Tuesday, 31 December 2013

WASPADA TAHUN KUDA



WASPADA TAHUN KUDA

Waspada, tahun 2014 tahun kuda
Tahun petualang para pengembara
Tahun penentuan pemimpin bangsa
Ibarat bermain catur perlu peran kuda
Sebagai kendaraan politik menuju istana
Siapa Dia, pemimpin sejati bangsa kita
Penghela menuju kemasyhuran dunia



Demi kuda-kuda perang yang berlari kencang,
dengan napas terengah-engah siap menerjang,
memancarkan bunga api dengan hentakan berang,
berguling-guling dan lawan terus menerus diserang,
debu-debu dan pasir-pasir pun ikut terbang melayang,
kuda terus menyerbu ke tengah-tengah gelanggang,
pertempuran di gelangang siapa menjadi pemenang.
















Kuda-kuda perang simbol nafsu manusia
setiap saat, setiap waktu, dan setiap masa
nafsu-nafsu manusia harus dikendalikannya
jangan sampai kuda nafsu-nafsu merajalela
menjadi tamak, dengki, iri, loba, dan angkara
jika dibiarkan kuda-kuda nafsu sangat bahaya
perlu pengendalian kuda dengan bertapa brata
mengatur sedemikian rupa nafsu-nafsu manusia
sehinga dia mampu melaksanakan tugas mulia.





















Dalam diri manusia bersarang empat kuda
Lauwamah si kuda hitam penghela suka ria
dia memang berasal dari anasir dunia
di sekujur daging si kuda ini berada
dia menjadi dasar dari kekuatan raga.
Kuda Lauwamah berwatak suka-suka,
suka makan, minum, tidur, syahwat juga,
suka akan tamak, malas, iri hati, dan loba,
suka dengki, fitnah, munafik, dan angkara,
suka pongah, takabur, sombong, dan aniaya,
tapi bila Lauwamah dapat dikendalikannya,
Kuda Lauwamah itu dapat tahan menderita
dan kuat menanggung segala beban derita
tahan uji menghadapi apa saja malapetaka.


Kuda kuning berasal dari anasir tirta,
ada di sumsum, nafsu Sufiah namanya
kekuatan Sufiah dapat mendekatkan apa saja
segala apa pun yang diinginkan oleh manusia
dapat terwujud jika kuda Sufiah mau berkerja
sebab Sufiah berwatak ingin beraneka rupa
apa-apa yang terlintas di cipta ingin dipunya
akan tetapi apabila dapat dikendalikannya,
Kuda Sufiah itu dapat menjadi cita-cita mulia
kembali bertunggal dengan Tuhan di Surga.


Kuda merah berasal dari anasir dahana,
ada di darah, nafsu Amarah namanya
Amarah sebagai penggerak tindak kerja
dapat menggerakkan kemauan manusia
apabila Kuda Amarah kuat, kokoh, dan jaya
manusia berkemauan yang tak kunjung reda.
Amarah sewaktu-waktu dapat meledak tiba-tiba
apabila ada tutur kata yang meremehkan si dia
tersinggung, lalu Amarah meledak seketika juga.
Namun, apabila Amarah dapat dikendalikannya,
Amarah dapat menjadi sumber kekuatan kerja
yang tepat berdaya dan berhasil guna
serta tidak pernah mengenal putus asa.


Kuda putih berasal dari anasir suasana,
dia berada di dalam napas manusia,
nafsu Mutmainah namanya
kekuatan Mutmainah memang luar biasa
mampu menyusun kehidupan secara bersama-sama,
mendorong mencapai persatuan yang rukun sentosa,
rela berkorban, saling menghormati siapa saja,
dan juga kasih sayang terhadap sesama
serta bersatu kembali dengan Sang Pencipta
yang didorong itu semua Kuda Mutmainah juga.



Waspada, tahun 2014 tahun kuda
Tahun petualang para pengembara
Tahun berebut unggul jadi penguasa
Tahun politik bagi bangsa Indonesia
Tahun penentuan masa depan bangsa
Tentu memantapkan pilihan pada mereka
yang mampu mengendalikan kuda-kudanya:
bila kombinasi Lauwamah, Amarah, dan Sufiah
menonjol pada diri seseorang akan jadi serakah
kelak apabila menjadi pemimpin tidaklah berkah
melahirkan bencana, malapetaka, dan musibah.


Kombinasikan Mutmainah, Amarah, dan Sufiah
sungguh akan menjadi kekuatan yang amanah
teguh sentosa menopang hidup penuh berkah
melahirkan rasa aman, tenteram, penuh kasih,
sejahtera, bahagia, dan mulia sebagai kalifah
mengemban tugas hidup sepanjang sejarah.

Bekasi, 31 Desember 2013





Sunday, 15 December 2013

PERAN HORISON SEBAGAI MAJALAH SASTRA

Judul Buku               : Peran Horison Sebagai Majalah Sastra
Penulis                     : Puji Santosa dan Djamari
Penyunting Ahli       : Drs. Dhanu Priyo Prabowo, M.Hum.
Penerbit                   : Elmatera Publishing, Yogyakarta
Tahun                       : Oktober, 2013
Halaman                  : xii + 160
Ukuran Buku            : 14 x 21 Cm

