Sunday, 7 February 2016

WINENGKU ING SUKA BAHAGIA




WINENGKU ING SUKA BAHAGIA

(Puji Santosa, Bekasi)


1. Pengantar
Bapak, Ibu, dan Saudara para warga Paguyuban Ngesti Tunggal, siswa-siswi Sang Guru Sejati yang berbahagia karena senantiasa berbakti, percaya, dan taat pada semua sabda perintah Tuhan yang Sejati ialah Suksma Kawekas, yang disampaikan dengan perantaraan Utusan Tuhan yang Abadi ialah Suksma Sejati, Guru sekalian umat, baik dari pondok dunia maupun hingga nanti sampai di istana akhirat, serta menjadi Penuntun dan Guru hamba yang Sejati.
Bapak, Ibu, dan Saudara sepenyiswaan. Sebelum atau sesudah menjadi warga Pangestu, pernahkah Bapak, Ibu, Saudara mendengar, membaca, dan memahami makna ungkapan “Winengku ing Suka Bahagia”. Syukurlah, bilamana Bapak, Ibu, Saudara semua pernah mendengar, membaca, dan juga memahami makna ungkapan “Winengku ing Suka Bahagia” tersebut. Saya sangat parcaya bahwa Bapak, Ibu, dan Saudara warga Pangestu yang pernah mendengar, membaca, dan memahami makna ungkapan “Winengku ing Suka Bahagia” adalah siswa yang benar-benar bertekun dalam kehidupan sehari-hari melaksanakan secara lahir batin semua Sabda Sang Suksma Sejati yang terukir dalam pustaka suci Sasangka Jati, dapat mengalihkan titik berat kesadaran ke Alam sejati ialah kepada Tripurusa, dan juga yang dapat melaksanakan Dasa Sila ialah pedoman para warga Paguyuban Ngesti Tunggal.
Bapak, Ibu, Saudara pernah mendengar, membaca, dan memahami makna ungkapan “Winengku ing Suka Bahagia” tersebut dari ketekunan Bapak, Ibu, Saudara mengikuti olah rasa, membaca majalah Dwija Wara, atau membaca buku-buku wajib Pangestu. Memang benar! Bahwa ungkapan “Winengku ing Suka Bahagia” tersebut merupakan harapan (pangesthi, pamuji, puja-puji) Bapak Pangrasa akan masa depan Pangestu sebagai tempat perlindungan para warga/ siswa dan umat yang ingin senantiasa diliputi oleh rasa suka bahagia untuk selama-lamanya (Taman Kemuliaan Abadi, 2015:27). Secara lengkap dalam bahasa Jawa pamuji Bapak Pangrasa tersebut sebagai berikut.
Bapak Pangrasa: “Nak Jatmika, kula kepranan sanget mirengaken panembramanipun Panitia Kongres Pangestu. Kula manjurung puja-puji mugi-mugi pangajab pangesthinipun wau kinabulaken ing Pangeran. Pangestu widada gesang subur ngembaka nir ing sambekala, dados pangayomanipun para warga/ siswa tuwin sadaya umat ingkang sami kepingin winengku ing suka bahagia ing salamipun kanthi ngambah margining kautaman, inggih margi leres manut tuntunanipun Sang Guru Sejati (Suksma Sejati). Satuhu.” (Taman Kamulyan Langgeng, 2001:27).
Terjemahan bahasa Indonesia: Bapak Pangrasa: “Nak Jatmika, saya sangat terkesan mendengarkan panembrama Panitia Kongres Pangestu. Saya menyertakan doa puji semoga dambaan permohonan itu dikabulkan Tuhan. Pangestu selamat hidup subur merambak tanpa rintangan menjadi perlindungan dari para warga/siswa dan segenap umat yang ingin diliputi suka bahagia untuk selamanya dengan melalui jalan keutamaan ialah jalan benar sesuai dengan tuntunan Sang Guru Sejati (Suksma Sejati). Satuhu.” (Taman Kemuliaan Abadi, 2015:27).

2. Dambaan Segenap Umat
            Menyimak apa yang disampaikan oleh Bapak Pangrasa tersebut bahwa “winengku ing suka bahagia” (diliputi suka bahagia) itu menjadi dambaan segenap umat, termasuk para warga/siswa yang berlindung di gedung Pangestu. Dambaan segenap umat agar dapat winengku ing suka bahagia, apalagi untuk selamanya, tidak hanya berhenti pada keinginan atau harapan semata, tetapi tentu harus juga memenuhi syarat atau laku yang harus dilaksanakan. Menjadi warga Pangestu atau siswa Sang Guru Sejati itu merupakan salah satu pilihan dan syarat yang harus dilaksanakan. Sudah tepat benar bilamana Bapak, Ibu, dan Saudara memilih masuk menjadi warga Pangestu, menyiswa kepada Sang Guru Sejati, dengan tujuan agar dapat senantiasa diliputi oleh rasa suka bahagia. Akan tetapi, syaratnya: menyiswanya kepada Sang Guru Sejati jangan lelamisan, hanya pura-pura atau seenaknya saja, menyiswa kepada Sang Guru Sejati haruslah berdasarkan keteguhan tekad disertai dengan pengorbanan lahir batin. “Jika engkau mempunyai cita-cita apa saja, jangan takut pada sukarnya laku yang merupakan syarat atau penebus untuk mencapai cita-cita itu. Sebab, jika engkau hanya berani pada yang mudah dan takut pada yang sukar (sulit), apa yang engkau cita-citakan tidak akan tercapai.” (Olah Rasa di Dalam Rasa, 2015:22). Jadi, segenap umat yang mendambakan untuk senantiasa dapat diliputi oleh rasa suka bahagia selama-lamanya itu haruslah melalui jalan keutamaan ialah jalan benar sesuai dengan tuntunan Sang Guru Sejati (Suksma Sejati).
