Friday, 18 September 2015

CATATAN PROLOG Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum.




CATATAN PROLOG:
ADEDAMAR WAHYU: GENRE BARU PUISI FILSAFAT JAWA
DAN OBSESI SANG PARAMARTHA KEMBALI KE AKAR SASTRA INDONESIA
Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum.[1]

Setelah sukses menerbitkan antologi puisi pertama berjudul Sang Paramartha (2014), Puji Santosa kini menerbitkan antologi puisi kedua yang diberinya judul Adedamar Wahyu dengan tambahan subjudul “Pustaka Puisi Falsafah Budaya Jawa”. Sepertinya Puji Santosa tidak bermaksud menerbitkan karya-karya baru, yang belum pernah diterbitkan sebelumnya. Banyak puisi dalam Adedamar Wahyu yang justru sudah dimuat dalam Sang Paramartha. Akan tetapi, kehadiran antologi puisi Adedamar Wahyu rupanya bermaksud menegaskan keyakinan atau kredo creative writing Puji Santosa tentang lahirnya sebuah genre baru: puisi filsafat budaya Jawa. Dengan kata lain, Adedamar Wahyu memberikan penegasan akan pentingnya pustaka puisi filsafat budaya Jawa.
            Tulisan singkat ini hanya ingin mengungkap fenomena kelahiran dan keberadaan puisi filsafat. Mengenai filsafat hidup orang Jawa, saya sudah memberikan sedikit catatan dalam antologi Sang Paramartha, lihat pada bagian akhir tulisan ini.
            Plato, filsuf Yunani yang terkemuka, mengungkapkan tegangan antara puisi dan filsafat. Oleh karena puisi adalah seni, dan unsur terpenting dalam seni adalah mimesis (peniruan), meniru dari tiruan, maka puisi tidak berguna. Puisi bahkan sebaiknya dibuang dari sebuah Negara ideal karena meredupkan akal budi. Kata Plato, “So, the poets lack knowledge, and the reason they lack knowledge is that they cannot give an account (logos) of what they are doing.”
            Aristoteles, murid Plato, memiliki pandangan yang jauh berbeda dari gurunya. Bagi Aristoteles, puisi memiliki kontribusi yang signifikan terhadap Negara ideal dalam bidang pemikiran dan ilmu pengetahuan. Puisi adalah filsafat yang menggambarkan pengalaman manusia dan kemanusiaan secara umum. Puisi lebih filosofis dibandingkan sejarah karena sejarah hanya mengisahkan singularitas manusia, sementara puisi menggambarkan tipe-tipe manusia yang sangat pluralis. Oleh karena itulah, puisi dan filsafat merupakan dua entitas yang kompatibel.
            Laura Maguire dalam tulisannya berjudul “Poetry As a Way of Knowing” pertama-tama merasa aneh bahwa puisi dapat menjadi sarana produksi ilmu pengetahuan. Secara umum, kata Maguire, puisi hanya berkaitan dengan menangkap kesan-kesan dan mengekspresikan perasaan. Tujuan puisi bukan mendeskripsikan dunia, karena itu merupakan tugas ilmu pengetahuan.  Puisi memang tidak berkaitan dengan pengetahuan praktis (practical knowledge) atau pengetahuan proposional (propositional knowledge). Akan tetapi, puisi jelas berkaitan dengan jenis pengetahuan ketiga, yaitu pengetahuan tentang fenomena (phenomenal knowledge). Puisi membuka jendela yang khas (unique window) ke dalam pengalaman-pengalaman subjektif. Membaca puisi membuat kita memahami kehidupan dengan cara yang berbeda. Itulah sebabnya Laura Maguire yakin, genre puisi filsafat merupakan sebuah jalan kebijakan umat manusia yang memiliki kedudukan yang sangat penting.
Jika dipahami secara mendalam, genre puisi filsafat sebenarnya memiliki akar sejarah yang panjang. Puisi adalah bentuk seni sastra yang menggunakan bahasa yang bernilai estetik dalam menyampaikan pikiran atau gagasan. Sementara itu, filsafat adalah sistem kepercayaan (system of beliefs) yang diterima oleh sebuah komunitas dan memiliki kekuatan otoritatif terhadap mereka. Filsafat dapat pula mencakup keyakinan pribadi  mengenai hidup dan bagaimana menyiasati kehidupan. Jadi, puisi filsafat adalah puisi yang berbicara mengenai filsafat hidup dan keyakinan sebuah komunitas budaya. Perhatikan puisi filsafat Michael J Ahles dalam puisi berjudul “Poetry” di bawah ini.

POETRY
Michael J Ahles

When words have no rules or regulations
And a sentence has no bounds
That is where the poet hides
Where truth can still be found
The word is mightier than the sword they say
When words are truly free
Poetry is the words of a poet
Then the poet has the power of Thee
There is a lesson to learn in poetry
A remedy and a cure
For poetry are words of freedom
And in freedom the truth shall set us free
What is the truth One wonders
In the phrase and phrases of a rhyme
The true poetry of a free poet
Will bring equality to All in Just time
For freedom is equality
Unity of not only mankind
The true words of a poets’ poetry
Is the beautiful true Oneness of All kind.

            Puisi menyembunyikan kebenaran yang sesungguhnya hendak diungkapkannya. Puisi selalu memberikan  nilai-nilai untuk dipelajari. Dengan kata-kata yang bebas di tangan penyair, puisi sesungguhnya membebaskan dan menyatukan kita dan alam semesta.
Dalam sejarah sastra Indonesia, belum terungkap secara tegas kehadiran dan keberadaan puisi filsafat. Sudah ada prosa lirik yang mengungkap filsafat hidup orang Jawa dalam karya Linus Suryadi AG. Puji Santosa kiranya orang pertama yang menegaskan kelahiran puisi filsafat dalam sejarah sastra Indonesia. Sesuai dengan minat dan keahliannya, Puji Santosa mengawali kehidupan genre puisi filsafat ini dengan filsafat Jawa melalui dua antologi puisinya: Sang Paramartha dan  Adedamar Wahyu.
***

