Thursday, 30 December 2010

Doa dan Harapan Akhir Tahun


DOA DAN HARAPAN AKHIR TAHUN

Saya berharap teman-teman semua sehat dan kuat
Sehingga setiap hari dapat merasakan hidup nikmat
Bahkan nyaman, tentram, sejahtera, bahagia, dan selamat

Saya berharap teman-teman semua penuh rasa cinta kepada sesama
Kasih sayang dan penuh kedamaian di dalam hati kita semua
Bersama-sama membangun peradaban dunia yang bahagia dan sejahtera

Saya berharap keindahan alam yang penuh daya pesona maya dunia
Dapat kita nikmati dan rasakan sebagai karunia Allah Ta’ala
Agar kita senantiasa bersyukur untuk meningkatkan iman dan takwa

Saya berharap kebijaksanaan memilih sebagai prioritas utama
Untuk hal-hal yang benar-benar penting dalam hidup kita
Cahaya kebijaksanaan Tuhan senantiasa memancar ke seluruh dunia
 
Saya berharap kedermawanan teman-teman dapat membabarkan kasih
Bersama-sama mengentaskan penderitaan agar bencana segera menyisih
Semua hal baik, benar, mulia, dan luhur yang datang ke kita sungguh indah

Saya berharap sungguh: kesejahteraan, kententraman, dan kebahagiaan
Senantiasa dapat meliputi teman-teman sekalian di mana dan kapan pun
Oleh karena semata kasih, lindungan, tuntunan, dan pencerahan Tuhan

SELAMAT TAHUN BARU TEMAN!
Semoga Anda dan keluarga penuh kedamaian,
kesejahteraan, ketentraman, dan kebahagiaan.

Bekasi, 30 Desember 2010

Tuesday, 28 December 2010

Monolog Interior Cerpen-Cerpen Sandi Firly

Monolog Interior dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai ekacakap dalaman, yakni percakapan panjang yang diucapkan oleh seorang tokoh dalam sebuah karya sastra, baik yang ditujukan kepada diri sendiri maupun kepada pembacanya. Biasanya dalam gaya monolog interior ini tokoh aku suka membayangkan peristiwa-peristiwa yang pernah dialaminya, yang sedang dialami, dan yang akan dialaminya. Dalam cerpen-cerpen karya Sandi Firly, penulis yang berasal dari Kuala Pembuang, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, anak bangsa negeri ini, banyak berbicara tentang tokoh aku yang suka melamun, berbicara sendiri dalam mengingat masa silam, yang sedang dialami, dan yang akan dialaminya sehingga kadang terkesan omong kosong atau lamunan belaka yang tak tentu rimbanya. Akan tetapi, nilai dalam buku kumpulan cerpennya ini bukan pada keomongkosongan atau lamunan yang tak berarti. Apa yang diungkapkan oleh Sandi Firly semuanya berbicara tentang kehidupan, ya sekali lagi berbicara tentang kehidupan.
            Tujuh cerita pendek Sandi Firly dalam buku kumpulan cerpen bersama Harie Insani Putra, Perempuan yang Memburu Hujan, yaitu (1) “Bulan Belah Semangka”, (2) “Perempuan yang Memburu Hujan”, (3) “Jerit Ranjang di Kamar Nomor 9”, (4) “Kematian yang Terlalu Pagi”, (5) “Menunggu HP Berderit”, (6) “Senja Kuning Sungai Martapura”, dan (7) “Tubuh dan Kepala Mencari Rupa”, lebih banyak menggunakan teknik sudut pandang akuan terlibat. Artinya, tokoh aku dapat berperan ikut terlibat di dalam cerita yang disajikan. Pencerita ada di dalam kisah itu, bukan sebagai pengamat melainkan yang terlibat langsung dalam cerita tersebut.
            Cerita “Bulan Belah Semangka” berkisah tentang kota yang tidak pernah ada bulan sabit dan bulan purnamanya. Yang ada hanya bulan belah semangka. Bulan sabit melambangkan awal dari segala sesuatu, sementara bulan purnama melambangkan akhir dari sebuah perjalanan yang penuh kebahagian atau kesempurnaan total. Bulan sendiri melambangkan penerangan atau pencerahan. Jadi, cerita ini berkisah tentang renungan hidup tentang tiada diketahuinya awal kehidupan dan akhir kehidupan. Sementara, yang dapat kita ketahui dengan kasat mata adalah kehidupan yang sedang kita jalani ini saja.
            ”Perempuan yang Memburu Hujan” yang menjadi master beberapa cerpen di dalamnya berkisah tentang seseorang berjenis kelamin perempuan yang misterius, sukanya berhujan-hujan, bahkan karena terobsesinya akan hujan maka ia memburu hujan hingga lenyap atau lebur di dalamnya. Perempuan itu melebur menjadi satu dengan hujan hingga mencapai kesempurnaan total. Hidup ini terasa absurd. Kadang tanpa kita sadari bahwa perbuatan gila seperti itu muncul begitu saja dalam perilaku hidup manusia di dunia ini, aneh, absurd, dan bagi orang lain dianggapnya tidak sehat padahal itu adalah keniscayaan.
            Kita dihibur oleh Sandi dengan lelucon yang agak satir, yaitu dalam cerpennya ”Jerit Ranjang di Kamar Nomor 9”. Tokoh aku yang sedang mengadakan perjalanan ke daerah, ia singgah untuk menginap di sebuah losmen atau hotel kecil di kamar 10. Di kamar sebelah tempat tokoh aku menginap, yakni kamar nomor 9, dihuni oleh sepasang insan yang sedang memadu kasih. Cara sepasang kekasih dalam memadu cinta itu cukup aneh, terdengar sampai di luar ranjangnya berbunyi kreot-kreot. Sesuatu kadang membuat kita geli dengan lelucon seperti ini. Si tokoh Aku tidak tahan mendengar bunyi ranjang yang terus-menerus menjerit itu, dibukanya pintu nomor 9 yang tanpa dikunci, ternyata penghuninya hanya seorang wanita gemuk. Si lelaki yang menemaninya tidak dikelihatan, entah di mana. Lima hari kemudian setelah kembali dari daerah, tokoh aku kembali ke hotel yang sama. Ia terkejut dengan adanya garis polisi di kamar nomor 9, ternyata lima hari yang lalu di tempat itu terjadi pembunuhan. Tokoh aku pun dicurigai sebagai pembunuhnya.
            Kematian itu tidak menunggu umur. Ibarat buah kelapa, ada yang masih berwujud manggar (bunga) dapat terjadi keguguran. Demikian halnya yang terjadi pada diri manusia, ada yang masih bayi dalam kandungan, baru lahir, anak-anak, remaja, dewasa, hingga tua renta sekalipun dapat sewaktu-waktu meninggal dunia. Demikian salah satu isi pesan dalam cerpen ”Kematian yang Terlalu Pagi”. Tokoh aku yang sedang bercinta dengan kekasihnya, Samira, merasa kehilangan besar atas kematian kekasihnya itu. Ia merasa begitu cepat sang maut menjemput kekasihnya itu.
             Sekarang orang demam HP, telepon genggam produk luar negeri sebagai media komunikasi. Cerpen ”Menunggu HP Berderit” berkisah tentang tokoh aku yang gelisah menunggu HP-nya berderit, menunggu datangnya SMS atau panggilan. Ada sesuatu yang ditunggu. Karena tidak sabar, tokoh aku langsung membuang HP-nya ke dalam akuarium. Setelah HP itu di dalam akuarium, baru terdengar dering bel masuk. Apalacur sudah terlanjur, ibarat nasi telah menjadi bubur, mau diapakan lagi kalau sudah tercebur?
            Mitos tentang ”Senja Kuning Sungai Martapura” menggambarkan adanya kepercayaan masyarakat tentang hadirnya marabahaya yang ditandai oleh hadirnya semburat warna kuning di senja hari, yakni di seputar Sungai Martapura. Tanda alam seperti itu menurut kebiasaan masyarakat setempat akan terjadi kecelakaan, tragedi, dan kematian di sungai Martapura. Memang akhirnya menjadi kenyataan bahwa sungai Martapura memakan korban orang meninggal di sana.
            Cerita pendek terakhir yang mengambil latar di Kalimantan Tengah beberapa tahun yang lalu, yakni  cerpen ”Tubuh dan Kepala Mencari Rupa”. Sandi mengingatkan kepada kita betapa sedih dan dukanya apabila tubuh dan kepala tidak menjadi satu. Tubuh tanpa kepala akan menjadi robot, kepala tanpa tubuh akan menjadi hantu. Akibat peperangan, kerusahan, nilai kemanusiaan hilang begitu saja. Padahal kita semua adalah bangsa yang bermartabat, beradab, dan bermoral menjunjung nilai kemanusiaan.
            Apabila ketujuh cerpen karya Sandi Firly ini disatukan, akan menjadi sebuah monolog interior yang panjang tentang kehidupan. Tiap-tiap cerpen merupakan satu episode kehidupan, satu tarikan napas panjang yang mengungkap sisi kehidupan manusia dari sudut pandang seorang humanis. Sandi telah membuat dunia ini menjadi puitis dengan cerpen-cerpen bergaya monolog interiornya. Dengan keputisannya itu Sandi telah membuat setitik pencerahan, sepercik penerangan jiwa, dan telah terbangunnya kembali nilai-nilai kemanusiaan untuk menuju ke tengah peradaban maju yang lebih bermartabat dan beradab.

