutharama”, “Wahyu Sasangka Jati”, “Wajik Klethik Gula Jawa, Luwih Becik Sing Prasaja”, “Wedi Wirang Wani Mati”, “Yen Wani Aja Wedi-Wedi, Yen Wedi Aja Wani-Wani”, “Yitna Yuwana, Lena Kena”, “Zaman Kerajaan ing Jawa”, dan “Zaman Kalabendhu”. Judul-judul tersebut sangat jelas “Jawa”, tetapi isinya bisa ditempatkan sebagai sebuah refleksi batin yang mencintai sesamanya tanpa melihat adanya sekat-sekat apa pun, misalnya di dalam puisi yang berjudul “Aja Dumeh.” Puisi tersebut setelah dibaca keseluruhan ternyata dapat membawa kita pada gambaran bahwa menjadi manusia itu yang terutama rendah hati. Manusia yang rendah hati adalah manusia yang dapat melihat lingkungannya sebagai guru yang mengajarkan kebijaksanaan hidup, seperti berikut.

Aja dumeh merupakan pedoman mawas diri orang Jawa
bilamana engkau dikaruniai sesuatu kelebihan apa saja
janganlah engkau sombong, congkak, takabur, dan loba
serta janganlah lupakan terhadap asal-usul di sekitar kita
harus senantiasa sadar bahwa kelebihanmu itu amanah saja
oleh karenanya, janganlah engkau melupakan jasa mereka.

Hidup dengan sikap seperti itu (rendah hati) merupakan jalan untuk menjadi bahagia, karena kebahagiaan itulah salah satu dambaan manusia hidup. Barangkali, itulah yang ingin disampaikan puisi-puisi ‘kebatinan’ Puji Santosa. Kebahagiaan menurut dia adalah suatu relasi yang saling menghidupi antara beberapa kenyataan dan suasana hidup sehingga akan berdekatan dan menemukan ‘pepadang’ (terang).
Lalu, apa sesungguhnya bahagia?
Ternyata dan ternyata, e... ternyata
bahagia itu adalah mereka, ya mereka
yang senantiasa dekat Tuhan Yang Mahakuasa
iklim jiwa yang tenang, tenteram, damai, dan juga
suci, serta kasih sayang sejati kepada sesama,
berada dalam suasana kasih sayang, serta
tuntunan, pepadang, dan lindungan-Nya.

Dari kutipan yang sudah kita baca di atas, ada sesuatu yang sangat tipikal, yang agak “berbeda” dengan “kebatinan” yang umum dipahami. Di dalam puisi ini, suasana bahagia seseorang karena ia dekat Tuhan sehingga tercipta iklim jiwa yang tenang, tenteram, damai, suci, kasih sayang sejati kepada sesamanya, serta adanya tuntunan, pepadang, dan lindungan Tuhan. Seseorang yang bahagia karena ia ‘dekat dengan Tuhan’, tidak ‘menyatu dengan Tuhan’ (manunggaling kawula lawan Gusti). Hadirnya kebahagiaan di dalam diri seseorang karena ‘anugerah’, bukan karena pencariannya. Kebahagiaan yang sejati adalah karena karunia-Nya, bukan karena usahanya menemukan ‘kebahagiaan’. Bagi Puji Santosa, kebahagiaan itu sesuatu yang ‘pasti’ jika seseorang dapat melewati beberapa untaian kata yang menyejukkan itu. Kebahagiaan itu bukan sesuatu yang semu yang harus dicari ‘tanpa arah’ dan harus melewati ‘guru’, karena kebahagiaan itu sebenarnya sudah dipersiapkan Yang Maha Kuasa kepada setiap orang asalkan orang dapat membaca tanda-tanda yang telah Dia berikan. Relasi dengan Tuhan, menurut penyair ini, adalah sesuatu yang mutlak. Relasi seperti itu bukan sebagai bentuk ‘kemalasan’ manusia yang lemah, tetapi sebagai bukti bahwa keberadaan­nya memang tidak dapat melepaskan-Nya dalam setiap langkah. Hidup menjadi berarti dan bahagia karena eksistensi Tuhan selalu ‘menerangi’ jiwa manusia.
Menjadi manusia yang bahagia karena selain selalu berelasi dengan Tuhan, juga karena manusia senantiasa memperoleh ‘harapan’ atas kepastian kedekatannya dengan-Nya. Puisi yang berjudul “Harapan” barangkali menjadi salah satu kunci bagaimana hidup  itu menjadi bermakna.


