Akhir-akhir ini, dalam bahasa kita banyak sekali bermunculan kata-kata singkatan dan akronim yang bagi kebanyakan orang betul-betul merupakan hal yang memusingkan kepala secara serius. Ada yang menguatirkan: jikalau hal ini dibiarkan saja tumbuh bak jamur di musim penghujan, pada akhirnya bahasa Indonesia sebagian besar kata-katanya akan terdiri atas singkatan dan akronim saja. Atas menjamurnya singkatan dan akronim itu ada yang menganggap “latahnya” orang-orang sekarang menciptakan kata singkatan dan akronim merupakan gejala penyakit schizophrenia (gangguan jiwa). Ada pula yang berpendapat bahwa gemarnya orang membuat kata singkatan dan akronim itu hanya karena kemalasan. Akan tetapi, ada juga yang membela mengatakan bahwa hal itu adalah untuk efisiensi pelancaran komunikasi, tampak kreativitasnya, dan ada perkembangan bahasa, tidak stagnasi (berjalan di tempat). Pendapat terakhir itu memang ada benarnya. Hanya yang menjadi soal adalah kenyataannya yang terjadi dalam masyarakat. Dalam banyak hal komunikasi seperti itu malahan menjadi macet. Hal inilah yang dirasakan masyarakat sekarang dengan bermunculannya singkatan dan akronim itu.
Dari hari ke hari, bulan ke bulan, bahkan tahun ke tahun, terlihat bahwa produksi kata-kata singkatan dan akronim tidak pernah mundur. Selalu muncul yang baru-baru, yang “aneh-aneh”, musykil, hebat, sedap didengar, mampu membuat kening berkerut, bibir melengkung ke atas ke bawah, dan sebagaianya dan sebagainya. Terlebih itu ditulis di surat kabar, sms, fb, dan spandul-spanduk yang dipampang di jalan-jalan raya.
Sebagaimana diketahui kata singkatan dan akronim terdapat tidak hanya dalam bahasa Indonesia, tetapi juga dalam bahasa asing. Contoh yang mudah dalam bahasa Inggris adalah kata radar yang merupakan singkatan dari radio detection and ranging, berarti suatu alat dengan gelombang radio yang dapat menempuh jarak, letaknya jurusan atau sesuatu objek seperti kapal, pesawat terbang atau yang lainnya. Kata ini telah menjadi istilah dalam lapangan teknologi dan sudah termasuk dalam kamus bahasa Inggris.
Dalam bahasa daerah pun terdapat pula singkatan. Nama makanan misro dan combroamis di jero dan oncom di jero) dalam bahasa Sunda sudah tidak dirasakan lagi sebagai kata singkatan atau akronim. (
Apabila kita perhatikan secara saksama, ternyata ada berbagai cara yang dipakai seseorang dalam menyingkat kata-kata, antara lain:
1. Huruf-huruf awal kata-kata yang disingkat dideretkan, misalnya:
DPR (Dewan Perwakilan Rakyat)
DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah)
PSSI (Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia)
Cara ini tampak sederhana karena ada polannya yang jelas.
2. Suku-suku kata pertama setiap kata yang disingkat digabungkan, misalnya:
Parindra (Partai Indonesia Raya)
Pramuka (Praja Muda Karana)
Hanura (Hati Nurani Rakyat)
Golkar (Golongan Karya)
Cara ini juga jelas aturannya.
3. Campuran cara pertama dan kedua, contohnya:
Parmusi (Partai Muslimin Indonesia)
Batara (Bank Tabungan Negara; atau Barito Utara)
Dipmu (Direktorat Pendidikan Menengah Umum)
4. Sama dengan cara-cara 2 tetapi salah satu suku kata diambil kurang lengkap atau kadang-kadang juga menyeret huruf pertama suku selanjutnya, contoh:
Pelita (Pembangunan Lima Tahun)
Dirjen (Direktur Jendral)
Kenapa bukan Pemlita? Karena kurang sedap terdengar, sedangkan pada Pelita ada unsur “enak bunyinya” (eophony). Dapat pula dihubungkan dengan kata pelita sendiri (bukan singkatan) yang berarti lampu. Jadi, Pelita adalah lampu pembangunan (asal jangan kelap-kelip saja cahayanya).
5. Yang diambil bukan suku-suku kata yang pertama saja tetapi campuran, jadi bisa suku-suku pertama, kedua dan sebagainya dari tiap-tiap kata yang akan disingkat, seperti:
Batara (Barito Utara)
Batara (Bank Tabungan Negara)
Ini terjadi dari suku kedua kata pertama dan suku kedua kata kedua.
Dalam contoh :
Danmen (Komandan Resimen)
Danton (Komandan Pleton)
Suku ketiga kata pertama digabung dengan suku ketiga kata kedua.
Kalau kita perhatikan pemilihan suku yang hendak dijadikan kata singkatan kita lihat dasarnya adalah suku-suku kata yamg mendapat tekanan dalam pengucapannya.
6. Suku-suku kata tak lengkap banyak pula dipakai, umpamanya: Hankam (Pertahanan Keamanan)
Perhatikanlah penyingkatan yang “luar biasa” ini: Kata pertama diambil dari suku ketiganya dan kata kedua diambil huruf pertamanya k (jadi tak lengkap) dan suku keduanya a tetapi dengan menyerert m dari suku selanjutnya. Kenapa tidak hankeam atau hanam? Ya, karena tak sedap bunyinya.
7. Kemudian adalah cara gado-gado: PudekMinku (Pembantu Dekan bidang Administrasi dan Keuangan) Todsada Laksus Komkamtibda (Tim Oditur/Jaksa Daerah Pelaksana Khusus Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Daerah ).
Mau tahu patokannya? Silakan pembaca sendri menentukannya.