Majalah sastra Horison kini (2013) telah mencapai usia 47 tahun atau lima kali lebih daripada hidupnya majalah Poedjangga Baroe yang hanya bertahan sembilan tahun. Sudah barang tentu majalah sastra Horison telah mampu melahirkan prestasi yang gemilang sepertinya lebih unggul daripada Poedjangga Baroe, Sastra, Kisah, dan sebagainya pada zamannya. Hal itu dapat kita telusuri dari para pengarang yang mengumumkan hasil karya sastranya melalui majalah sastra Horison, dari nomor pertama Juli 1966 hingga kini Juli (2013). Deretan nama pengarang yang mengumumkan karyanya (sajak, cerpen, karya drama, esai sastra, dan catatan kebudayaan) dalam majalah Horison tersebut, antara lain, Mochtar Lubis, H.B. Jassin, Taufiq Ismail, Zaini, Arief Budiman, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Abdul Hadi W.M., W.S. Rendra, Subagio Sastrowardojo, Sutardji Calzoum Bachri, Slamet Sukirnanto, Djajanto Supra, Umar Kayam, Danarto, Satyagraha Hoerip, Junus Mukri Adi, M. Fudoli, Gerson Poyk, Hamsad Rangkuti, Bur Rasuanto, B. Soelarto, Wiratmo Sukito, Arifin C. Noer, Boen S. Oemarjati, Ajip Rosidi, Ras Siregar, Trisno Sumardjo, Leon Agusta, Djamal D. Rahman, Agus R. Sarjono, Cecep Syamsul Hari, Hammid Jabbar, dan Budi Darma. Mereka itu adalah para pemikir, cendekiawan, budayawan, dan seniman yang andal dalam dunia sastra Indonesia. Nama mereka dapat mengangkat kedudukan, peran, dan fungsi majalah sastra Horison untuk selalu tampil prima hingga kini. Meskipun demikian, suka duka perjalanan majalah sastra Horison selama 47 tahun itu dapat diibaratkan sebagai orang yang berjalan menahan benturan dan goncangan, baik dari dalam maupun dari luar yang mencoba merongrong, menggusur, dan menggoncang kewibawaannya, bahkan mereformasi keberadaan majalah sastra Horison. Goncangan dan terpaan badai dan topan pun tidak kecil, bahkan hampir runtuh ketika terjadi pengalihan pengelolaan majalah Horison pada tahun 1993. Namun, itu semua dapat diatasi hanya berkat keuletan, kejelian, idealisme, dan kerja keras para pendiri dan pengelola majalah sastra Horison untuk memperjuangkan kehidupan kesusastraan di Indonesia. Untuk itu saya salut dan saya ucapkan bravo Horison, tetaplah optimis dan jaya sepanjang masa.
Mengingat betapa pentingnya peran media massa cetak, khususnya majalah dan surat kabar sebagai pengembangan karya sastra di Indonesia, maka penerbitan buku Peran Horison Sebagai Majalah Sastra yang ditulis oleh Puji Santosa dan Djamari ini kehadirannya menambah wawasan bagi perkembangan kritik sastra di Indonesia. Majalah Horison merupakan satu-satunya majalah sastra di Indonesia yang hingga kini (pada waktu naskah buku ini ditulis pada tahun 2013) masih tetap terbit sebagai majalah sastra. Sudah lebih 47 tahun Horison berperan mewarnai corak perkembangan karya dan kritik sastra di Indonesia. Penulis buku ini memilih ragam puisi atau sajak dengan empat sampel puisi sebagai contoh kajian kritik sastranya. Bentuk ragam sajak sebagai sampel dalam majalah Horison itu dipilih sebagai objek kajian karena selama ini belum ada para peneliti dan kritikus yang membicarakan sajak-sajak tersebut dalam kaitannya dengan kedudukan, peran, dan fungsi majalah sastra Horison sebagai pengembangan karya sastra di Indonesia yang dikaji dari tahun 1966--1970. Kalau ada hanya beberapa sajak yang sudah dimuat kembali dalam buku kumpulan sajak dari satu penyair tersendiri atau bunga rampai bersama-sama. Keterpisahan pembahasan sajak dari sebuah majalah sastra akan membuat kekacauan pemahaman pembaca dengan konteks zaman diterbitkannya majalah tersebut. Sajak-sajak yang dimuat dalam majalah tersebut tidak diketahui benang merah atau arah dari kebijakan pemuatan ragam sastra dalam suatu majalah. Oleh karena itu, penelitian ini penting artinya bagi keterpaduan pemahaman sajak dalam suatu majalah pada kurun waktu tertentu.

Atas dasar alasan di atas saya bangga menyunting buku ini, baik dari sisi teknis bahasa maupun isi kajian yang mendalam tentang betapa pentingnya peran Horison sebagai majalah sastra dalam pengembangan sastra di Indonesia. Hasil penelitian Saudara Puji Santosa dan Djamari ini mampu membuka cakrawala betapa beratnya dan penuh liku-liku dalam mengelola sebuah majalah tanpa didukung iklan. Berkat kegigihan dan semangat kerja keras pengelolanya, sebuah majalah sastra mampu bertahan hingga 47 tahun. Suatu prestasi yang luar biasa. Buku ini pantas dibaca khalayak masyarakat Indonesia yang terbuka wawasannya tentang kiat-kiat pengelolaan sebuah majalah sastra yang mampu bertahan hingga puluhan tahun.
Majalah sastra Horison dipilih sebagai objek penelitian ini didasarkan atas beberapa hal. Pertama, majalah sastra Horison merupakan majalah kebudayaan yang mengkhususkan diri memuat karya sastra, seperti puisi, cerita pendek, esai atau kritik, dan kadang-kadang karya drama. Kedua, Horison adalah satu-satunya majalah sastra atau kebudayaan yang mampu bertahan (sampai tahun 2013) selama lebih dari empat puluh tujuh tahun (terbit pertama kali Juli 1966). Ketiga, majalah Horison diasuh oleh para sastrawan, kritikus sastra, dan budayawan yang andal dari tahun ke tahun dengan perubahan generasi sastrawan yang andal pada zamannya, seperti Mochtar Lubis, H.B. Jassin, Taufiq Ismail, Arief Budiman, Sapardi Djoko Damono, dan Goenawan Mohammad hingga lebih dari dua dasawarsa. Keempat, majalah Horison telah melahirkan para penulis yang andal dan nama mereka tercatat sebagai pelaku dalam sejarah sastra Indonesia dari satu angkatan ke angkatan berikutnya, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi W.M., W.S. Rendra, Sapardi Djoko Damono, Putu Wijaya, Danarto, Taufiq Ismail, Subagio Sastrowardojo, Darmanto Jatman, dan Goenwan Mohamad. Kelima, banyak nama yang kemudian menjadi tenar (mengorbit sebagai sastrawan tersohor) setelah menulis pada majalah sastra Horison tersebut sehingga tetap terkenang sepanjang zaman. Dan keenam, karya sastra yang dimuat dalam majalah sastra Horison biasanya dijadikan tolok ukur, kriteria atau pembobotan nilai kesusastraannya daripada karya sastra yang dimuat oleh majalah hiburan atau majalah yang lainnya.
Berdasarkan alasan-alasan di atas itulah pentingnya penelitian ini guna dapat memperkenalkan khazanah kesusastraan Indonesia yang termuat dalam majalah sastra Horison (1966--1970) kepada khalayak luas. Dengan diperkenalkan karya-karya tersebut, masyarakat akan lebih memahami, mengerti, dan menghargai, serta mengapresiasi jerih payah para pemikir budaya bangsanya. Kandungan makna yang dalam pada sajak-sajak tersebut akan memberi arah kebijaksanaan tertentu kepada generasi penerus bangsanya. Penelitian ini juga penting dilakukan dikarenakan dapat dipakai sebagai bahan penulisan sejarah sastra Indonesia modern atau bagian dari lema Ensiklopedia Kesusastraan Indonesia tentang lema “HORISON”.
Akhirnya, selamat membaca dan mengapresiasi hasil penelitian sederhana ini. Tidak ada gading yang tidak retak. Apabila ada kekurangan, salah dan kilaf, mohon koreksian, kritik, dan saran perbaikan atas buku ini. Salam dan doa. 

STRUKTUR TEMATIK PUISI-PUISI MIMBAR INDONESIA


Judul Buku               : Struktur Tematik Puisi-Puisi Mimbar Indonesia
Penulis                     : Puji Santosa dan Djamari
Penyunting Ahli       : Drs. Dhanu Priyo Prabowo, M.Hum.
Penerbit                   : Elmatera Publishing, Yogyakarta
Tahun                       : Oktober, 2012
Halaman                  : xvi + 144
Ukuran Buku            : 14 x 21 Cm

