Thursday, 9 July 2015

ZAMAN KALABENDU




ZAMAN KALABENDU

Zaman kalabendu disebut juga zaman kalatidha
suatu zaman penuh angkara murka dan durjana
suatu zaman penuh kutukan yang porak poranda
serba tidak jelas, banyak manusia berbuat dosa
dunia rusak, kacau-balau, dan banyak huru-hara
fitnah, teror, juga bencana terjadi di mana-mana
begitu peliknya, hampir setiap orang menjadi gila.
Derajat suatu negara terlihat suram, tidak berwibawa
kosong, sepi, suwung, sunya ruri, tak ada tanda-tanda
kegairahan negara serta bangsa bangkit kembali jaya
meskipun penguasanya adalah raja berperilaku utama,
perdana menterinya orang yang memiliki kelebihan juga,
para menteri dan aparat pegawainya tampak baik-baik saja,
tetap tidak dapat menolak hadirnya zaman kutukan bencana
oleh karena semua tampaknya sudah sebagai karma bangsa.

Betapa rusak pelaksanaan undang-undang hukum tata negara,
masyarakat dan rakyat banyak melanggar tata aturan yang ada,
baik penguasa maupun rakyat juga ikut serta berpesta paliwara
mereka tidak ada lagi yang patuh pada aturan negara yang ada,
mereka begitu amat suka bisa berbuat dengan sekehendaknya
menyimpang ke kiri serta melanggar dari aturan hukum negara.

Sudah tidak ada lagi suri teladan, contoh, dari pemimpin negara,
para aparatnya, penguasa pemerintahan, berbuat semena-mena
rakyat yang menjadi korban, menderita lara, dan hidup sengsara
tampaknya mereka sama saja perbuatannya, telah bejat moralnya,
korupsi di mana-mana, berebut kekuasaan, berebut harta tahta,
dia merasa benar sendiri, penindasan pada rakyat tiada hentinya,
mereka berbuat asusila, berderajat tercela, rendah, dan hina dina.

Banyak rakyat sedih, duka lara, menderita, hidup papa nestapa,
kelaparan di mana-mana, bencana wabah penyakit merajalela,
banyak kesukaran hidup, terasa hidup hina dina, tiada berharga
betapa amat suram tanda-tanda kehidupan masa depan bangsa
betapa amat gelap jalan mencapai puncak kejayaan jagat raya,
hidup tak menentu, tiada gairah menjalankan sisa hidup di dunia.

Berbeda-beda, berjenis-jenis, beragam-ragam angkara murka
merajalela di seluruh dunia hingga mereka banyak bertipu daya
banyak berita bohong, kabar angin, sulit dipercaya kebenarannya
banyak orang yang munafik, penuh fitnahan, dan hanya pura-pura,
padahal itu hanya bermaksud mencari keuntungan diri pribadinya.

Banyak orang yang berjiwa baik, cerdas cendekia, dan bijaksana,
justru kalah dengan mereka yang culas, kerdil, dan jahat angkara
orang-orang bijak bestari justru tersisihkan oleh hiruk-pikuk dunia
berada di belakang, tenggelam oleh ramai suasana fatamorgana,
hingga suatu saat lahirlah kesatria utama pembebas malapetaka,
berganti zaman kalabendu, lalu ke zaman kalasakti adiyatiutama.

Bekasi, 9 Juli 2015





Monday, 6 July 2015

URIP IKU URUP, MUNG MAMPIR NGOMBE, SADERMA NGLAKONI




URIP IKU URUP,
MUNG MAMPIR NGOMBE,
SADERMA NGLAKONI

Hidup itu sesungguhnya menyala, tetap membara,
hanya singgah sebentar minum, melepas dahaga,
kemudian melanjutkan perjalanan dari pondok dunia
menuju ke istana keabadian, juga sekadar pelaksana
sebagai kalifah di bumi mengemban amanah mulia
membabarkan cinta kasih dan berbagi pada sesama.

Orang hidup harus mimiliki semangat yang membara
agar dapat memperoleh sesuatu yang amat berharga
sesuatu yang amat berharga itu berupa cita-cita mulia
sebagai kesatria utama atau menjadi kusuma bangsa
berguna bagi masyarakat, negara, bangsa, dan agama
jikalau kemudian kembali ke haribaan Yang Maha Esa
tentunya dapat kembali bertunggal dengan-Nya di surga.