            Apakah yang disebut dengan melalui jalan keutamaan ialah jalan benar sesuai dengan tuntunan Sang Guru Sejati? Sebagaimana tersebut dalam Sabda Pratama (2014:1) bahwa tuntunan dan pepadang Suksma Sejati itu disebut dengan nama “Ilmu Sejati”. Dengan demikian, melalui jalan keutamaan ialah jalan benar sesuai dengan tuntunan Sang Guru Sejati, tiada lain harus melaksanakan Ilmu Sejati. “Ketahuilah: Yang disebut Ilmu Sejati itu Petunjuk yang Nyata, yaitu petunjuk yang menunjukkan jalan benar, jalan yang sampai pada asal dan tujuan hidup.” Segenap umat, termasuk warga Pangestu, siswa Sang Guru Sejati yang mendambakan kebahagiaan tersebut, mau tidak mau, tiada jalan lain, harus dapat melaksanakan ilmu sejati, petunjuk nyata, tuntunan dan pepadang Sang Guru Sejati. Adapun pokok ilmu yang tersimpan di dalam “Ilmu Sejati” ialah “ilmu asal dan tujuan hidup” (sangkan paran) disebut Hasta Sila, yaitu Panembah Batin Delapan Perkara. Hasta Sila terdiri atas dua bagian, yaitu Tri Sila dan Panca Sila. Tri Sila itu Panembahnya Hati dan Cipta tiga perkara kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Tri Sila juga mewujudkan kesanggupan besar yang perlu sekali dilaksanakan di dalam setiap harinya, yaitu manusia harus senantiasa Sadar, Percaya, dan Taat kepada Tuhan yang mengusai semesta alam seisinya.
Agar dapat sempurna manusia melaksanakan kesanggupan besar tiga perkara tersebut, manusia wajib berusaha agar dapat memiliki watak utama atau perbuatan keutamaan lima perkara, disebut Panca Sila, yaitu Rela, Narima, Jujur, Sabar, dan Budi Luhur. Adapun sebagai tangga untuk dapat mencapai watak Panca Sila, manusia harus berjalan di Jalan Rahayu ialah yang disebut dengan Panca Darma Bakti, yaitu:
1)     Meresapkan Paugeran Tuhan kepada hamba.
2)     Melaksanakan Panembah, sebagai tanda bakti dan tali sadar.
3)     Melaksanakan Budi Darma, yaitu membabarkan rasa kasih sayang kepada sesama makhluk.
4)     Mengendalikan Hawa Nafsu yang menuju ke perbuatan yang tercela.
5)     Berusaha untuk dapat menetapi derajat Budi Luhur.
Selain itu, setiap manusia wajib berusaha jangan sampai menerjang. Larangan Tuhan, yang disebut dengan Paliwara. Adapun yang menjadi Larangan Tuhan yang Mahakuasa kepada manusia itu ada lima perkara, yaitu:
1)     Jangan menyembah selain kepada Allah.
2)     Berhati-hatilah terhadap hal syahwat.
3)     Jangan makan atau mempergunakan makanan yang memudahkan cepat rusaknya badan jasmani dan budi pekerti.
4)     Patuhilah Undang-undang Negara dan peraturannya.
5)     Jangan berselisih atau bertengkar.
Demikianlah ringkasan dari Ilmu Sejati ialah Ilmu yang menunjukkan asal mula dan tujuan hidup sebagai syarat mutlak laku untuk dapat mencapai tujuan hidup bahagia lahir batin, di dunia hingga di akhirat, winengku ing Suka Bahagia.