Deskripsi di atas tentulah belum mencakup semua cara dalam pembentukan kata singkatan yang kita temukan. Dapat ditambah atau diperinci lagi. Yang jelas dari cara-cara di atas bahwa pada dasarnya ada dua jenis cara penyingkatan itu, yaitu cara yang ada aturannya dan yang tidak ada aturannya atau semaunya.
Yang ada aturannya ialah singkatan yang memperhatikan huruf-huruf seperti MPRS, jadi bersifat otografis dan yang memperhatikan dasar pengucapannya, bersifat fonis seperti Pelita. Hal ini pernah dikemukakan oleh Soewondo, M.A. dalam simposium ejaan di Makasar tahun 1969. Pembicara ini malah berpendapat bahwa pembentukan kata singkatan sebaiknya secara fonis karena lebih ekonomis dan representatrif daripada singktan ortografis.
Cara ini dijelaskan dengan contoh kata PGRI yang dalam tulisan mungkin lebih ekonomis daripada Peguri (kalau ditulis tanpa titik), tetapi dalam ucapan PGRI adalah pe-ge-er-i yang terdiri atas 4 suku kata, sedangkan Peguri hanya 3 suku kata. Di sini suku kata-kata kedua gu malah merupakan bunyi pertama atau suku pertama kata guru. Dengan demikian lebih menunjukkan asalnya. Bukankah orang mengatakan guru, tidak geru ? Di samping itu memang ada pula terlihat ada kecenderungan bahwa kata singkatan ortografis diucapkan secara fonis seperti KAMI tidak diucapkan ka-a-em-i, melainkan kami. Dapat kita tambahkan contohnya; mahasiswa-mahasiwa di Jakarta (mungkin juga ditempat lain) lebih suka menyebut pe-em-kri dari pada pe-em-ka-er-i untuk PMKRI. Untuk hal ini selanjutnya prasaran Soewondo di atas dalam buku Simposium Ejaan Baru Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Fakultas Sastra Universitas Hassanudin Makassar, 1969 hal. 45—49 (stensilan).
Untuk penyingkatan kata secara fonis ini pada dasarnya beralasan juga.Tetapi yang penting dipikirkan pula ialah bagaimana halnya kata-kata singkatan yang sudah terlanjur dipakai secara luas. Perlukah diganti? Tidakkah penggantian dengan yang baru akan menimbulkan “kekacauan baru” pula? Menurut penulis biarkanlah dua cara itu (ortogarfis dan fonis) dipakai sejalan saja. Yang penting bagi penulis ialah yang kedua yaitu cara penyingkatan yang tidak ada aturannya sama sekali. Secara luas jenis ini telah “membanjiri” perbendaharaan kata sehari-hari. Langkah pertama untuk mengatasinya adalah kita harus menekan produksinya. Kita sarankan kepada masyarakt luas agar pembentukan kata-kata singkatan itu hendaknya dikurangi. Batasi pada hal-hal yang sangat perlu saja dan dalam bidang tertentu saja (bidang militer umpamanya demi security atau sandi). Instansi atau perorangan yang betul-betul memerlukan berhubunganlah dengan ahli-ahli bahasa. Jangan asal bikin saja sesuai dengan arus “kelatahan” dewasa ini. Dan buatlah daftarnya serta umumkan sekurang-kurangnya dalam instansi atau departemen yang bersangkutan. Bukanlah rahasia lagi sekarang bahwa banyak sekali pegawai-pegawai dalam suatu instansi yang tidak mengenal maksud singkatan-singkatan hasil-hasil produksi instansi yang bersangkuatan itu sendiri. Untuk publikasi umpamanya sertakanlah kepanjangan kata-kata singkatan itu terutama untuk kata-kata yang baru muncul. Dengan demikian barangkali kesukaran pembaca dapat dikurangi.
Ada pula yang berpendapat (barangkali karena sudah terlalu jengkel), biarkan sajalah kata-kata singkatan itu membanjiri negeri ini, toh nanti akan lenyap sendiri kecuali yang benar-benar diperlukan. Memang benar pula bahwa banyak kata-kata singkatan itu umurnya tidak lama. Ia lenyap bersama lewatnya situasi yang menumbuhkannya (walaupun pada suatu waktu mungkin akan muncul kembali). Kata singkatan kabir (kapitalis birokrat) kontrevtavip (tahun vivere pericoloso), dan sejumlah lainnya dewasa ini tak muncul lagi. Instansi-instansi yang sering mengalami perubahan struktur organisasi dengan sendirirnya terpaksa “mengubur” kata-kata singkatan yang berhubungan dengan struktur organisasi tersebut yang tidak “berperan” lagi dan sekaligus tentunya diciptakan pula yang baru, yang pada gilirannya ikut pula menambah kepusingan pembaca atau pendengarnya. (kontra revolusi),
Oleh sebab itu sekali lagi penulis ulangi agar kita betul-betul dapat membatasi diri dalam menciptkan kata-kata singkatan. Entah kalau kita memang berkeinginan untuk ikut ‘melariskan obat sakit kepala’ maka bolehlah kita menulis seperti berikut “Sus Gati Bun Sos angkatan I ditutup di Pusdik Susad Bandung oleh Danjen Kopangdiklat Mayjen P. Sobiran”. (Antara, 13 Mei 1971, melalui Kompas). Atau: Raker Diprasarlub dihadiri oleh Kabin-KabinBinkab-Binkab, Kadin-Kadin dan juga Kadit-Kadit lainnya seperti dari Dipmu, DitkesDitjora.” dan serta wakil dari
(Disampaikan dalam diskusi FBMM di Kalteng Pos, Palangkaraya, 16 Februari 2008)
No comments:
Post a Comment