Antologi puisi Puji Santosa yang pertama memiliki judul yang kaya makna, Sang Paramartha. Sang Paramartha sebenarnya terdiri dari empat kumpulan sajak, yaitu kumpulan (1) Mustika Dwipa yang berisi 20 buah puisi; (2) Sang Pencerah yang berisi 25 buah puisi; (3) Oh Dunia yang berisi 30 buah puisi; dan (4) Sang Nabi yang berisi 18 buah puisi.
Mengapa Sang Paramartha? Dalam sejarah sastra Budhis, tersebutlah seorang bhiksu besar yang sangat berpengaruh, seorang penerjemah karya-karya Budhisme Cina, bernama Sang Paramartha (499—569). Terlahir dengan nama Kulanātha dari kerajaan Malwa di India bagian tengah, Sang Paramartha mula-mula hijrah ke Kerajaan Funan kemudian mendarat di Cina melalui Guangdong dan menetap sampai meninggal di Cina. Paramartha adalah sebuah gelar kebesaran. Kata itu berasal dari dua kata dasar, yaitu parama yang berarti ‘paling tinggi’, dan artha yang artinya ‘makna atau nilai’. Jadi, Paramartha berarti “makna atau nilai yang paling tinggi”. Gelar ini diberikan karena dedikasi yang total dan kecendekiaannya dalam menerjemahkan sūtra dan sãstra Budhisme, antara lain Golden Light Sutra (Skt. Suvarnaprabhāsa Sūtra). Sang Paramartha adalah representasi makna dan nilai-nilai tertinggi.
            Dalam ajaran Budha, dikenal pula ajaran Dasa Paramartha, yaitu sepuluh macam ajaran kerohanian yang dapat dipakai sebagai penuntun dalam tingkah laku yang baik serta  untuk mencapai  tujuan hidup yang tertinggi (Moksa). Dasa Paramartha ini terdiri dari sepuluh nilai, yaitu: tapa, bratha, samadhi, santa, sanmata, karuna, karuni, upeksa, mudhita, dan maitri. Ajaran Paramartha berarti ajaran tentang nilai-nilai kesempurnaan (completedness).
            Judul antologi puisi Puji Santosa yang pertama, Sang Paramartha, serta-merta menggiring pembaca ke arah berbagai ajaran, panduan, atau pedoman nilai untuk mencapai kesempurnaan dalam hidup di dunia dan di akhirat. Persoalannya adalah, mengapa penyair begitu terobsesi menawarkan ajaran-ajaran kesempurnaan melalui sastra? Apakah sastra itu? Mengapa seorang Puji Santosa, peneliti sastra senior dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa yang telah banyak menerbitkan kajian-kajian sastra, “turun gunung” dengan segudang ajarannya? Mengapa Sang Paramartha ini lahir di tahun politik 2014, tepat sebelum gonjang-ganjing suksesi kepemimpinan nasional bangsa Indonesia? Apa sajakah bekal yang diperlukan pembaca menikmati panorama puisi-puisi Puji Santosa?
Ulasan ini tidak berpretensi membahas atau memetakan semua nilai yang dikandung dalam puisi-puisi Puji Santosa. Selain saya tidak memiliki kemampuan untuk nguri-uri kabudayan Jawi, tidak pada tempatnyalah sebuah catatan prolog menggantikan tugas kritik sastra. Tulisan ini hanya akan menyinggung permukaan dari pertanyaan-pertanyaan tersebut untuk memancing diskusi yang lebih mendalam dan meluas.
***
Secara umum, dikenal dua jenis bacaan sastra, yaitu bacaan ringan (leisure reading) dan bacaan yang berat (serious literature). Menghadapi puisi-puisi Puji Santosa, perlu ditambahkan sebuah jenis bacaan lagi, yaitu bacaan yang menuntut keseriusan pembaca (the most committed of readers). Secara sepintas, susunan puisi Puji Santosa terkesan ringan, tetapi pemahamannya membutuhkan keseriusan yang mendalam dari pembaca. Perhatikan, misalnya, puisi “Catur Kerti” berikut ini.

CATUR KERTI

Agar hidup kita sungguh berarti
"sepa" atau "sepah" tidak akan terjadi
tetap marsudi agar dapat menjadi "sepi"
tentu ada sarananya untuk tetap berisi
hal pertama haruslah dapat "mangerti"
setelah engkau dapat “mangerti”
leburlah dalam "makarti" setiap hari
pupuk dan siramilah dengan “olah makerti"
agar setiap hari dapat "mastuti ing Widhi"
berbakti kepada Ilahi hingga menembus "rahsa jati".

Bekasi, 21 Maret 2011

            Susunan puisi “Catur Kerti” tampak sederhana. Puisi sepuluh larik ini tersaji dalam satu bait saja dengan perhitungan rima akhir yang cermat. Akan tetapi, isinya tidak mudah ditangkap, bahkan untuk pembaca yang berasal dari komunitas budaya Jawa sekalipun. Puisi singkat ini menyajikan begitu banyak konsep tentang kehidupan yang menuntut keseriusan untuk dimengerti secara mendalam, seperti “sepa”, “marsudi”, “mangerti”, “makarti”, “makerti”, “mastuti ing Widhi”, dan “rahsa jati”. Puisi ini jelas dibangun dari obsesi penyair yang sangat kuat, yang dipenuhi dengan keinginan untuk menyebarkan nilai-nilai luhur yang sangat berguna, baik bagi individu maupun masyarakat. Untuk memahami puisi ini, dibutuhkan keseriusan dan komitmen dari pembaca. Itulah sebabnya puisi-puisi Puji Santosa ini dapat dikategorikan ke dalam sastra obsesif (literature of obsession).
Menurut Plato (dalam Gunsaulus, 1995), seorang sastrawan yang baik menuliskan karyanya pertama-tama bukan sebagai karya seni yang mengutamakan unsur bentuk melainkan karena dia terinspirasi atau terobsesi akan sesuatu (Plato dalam Gunsaulus, 1995). Bukan bentuklah yang penting bagi Plato, melainkan inspirasi dan obsesi pengarang itu yang perlu dan penting untuk dirunut. Pertanyaannya sekarang adalah, apa sesungguhnya obsesi Puji Santosa? Tidak sulit menjawab pertanyaan ini. Mulai dari judul, puisi-puisi Puji Santosa terinspirasi dan terobsesi sebuah panggilan jiwa untuk memberikan tuntunan, pencerahan, dan ajaran moral bagi masyarakat bangsanya yang dinilai sudah mengalami degradasi nilai yang parah. Tuntunan dan pencerahan itu bisa diambil dari berbagai sumber. Puji Santosa tidak segan-segan mengambil saripati tuntutan hidup dari berbagai kebudayaan dan agama.
            Obsesi Puji Santosa ini sedemikian memuncak sehingga struktur atau forma puisi yang sudah diterima sebagai sebuah konvensi umum pun dilanggarnya, seperti terlihat dalam puisi panjang berjudul “Bima Manunggal”, dalam kumpulan puisi Adedamar Wahyu diubah dan direvisi menjadi “Golek Wit Gung Susuhing Tapak Angin”. Pada bait ke-18 dan 19, puisi itu memberikan perincian terhadap sebuah konsep ajaran yang ditandai dengan angka-angka. Pada bait ke-20, dikemukakannya semacam kesimpulan tentang ajaran-ajaran yang dikemukakannya dalam puisi “Golek Wit Gung Susuhing Tapak Angin”. Berikut ini dikutip ketiga bait tersebut.

Sebagai tangga dapat menuju mencapai watak Hastha Sila
haruslah berjalan di Jalan Rahayu, Jalan Keselamatan Jiwa,
disebut juga dengan Panca Darma Bakti, yaitu lima perkara:
1.      Meresapkan Paugeran Tuhan kepada hamba,
sebagai dasar keparcayaan yang benar-benar nyata.
2.      Melaksanakan Panembah kepada Tuhan Yang Maha Esa
sebagai tanda berbakti dan tali kasih kesadaran hamba.
3.      Melaksanakan Budi Darma, sarana dapat menyucikan jiwa,
upaya membabarkan rasa kasih sayang kepada sesama.
4.      Mengendalikan Hawa Nafsu dengan melakukan tapa brata,
mengekang hawa nafsu yang menuju ke perbuatan tercela.
5.      Berusaha dapat menetapi derajat Budi Luhur, Budi Mulia.

