1. Pengantar
Pertengahan
tahun 2013 saya dikontak oleh Kepala Kantor Bahasa Provinsi Maluku, Drs. Toha
Machsum, M.Ag., beliau memberi kabar bahwa Kantor Bahasa Provinsi Maluku akan
menerbitkan antologi puisi karya para penyair Maluku pada bulan Oktober 2013.
Kabar itu tentu menggembirakan bagi kami yang sehari-hari bekerja bakalae dengan karya sastra, terutama
puisi Indonesia modern. Nyaris, bahkan sayup-sayup tidak terdengar kabar, bahwa
wilayah daerah bagian timur Indonesia, terutama Maluku dan Papua, memiliki kantong-kantong
sastra Indonesia modern. Selama ini yang santer terdengar, daerah Maluku kaya akan
para penyanyi yang melegenda secara nasional, bahkan mendunia, seperti Andre Hehanusa, Daniel
Sahuleka, Diana Papilaya, Glenn Fredly Latuihamallo, Grace Simon, Harvey
Malaiholo, Jean Pattikawa, Melky Goeslaw, Melly
Goeslaw, Melly Manuhutu, Ruth Sahanaya, Utha
Likumahuwa, Bob Tutupoli (lahir di Surabaya asal Maluku) dan Broery Pesulima atau dikenal juga dengan nama Broery Marantika, serta petinjunya Elias Pical dan Nico
Thomas. Cerita rakyat, dongeng, legenda, mitologi, manuskrip, dan juga nyanyian
(lagu) daerah wilayah kawasan bagian timur Indonesia itu tentu kaya raya,
bahkan banyak aset bangsa itu yang belum digali, didokumentasi, dan
dipublikasikan secara nasional.
Terbitnya
buku Biarkan Katong Bakalae: Antologi
Puisi Penyair Maluku 2013, berisi seratus puisi dan ditulis oleh 28 penyair
(Alpha Brian Sahetapy, Asni Rahayu
Wakanno, Brigel Lodewik Waliana, David Yonry Leimena, Eko Saputra Poceratu,
Falantino El, Henry MS, Itang Navira Hatuwe, Jacky Manuputty, Khairus Afruz
Salampessy, Khazan Borut, Maichel Elison Koipuy, Mariana Lewier, Martha
Maspaitella, M. Azis Tunny, Marthen
Luther Reasoa, Mohammad Hanafi Holle, Morika Benhanan Tetelepta, Muakrim
M. Noer Soulisa, Petrus Jacob Pattiasina, Revelino Berry, Ronald Regang, Roymon
Lemosol, Rudi Fofid, Rudy Rahabeat, Steven Ohoiwutun, Weslly Johannes, Wirol
Haurissa; 24 lelaki + 4 wanita; 12 penyair menyertakan 3 puisi dan 18 penyair
menyertakan 4 puisi) menjadi “sejarah bersama” atau sebuah “monumen kenangan”
(kata Rudy Rahabeat dalam “Ale Rasa Beta Rasa”) dalam beraktivitas sastra
masyarakat Maluku pada tahun 2013.
2. Judul Buku
Ketika
pertama kali menerima email dari Saudara Ilham Hasan, 3 Oktober 2013, masih
dalam konsep MS Word, bahwa buku kumpulan puisi yang akan diterbitkan oleh
Kantor Bahasa Provinsi Maluku berjudul Biarkan Katong Bakalae yang diangkat dari
judul puisi “Biarkan Katong Bakalae”
karya Jacky Manuputty. Dari judul buku
ini, dalam benak pikiran saya lalu timbul tiga pertanyaan: (1) apa makna judul
“Biarkan Katong Bakalae”,? (2)
mengapa (apa alasan) dipilih judul seperti itu?, dan (3) apakah judul buku itu
telah merepresentasikan tema (isi) atau keberagaman puisi-puisi yang dimuat di
dalamnya?
