/1/
            Di dalam khazanah sastra  Indonesia modern kita mengenal suatu persoalan kemajemukan budaya bangsa  sebagai akibat dari keragaman etnis. Menghadapi persoalan kemajemukan  budaya bangsa ini kita harus berpandangan luas, tidak sempit, dan tidak  primodial. Kita anggap bahwa keragaman etnis dapat menghadirkan temu  budaya dan temu etnis yang terwadahi dalam sastra Indonesia modern.  Martabat dan harga diri bangsa sebagai identitas keindonesia yang  tertuang dalam nilai-nilai budaya etnis tersebut jelas dapat diapresiasi  melalui karya sastra Indonesia modern. Sebab, di dalam kemajemukan  budaya itulah mitologi yang dimiliki oleh suatu kelompok etnis tertentu  menjadi perantara yang dapat menghubungkan "Indonesia" dengan realitas  budaya yang majemuk tersebut. Indonesia itu sendiri baru dianggap  sebagai abstraksi dari keinginan untuk bersatu dari berbagai kelompok  etnis di seluruh wilayah Nusantara.
Pandangan Umar Kayam yang tertuang dalam bukunya 
Seni, Tradisi, Masyarakat (1981)  bahwa ada jadwal bagi berbagai kelompok etnis di Indonesia yang  berbeda-beda dalam proses untuk "mengindonesia"-kan diri menjadi sebuah  Indonesia, yang kini tentu hasil pengindonesiaan itu dapat dilihat dan  dirasakan oleh kita semua. Untuk menjadi Indonesia itu tampaknya  orang-orang dari daratan Melayu telah melakukannya pada jadwal yang  termasuk paling awal dibandingkan dengan orang-orang dari daratan Jawa,  Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua, misalnya dengan  diikrarkannya Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Hal ini tidak serta merta  harus ditafsirkan bahwa orang-orang Melayu lebih Indonesia daripada  orang-orang Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, atau Papua  tersebut. Ini berarti lebih dahulu atau lebih kemudian dalam proses  "mengindonesia" itu tidak menjadi jaminan mutlak karena perwujudan  Indonesia itu merupakan sebuah proses panjang yang mengalami pasang  surut dan silih berganti seiring dengan pasang surut dan silih  bergantinya kondisi dan situasi politik negeri ini.
             Proses menjadi Indonesia yang harus dialami oleh berbagai kelompok  etnis di Nusantara ini harus dilalui dengan penggalian nilai-nilai  budaya lokal atau budaya setempat yang untuk selanjutnya  diaktualisasikan dalam napas Indonesia. Begitulah, dalam penggalian  sumber-sumber budaya lokal atau budaya setempat yang salah satu wujudnya  adalah mitologi itu terjadi pengungkapkan nilai-nilai budaya yang  terkait dengan kelompok etnis. Ujung dari proses itu adalah ditemukannya  mitologi Indonesia sebagai bentuk penafsiran manusia Indonesia dengan  latar etnis yang beragam. Mitologi yang digalinya dari sumber budaya  etnisnya itu dapat terjadi setelah "membaca" realitas Indonesia yang  dihadapi dan dihidupinya dari masa lalu, kini, dan yang akan datang.  Oleh karena itu, kita seharusnya mengenal mitologi Minang, mitologi  Batak, mitologi Jawa, mitologi Sunda, mitologi Bali, mitologi Madura,  mitologi Dayak, mitologi Bugis, mitologi Toraja, mitologi Sasak,  mitologi Papua, dan juga mitologi Melayu.
Mitologi yang  berakar pada budaya kelompok etnis itu boleh disebut sebagai "dasar  pijakan" bagi kehadiran mitologi Indonesia dan sekaligus penghubung  antara Indonesia yang abstrak dan realitas keindonesiaan yang tengah  menjadi. Atas dasar pikiran itu, fungsi mitologi etnis adalah penghubung  ke dunia realitas budaya yang konkret dan mampu menjembatani jarak  budaya antarkelompok etnis di Indonesia. Oleh karena pentingnya mitologi  sebagaimana terurai di atas, sesungguhnya sangat relevan dengan  pernyataan Sapardi Djoko Damono dalam bukunya 
Politik, Ideologi, dan Sastra Hibrida (1999:43)  bahwa tidak bisa dibayangkan adanya sastra yang sama sekali lepas dari  mitologi. Dengan kata lain, sastra Indonesia modern yang dihidupi oleh  pengarang dari berbagai kelompok etnis di Indonesia dan berakar pada  bahasa, sastra, dan budaya Melayu itu tidak steril dari pengaruh  mitologi dalam berbagai wujud dan jenisnya, termasuk mitologi Melayu.  Hal ini berkaitan dengan anggapan bahwa bahasa, sastra, dan budaya  Indonesia yang kini telah terbentuk wujudnya itu berakar pada bahasa,  sastra, dan budaya Melayu. Tentu hal itu telah mengalami perkembangan  sesuai dengan situasi dan kondisi keindonesiaan kini.
