Thursday 29 July 2010

Teladan Ibu R. Soepandji

FEATURES
Senin, 22 Desember 2008 , 16:27:00
Ny Roesmiati Soepandji, Ibu Hebat yang Punya Anak-Anak Sukses

Foto : Rildwan/JAWA POS

Ini adalah cerita Ny Roesmiati, seorang ibu yang punya anak-anak sukses. Ada yang menjadi Jaksa Agung, Dirjen di Departemen Pertahanan dan petinggi TNI AD. Di hari Ibu ini, Ny Roesmiati berbagi pengalaman.

Laporan Ridlwan, Magelang




SALAH satu ibu hebat itu adalah Ny Roesmiati, ibunda Jaksa Agung Hendarman Soepandji. Dari rahim wanita 84 tahun itu, lahir enam anak yang semua membanggakan.

Enam anak itu hasil dari pernikahannya dengan almarhum Brigjen (pur) dr Soepandji. Anak pertama, Hendarto, kini menjadi dokter, sekaligus pensiunan dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang. Kedua, Hendarman Soepandji yang kini dipercaya menjadi jaksa agung.

Ketiga, Hendarti, satu-satunya perempuan, yang berprofesi sebagai psikolog. Keempat, Mayjen Hendarji Soepandji, mantan komandan Pusat Militer TNI-AD yang kini menjabat asisten pengamanan kepala staf Angkatan Darat. Mayjen Hendarji itulah yang berhasil mengungkap kasus penimbunan puluhan senjata api di rumah almarhum Brigjen Koesmayadi dua tahun silam.

Kelima, Prof Dr Ir Budi Soesilo Soepandji, Dirjen Potensi Pertahanan dan Keamanan di Departemen Pertahanan dan pernah menjadi dekan Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Yang bungsu, Ir Bambang Trisasongko MSc, adalah insinyur teknik mesin yang sekarang menjadi pengusaha.

Tentu saja, melihat anak-anaknya sudah menjadi ''orang'', bahkan bukan ''orang sembarangan'', Ny Roesmiati merasa tenang. ''Sebagai orang tua, saya hanya mendoakan mereka,'' kata wanita kelahiran Purwokerto 25 September 1924 itu kepada Jawa Pos yang berkunjung ke rumahnya di Jl A. Yani, Magelang, Jawa Tengah, Kamis petang lalu (18/12).

Sepeninggal suaminya yang puput usia sepuluh tahun lalu, Bu Pandji -panggilan akrab Ny Roesmiati- menetap di rumah itu. Setelah pensiun dari dinas militer, dr Soepandji sempat mengajar di Fakultas Kedokteran UGM (Universitas Gadjah Mada). Namun, dia tetap memilih tinggal di rumah yang tak jauh dari Akademi Militer itu.

Sehari-hari Bu Pandji ditemani Yati, pembantunya, dan seorang lagi pembantu laki-laki yang ikut menjaga keamanan rumah. Anak kecil yang membukakan pintu saat Jawa Pos mengetuk pintu rumah tersebut adalah Reza, anak Yati, yang duduk di taman kanak-kanak.

Meski tinggal jauh dari anak-anaknya (semua tinggal di Jakarta), Bu Pandji tak pernah merasa kesepian. ''Saya bersyukur karena anak-anak kalau sedang dinas ke sini selalu mampir. Apalagi, lingkup tugas mereka memang sering ada acara di Magelang,'' katanya. Komunikasi melalui telepon dengan anak, menantu, dan cucu juga tak pernah putus.

''Kalau Idul Fitri, saya yang diboyong ke Jakarta. Lebih praktis, hemat waktu, dan segalanya,'' cerita nenek 14 cucu dan enam buyut itu. Nada bicara Bu Pandji masih sangat tegas meski pengucapannya lembut. Semua putra-putri Bu Pandji memang berkarir di ibu kota.

Apa rahasianya bisa sukses membesarkan dan mendidik semua anak-anaknya? Ditanya seperti itu, ibu yang masih aktif menjadi anggota Dewan Pembina Senam Sehat Indonesia itu malah tersenyum. ''Wah, sebenarnya saya ini juga tidak punya resep khusus. Apa ya wangun (pantas) saya diwawancarai,'' ujarnya merendah.

Sejak masa-masa perang kemerdekaan, Bu Pandji aktif mendampingi suami bergerilya. Dalam situasi penuh keprihatinan, dia membesarkan anak-anaknya. ''Hendarman itu pernah hilang saat usianya dua tahun di Cawas, Klaten,'' ceritanya, mengingat-ingat peristiwa puluhan tahun silam. Ketika itu, lanjut dia, Hendarman hilang persis saat hari ulang tahunnya, 6 Januari 1947.