Seberapa lama dia mengemban amanah mulia di dunia
hal itu tentunya tidak lama, rata-rata hanya 65 tahun saja
oleh karena itu, ibaratnya hanya singgah melepas dahaga
kemudian melanjutkan perjalanan lagi menuju ke asal mula
senyampang masih berkesempatan menunaikan tugas mulia
manfaatkan waktu sebaik-baiknya agar hidup tidak sia-sia
ukirlah prestasimu dengan bekerja, berkarya, serta berdoa
sebagai warisan pada anak cucumu kelak kemudian harinya.

Sadarlah bahwa hidup di dunia ini hanya sekadar pelaksana
ialah pelaksana amanah mulia sebagai kalifah di jagat raya
sudah ditentukan tugas mulia setiap manusia dapat berbeda
ada kalanya menjadi brahmana, kesatria, waisia, dan sudra
artinya: ada yang bertugas sebagai pemuka bidang agama,
kenegaraan, militer, pendidikan, pertanian, dan sebagainya
meski hanya sekadar pelaksana tidak boleh kita seenaknya
tetap tanggung jawab atas amanah yang dipercayakannya.

Bekasi, 6 Juli 2015


Sunday, 5 July 2015

MEMAYU HAYUNING BAWANA


MEMAYU HAYUNING BAWANA

Falsafah budaya: memayu hayuning bawana bermakna
berusaha menjadikan selamat, sejahtera, bahagia dunia
baik dunia besar maupun dunia kecil, ada pada manusia
dengan berkepribadian mulia, memiliki budi pekerti mulia
artinya, selalu berusaha dapat membahagiakan sesama.

Keselamatan akan dunia dapat diusahakan dengan cara
selalu menjaga keselarasan dan keseimbangan semesta,
tidak merusak atau menghancurkan lingkungan hidupnya
tidak merusak adat, tata cara, cita-cita, serta nilai budaya
dan tidak berbuat semena-mena pada apa dan siapa saja.

Kesejahteraan akan dunia dapat diusahakan dengan cara
selalu menghormati dan menghargai hak hidup siapa saja
tidak melanggar hukum pemerintahan negara dan agama
tidak merampas hak hidup, hak milik, atau hak-hak lainnya
tidak serakah, angkara murka, dan berbudi pekerti durjana
tetapi dapat berbagi kasih, ilmu atau harta kepada sesama.

Kebahagian akan dunia itu dapat diusahakan dengan cara
setiap insan selalu dapat berwatak utama delapan perkara
tiga perkara berkaitan dengan sadar, iman, dan juga takwa
artinya setiap insan berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa
lima perkara berkaitan dengan jujur, sabar, narima, rela, juga
budi luhur, berarti setiap insan dapat berperilaku mulia utama
berjalan di Jalan Benar ialah Jalan Utama yang berakhir pada
kesejahteraan, ketenteraman, dan kemulian abadi selamanya.

Setiap insan berbudi pekerti mulia, darmanya kepada dunia
dapat membuat sejahteranya dunia secara senyata-nyatanya
berdasarkan pada kasih sayang, keadilan, kebijakan, dan juga
pengorbanan suci memberi tuntunan, pencerahan, juga serta
memberi suri teladan dengan tindakan benar nyata, supaya
umat manusia hidup rukun damai, saling memedulikan, susila,
tertib, berbakti kepada Tuhan yang dapat menjadikan tertata,
tenang, tenteram, damai, sejahtera, dan bahagia selamanya.

Bekasi, 5 Juli 2015





Friday, 3 July 2015

SINAMUN ING SAMUDANA, SESADONE INGADU MANIS MANUHORA




SINAMUN ING SAMUDANA
SESADONE INGADU MANIS MANUHORA
 
Falsafah budaya Jawa: sinamun ing samudana,
sesadone ingadu manis manuhora, bermakna
dibungkus dengan pasemon, simbolik, metafora,
disampaikan secara manis penuh kata-kata mutiara
serta masalahnya dihadapi dengan wajah cerah ceria.