Selain itu, semua umat wajib berikhtiar atau berusaha:
jangan sampai menerjang Larangan Yang Mahakuasa,
dengan apa yang disebut sebagai perintah akan Paliwara,
yaitu ada lima hal atau perkara yang menjadi larangan-Nya:
1.      Janganlah engkau menyembah selain kepada Allah Taala.
2.      Berhati-hatilah engkau semua terhadap hal syahwat manusia.
3.      Janganlah makan atau mempergunakan makanan apa saja
dapat memudahkan cepat rusaknya jiwa raga kalian semua.
4.      Patuhilah sungguh Undang-undang Negara dan peraturannya.
5.      Janganlah engkau berselisih atau bertengkar dengan sesama.

Demikian ringkasan apa yang disebut dengan Ilmu Sejati,
Ilmu yang menunjukkan asal mula dan tujuan hidup insani,
akhirnya Bima dapat bertunggal dengan Sang Guru Sejati,
di pusat wit gung susuhing tapak angin, pusat hati sanubari,
berbahagia dapat menemukan tirta pawitra mahening suci,
air penghidupan yang suci, berwujud Wahyu Sasangka Jati.
Sebenarnya semua sudah bertunggal pada diri Bima sendiri.

            Jika kutipan ini dibaca terpisah dari keseluruhan puisi “Golek Wit Gung Susuhing Tapak Angin”, barangkali orang tidak akan berpikir bahwa kutipan tersebut merupakan larik-larik puisi. Kutipan itu barangkali akan dinilai sebagai sebuah ringkasan ajaran dengan uraian yang rinci yang diakhiri dengan kesimpulan tertentu.
            Beberapa perspektif teori sastra barangkali akan mengkritik model sastra obsesif seperti karya-karya Puji Santosa ini. Para pelopor ilmu sastra, yaitu kaum formalis Rusia, menegaskan bahwa yang membuat sebuah konstruksi bahasa disebut sebagai karya sastra adalah format atau bentuknya. Karena itu, menurut kaum formalis Rusia, sastra terutama puisi, perlu menyulap aspek-aspek kebahasaan untuk menimbulkan berbagai efek seperti musikalitas bahasa, rima, gaya bahasa, defamiliarisasi, dan berbagai gejala kebahasaan lainnya.
Jika aspek struktur atau bentuk atau format pada puisi-puisi Puji Santosa dicermati, kita bakal menemukan dua ciri yang sangat menonjol. Pertama, perhitungan rima akhir yang relatif konsisten pada hampir semua puisinya. Kedua, penggunaan istilah dan diksi yang berakar dalam dan luar pada tradisi spiritualisme orang Jawa, yang merupakan ramuan Taoisme, Hinduisme, dan Budhisme yang menjelma menjadi keunikan sejati dari Kejawen. Puji Santosa juga tidak segan-segan menggali ajaran dari berbagai agama lainnya, termasuk Islam dan Kristen. Dua ciri kebahasaan ini sangat menonjol dari puisi-puisi Puji Santosa. Ciri lainnya yang berkaitan dengan gaya dan gejala bahasa tidak banyak ditemukan. Dapat dikatakan bahwa aspek formal atau bentuk tidak menarik perhatian Puji Santosa secara intens. Hal ini pun, bukan sebuah persoalan yang terlalu penting untuk karya sastra obsesif karena yang utama baginya adalah otentisitas pesannya dan bukan medium penyampaiannya.
            Pilihan Puji Santosa ini bukan tanpa pembenarannya dalam paham sastra menurut tradisi Indonesia. Dalam bahasa Indonesia, kata ‘sastra’ diturunkan dari bahasa Sanskerta Sãs- artinya mengajar, memberi petunjuk atau instruksi, mengarahkan; akhiran -tra biasanya menunjukkan alat atau sarana. Karena itulah, dalam tradisi kita, sastra berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran. Misalnya: silpasastra (buku petunjuk arsitektur), kamasastra (buku petunjuk mengenai seni bercinta). Dapat dikatakan bahwa Puji Santosa menempatkan karya sastranya sebagai alat untuk mengajar atau sarana pencerahan bagi pembaca. Dengan memilih posisi sastra seperti itulah, peneliti utama bidang sastra ini berupaya untuk menggali dan merevitalisasikan akar kesusastraan Indonesia.

***

Puisi berjudul “Sang Paramartha” yang dijadikan judul antologi puisi yang pertama tentu memiliki fungsi dan kedudukan yang lebih istimewa dibandingkan dengan puisi-puisi lainnya. Dalam Adedamar Wahyu ini puisi “Sang Paramartha” dimuat ulang sebagai puisi yang ke-84. Mengingat pentingnya puisi ini, akan dibahas beberapa pokok pikiran yang menyangkut struktur dan isinya.
            Dari segi struktur, puisi Sang Paramartha terdiri dari sembilan bait. Jumlah larik dalam setiap bait bervariasi: yang paling pendek 5 larik dan yang paling panjang 9 larik. Puisi ini sangat didominasi oleh bunyi-bunyi eufoni (a, i, u, e, o) yang menimbulkan efek merdu dan berirama. Dengan rima akhir yang sama dan konsisten, puisi ini ingin memberikan kesan bersemangat dalam mengajarkan tanpa mengguruinya.
                Dari segi isinya, puisi Sang Paramartha menawarkan sembilan ajaran dan tuntunan keutamaan. Kesembilan ajaran pada setiap bait dapat diringkas sebagai berikut. (1) sosok berhati mulia dan menyenangkan; (2) ramah, bersahabat, bersusila; (3) sedikit bertutur tetapi berbobot dan jujur; (4) sopan, berwibawa, ramah, menimbulkan rasa segan; (5) bersahaja, sederhana, rapi, bersih, dan enak dipandang; (6) adil, bijaksana, sabar; (7) setia pada negara, menghormati semua agama, aturan, undang-undang; (8) mampu menjaga harkat, martabat, harga diri, dan tidak sombong; serta (9) mampu menyejahterakan dunia.
Susunan antologi Sang Paramartha ini pun mengandung pemaknaan semiotisnya sendiri. Dalam kumpulan pertama Mustika Dwipa, puisi “Aji Saka” justru diletakkan sebagai puisi ketiga, setelah “Adigang Adigung Adiguna” dan “Aja Dumeh”. Pakar dan pengamat kebudayaan Jawa tentu bertanya-tanya, mengapa “Aji Saka” tidak ditempatkan sebagai ‘sang pembuka’? Bukankah Aji Saka adalah cultural hero Jawa yang dikenal sebagai awal, alfa atau alif dalam perjalanan kebudayaan Jawa?
            Logika pertanyaan itu terjawab dengan mengungkap makna dua puisi sebelumnya, yakni “Adigang Adigung Adiguna” dan “Aja Dumeh”. Kedua puisi ini menunjukkan sifat-sifat turunan yang dimiliki manusia saat ini (existing attitude) yang perlu diluruskan dengan kedatangan Sang Aji Saka.
Dalam “Adigang Adigung Adiguna” Puji Santosa menyindir tiga jenis watak, yaitu (1) adigang (orang yang congkak mengandalkan kedudukan, pangkat, derajat, dan jabatan); (2) adigung (orang takabur yang mengandalkan derajat yang berasal dari darah biru keturunan ataupun yang mengandalkan harta kekayaan; (3) adiguna (orang-orang cerdik cendekia yang berwatak sombong karena ilmunya dan meremehkan orang lain). Dalam alam kapitalistik dan hedonistik seperti sekarang ini, hampir semua orang berwatak “Adigang Adigung Adiguna” tanpa pengecualian. Sistem kapitalisme bahkan menciptakan sistem dan ruang di mana manusia berlomba-lomba mendapatkan kesemuanya itu tanpa batas.
            Segera setelah menyadari sisi busuk “Adigang Adigung Adiguna” yang merusak dan menghancurkan, Puji Santosa menampilkan puisi “Aja Dumeh” yang secara eksplisit memberikan jawaban berupa pedoman mawas diri orang Jawa. Aja Dumeh berisi nasihat bagi orang yang “mentang-mentang” berkuasa, mentang-mentang kuat dan gagah, mentang-mentang kaya-raya, dan mentang-mentang sekarang menang” untuk melakukan tindakan pongah, congkak, loba, ceroboh, gegabah terhadap orang lain. Berikut in saya kutip dua bait pertama puisi tersebut.

