Sunday 11 July 2010

Ombak Pantai


OMBAK PANTAI
Cerpen: Puji Santosa
       Aku berjalan di pinggiran pantai menuju ke tengah laut. Lenggang jalan aku buat sesantai mungkin. Percikan-percikan ombak kadang memba­sah di wajah. Seakan-akan tiada takut mengahadap marabahaya yang sewaktu-waktu dapat memakan jiwa kami. Namun, ini merupakan tantangan hidup buat insan Tuhan: tabah, berani, dan senantiasa sadar kepadanya.
       Langkahku terhenti ketika Mas Hendra memegang pundaku. Sementara itu, aku masih tetap diam membisu. Sengaja dia kubiarkan larut dalam angan-angannya. Untuk mengambil ancang-ancang mengeluarkan kata-kata dalam hatiku, kucoba mengatur napas yang sejak tadi masih kelihatan ingah-ingih. Mas Hendra pun tampaknya mengambil napas dalam-dalam, lalu keluarlah kata-katanya.

       “Lia, katakan! Kenapa kau mengajakku ke mari?”
       Pertanyaan Mas Hendra tidak aku jawab. Kubiarkan Mas Hendra memegang tanganku dan menuntun aku naik ke daratan. Seakan seperti orang buta yang tidak tahu arah, ke mana harus melang­kah? Dan aku dituntun ke mana saja yang Mas Hendra sukai. Sesampainya di bawah pohon flamboyan kami berhenti. Kemudian aku duduk di sebuah bangku kecil, sedang Mas Hendra tetap berdiri sambil memandang jauh ke cakrawala biru.
       Angin pantai bertiup semilir sejuk sampai batas hati. Kesegaran yang ditiupkan angin itu seakan baru kali ini kudapatkan, rasanya lain daripada yang lain. Tiba-tiba hatiku meratap. Merasa iba melihat nelayan kecil yang mencari ikan di tengah lautan. Ia bergelut dengan maut, melawan terjangan badai dan ombak. Dengan ketabahan dan keuletan penuh gairah menyongsong hari esok yang penuh keseder­hanaan. Namun, itu semua menandakan perilaku yang bertanggung jawab atas diri dan keluarganya.
       “Lia, tolong segera katakan! Apa sebenarnya yang kau kehendaki, Lia?” Ucap Mas Hendra membuyarkan lamunanku. Sambil tetap acuh tak acuh, aku mengubah posisi duduk menghadap ke pantai lepas. Namun, dalam hati tidak tega juga, terpaksa aku jawab.
       “Tentunya kau sudah mengesrti apa maksudku, Mas!”
       “Lia, mana mungkin aku tahu isi hatimu?” Mas Hendra membantah jawabanku. Sebenarnya aku ingin segera mengatakan apa yang terpendam di kal­buku selama ini. Namun, denyut jantungku semakin cepat berdetak, bergemuruh dengan gelombang goncangan dada yang menahan emosi. Aku tidak mau menunda lagi persoalan ini, senyampang ada kesempatan dan waktu, persoalanku harus diselesai­kan sekarang juga.
       “Mas...., kenapa kau akhir-akhir ini jauh dari sisiku?”
       Mas Hendra cuma diam membisu, seakan tidak mendengar kata-kata yang kuucapkan. “Mas, mungkinkah engkau telah menemukan gadis yang lebih top, lebih cakep dariku? Sekarang juga katakan! Katakanlah, Mas. Senyampang saya ada di sini. Aku akan menghadapinya dengan ketabahan dan penuh pengertian.”
       “Lia, kenapa kau sampai hati menuduhku demikian?!”
       Aku jengkel atas ucapan Mas Hendra yang demikian itu. Ia sepertinya masa bodoh terhadap masalah ini. Menganggap persoalan ini kecil, hanya sepele. Tak lagi menghiraukan aku. Ia tidak menyadari atas kesalahan yang telah diperbuat. Barangkali kura-kura dalam perahu, pura-pura saja tidak tahu. Dalam hati aku menjerit. Pandanganku sayu, dan air mata mulai membasahi pipiku. Keringat dingin pun mulai mengalir hingga sekujur tubuhku basah menggigil, menahan gelora dingin panasnya hati yang resah kecewa. Akhirnya, pandanganku kubuang jauh-jauh ke cakrawala, ke langit biru, ke gunung-gunung, dan ke lembah-lembah, serta ke deburan ombak, yang pagi ini barangkali sebagai saksi bisu atas peristiwa di sebuah pantai kecil yang kelabu.
       “Mas, aku tahu hubunganmu dengan Maryati,” suaraku serak.
       “Lia...., apa katamu Lia?” Mas Hendra tampaknya terkejut.
       “Bukankah engkau mencintai Maryati, Mas?” Tuduhku kepada Mas Hendra seketika itu juga. Aku senang, ternyata ada tanggapan. Mas Hendra sangat responsif atas tuduhanku itu.
       “Kau menuduhku, Lia?! Kenapa kau menuduhku demikian, Lia?!”
       “Apa Mas Hendra perlu buktinya? Data-data yang masuk telah banyak kuperoleh. Ada yang kulihat langsung, ada laporan pandangan mata dari orang lain, dan ada pula gambar-gambar hasil bidikan digital teman-teman. Ingat, waktu riset di lembah Gunung Slamet, siapa yang mandi berdua bersama Maryati itu? Pratikum histologi, siapa yang dibela­kang main ciuman? Malam kesenian menyambut dies natalis kampus kita, siapa tengah malam yang menghantarkan Maryati pulang? Puskesmas Suka­mandi, siapa yang masuk ke kamar berobat berdua itu?”
       “Kau cemburu?! Kau iri hati sama Maryati, Lia?!”
