Tuesday 28 December 2010

Monolog Interior Cerpen-Cerpen Sandi Firly

Monolog Interior dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai ekacakap dalaman, yakni percakapan panjang yang diucapkan oleh seorang tokoh dalam sebuah karya sastra, baik yang ditujukan kepada diri sendiri maupun kepada pembacanya. Biasanya dalam gaya monolog interior ini tokoh aku suka membayangkan peristiwa-peristiwa yang pernah dialaminya, yang sedang dialami, dan yang akan dialaminya. Dalam cerpen-cerpen karya Sandi Firly, penulis yang berasal dari Kuala Pembuang, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, anak bangsa negeri ini, banyak berbicara tentang tokoh aku yang suka melamun, berbicara sendiri dalam mengingat masa silam, yang sedang dialami, dan yang akan dialaminya sehingga kadang terkesan omong kosong atau lamunan belaka yang tak tentu rimbanya. Akan tetapi, nilai dalam buku kumpulan cerpennya ini bukan pada keomongkosongan atau lamunan yang tak berarti. Apa yang diungkapkan oleh Sandi Firly semuanya berbicara tentang kehidupan, ya sekali lagi berbicara tentang kehidupan.
            Tujuh cerita pendek Sandi Firly dalam buku kumpulan cerpen bersama Harie Insani Putra, Perempuan yang Memburu Hujan, yaitu (1) “Bulan Belah Semangka”, (2) “Perempuan yang Memburu Hujan”, (3) “Jerit Ranjang di Kamar Nomor 9”, (4) “Kematian yang Terlalu Pagi”, (5) “Menunggu HP Berderit”, (6) “Senja Kuning Sungai Martapura”, dan (7) “Tubuh dan Kepala Mencari Rupa”, lebih banyak menggunakan teknik sudut pandang akuan terlibat. Artinya, tokoh aku dapat berperan ikut terlibat di dalam cerita yang disajikan. Pencerita ada di dalam kisah itu, bukan sebagai pengamat melainkan yang terlibat langsung dalam cerita tersebut.
            Cerita “Bulan Belah Semangka” berkisah tentang kota yang tidak pernah ada bulan sabit dan bulan purnamanya. Yang ada hanya bulan belah semangka. Bulan sabit melambangkan awal dari segala sesuatu, sementara bulan purnama melambangkan akhir dari sebuah perjalanan yang penuh kebahagian atau kesempurnaan total. Bulan sendiri melambangkan penerangan atau pencerahan. Jadi, cerita ini berkisah tentang renungan hidup tentang tiada diketahuinya awal kehidupan dan akhir kehidupan. Sementara, yang dapat kita ketahui dengan kasat mata adalah kehidupan yang sedang kita jalani ini saja.
            ”Perempuan yang Memburu Hujan” yang menjadi master beberapa cerpen di dalamnya berkisah tentang seseorang berjenis kelamin perempuan yang misterius, sukanya berhujan-hujan, bahkan karena terobsesinya akan hujan maka ia memburu hujan hingga lenyap atau lebur di dalamnya. Perempuan itu melebur menjadi satu dengan hujan hingga mencapai kesempurnaan total. Hidup ini terasa absurd. Kadang tanpa kita sadari bahwa perbuatan gila seperti itu muncul begitu saja dalam perilaku hidup manusia di dunia ini, aneh, absurd, dan bagi orang lain dianggapnya tidak sehat padahal itu adalah keniscayaan.