                                                                                                Palangkaraya, 7 Mei 2008

Sunday, 12 December 2010

Banyak Sinkron (Singkatan/Akronim) Dapat Pulas (Pusing lama sekali)

       Akhir-akhir ini, dalam bahasa kita banyak sekali bermunculan kata-kata singkatan dan akronim yang bagi kebanyakan orang betul-betul merupakan hal yang memusingkan kepala secara serius. Ada yang menguatirkan: jikalau hal ini dibiarkan saja tumbuh bak jamur di musim penghujan, pada akhirnya bahasa Indonesia sebagian besar kata-katanya akan terdiri atas singkatan dan akronim saja. Atas menjamurnya singkatan dan akronim itu ada yang menganggap “latahnya” orang-orang sekarang menciptakan kata singkatan dan akronim merupakan gejala penyakit schizophrenia (gangguan jiwa). Ada pula yang berpendapat bahwa gemarnya orang membuat kata singkatan dan akronim itu hanya karena kemalasan. Akan tetapi, ada juga yang membela mengatakan bahwa hal itu adalah untuk efisiensi pelancaran komunikasi, tampak kreativitasnya, dan ada perkembangan bahasa, tidak stagnasi (berjalan di tempat). Pendapat terakhir itu memang ada benarnya. Hanya yang menjadi soal adalah kenyataannya yang terjadi dalam masyarakat. Dalam banyak hal komunikasi seperti itu malahan menjadi macet. Hal inilah yang dirasakan masyarakat sekarang dengan bermunculannya singkatan dan akronim itu.

          Dari hari ke hari, bulan ke bulan, bahkan tahun ke tahun, terlihat bahwa produksi kata-kata singkatan dan akronim tidak pernah mundur. Selalu muncul yang baru-baru, yang “aneh-aneh”, musykil, hebat, sedap didengar, mampu membuat kening berkerut, bibir melengkung ke atas ke bawah, dan sebagaianya dan sebagainya. Terlebih itu ditulis di surat kabar, sms, fb, dan spandul-spanduk yang dipampang di jalan-jalan raya.

          Sebagaimana diketahui kata singkatan dan akronim terdapat tidak hanya dalam bahasa Indonesia, tetapi juga dalam bahasa asing. Contoh yang mudah dalam bahasa Inggris adalah kata radar yang merupakan singkatan dari radio detection and ranging, berarti suatu alat dengan gelombang radio yang dapat menempuh jarak, letaknya jurusan atau sesuatu objek seperti kapal, pesawat terbang atau yang lainnya. Kata ini telah menjadi istilah dalam lapangan teknologi dan sudah termasuk dalam kamus bahasa Inggris.

          Dalam bahasa daerah pun terdapat pula singkatan. Nama makanan misro dan combroamis di jero dan oncom di jero) dalam bahasa Sunda sudah tidak dirasakan lagi sebagai kata singkatan atau akronim. (

          Apabila kita perhatikan secara saksama, ternyata ada berbagai cara yang dipakai seseorang dalam menyingkat kata-kata, antara lain:

1. Huruf-huruf awal kata-kata yang disingkat dideretkan, misalnya:
DPR (Dewan Perwakilan Rakyat)
DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah)
PSSI (Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia)
     Cara ini tampak sederhana karena ada polannya yang jelas.

2. Suku-suku kata pertama setiap kata yang disingkat digabungkan, misalnya:
Parindra (Partai Indonesia Raya)
Pramuka (Praja Muda Karana)
Hanura (Hati Nurani Rakyat)
Golkar (Golongan Karya)
     Cara ini juga jelas aturannya.

3. Campuran cara pertama dan kedua, contohnya:
Parmusi (Partai Muslimin Indonesia)
Batara (Bank Tabungan Negara; atau Barito Utara)
Dipmu (Direktorat Pendidikan Menengah Umum)

4. Sama dengan cara-cara 2 tetapi salah satu suku kata diambil kurang lengkap atau kadang-kadang juga menyeret huruf pertama suku selanjutnya, contoh:
Pelita (Pembangunan Lima Tahun)
Dirjen (Direktur Jendral)
     Kenapa bukan Pemlita? Karena kurang sedap terdengar, sedangkan pada Pelita ada unsur “enak bunyinya” (eophony). Dapat pula dihubungkan dengan kata pelita sendiri (bukan singkatan) yang berarti lampu. Jadi, Pelita adalah lampu pembangunan (asal jangan kelap-kelip saja cahayanya).

5. Yang diambil bukan suku-suku kata yang pertama saja tetapi campuran, jadi bisa suku-suku pertama, kedua dan sebagainya dari tiap-tiap kata yang akan disingkat, seperti:
Batara (Barito Utara)
Batara (Bank Tabungan Negara)
     Ini terjadi dari suku kedua kata pertama dan suku kedua kata kedua.
Dalam contoh :
Danmen (Komandan Resimen)
Danton (Komandan Pleton)
     Suku ketiga kata pertama digabung dengan suku ketiga kata kedua.
     Kalau kita perhatikan pemilihan suku yang hendak dijadikan kata singkatan kita lihat dasarnya adalah suku-suku kata yamg mendapat tekanan dalam pengucapannya.

6. Suku-suku kata tak lengkap banyak pula dipakai, umpamanya: Hankam (Pertahanan Keamanan)
     Perhatikanlah penyingkatan yang “luar biasa” ini: Kata pertama diambil dari suku ketiganya dan kata kedua diambil huruf pertamanya k (jadi tak lengkap) dan suku keduanya a tetapi dengan menyerert m dari suku selanjutnya. Kenapa tidak hankeam atau hanam? Ya, karena tak sedap bunyinya.

7. Kemudian adalah cara gado-gado: PudekMinku (Pembantu Dekan bidang Administrasi dan Keuangan) Todsada Laksus Komkamtibda (Tim Oditur/Jaksa Daerah Pelaksana Khusus Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Daerah ).
     Mau tahu patokannya? Silakan pembaca sendri menentukannya.

    Deskripsi di atas tentulah belum mencakup semua cara dalam pembentukan kata singkatan yang kita temukan. Dapat ditambah atau diperinci lagi. Yang jelas dari cara-cara di atas bahwa pada dasarnya ada dua jenis cara penyingkatan itu, yaitu cara yang ada aturannya dan yang tidak ada aturannya atau semaunya.

    Yang ada aturannya ialah singkatan yang memperhatikan huruf-huruf seperti MPRS, jadi bersifat otografis dan yang memperhatikan dasar pengucapannya, bersifat fonis seperti Pelita. Hal ini pernah dikemukakan oleh Soewondo, M.A. dalam simposium ejaan di Makasar tahun 1969. Pembicara ini malah berpendapat bahwa pembentukan kata singkatan sebaiknya secara fonis karena lebih ekonomis dan representatrif daripada singktan ortografis.

    Cara ini dijelaskan dengan contoh kata PGRI yang dalam tulisan mungkin lebih ekonomis daripada Peguri (kalau ditulis tanpa titik), tetapi dalam ucapan PGRI adalah pe-ge-er-i  yang terdiri atas 4 suku kata, sedangkan Peguri hanya 3 suku kata. Di sini suku kata-kata kedua gu malah merupakan bunyi pertama atau suku pertama kata guru. Dengan demikian lebih menunjukkan asalnya. Bukankah orang mengatakan guru, tidak geru ? Di samping itu memang ada pula terlihat ada kecenderungan bahwa kata singkatan ortografis diucapkan secara fonis seperti KAMI tidak diucapkan  ka-a-em-i, melainkan kami. Dapat kita tambahkan contohnya; mahasiswa-mahasiwa di Jakarta (mungkin juga ditempat lain) lebih suka menyebut pe-em-kri dari pada pe-em-ka-er-i untuk PMKRI. Untuk hal ini selanjutnya prasaran Soewondo di atas dalam buku Simposium Ejaan Baru Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Fakultas Sastra Universitas Hassanudin Makassar, 1969 hal. 45—49 (stensilan).