Peran media massa cetak, terutama majalah dan surat kabar, sangat dibutuhkan dalam pengembangan karya sastra di Indonesia. Tanpa dibantu penerbitan media massa cetak seperti itu sastra Indonesia sudah lama mati. Sastra Indonesia tanpa peran kehadiran media massa cetak, surat kabar dan majalah, tentu sudah lama tidak dapat berkutik lagi alias mati. Terlebih, pada masa sulitnya perekonomian Indonesia (1950-an) yang mengakibatkan adanya krisis perekonomian, penerbitan buku-buku sastra hampir-hampir tidak ada sama sekali. Mahalnya kertas dan biaya operasional lainnya membuat tidak berdayanya penerbitan buku-buku sastra di Indonesia pada kurun 1950-an tersebut.
            Mengingat betapa pentingnya peran media massa cetak, khususnya majalah dan surat kabar sebagai pengembangan karya sastra di Indonesia, maka penerbitan buku Struktur Tematik Puisi-Puisi Mimbar Indonesia yang ditulis oleh Puji Santosa dan Djamari ini kehadirannya menambah wawasan bagi perkembangan kritik sastra di Indonesia. Majalah Mimbar Indonesia merupakan majalah mingguan politik yang terbit di Jakarta sejak tahun 1947, setelah Belanda melancarkan Agresi Militer I terhadap Republik Indonesia. Pendiri dan pengasuhnya adalah Prof. Dr. Soepomo, Soekardjo Wirjopranoto, dan Adinegoro dengan dibantu para redaktur, seperti Gusti Majur, Sumantri Mertodipuro, Sugardo, Sutarto Ruslanputro, H.B. Jassin, dan Darsjaf Rachman. Redaktur sastra dipercayakan kepada H.B. Jassin sehingga majalah tersebut ikut serta andil menyebarkan karya sastra di Indonesia.
Mimbar Indonesia dan majalah Siasat, penerbit sejenis yang terlebih dulu beredar awal tahun 1947, sama-sama merupakan pendukung republik di daerah pendudukan militer Belanda. Pada masa aksi militer Belanda yang pertama, Mimbar Indonesia pemah dilarang terbit setelah memuat foto tempat yang disebut "gerbong maut Banyuwangi" karena tentara Indonesia yang dimuat di dalamnya diperlihatkan sebagai tawanan yang dibiarkan menderita. Penutupan majalah ini terjadi lagi ketika Belanda melakukan aksi militer kedua pada bulan Desember 1948, akibat tulisan Adinegoro yang mengecam agresi tersebut dan menyerukan kepada masyarakat agar tidak bekerja sarna dengan Belanda, bahkan melakukan perlawanan terhadap mereka. Adinegoro menjadi penanggung jawab redaksi majalah ini sejak awal November 1948, tetapi meninggalkannya dua tahun kemudian untuk pergi ke Belanda. Majalah Mimbar Indonesia ini berhenti terbit pada tahun 1967 karena secara komersial tidak lagi menguntungkan.

Penulis buku ini memilih ragam puisi atau sajak dengan 16 sampel puisi sebagai contoh kajian kritik sastranya dari segi struktur dan tema. Bentuk ragam sajak sebagai sampel dalam majalah Mimbar Indonesia itu dipilih sebagai objek kajian karena selama ini belum ada para peneliti dan kritikus yang membicarakannya sajak-sajak yang termuat dalam majalah Mimbar Indonesia tersebut dalam kaitannya dengan kedudukan, peran, dan fungsi majalah Mimbar Indonesia sebagai pengembangan karya sastra di Indonesia yang dikaji dari tahun 1950--1954. Kalau ada hanya beberapa sajak yang sudah dimuat kembali dalam buku kumpulan sajak dari satu penyair tersendiri atau bunga rampai bersama-sama. Keterpisahan pembahasan sajak dari sebuah majalah sastra akan membuat kekacauan pemahaman pembaca dengan konteks zaman diterbitkannya majalah tersebut. Sajak-sajak yang dimuat dalam majalah tersebut tidak diketahui benang merah atau arah dari kebijakan pemuatan ragam sastra dalam suatu majalah. Oleh karena itu, penelitian ini penting artinya bagi keterpaduan pemahaman sajak dalam suatu majalah pada kurun waktu tertentu.
Majalah-majalah yang terbit pada tahun 1950-an memiliki andil yang nyata dalam penyebarluasan karya sastra di Indonesia. Andil yang nyata itu dapat sebagai tumpuan harapan para pengarang dari mulai belajar dan mengembangkan bakat atau kreativitasnya di bidang tulis-menulis sampai yang sudah mahir dan mapan. Apalagi pada awal tahun 1950 kedaulatan negara kita baru sepenuhnya diakui dunia melalui perundingan KMB (Konferensi Meja Bundar) yang masih terasa tertatih-tatih perjalanannya. Dengan demikian, situasi dan kondisi negara kita penuh dengan ketidakstabilan politik, ekonomi, dan keamanan. Kondisi dan situasi yang serba sulit dan tidak menentu itu mengakibatkan adanya kriris kepercayaan kepada pemerintah dan penerbitan buku. Hal ini secara nyata ditandai dengan tidak adanya terbitan buku kumpulan sajak atau novel yang berkualitas sastra pada tahun 1950-an tersebut. Apalagi penerbit Balai Pustaka yang sejak awal tahun dua puluhan menjadi tumpuan harapan para penulis sastra Indonesia, seputar awal tahun 1950-an itu Balai Pustaka menghentikan upaya penerbitannya. Hal ini disebabkan oleh pergantian kekuasaan dan pengelolaan lembaga penerbitan tersebut, yakni dari pemerintah Hindia Belanda ke pemerintah Republik Indonesia. Pergantian itu kurang lancar karena adanya berbagai masalah yang dihadapi pemerintah kita yang baru merdeka, bebas dari penjajahan asing.
Berdasarkan keadaan krisis seperti itulah muncul berbagai majalah berita dan kebudayaan menjadi ajang kreativitas para penulis sastra Indonesia. Tidak dapat dipungkiri lagi hadirnya majalah-majalah seperti Siasat, Mimbar Indonesia, Indonesia, Zaman Baru, Pantjaraya, Pantjawarna, Basis, Kisah, Waktu, Kontjo, Tjerita, dan Roman sangat berperan dan turut serta memajukan perkembangan kesusastraan Indonesia modern. Oleh karena itu, penulisan buku Struktur Tematik Puisi-Puisi Mimbar Indonesia yang merupakan hasill penelitian sastra yang ditulis oleh Puji Santosa dan Djamari pantas kita beri apresiasi dan kita sambut dengan gembira.
Buku hasil penelitian ini mengungkapkan masalah kedudukan, peran, dan fungsi majalah Mimbar Indonesia (1947—1967) sebagai media pengembangan sastra di Indonesia. Sebagai majalah mingguan umum Mimbar Indonesia mampu bertahan selama dua puluhan tahun, terbit pertama kali sejak 1947 pada zaman agresi Belanda, dan bubar memasuki masa Orde Baru (1967) dengan redaktur sastranya H.B. Jassin. Selama 20 tahun Mimbar Indonesia telah ikut andil melahirkan dan mengorbitkan para sastrawan andal di bidangnya. Hal ini membuktikan kemampuan luar biasa pengelolanya, dan ikut juga menjadi barometer perkembangan sastra di Indonesia pada era tahun 1950-an. Buku ini dilengkapi contoh analisis struktur dan tema 16 puisi terpilih yang pernah dimuat majalah Mimbar Indonesia (1950—1954) tersebut, yaitu puisi karya Mahatmanto, S. Wakidjan, Siti Nuraini, M. Hussyn, S. Samiati A., Kasim Mansur, Maseri Matali, Hariyadi S. Hartowardoyo, Chairil Anwar, Murya Artha, M.I. Usin, Sugiarto Sriwibowo, Achmad Nur, Slametmuljana, Dodong Djiwapradja, dan Trisno Sumardjo. Buku ini juga mampu membuka cakrawala betapa berat dan penuh liku-liku mengelola sebuah majalah umum yang ikut juga mengembangkan karya sastra di Indonesia. Berkat kegigihan dan semangat kerja keras pengelolanya, sebuah majalah umum yang juga mengembangkan karya sastra mampu bertahan hingga 20 tahun.
Semoga penerbitan buku ini dapat menambah khazanah publikasi hasil penelitian kritik sastra di Indonesia. Penerbit Elmatera Publishing dengan bangga menyajikan penerbitan buku ini sebagai sumbangsih kami kepada masyarakat dan bangsa Indonesia. Selamat membaca dan mengapresiasi sajian penerbitan kami ini.