Begitulah, cara berpikir dan bersikap orang Jawa
pada umumnya tidak disampaikan secara terbuka
tetapi cenderung bersifat simbolis, penuh metafora,
bahkan selalu menunjukkan kearifan yang luar biasa
sehingga siapa saja yang mendengar atau membaca
akan selalu dituntut untuk mengerti dan memahaminya
apa saja yang ada dibalik sesuatu yang disampaikannya.

Bilamana seseorang menghadapi masalah kehidupan,
kendatipun masalahnya pelik, rumit untuk dipecahkan,
senantiasa berusaha menghadapi dengan senyuman
kepada siapa saja tidak akan ditunjukkan berlawanan
meskipun sesungguhnya merupakan musuh bebuyutan
tetapi, diusahakan tampaklah harmonis menyenangkan
hingga lawan takhluk, bertekuk lutut menyerah bongkokan.

Penolakan terhadap sesuatu masalah yang dihadapi
tidak harus dikatakan dengan kata “tidak”, akan tetapi
cukup dengan senyuman dan petuah untuk berhati-hati
agar dalam menentukan pilihan benar-benar dimengerti
perihal resiko pilihannya apakah untung ataukah merugi
bilamana sudah mantap akan pilihannya, harap diyakini
namun, bila hal itu tidak sesuai, ya hanya andum basuki.

Permintaan terhadap suatu hal yang dirasa amat suka
seseorang itu tidak menyampaikannya secara terbuka,
tetapi melalui kata-kata sindiran, kiasan, atau metafora
agar apa yang disampaikannya itu bukan semata-mata
tampak atas dorongan keinginan nafsu serakah belaka
atau sekadar memohon belas kasihan kepada mereka
melainkan sesuatu permintaan wajar atau baisa saja,
selain itu, apabila permintaannya ditolak oleh mereka
sudan barang tentu harus siap merasa tidak kecewa.

Jakarta, 3 Juli 2015






Thursday, 2 July 2015

SADUMUK BATHUK SANYARI BUMI DILABUHI TOHING PATI

 
SADUMUK BATHUK SANYARI BUMI
DILABUHI TOHING PATI

Falsafah Jawa: sadumuk bathuk sanyari bumi
dilabuhi tohing pati, secara harfiah dapat berarti
satu sentuhan pada wanita dan satu jengkal bumi
setiap orang akan membelanya hingga sampai mati.

Perkara hak, wanita, dan tanah merupakan harga diri
apabila ada orang lain mengganggu hak yang dimiliki
tentu, seseorang tersebut akan membela hingga mati
wanita, isteri, atau anak perempuan dijamah, dicabuli
ataupun orang lain berbuat iseng, jahil, menyelingkuhi
terhadap apa-apa yang sudah menjadi miliknya pribadi
bagi lelaki, suami, atau orang tua, membela sampai mati.

Bumi atau tanah hak milik, terlebih warisan orang tua
merupakan harta pusaka yang menuntut selalu dijaga
bilamana ada orang lain yang berusaha menguasainya
walaupun itu hanya sejengkal, banyaknya tak seberapa
wajib hukumnya, siapa saja pemiliknya untuk membela,
tentu, tak dibiarkan begitu saja lepas dari kekuasaannya
apabila perlu harus dibela hingga sampai korban nyawa.
 
Demikian halnya setia kita kepada tanah pusaka bangsa
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yakni bumi persada
ibu pertiwi, ataupun tanah tumpah darah nusantara tercinta
kalau ada bangsa atau negara lain berusaha menguasainya
menjajah, menjarah, merampok, merendahkan martabat kita
walaupun hal itu hanya sejengkal, banyaknya tidak seberapa
bagi kita, tentulah wajib hukumnya untuk dapat membelanya,
tidak kita biarkan begitu saja dihina dan dijarah oleh mereka
apabila perlu harus kita bela hingga sampai korban nyawa.

Jadi, hal ini menuntut tanggung jawab kita sebagai bangsa
atas segala sesuatu yang sudah dipercayakan kepada kita
sesuatu yang berada dalam perlindungan, kekuasaan kita,
secara gagah berani dipertahankan hingga korban nyawa,
semata demi kehormatan, kewibawaan, tegaknya negara.

Jakarta, 2 Juli 2015




Pertemuan 15 Teori Sastra Tempatan