     Untuk penyingkatan kata secara fonis ini pada dasarnya beralasan juga.Tetapi yang penting dipikirkan pula ialah bagaimana halnya kata-kata singkatan yang sudah terlanjur dipakai secara luas. Perlukah diganti? Tidakkah penggantian dengan yang baru akan menimbulkan “kekacauan baru” pula? Menurut penulis biarkanlah dua cara itu (ortogarfis dan fonis) dipakai sejalan saja. Yang penting bagi penulis ialah yang kedua yaitu cara penyingkatan yang tidak ada aturannya sama sekali. Secara luas jenis ini telah “membanjiri” perbendaharaan kata sehari-hari. Langkah pertama untuk mengatasinya adalah kita harus menekan produksinya. Kita sarankan kepada masyarakt luas agar pembentukan kata-kata singkatan itu hendaknya dikurangi. Batasi pada hal-hal yang sangat perlu saja dan dalam bidang tertentu saja (bidang militer umpamanya demi security atau sandi). Instansi atau perorangan yang betul-betul memerlukan berhubunganlah dengan ahli-ahli bahasa. Jangan asal bikin saja sesuai dengan arus “kelatahan” dewasa ini. Dan buatlah daftarnya serta umumkan sekurang-kurangnya dalam instansi atau departemen yang bersangkutan. Bukanlah rahasia lagi sekarang bahwa banyak sekali pegawai-pegawai dalam suatu instansi yang tidak mengenal maksud singkatan-singkatan hasil-hasil produksi instansi yang bersangkuatan itu sendiri. Untuk publikasi umpamanya sertakanlah kepanjangan kata-kata singkatan itu terutama untuk kata-kata yang baru muncul. Dengan demikian barangkali kesukaran pembaca dapat dikurangi.

     Ada pula yang berpendapat (barangkali karena sudah terlalu jengkel), biarkan sajalah kata-kata singkatan itu membanjiri negeri ini, toh nanti akan lenyap sendiri kecuali yang benar-benar diperlukan. Memang benar pula bahwa banyak kata-kata singkatan itu umurnya tidak lama. Ia lenyap bersama lewatnya situasi yang menumbuhkannya (walaupun pada suatu waktu mungkin akan muncul kembali). Kata singkatan kabir (kapitalis birokrat) kontrevtavip (tahun vivere pericoloso), dan sejumlah lainnya dewasa ini tak muncul lagi. Instansi-instansi yang sering mengalami perubahan struktur organisasi dengan sendirirnya terpaksa “mengubur” kata-kata singkatan yang berhubungan dengan struktur organisasi tersebut yang tidak “berperan” lagi dan sekaligus tentunya diciptakan pula yang baru, yang pada gilirannya ikut pula menambah kepusingan pembaca atau pendengarnya. (kontra revolusi),

     Oleh sebab itu sekali lagi penulis ulangi agar kita betul-betul dapat membatasi diri dalam menciptkan kata-kata singkatan. Entah kalau kita memang berkeinginan untuk ikut ‘melariskan obat sakit kepala’ maka bolehlah kita menulis seperti berikut “Sus Gati Bun Sos angkatan I ditutup di Pusdik Susad Bandung oleh Danjen Kopangdiklat Mayjen P. Sobiran”. (Antara, 13 Mei 1971, melalui Kompas). Atau: Raker Diprasarlub dihadiri oleh Kabin-KabinBinkab-Binkab, Kadin-Kadin dan juga Kadit-Kadit lainnya seperti dari Dipmu, DitkesDitjora.” dan serta wakil dari

(Disampaikan dalam diskusi FBMM di Kalteng Pos, Palangkaraya, 16 Februari 2008)

Saturday, 11 December 2010

Indentitas Keindonesiaan dalam Sastra Indonesia

/1/
            Di dalam khazanah sastra Indonesia modern kita mengenal suatu persoalan kemajemukan budaya bangsa sebagai akibat dari keragaman etnis. Menghadapi persoalan kemajemukan budaya bangsa ini kita harus berpandangan luas, tidak sempit, dan tidak primodial. Kita anggap bahwa keragaman etnis dapat menghadirkan temu budaya dan temu etnis yang terwadahi dalam sastra Indonesia modern. Martabat dan harga diri bangsa sebagai identitas keindonesia yang tertuang dalam nilai-nilai budaya etnis tersebut jelas dapat diapresiasi melalui karya sastra Indonesia modern. Sebab, di dalam kemajemukan budaya itulah mitologi yang dimiliki oleh suatu kelompok etnis tertentu menjadi perantara yang dapat menghubungkan "Indonesia" dengan realitas budaya yang majemuk tersebut. Indonesia itu sendiri baru dianggap sebagai abstraksi dari keinginan untuk bersatu dari berbagai kelompok etnis di seluruh wilayah Nusantara.

Pandangan Umar Kayam yang tertuang dalam bukunya Seni, Tradisi, Masyarakat (1981) bahwa ada jadwal bagi berbagai kelompok etnis di Indonesia yang berbeda-beda dalam proses untuk "mengindonesia"-kan diri menjadi sebuah Indonesia, yang kini tentu hasil pengindo­nesiaan itu dapat dilihat dan dirasakan oleh kita semua. Untuk menjadi Indonesia itu tampaknya orang-orang dari daratan Melayu telah melakukannya pada jadwal yang termasuk paling awal dibandingkan dengan orang-orang dari daratan Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua, misalnya dengan diikrarkannya Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Hal ini tidak serta merta harus ditafsirkan bahwa orang-orang Melayu lebih Indonesia daripada orang-orang Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, atau Papua tersebut. Ini berarti lebih dahulu atau lebih kemudian dalam proses "mengindonesia" itu tidak menjadi jaminan mutlak karena perwujudan Indonesia itu merupakan sebuah proses panjang yang mengalami pasang surut dan silih berganti seiring dengan pasang surut dan silih bergantinya kondisi dan situasi politik negeri ini.

            Proses menjadi Indonesia yang harus dialami oleh berbagai kelompok etnis di Nusantara ini harus dilalui dengan penggalian nilai-nilai budaya lokal atau budaya setempat yang untuk selanjutnya diaktualisasikan dalam napas Indonesia. Begitulah, dalam penggalian sumber-sumber budaya lokal atau budaya setempat yang salah satu wujudnya adalah mitologi itu terjadi pengungkapkan nilai-nilai budaya yang terkait dengan kelompok etnis. Ujung dari proses itu adalah ditemukannya mitologi Indonesia sebagai bentuk penafsiran manusia Indonesia dengan latar etnis yang beragam. Mitologi yang digalinya dari sumber budaya etnisnya itu dapat terjadi setelah "membaca" realitas Indonesia yang dihadapi dan dihidupinya dari masa lalu, kini, dan yang akan datang. Oleh karena itu, kita seharusnya mengenal mitologi Minang, mitologi Batak, mitologi Jawa, mitologi Sunda, mitologi Bali, mitologi Madura, mitologi Dayak, mitologi Bugis, mitologi Toraja, mitologi Sasak, mitologi Papua, dan juga mitologi Melayu.

Mitologi yang berakar pada budaya kelompok etnis itu boleh disebut sebagai "dasar pijakan" bagi kehadiran mitologi Indonesia dan sekaligus penghubung antara Indonesia yang abstrak dan realitas keindonesiaan yang tengah menjadi. Atas dasar pikiran itu, fungsi mitologi etnis adalah penghubung ke dunia realitas budaya yang konkret dan mampu menjembatani jarak budaya antarkelompok etnis di Indonesia. Oleh karena pentingnya mitologi sebagaimana terurai di atas, sesungguhnya sangat relevan dengan pernyataan Sapardi Djoko Damono dalam bukunya Politik, Ideologi, dan Sastra Hibrida (1999:43) bahwa tidak bisa dibayangkan adanya sastra yang sama sekali lepas dari mitologi. Dengan kata lain, sastra Indonesia modern yang dihidupi oleh pengarang dari berbagai kelompok etnis di Indonesia dan berakar pada bahasa, sastra, dan budaya Melayu itu tidak steril dari pengaruh mitologi dalam berbagai wujud dan jenisnya, termasuk mitologi Melayu. Hal ini berkaitan dengan anggapan bahwa bahasa, sastra, dan budaya Indonesia yang kini telah terbentuk wujudnya itu berakar pada bahasa, sastra, dan budaya Melayu. Tentu hal itu telah mengalami perkembangan sesuai dengan situasi dan kondisi keindonesiaan kini.

/2/
            Orientasi sastrawan kita dalam berkarya, termasuk menulis puisi, pada awalnya memperlihatkan kecenderungan utama untuk memadukan antara “mendaerah” dengan "membarat". Bahan yang ada, objek dan substansi puitik serta tradisi memang berasal dari daerah atau etnis, namun cara pandang dan pendidikan berasal dari dunia Barat. Dengan cara pandang seperti itu dimaksudkan adanya semangat di kalangan pengarang untuk mengungkapkan nilai-nilai yang berakar pada dunia kedaerahan yang dipadukan dengan pemikiran Barat, terutama dunia perkotaan dan modernisasi sebagai dasar berpijak mereka. Hal ini terwujud dalam bentuk puisi-puisi soneta atau balada, yang mencoba memadukan antara pantun Melayu dan mitologi daerah dengan tradisi puisi Barat. Hal ini tentu dapat dimaklumi bahwa kondisi dan situasi saat itu Indonesia berada di bawah kekuasaan kolonial Barat (Belanda) sehingga jalan masuk ke dunia internasional atau arus global mau tidak mau harus melalui Belanda.