Monday, 9 December 2013

CANDI MUARO JAMBI


CANDI MUARO JAMBI

Ribuan tahun telah ditandai
Ribuan batu-bata menjadi candi
Geliat mengular sungai batanghari
Membelah anggun negeri Jambi
Sambil merenung instropeksi diri
Menikmati limpahan anugerah Ilahi

Tiada stupa Candi Muaro Jambi
Tiada batu kali yang menghiasi
Tiada relief terukir di dinding candi
Hanya batu-bata merah terabrasi
Semakin lama semakin pucat pasi
Lapuk, termakan usia setiap hari


Kiri kanan candi pepohonan merimbun
Udara segar jadi badan makin tambun
Keliling candi bersama berduyun-duyun
Terik matahari menyertai tanpa ampun
Pedal sepeda tetap harus diayun-ayun
Es kelapa muda jadi santapan si culun


Candi Muaro Jambi riwayatmu kini
Kau sekadar menjadi objek arkeologi
Meski ada di tepi Sungai Batanghari
Di sana sini puluhan candi menghiasi
Pusat budaya dunia bukan lagi di sini
Walauhualam bisawab nasibmu nanti


Angso Duo, Jambi, 5 Desember 2013


Monday, 2 December 2013

MARI....


MARI....

Segulung ombak mulai menerjang
Kapal nelayan terempas melayang
Kenapa bencana mesti selalu datang
Mari tingkatkan semangat berjuang

Sebungkah angin topan menghempas
Meluluhlantakkan tanah tanpa belas
Raung jeritan anak manusia memelas
Mari kita selesaikan agar semua puas

Setumpuk sampah mulai gelisah
Tersengat bau busuk merebak resah
Kenapa hidup harus berkeluh kesah
Marilah kita berserah kepada Allah

Segumpal awan mulai berarakan
Sebentar pertanda hari akan hujan
Kenapa hidup tidak ada kepastian
Mari kita berserah kepada Tuhan

Sepanjang zaman selalu ada bencana
Pertanda hidup di dunia penuh dinamika
Tiada menyesal seusai terusir dari Surga
Mari berusaha agar kembali kepada-Nya

Sabar, jujur, tawakal narima, dan rela
Menjadi perantara watak berbudi mulia
Disertai selalu sadar bakti iman dan takwa
Akan menjadi bekal jalan kembali ke Surga.
.

Bekasi, 1 Desember 2013

Wednesday, 13 November 2013

IKRAR PURUSATAMA


IKRAR PURUSATAMA

Dialah ksatria utama
ksatria pembela nusa
ksatria penjaga negara
ksatria pelindung bangsa
ksatria pengayom rakyat jelata
ksatria penegak kebenaran di dunia
ksatria berwatak ambeg adil paramarta


Sebermula ada sebuah Sabda:
"Dalam waktu yang tidak lama
negara Indonesia akan merdeka
dengan dikawal oleh enam ksatria:
Sasangka, Sardjana, Soedjana,
Soedibja, Widjaja, dan Soetedja.

Diibaratkan orang mendirikan wisma,
berdirinya wisma 13 tahun sesudah Sabda
dan akan selesai pembangunannya
50 tahun setelah Sabda menjelma.
Kemudian, 90 tahun setelah Sabda,
Indonesia sejajar negara-negara lain di dunia,
dan 150 tahun setelah Sabda berada
Indonesia menjadi pusat kebudayaan dunia."


Ksatria pertama, bernama Sasangka
sadar dan berbakti menjadi hal utama
berpegang teguh pada iman dan takwa
selalu dituntun Tuhan Yang Maha Esa
dalam berupaya meraih cita-cita mulia
mendidik akhlak dan pekerti manusia
membangun budi dan martabat bangsa
agar seluruh rakyat bahagia dan sejahtera.

Ksatria kedua, bernama Sardjana
ilmu pengetahuan memang dia kaya
lagi pula bijak bestari dan cendekia
ilmu dan kecerdasan menjadi senjata
dalam membangun bangsa dan negara
membawa pencerahan bagi rakyat jelata
maju: tiada terbelenggu kegelapan dunia
hidup seturut roda zaman penuh dinamika.


Ksatria ketiga, bernama Soedjana
waspada menjadi watak utamanya
lebih percaya pada kekuatan bangsa
daripada mempercayai bangsa lainnya
dalam membangun karakter jatidirinya
meskipun banyak suku, ras, dan agama
juga logat bahasa yang berbeda-beda
mereka tetap Satu ialah Indonesia Raya.

Ksatria keempat, bernama Soedibdja
ksatria yang gagah lagi pula perkasa
mampu sebagai pemersatu bangsa
bersatu teguh dalam pilar-pilar negara
NKRI, UUD 1945, Pancasila, Bhineka Tunggal Ika
menjadikan negara berwibawa dan mulia
subur, makmur, aman, tenteram, dan sentosa
sejahtera serta juga masyhur di seluruh dunia.


Ksatria kelima, bernama Widjaja
ksatria yang berbudi pekerti mulia
suka berdarma kepada siapa saja
dan berbagi kasih kepada sesama
sebab dia senantiasa unggul dan jaya
lagi pula tangguh menghadapi bencana
serta mampu mengatasi segala problema
sehingga rakyat semakin cinta kepadanya.

Ksatria keenam, bernama Soetedja
ksatria berprestasi dalam segala-gala
ksatria yang membawa rakyat merdeka
ialah bebas dari segala penjajahan dunia
juga ditakuti dan disegani negara tetangga
menjadi pelindung rakyat dan negara lainnya
sehingga dapat memayu hayuning bawana
semua negara di dunia berkiblat ke Indonesia.

Keenam ksatria utama berikrar setia:
Demi Allah ialah Tuhan Yang Maha Esa
ialah Sembahan umat di seluruh dunia
hamba sungguh-sungguh berprasetia
mengiringi dan menjaga selamanya
Negara Kesatuan Republik Indonesia
hingga tercapai cita-cita mulia
negara aman, tenteram, sentosa,
subur, makmur, sejahtera, jaya,
dan masyhur di seluruh dunia.


Bekasi, 10 November 2013

Saturday, 2 November 2013

BIARKAN KATONG BAKALAE: MOMENTUM KEBANGKITAN PENYAIR MALUKU



1. Pengantar
Pertengahan tahun 2013 saya dikontak oleh Kepala Kantor Bahasa Provinsi Maluku, Drs. Toha Machsum, M.Ag., beliau memberi kabar bahwa Kantor Bahasa Provinsi Maluku akan menerbitkan antologi puisi karya para penyair Maluku pada bulan Oktober 2013. Kabar itu tentu menggembirakan bagi kami yang sehari-hari bekerja bakalae dengan karya sastra, terutama puisi Indonesia modern. Nyaris, bahkan sayup-sayup tidak terdengar kabar, bahwa wilayah daerah bagian timur Indonesia, terutama Maluku dan Papua, memiliki kantong-kantong sastra Indonesia modern. Selama ini yang santer terdengar, daerah Maluku kaya akan para penyanyi yang melegenda secara nasional, bahkan mendunia, seperti Andre Hehanusa, Daniel Sahuleka, Diana Papilaya, Glenn Fredly Latuihamallo, Grace Simon, Harvey Malaiholo, Jean Pattikawa, Melky Goeslaw, Melly Goeslaw, Melly Manuhutu, Ruth Sahanaya, Utha Likumahuwa, Bob Tutupoli (lahir di Surabaya asal Maluku) dan Broery Pesulima atau dikenal juga dengan nama Broery Marantika, serta petinjunya Elias Pical dan Nico Thomas. Cerita rakyat, dongeng, legenda, mitologi, manuskrip, dan juga nyanyian (lagu) daerah wilayah kawasan bagian timur Indonesia itu tentu kaya raya, bahkan banyak aset bangsa itu yang belum digali, didokumentasi, dan dipublikasikan secara nasional.