3. Tujuan Hidup: Bahagia
Bapak, Ibu, Saudara warga Pangestu yang menyiswa kepada Sang Guru Sejati. Masih ingatkah ketika hari pertama mengikuti ceramah penerangan Ajaran Sang Guru Sejati. Ya, mudah-mudahan masih ingat akan hal itu. Setelah Juru Penabur memperkenalkan diri, memulai dengan dibuka Pangesti Nomor 1, dan memperkenalkan keberadaan Organisasi Pangestu, barulah dijelaskan tentang Hakikat/Masalah Hidup, yaitu (1) Asal dan Tujuan Hidup (Sangkan Paraning Gesang), (2) Tujuan Hidup (Tujuaning Gesang), (3) Bekal Hidup di Dunia (Sanguning Gesang ing Alam Donya), dan (4) Kewajiban Hidup (Kuwajibaning Gesang). Untuk lebih jelasnya mari kita buka saja buku Golongan Kesiswaan dan Tuntunan Bagi Para Siswa Utama: Sebuah Wejangan dari Pakde Narto (1990: 17—19).
1)     Asal hidup adalah dari Sumber Hidup, yaitu Suksma Kawekas, Allah Ta’ala, Tuhan Yang Maha Esa, yang menciptakan semesta alam seisinya. Adapun tujuan hidup ialah kembali ke Sumber Hidup. Asal dari Allah kembali kepada Allah (Innalillahi wainnailahihi rajiun). Hal ini berlaku bagi segenap umat yang mengerti akan syarat-syaratnya dan yang dilaksanak­an berdasarkan kepercayaan (iman) kepada Allah.
2)     Tujuan hidup adalah hidup bahagia yang abadi dan akhirnya kembali ke Asal Mula dan Tujuan Hidup. Adapun tujuan hidup ini dapat dicapai apabila syarat-syaratnya dimengerti dan dilaksanakan disertai pengorban­an.
3)     Bekal hidup itu adalah ilmu (pengetahuan) lahir batin.
4)     Kewajiban hidup banyak sekali, apabila diringkas ada 5 kewa­jiban, yaitu:
(1)   Kewajiban menjadi perantara untuk melaksanakan Karsa Tuhan yang abadi, yaitu pria sebagai perantara turunnya Roh Suci, sedangkan wanita sebagai perantara untuk menerima dan mengandung turunnya Roh Suci. Kewajiban yang suci itu harus dilaksanakan dengan kesucian, kesusilaan, serta keutamaan watak (budi bekerti yang utama) berda­sarkan rasa kasih sayang. Dalam menjalani hidup berumah tangga, pria wanita (suami istri) harus hidup rukun dan selaras (harmonis) dalam ikatan kasih sayang yang sejati. Bilamana kewajib­an hidup yang penting tersebut dijalani dengan cara demikian, maka hal itu berarti mendidik anak sebelum lahir, dalam bahasa asing disebut opvoeding voor de geboorte. Di kemudian hari akan dikaruniai seorang putra/putri yang susila, berwatak utama, berbudi luhur, luhur derajatnya, serta mulia hidupnya.
(2)   Kewajiban untuk mencukupi kebutuhan keluarga.
(3)   Kewajiban terhadap tetangga dan masyarakat, yaitu dengan mencipta­kan ketentraman serta kesejahteraan hidup bersama dengan bergo­tong-royong dan saling membantu.
(4)   Kewajiban mengabdi kepada negara, yaitu dengan menaati undang-undang negara, menjaga ketentraman dan keamanan negara.
(5)   Kewajiban yang luhur dan suci, yaitu dengan berbakti kepada Tuhan Sejati (Suksma Kawekas, Allah Ta’ala) dengan menaati perintah dan menjauhi larangan Tuhan sebagaimana termaktub dalam kitab-kitab suci Sabda Ilahi. Hal itu dilaksanakan berdasarkan kepercayaan bahwa kita umat manusia berada dalam kekuasaan Hukum Abadi, yaitu sifat Keadilan Allah.

4. Pepadang yang Membahagiakan
Sungguh luar biasa, membahagiakan sekali, mendapatkan pepadang dan tuntunan Sang Guru Sejati akan hal Asal dan Tujuan Hidup. Apabila kita tidak memahami akan hal asal dan tujuan hidup, tentu hidup kita tidak akan bermakna apa-apa, sebagai sampah bangsa, tidak dapat menorehkan sejarah yang baik di dunia ini, karena isinya hanya komet, pusing, gelap, dan bingung mencari jalan hidup yang bahagia, bahkan fatalis atau mau bunuh diri. Salah satu tembang Pakde Soemo, tembang “Nur Muhammad”, yaitu bait ke-18, dituliskan: “Ewuh ayaning ngaurip, yen tan wruh sangkan parannya, azali lan abadhine, tangeh lamun bisaa, mbatang pitakonira, memeting cangkriman hidup, komet aneng panyurasa.” Artinya kurang lebih: Kebingungan hidup dapat terjadi bilamana tidak mengetahui akan asal dan tujuannya, yakni asal-muasal dan keabadian-Nya, mustahil dapat menjawab berbagai pertanya­anmu, akan rumit-peliknya teka-teki hidup, pusing hanya berhenti pada pemikiran.