            Goenawan Mohamad dalam bukunya Potret Seorang Panyair Muda Sebagai Si Malin Kundang (1972:44-45) menyebut ihwal seperti itu sebagai pendurhakaan terhadap nenek moyang yang dicitrakan sebagai kampung halaman dengan meminjam legenda “Malin Kundang” sebagai sangkutan pikiran untuk gejala itu. Disebutkannya Sitor Situmorang yang menulis sajak dengan judul "Si Anak Hilang" sebagai Malin Kundang yang setelah mengembara jauh dari kampung halamannya si anak itu tidak mau kembali. Apa yang dinyatakan oleh Goenawan Mohamad sebelumnya mengangkat persoalan keterpencilan sastra Indonesia dari khalayaknya yang disebabkan oleh ketercerabutan sastrawan Indonesia dari akar budaya etnis asalnya sehingga pembaca sastra Indonesia kehilangan sangkutan pikirannya ke bumi Nusantara (Indonesia yang terwujud dalam budaya etnis) tampaknya merupakan hasil kajian yang pumpunannya adalah sastra dasawarsa 1950-an yang terbatas pada bacaan Goenawan sendiri. Tentu saja sekarang hal itu telah berubah, bahkan warna setempat atau warna lokal karya sastra Indonesia modern kini menjadi suatu kecenderungan umum meskipun sikap, pandangan, dan perhatian dunia Barat tetap mempengaruhi ekspresi estetis para sastrawan Indonesia.

            Pada perkembangan sastra Indonesia modern dengan "dipelopori" Amir Hamzah, penyair zaman Pujangga Baru, memulai kecenderungan baru dengan menulis di atas pijakan semangat budaya setempat atau lokal, yakni semangat kembali ke kampung halaman, yang disebut dengan nama tanah Melayu. Sajak baladanya yang berjudul “Hang Tuah”, “Batu Belah”, “Bonda I”, “Bondo II”, dan “Kamadewi” yang ditulis pada tahun 1930-an, jelas menunjukkan akar yang kuat pada bahasa, sastra, dan budaya Melayu. Hal ini berarti ada kecenderungan baru dalam perkembangan dunia pemikiran di lingkungan para pengarang sastra Indonesia modern, meskipun tetap juga ada yang berpijak ke Barat, seperti pada diri Sutan Takdir Alisyahbana dengan Layar Terkembang dan tentu saja Chairil Anwar dengan Ahasveros dan Eros-nya sebagai pewaris syah kebudayaan dunia.

            Langkah Amir Hamzah itu kemudian diikuti oleh Mansur Samin Siregar dalam beberapa sajaknya, antara lain, “Jelmaan”, “Raja Singamangaraja XII”, “Harimau Pandan”, “Delitua”, “Sukadana”, “Buradaya”, dan “Sibaganding Sirajagoda”; Sitor Situmorang dengan sajaknya “Kisah Harimau Sumatera”, dan Iwan Simatupang dengan sajaknya “Apa Kata Bintang di Laut”, “Ada Tengkorak Terdampar ke Pulau Karang”, “Si Nanggar Tullo”, dan “Inang Sarge”. Tentu para sastrawan Indonesia lainnya untuk tetap dapat berpijak pada bumi sendiri, bumi Nusantara, memburu sastra lisan ataupun sastra rakyat untuk diaktualisasikan dalam karya sastra Indonesia modern, masih cukup banyak jumlahnya, seperti Goenawan Mohamad, Subagio Sastrowardojo, dan Sapardi Djoko Damono. Itulah alasan mengapa ada perbedaan dan juga ada kemajemukan dalam sastra Indonesia modern sebagai wujud multikulturalisme.

            Dalam salah satu karangannya secara tegas Ajip Rosidi (1959:8) menyatakan: "...bagi saya yang merasa goyah lantaran belum punya tempat berdiri yang tetap dalam mencari sosok keindonesiaan, daerah akan merupakan  sumber ilham dan pegangan yang kuat dengan bagian-bagian yang sedikit-sedikit makin tersisa dalam dirinya."

            Pernyataan Ajip di atas tampaknya tidak dapat dilepaskan dari semangatnya ketika itu, yakni dasawarsa 1950-an dan 1960-an yang pada waktu itu sedang giat-giatnya mengumpulkan pantun Sunda dari berbagai daerah di Jawa Barat. Dapat dikatakan bahwa dengan semangat menggali nilai-nilai budaya daerah atau setempat yang terungkap dalam tradisi pantun Sunda itu--untuk kasus Ajip Rosidi--terbukalah jalan untuk masuknya mitologi daerah ke dalam sastra Indonesia modern. Hal itu dibuktikan oleh Ajip Rosidi dalam puisinya “Jante Arkidam” (1960). Dari berbagai kemungkinan adanya mitologi etnis-etnis di Indonesia itu kita dapat menyebut mitologi Nusantara sebagai salah satu perwujudan identitas keindonesia dalam sastra Indonesia modern.

/3/
            Mitologi Nusantara pada hakikatnya merupakan salah satu akar budaya Indonesia yang dengannya manusia Indonesia mencari jawaban atas persoalan kehidupan yang dihadapi dan dihidupinya. Di dalam mitologi Nusantara itu terkandung kearifan lokal atau lokal genius yang seringkali melandasi sikap dan perilaku hidup sehari-hari orang Indonesia sebagai ideologinya. Sebagai hasil budaya, mitologi Nusantara di dalam sastra Indonesia modern menunjukkan sikap dan pandangan hidup orang Indonesia.

            Dunia batin orang Indonesia itu sebenarnya dipenuhi dengan berbagai mitologi sebagai hasil kontak budaya orang Nusantara dengan lingkungan alam dan dengan budaya yang lebih besar. Ketika orang Indonesia berhadapan dengan kebudayaan yang terkait dengan agama Hindu dan Budha, mulai terjadi pemasukan nilai-nilai budaya kedua agama itu dalam tradisi berpikir dan bersikap manusia Indonesia. Lihatlah hasil kreativitas manusia Indonesia yang telah berhasil "mengindonesiakan" mite yang berakar pada ajaran kedua agama itu dan tradisi sastra yang dihasilkannya dalam berbagai bentuk, misalnya relief yang terukir dalam candi Borobudur dan Prambanan, dalam hikayat-hikayat, dalam cerita-cerita yang mengandung kepercayaan (legenda dan fabel), bahkan dalam bentuk pantun-pantun berkait atau syair-syair Melayu dan daerah.

Sementara itu, ketika agama Islam datang dengan membawa serta mitologi yang berakar pada khazanah pemikiran agama tersebut, hikayat dan syair-syair tasawuf (sastra kitab) menjadi wahana yang canggih untuk memaparkan budaya mereka. Dalam konteks ini para sufi dan ustad-ustad atau guru agama menyebarluaskan agama Islam di kalangan orang Indonesia dengan memanfaatkan hikayat-hikayat kenabian, dongeng-dongeng Timur Tengah atau Arab Persia, legenda-legenda kepahlawanan Islam, dan juga syair-syair sufistik atau sastra kitab. Kemudian mereka memberinya ruh napas keislaman ke dalam berbagai media itu sehingga dikenal dengan hikayat nabi-nabi atau Kisasu L-Anbiya (Hanifah, 1996) atau Surat Al-Anbiya (Hassan, 1990), cerita-cerita eskatologi dari Nurruddin Ar-Raniri, dan sastra keagamaan atau sastra kitab dengan tokohnya Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani, dan Abdul Rauf Singkel menjadikan opini tentang orang Melayu adalah seorang muslim. Tentu juga mereka menokohkan para pahlawan Islam, seperti Amir Hamzah dan Iskandar Zulkarnain sebagai teladan utama dalam berjihat. Di sini bermula terjadinya "dialog" antardua dunia, yaitu antara dunia Islam dan dunia Melayu. Dialog Islam dan Melayu itu, antara lain, terwujud dalam bentuk "pengislaman" hikayat dan syair-syair sufistik. Tokoh-tokoh sahibul hikayat yang mengandung unsur Hindu, seperti Bayan Budiman, Merong Mahawangsa, Malim Demam, Puspa Wiraja, Parang Punting, Langlang Buana, Marakarma, Inderaputra, Indera Bangsawan, Jaya Lengkara, dan Hang Tuah sekalipun digantikan dengan tokoh-tokoh yang diangkat dari dunia pahlawan Islam, seperti Amir Hamzah dan Iskandar Zulkarnain yang kemudian menurunkan tradisi hikayat zaman Islam, seperti Tajus Salatin, Hikayat Wasiat Lukman Hakim, dan Sejarah Melayu atau Salalatus Salatin. Pada saat itu muncul pula syair-syair tasawuf dan puisi-puisi pengaruh Arab-Persia, seperti ruba’i, gazal, nazam, masnawai, dan kith’ah sehingga terbentuklah gurindam. Salah satu pelopor gurindam ini adalah Raja Ali Haji. Bagimana pula dengan karungut dari daratan Kalimantan Tengah?