/2/
             Orientasi sastrawan kita dalam berkarya, termasuk menulis puisi, pada  awalnya memperlihatkan kecenderungan utama untuk memadukan antara  “mendaerah” dengan "membarat". Bahan yang ada, objek dan substansi  puitik serta tradisi memang berasal dari daerah atau etnis, namun cara  pandang dan pendidikan berasal dari dunia Barat. Dengan cara pandang  seperti itu dimaksudkan adanya semangat di kalangan pengarang untuk  mengungkapkan nilai-nilai yang berakar pada dunia kedaerahan yang  dipadukan dengan pemikiran Barat, terutama dunia perkotaan dan  modernisasi sebagai dasar berpijak mereka. Hal ini terwujud dalam bentuk  puisi-puisi soneta atau balada, yang mencoba memadukan antara pantun  Melayu dan mitologi daerah dengan tradisi puisi Barat. Hal ini tentu  dapat dimaklumi bahwa kondisi dan situasi saat itu Indonesia berada di  bawah kekuasaan kolonial Barat (Belanda) sehingga jalan masuk ke dunia  internasional atau arus global mau tidak mau harus melalui Belanda.
            Goenawan Mohamad dalam bukunya 
Potret Seorang Panyair Muda Sebagai Si Malin Kundang (1972:44-45)  menyebut ihwal seperti itu sebagai pendurhakaan terhadap nenek moyang  yang dicitrakan sebagai kampung halaman dengan meminjam legenda “Malin  Kundang” sebagai sangkutan pikiran untuk gejala itu. Disebutkannya Sitor  Situmorang yang menulis sajak dengan judul "Si Anak Hilang" sebagai  Malin Kundang yang setelah mengembara jauh dari kampung halamannya si  anak itu tidak mau kembali. Apa yang dinyatakan oleh Goenawan Mohamad  sebelumnya mengangkat persoalan keterpencilan sastra Indonesia dari  khalayaknya yang disebabkan oleh ketercerabutan sastrawan Indonesia dari  akar budaya etnis asalnya sehingga pembaca sastra Indonesia kehilangan  sangkutan pikirannya ke bumi Nusantara (Indonesia yang terwujud dalam  budaya etnis) tampaknya merupakan hasil kajian yang pumpunannya adalah  sastra dasawarsa 1950-an yang terbatas pada bacaan Goenawan sendiri.  Tentu saja sekarang hal itu telah berubah, bahkan warna setempat atau  warna lokal karya sastra Indonesia modern kini menjadi suatu  kecenderungan umum meskipun sikap, pandangan, dan perhatian dunia Barat  tetap mempengaruhi ekspresi estetis para sastrawan Indonesia.
             Pada perkembangan sastra Indonesia modern dengan "dipelopori" Amir  Hamzah, penyair zaman Pujangga Baru, memulai kecenderungan baru dengan  menulis di atas pijakan semangat budaya setempat atau lokal, yakni  semangat kembali ke kampung halaman, yang disebut dengan nama tanah  Melayu. Sajak baladanya yang berjudul “Hang Tuah”, “Batu Belah”, “Bonda  I”, “Bondo II”, dan “Kamadewi” yang ditulis pada tahun 1930-an, jelas  menunjukkan akar yang kuat pada bahasa, sastra, dan budaya Melayu. Hal  ini berarti ada kecenderungan baru dalam perkembangan dunia pemikiran di  lingkungan para pengarang sastra Indonesia modern, meskipun tetap juga  ada yang berpijak ke Barat, seperti pada diri Sutan Takdir Alisyahbana  dengan 
Layar Terkembang dan tentu saja Chairil Anwar dengan 
Ahasveros dan
 Eros-nya sebagai pewaris syah kebudayaan dunia.