Setelah saya membuka Kamus Melayu Ambon di sebuah blog
ternyata kata “katong” singkatan dari “kita orang”, ada juga yang memadankan
dengan “kami”, sementara itu kata “bakalae” artinya “berkelai”, “bergaduh”
(juga “berselisih” atau “bertengkar”). Jadi, makna lugas yang dapat ditangkap
dari pertanyaan pertama saya tentang judul buku kumpulan puisi ini adalah
“Biarkan Kami Berkelai”, “Biarkan Kita Orang Bergaduh”, “Biarkan Kami
Berselisih”, atau “Biarkan Kami Bertengkar”. Setelah memahami maksud judul buku
ini secara lugas, timbul asosiasi rasa yang mencekam, menakutkan, atau seram.
Dengan judul seperti di atas, rasa-rasanya ada nada egois, tidak boleh ada
orang lain yang ikut campur, terasa beringas, dan pembiaran suatu masalah
terjadi. Apakah tim penyunting yang memberi judul buku kumpulan puisi ini sudah
mempertimbangkan dampak keseraman atas judul buku ini bagi pembaca. Coba
bandingkan dengan beberapa judul buku antologi puisi yang telah terbit
terdahulu, seperti Gema Tanah Air (HB
Jassin), Laut Biru Langit Biru (Ajip
Rosidi), Tonggak (Linus Suryadi AG),
dan Horison Sastra Indonesia 1 Kitab
Puisi (Taufiq Ismail dkk) yang memiliki asosiasi rasa lebih sejuk, terasa damai,
dan menggambarkan metaforis dari puisi-puisi yang terkumpul dalam buku antologi
tersebut.
Kata
“bakalai” dalam pemahaman saya yang berada di luar etnis Maluku dapat
menggambarkan suatu proses menuju ke peperangan secara kolosal atau massal
antarsuku, antargolongan, antardesa, dan atau antaragama. Amir Hamzah dalam
puisinya “Hanya Satu” melalui salah satu baitnya menyentil masalah pertikaian
antarumat beragama yang sesungguhnya berasal dari satu nenek moyang dengan Nabi
Ibrahim. “Kehidupan
masa sekarang berlainan dengan masa ketika para nabi masih hidup membimbing
umatnya. “Kini kami bertikai pangkai/ Di
antara dua mana mutiara/ Jauhari ahli lalai menilai/ Lengah langsung melewat
abad”. Itulah yang terjadi pada anak cucu keturunan Nabi Ibrahim sekarang
ini. Mereka saling berselisih paham hingga terjadi perang besar, salah satunya
adalah perang salib. Dua bangsa besar itu kini saling mengklaim bahwa ajaran
nabi merekalah yang paling benar, paling baik, dan paling sempurna. Namun,
selama berabad-abad pertikaian itu tidak pernah selesai. Tidak ada seorang
cerdik pandai yang mampu melerai hingga kini” (Santosa, 2003:57).
Dalam pemahaman saya ada empat macam perkelaian atau peperangan, yaitu
(1) perkelaian secara fisik, adu jotos sehingga berdarah-darah karena
mempertahankan harkat, martabat, pendapat, harga diri meskipun dipicu masalah
tahta, harta, dan wanita; (2) perkelaian di ranjang, tentu dengan lawan jenis
yang syah berdasarkan pada ikatan tali perkawinan; (3) perkelaian dengan suatu
masalah atau suatu hal dengan keahlian atau pekerjaan yang ditekuninya, dan (4)
perkelaian melawan hawa nafsu, dengan membiarkan ego sentrifugal berkembang dan
mengendalikan ego sentripetal sebagai daya kekuatan hidup. Dari keempat macam
perkelaian itu apakah semua dibiarkan? Tentu, dari pandangan saya tidak semua
dibiarkan, perlu ada pihak yang melerai sebagai pembina. Secara metaforis
perkelaian antarpenyair dalam mengekspresikan perasaan dan pikirannya melalui puisi-puisi yang dimuat dalam buku antologi
ini diperlukan peran serta Kantor Bahasa Provinsi Maluku sebagai pengayom dan
pembinanya demi kemajuan dan kesemarakan sastra Indonesia di Maluku. Jadi,
perkelaian itu tidak dibiarkan begitu saja. Sebagaimana diketahui bersama bahwa
perkelaian yang terberat adalah perkelaian melawan hawa nafsu, melawan nafsu
angkara, melawan nafsu setan atau nafsu kuasa kegelapan.