            Mitologi Melayu hakikatnya mitologi dunia hikayat dan syair-syair tasawuf yang terukir kuat dalam dunia batin orang-orang Melayu. Hikayat nabi-nabi atau Surat Al-Anbiya menjadi pegangan dan teladan hidup orang-orang Melayu. Demikian pula syair-syair tasawuf pengaruh Arab-Persia menjadi pedoman hidup sehari-hari mereka. Kini mereka mengidentikan diri dengan dunia muslimin, Islami, dan religiusitas atau mistikus-Islami, biasa disebut dengan istilah sufistik. Sehubungan daerah Melayu dikelilingi oleh laut, selat, dan samudera, maka dunia Melayu identik pula dengan dunia kelautan, seperti ombak, taufan, nahkoda, kuala, lautan mahatinggi, perompak atau lanun, bajak laut, berlayar, sauh, dan bertata niaga maritim. Iskandar Zulkarnain adalah mitos raja dan pahlawan di Lautan (Hasanuddin W.S., 2000:323). Situasi dan kondisi yang demikian menyebabkan mitologi orang-orang Melayu pun berkisar tentang dunia kelautan, seperti Hang Tuah, Nahkoda Ragam, dan Malim Kundang. Meskipun demikian tidak tertutup kemungkinan pengaruh Hindu dan daratan ikut mempengaruhi pula mitologi mereka, seperti kisah “Batu Belah” atau “Batu Bertangkup” yang ditulis oleh Amir Hamzah, atau “Kisah Harimau Sumatera” yang ditulis Iwan Simatupang ataupun “Harimau Pandan”-nya Mansur Samin. Kalimantan Tengah pun tentu menampilan “rumah betang”, “batang garing”, “tiwah”, “mandau”, “mitologi tangkiling”, “batu suli”, dan lain sebagainya.

            Sebagai hasil penghayatan atas realitas kehidupan, sastra menampilkan diri dalam berbagai manifestasi dan dengan beban pemikiran yang bersegi. Beban pemikiran yang terungkap dalam sastra dapat berupa aktualisasi diri dalam sastra, antara lain dapat berupa aktualisasi dan reinterpretasi terhadap mitologi. Dengan aktualisasi mitologi akan terungkap nilai-nilai mitologi diterapkan dalam konteks zaman, pengukuhan nilai-nilai mitos, dan menjadi sarana jembatan penghubung antara dunia tradisi dengan dunia modernitas. Sementara itu, dengan reinterpretasi terhadap mitologi akan terungkap penafsiran kembali dan dapat berupa pengingkaran atau pembalikan atas nilai-nilai yang terungkap dalam mitologi itu diperhadapkan dengan persoalan zaman. Reinterpretasi dalam hal ini dapat menghasilkan efek alienasi karena ada pengasingan dan penyimpangan dari nilai yang selama ini dikenal dalam mitologi itu. Di sini penyair mencoba mempertanyakan hal-hal yang dianggap mapan, stabil, atau stagnasi, kemudian dicari nilai-nilai dinamisnya untuk diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

            Pluralisme budaya atau multikulturalisme yang menjadi dunia sastra Indonesia modern tentulah juga dicirikan oleh pluralisme mitologi di dalam sastra Indonesia modern itu, termasuk di dalamnya pluralisme penafsiran terhadap mitologi tersebut. Hal ini berarti bahwa dalam sastra Indonesia modern akan dijumpai mitologi Minang, mitologi Batak, mitologi Sunda, mitologi Bali, mitologi Madura, mitologi Dayak, mitologi Toraja, mitologi Bugis, dan mitologi Papua sebagai kekayaan budaya dalam sastra Indonesia modern. Namun, dari sekian banyak mitologi etnis atau setempat yang disebut Melayu itu merupakan unsur mitologi yang menjadi akar dalam sastra Indonesia modern sejak awal pertumbuhan sastra Indonesia di tahun-tahun 1920-an hingga kini 2000-an. Pendek kata, mitologi Melayu dalam sastra Indonesia mutakhir menjadi sesuatu yang niscaya, tidak hanya dalam bentuk puisi yang ditulis oleh penyair yang berasal dari etnis Melayu atau seputar Sumatera, bahkan dalam genre lain yang ditulis oleh orang luar etnis Melayu itu, seperti Subagio Sastrowardojo, Djoko Pinurbo, dan Abdul Hadi W.M.

/4/
            Begitulah identitas keindonesiaan dalam karya sastra yang bermula dari mitologi. Sebab mitologi itu pada mulanya memiliki fungsi sakral, suci, profan, dan atau kudus sebagai pengendali moral dan pikiran khalayak pendukungnya dalam menanggapi dan memahami alam semesta. Melalui mitologi dalam karya sastra dapat diperoleh pemahaman atas apa yang telah terjadi dan bagaimana hal itu dapat terjadi. Pada perkembangan lebih jauh, mitologi tidak lagi dibebani fungsi sakral, suci, profan, ataupun kudus. Mitologi menjadi--dalam kata-kata Sapardi Djoko Damono--alat yang paling efektif dan tepat untuk mengungkapkan maksud dalam sastra, sebab ia merupakan hasil sulingan, atau hasil rekaman kebudayaan. Pendek kata, dengan mitologi komunikasi yang lebih efektif dapat dijalankan secara baik. Dengan demikian, dapat ditegaskan kembali di sini bahwa fungsi utama mitologi dalam teks sastra Indonesia modern adalah sebagai sangkutan gagasan yang dapat menyeret pembaca secara efektif ke dalam dunia pengalaman dan penghayatan pengarangnya.

Tuesday, 23 November 2010

Kepala Baru Pusat Bahasa

Prof. Aminudin Aziz Pimpin Pusat Bahasa Kemendiknas RI

Prof. Dr. E. Aminudin Aziz, Jum’at (19/11), dilantik menjadi Kepala Pusat Bahasa, di Gedung A, Lantai 3, Kementrian Pendidikan Nasional RI, Jakarta. Pelantikan guru besar bidang linguistik UPI ini dilakukan langsung oleh Mendiknas, Profesor Muhamad Nuh. Karena tugas barunya itu, berarti, profesor muda sarat prestasi ini harus melepaskan jabatan yang baru diembannya selama 2 bulan, yaitu sebagai Pembantu Rektor Bidang Perencanaan, Penelitian, dan Pengembangan UPI. Menanggapi pelantikannya sebagai Kepala Pusat Bahasa Kemendiknas RI, Prof. Aminudin mengatakan bahwa sebagai abdi negara dirinya harus siap menjalankan tugas yang diamanahkan kepadanya. “Ini bukan persoalan mau atau tidak mau dan suka atau tidak suka, ini persoalan tugas dan tanggungjawab yang dibebankan kepada saya sebagai seorang abdi negara. Saya siap menjalani dan memberikan kemampuan terbaik yang saya miliki,” ungkapnya kepada redaksi berita.upi.edu.
Kepergian Prof. Aminudin untuk menduduki pos baru di Jakarta memang dirasakan sedikit berat, mengingat perannya sebagai Pembantu Rektor di UPI cukup diandalkan. Tak heran jika dalam pemilihan Pembantu Rektor UPI beberapa waktu yang lalu, Prof. Aminudin dipercaya untuk menduduki jabatan sebagai PR Bidang Perencanaan, Peneilitan, dan Pengembangan. Namun demikian, untuk kepentingan nasional yang lebih besar, tidak ada alasan bagi UPI untuk menahan salah satu kader terbaiknya berkiprah di tingkat nasional demi kemajuan bangsa dan negara, terlebih kapasitas Prof. Aminudin sebagai seorang linguist tidak dapat diragukan lagi untuk memimpin lembaga tertinggi yang mengurusi masalah kebahasaan di negeri ini.
Dengan perginya Prof. Aminudin ke Jakarta berarti dalam waktu dekat akan terjadi kekosongan pos Pembantu Rektor Bidang Renlitbang. Kekosongan pos ini dalam waktu dekat mungkin akan segera terisi setelah dilakukan pemilihan untuk mengisi posisi yang ditinggalkannya. Suami dari Teti Herawati ini memohon dukungan dan do’a restu dari seluruh civitas UPI sehingga dirinya bisa menjawab amanah yang diembankan kepada dirinya. Selamat bertugas, Prof! Sukses selalu. Buktikan bahwa UPI memang leading and outstanding. 
(Berita UPI) 