AJA DUMEH

Aja dumeh merupakan pedoman mawas diri orang Jawa
bilamana engkau dikaruniai sesuatu kelebihan apa saja
janganlah engkau sombong, congkak, takabur, dan loba
serta janganlah lupakan terhadap asal-usul di sekitar kita
senantiasa harus sadar bahwa kelebihanmu itu amanah saja
oleh karenanya, janganlah engkau melupakan jasa mereka.

Aja dumeh kuwasa,
banjur tumindakmu dadi daksura
lan daksia marang ing sapadha-padha.
“Janganlah mentang-mentang engkau berkuasa
lalu perbuatanmu menjadi pongah, congkak, dan loba
serta sewenang-wenang terhadap sesama makhluk-Nya.”

Aji Saka tidak muncul dari kekosongan seperti Adam di Firdaus. Ia hadir ketika penduduk negeri Medangkamulan hidup dalam kegelapan dan ketakutan. Konon nama aslinya Empu Sangkala yang berasal dari Hindustan. Rakyatnya hidup sengsara, tanpa perlindungan, resah, gelisah tanpa harapan karena setiap hari sang raja raksasa siap memakan daging manusia. Empu Sangkala suatu ketika mengalahkan dan membunuh raja raksasa Dewata Cengkar. Maka terbebaslah rakyat dari ketakutan. Dia pulalah yang memperkenalkan aksara Jawa (ha na ca ra ka), lengkap dengan berbagai ajaran tentang kosmologi, manusia, dan Tuhan, yang disebut Jawanisme. Beberapa sarjana menyebut Jawanisme sebagai kebatinan Jawa. Tuntutan dan pedoman itu pun dimulailah. Bagi orang Jawa, tokoh Aji Saka, dapat dipandang sebagai Adam, manusia pertama yang memperkenalkan (kebudayaan) tulisan kepada orang Jawa.
Sekalipun tidak meledak-ledak, Puji Santosa sepertinya geram dengan budaya instan-hedonistik yang tengah mengakar dalam masyarakat kita. Orang modern senantiasa mabuk mengejar harta, kekuasaan, dan kesenangan sampai semuanya lupa daratan dan hidup di awang-awang bagai layang-layang. Inilah pula kiranya alasan Puji Santosa bangkit seperti seorang resi yang geram untuk “turun gunung” membimbing kaumnya menuju sebuah peradaban yang ideal, yang menjamin kedamaian hidup dan kesejahteraan umat manusia di bumi dan keselamatan jiwanya di akhirat. Sebagai seorang yang sebagian besar hidupnya diabdikan dalam bidang penelitian bahasa dan sastra, Puji Santosa mengenal dengan sangat baik saripati ajaran-ajaran berbagai agama dan budaya yang terekspresikan dalam karya sastra.
***

            Menjawab obsesi penyair yang nota bene juga seorang pakar sastra yang menawarkan nilai-nilai kearifan untuk menciptakan keselamatan (termasuk kedamaian di bumi dan di akhirat), kumpulan puisi yang penuh dengan butir-butir mutiara budaya Jawa ini menawarkan berbagai perspektif. Dalam kumpulan pertama, Mustika Dwipa, tampak obsesi pengarang menempatkan ajaran-ajaran yang umumnya berasal dari Jawanisme, yang menuntun ke jalan keselamatan itu. Dalam “Bima Manunggal”, dikemukakan “ilmu sejati” yang menunjukkan secara simbolis asal-usul dan tujuan hidup manusia. Dalam “Catur Kerti”, dikemukakan lima keutamaan untuk menembus “rahsa jati”. Dalam “Cupu Manik Hastha Gina”, dikemukakan delapan ajaran pokok tentang hal-hal yang penting dan berguna dalam hidup manusia, yang mencakup: wanita, garwa, wisma, turangga, curiga, kukila, waranggana, dan pradangga. Dalam “Hastha Brata 1” dikemukakan kebijakan pemimpin Negara, Wibisana, dalam memerintah negeri Alengka. Wibisana perlu meneladan delapan dewa dengan sifat dan keutamaannya masing-masing, yaitu: Dewa Indra, Dewa Surya, Dewa Bayu, Dewa Kuwera, Dewa Baruna, Dewa Yama, Dewa Candra, dan Dewa Brama. Dalam “Hastha Brata 2” dikemukakan teladan Prabu Ramawijaya dalam memimpin negeri Pancawatidhendha dengan arif bijaksana dan berwibawa mencontoh laku sifat alam, yaitu bumi atau tanah, air, angin, samudra, bulan, bintang, matahari, dan api.
            Kumpulan Kedua: Sang Pencerah berisi ajaran-ajaran dan tuntunan kehidupan yang terlahir dari orang yang sudah dicerahkan. Tidak banyak nguri-uri kabudayan di sini karena pedoman-pedoman ini tidak banyak mengikuti ajaran-ajaran, sebagaimana banyak dikutip, disadur, dan digunakan pada kumpulan pertama.
Judul-judulnya telah mengindikasikan secara jelas, ke arah mana isi ajaran dan tuntunan hendak diarahkan. “Bahagia”, “Berjalan di Jalan Kebenaran”, “Cahaya”, “Cendekia Bersyukur”, “Cita-Citaku”, “Doa”, “Doa dan Harapan”, “Doa Pengentasan Insan”, “Guru”, “Harapan”, “Ikrar Ksatria Utama,” “Jujur: Menepati Janji”, “Kesanggupan Suci Dasasila”, “Kredo”, “Lautan Kesabaran”, “Mencapai Taman Kemuliaan”, “Menembus Jiwa Mewujud Karsa”, “Meniti Jalan Benar”, “Piawai Berbakti”, “Rela: Tulus Ikhlas”, “Rezeki Datang dari Ilahi”, “Sang Paramartha”, “Sembah Cipta dan Hati”, “Siapa yang Masih”, “Tawakal dan Bersyukur”.
            Kumpulan Ketiga: Oh, Dunia berisi keprihatinan penyair terhadap berbagai peristiwa sehari-hari sampai tragedi besar yang menimpa umat manusia di tanah air. Perhatikan judul-judul puisi dalam kumpulan ketiga ini. “Balada Marsinah dan Wiji Tukul”, “Berbagi”, “Bertambah”, “Dari Desa Dunia Menuju ke Istana Mulia”, “Flu Berat”, “Goda”, “Harus Tetap Dijaga”, “Kafilah di Bumi”, “Kasih,” “Kekasihku”, “Ketentuan Ilahi”, “Lebaran 1: Sebentar Lagi”, “Lebaran 2: Membawa Berkah”, “Lebaran 3: Nikmat Ketupat”, “Lebaran 4: Selamat Kemenangan”, “Maju! Mari”, “Manusia dan Dunia”, “Masih Ada Asa”, “Mengukir Muaro Jambi”, “Merajut Gerakan”, “Merdeka”, “Oh Dunia 1”, “Oh Dunia 2”, “Oh Dunia 3”, “Oh Jakarta”, “Pemimpin Dunia Akhirat”, “Sampah”, “Seperti Merpati”, “Siapa Cepat Selamat”, “Ulang Tahun”.
Sekalipun penyair bermaksud mengungkapkan realitas kehidupan sehari-hari, obsesi eskatologisnya tidak pernah benar-benar hilang. Ketika menyinggung soal sampah sekalipun, penyair tetap terobsesi dengan kehidupan akhirat. “Setumpuk sampah mulai gelisah//Tersengat bau busuk merebak resah//Kenapa hidup harus berkeluh kesah//Marilah kita berserah kepada Allah”. Penyair tidak lupa mengeksplisitkan nilai-nilai watak berbudi luhur yang diperlukan “Akan menjadi bekal jalan kembali ke Surga.” Perhatikan keprihatinan penyair pada dunia dan ajakannya menuju ke surga dalam puisi “Mari” berikut ini.