Jawaban pertanyaan kedua,
mengapa (apa alasan) dipilih judul seperti itu? Rasanya hanya tim penyunting
atau kurator yang secara tepat menjawabnya. Perkiraan saya dipilihnya judul ini
karena menghormati atau mengapresiasi penyair senior Jacky Manuputty, 48 tahun,
kelahiran 1965. Atau juga supaya kelihatan ada warna lokal atau kearifan budaya
Maluku. Filosofi hidup sebagian besar masyarakat Maluku, “pagi bakalae dan malam harinya bakubae”. Mari kita lihat saja puisi yang
diangkat sebagai judul buku antologi puisi para penyair Maluku ini sebagai
berikut.
BIARKAN KATONG BAKALAE
Bilanglah padaku,
Baikan mana, damai atau konflik?
Sebab di negeriku damai dan konflik beriring badendang
Pagi bakalae,
malam bakubae
Lalu mengapa pula kau bilang bakalae harus didamaikan?
Bila bakalae
seluhurnya adalah cara kami kembalikan keseimbangan
Antara langit dan bumi, laut dan pantai, siwa dan
lima, ale deng beta
Kami perlukan bakalae,
ketika kata-kata tlah dikotori muslihat
Dan orang-orang lebih suka bersandiwara
Tempiaskan senyuman dari hati yang mendendam
Atau pun hunuskan keris di balik tangan yang
memeluk
Karenanya kami telah belajar bakalae sejak masa kanak
Menarik garis batas di antara dua petarung
Tanpa seorangpun boleh tacampor
Kami bakalae
hingga bermandi darah
Namun dengan darah pula kami bakubae
Meneguknya bersama ketika bakalae telah berakhir
Tanpa peduli siapakah pemenangnya
Karena bakubae
adalah keluhuran para petarung adat
Yang wajib dilakukan, seiring berakhirnya bakalae
Tanpa seorangpun boleh tacampor
Biarkanlah kami bakalae,
seturut aturan anak adat di negeri ini
Jangan pernah kau campuri dan kotori keluhurannya
Tidak pula harus kau anjurkan bakubae bagi kami
Karna sebagaimana kami adalah anak-anak bakalae
Begitulah pula kami adalah anak-anak bakubae
Ambon, 28 September 2011
(Jacky
Manuputty, 2013: 59—60)
Puisi karya Jacky
Manuputty di atas rasanya seperti sebuh testimoni, sebuah pernyataan pribadi
yang ditulis dalam larik-larik puisi. Larik-larik puisi di atas juga tidak
terasa liris, apalagi puitis, dan tidak dalam formula formal puisi yang diikat
oleh diksi, irama, persajakan, eufoni, dan pembaitan kuatrin. Oleh karena hanya
sebuah testimoni, juga terasa tidak ada naratif atau dramatiknya. Apabila yang
dipilih berkenaan dengan label warna lokal atau kearifan lokal Maluku tampaknya
juga bukan satu-satunya puisi yang dimuat dalam buku kumpulan puisi ini. Masih
ada banyak puisi yang mengangkat warna lokal Maluku, seperti “Hatawano” (Alpha
Brian Sahetapy), “Beta Pattimura” (Marthen Luther Reasoa), “Hantu Laut” (M.
Azis Tunny), “Aru” atau “Bidadari dari Aru” (Maichel Elison Koipuy, “Ketika
Langit Masih Rendah” (Mariana Lewer),
“Marinyo dari Saniri” (Martha Maspaitella), dan “Ale Rasa Beta Rasa” (Rudy
Rahabeat). Dari seratus puisi yang dimuat dalam buku antologi ini, rasa saya
untuk mempertimbangkan puisi “Ale
Rasa Beta Rasa” (Rudy Rahabeat)
diangkat sebagai judul buku antologi puisi para penyair Maluku 2013.