             Langkah Amir Hamzah itu kemudian diikuti oleh Mansur Samin Siregar  dalam beberapa sajaknya, antara lain, “Jelmaan”, “Raja Singamangaraja  XII”, “Harimau Pandan”, “Delitua”, “Sukadana”, “Buradaya”, dan  “Sibaganding Sirajagoda”; Sitor Situmorang dengan sajaknya “Kisah  Harimau Sumatera”, dan Iwan Simatupang dengan sajaknya “Apa Kata Bintang  di Laut”, “Ada Tengkorak Terdampar ke Pulau Karang”, “Si Nanggar  Tullo”, dan “Inang Sarge”. Tentu para sastrawan Indonesia lainnya untuk  tetap dapat berpijak pada bumi sendiri, bumi Nusantara, memburu sastra  lisan ataupun sastra rakyat untuk diaktualisasikan dalam karya sastra  Indonesia modern, masih cukup banyak jumlahnya, seperti Goenawan  Mohamad, Subagio Sastrowardojo, dan Sapardi Djoko Damono. Itulah alasan  mengapa ada perbedaan dan juga ada kemajemukan dalam sastra Indonesia  modern sebagai wujud multikulturalisme.
            Dalam  salah satu karangannya secara tegas Ajip Rosidi (1959:8) menyatakan:  "...bagi saya yang merasa goyah lantaran belum punya tempat berdiri yang  tetap dalam mencari sosok keindonesiaan, daerah akan merupakan  sumber  ilham dan pegangan yang kuat dengan bagian-bagian yang sedikit-sedikit  makin tersisa dalam dirinya."
            Pernyataan Ajip  di atas tampaknya tidak dapat dilepaskan dari semangatnya ketika itu,  yakni dasawarsa 1950-an dan 1960-an yang pada waktu itu sedang  giat-giatnya mengumpulkan pantun Sunda dari berbagai daerah di Jawa  Barat. Dapat dikatakan bahwa dengan semangat menggali nilai-nilai budaya  daerah atau setempat yang terungkap dalam tradisi pantun Sunda  itu--untuk kasus Ajip Rosidi--terbukalah jalan untuk masuknya mitologi  daerah ke dalam sastra Indonesia modern. Hal itu dibuktikan oleh Ajip  Rosidi dalam puisinya “Jante Arkidam” (1960). Dari berbagai kemungkinan  adanya mitologi etnis-etnis di Indonesia itu kita dapat menyebut  mitologi Nusantara sebagai salah satu perwujudan identitas keindonesia  dalam sastra Indonesia modern.
/3/
             Mitologi Nusantara pada hakikatnya merupakan salah satu akar budaya  Indonesia yang dengannya manusia Indonesia mencari jawaban atas  persoalan kehidupan yang dihadapi dan dihidupinya. Di dalam mitologi  Nusantara itu terkandung kearifan lokal atau lokal genius yang  seringkali melandasi sikap dan perilaku hidup sehari-hari orang  Indonesia sebagai ideologinya. Sebagai hasil budaya, mitologi Nusantara  di dalam sastra Indonesia modern menunjukkan sikap dan pandangan hidup  orang Indonesia.
            Dunia batin orang Indonesia  itu sebenarnya dipenuhi dengan berbagai mitologi sebagai hasil kontak  budaya orang Nusantara dengan lingkungan alam dan dengan budaya yang  lebih besar. Ketika orang Indonesia berhadapan dengan kebudayaan yang  terkait dengan agama Hindu dan Budha, mulai terjadi pemasukan  nilai-nilai budaya kedua agama itu dalam tradisi berpikir dan bersikap  manusia Indonesia. Lihatlah hasil kreativitas manusia Indonesia yang  telah berhasil "mengindonesiakan" mite yang berakar pada ajaran kedua  agama itu dan tradisi sastra yang dihasilkannya dalam berbagai bentuk,  misalnya relief yang terukir dalam candi Borobudur dan Prambanan, dalam  hikayat-hikayat, dalam cerita-cerita yang mengandung kepercayaan  (legenda dan fabel), bahkan dalam bentuk pantun-pantun berkait atau  syair-syair Melayu dan daerah.