MARI....

Segulung ombak mulai menerjang
Kapal nelayan terempas melayang
Kenapa bencana mesti selalu datang
Mari tingkatkan semangat berjuang

Sebungkah angin topan menghempas
Meluluhlantakkan tanah tanpa belas
Raung jeritan anak manusia memelas
Mari kita selesaikan agar semua puas

Setumpuk sampah mulai gelisah
Tersengat bau busuk merebak resah
Kenapa hidup harus berkeluh kesah
Marilah kita berserah kepada Allah

Segumpal awan mulai berarakan
Sebentar pertanda hari akan hujan
Kenapa hidup tidak ada kepastian
Mari kita berserah kepada Tuhan

Sepanjang zaman selalu ada bencana
Pertanda hidup di dunia penuh dinamika
Tiada menyesal seusai terusir dari Surga
Mari berusaha agar kembali kepada-Nya

Sabar, jujur, tawakal narima, dan rela
Menjadi perantara watak berbudi mulia
Disertai selalu sadar, bakti, iman, dan takwa
Akan menjadi bekal jalan kembali ke Surga.

Bekasi, 1 Desember 2013.

Dalam kumpulan keempat, Sang Nabi, penyair mengajak kita untuk belajar dari sejarah hidup dan teladan para nabi. Ada enam nabi yang dipaparkannya dalam bentuk balada, yaitu “Balada Nabi Adam AS”, “Balada Nabi Idris AS”, “Balada Nabi Nuh AS”, “Balada Nabi Hud AS”, “Balada Nabi Saleh AS”, “Balada Nabi Luth AS”.  Hal yang menarik adalah dikemukakannya dua tokoh dari Kitab Suci Perjanjian Lama, Kain dan Habil, sebagai salah satu kisah panutan, agar kita memberikan kepada Tuhan persembahan yang terbaik.
***
Sebuah ekspresi artistik, secara umum dapat ditinjau dari dua kondisi, yaitu otentisitas pesan yang disampaikan dan orisinalitas medium penyampaian (Ignas Kleden, 2001). Pesan-pesan yang disampaikan Puji Santosa berasal dari penghayatan pribadinya yang begitu intens terhadap Jawanisme dan ajaran-ajaran lainnya. Sebagai seorang yang bukan berasal dari etnis dan kebudayaan Jawa, saya menilai Puji Santosa begitu total melibatkan seluruh kemampuan mentalnya dengan ajaran-ajaran Jawanisme. Intensitas pemahaman dan penghayatan Puji Santosa pada ajaran Jawanisme tidak hanya terjadi pada level olah pikir dan olah rasa saja, melainkan lebih dari itu telah menjadi ungkapan seluruh kepribadiannya. Puji Santosa dan Jawanisme bukan lagi dua entitas yang berbeda melainkan sudah saling merasuk dalam satu manifestasi: Sang Paramartha.
            Menyangkut orisinalitas medium penyampaiannya, Puji Santosa memilih bentuk puisi. Struktur puisi-puisi Puji Santosa dibangun dengan memperhatikan rima akhir dan tentu saja ritme puitis. Ia tidak banyak menggunakan bahasa bersayap dengan kombinasi gaya bahasa yang rumit. Bahasanya justru terlihat polos, tidak ada ambiguitas pemaknaan. Hal ini barangkali bukan sebuah kebetulan, karena bahasa puisi Puji Santosa banyak mengandung dan membawa pesan-pesan yang berat, sebagian masih menggunakan istilah-istilah Jawa Kuna, Hindu, Budha, dan Islam. Agar dapat dinikmati, puisi-puisi Puji Santosa memerlukan pembaca yang serius.
Hadirnya antologi puisi Sang Paramarta patut dicatat sebagai sebuah peristiwa budaya yang tidak terjadi sebagai sebuah kebetulan belaka, “Ketahuilah olehmu sekalian// bahwa tidak ada kejadian// yang tanpa sebab nyata” (lihat puisi Puji Santosa, “Tiada Hal Kebetulan”). Terbitnya antologi Sang Paramartha ini memang mendapat momentum yang baik justru ketika bangsa Indonesia dihadapkan pada sebuah peristiwa politik ‘pergantian kepemimpinan nasional’ di tahun 2014 ini. Sejarah membuktikan bahwa suksesi di Indonesia jarang terlaksana secara mulus tanpa keributan dan korban, baik korban nyawa maupun korban harta benda. Momentum pergantian kepemimpinan nasional juga mengandung harapan yang sangat besar dari seluruh rakyat untuk mendapatkan seorang pemimpin bangsa yang benar-benar memiliki integritas moral dan keberanian yang teguh untuk  memimpin bangsa ini keluar dari berbagai keterpurukan. Bangsa ini membutuhkan Sang Paramartha. Karena itu, antologi puisi Sang Paramartha yang lahir sebelum hiruk-pikuk pergantian kepemimpinan nasional ini adalah kado bagi pemimpin bangsa dan rezim pemerintahannya yang baru. Sang Paramartha ibarat Yohanes Pembaptis yang mempersiapkan jalan bagi kedatangan Isa Almasih.
Antologi ini hadir di tahun politik 2014 sebagai sebuah ajakan untuk melakukan perjalanan rohani (spiritual journey) menimba kekayaan spiritual bangsa yang tersimpan dalam khazanah pemikiran berbagai ajaran agama dan kepercayaan komunitas lokal. Kearifan, keutamaan, dan kebijaksanaan hidup warisan leluhur terbukti tahan uji dan memiliki daya hidup yang sangat tinggi. Berkat berbagai ajaran nilai-nilai luhur itulah, masyarakat kita dapat senantiasa survived mengatasi tantangan zaman. Kita menyaksikan pula bahwa Jawanisme tetap tegak mempertahankan identitas kulturnya di tengah gempuran kebudayaan modern yang semakin pragmatis, instan, dan hedonistik. Semoga Sang Paramartha membuka jalan bagi Sang Paramartha, pemimpin yang akan mewujudkan impian lebih dari dua ratus juta penduduk Indonesia mencapai kesejahteraan hidup di dunia dan mencapai kesempurnaannya di akhirat. 