ALE RASA BETA RASA
(Buat Gerry van Klinken)
Ale bilang katong musti susun sejarah bersama
macam apa yang bersama?
Ketika semua sibuk dengan diri sendiri,
merasa benar sendiri, merasa suci sendiri.
Apa yang dapat ditulis dalam belenggu ego diri
Ale bilang katong musti bikin monumen kenangan
Apakah itu bisa merangkum segala lara?
Ketika kebenaran dibungkam dan air mata mengalir
bagai udara
Ale bilang katong musti murnikan rasa
Lewat lagu dan tarian, donci deng dendang
Apakah harus menari lagi di tengah kekalutan
Melupakan sejarah yang kelam?
Hanya nurani yang murni
Keikhlasan dan ketulusan
Yang bikin ale
rasa beta rasa
Walau ale
putih, beta hitam
Ale di sana beta di sini
Dalam bahasa kasih yang suci
Ale rasa
beta rasa
Katong
samua basudara
Untuk esok yang bahagia
(Rudy Rahabeat, 2013: 151)
Membaca,
memahami, dan merenungkan makna puisi “Ale
Rasa Beta Rasa” karya Rudy Rahabeat
ini rasanya cocok sebagai judul buku kumpulan puisi para penyair Maluku tahun
2013 daripada “Biarkan Katong Bakalae”
yang diangkat dari judul puisi “Biarkan
Katong Bakalae” karya Jacky
Manuputty. Dari aspek formal puitik puisi “Ale Rasa Beta Rasa” karya
Rudy Rahabeat memang rasanya juga tidak
jauh berbeda dengan puisi “Biarkan
Katong Bakalae” karya Jacky
Manuputty, hanya sebuah testimoni. Akan tetapi, kandungan maknanya memiliki
interpretasi yang lebih dalam karena didahului dengan pertanyaan-pertanyaan
yang menggugat tokoh Ale (Anda, Kamu,
Engkau). Ada tiga hal yang digugat oleh tokoh aku lirik (Beta) dalam menyikapi
keadaan saat ini, yaitu (1) menyusun sejarah bersama, (2) membikin monumen
kenangan, dan (3) memurnikan rasa. Padahal kita semua bersaudara, tentu kita
tidak perlu lagi berkelai, adu jotos, bikin gaduh, semata hanya untuk esok yang
lebih berbahagia. Puisi ini tidak semata hanya memaparkan masalah yang dihadapi
oleh kita semua, tetapi sekaligus memberi solusi yang dirasakan akan lebih
bijak dan baik.
Dengan puisi “Ale Rasa Beta Rasa” ini
rasanya terjawab sudah pertanyaan saya yang ketiga tentang judul buku antologi
puisi para penyair Maluku 2013. Judul karya harus dapat merepresentasikan
seluruh isi karya yang dimuat dalam buku tersebut. Keberagaman gaya ungkap,
pilihan kata, dan tema karya seratus puisi dalam buku antologi ini pada
dasarnya berbicara tentang “hidup” untuk dapat mengukir sejarah, membikin
monumen kenangan, dan memurnikan rasa dari berbagai rasa yang ada. Pada
hakikatnya kita semua bersaudara, berasal dari satu keturunan nenek moyang Adam
dan Hawa. Berasal dari SATU jua, yakni Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu,
apa yang “Ale Rasa Beta Rasa”, apa yang Anda rasakan, Saya
rasakan juga. Rasa gembira dan suka cita para penyair Maluku atas terbitnya
buku antologi Biarkan Katong Bakalae
sesungguhnya juga saya ikut merasa gembira ria dan suka cita tersebut.