E. Aminudin Aziz

 
Nama lengkap: Prof. Dr. E. Aminudin Aziz, M.A.
NIP: 196711161992031001
e-mail: aminudin@upi.edu
Penelitian/publikasi lima tahun terakhir:
  1. Modul Pendidikan Profesi Guru Bahasa Inggris (2009)
  2. Peningkatan Sumber Daya Manusia dan Penguatan Identitas Nasional Melalui Identifikasi Penggunaan Cerita Lokal Berbahasa Inggris (2009)
  3. Pengembangan Model Alat Ukur untuk Menakar Kompetensi Komunikasi Bahasa Inggris sebagai Bahasa Asing (2009)
  4. Are Women more Polite than Men? An Observation from Indonesian Data (2008)
  5. Filsafat, Teori, dan Praksis Ilmu Pendidikan (2008)
  6. Peningkatan Kemampuan Bahasa Inggris Pelaku Wisata di Daerah Tobalangbras Berbasiskan Kebutuhan Lokal Tahun I dan II (2007)
  7. Aspek Sosiopragmatik dalam Proses Pembelajaran Bahasa (2007)
  8. Tiga Dimensi Kesantunan Berbahasa: Tinjauan Terkini (2007)
  9. Peningkatan Kemampuan Bahasa Inggris Pelaku Wisata di Daerah Tobalangbras Berbasiskan Kebutuhan Lokal di Sumatera Utara Tahun-2 (2006)
  10. Makna Interpersonal dalam Interaksi Guru-Murid: Sebuah Kajian Wacana Kritis (2006)
  11. Building International Partnerships for Better Quality of Education (2006)
  12. The Triadic Logic of Linguistic Politeness Theories (2006)
  13. Realisasi Pertuturan Meminta Maaf dan Berterima Kasih di Kalangan Penutur Bahasa Indonesia: Sebuah Kajian Kesantunan Berbahasa (2006)
  14. Assessing Pragmatic Competence by Using Discourse Completion Tasks (2006)
  15. “Face” Facing Dilemma: A Study on the Concepts of Face and Politeness Phenomena in the Changing China (2005)
  16. Politik Bahasa untuk Integrasi Bangsa. Harian Umum Pikiran Rakyat (2005)
  17. Concept of Face and Politeness Phenomena in the Changing China: The Case of Shanghai (2005)
  18. Pendekatan Pragmatik dalam Pendidikan Kedwibahasaan (2005)
  19. Peningkatan Kemampuan Bahasa Inggris Pelaku Wisata di Daerah Tobalangbras Berbasiskan Kebutuhan Lokal di Sumatera Utara Tahun-1 (2005)
  20.  

Politik Bahasa untuk Integrasi Bangsa

Oleh : E. Aminudin Aziz
Pada usia kemerdekaan negeri ini memasuki 60 tahun, persatuan dan kesatuan bangsa memperoleh ujian yang teramat berat. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tengah diuji dengan beragam persoalan kebangsaan yang di antaranya menyudut ke arah disintegrasi bangsa.

Sepertinya Sumpah Pemuda yang 77 tahun lalu diikrarkan oleh para pemuda Indonesia untuk menggapai cita-cita unifikasi menuju Indonesia yang satu, sudah tak ampuh lagi menyatukan dan mengatasi berbagai perbedaan yang ada. Tak pelak lagi, komitmen agung dalam butir-butir Sumpah Pemuda telah ternodai.

Ancaman disintegrasi para separatis di sejumlah wilayah bangsa dewasa ini menimbulkan konsekuensi melonggarnya ikatan fusi tersebut, terutama komitmen untuk berbangsa dan bertanah air satu, walaupun tampaknya komitmen pada kesatuan bahasa masih tersimpan sejumput harapan.

Politik Bahasa Nasional
Politik bahasa merupakan masalah yang pelik. Selain bisa mengatasi permasalahan yang nantinya berujung pada kesatuan suatu bangsa, politik bahasa bisa juga memicu konflik antar negara atau antardaerah. Sungguh beruntung bangsa Indonesia ini karena masalah bahasa sudah dapat tertangani dengan baik, bahkan jauh sebelum proklamasi kemerdekaan, yakni melalui ikrar besar Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, yang berisi tekad kuat untuk menjunjung dan bahkan menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.

Di dalam sejarahnya, bahasa Melayu (yang merupakan cikal bakal bahasa Indonesia) bukanlah bahasa etnis besar di tanah air ini. Penuturnya sangat jauh dibanding penutur bahasa etnis lainnya seperti bahasa Jawa dan Sunda. Anton Moeliono menyatakan, pada 1928 populasi orang Indonesia yang menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa ibu sebanyak 4,9%, sedangkan bahasa Jawa dan Sunda berturut-turut 47,8% dan 14,5%. Dalam perkembangannya, bahasa Melayu menggeser bahasa etnis yang kecil dan menggoyangkan bahasa etnis yang besar. Melalui vernakularisasi, bahasa Indonesia menjadi bahasa dari masyarakat baru yang bernama masyarakat Indonesia. Benar adanya bahwa bahasa Melayu pada mulanya merupakan lingua franca ketika orang Eropa pada abad ke-15 mendarat di Selat Malaka, tersebar mulai dari daerah timur yaitu Maluku, Filipina di utara dan barat Samudra Hindia.

Sesudah merdeka, peranan bahasa Indonesia semakin jelas dan nyata. Dalam pergaulannya dengan bahasa-bahasa yang sudah terlebih dahulu ada di tanah air, identitas bahasa Indonesia semakin mengemuka. Namun bukan berarti bahasa Indonesia aman dari masalah. Justru masalah kebahasaan di Indonesia cukup rumit, tidak hanya mencakup aspek bahasa saja, tetapi juga melibatkan aspek pemakai dan pemakaiannya. Dari aspek bahasa, bahasa Indonesia berhadapan dengan bahasa asing, dan bahasa daerah. Pemakaian bahasa mengacu pada ranah pemakaian bahasa.

Secara politik bahasa, bahasa Indonesia menggunakan model kebijakan "formula tiga-bahasa" (bahasa nasional, bahasa asing, dan bahasa daerah) yang menurut Kedreogo cocok bagi negara yang multilingual. Kebijakan serupa diterapkan di India. Tentunya kebijakan bahasa ini dalam realisasinya tetap berlandaskan pada Pasal 36 UUD 1945.

Dalam perkembangannya, bahasa Indonesia tumbuh ke arah bahasa tinggi dan bahasa rendah, terutama pada komunikasi lisan. Hal ini terlihat pada ungkapan tertentu yang dipakai oleh para pemakainya (khususnya ketika terkait dengan kekuasaan) yang semakin meluas, terutama ketika rezim Orde Baru berkuasa.

Pada era Orde Baru, bahasa Indonesia diajarkan kepada siswa kelas 3 sekolah dasar. Sekarang ini, anak taman kanak-kanak pun sudah mendapatkannya. Hal ini tentunya sangat menguntungkan karena bahasa Indonesia bisa lebih mengindonesia sejak dini. Sisi lainnya, kebijakan ini seperti mengebiri potensi bahasa daerah terutama, meskipun sebenarnya dalam praktik pengajarannya bisa diberikan secara paralel. Gebrakan baru pemerintah pada masa Orde Baru ini adalah diberlakukannya Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) tahun 1972. Sebelum adanya EYD, Bahasa Indonesia yang digunakan masih diwarnai oleh bahasa etnis masing-masing atau unsur lain dari bahasa asing. Pemberlakuan EYD ditujukan untuk mengakomodasi keragaman bahasa yang ditemukan di tanah air ini.

Disinyalir di beberapa negara di dunia ini, isu penggunaan bahasa menjadi sumber konflik dalam negeri, seperti yang terjadi di Filipina. Menurut laporan dari hasil studi McFarland, Filipina memiliki sekitar 120 bahasa etnis. Bahasa Inggris dan bahasa Filipino merupakan bahasa resmi negara bekas jajahan Spanyol dan Amerika ini, sedangkan bahasa nasionalnya adalah bahasa Filipino. Bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa resmi negara karena dominannya penggunaan bahasa ini di berbagai bidang sejak berakhirnya penjajahan Amerika. Sementara itu bahasa Filipino sangat berdasarkan pada Tagalog yang merupakan bahasa dari tiga etnis besar di Filipina. Dalam kenyataannya, fungsi dan kegunaan bahasa Filipino baik dalam bidang pemerintahan, pengadilan dan pendidikan banyak terkalahkan oleh bahasa Inggris.

Pemerintah Filipina mengeluarkan kebijakan dwibahasa. Bahasa Filipino hanya digunakan dalam pengajaran bahasa Filipino dan studi Sosial. Sedangkan bahasa Inggris digunakan dalam mata ajar bahasa Inggris, matematika, dan Sains. Bahasa Filipino hanya digunakan di awal-awal masa pengajaran, dan selebihnya bahasa Inggris. Walhasil, bahasa Filipino sulit berkembang. Ketidakmampuan bahasa Filipino memenuhi tuntutan globalisasi mengakibatkan penguasaan bahasa Inggris semakin meningkat. Identitas kebangsaan negara ini semakin pudar dan terancam krisis.