Yogyakarta, 6 Februari 2014



[1] Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum.  adalah pakar kritik sastra dan dosen pada Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Thursday, 17 September 2015

METODOLOGI PENELITIAN SASTRA: Paradigma, Proposal, Pelaporan, dan Penerapan

  

Judul Buku   : METODOLOGI PENELITIAN SASTRA:
                          Paradigma, Proposal, Pelaporan, dan Penerapan
Penulis          : Puji Santosa
Penerbit         : Azzagrafika, Yogyakarta
Tahun            : Oktober 2015
Halaman        : xvi + 246 halaman
Ukuran Buku  : 14,5 x 21 Cm
Harga             : Rp60.000,00

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------- KATA PENGANTAR PENERBIT

Metodologi penelitian adalah cara mencari kebenaran dan asas-asas gejala alam, sosial, kebudayaan, dan kemasyarakatan atau kemanusiaan, berdasarkan disiplin ilmu yang bersangkutan. Dalam mencari kebenaran ter­sebut peneliti dapat memilih jenis-jenis metode penelitian dalam melak­sanakan penelitiannya, antara lain, metode kualitatif, kuantitatif, deskriptif, historis komparatif, eksperimental, analisis konten, dan kajian budaya. Demikian halnya dalam bidang kesusastraan, metodologi penelitian sastra adalah cara mencari kebenaran dan asas-asas gejala kesusastraan, kebudayaan, dan kemasyarakatan, berdasarkan disiplin ilmu humaniora untuk kesejahteraan umat.
Buku Metodologi Penelitian Sastra: Paradigma, Proposal, Pelaporan, dan Penerapan yang ditulis Puji Santosa ini merupakan buku panduan bagi calon peneliti dan peneliti, juga dapat sebagai referensi mahasiswa diploma, S-1, S-2, dan S-3, dalam melaksanakan penelitiannya, dari persoalan memahami paradigma penelitian, merancangan penelitian, membuat urutan kerja penelitian, memilih sarana dan prasarana yang digunakan untuk mengumpulkan, mengolah, mengklasifikasikan, mengukur, menganalisis, dan menyajikan data, hingga melaporkan hasil penelitiannya.
Agar buku panduan ini tidak terasa kering wawasan, dalam buku ini disajikan juga contoh penerapan beberapa metode penelitian sastra yang berkaitan dengan masalah promosi kepariwisataan Indonesia; persoalan pemeliharaan lingkungan hidup yang bersih dan sehat sebagai upaya kampanye sadar lingkungan; kearifan budaya dan fungsi kemasyarakatan sastra lisan sebagai upaya penyelamatan sastra hampir punah; pemahaman lintas-budaya serumpun dalam menghadapi benturan budaya; perbandingan diakronis karya sastra yang berbeda zaman dengan penelusuran kedudukan, fungsi, kesejajaran, genetika, generik, dan tematik teks sebagai upaya penyelamatan aset bangsa; analisis konten semiotik dengan penelusuran tanda-tanda bentuk dan bunyi, sintaksis semiotik, semantik semiotik, pragmatik semiotik, dan hubungan intertekstual sebagai upaya pemahaman gejala alam dan budaya bangsa; kritik mitos nusantara dengan penelusuran struktur, latar, ideologi, jenis, penampilan, dan manfaat mitos sebagai pemahaman kesadaran purba agar tidak tercerabut dari akar tradisi; serta historis komparatif cerita rakyat dengan penelusuran tipe, motif, dan historis komparatif sebagai upaya pengembangan strategi kebudayaan di Indonesia.
Mengingat betapa pentingnya buku panduan bagi calon peneliti dan peneliti ini, Elmatera dengan bangga menerbitkan buku panduan ilmiah bidang penelitian sastra ini dan menyajikannya yang terbaik kepada masyarakat. Semoga penerbitan buku ini dapat menambah khazanah publikasi hasil penulisan karya ilmiah di Indonesia serta sebagai sumbangsih kami kepada masyarakat dan bangsa Indonesia. Selamat membaca dan mengapresiasi sajian penerbitan kami ini.