Agar tidak pusing memikirkan persoalan hidup yang datang silih berganti, Pakde Soemo menjelaskan akan asal kesejatian kita dalam “Kidung Suksma” bait ke-3: “Kajatening uripira yekti, asal saking Nuring Pangeranira, ya Suksma Kawekas wite, kababar apindha Nur, Nur Muhammad Suksma Sajati, jati-jatinya Ana, babaring tumuwuh, dadya Rohing pra sujanma, jumeneng neng jroning ati sanubari, Roh Suci kasebutira.” Artinya kurang lebih: “Sesungguhnya Hidupmu yang sejati itu berasal dari Nur Tuhan, yaitu Suksma Kawekas asal pokoknya, terbabar laksana Nur, yakni Nur Muhammad ya Suksma Sejati, sejati-jatinya Ada, terbabarnya tumbuh menjadi Roh/Jiwa segenap makhluk, bersinggasana di dalam hati sanuba­ri, disebut Roh Suci.” Mudah-mudahan dengan penjelasan Pakde Soemo dalam bentuk tembang di atas semakin jelas memahami asal tujuan hidup.
Untuk semakin jelas memahami asal dan tujuan hidup kita, baiklah kita buka Olah Rasa di Dalam Rasa (2013:10—11) Bab VIII, “Berasal dari Allah, Kembali kepada Allah” sebagai berikut.
Bapak Pangrasa: “Mengertilah putraku Pangaribawa, bahwa Hidup kita (Roh Suci) itu berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah (asal dari Hidup dan kembali kepada Hidup). Sejatinya Hidup itu Esa (Satu) yang sudah bertunggal dengan kita di pusat Hidup yang meliputi sege­nap sifat hidup dan semesta alam seisinya.
Asal Roh ialah percikan Hidup, suci, maka kembalinya kepada Allah, Sumber Hidup (Sumber Kesucian), juga harus suci. Adapun yang mengotori kesucian Roh itu pakartinya angan-angan, yang menjadi cangkok Roh, dan yang menumbuhkan rasa cinta serta melekat erat pada keadaan yang tergelar di dunia yang tidak abadi ini sehingga lupa dan tidak berniat kembali kepada Allah, asal-muasal Roh. Ibaratnya seperti awan yang terjadi dari uap air karena daya panas matahari. Selama awan itu belum luluh karena daya panas matahari dan pengaruh angin, selama itu pula awan itu belum dapat jatuh sebagai hujan kembali kepada asalnya uap, yaitu kembali kepada air.
Kembali atau bertunggalnya Roh Suci kepada Allah itu diibaratkan seperti air hujan yang menetes di lautan, yang luluh menjadi satu dengan lautan, abadi keadaannya, yang tidak dapat diterangkan dengan kata-kata bagaimana ketenteraman dan kemuliaannya.
Adapun Roh (Jiwa) yang belum suci, yaitu jiwa yang belum dapat melepaskan tindak kerjanya angan-angan, yang menjadi cangkok atau busana jiwa oleh karena melekat erat pada barang-barang yang dicintai, setelah lepas dari badan jasmani (wadak) tidak dapat kembali pada asal Roh, tetapi berhenti dan bertempat di alam antara, yaitu yang disebut alam Kafiruna atau alam Kegelapan, tempat jiwa-jiwa yang lupa pada asal dan tujuan hidup, yakni lupa kepada Allah. Adapun keadaannya seperti orang ‘tidur’ yang bermimpi tidak keruan, beraneka warna dan berganti-ganti penderitaan yang dirasakan dalam mimpi (selama di alam antara), menurut apa yang diimpi-impikan dan yang diingini serta senantiasa menampak (terbayang-bayang) apa yang dicintainya. Penderitaan dalam mimpi hilang apabila yang ‘tidur’ (lupa) itu bangun, artinya Jiwa segera sadar (ingat) kepada Allah. Oleh karena itu, lalu diturunkan lagi dalam kehidupan di dunia, atas Karsa dan Sih Allah, supaya bersesuci sebelum ‘tidur’ (mati).
Kelonggaran untuk bersesuci itu, atas kasih dan kemurahan Tuhan, adalah tujuh kali, yaitu Roh (Jiwa) yang belum suci diturunkan dalam kehidupan di dunia sebanyak-banyaknya tujuh kali (tujuh penjelmaan), perlunya untuk bersuci sesuai dengan petunjuk agama suci, yakni Sabda Tuhan Yang Mahasuci. Hal laku atau caranya bersuci kini sudah disabda­kan oleh Sang Guru Sejati dengan ringkas dan jelas yang dipaparkan dalam pustaka Sasangka Jati bagian Hasta Sila. Akan tetapi, putra-putraku sekalian hendaklah bercita-cita dan berusaha agar sekali selesai (sepisan rampung, suci) bertunggal kembali dengan Allah. Sebab hal ‘Kelahiran Kembali’ hingga tujuh kali itu bukan pokok ajaran melainkan hanya ‘cabang’ pengetahuan (ilmu) yang juga perlu diketahui untuk menyaksikan atau menguatkan keyakinan bahwa Allah itu senyatanya Mahaadil. Jadi, bukan tujuan hidup atau bukan cita-cita hidup yang sejati.”