Terbitnya buku Biarkan Katong Bakalae: Antologi Puisi Penyair Maluku 2013, berisi seratus puisi dan ditulis oleh 28 penyair (Alpha Brian Sahetapy,  Asni Rahayu Wakanno, Brigel Lodewik Waliana, David Yonry Leimena, Eko Saputra Poceratu, Falantino El, Henry MS, Itang Navira Hatuwe, Jacky Manuputty, Khairus Afruz Salampessy, Khazan Borut, Maichel Elison Koipuy, Mariana Lewier, Martha Maspaitella, M. Azis Tunny, Marthen  Luther Reasoa, Mohammad Hanafi Holle, Morika Benhanan Tetelepta, Muakrim M. Noer Soulisa, Petrus Jacob Pattiasina, Revelino Berry, Ronald Regang, Roymon Lemosol, Rudi Fofid, Rudy Rahabeat, Steven Ohoiwutun, Weslly Johannes, Wirol Haurissa; 24 lelaki + 4 wanita; 12 penyair menyertakan 3 puisi dan 18 penyair menyertakan 4 puisi) menjadi “sejarah bersama” atau sebuah “monumen kenangan” (kata Rudy Rahabeat dalam “Ale Rasa Beta Rasa”) dalam beraktivitas sastra masyarakat Maluku pada tahun 2013.


2. Judul Buku
            Ketika pertama kali menerima email dari Saudara Ilham Hasan, 3 Oktober 2013, masih dalam konsep MS Word, bahwa buku kumpulan puisi yang akan diterbitkan oleh Kantor Bahasa Provinsi Maluku berjudul Biarkan Katong Bakalae yang diangkat dari judul puisi “Biarkan Katong Bakalae” karya Jacky Manuputty. Dari judul buku ini, dalam benak pikiran saya lalu timbul tiga pertanyaan: (1) apa makna judul “Biarkan Katong Bakalae”,? (2) mengapa (apa alasan) dipilih judul seperti itu?, dan (3) apakah judul buku itu telah merepresentasikan tema (isi) atau keberagaman puisi-puisi yang dimuat di dalamnya?
           Setelah saya membuka Kamus Melayu Ambon di sebuah blog ternyata kata “katong” singkatan dari “kita orang”, ada juga yang memadankan dengan “kami”, sementara itu kata “bakalae” artinya “berkelai”, “bergaduh” (juga “berselisih” atau “bertengkar”). Jadi, makna lugas yang dapat ditangkap dari pertanyaan pertama saya tentang judul buku kumpulan puisi ini adalah “Biarkan Kami Berkelai”, “Biarkan Kita Orang Bergaduh”, “Biarkan Kami Berselisih”, atau “Biarkan Kami Bertengkar”. Setelah memahami maksud judul buku ini secara lugas, timbul asosiasi rasa yang mencekam, menakutkan, atau seram. Dengan judul seperti di atas, rasa-rasanya ada nada egois, tidak boleh ada orang lain yang ikut campur, terasa beringas, dan pembiaran suatu masalah terjadi. Apakah tim penyunting yang memberi judul buku kumpulan puisi ini sudah mempertimbangkan dampak keseraman atas judul buku ini bagi pembaca. Coba bandingkan dengan beberapa judul buku antologi puisi yang telah terbit terdahulu, seperti Gema Tanah Air (HB Jassin), Laut Biru Langit Biru (Ajip Rosidi), Tonggak (Linus Suryadi AG), dan Horison Sastra Indonesia 1 Kitab Puisi (Taufiq Ismail dkk) yang memiliki asosiasi rasa lebih sejuk, terasa damai, dan menggambarkan metaforis dari puisi-puisi yang terkumpul dalam buku antologi tersebut.


Kata “bakalai” dalam pemahaman saya yang berada di luar etnis Maluku dapat menggambarkan suatu proses menuju ke peperangan secara kolosal atau massal antarsuku, antargolongan, antardesa, dan atau antaragama. Amir Hamzah dalam puisinya “Hanya Satu” melalui salah satu baitnya menyentil masalah pertikaian antarumat beragama yang sesungguhnya berasal dari satu nenek moyang dengan Nabi Ibrahim. “Kehidupan masa sekarang berlainan dengan masa ketika para nabi masih hidup membimbing umatnya. “Kini kami bertikai pangkai/ Di antara dua mana mutiara/ Jauhari ahli lalai menilai/ Lengah langsung melewat abad”. Itulah yang terjadi pada anak cucu keturunan Nabi Ibrahim sekarang ini. Mereka saling berselisih paham hingga terjadi perang besar, salah satunya adalah perang salib. Dua bangsa besar itu kini saling mengklaim bahwa ajaran nabi merekalah yang paling benar, paling baik, dan paling sempurna. Namun, selama berabad-abad pertikaian itu tidak pernah selesai. Tidak ada seorang cerdik pandai yang mampu melerai hingga kini” (Santosa, 2003:57).
Dalam pemahaman saya ada empat macam perkelaian atau peperangan, yaitu (1) perkelaian secara fisik, adu jotos sehingga berdarah-darah karena mempertahankan harkat, martabat, pendapat, harga diri meskipun dipicu masalah tahta, harta, dan wanita; (2) perkelaian di ranjang, tentu dengan lawan jenis yang syah berdasarkan pada ikatan tali perkawinan; (3) perkelaian dengan suatu masalah atau suatu hal dengan keahlian atau pekerjaan yang ditekuninya, dan (4) perkelaian melawan hawa nafsu, dengan membiarkan ego sentrifugal berkembang dan mengendalikan ego sentripetal sebagai daya kekuatan hidup. Dari keempat macam perkelaian itu apakah semua dibiarkan? Tentu, dari pandangan saya tidak semua dibiarkan, perlu ada pihak yang melerai sebagai pembina. Secara metaforis perkelaian antarpenyair dalam mengekspresikan perasaan dan pikirannya melalui  puisi-puisi yang dimuat dalam buku antologi ini diperlukan peran serta Kantor Bahasa Provinsi Maluku sebagai pengayom dan pembinanya demi kemajuan dan kesemarakan sastra Indonesia di Maluku. Jadi, perkelaian itu tidak dibiarkan begitu saja. Sebagaimana diketahui bersama bahwa perkelaian yang terberat adalah perkelaian melawan hawa nafsu, melawan nafsu angkara, melawan nafsu setan atau nafsu kuasa kegelapan.