       “Busyet...! Setan belang kuntil jajal anak! Kenapa hal itu engkau tanyakan, Mas?!”
       Aku menjerit sejadi-jadinya. Tak terkontrol lagi kata-kata yang keluar dari mulutku. Air mata yang sejak tadi terbendung, kini mulai jatuh berlinang membasahi bumi persadaku. Rasa hatiku seperti disayat-sayat, sakit, sakit sekali, teriris pedih, dan sangat perih. Aku jengkel, heran, dan berbagai perasaan bingung, berkecamuk di hati dan angan-anganku. Tampaknya Mas Hendra betul-betul tidak mau tahu perasaanku.
       Aku sangat mencintai Mas Hendra luar dan dalam. Sudah barang tentu setiap gadis yang mencintai pria idaman, tidak mau disisihkan oleh gadis yang lain di sisi pria idaman itu. Lebih-lebih, gadis itu adalah kawanku sendiri, satu kampus, tentu betapa sakitnya hati ini. Aku percaya, betapa kuatnya iman gadis itu, kalau mengalami cobaan seperti aku ini, tentu tidak mau disisihkan dari sang kekasih tercinta. Mas Hendra yang telah menjadi bagian dari hidupku, sebab aku telah berbacaran dengan Mas Hendra selama lima tahun sejak mahasiswa tingkat pertama.
       “Lia, kau salah paham!”
       “Aku tidak buta, Mas. Mataku belum lamur!”
       “Kau harus sabar, Lia. Jangan emosi!” Mas Hendra tampak kebingungan. Aku diam mematung.
       Peristiwa demi peristiwa selalu aku catat dalam ingatanku. Akhir-akhir ini Mas Hendra tak pernah kunjung ke rumah. Lebih-lebih musimnya KKN, ia tidak pernah apel atau mengajaku kencan. Biasanya malam Minggu mengajakku nonton di Metropole Theater atau di TIM, tapi sekarang berjalan-jalan ke mall pun tidak pernah. Bagaimana rasa cinta itu dapat hidup subur jika tanpa pernah dipupuk dan disiraminya?
       Selidik demi selidik ternyata Mas Hendra sudah bergandengan dengan Maryati. Ditinjau dari segi fisiknya, memang aku sedikit kalah. Penampilan Maryati di depan mahasiswa memang cukup meya­kinkan. Kuakui bahwa setiap manusia itu memiliki gaya tarik tersendiri. Apa yang ada padaku tidak dimiliki orang lain. Demikian juga sebaliknya, apa yang dimiliki Maryati aku juga tidak punya. Setiap manusia itu ada kekhasan tersendiri.
       Kesedihan yang kusandang segera diketahui oleh kedua orang tuaku. Aku satu-satunya anak manja dan paling diperhatikan. Kalau aku cukup bangga dapat dibilang bahwa papaku adalah seorang dokter yang merangkap dosen Fakultas Kedokteran Univer­sitas Indonesia, masih muda sudah bergelar profesor doktor spesialis. Lagi pula ia bertindak sebagai Pena­sihat Akademis dan sekaligus pembimbing skripsi Mas Hendra. Tak heranlah bila aku sering bertemu, selain di kampus juga di rumah.
       Kusampaikan apa saja yang terjadi terhadap diriku kepada kedua orang tuaku. Papa dan mama cukup bijak bestari. Aku diberi berbagai nasihat, karena mamaku adalag seorang psikiater, atau petuah yang sangat berharga bagi bekal hidupku. Mama memberi saran dan jalan pemecahan. Papa ikut mendukung saran mama. Akhirnya, terlaksana­lah aku mengajak Mas Hendra di tepi pantai ini.
       “Lia, percayalah padaku. Aku sangat mencintai­mu. Sungguh, aku tidak ada hubungan apa-apa dengan Maryati.” Kata-kata Mas Hendra membuyar­kan lamunanku.
       “Mas, jangan sekali-kali engkau membohongi aku dan dirimu sendiri. Aku rela engkau menjadi milik Maryati.Milikilah dia, Mas. Jangan sekali-kali engkau merasa iba padaku. Hati kecilku telah memandang jauh ke depan. Kan kulupakan segala yang terjadi. Aku rela engkau menjadi miliki orang lain, terlebih itu Maryati. Bukankah dia cantik, Mas? Lincah dan penuh gairah. Aku percaya, sebentar lagi darahmu mengalir di rahimnya. Dengan subur pula­lah orok itu akan tumbuh. Engkau dapat menikmati kepuasan hatimu. Silahkan, Mas. Sekali lagi, aku rela engkau menjadi milik Maryati, Mas”. Kata-kataku yang kesal dan penuh keputusasaan, serta pasrah akan nasib, meluncur begitu saja tanpa terkendali.
       “Jangan berkata demikian, Lia. Maafkanlah aku. Sebenarnya aku cuma menguji kesetiaan dan cinta­mu padaku. Ternyata kau agung, mulia, dan tabah menghadapi cobaan yang tidak sembarangan ini. Aku bukan lelaki buaya darat. Kuucapkan terima kasih atas kesetiaan dan kemuliaan hatimu, Lia”. Tutur Mas Hendra sambil membelai rambutku. Dengan kelembutannya Mas Hendra memelukku dan menci­umnya. Pada titik kulminasi inilah kami berdua saling menumpahkan rasa rindu, kasih, dan cintanya yang tulus dan mulia.

       (Kado ulang tahun buat Kristina Maria, 25 Desember 1969–-25 Desember 1991)

       (Dikutip dari Puji Santosa. 1991. “Ombak Pantai”. Harian Terbit, Minggu, 12 Januari 1992, dalam Rubrik Seni dan Budaya)

No comments:

Post a Comment

Pertemuan 15 Teori Sastra Tempatan