HARAPAN

Tuhan...
hanya kepada Tuan
segala doa dan harapan
setiap waktu kami panjatkan
agar Tuan berkenan melimpahkan
rahmat, hidayah, dan karunia kesejahteraan
kepada setiap insan yang berbakti dan beriman
agar memperoleh ketenteraman dan kebahagiaan
serta hidup di dunia dan akhirat mendapat kemuliaan.

Bekasi, 9 Juni 2012

‘Kunci’ dari harapan adalah iman. Dengan mengangkat kata ‘iman’ di dalam puisi tersebut, kita diingatkan bahwa melintasi batas-batas atau sekat-sekat yang ada dapat dilakukan jika kita memiliki iman. Iman itu berarti ‘percaya’, dan setiap orang yang percaya kepada Tuhan pasti tidak hanya dimonopoli oleh satu dua orang (termasuk agama). Dengan beriman, orang dari berbagai latar belakang dapat bertemu tanpa tersekat oleh formalitas. Beriman itu berarti percaya melintasi semua persoalan yang sering menjadi masalah dengan pokok bersama mengabdi kepada Yang Maha Kuasa.
Ketika membaca secara keseluruhan dari sejumlah puisi karya Puji Santosa (110 judul puisi), terbersit sebuah pendapat di dalam benak saya bahwa saya sedang memasuki relung-relung “dunia kebatinan Jawa” yang disajikan dalam konteks keindonesiaan. Penyair ini dengan kekayaan khazanah budayanya ingin mengajak para pembacanya untuk melihat sebuah “keteduhan” dunia batin orang Jawa untuk siapa pun orangnya (tanpa terperangkap oleh sekat-sekat primordial).
Kenyataan inilah yang mendorong saya untuk bersedia menerima dhawuh (perintah) dari sang penyair untuk menuliskan semacam kata pengantar. Memperkenalkan suasana batin dalam kata-kata bijak, sebagaimana yang tertuang pada puisi-puisinya, memang menjadi tugas setiap orang, termasuk seorang penyair ini. Kata-kata bijak ternyata dapat lahir dari susunan dan verbalismenya yang cukup sederhana. Sederhana merupakan “cita-cita ideal” yang menjadi dasar pandangan hidup orang Jawa, walaupun dalam praktiknya boleh dikatakan kesederhanaan “prasaja” ini hanya menjadi “mitos” saja pada keseharian orang Jawa. Di tengah hidup yang modern dan cenderung hedonis itulah, puisi-puisi penyair ini (dapat dikatakan) untuk mengingatkan kembali tentang makna dari “cita-cita ideal” tersebut. Puisi berjudul “Wajik Klethik Gula Jawa, Luwih Becik Sing Prasaja” jelas menunjukkan hal itu sebagai berikut.

WAJIK KLETHIK GULA JAWA
LUWIH BECIK SING PRASAJA

Falsafah budaya: wajik klethik gula jawa,
luwih becik sing prasaja, hal itu bermakna:
daripada hidup kalian di dunia berfoya-foya,
alangkah lebih baiknya engkau hidup bersahaja.

Orang kaya yang tidak sadar akan kekayaannya
biasanya hidup bermewah-mewah dan berfoya-foya
setiap hari menghambur-hamburkan uang dan harta
bahkan kadang suka pada hal yang bersifat angkara
juga senang membuat orang lain hidupnya sengsara
sayang bila hidup di dunia tiada berguna bagi sesama.

Sekalipun hidup di dunia bergelimpang harta benda
jikalau tetap sadar akan kekayaan yang dimilikinya
berkelimpahan harta benda itu sekadar amanah saja
dalam kehidupan sehari-hari dapat berlaku bersahaja
segala sesuatunya akan menjadi lebih mudah diterima
oleh siapa pun dalam masyarakat yang ada di sekitarnya
tidak merepotkan dan menjengkelkan karena sederhana,
bersahaja itu dapat diterima oleh siapa dan di mana saja.

Ukuran bersahaja atau sederhana itu beraturan juga,
tidak boleh hanya asal-asalan ataupun seenaknya saja,
sekalipun bersahaja itu relatif yang menjadi ukurannya
tetap ada nilai-nilai kewajaran yang melekat pada dirinya
senantiasa sederhana, bersahaja, dan tidak berlaku jumawa
tentu akan selalu membuat orang lain merasa suka bahagia
oleh karena dia dapat menjadi suri teladan masyarakat kita
yang selalu merasa haus akan panutan dan penuntun utama.