Oleh karena keadaan Tuhan itu adalah suci, tenang, damai, dan sayang, maka dalam Arsip Sarjana Budi Santosa (2015:68) alinea 95 menyatakan: “Siapa masih tergoda oleh keadaan dunia besar ini, masih belum suci. Siapa masih ingin menjalankan suatu prestasi, sekalipun prestasi itu baik, ternyata belum tenang. Siapa masih ingin memberantas apa-apa yang jahat dan buruk, ternyata belum damai. Siapa masih membenci apa-apa yang tidak baik, ternyata belum sayang.” Dengan demikian, agar hidup kita dapat “winengku ing suka bahagia”, senantiasa diliputi oleh rasa suka bahagia atau membahagiakan, harus dapat mengusahakan bertunggal dengan Suksma Sejati. Ini berarti kita harus menyediakan kancah yang sesuai dengan keadaan Suksma Sejati, yaitu berusaha supaya dunia kita juga dalam keadaan suci, tenang, damai, dan sayang.

5. Persoalan Psikologis
Apakah yang disebut dengan bahagia? Senang, suka ria, penuh gembira, badan sehat, berlimpah harta benda, pasangan hidup tampan gagah perkasa, atau memiliki isteri yang anggun cantik nan jelita, putra-putri yang berhasil, keluarga yang harmonis, kepandaian, kedudukan, serta sukses menjadi pejabat negara? Berdasarkan Ajaran Sang Guru Sejati tentu bukan, bukan hal-hal yang demikian itu. Kesenangan yang bersifat duniawi, semua silap maya pesona dunia, bukankah hanya bahagia sementara, sebab masih ada duka, nestapa, dan lara, bahkan sengsara, papa, miskin ilmu, miskin harta, juga di sekeliling kita masih ada berbagai bencana serta malapetaka silih berganti datangnya. Lalu, apa sesungguhnya bahagia?
Ulasan Kang Kelana (2015:163—164) menyatakan tentang bahagia demikian: “Yang dimaksud nasib baik itu umumnya, bilamana orang yang bersangkutan merasa bahagia di dalam hatinya.
            Apakah pangkat tinggi, gelar tinggi, kekayaan, dan kekuasaan itu syarat untuk bahagia? Apabila memang demikian, maka orang yang berpangkat tinggi, orang pintar, kaya, dan berkuasa tidak akan pernah susah dan menderita. Akan tetapi, tidak demikian halnya, banyak orang yang tinggi pangkatnya, orang kaya, para sarjana, dan yang berpengaruh, menderita suatu hal.
            Jadi, terang bahwa syarat-syarat yang kusebutkan tadi, bukan syarat mutlak untuk menjadi bahagia.
            Bahagia itu letaknya di dalam hati sanubari. Kita mengerti sekarang bahwa bahagia itu suatu persoalan psikologis, bukan suatu persoalan sosial ekonomis.
            Saya juga mengetahui bahwa kedudukan, kekayaan, kepintaran, dan kekuasaan dapat mendatangkan kebahagiaan, tetapi hanya sampai batas-batas tertentu saja kebahagiaan itu dan hanya untuk sementara lama. Kebahagiaan dengan syarat-syarat kekayaan, kedudukan, dan lain sebagainya itu tidak kekal adanya, malahan dapat dikatakan bahwa syarat-syarat itu hanya sekadar untuk kehidupan yang lebih layak semata-mata.
            Bilamana manusia mencari kebahagiaan yang sebenarnya, itu tidak berarti bahwa ia akan melalaikan syarat-syarat sosial ekonomis.
            Para siswa harus mempunyai cita-cita yang tinggi untuk dicapai di dalam masyarakat. Di samping itu para siswa harus pula mengejar cita-cita jiwa, ialah kebahagiaan yang sejati, yakni bertunggal dengan Sang Suksma Sejati.
            Cita-cita yang pertama harus dicapai di luar, di dunia besar dengan mengejar cita-cita untuk menjadi kusuma bangsa, sedangkan cita-cita yang kedua harus dicari ke dalam, di dunia kecil dengan mengejar kesucian jiwa.”
            Dengan demikian, bahagia itu persoalan psikologis, hanya persoalan kejiwaan, karena bahagia itu letaknya di dalam hati sanubari. Meskipun persoalan psikologis, kita tetap tidak meninggalkan syarat-syarat persoalan sosial ekonomis. Seseorang yang mencapai tingkatan jiwa yang setinggi-tingginya, berarti pula ia mencapai kebahagiaan yang kekal abadi, ia mencapai nasib baik yang tidak akan berubah lagi dan tidak akan tergoncang lagi oleh keadaan apa pun di dunia ini. Oleh karena itu, perlu disadari bahwa kekayaan, kedudukan, dan kekuasaan belum menjamin kebahagiaan yang kekal abadi.