3. Susunan Buku
Buku
Biarkan
Katong Bakalae: Antologi Puisi Penyair Maluku 2013 yang pertama diterbitkan oleh Kantor Bahasa
Provinsi Maluku (2013) memuat 100 puisi yang ditulis oleh 28 penyair Maluku.
Dari label judul yang tertera, jelas sudah bahwa buku Biarkan Katong Bakalae dimaksudkan sebagai buku antologi atau bunga
rampai. Sebuah buku antologi atau bunga rampai bukan sekadar kumpulan atau
himpunan karangan yang berisi gado-gado, karangan bebas, atau campuran karangan
yang bermacam-macam genre, melainkan karya terpilih yang diikat oleh suatu
topik, suatu tema, atau suatu gagasan tertentu. Atas dasar pemahaman ini tentu
penyusunan sebuah buku antologi memerlukan suatu teknik tertentu dan memilih
salah satu sistematika yang sesuai dengan genre karya yang dibukukan.
Sebagaimana diketahui bahwa paling
sedikit ada lima teknik, cara, atau sistematika yang lazim digunakan untuk
menyusun sebuah antologi, yaitu (1) urutan kronologi, yaitu urutan
berdasarkan waktu, saat, masa, atau kala; (2) urutan kausal, yaitu
urutan berdasarkan sebab akibat; (3) urutan sintetis, yaitu urutan yang
mengutarakan hal-hal yang bersifat khusus, kemudian ke hal-hal yang bersifat
umum; atau sebaliknya urutan analitis, yang mengutarakan hal-hal yang
bersifat umum, lalu ke hal-hal yang bersifat khusus; (4) urutan apresiatif,
yaitu urutan berdasarkan pemilihan baik buruk, untung rugi, berguna tidak
berguna, benar salah, dan berharga tidak berharga atau bernilai tidak bernilai;
dan (5) urutan lokal/ruang, yaitu urutan berdasarkan ruang, tempat,
daerah, area, wilayah.
Bagaimana dengan
buku Biarkan
Katong Bakalae: Antologi Puisi Penyair Maluku 2013 ini?
Buku ini tidak menggunakan salah satu teori dari kelima teknik penyusunan buku
antologi di atas, tetapi menggunakan sistem alfabetis, urutan berdasarkan abjad
pertama dari nama pengarang dan abjad pertama dari judul puisi. Sistem
alfabetis lazim digunakan untuk menyusun daftar pustaka, kamus, senarai,
glosarium, atau ensiklopedia. Apakah buku antologi puisi para penyair Maluku
2013 dipadankan dengan daftar pustaka, kamus, senarai, glosarium, atau
ensiklopedia? Sehingga memperlakukan penyair sebagai entri atau lema dan karya
puisinya sebagai subentri atau sublema.
Bilamana buku antologi puisi penyair
Maluku 2013 ini rela dipadankan dengan sebuah senarai atau glosarium, mengapa penyunting
buku antologi ini sampai sebanyak empat orang (Rudi Fofid, Harlin Al-Butuny,
Erniati, Evi Olivia Kumbangsila). Apa tugas dan kerja masing-masing? Sayang,
tim penyunting tidak menjelaskan bagaimana antologi ini disusun. Buku-buku
antologi sastra seperti Gema Tanah Air,
Laut Biru Langit Biru, dan Tonggak I, II, III, IV hanya dilakukan
seorang editor. Sebuah buku antologi atau bunga rampai idealnya memang hanya seorang
penyunting atau seorang editor ahli yang memiliki kepakaran dibidangnya
sekaligus pakar bahasa. Apabila tidak memiliki kepakaran bahasa, sebuah buku
antologi dapat dilakukan oleh dua penyunting, yaitu satu penyunting ahli yang
memiliki kepakaran dibidangnya dan seorang penyunting yang memiliki kepakaran
di bidang bahasa. Penyunting kebahasaan harus benar-benar menguasai kaidah
bahasa, yang meliputi lima aspek kebahsaan, yaitu: (1) tata bunyi, (2) tata
istilah dan kosakata, (3) tata kalimat, (4) tata tulis atau ejaan, dan (5)
makna.