Sementara itu, ketika agama  Islam datang dengan membawa serta mitologi yang berakar pada khazanah  pemikiran agama tersebut, hikayat dan syair-syair tasawuf (sastra kitab)  menjadi wahana yang canggih untuk memaparkan budaya mereka. Dalam  konteks ini para sufi dan ustad-ustad atau guru agama menyebarluaskan  agama Islam di kalangan orang Indonesia dengan memanfaatkan  hikayat-hikayat kenabian, dongeng-dongeng Timur Tengah atau Arab Persia,  legenda-legenda kepahlawanan Islam, dan juga syair-syair sufistik atau  sastra kitab. Kemudian mereka memberinya ruh napas keislaman ke dalam  berbagai media itu sehingga dikenal dengan hikayat nabi-nabi atau 
Kisasu L-Anbiya (Hanifah, 1996) atau 
Surat Al-Anbiya (Hassan,  1990), cerita-cerita eskatologi dari Nurruddin Ar-Raniri, dan sastra  keagamaan atau sastra kitab dengan tokohnya Hamzah Fansuri, Syamsuddin  al-Sumatrani, dan Abdul Rauf Singkel menjadikan opini tentang orang  Melayu adalah seorang muslim. Tentu juga mereka menokohkan para pahlawan  Islam, seperti Amir Hamzah dan Iskandar Zulkarnain sebagai teladan  utama dalam berjihat. Di sini bermula terjadinya "dialog" antardua  dunia, yaitu antara dunia Islam dan dunia Melayu. Dialog Islam dan  Melayu itu, antara lain, terwujud dalam bentuk "pengislaman" hikayat dan  syair-syair sufistik. Tokoh-tokoh sahibul hikayat yang mengandung unsur  Hindu, seperti 
Bayan Budiman, Merong Mahawangsa, Malim Demam, Puspa  Wiraja, Parang Punting, Langlang Buana, Marakarma, Inderaputra, Indera  Bangsawan, Jaya Lengkara, dan 
Hang Tuah sekalipun  digantikan dengan tokoh-tokoh yang diangkat dari dunia pahlawan Islam,  seperti Amir Hamzah dan Iskandar Zulkarnain yang kemudian menurunkan  tradisi hikayat zaman Islam, seperti 
Tajus Salatin, Hikayat Wasiat Lukman Hakim, dan 
Sejarah Melayu atau 
Salalatus Salatin.  Pada saat itu muncul pula syair-syair tasawuf dan puisi-puisi pengaruh  Arab-Persia, seperti ruba’i, gazal, nazam, masnawai, dan kith’ah  sehingga terbentuklah gurindam. Salah satu pelopor gurindam ini adalah  Raja Ali Haji. Bagimana pula dengan 
karungut dari daratan Kalimantan Tengah?
             Mitologi Melayu hakikatnya mitologi dunia hikayat dan syair-syair  tasawuf yang terukir kuat dalam dunia batin orang-orang Melayu. Hikayat  nabi-nabi atau 
Surat Al-Anbiya menjadi pegangan dan teladan  hidup orang-orang Melayu. Demikian pula syair-syair tasawuf pengaruh  Arab-Persia menjadi pedoman hidup sehari-hari mereka. Kini mereka  mengidentikan diri dengan dunia muslimin, Islami, dan religiusitas atau  mistikus-Islami, biasa disebut dengan istilah 
sufistik.  Sehubungan daerah Melayu dikelilingi oleh laut, selat, dan samudera,  maka dunia Melayu identik pula dengan dunia kelautan, seperti ombak,  taufan, nahkoda, kuala, lautan mahatinggi, perompak atau lanun, bajak  laut, berlayar, sauh, dan bertata niaga maritim. Iskandar Zulkarnain  adalah mitos raja dan pahlawan di Lautan (Hasanuddin W.S., 2000:323).  Situasi dan kondisi yang demikian menyebabkan mitologi orang-orang  Melayu pun berkisar tentang dunia kelautan, seperti Hang Tuah, Nahkoda  Ragam, dan Malim Kundang. Meskipun demikian tidak tertutup kemungkinan  pengaruh Hindu dan daratan ikut mempengaruhi pula mitologi mereka,  seperti kisah “Batu Belah” atau “Batu Bertangkup” yang ditulis oleh Amir  Hamzah, atau “Kisah Harimau Sumatera” yang ditulis Iwan Simatupang  ataupun “Harimau Pandan”-nya Mansur Samin. Kalimantan Tengah pun tentu  menampilan “rumah betang”, “batang garing”, “tiwah”, “mandau”, “mitologi  tangkiling”, “batu suli”, dan lain sebagainya.