Bekasi, 20 Mei 2015

Mungkin pembaca tidak melihat puisi tersebut sebagai puisi, tetapi hanya sekedar sebuah narasi yang ditata layaknya sebagai susunan puisi. Akan tetapi, karena tulisan ini tidak bertujuan menganilis struktur sebuah puisi, persoalan yang baru saja disampaikan itu tidak akan diungkapkan. Saya menempatkan puisi seperti di atas tadi sebagai “kesederhanaan” puisi tanpa menghilangkan inti persoalan yang disampaikannya. Menjadi sederhana dalam konteks zaman seperti saat ini, mungkin, menjadi masalah tersendiri yang harus dilalui manusia. Sederhana itu ternyata tidak sesederhana ketika diucapkan. Memang menjadi sederhana itu ternyata rumit seperti yang diungkapkan pada bait terakhir yang berbunyi: sekalipun bersahaja itu relatif yang menjadi ukurannya/ tetap ada nilai-nilai kewajaran yang melekat pada dirinya. Walaupun relatif tetapi tetap memiliki ukurannya, dan mungkin ukuran yang dimaksud adalah tidak jumawa.
Kerelatifan itu merupakan sebuah bagian dari hidup manusia, terutama ketika manusia bertujuan untuk manunggal dengan Yang Mahakuasa sebagaimana yang diimpikan oleh para pembelajar “ilmu kesukmaan” atau “ilmu kasunyatan”: Seorang penuntut ilmu kesukmaan diibaratkan orang bepergian/ dapat cepat segera sampai atau lama dia sampai di tempat tujuan/ serta mudah atau sulitnya medan yang dihadapi dalam perjalanan/ hal itu tentunya sangat bergantung pada orang yang menjalankan:/ apakah pelaksanaannya berdasarkan tekad disertai pengorbanan/ dan apakah mau melakukan itu seenaknya atau hanya lelamisan// (“Adedamar Tanggal Pisan Kapurnaman). Dengan kerelatifan itu manusia diajarkan untuk selalu “bergulat” dengan kehidupan yang sangat mudah berubah dan sangat majemuk. Untuk mencapai “tujuan” dari bepergiannya itu, tekad menjadi inti dari sampai atau tidaknya perjalannya. Mungkin ada baiknya supaya gambaran tersebut dapat dipahami jika kita bersama membaca keseluruhan puisi “Adedamar Tanggal Pisan Kapurnaman” sebagai berikut.
ADEDAMAR TANGGAL PISAN KAPURNAMAN

Adedamar tanggal pisan kapurnaman itu bermakna:
menggunakan penerangan sinar bulan tanggal pertama,
secara tiba-tiba mendapat anugerah sinar bulan purnama.
[baru tanggal satu sudah mendapatkan sinar bulan purnama]

Bawasannya seseorang mencapai ilmu kesunyataan,
yakni seorang penuntut ilmu kusukmaan atau ketuhanan,
cita-cita hidup sejati bertunggal dengan Yang Maharahman,
tidak terbatas pada ruang dan waktu yang menjadi tujuan.

Ada kalanya penuntut ilmu kesukmaan baru melaksanakan,
baru saja mendapatkan petunjuk jalan benar dan dijalankan,
secara tiba-tiba mendapat anugerah mencapai kesempurnaan,
berhasil lulus, dan tercapailah sudah apa yang dia cita-citakan.

Akan tetapi, banyak orang yang sudah berpuluh-puluh tahun,
bahkan sepanjang hidupnya di dunia tidak dapat menemukan
sari rasa tenang damai tersimpan dalam Rahsa Jati tiap insan,
takhta singgasana Tuhan Yang Maha Esa di pusat kehidupan.

Demikian itu disebabkan oleh usahanya menggunakan pikiran,
perasaannya tidak tetap dan tidak mempunyai keteguhan iman,
lalu berbelok-belok jalan yang di tempuh, ke kiri dan kebablasan,
sehingga masuk ke istana Ratu Kidul, Penguasa Lautan Selatan.

Seorang penuntut ilmu kesukmaan diibaratkan orang bepergian,
dapat cepat segera sampai atau lama dia sampai di tempat tujuan
serta mudah atau sulitnya medan yang dihadapi dalam perjalanan
hal itu tentunya sangat bergantung pada orang yang menjalankan:
apakah pelaksanaannya berdasarkan tekad disertai pengorbanan,
dan apakah mau melakukan itu seenaknya atau hanya lelamisan.

Jikalau engkau semua mempunyai cita-cita mulia setinggi apa saja,
janganlah takut pada sukarnya laku yang menjadi tebusan cita-cita,
sebab bilamana engkau hanya berani pada yang mudah-mudah saja,
takut pada hal yang sukar, sulit, dan pelik, tentu tidak akan terlaksana.