Susunan biodata penyair ditulis
tidak seragam. Dari 28 penyair dalam antologi ini ada 6 penyair (Henry MS, Khairus Afruz
Salampessy, M. Azis Tunny, Mohammad Hanafi Holle, Revelino Berry, dan Weslly
Johannes) yang tidak melengkapi tempat
dan tanggal lahir. Tugas penyuntinglah yang seharusnya melakukan untuk meminta
penyairnya melengkapi tanggal, bulan, dan tahun kelahirannya. Hal ini akan
memudahkan penyusunan antologi berdasarkan urutan kronologi waktu, mulai
penyair yang terlahir lebih awal (tertua) hingga penyair yang terlahir lebih
kemudian (termuda). Susunan buku antologi berdasarkan kronologi waktu akan
lebih memudahkan pembaca mengikuti arus atau sejarah pemikiran penyair daripada
susunan alfabetis.
Demikian
halnya dengan susunan karya penyair yang berupa puisi pilihan yang
diantologikan. Apakah karya puisi itu sudah dilengkapi tempat (kota), tanggal,
bulan, dan tahun penciptaan. Apabila belum, tentu tugas penyuntinglah untuk
meminta penyair yang alfa tersebut melengkapi penanda kelahiran atas puisinya.
Bagi seorang penyair, tentulah puisi-puisi yang ditulisnya itu menjadi
anak-anak pemikirannya. Ibarat seorang anak yang terlahir ke dunia harus
memiliki tanda (surat atau akte) kelahiran. Hal ini tentu akan memudahkan penyusunan
antologi berdasarkan urutan kronologi,
meskipun hanya tiga atau empat puisi dari seorang penyair yang diantologikan
dalam buku tersebut. Selain itu, penanda kelahiran puisi juga akan memudahkan
penyair apabila suatu saat nanti si penyair menerbitkan kembali puisinya
menjadi sebuah buku kumpulan puisi tunggal, seperti Hujan Bulan Juni (Sapardi Djoko Damono, 102 puisi yang ditulis 1959—1994),
Asmaradana (Goenawan Mohamad, 100
puisi yang ditulis 1961—1991), Madura,
Luang Prabhang (Abdul Hadi W.M., 100 puisi yang ditulis 1965—1991), dan Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 1
Himpunan Puisi 1953—2008 (Taufiq Ismail, xlii + 1078 halaman). Pembaca dan
peneliti sastra pun terbantu dapat memahami alur sejarah pemikiran sang penyair
yang terekspresikan dalam karya-karyanya.
4. Warna Lokal Maluku
Puisi-puisi
yang dimuat dalam buku Biarkan Katong Bakalae: Antologi Puisi
Penyair Maluku 2013 tidak
semuanya ditulis di Ambon atau daerah lain yang masih termasuk wilayah Maluku,
tetapi ditulis juga di luar daerah Maluku seperti Salatiga, Yogyakarta,
Jakarta, Semarang, Leiden, dan Depok. Hal ini menandakan mobilitas putra-putri
Maluku yang tidak hanya terpaku stagnasi terkungkung di daerahnya, tetapi
secara dinamis dapat mengikuti laju perkembangan zaman. Meskipun tengah berada
di luar daerah asal-muasalnya Maluku, mereka tidak begitu saja tercerabut dari
akar tradisi budaya daerahnya. Terbukti mereka masih setia menulis puisi yang
berkenaan dengan warna lokal atau kearifan lokal nenek moyangnya yang ada di
Maluku.
Warna
lokal atau kearifan budaya Maluku dalam percaturan sastra Indonesia modern pertama
dipopulerkan oleh Chairil Anwar dalam puisinya “Cerita Buat Tamaela” (1946),
tentang mitos “Beta Pattiradjawane”. Masih dalam bentuk puisi, penyair Mansur
Samin juga menulis kearifan budaya Maluku melalui puisinya “Apa Kata Laut
Banda” (1964) berbentuk puisi naratif 42 bait tentang kepahlawanan Christina
Martha Tiahahu (ada yang menulis: Martha Christina Tiahahu, dan Mansur Samin
dalam puisinya tersebut ditulis: Maria Christina Martha). Sepengetahuan saya,
terakhir sastrawan yang menulis tentang warna lokal Maluku adalah Y.B.