6. Dekat dengan Tuhan
Oleh karena bahagia itu persoalan psikologis, dan bersumber pada Sang Guru Sejati, mau tidak mau, harus dan wajib, kita mendekat kepada sumber kebahagiaan itu sendiri. Dalam Sasangka Jati (2014:180—181), Sangkan Paran, Bab ”Mujur dan Malangnya Perjalanan Hidup”, demikian sabdanya:
”Sekarang Aku hendak menerangkan mengenai sejatinya yang disebut bahagia. Bagi jiwamu, yang dianggap bahagia adalah apabila engkau dapat dekat dengan Tuhan atau Aku (Suksma Sejati). Arti­nya, engkau dapat menerima pepadang Tuhan. Jadi, betapapun wujud kebahagiaan lahir dalam kehidupan dunia ini, apabila engkau jauh dari Tuhan atau lupa kepada Tuhan, engkau sengsara dalam wawasan jiwamu, sebab engkau tidak mengerti akan tujuan hidup yang senyata-nyatanya. Sebalik­nya, betapapun wujud kesengsraan lahir mengenai kehidupan dunia ini, seperti: menderita papa dan sebagainya, apabila engkau sangat dekat dengan Tuhan, mengenai jiwamu: engkau adalah makhluk yang paling bahagia di antara sesama makhluk hidup di dunia ini. Sebab, dalam hal mujur dan malangnya perjalanan hidup mengenai kehidupanmu di dunia, dalam wawasan jiwamu tidak ada, karena keadaan jiwamu itu abadi dan tenteram. Jadi, tidak terpengaruh oleh rasa suka dan susah serta giris, atau oleh semua keadaan yang berubah berganti”.
Ulasan Kang Kelana (2015:165—166) memberi penjelasan demikian: “Misalnya, orang kaya menderita rasa sedih karena takut kehilangan harta bendanya, begitu pula orang yang berpangkat tinggi mengenai kedudukannya dan lain sebagainya, itu jelas bahwa harta benda, kedudukan dan kekuasaan, membawa penderitaan, dus orang yang bersangkutan tidak berbahagia. Orang-orang itu tidak menikmati kekayaannya, kedudukannya, dan kepangkatannya. Yang dirasakan hanya kegelisahan dan ketakutan semata-mata.
Orang miskin, pangkatnya kecil, banyak juga yang menderita, lebih banyak daripada orang kaya dan berpangkat tinggi, tetapi ada pula orang yang tidak terpengaruh oleh harta benda dan pangkat. Orang yang tidak terpengaruh itulah yang bahagia, tetapi ia bukan orang yang bersifat masa bodoh.”
Masih dalam Ulasan Kang Kelana (2015:166) menjelaskan bahwa “Suksma Sejati tidak menghendaki umat-Nya menderita papa dan sengsara, sekali-kali tidak. Umat-Nya dituntun dan diajari supaya mengejar cita-cita yang tinggi untuk hidup yang layak, dan di samping itu Sang Suksma Sejati menunjukkan jalan ke arah ketenteraman dan kebahagiaan yang abadi, yang lepas dari keadaan keduniawian. Andaikan siswa-Nya tidak mencapai cita-citanya, janganlah ia sampai kecewa dan menderita batin. Sang Suksma Sejati menunjukkan jalan perbaikan nasib secara tepat dan jitu, baik nasib sosial ekonomis maupun nasib jiwa kita.”
Ketika masih sugengnya Ibu Marsaid Susilo dahulu, kalau saya tidak salah dengar, ada tujuh tanda-tanda seseorang itu dekat dengan Sang Guru Sejati, sangat dikasihi Tuhan, sebagai berikut.
1)     MAT (Marem, Ayem, Tentrem). Suatu keadaan jiwa yang dapat merasakan betapa puas, lega, tenang, damai, dan tenteram. Ulasan Kang Kelana (2015:121) menyatakan bahwa “Cirinya bahwa kita telah dekat kepada Suksma Sejati ialah ketenangan dan ketenteraman yang tidak luntur dan sukar hilang, bila kita kembali terjun ke dalam keramaian dunia.”
2)     Banyak permohononan yang dikabulkan, sebagai tanda betapa Tuhan penuh kasih kepada semua makhluknya. Sabda Khusus Peringatan Nomor 24 butir 2 (2014:118): “Sesungguhnya Allah Mahamurah dan Mahakasih, tetapi jangan lupa, Allah itu Mahaadil. Sungguhpun engkau dapat mene­rima sih anugerah Allah, engkau juga dapat menerima keadilan Allah.”