India yang juga bekas jajahan Inggris, mendapatkan pengalaman yang kurang lebih sama hanya berbeda musababnya. Terjadi resistensi politik dari para pendukung bahasa etnis besar di bagian selatan India (bahasa Dravida dan Bengali) terhadap penggunaan bahasa Hindi sebagai bahasa nasional selain bahasa Inggris. Konstitusi 1950 yang memproklamasikan Hindi sebagai bahasa nasional terpaksa diamendemen untuk menghindari konflik antar etnis. Kebijakan baru menetapkan 12 bahasa sebagai bahasa resmi regional. Sedangkan bahasa Hindi dipilih sebagai bahasa nasional karena meskipun usianya baru 100 tahun, menurut Ghose dan Bhog bahasa ini memuat elemen-elemen dari bahasa yang usianya jauh lebih tua seperti Sansekerta, juga dari bahasa-bahasa regional dan lokal.

Kedua kasus di atas menggambarkan politik bahasa. Pertama, masalah dapat muncul karena adanya ketidakpuasan dari pihak pemakai bahasa atas ketidakmampuan bahasanya mengikuti tantangan zaman (kasus Filipino). Yang kedua adalah karena adanya kecemburuan sosial dari penutur bahasa etnis kecil terhadap etnis besar (kasus India). Lebih jauhnya apabila etnis kecil tidak ”berdaya” terhadap etnis besar, hal itu bisa mengakibatkan kematian bahasa.

Tampaknya, menyadari kemungkinan terburuk tersebut terjadi, pemerintah Indonesia cepat tanggap mengantisipasi potensi munculnya konflik karena bahasa ini. Menyikapi tantangan zaman atas kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi berupa persoalan tata istilah dan ungkapan ilmiah, pemerintah melalui Pusat Bahasa bekerja sama dengan para pakar dalam disiplin ilmu tertentu menerbitkan berbagai kamus. Bahasa di kalangan etnis-etnis kecil maupun etnis-etnis besar diupayakan untuk dipertahankan. Dalam pelaksanaannya kebijakan yang diterapkan pemerintah Indonesia berbeda dari negara-negara lain di dunia.

Untuk menangani masalah kecemburuan etnis ini, negara seperti India, Tanzania, atau Spanyol menerapkan kebijakan bahasa resmi regional. Sementara itu, Indonesia melakukannya melalui penerapan kebijakan muatan lokal dalam dunia pendidikan, yaitu program pendidikan yang isi dan media penyampaiannya dikaitkan dengan lingkungan alam, lingkungan sosial, lingkungan budaya, dan kebutuhan daerah yang perlu dipelajari murid. Selain hal-hal tersebut, tentunya media massa, guru bahasa Indonesia, penyuluhan bahasa Indonesia, pelibatan organisasi kepemudaan, kepedulian para petinggi negara maupun daerah sangat berperan dalam upaya pengindonesiaan bangsa.

Namun, dalam pengejawantahannya ada kendala. Dalam hal pengajaran, terlihat bahwa bahasa Indonesia tidak kontekstual dengan budaya lokal. Materi yang diajarkan di Pulau Jawa (sebutlah di pusat pemerintahan ibu kota Jakarta) sama dengan materi yang akan harus disampaikan di Papua. Perhatikan misalnya contoh-contoh latar budaya buku teks bahasa Indonesia di sekolah dasar yang sangat Pulau Jawa sentris dengan tokoh bernama Budi dan keluarganya. Kecerobohan lainnya kebanyakan terkait dengan sikap mental para pemakai bahasa yang terkadang kurang lihai menempatkan diri atau kurang bisa berperilaku bijak. Masih ditemui para oknum petinggi di negara kita yang kurang memedulikan seruan Pusat Bahasa akan norma bahasa, seperti penggunaan kata-kata: daripada, yang mana, di mana, dan saudara-saudara sekalian. Atau, masih ada di antaranya yang secara disengaja beralih menggunakan bahasa daerahnya dalam acara-acara resmi keindonesiaan.

Sering sekali ditemui, ketika oknum tersebut bertemu dengan sesama etnisnya, mereka langsung beralih menggunakan bahasanya sendiri, walaupun perlu diketahui bahwa hal itu tidaklah salah. Akan tetapi, secara norma pergaulan, cara seperti itu menunjukkan lemahnya sensitivitas budaya penuturnya di tengah-tengah keberagaman yang sedang ia hadapi. Apabila hal ini terjadi pada level elite, maka bisa memicu terjadinya konflik kepentingan yang eksesnya dapat terlihat dalam power sharing, pendayagunaan aspek ekonomi, dan kedekatan personal. Ekses negatif lainnya terutama, bila etnis minoritas memiliki semangat primordialisme tinggi terhadap etnis mayoritas, yang bisa menimbulkan stereotip terhadap etnis mayoritas dan yang lebih parahnya hal itu bisa mengantarkan pada munculnya resistansi terhadap etnis ini. Secara kasarnya, hal ini menimbulkan kesan imperialisme bahasa dalam bingkai keindonesiaan yang lebih modern.

Politik Bahasa ke Depan
Seiring dengan otonomi daerah, seharusnya kebijakan bahasa pun tidak lagi sentralistik karena dalam penyelenggaraan pemerintahan atau yang terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan baik secara langsung ataupun tidak, kebijakan ini secara politik telah dipergunakan oleh para elite untuk mengakomodasi kepentingannya memperkokoh dan memperpanjang waktu kekuasaan mereka. Di sisi lain, kenyataan di beberapa tempat malah memperlihatkan rendahnya dukungan politis dari lembaga politik daerah yaitu eksekutif dan legislatif terhadap pengembangan bahasa daerah.

Bagaimanapun, Indonesia termasuk salah satu negara yang sukses dalam politik bahasa. Bukti-bukti sejarah dan kenyataan mempersaksikannya. Walaupun demikian, masih ada celah yang harus ditutup agar bahasa Indonesia pada masa ke depan bisa lebih baik, di antaranya memperbaiki kesalahan-kesalahan yang sudah lewat terutama yang terkait dengan imperialisme bahasa; politik bahasa Indonesia tetap mempertimbangkan aspek keragaman bahasa (tidak represif); politik bahasa Indonesia hendaknya tidak terlalu berkiblat pada bahasa-bahasa di daerah Jawa terutama dalam hal peminjaman kata dan istilah yang selama ini disinyalir lebih mengakomodasi bahasa-bahasa di daerah Jawa. Adapun adanya sikap kurang bijak para pengguna bahasa, yang dari segi potensi bisa memunculkan konflik bahasa, sepertinya masih bisa tertangani. Ini hanyalah letupan-letupan kecil agar bangsa ini semakin dewasa menghadapi permasalahannya.
__________
E. Aminudin Aziz, adalah dosen pada Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris FPBS Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
*Artikel ini pernah dimuat pada Harian Pikiran Rakyat (www.pikiran-rakyat.com) pada tanggal 28 Oktober 2005, dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda yang ke 7