         Jawaban pertanyaan kedua, mengapa (apa alasan) dipilih judul seperti itu? Rasanya hanya tim penyunting atau kurator yang secara tepat menjawabnya. Perkiraan saya dipilihnya judul ini karena menghormati atau mengapresiasi penyair senior Jacky Manuputty, 48 tahun, kelahiran 1965. Atau juga supaya kelihatan ada warna lokal atau kearifan budaya Maluku. Filosofi hidup sebagian besar masyarakat Maluku, “pagi bakalae dan malam harinya bakubae”. Mari kita lihat saja puisi yang diangkat sebagai judul buku antologi puisi para penyair Maluku ini sebagai berikut.

BIARKAN KATONG BAKALAE

Bilanglah padaku,
Baikan mana, damai atau konflik?
Sebab di negeriku damai dan konflik beriring badendang
Pagi bakalae, malam bakubae
Lalu mengapa pula kau bilang bakalae harus didamaikan?
Bila bakalae seluhurnya adalah cara kami kembalikan keseimbangan
Antara langit dan bumi, laut dan pantai, siwa dan lima, ale deng beta
Kami perlukan bakalae, ketika kata-kata tlah dikotori muslihat
Dan orang-orang lebih suka bersandiwara
Tempiaskan senyuman dari hati yang mendendam
Atau pun hunuskan keris di balik tangan yang memeluk
Karenanya kami telah belajar bakalae sejak masa kanak
Menarik garis batas di antara dua petarung
Tanpa seorangpun boleh tacampor

Kami bakalae hingga bermandi darah
Namun dengan darah pula kami bakubae
Meneguknya bersama ketika bakalae telah berakhir
Tanpa peduli siapakah pemenangnya
Karena bakubae adalah keluhuran para petarung adat
Yang wajib dilakukan, seiring berakhirnya bakalae
Tanpa seorangpun boleh tacampor

Biarkanlah kami bakalae, seturut aturan anak adat di negeri ini
Jangan pernah kau campuri dan kotori keluhurannya
Tidak pula harus kau anjurkan bakubae bagi kami
Karna sebagaimana kami adalah anak-anak bakalae
Begitulah pula kami adalah anak-anak bakubae

Ambon, 28 September 2011

            (Jacky Manuputty, 2013: 59—60)

          Puisi karya Jacky Manuputty di atas rasanya seperti sebuh testimoni, sebuah pernyataan pribadi yang ditulis dalam larik-larik puisi. Larik-larik puisi di atas juga tidak terasa liris, apalagi puitis, dan tidak dalam formula formal puisi yang diikat oleh diksi, irama, persajakan, eufoni, dan pembaitan kuatrin. Oleh karena hanya sebuah testimoni, juga terasa tidak ada naratif atau dramatiknya. Apabila yang dipilih berkenaan dengan label warna lokal atau kearifan lokal Maluku tampaknya juga bukan satu-satunya puisi yang dimuat dalam buku kumpulan puisi ini. Masih ada banyak puisi yang mengangkat warna lokal Maluku, seperti “Hatawano” (Alpha Brian Sahetapy), “Beta Pattimura” (Marthen Luther Reasoa), “Hantu Laut” (M. Azis Tunny), “Aru” atau “Bidadari dari Aru” (Maichel Elison Koipuy, “Ketika Langit Masih Rendah”  (Mariana Lewer), “Marinyo dari Saniri” (Martha Maspaitella), dan “Ale Rasa Beta Rasa” (Rudy Rahabeat). Dari seratus puisi yang dimuat dalam buku antologi ini, rasa saya untuk mempertimbangkan puisi “Ale Rasa Beta Rasa” (Rudy Rahabeat) diangkat sebagai judul buku antologi puisi para penyair Maluku 2013.


ALE RASA BETA RASA                                                                 

(Buat Gerry van Klinken)

Ale bilang katong musti susun sejarah bersama
macam apa yang bersama?
Ketika semua sibuk dengan diri sendiri,
merasa benar sendiri, merasa suci sendiri.
Apa yang dapat ditulis dalam belenggu ego diri

Ale bilang katong musti bikin monumen kenangan
Apakah itu bisa merangkum segala lara?
Ketika kebenaran dibungkam dan air mata mengalir bagai udara

Ale bilang katong musti murnikan rasa
Lewat lagu dan tarian, donci deng dendang

Apakah harus menari lagi di tengah kekalutan
Melupakan sejarah yang kelam?

Hanya nurani yang murni
Keikhlasan dan ketulusan
Yang bikin ale rasa beta rasa

Walau ale putih, beta hitam
Ale di sana beta di sini
Dalam bahasa kasih yang suci
Ale rasa beta rasa
Katong samua basudara

Untuk esok yang bahagia

(Rudy Rahabeat, 2013: 151)


Membaca, memahami, dan merenungkan makna puisi “Ale Rasa Beta Rasa” karya Rudy Rahabeat ini rasanya cocok sebagai judul buku kumpulan puisi para penyair Maluku tahun 2013 daripada “Biarkan Katong Bakalae” yang diangkat dari judul puisi “Biarkan Katong Bakalae” karya Jacky Manuputty. Dari aspek formal puitik puisi “Ale Rasa Beta Rasa” karya Rudy Rahabeat memang rasanya juga tidak jauh berbeda dengan puisi “Biarkan Katong Bakalae” karya Jacky Manuputty, hanya sebuah testimoni. Akan tetapi, kandungan maknanya memiliki interpretasi yang lebih dalam karena didahului dengan pertanyaan-pertanyaan yang menggugat tokoh Ale (Anda, Kamu, Engkau). Ada tiga hal yang digugat oleh tokoh aku lirik (Beta) dalam menyikapi keadaan saat ini, yaitu (1) menyusun sejarah bersama, (2) membikin monumen kenangan, dan (3) memurnikan rasa. Padahal kita semua bersaudara, tentu kita tidak perlu lagi berkelai, adu jotos, bikin gaduh, semata hanya untuk esok yang lebih berbahagia. Puisi ini tidak semata hanya memaparkan masalah yang dihadapi oleh kita semua, tetapi sekaligus memberi solusi yang dirasakan akan lebih bijak dan baik.
Dengan puisi “Ale Rasa Beta Rasa” ini rasanya terjawab sudah pertanyaan saya yang ketiga tentang judul buku antologi puisi para penyair Maluku 2013. Judul karya harus dapat merepresentasikan seluruh isi karya yang dimuat dalam buku tersebut. Keberagaman gaya ungkap, pilihan kata, dan tema karya seratus puisi dalam buku antologi ini pada dasarnya berbicara tentang “hidup” untuk dapat mengukir sejarah, membikin monumen kenangan, dan memurnikan rasa dari berbagai rasa yang ada. Pada hakikatnya kita semua bersaudara, berasal dari satu keturunan nenek moyang Adam dan Hawa. Berasal dari SATU jua, yakni Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, apa yang “Ale Rasa Beta Rasa”, apa yang Anda rasakan, Saya rasakan juga. Rasa gembira dan suka cita para penyair Maluku atas terbitnya buku antologi Biarkan Katong Bakalae sesungguhnya juga saya ikut merasa gembira ria dan suka cita tersebut.