Saat itu Bu Pandji sedang bertugas di garis belakang dan merawat anak-anak tentara yang kehilangan orang tua. Ada 17 anak tentara yang harus diopeni (dirawat). ''Karena tidak punya uang, celana Pak Pandji saya tukar dengan 100 kilogram beras. Beras itu saya bagi untuk 17 anak, masing-masing kebagian satu lepek (piring kecil),'' tuturnya. Hari itu kebetulan adalah hari kelahiran Hendarman. Bu Pandji berusaha menyisihkan sebagian beras itu untuk membuat kue untuk acara anak keduanya itu.

Tapi, hari itu juga bertepatan dengan serangan bom bertubi-tubi dari tentara Belanda. Penduduk harus berlindung, mengungsi, dan berpindah-pindah tempat. Betapa kagetnya ketika sore dia disusul kurir dan mengabarkan posisi suaminya. ''Dalam surat itu, Bapak bilang dalam kondisi sehat dan baik. Tapi, Hendarman tidak disebut,'' katanya. Saat itulah, baru disadari bahwa Hendarman hilang.

Sebagai ibu, tentu saja Bu Pandji sangat panik saat itu. Beruntung, setelah beberapa hari baru diketahui bahwa Hendarman diselamatkan salah seorang pejuang. ''Rasanya lega sekali,'' katanya.

Di masa-masa setelah perang kemerdekaan, Bu Pandji tetap menjalani hidup prihatin.Apalagi sebagai dokter tentara, suaminya sering berpindah-pindah tempat tugas.

Sebagai istri prajurit, Bu Pandji pernah merasakan hidup di berbagai medan. Di antaranya, berada di situasi perang dalam menghadapi pemberontakan PRRI, DI/TII di Sulawesi Selatan, dan operasi pembebasan Irian Barat. Itulah yang membuatnya terlatih menghadapi berbagai masalah dalam kehidupan.

''Saya puasa untuk tiap anak saya. Semua bagi saya istimewa dan membanggakan,'' katanya. Bu Pandji berpuasa tiga hari setiap pasaran hari lahir anaknya dalam perhitungan kalender Jawa. Misalnya, hari pasaran anaknya jatuh pada Senin Wage. Maka, mulai Minggu Pon, dia sudah berpuasa hingga sehari setelahnya, yakni Selasa Kliwon.

''Saya juga puasa untuk hari lahir saya dan hari lahir suami. Jadi, total seharusnya 24 hari sebulan. Tapi, karena ada anak yang sama hari lahirnya, tinggal 18 hari dalam sebulan. Jadi, dalam sebulan, saya berpuasa 18 hari,'' katanya.

Itu dilakukan Bu Pandji hingga semua anaknya kuliah. ''Sekarang mereka dan menantu-menantu saya yang melakukannya. Saya sendiri sudah tidak puasa karena pertimbangan kesehatan,'' katanya.

Meski demikian, jika ada anak-anaknya yang sedang menjalani ujian berat dalam kehidupan, Bu Pandji masih sering puasa untuk anak-anaknya. ''Tapi, ingat, jangan pamrih. Kalau pamrih, justru tidak benar. Misalnya, ah saya mau puasa agar anak saya jadi jaksa agung. Nah, itu yang salah. Puasa itu mohon pertolongan Tuhan agar anak-anak diberi yang paling baik. Semua pinaringan Gusti (pemberian Tuhan, Red) itu pasti baik,'' paparnya.

Bu Pandji tak pernah memaksa anak-anak memilih jalur hidup tertentu. Misalnya, memaksa agar menjadi tentara, dokter, dan sebagainya. ''Mereka memilih sendiri,'' katanya. Dia mencontohkan, Hendarman setelah lulus SMA 1 Magelang ingin masuk menjadi anggota KKO/Marinir (TNI-AL).

''Waktu itu dia sakit, harus operasi. Tapi, dipanggil untuk tes, ya nekat. Saat disuruh push up sebelas kali langsung semaput. Setelah sadar, dia minta diulang. Eh, tiga kali semaput. Ya sudah, dia pulang,'' ceritanya, lalu tersenyum.

Setelah itu, Hendarman yang lulusan jurusan ilmu pasti itu masuk ke Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, dan berkarir menjadi jaksa hingga sekarang.