             Sebagai hasil penghayatan atas realitas kehidupan, sastra menampilkan  diri dalam berbagai manifestasi dan dengan beban pemikiran yang bersegi.  Beban pemikiran yang terungkap dalam sastra dapat berupa aktualisasi  diri dalam sastra, antara lain dapat berupa aktualisasi dan  reinterpretasi terhadap mitologi. Dengan aktualisasi mitologi akan  terungkap nilai-nilai mitologi diterapkan dalam konteks zaman,  pengukuhan nilai-nilai mitos, dan menjadi sarana jembatan penghubung  antara dunia tradisi dengan dunia modernitas. Sementara itu, dengan  reinterpretasi terhadap mitologi akan terungkap penafsiran kembali dan  dapat berupa pengingkaran atau pembalikan atas nilai-nilai yang  terungkap dalam mitologi itu diperhadapkan dengan persoalan zaman.  Reinterpretasi dalam hal ini dapat menghasilkan efek alienasi karena ada  pengasingan dan penyimpangan dari nilai yang selama ini dikenal dalam  mitologi itu. Di sini penyair mencoba mempertanyakan hal-hal yang  dianggap mapan, stabil, atau stagnasi, kemudian dicari nilai-nilai  dinamisnya untuk diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
             Pluralisme budaya atau multikulturalisme yang menjadi dunia sastra  Indonesia modern tentulah juga dicirikan oleh pluralisme mitologi di  dalam sastra Indonesia modern itu, termasuk di dalamnya pluralisme  penafsiran terhadap mitologi tersebut. Hal ini berarti bahwa dalam  sastra Indonesia modern akan dijumpai mitologi Minang, mitologi Batak,  mitologi Sunda, mitologi Bali, mitologi Madura, mitologi Dayak, mitologi  Toraja, mitologi Bugis, dan mitologi Papua sebagai kekayaan budaya  dalam sastra Indonesia modern. Namun, dari sekian banyak mitologi etnis  atau setempat yang disebut Melayu itu merupakan unsur mitologi yang  menjadi akar dalam sastra Indonesia modern sejak awal pertumbuhan sastra  Indonesia di tahun-tahun 1920-an hingga kini 2000-an. Pendek kata,  mitologi Melayu dalam sastra Indonesia mutakhir menjadi sesuatu yang  niscaya, tidak hanya dalam bentuk puisi yang ditulis oleh penyair yang  berasal dari etnis Melayu atau seputar Sumatera, bahkan dalam genre lain  yang ditulis oleh orang luar etnis Melayu itu, seperti Subagio  Sastrowardojo, Djoko Pinurbo, dan Abdul Hadi W.M.
/4/
             Begitulah identitas keindonesiaan dalam karya sastra yang bermula dari  mitologi. Sebab mitologi itu pada mulanya memiliki fungsi sakral, suci,  profan, dan atau kudus sebagai pengendali moral dan pikiran khalayak  pendukungnya dalam menanggapi dan memahami alam semesta. Melalui  mitologi dalam karya sastra dapat diperoleh pemahaman atas apa yang  telah terjadi dan bagaimana hal itu dapat terjadi. Pada perkembangan  lebih jauh, mitologi tidak lagi dibebani fungsi sakral, suci, profan,  ataupun kudus. Mitologi menjadi--dalam kata-kata Sapardi Djoko  Damono--alat yang paling efektif dan tepat untuk mengungkapkan maksud  dalam sastra, sebab ia merupakan hasil sulingan, atau hasil rekaman  kebudayaan. Pendek kata, dengan mitologi komunikasi yang lebih efektif  dapat dijalankan secara baik. Dengan demikian, dapat ditegaskan kembali  di sini bahwa fungsi utama mitologi dalam teks sastra Indonesia modern  adalah sebagai sangkutan gagasan yang dapat menyeret pembaca secara  efektif ke dalam dunia pengalaman dan penghayatan pengarangnya.