3)     Memberi cepat kembali, semakin memberi banyak kepada orang lain, kembalinya kepada kita juga banyak. Arsip Sarjana Budi Santosa (2015:21) butir 33: “Kalau transpirasi besar, sih pepadang banyak pula. Kalau si Siswa lebih suka malas daripada lelah, ya inspirasinya juga hanya kedip-kedip saja atau terus tertangguhkan saja. Andaikata sih dari Sang Guru Sejati meningkatkan derajat si Siswa 10 X usahanya, maka siswa yang misalnya 1 meter majunya akan ditarik menjadi 10 meter. Siswa yang majunya 10 meter akan melangkah sampai 10 X 10 meter = 100 meter. Tetapi anugerah tidak tetap sama bagi tiap-tiap usaha. Sih dari Suksma Sejati makin besar bilamana usahanya makin keras. Untuk usaha yang besar misalnya, sihnya tidak tetap 10 X, melainkan 100 X.”
4)     Seringkali kita diberi pinjaman kebijaksanaan, buah dari sadar kita kepada Tuhan. Arsip Sarjana Budi Santosa (2015:29) butir 46: “Sadar menjelma menjadi kebijaksanaan”. 
5)     Sering pula kita diberi pinjaman kekuasaan, buah dari rasa percaya/iman kita kepada Tuhan. Arsip Sarjana Budi Santosa (2015:29) butir 46: “Percaya membawa kekuasaan”. Sabda Khusus Peringatan Nomor 2 (2014:11) butir 9: “Kepercayaan itu wadah kekuasaan atau utuhnya kepercayaan memiliki kekuasaan gaib”.
6)     Kita juga diperkenankan dapat membabarkan karsa Tuhan, buah dari taat melaksanakan perintah. Arsip Sarjana Budi Santosa (2015:29) butir 46: “taat membawa kemauan manusia kepada tingkat Kehendak Suksma Kawekas”. Dalam Serat Warisan Langgeng bagian 3, ”Mijil” apabila kita dapat melaksanakan Dasa Sila dengan sungguh-sungguh mendapatkan anugerah Tuhan secara teratur, tata tenteram, bahagia selamanya, kasih Tuhan senantiasa turun mengalir terus, apa pun yang diangan­kan terlaksana, yang dikehendaki pun diperkenankan, dikabulkan.
7)     Sudah tidak memiliki keinginan apa-apa lagi, sudah merasakan kebahagiaan hidup sejati, bertunggal dengan Suksma Kawekas dan Suksma Sejati, mencapai kasunyatan. Dalam Arsip Sarjana Budi Santosa (2015:28) alinea 44 menyatakan bahwa ”Gejala-gejala bahwa kita telah dekat kepada Suksma Sejati ialah lenyapnya keinginan dan kemauan. Adanya hanya menyerah saja, tetapi rasa menyerah ini tidak disertai lumpuh aktivitas. Siswa yang dekat kepada Suksma Sejati tetap aktif. Di sam­ping aktif si siswa menerima dengan ikhlas apa saja yang dijumpai­nya.”
Selanjutnya dalam Arsip Sarjana Budi Santosa (2015:71) alinea 101 dinyatakan bahwa ”Manusia yang telah bertunggal dengan Suksma Sejati mencapai puncak kebahagiaan hidup. Bahagialah pula orang-orang yang dekat kepada manusia tersebut, apabila mereka dapat membuka hati mereka bagi pepadang yang dilimpahkan kepada mereka.”

7. Berita Bahagia
            Ulasan Kang Kelana (2015: 174) menyatakan bahwa “Berita Bahagia itu adalah sabda dari Sang Guru Sejati yang disampaikan oleh Pakde Narto kepada kita sekalian dan berlaku bagi seluruh umat, tidak hanya bagi anggota Pangestu saja. Bagi calon siswa dari Sang Suksma Sejati tidak menjadi soal bilamana keadilan akan sampai kepada kita.”
            Pada bulan September 1963, Sang Guru Sejati memberi sabda kepada Pakde Narto berisi peringatan agar siswa yang percaya kepada ajaran Sang Guru Sejati benar-benar menjalankan perintah-Nya, yaitu menjalankan Hasta Sila dan Jalan Rahayu serta menjauhi larangan-Nya yang tercantum dalam Paliwara.
            Untuk melaksanakan perintah Sang Guru Sejati, maka pada tanggal 10—15 September 1963, Paranpara Pangestu, R. Soenanrto Mertowardojo mesubrata dengan jalan ngamar agar para siswa menambah rasa bakti dan mendekat kepada Sang Guru Sejati.
            Selama Pakde berkhalawat itu Beliau mendapatkan sabda dari Sang Guru Sejati yang harus disampaikan kepada para siswa-Nya yang disebut “Berita Bahagia”. Berita Bahagia tersebut terdiri atas tiga bab, yaitu:
1)     Siapa yang betul-betul (sungguh-sungguh) berjalan menurut petunjuk Jalan Rahayu (Panca Darma Bakti), maka ia akan menerima sih anugerah dari Sang Guru Sejati. Adapun sih anugerah itu sangat luas artinya dan meliputi banyak bidang. Sih anugerah itu datangnya tidak terduga dan sekonyong-konyong, hingga orang tidak dapat memperhitungkannya terlebih dahulu. Maka dari itu, Pakde menganjurkan agar para siswa, baik yang muda maupun yang tua, pria maupun wanita, yang lama maupun yang baru, selalu berjalan di atas Panca Darma Bakti dengan tidak mengharapkan turunnya sih anugerah tersebut.