Bekasi, 26 Januari 2015

Sisi lain yang menarik di dalam antologi ini, penyair memasukkan kosa kata dan istilah-istilah dari bahasa Jawa ke dalam puisinya. Menikmati satu persatu-satu puisi ini terasa bahasa Jawa pada puisi Indonesia tidak mengganggu dan terasa cair serta menyatu. Tidak ada kesan untuk dipaksakan supaya menjadi “lain” dan unik. Paling tidak, lihat saja judul-judul yang sangat tipikal Jawa ini: “Adedamar Tanggal Pisan Kapurnaman”, “Adigang Adigung Adiguna”, “Adoh Tanpa Wangenan”, “Cedhak Datan Senggolan”, “Aja Dumeh”,  “Aja Rumangsa Bisa, Nanging Bisaa Rumangsa”, “Aji Godhong Jati Aking”, “Ajining Dhiri Ana Lathi”, “Ajining Raga Ana Busana”, “Aji Saka Raja Tanah Jawa”, “Alon-Alon Waton Kelakon”, “Anak Polah Bapa Kepradah”, “Ambeg Adil Paramarta”, “Berbudi Bawa Leksana”, dan sebagainya. Saya katakan tidak seperti dipaksakan munculkan kosa kata dalam puisi Puji Santosa ini karena ketika sudah memasuki buah pikiran yang disampaikan, kata-kata itu menjadi “mencair” untuk dinikmati dengan sejuk seperti air putih yang membersihkan. Kata-kata dari bahasa Jawa yang akhirnya dapat berterima di Nusantara ini, misalnya legawa “menerima dengan lapang dada” yang diucapkankan oleh banyak kalangan, terutama oleh para politisi (ketika muncul di media massa). Kata yang sangat tipikal Jawa itu (penuh makna filosofi kebatinan), akhirnya dapat dipakai umum (dengan mungkin agak berbeda nuansa kebatinannya).
Demikian pula serangkaian judul, kata, dan kalimat yang ditemukan di dalam antologi puisi ini yang banyak ditaburi khasanah Jawa, semoga bukan menjadi semacam “perintang” untuk mempelajari Kejawaan yang tetap menyala di tengah modernisme saat ini. Upaya penyair ini “mengaktualisasi” ajaran-ajaran Jawa melalui percampuran kode antara bahasa Indonesia dan Jawa menjadi semacam kesadaran personal yang perlu dilakukan. Sebagaimana sesanti yang kemudian menjadi puisi di dalam antologi ini, alon-alon waton kelakon, menyadari pergerakan zaman untuk berinteraksi dengan modernisme bukan berarti larut dan hilang ditelan modernime itu sendiri. Kesadaran dan keheningan adalah kata kunci ketika kita ingin lebih bijaksana di dalam menyikapi hidup ini secara bijaksana, “alon-alon waton kelakon” sering dipahami sebagai sesuatu yang “negatif” di tengah pergerakan sosial dan budaya seperti saat ini. Pada hal, sesanti itu sebenarnya mengajarakan dan mengajak manusia untuk senantiasa mampu mengendalikan dirinya supaya tergapai keheningan, karena keheningan itulah yang akan menciptakan keseimbanga/keselarasan di tengah alam raya seisinya.
Menyelami puisi-puisi di dalam antologi ini bagaikan diajak pesiar secara spiritual di tengah gelombang kehidupan manusia. Membayangkan puisi-puisi ini, paling tidak, seperti undhak-undhakan Candi Borobudur (kamadhatu, rupadhatu, arupadhatu), untuk dapat memahami fase-fase kehidupan manusia dari satu dunia ke dunia lainnya, yakni dari dunia abstrak, ke dunia realitas, menuju ke dunia kesunyataan. Memang tidak seperti pembagian di Candi Borobudur, tetapi pembagian di dalam antologi ini paling tidak mengingatkan dan menyiratkan makna bahwa Puji Santosa memang berusaha ingin membagi ‘ajarannya’ sesuai dengan konteksnya (ketika puisi-puisinya sampai di hadapan kita). Oleh karena itu, membaca puisi-puisi karya Puji Santosa adalah diajak untuk menguasai diri supaya tidak tergelincir di dalam “kegelapan” perjalanan di dunia menuju ke alam baka. Mungkin kalimat yang saya sampaikan ini agak “bombastis”, tetapi sebenarnya itulah (penguasaan diri) yang disampaikan sang penyair secara menyeluruh. Selamat menikmati.

 
Yogyakarta, 8 Juli 2015
Drs. Dhanu Priyo Prabowo, M.Hum.


No comments:

Post a Comment

Pertemuan 15 Teori Sastra Tempatan