Mangunwijaya dalam novelnya Ikan-Ikan
Hiu, Ido, Homa (1983). Ikan-Ikan Hiu,
Ido, Homa dikategorikan sebagai “novel sejarah” berlatar Ternate dan Tidore
abad 16—17. Isi novel tersebut mengisahkan kemunduran kerajaan lokal yang
saling mencaplok lalu dicaplok oleh ikan yang lebih besar: penjajah. Cerita
dimulai dengan penyerbuan pasukan Ternate ke sebuah kampung suku Tobelo pada
tahun 1594. Para pembuat perahu di kampung Dowingo-Jo yang berdarah bajak laut
itu dihancurkan karena menolak membuat perahu bagi kepentingan sultan. Mereka
dipukul mundur dengan bantuan keculasan salah seorang istri kepala suku,
seorang perempuan Cina yang doyan selingkuh. Dan seterusnya.
Kehadiran
buku Biarkan Katong Bakalae: Antologi Puisi Penyair Maluku 2013 ini tentu menambah khazanah kearifan budaya
warna lokal Maluku dalam percaturan sastra Indonesia. Melalui buku antologi
para penyair Maluku 2013 ini akan mengenal banyak kosakata Melayu-Ambon, bahkan
sebagian besar tidak dipahaminya bagi masyarakat pembaca di luar Maluku,
seperti “aja, akang, ale, amaihal,
ama’u, amalatu, ana, angka, anyer, badang, badendang, badiri, bakalae, baku,
bakubae, bariska, beinusa, berang, boi, cele, da, dapa, deng, diamata, dong,
dorang, fanan, flur, hatawano, hena, horomate, ika, jang, kabas, kaeng, kapata,
kapala, kapitan, kasiang, katong, keku, kie, kiming, koli, kulibia, lania,
lanite, lawang, lenso, lima, maite, mako-mako, malawang, maleleh, malesi,
manari, manyala, marinyo, masahatu, moloku, mungare, nae, noraito, nunusaku,
nyokwa, palungku, pante, paparisa, par, parlente, paser, poku, pombo, pono,
pung, raha, re, roto, sakarang, salawaku, sandiri, saniri, sapa, sasi, silir, siwa,
soa, sombar, sopi, su, sudara, tabuka, tacampor, tagepe, tahuri, tailing, tala,
tamatu, tampa, tarang, tehuo, tempayang, tiop, tobu, tolu, tun’nyo, tusu, uku, uku
haa, uli, unar, upasrui, upu, upulatu, dan wakat”. Bahkan dalam satu larik puisi ada yang ful bahasa Melayu-Ambon,
seperti “a boi nyokwa da fanan nae re”, “Anyer
pante tusu dong”, “Kaeng berang ika kapala”, “Marinyo tiop kulibia”, “Moloku
Kie Raha”, “poku roto tun’nyo kabas paser”, “Tampa pinang akang su tabuka”, “Upu
Lanite, Upu Meite”, “Upulatu Kapitan Uli siwa”, “Uku tolu, uku haa, malesi,
tehuo”, “Kapata horomate leluhur Beinusa Amalatu”, dan “Horomate horomate datuk Beinusa Amalatu”.
Pembaca yang berasal dari luar etnis Maluku dan
tidak mengerti bahasa Melayu-Ambon, tentu akan mengalami kesulitan memahami
makna puisi yang dimuat dalam buku antologi tersebut. Apabila buku antologi
puisi ini hendak diedarkan secara nasional, bukan sekadar untuk kalangan warga
masyarakat Maluku, tentunya penyunting melengkapi dengan senarai, glosarium,
atau kamus Melayu-Ambon atas kosakata yang digunakan dalam penulisan puisi yang
dimuat buku antologi ini. Hal ini dimaksudkan agar pembaca yang berada di luar
etnis Maluku dapat memahami dengan benar kearifan budaya Maluku tentang salawa,
bakubae, bakalae, lima siwa, upu lanite, upu maite, uku tolu, dan sebagainya.