Selain puasa, Bu Pandji menekankan pentingnya menjaga sikap saat mengandung. ''Biasakan dengan sifat rilo (rela), nrimo (menerima, ikhlas), jujur, sabar, dan budi luhur. Insya Allah, itu juga akan membawa kebaikan untuk anak-anak yang akan dilahirkan,'' katanya.

Masih Aktif di Organisasi

Peringatan Hari Ibu bagi Ny Roesmiati atau Bu Pandji selalu menjadi saat istimewa. Itu disebabkan, dia pernah memimpin gabungan organisasi wanita (GOW) di Magelang selama enam periode (1969-1992). ''Peringatan Hari Ibu di Indonesia itu kan beda dengan Eropa. Di sana Mother's Day tiap Maret dan pada hari itu wanita benar-benar tidak bekerja. Sedangkan kita kan mengenang kongres perempuan pertama 1928 di Jogja,'' kata ibunda Jaksa Agung Hendarman Soepandji tersebut.

Saat memimpin organisasi wanita di Magelang, Bu Pandji mewakili berbagai organisasi. Di antaranya Persatuan Istri Prajurit (Persit), Ikatan Istri Dokter Indonesia, dan Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia. Sekarang Bu Pandji juga masih aktif sebagai pembina Senam Sehat Indonesia. ''Saya ini pelatih utama nasional lho. Jadi, saya juga masih sering turun ke lapangan,'' katanya.

Ibu yang menguasai bahasa Belanda dan Inggris'itu adalah putra dr Roestamadji, ahli penyakit kulit di Purwokerto, Jawa Tengah. Pada masa penjajahan Belanda, hanya pribumi yang orang tuanya dokter atau bupati bisa belajar di sekolah Belanda. Karena itu, dia memulai pendidikannya dari lagere school, lalu MULO (setingkat SMP), kemudian AMS (setingkat SMA). Di antara 80 siswa lagere school-nya, hanya 30 orang yang bisa masuk MULO bagian B, termasuk dia.

Bu Pandji juga pernah menjadi juara berhitung di sekolah menengah di Jawa Timur, juga di Karesidenan Banyumas, Jawa Tengah. Kegemarannya berolahraga mengantarkan dia menjadi juara bulu tangkis se-Karesidenan Banyumas pada 1937 dan 1942 dia menjadi juara bulu tangkis sekolah setingkat SMA se-Jawa Timur.

Kini di hari tuanya, Bu Pandji aktif memberi ceramah ke berbagai tempat. ''Tahun ini saya mengisi di Papua dan Sulawesi, yang datang memang terutama wanita,'' katanya. Dia juga aktif di Paguyuban Ngesti Tunggal (Pangestu), sebuah organisasi olah jiwa yang berdiri pada 20 Mei 1949 di Surakarta. Sekarang anggotanya sudah 200 ribu orang. ''Ya, memang lebih sedikit jika dibandingkan jumlah jamaah haji tiap tahun,'''ujarnya.

Anak-anak Bu Pandji juga menjadi pengurus Pangestu. Prof Dr Budi Susilo Soepandji, anak kelimanya, menjadi ketua III Pangestu. Hendarman dan Hendarji menjadi anggota Dewan Pertimbangan Pangestu. ''Itu olah jiwa agar lebih dekat kepada Tuhan,'' katanya.

Di berbagai kota, Bu Pandji sering memberi materi tentang peran wanita dalam rumah tangga. ''Ada empat, yakni wanita itu pendamping dan kekasih suami, wanita sebagai penerus keturunan, wanita sebagai pendidik pertama dan utama bagi putra-putrinya, dan wanita sebagai abdi masyarakat,'' jelasnya. Berkarir di bidang apa pun tidak menjadi masalah sepanjang berpedoman pada prinsip itu.

''Mendampingi suami itu bukan berarti ngintil ke mana-mana, tapi bisa juga dengan doa,'' ujarnya. Bu Pandji juga mengingatkan para istri agar selalu berpikir positif pada suami.(kum)

(Dipetik dari Jawa Pos Online)

2 comments:

  1. Replies
    1. Memang kisah yang sangat inspiratif sekali, bahkan sekarang (2012) ini putra kelima beliau, Prof. Dr. Ir. Budi Susilo Soepandji, DEA, menjabat sebagai Gubernur Lemhanas RI, dilantik 17 Februari 2011, menggantikan Prof. Dr. Muladi, S.H.

      Delete

Pertemuan 15 Teori Sastra Tempatan