            Kita dihibur oleh Sandi dengan lelucon yang agak satir, yaitu dalam cerpennya ”Jerit Ranjang di Kamar Nomor 9”. Tokoh aku yang sedang mengadakan perjalanan ke daerah, ia singgah untuk menginap di sebuah losmen atau hotel kecil di kamar 10. Di kamar sebelah tempat tokoh aku menginap, yakni kamar nomor 9, dihuni oleh sepasang insan yang sedang memadu kasih. Cara sepasang kekasih dalam memadu cinta itu cukup aneh, terdengar sampai di luar ranjangnya berbunyi kreot-kreot. Sesuatu kadang membuat kita geli dengan lelucon seperti ini. Si tokoh Aku tidak tahan mendengar bunyi ranjang yang terus-menerus menjerit itu, dibukanya pintu nomor 9 yang tanpa dikunci, ternyata penghuninya hanya seorang wanita gemuk. Si lelaki yang menemaninya tidak dikelihatan, entah di mana. Lima hari kemudian setelah kembali dari daerah, tokoh aku kembali ke hotel yang sama. Ia terkejut dengan adanya garis polisi di kamar nomor 9, ternyata lima hari yang lalu di tempat itu terjadi pembunuhan. Tokoh aku pun dicurigai sebagai pembunuhnya.
            Kematian itu tidak menunggu umur. Ibarat buah kelapa, ada yang masih berwujud manggar (bunga) dapat terjadi keguguran. Demikian halnya yang terjadi pada diri manusia, ada yang masih bayi dalam kandungan, baru lahir, anak-anak, remaja, dewasa, hingga tua renta sekalipun dapat sewaktu-waktu meninggal dunia. Demikian salah satu isi pesan dalam cerpen ”Kematian yang Terlalu Pagi”. Tokoh aku yang sedang bercinta dengan kekasihnya, Samira, merasa kehilangan besar atas kematian kekasihnya itu. Ia merasa begitu cepat sang maut menjemput kekasihnya itu.
             Sekarang orang demam HP, telepon genggam produk luar negeri sebagai media komunikasi. Cerpen ”Menunggu HP Berderit” berkisah tentang tokoh aku yang gelisah menunggu HP-nya berderit, menunggu datangnya SMS atau panggilan. Ada sesuatu yang ditunggu. Karena tidak sabar, tokoh aku langsung membuang HP-nya ke dalam akuarium. Setelah HP itu di dalam akuarium, baru terdengar dering bel masuk. Apalacur sudah terlanjur, ibarat nasi telah menjadi bubur, mau diapakan lagi kalau sudah tercebur?
            Mitos tentang ”Senja Kuning Sungai Martapura” menggambarkan adanya kepercayaan masyarakat tentang hadirnya marabahaya yang ditandai oleh hadirnya semburat warna kuning di senja hari, yakni di seputar Sungai Martapura. Tanda alam seperti itu menurut kebiasaan masyarakat setempat akan terjadi kecelakaan, tragedi, dan kematian di sungai Martapura. Memang akhirnya menjadi kenyataan bahwa sungai Martapura memakan korban orang meninggal di sana.
            Cerita pendek terakhir yang mengambil latar di Kalimantan Tengah beberapa tahun yang lalu, yakni  cerpen ”Tubuh dan Kepala Mencari Rupa”. Sandi mengingatkan kepada kita betapa sedih dan dukanya apabila tubuh dan kepala tidak menjadi satu. Tubuh tanpa kepala akan menjadi robot, kepala tanpa tubuh akan menjadi hantu. Akibat peperangan, kerusahan, nilai kemanusiaan hilang begitu saja. Padahal kita semua adalah bangsa yang bermartabat, beradab, dan bermoral menjunjung nilai kemanusiaan.
            Apabila ketujuh cerpen karya Sandi Firly ini disatukan, akan menjadi sebuah monolog interior yang panjang tentang kehidupan. Tiap-tiap cerpen merupakan satu episode kehidupan, satu tarikan napas panjang yang mengungkap sisi kehidupan manusia dari sudut pandang seorang humanis. Sandi telah membuat dunia ini menjadi puitis dengan cerpen-cerpen bergaya monolog interiornya. Dengan keputisannya itu Sandi telah membuat setitik pencerahan, sepercik penerangan jiwa, dan telah terbangunnya kembali nilai-nilai kemanusiaan untuk menuju ke tengah peradaban maju yang lebih bermartabat dan beradab.

                                                                                                Palangkaraya, 7 Mei 2008

No comments:

Post a Comment

Pertemuan 15 Teori Sastra Tempatan