3. Susunan Buku
     Buku Biarkan Katong Bakalae: Antologi Puisi Penyair Maluku 2013 yang pertama diterbitkan oleh Kantor Bahasa Provinsi Maluku (2013) memuat 100 puisi yang ditulis oleh 28 penyair Maluku. Dari label judul yang tertera, jelas sudah bahwa buku Biarkan Katong Bakalae dimaksudkan sebagai buku antologi atau bunga rampai. Sebuah buku antologi atau bunga rampai bukan sekadar kumpulan atau himpunan karangan yang berisi gado-gado, karangan bebas, atau campuran karangan yang bermacam-macam genre, melainkan karya terpilih yang diikat oleh suatu topik, suatu tema, atau suatu gagasan tertentu. Atas dasar pemahaman ini tentu penyusunan sebuah buku antologi memerlukan suatu teknik tertentu dan memilih salah satu sistematika yang sesuai dengan genre karya yang dibukukan.
            Sebagaimana diketahui bahwa paling sedikit ada lima teknik, cara, atau sistematika yang lazim digunakan untuk menyusun sebuah antologi, yaitu (1) urutan kronologi, yaitu urutan berdasarkan waktu, saat, masa, atau kala; (2) urutan kausal, yaitu urutan berdasarkan sebab akibat; (3) urutan sintetis, yaitu urutan yang mengutarakan hal-hal yang bersifat khusus, kemudian ke hal-hal yang bersifat umum; atau sebaliknya urutan analitis, yang mengutarakan hal-hal yang bersifat umum, lalu ke hal-hal yang bersifat khusus; (4) urutan apresiatif, yaitu urutan berdasarkan pemilihan baik buruk, untung rugi, berguna tidak berguna, benar salah, dan berharga tidak berharga atau bernilai tidak bernilai; dan (5) urutan lokal/ruang, yaitu urutan berdasarkan ruang, tempat, daerah, area, wilayah.


         Bagaimana dengan buku Biarkan Katong Bakalae: Antologi Puisi Penyair Maluku 2013 ini? Buku ini tidak menggunakan salah satu teori dari kelima teknik penyusunan buku antologi di atas, tetapi menggunakan sistem alfabetis, urutan berdasarkan abjad pertama dari nama pengarang dan abjad pertama dari judul puisi. Sistem alfabetis lazim digunakan untuk menyusun daftar pustaka, kamus, senarai, glosarium, atau ensiklopedia. Apakah buku antologi puisi para penyair Maluku 2013 dipadankan dengan daftar pustaka, kamus, senarai, glosarium, atau ensiklopedia? Sehingga memperlakukan penyair sebagai entri atau lema dan karya puisinya sebagai subentri atau sublema.
            Bilamana buku antologi puisi penyair Maluku 2013 ini rela dipadankan dengan sebuah senarai atau glosarium, mengapa penyunting buku antologi ini sampai sebanyak empat orang (Rudi Fofid, Harlin Al-Butuny, Erniati, Evi Olivia Kumbangsila). Apa tugas dan kerja masing-masing? Sayang, tim penyunting tidak menjelaskan bagaimana antologi ini disusun. Buku-buku antologi sastra seperti Gema Tanah Air, Laut Biru Langit Biru, dan Tonggak I, II, III, IV hanya dilakukan seorang editor. Sebuah buku antologi atau bunga rampai idealnya memang hanya seorang penyunting atau seorang editor ahli yang memiliki kepakaran dibidangnya sekaligus pakar bahasa. Apabila tidak memiliki kepakaran bahasa, sebuah buku antologi dapat dilakukan oleh dua penyunting, yaitu satu penyunting ahli yang memiliki kepakaran dibidangnya dan seorang penyunting yang memiliki kepakaran di bidang bahasa. Penyunting kebahasaan harus benar-benar menguasai kaidah bahasa, yang meliputi lima aspek kebahsaan, yaitu: (1) tata bunyi, (2) tata istilah dan kosakata, (3) tata kalimat, (4) tata tulis atau ejaan, dan (5) makna.
            Susunan biodata penyair ditulis tidak seragam. Dari 28 penyair dalam antologi ini ada 6 penyair (Henry MS, Khairus Afruz Salampessy, M. Azis Tunny, Mohammad Hanafi Holle, Revelino Berry, dan Weslly Johannes) yang tidak melengkapi tempat dan tanggal lahir. Tugas penyuntinglah yang seharusnya melakukan untuk meminta penyairnya melengkapi tanggal, bulan, dan tahun kelahirannya. Hal ini akan memudahkan penyusunan antologi berdasarkan urutan kronologi waktu, mulai penyair yang terlahir lebih awal (tertua) hingga penyair yang terlahir lebih kemudian (termuda). Susunan buku antologi berdasarkan kronologi waktu akan lebih memudahkan pembaca mengikuti arus atau sejarah pemikiran penyair daripada susunan alfabetis.
    Demikian halnya dengan susunan karya penyair yang berupa puisi pilihan yang diantologikan. Apakah karya puisi itu sudah dilengkapi tempat (kota), tanggal, bulan, dan tahun penciptaan. Apabila belum, tentu tugas penyuntinglah untuk meminta penyair yang alfa tersebut melengkapi penanda kelahiran atas puisinya. Bagi seorang penyair, tentulah puisi-puisi yang ditulisnya itu menjadi anak-anak pemikirannya. Ibarat seorang anak yang terlahir ke dunia harus memiliki tanda (surat atau akte) kelahiran. Hal ini tentu akan memudahkan penyusunan antologi  berdasarkan urutan kronologi, meskipun hanya tiga atau empat puisi dari seorang penyair yang diantologikan dalam buku tersebut. Selain itu, penanda kelahiran puisi juga akan memudahkan penyair apabila suatu saat nanti si penyair menerbitkan kembali puisinya menjadi sebuah buku kumpulan puisi tunggal, seperti Hujan Bulan Juni (Sapardi Djoko Damono, 102 puisi yang ditulis 1959—1994), Asmaradana (Goenawan Mohamad, 100 puisi yang ditulis 1961—1991), Madura, Luang Prabhang (Abdul Hadi W.M., 100 puisi yang ditulis 1965—1991), dan Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 1 Himpunan Puisi 1953—2008 (Taufiq Ismail, xlii + 1078 halaman). Pembaca dan peneliti sastra pun terbantu dapat memahami alur sejarah pemikiran sang penyair yang terekspresikan dalam karya-karyanya.