                                                                                       Penerbit Azzagrafika

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
PENGANTAR PENYUNTING AHLI

            Pada awalnya suatu penelitian timbul dari keingintahuan manusia atas pengamatan akan gejala-gejala alam, sosial, dan kebudayaan yang melingkupi manusia. Keingintahuan manusia atas pengamatan itu kemudian menimbulkan pertanyaan, kesangsian, keragu-raguan, bahkan menjadi teka-teki atas misteri dibalik apa yang dilihat, apa yang didengar, dan apa yang dirasakan atas pengamatannya tersebut. Keseluruhan pertanyaan akan keingintahuan manusia itulah yang kemudian menjadi permasalahan dalam suatu penelitian. Sebab, aktivitas penelitian itu pada dasarnya memecahkan permasalahan yang diakhiri dengan hasil temuan. Atas hasil temuan ini peneliti kemudian melaporkan dalam bentuk paparan karya tulis ilmiah. Karya tulis ilmiah itu dapat disampaikan dalam forum seminar, simposium, dan kongres ilmiah; atau dapat juga dilaporkan dalam bentuk skripsi, tesis, dan disertasi bagi mahasiswa yang tengah menempuh pendidikan di perguruan tinggi; dan atau dapat juga dimuat dalam jurnal ilmiah, prosiding, bunga rampai penelitian ilmiah, dan menjadi buku karya ilmiah.
Sebelum sampai menemukan hasil penelitaian, suatu penelitian berangkat dari masalah. Apa yang dihadapi peneliti tentu banyak masalah. Satu masalah dengan masalah lainnya tentu dapat saja terjadi tumpang tindih, bertabrakan, ataupun hampir sama. Agar penelitian kita fokus terhadap satu atau beberapa masalah, perlu perumusan masalah. Setelah perumusan masalah ditemukan, barulah melakukan penelaahan informasi. Hasil penelaahan informasi dapat dimanfaatkan untuk menyusun instrumen penelitian. Susunan instrumen penelitian agar valid atau sahih perlu dilakukan uji coba ke lapangan. Hasil uji coba lapangan ditelaah dan perlu dilakukan evaluasi. Setelah instrumen penelitian direvisi sesuai dengan hasil uji coba lapangan, maka tindakan selanjutnya adalah pengumpulan data. Pengumpulan data dapat dilakukan dengan cara studi pustaka, wawancara, penyebaran kuesioner, dan atau observasi lapangan. Data-data yang telah dikumpulkan lalu diolah melalui cara klasifikasi, identifikasi, kodefikasi, analisis, dan interpretasi data. Setelah hal itu dilakukan semua, selanjutnya tinggallah menyajikan simpulan dari penelitian yang telah dilakukan.
Demikianlah urutan kerja penelitian yang tersaji dalam buku ini. Akan tetapi, mereka, calon peneliti dan peneliti, yang akan melakukan penelitian, baik penelitian pustaka maupun penelitian lapangan, memang sebaiknya terlebih dahulu memahami paradigma penelitian. Hal ini sangat berguna bagi calon peneliti dan peneliti untuk memandu arah penelitian sesuai dengan masalah yang dihadapi di lapangan serta tujuan yang dikehendaki dalam penelitian. Setelah paradigma penelitian terpahami dengan baik, tentu langkah selanjutnya adalah membuat proposal atau rancangan penelitian. Proposal sangat berguna bagi peneliti sebagai pedoman arah penelitian yang menjadi tujuannya. Selanjutnya, pelaporan pelaksanaan penelitian bermanfaat sebagai pertanggung jawaban peneliti atas kerja penelitian yang dilakukan, baik secara manajerial pengelolaan dana dan aset penelitian maupun secara ilmiah penelitian yang dilakukan. Akan lebih elok lagi apabila temuan hasil penelitian itu dilaporkan dalam bentuk karya tulis ilmiah dan dipublikasikan kepada khalayak sehingga masyarakat dapat ikut serta merasakan hasil penelitian tersebut.  
Atas dasar alasan di atas, saya bangga bertindak sebagai penyunting ahli buku Metodologi Penelitian Sastra: Paradigma, Proposal, Pelaporan, dan Penerapan yang ditulis Puji Santosa ini. Buku ini benar-benar merupakan buku panduan bagi calon peneliti dan peneliti dalam melak­sanakan penelitiannya, yang berisi dari persoalan memahami paradigma penelitian (Bab I, Bab II, dan Bab III), merancang penelitian, membuat urutan kerja penelitian, memilih sarana dan prasarana yang digunakan untuk mengumpulkan, mengolah, mengklasifikasikan, mengukur, menganalisis, dan menyajikan data (Bab III dan Bab IV), hingga melaporkan hasil penelitiannya (Bab V), serta beberapa contoh penerapan metodologi penelitian sastra yang diaplikasi dalam pelbagai ranah kehidupan (Bab VI—Bab XII). Buku ini memang benar-benar bernas, baik dari sisi teknis bahasa maupun isi sajiannya yang begitu mendalam tentang betapa pentingnya peran panduan metodologi penelitian sastra dalam pengembangan penelitian-penelitian sastra di Indonesia. Hasil penulisan buku oleh Saudara Puji Santosa ini ternyata mampu membuka cakrawala betapa kaya wawasan dan luasnya medan penelitian sastra, tidak hanya terbatas pada masalah intrinsik karya sastra, tetapi meliputi seluruh kehidupan manusia, baik gejala alam, sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, maupun kemasyarakatan atau kemanusiaan dapat menjadi lahan penelitian sastra. Buku ini pantas dibaca khalayak masyarakat Indonesia yang membuka cakrawala tentang kiat-kiat penelitian sastra sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan umat.


                                                              Drs. Dhanu Priyo Prabowo, M.Hum.
                                                              Peneliti Utama Bidang Sastra
 ------------------------------------------------------------------------------------------------------------


KATA PENGANTAR PENULIS

Buku Metodologi Penelitian Sastra: Paradigma, Proposal, Pelaporan, dan Penerapan ini semula ditulis sebagai upaya untuk mempersiapkan bahan perkulihan “Metodologi Penelitian Sastra” pada Jurusan Sastra Jepang dan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Nasional, Jakarta (2002—2006), Kuliah Umum Metodologi Penelitian Sastra pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Surakarta (2013), Kuliah Umum Sikap Positif Berbahasa Indonesia pada Program Pascasarjana (S-2) Linguistik, Universitas Muslim Nusantara Al-Washliyah Medan (2014), dan Kuliah Umum Metodologi Penelitian Sastra di Kalimantan pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Balikpapan (2015). Setelah kegiatan tersebut, penulis bertemu dengan Prof. Dr. Bani Sudardi, Guru Besar Ilmu Sastra pada Universitas Sebelas Maret Surakarta, di Pusat Pengembangan Strategi dan Diplomasi Kebahasaan, Sentul, Bogor, pertengahan Juli 2015. Dari diskusi dengan beliau menyatakan bahwa buku-buku yang penulis tulis sebelumnya, seperti Ancangan Semiotika dalam Pengkajian Susastra, Bahtera Kandas di Bukit, Kritik Sastra, Kekuasaan Zaman Edan, dan Estetika Sastra, menjadi bahan referensi perkuliahan di Pascasarjana (S-2 dan S-3) Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret Surakarta. Atas dasar itulah penulis termotivasi untuk mencoba menyusun kembali buku ini agar dapat menjadi pegangan dasar para mahasiswa yang mengambil jurusan dan program studi ilmu sastra. Mata kuliah “Metotologi Penelitian Sastra” merupakan mata kuliah yang perlu (dan tentunya wajib) diikuti oleh mahasiswa yang mengambil jurusan bahasa dan sastra, baik sastra Indonesia, daerah, maupun asing, guna menunjang ilmu dan wawasannya tentang penelitian sastra. Oleh sebab itu, buku ini diupayakan untuk dapat diterbitkan sebagai buku acuan perkuliahan “Metodologi Penelitian Sastra”, khususnya bagi mahasiswa S-1, S-2, S-3, dan Diploma pada Fakultas Sastra atau Fakultas Ilmu Budaya, dan juga mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Hal ini mengingat pada akhir masa studinya mereka yang mengambil konsentrasi kesusastraan akan menulis karya tulis ilmiah (skripsi, tesis, disertasi) ten­tang sastra. Itulah sebabnya buku Metodologi Penelitian Sastra ini dapat sebagai modal dasar pemahaman mereka tentang penelitian sastra.
            Mata kuliah “Metodologi Penelitian Sastra” di dunia perguruan tinggi mencoba memperkenalkan kepada mahasiswa tentang paradigma penelitian sastra dalam studi dunia kesusastraan. Mahasiswa hendaknya memahami dengan benar hakikat atau dasar-dasar penelitian sastra, jenis-jenis penelitian sastra, tahapan-tahapan atau prosedur penelitian sastra, ukuran-ukuran dalam penelitian sastra, berbagai landasan teori dan metode penelitian sastra, menyusun proposal atau membuat perencanaan penelitian, melaporkan pelaksanaan penelitian, dan tentu saja mampu melaksanakan penelitian sastra guna mengaplikasikan teori-teori penelitian yang diperolehnya agar mahasiswa dapat memahami, mengerti, melakukan, dan menulis karya tulis ilmiah hasil penelitian sastra. Selain itu, dalam mata kuliah ini juga diperkenalkan secara kongkret hasil penelitian sastra yang telah dilakukan oleh penulis buku ini.
Agar buku panduan perkuliahan “Metodologi Penelitian Sastra” ini tidak terasa kering wawasan, dalam buku ini disajikan juga contoh penerapan beberapa metode penelitian sastra yang berkaitan dengan masalah: (1) promosi kepariwisataan Indonesia; (2) persoalan pemeliharaan lingkungan hidup yang bersih dan sehat sebagai upaya kampanye sadar lingkungan; (3) kearifan budaya dan fungsi kemasyarakatan sastra lisan sebagai upaya penyelamatan sastra hampir punah; (4) pemahaman lintas-budaya serumpun dalam menghadapi benturan budaya; (5) perbandingan diakronis karya sastra yang berbeda zaman dengan penelusuran kedudukan, fungsi, kesejajaran, genetika, generik, dan tematik teks sebagai upaya penyelamatan aset bangsa; (6) analisis konten semiotik dengan penelusuran tanda-tanda bentuk dan bunyi, sintaksis semiotik, semantik semiotik, pragmatik semiotik, dan hubungan intertekstual sebagai upaya pemahaman gejala alam dan budaya bangsa; (7) kritik mitos nusantara dengan penelusuran struktur, latar, ideologi, jenis, penampilan, dan manfaat mitos sebagai pemahaman kesadaran purba agar tidak tercerabut dari akar tradisi; serta (8) historis komparatif cerita rakyat dengan penelusuran tipe, motif, dan historis komparatif sebagai upaya pengembangan strategi kebudayaan di Indonesia.
Akhirnya, selamat membaca dan mengapresiasi hasil penulisan buku dan penelitian sastra yang sederhana ini. Tidak ada gading yang tidak retak. Apabila ada kekurangan, sesuatu yang salah dan kilaf, mohon koreksian, kritik, dan saran perbaikan atas buku ini. Salam dan doa.