2)     Para siswa yang menepati Hasta Sila sebaik-baiknya akan mendapatkan kebahagiaan hidup yang abadi dan akhirnya akan bertunggal dengan Tuhan, seperti apa yang menjadi tujuan tiap siswa Sang Guru Sejati menurut arti Paguyuban Ngesti Tunggal. Oleh karena itu, Pakde menganjurkan kepada para siswa Sang Guru Sejati agar senantiasa menjalankan Hasta Sila sebaik-baiknya, tidak hanya untuk dibicarakan, tetapi untuk dilaksanakan di dalam praktik kehidupan sehari-hari.
3)     Berita yang ketiga merupakan peringatan agar para siswa tidak melanggar Paliwara. Setiap pelanggaran Paliwara akan diikuti oleh suatu tempelak yang setimpal, sedangkan tempelak tersebut datangnya langsung, artinya tidak menungggu sampai kehidupan yang (mungkin) akan datang, dengan jangka waktu yang tidak lama.
Selanjutnya dalam Ulasan Kang Kelana (2015:174—175) disampaikan: “Soalnya bagi kita ialah bahwa kita hidup di jalan yang benar menurut tuntunan dari Sang Suksma Sejati seperti yang telah tercantum dalam pustaka suci Sasangka Jati dan menjauhkan diri dari segala pantangan-pantangan.
Bila demikian, kita tidak akan menerima tempelak yang pahit dan berat, tetapi keadilan yang jatuh pada diri kita adalah berupa anugerah. Dan anugerah ini dijanjikan pula dalam berita bahagia tersebut.
Lebih dari satu tahun yang lalu Pakde Narto menyampaikan sabda dari Suksma Sejati kepada kita yang menyebutkan bahwa barang siapa menjalankan Jalan Rahayu akan menerima anugerah yang seimbang dengan pengorbanan, dan barang siapa menjalankan Hasta Sila akan menerima kebahagiaan hidup untuk selama-lamanya di dunia sekarang dan di akhirat kemudian.
Ini berarti bahwa yang memenuhi syarat melaksanakan Hasta Sila akan bertunggal dengan Suksma Sejati, karena kebahagiaan yang abadi di dunia dan di akhirat adalah semata-mata hasil dari bertunggalnya seorang siswa wreda dengan Sang Guru Sejati. Kita harus sunggguh-sungguh merasa bahagia bahwa Sang Guru Sejati menjanjikan demikian dengan tegasnya.
Tidak ada lain kebahagiaan yang abadi di dunia dan di akhirat kecuali bertunggal dengan Sang Suksma Sejati. Akan tetapi, di samping kebahagiaan yang mahabesar itu, dunia akan mengalami hal yang sangat mengerikan di mana keadilan Suksma Kawekas berupa tempelak akan disampaikan tepat pada alamatnya masing-masing dalam waktu yang pendek.”

8. Penutup
Bapak, Ibu, dan Saudara para warga Paguyuban Ngesti Tunggal yang berbahagia, setelah saya mendapatkan ceramah penerangan dan dilantik menjadi warga Pangestu, banyak manfaat dan anugerah Ilahi yang saya peroleh. Atas manfaat dan anugerah Ilahi inilah yang saya merasakan “winengku ing suka bahagia”, senantiasa diliputi oleh rasa suka bahagia, yang juga digambarkan oleh Bapak Pangrasa dengan ungkapan “Muga putra-putraku nyandunga kembang cepaka sawakul” (Bawa Raos Ing Salebeting Raos, 1998:165) “Semoga putra-putraku mendapatkan kebahagiaan yang melimpah” (Olah Rasa di Dalam Rasa, 2013:155) atau “mugi-mugi putra sekaliyan sami nyandung sekar cepaka mulya sawakul” (Taman Kamulyan Langgeng, 2001:68) “Semoga Ananda berdua mendapatkan kebahagiaan” (Taman Kemuliaan Abadi, 2015:65).
Terima kasih yang tulus tidak terhingga, matur nuwun Gusti Allah, atas sih anugerah, tuntunan, pepadang, daya kekuatan, dan lindungan Suksma Sejati, Guru Sejati, Penuntun, dan Guru Dunia, Nur Ilahi. Sampai saat ini anugerah-anugerah Sang Guru Sejati yang dilimpahkan kepada kami sekeluarga sungguh luar biasa, terus mengalir tiada henti, sejak lahir di dunia hingga kini kenikmatan duniawi dan rohani senantiasa terus dapat saya rasakan. Luar biasa, sungguh dahsyat sekali sih anugerah, tuntunan, pepadang, daya kekuatan, dan lindungan Sang Guru Sejati yang dilimpahkan kepada kami sekeluarga.
Satuhu.



No comments:

Post a Comment

Pertemuan 15 Teori Sastra Tempatan