Apalagi sekarang Badan Bahasa tengah mengadakan “Penelitian Nilai-Nilai dalam
Bahasa dan Sastra untuk Pembentukan Karakter Bangsa: Identifikasi Nilai-Nilai
Pembentukan Karakter Bangsa” yang hasilnya akan digunakan untuk menyusun buku
pelajaran sekolah, dari sekolah dasar hingga ke perguruan tinggi. Sastra warna
lokal daerah akan menjadi dominan dalam penelitian tersebut. Penelitian sastra
tersebut mengarah pada nilai logika, estetika, dan etika. Logika menjabarkan
pemahaman anak didik tentang nilai benar dan salah dalam bertindak. Estetika
menjabarkan pemahaman anak didik tentang nilai keindahan. Sementara itu, etika
menjabarkan pemahaman anak didik tentang nilai baik dan buruknya perbuatan
(akhlak, moral). Ketiga nilai dasar itu telah dikembangkan lebih lanjut oleh
Pusat Kurikulum Departemen Pendidikan Nasional pada tahun 2010 menjadi 18
nilai, meliputi nilai: (1) religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin (5)
kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu (10)
semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13)
bersahabat atau komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli
lingkungan (17) peduli sosial, dan (18) tanggung jawab. Siapa tahu beberapa puisi
yang dimuat dalam buku antologi ini dapat dipakai sebagai sampel atau contoh
dari salah satu nilai, atau beberapa nilai, dan dipergunakan sebagai bahan
pembelajaran bahasa dan sastra di sekolah-sekolah secara nasional.
5. Penutup
Ada
pepatah bahasa Indonesia yang menyatakan bahwa “tiada gading yang tidak retak”.
Demikian juga dengan penerbitan buku antologi puisi penyair Maluku 2013 ini.
Meskipun masih ada kekurangan, wajar manusia tidak ada yang sempurna,
penerbitan buku Biarkan Katong Bakalae:
Antologi Puisi Penyair Maluku 2013 menjadi sebuah momentum kebangkitan
sastrawan Maluku dalam beraktivitas sastra. Bagaimanapun terbitnya buku
antologi puisi ini telah memberi pencerahan bagi kami, ada banyak tuntunan yang
menuju arah kebajikan hidup, dan juga memberi hiburan bagi kami pembaca. Saya
berharap para penyair yang dimuat karyanya dalam buku antologi ini tidak
berpuas diri dan tidak berhenti sampai di sini. Semoga dengan terbitnya buku antologi ini semakin
bersemangat, semakin berkreativitas, dan semakin menunjukkan kualitas bersastra
pada karya-karya berikutnya.
Salam
dan doa kami menyertai kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar,
Chairil. 2009. “Cerita Buat Dean Tamaela” dalam Chairil Anwar: Aku Ini Binatang Jalang (editor Pamusuk Eneste).
Cetakan 21. Cetakan pertama 1986. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Machsum,
Toha (Penyelia). 2013. Biarkan Katong
Bakalae: Antologi Puisi Penyair Maluku 2013. Ambon: Kantor Bahasa Provinsi
Maluku.
Mangunwijaya,
Y.B. 1987. Ikan-Ikan Hiu, Ido, Homa.
Jakarta: Jambatan.
Samin,
Mansur. 1996. “Apa Kata Laut Banda” dalam Dendang
Kabut Senja: Tiga Kumpulan Sajak 1955—1970. Jakarta: Aladin.
Santosa,
Puji. 2003. Bahtera Kandas di Bukit:
Kajian Semiotika Sajak-Sajak Nuh. Surakarta: Tiga Serangkai Pustaka
Mandiri.