    Tuesday, 2 November 2010

    Pelestari Karungut

    Syaer Sua, Hidupkan Huma Betang Budaya

















    SYAER SUA. (KOMPAS/M SYAIFULLAH)*** 
    Syaer Sua, Hidupkan Huma Betang Budaya
    Oleh M Syaifullah dan Defri Werdiono
    ”Cita-cita saya hanya satu. Jangan sampai adat budaya Dayak ditinggalkan. Saya lihat adat budaya kita makin tenggelam, lama-kelamaan nanti tinggal menjadi legenda.”
    Kata-kata itu diucapkan Syaer Sua, seniman Dayak Ngaju, saat ditemui di tempat tinggalnya di Desa Tumbang Manggu, Kecamatan Sanaman Mantikei, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah, pada Juni lalu. Impian melestarikan seni budaya itulah yang menggerakkan Syaer Sua membangun dua huma (rumah) betang tahun 2002-2008.
    Untuk mewujudkannya, pria bernama lengkap Syaer Sua U Rangka ini mendirikan bangunan rumah panjang khas Dayak, Kalimantan Tengah, itu di Tumbang Manggu, kawasan hulu Sungai Katingan. Ia sengaja tak membangun huma di ibu kota provinsi itu, Palangkaraya, tempatnya menapaki masa remaja selepas lulus sekolah rakyat.
    Tumbang Manggu adalah kampung asal orangtua Syaer. Dia sendiri lahir di Bukit Rawi, Kahayan Tengah, Kabupaten Katingan. Masa kecilnya dihabiskan di tempat itu sebelum pindah ke Palangkaraya.
    Sebelum hidup dan bermukim di rumah-rumah tunggal, masyarakat Dayak Kalimantan mendiami huma betang. Rumah itu dihuni puluhan keluarga yang umumnya masih kerabat. Satu kampung biasanya memiliki satu huma betang.
    Sampai kini hal itu masih dilakukan. Sebagian dari mereka tetap tinggal di rumah panjang. Namun, sebagian lainnya sudah meninggalkan huma betang. Mereka hanya berkumpul di rumah betang ketika ada upacara adat.
    ”Saya ingin mempertahankan budaya betang. Oleh karena itu, saya membangun ini (huma betang) meski biayanya tak terhitung,” katanya.
    Syaer Sua tak goyah walau ada orang yang menilai pembangunan rumah betang itu pekerjaan ”pemimpi”, bahkan dianggap aneh. Ia tetap berusaha mewujudkannya.
    Tahun 2002, ia mulai mencari pohon ulin atau belian (Eusideraoxylon zwageri) di hutan adat sebagai bahan baku utama. Rumah pertama itu kemudian diberi nama Betang Bintang Patendu.
    Lantai Rumah yang selesai dibangun tahun 2003 itu memiliki ketinggian sekitar empat meter dengan fondasi sekitar 70 pohon ulin. Luas bangunan utama 171 meter persegi. Sedangkan bangunan kedua, yakni dapur dan ruang makan, luasnya 135 meter persegi.
    Tahun 2005-2008 Syaer Sua membangun huma betang kedua bernama Balai Basara Bintang Semaya. Luas bangunan utama yang ditopang 80 pohon ulin sekitar 300 meter persegi dan bagian belakang 96 meter persegi.
    ”Pembuatannya lama. Selain menyesuaikan dana, bahan baku kayu ulin harus dicari ke dalam hutan selama dua-tiga bulan. Untung ada perusahaan perkayuan membantu pengangkutannya,” ujarnya.
    Karungut dan RRI
    Memiliki rumah betang, bagi Syaer Sua, tak sekadar wahana untuk menikmati hari tua. Tetapi, sebagai tempat pengembangan seni budaya Dayak di pedalaman Katingan. Oleh karena sebelumnya, tahun 1970-1980-an ia menekuni dan mengembangkan seni karungut di Palangkaraya.
    Karungut merupakan seni bertutur, semacam pantun atau syair tentang nilai moral, adat, perjuangan, bahkan pesan semangat untuk membangun. Seni ini diiringi ketabung atau kecapi khas Dayak, kakanong, suling, dan gendang. Bersama seniman lain, Syaer Sua bermain karungut di Radio Republik Indonesia (RRI) Palangkaraya setiap Minggu malam.
    Dari RRI, Syaer Sua kemudian dikenal sebagai salah satu pangarungut (seniman karungut) produkif. Ia tak hanya pandai melantunkan, tetapi juga mencipta ratusan judul karungut yang sifatnya spontan maupun tertulis.
    ”Saya lupa berapa banyak yang saya cipta, semua master rekamannya ada di RRI Palangkaraya,” katanya.
    Syaer Sua juga populer. Pengemarnya tak hanya dari Palangkaraya, tetapi juga masyarakat di beberapa daerah pedalaman di Kalteng yang terjangkau siaran radio.
    ”Kami tahu karena kerap mendapat kiriman pesan dari pendengar di pelosok,” katanya.
    Berkat kepiawaiannya, tahun 1970 Syaer Sua dipercaya pemerintah daerah tampil memainkan karungut serta tarian dayak di RRI dan TVRI Jakarta, termasuk pada peresmian Taman Mini Indonesia Indah. Bersama grup kesenian asal Kalteng, tahun 1992, Syaer Sua pentas di Spanyol, dan 1994 ia tampil di Kuala Lumpur, Malaysia, dan Singapura.
    Dalam empat kali lomba musik karungut tingkat Kalteng, Syaer Sua selalu juara, sampai-sampai ia tak boleh lagi ikut berlomba.
    Dia juga menjadi andalan Kalteng dalam olahraga sumpit. Beberapa kali ia meraih medali emas. Dia juga pernah melatih atlet sumpit Kalteng untuk Pekan Olahraga Nasional. Tahun 2001, ia diminta Panglima Kostrad untuk melatih keterampilan menyumpit kepada pasukan khusus.
    Enggan jadi pegawai
    Syaer Sua bercerita, dia sempat beberapa kali mendapat tawaran dari gubernur Kalteng untuk menjadi pegawai negeri atau terjun dalam partai politik. Namun, semua tawaran itu dia tolak.
    ”Saya tidak mampu melakukannya. Saya tidak suka politik yang banyak bohong,” katanya.
    Penghasilan Syaer Sua diperoleh, antara lain, dari pembuatan album musik karungut yang mencapai 20-an buah. Ratusan ribu keping VCD atau DVD album karungut Syaer Sua beredar di Kalteng. Selain penggemarnya, album Syaer Suar juga diminati para pakar musik etnik dari mancanegara.
    Dia bukanlah satu-satunya seniman karungut di Kalteng. Sedikitnya ada 10 pangarungut yang masih bertahan. Banyak anak muda yang masih menekuninya, terbukti dari keikutsertaan mereka pada lomba seni tradisional Dayak.
    Buah dari usaha Syaer Sua itu dirasakan warga Tumbang Manggu. Kampung yang ditempuh selama empat jam perjalanan darat dari Kota Palangkaraya ini menjadi salah satu tujuan wisata budaya dan alam yang menarik. Setiap tahun seratusan wisatawan mengunjungi kampung ini.
    Mereka, antara lain, bisa menikmati karungut, belajar menyumpit, mencicipi minuman dan makanan khas warga setempat. Mereka juga bisa menjelajah hutan melalui riam-riam pada beberapa anak Sungai Katingan. Semua itu menjadi pengalaman tersendiri buat wisatawan yang merasakan tinggal di huma betang.
    Pada perkembangannya, rumah betang menjadi terbuka bagi siapa saja yang cinta dan peduli seni budaya Kalimantan. Moto rumah ini: berbeda suku agama bukan penghalang, sudah membudaya dari nenek moyang, hidup rukun damai selalu berkembang, itulah yang disebut budaya betang.
    ”Saya tidak akan menyerah untuk bisa mewujudkannya,” demikian tekad Syaer Sua. ***
    Source : Kompas, Kamis, 8 Juli 2010 | 03:29 WIB

    BETANG BINTANG PATENDU

    Karungut Kal-Teng Membangun (karungut modern)

    Thursday, 14 October 2010

    Aja Dumeh













    AJA DUMEH

    Aja dumeh merupakan pedoman mawas diri orang Jawa
    bilamana engkau dikaruniai sesuatu kelebihan apa saja
    janganlah engkau sombong, congkak, takabur, dan loba
    serta janganlah lupa terhadap asal-usul dan di sekitar kita
    harus senantiasa sadar bahwa kelebihanmu itu anamah saja
    dan tidak mustahil juga jerih payah orang di sekitar kita
    oleh karenanya janganlah engkau melupakan jasa mereka.

    Aja dumeh kumawasa,
    banjur tumindhakmu dadi daksura
    lan daksia marang ing sapadha-pada.
    “Janganlah mentang-mentang engkau berkuasa
    lalu perbuatanmu menjadi pongah, congkak, dan loba
    serta sewenang-wenang terhadap sesama makhluk-Nya.”

    Aja dumeh kuminter
    banjur tumindhakmu dadi keblinger
    sarta pocap lan lakumu ora tau pener.
    “Janganlah engkau mentang-mentang pintar
    lalu perbuatanmu menjadi menyimpang dan sasar
    serta ucapan dan tingkah lakumu tidak pernah benar.”

    Aja dumeh kuat lan kumagagah
    banjur tumindhamu sarwa gegabah
    lan sakkarepmu dhewe ora ana kang nyegah.
    “Janganlah mentang-mentang engkau kuat dan gagah
    lalu perbuatanmu menjadi serba ceroboh dan gegabah
    serta semaumu sendiri dan tidak ada yang berani mencegah.”

    Aja dumeh kumasugih
    banjur tumindhakmu lali karo sing ringkih
    ora gelem sapa aruh lan senengmu nindhih.
    “Janganlah mentang-mentang engkau kaya raya
    lalu perbuatanmu melupakan yang lemah tidak berdaya
    tidak mau menyapa dan senanganmu cuma memperdaya mereka.”  

    Aja dumeh kumamenang
    banjur tumindhakmu sewenang-wenang
    elinga yen sira katanggor watune bisa gawe wirang.
    “Janganlah mentang-mentang engkau sekarang menang
    lalu kepada yang kalah perbuatanmu menjadi sewenang-wenang
    hendaklah engkau sadar bilamana bertemu batunya dapat membuatmu malu.”

    Bekasi, 14 Oktober 2010

    Pertemuan 15 Teori Sastra Tempatan