4. Warna Lokal Maluku
            Puisi-puisi yang dimuat dalam buku Biarkan Katong Bakalae: Antologi Puisi Penyair Maluku 2013 tidak semuanya ditulis di Ambon atau daerah lain yang masih termasuk wilayah Maluku, tetapi ditulis juga di luar daerah Maluku seperti Salatiga, Yogyakarta, Jakarta, Semarang, Leiden, dan Depok. Hal ini menandakan mobilitas putra-putri Maluku yang tidak hanya terpaku stagnasi terkungkung di daerahnya, tetapi secara dinamis dapat mengikuti laju perkembangan zaman. Meskipun tengah berada di luar daerah asal-muasalnya Maluku, mereka tidak begitu saja tercerabut dari akar tradisi budaya daerahnya. Terbukti mereka masih setia menulis puisi yang berkenaan dengan warna lokal atau kearifan lokal nenek moyangnya yang ada di Maluku.
            Warna lokal atau kearifan budaya Maluku dalam percaturan sastra Indonesia modern pertama dipopulerkan oleh Chairil Anwar dalam puisinya “Cerita Buat Tamaela” (1946), tentang mitos “Beta Pattiradjawane”. Masih dalam bentuk puisi, penyair Mansur Samin juga menulis kearifan budaya Maluku melalui puisinya “Apa Kata Laut Banda” (1964) berbentuk puisi naratif 42 bait tentang kepahlawanan Christina Martha Tiahahu (ada yang menulis: Martha Christina Tiahahu, dan Mansur Samin dalam puisinya tersebut ditulis: Maria Christina Martha). Sepengetahuan saya, terakhir sastrawan yang menulis tentang warna lokal Maluku adalah Y.B. Mangunwijaya dalam novelnya Ikan-Ikan Hiu, Ido, Homa (1983). Ikan-Ikan Hiu, Ido, Homa dikategorikan sebagai “novel sejarah” berlatar Ternate dan Tidore abad 16—17. Isi novel tersebut mengisahkan kemunduran kerajaan lokal yang saling mencaplok lalu dicaplok oleh ikan yang lebih besar: penjajah. Cerita dimulai dengan penyerbuan pasukan Ternate ke sebuah kampung suku Tobelo pada tahun 1594. Para pembuat perahu di kampung Dowingo-Jo yang berdarah bajak laut itu dihancurkan karena menolak membuat perahu bagi kepentingan sultan. Mereka dipukul mundur dengan bantuan keculasan salah seorang istri kepala suku, seorang perempuan Cina yang doyan selingkuh. Dan seterusnya.
Kehadiran buku Biarkan Katong Bakalae: Antologi Puisi Penyair Maluku 2013 ini tentu menambah khazanah kearifan budaya warna lokal Maluku dalam percaturan sastra Indonesia. Melalui buku antologi para penyair Maluku 2013 ini akan mengenal banyak kosakata Melayu-Ambon, bahkan sebagian besar tidak dipahaminya bagi masyarakat pembaca di luar Maluku, seperti “aja, akang, ale, amaihal, ama’u, amalatu, ana, angka, anyer, badang, badendang, badiri, bakalae, baku, bakubae, bariska, beinusa, berang, boi, cele, da, dapa, deng, diamata, dong, dorang, fanan, flur, hatawano, hena, horomate, ika, jang, kabas, kaeng, kapata, kapala, kapitan, kasiang, katong, keku, kie, kiming, koli, kulibia, lania, lanite, lawang, lenso, lima, maite, mako-mako, malawang, maleleh, malesi, manari, manyala, marinyo, masahatu, moloku, mungare, nae, noraito, nunusaku, nyokwa, palungku, pante, paparisa, par, parlente, paser, poku, pombo, pono, pung, raha, re, roto, sakarang, salawaku, sandiri, saniri, sapa, sasi, silir, siwa, soa, sombar, sopi, su, sudara, tabuka, tacampor, tagepe, tahuri, tailing, tala, tamatu, tampa, tarang, tehuo, tempayang, tiop, tobu, tolu, tun’nyo, tusu, uku, uku haa, uli, unar, upasrui, upu, upulatu, dan wakat”. Bahkan dalam satu larik puisi ada yang ful bahasa Melayu-Ambon, seperti “a boi nyokwa da fanan nae re”, “Anyer pante tusu dong”, “Kaeng berang ika kapala”, “Marinyo tiop kulibia”, “Moloku Kie Raha”, “poku roto tun’nyo kabas paser”, “Tampa pinang akang su tabuka”, “Upu Lanite, Upu Meite”, “Upulatu Kapitan Uli siwa”, “Uku tolu, uku haa, malesi, tehuo”, “Kapata horomate leluhur Beinusa Amalatu”, dan “Horomate horomate datuk Beinusa Amalatu”.


           Pembaca yang berasal dari luar etnis Maluku dan tidak mengerti bahasa Melayu-Ambon, tentu akan mengalami kesulitan memahami makna puisi yang dimuat dalam buku antologi tersebut. Apabila buku antologi puisi ini hendak diedarkan secara nasional, bukan sekadar untuk kalangan warga masyarakat Maluku, tentunya penyunting melengkapi dengan senarai, glosarium, atau kamus Melayu-Ambon atas kosakata yang digunakan dalam penulisan puisi yang dimuat buku antologi ini. Hal ini dimaksudkan agar pembaca yang berada di luar etnis Maluku dapat memahami dengan benar kearifan budaya Maluku tentang salawa, bakubae, bakalae, lima siwa, upu lanite, upu maite, uku tolu, dan sebagainya. Apalagi sekarang Badan Bahasa tengah mengadakan “Penelitian Nilai-Nilai dalam Bahasa dan Sastra untuk Pembentukan Karakter Bangsa: Identifikasi Nilai-Nilai Pembentukan Karakter Bangsa” yang hasilnya akan digunakan untuk menyusun buku pelajaran sekolah, dari sekolah dasar hingga ke perguruan tinggi. Sastra warna lokal daerah akan menjadi dominan dalam penelitian tersebut. Penelitian sastra tersebut mengarah pada nilai logika, estetika, dan etika. Logika menjabarkan pemahaman anak didik tentang nilai benar dan salah dalam bertindak. Estetika menjabarkan pemahaman anak didik tentang nilai keindahan. Sementara itu, etika menjabarkan pemahaman anak didik tentang nilai baik dan buruknya perbuatan (akhlak, moral). Ketiga nilai dasar itu telah dikembangkan lebih lanjut oleh Pusat Kurikulum Departemen Pendidikan Nasional pada tahun 2010 menjadi 18 nilai, meliputi nilai: (1) religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat atau komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan (17) peduli sosial, dan (18) tanggung jawab. Siapa tahu beberapa puisi yang dimuat dalam buku antologi ini dapat dipakai sebagai sampel atau contoh dari salah satu nilai, atau beberapa nilai, dan dipergunakan sebagai bahan pembelajaran bahasa dan sastra di sekolah-sekolah secara nasional.


5. Penutup
            Ada pepatah bahasa Indonesia yang menyatakan bahwa “tiada gading yang tidak retak”. Demikian juga dengan penerbitan buku antologi puisi penyair Maluku 2013 ini. Meskipun masih ada kekurangan, wajar manusia tidak ada yang sempurna, penerbitan buku Biarkan Katong Bakalae: Antologi Puisi Penyair Maluku 2013 menjadi sebuah momentum kebangkitan sastrawan Maluku dalam beraktivitas sastra. Bagaimanapun terbitnya buku antologi puisi ini telah memberi pencerahan bagi kami, ada banyak tuntunan yang menuju arah kebajikan hidup, dan juga memberi hiburan bagi kami pembaca. Saya berharap para penyair yang dimuat karyanya dalam buku antologi ini tidak berpuas diri dan tidak berhenti sampai di sini. Semoga  dengan terbitnya buku antologi ini semakin bersemangat, semakin berkreativitas, dan semakin menunjukkan kualitas bersastra pada karya-karya berikutnya.
            Salam dan doa kami menyertai kita semua.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Chairil. 2009. “Cerita Buat Dean Tamaela” dalam Chairil Anwar: Aku Ini Binatang Jalang (editor Pamusuk Eneste). Cetakan 21. Cetakan pertama 1986. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Machsum, Toha (Penyelia). 2013. Biarkan Katong Bakalae: Antologi Puisi Penyair Maluku 2013. Ambon: Kantor Bahasa Provinsi Maluku.

Mangunwijaya, Y.B. 1987. Ikan-Ikan Hiu, Ido, Homa. Jakarta: Jambatan.

Samin, Mansur. 1996. “Apa Kata Laut Banda” dalam Dendang Kabut Senja: Tiga Kumpulan Sajak 1955—1970. Jakarta: Aladin.

Santosa, Puji. 2003. Bahtera Kandas di Bukit: Kajian Semiotika Sajak-Sajak Nuh. Surakarta: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.











Pertemuan 15 Teori Sastra Tempatan