Jakarta, 2 Agustus 2015
Penulis


 


ADEDAMAR WAHYU: Pustaka Puisi Falsafah Budaya Jawa


Judul Buku   : ADEDAMAR WAHYU:
                          Pustaka Puisi Falsafah Budaya Jawa
Penulis          : Puji Santosa
Penerbit         : Azzagrafika, Yogyakarta
Tahun            : Juli 2015
Halaman        : xxxvi + 276 halaman
Ukuran Buku   : 15,5 x 21 Cm
ISBN               : 978-602-1048-41-2
Harga             : Rp60.000,00

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


PENGANTAR PEMBACA:
MEMASUKI KESEDERHANAAN MEMAKNAI HIDUP BAHAGIA
MENJADI SEJUK SEPERTI AIR PUTIH YANG MEMBERSIHKAN

(Drs. Dhanu Priyo Prabowo, M.Hum.)

Menulis puisi pada kenyataannya adalah menyampaikan kata-kata bijaksana yang dikemas dalam pilihan dan susunan kata yang menarik. Persoalan untuk menjadi menarik memang relatif ketika puisi itu sudah sampai di tengah pembacanya. Antologi puisi ini menarik untuk disimak karena bahasa yang dipergunakan sederhana dan cenderung lugas. Namun, dengan kesederhanaan dan kelugasan puisi-puisi karya Puji Santosa itu justru menjadi enak untuk disimak ketika mengungkapkan kata-kata bijak yang menjadi visinya.
Membaca kumpulan puisi Adedamar Wahyu karya Puji Santosa ini mengingatkan kita semua pada sebuah piwulang ‘ajaran’ tentang kerendahan-hati yang perlu dimiliki oleh manusia. Karya-karya yang dituangkan di dalam antologi ini bersuasana ajakan yang berisi ajaran falsafah budaya Jawa supaya manusia dapat mengendalikan diri. Hal ini mengingatkan kita pada pujangga-pujangga Jawa yang memberi piwulang ‘ajaran’nya melalui tembang-tembang dengan dirangkai kata-kata bijak yang dibingkai keindahan kiasan dan sejumlah peranti puitis lainnya.
Puji Santosa yang dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan kebudayaan Jawa sangat kental mewartakan kearifan-kearifan kejawaan yang oleh orang Jawa sampai saat ini masih terus diacu dan dipergunakan sebagai petuah luhur. Bahkan, dia berusaha untuk mentransformasikan nilai-nilai luhur kejawaan itu ke dalam masyarakat Indonesia modern. Mungkin, upayanya (lewat antologi ini) merupakan suatu usaha ideal orang Jawa yang telah melihat berbagai hal tentang Indonesia. Namun, baginya membawa nilai luhur kejawaan itu ke persada nusantara bukan merupakan ekspansi politis. Puji, begitu teman-temannya memanggilnya, sama sekali tidak mempunyai keinginan politis seperti itu. Dia hanya ingin menyampaikan bahwa ada nilai-nilai kelokalan yang bisa menjadi sesuatu yang dapat ditebarkan kepada sesamanya di mana pun. Hal tersebut tampak jelas dalam judul kumpulan puisi ini, yaitu Adedamar Wahyu, kata adedamar berasal dari kata dasar damar yang mendapat perulangan dwipurwa menjadi dedamar, lalu mendapat imbuhan a- yang berarti ‘ber-‘ atau ‘menggunakan’. Kata damar berarti dilah, dian, lampu, pelita, atau obor. Jadi, kata adedamar berarti ‘menggunakan banyak lampu penerangan’. Sementara itu, kata wahyu bagi orang Jawa dipahami sebagai ‘kalam atau sabda Tuhan yang berisi petunjuk nyata yang menunjukkan jalan benar ialah jalan utama yang berakhir dalam kesejahteraan, ketenteraman, dan kemuliaan abadi, yakni di hadirat Tuhan Sejati’. Dengan demikian, judul kumpulan puisi Adedamar Wahyu kurang lebihnya bermakna “dari sekian banyak alat atau sarana penerangan, gunakanlah wahyu sebagai sarana penerangan bagi umat yang berada di dalam kegelapan dunia.” Dengan wahyu sebagai obor, maka jalan yang ditempuh dari pondok dunia menuju ke istana akhirat akan semakin jelas, terang, dan lapang.
Kumpulan puisi Adedamar Wahyu disusun secara alfabet dari aksara awal judul puisi, yaitu dari A hingga Z, “Adedamar Tanggal Pisan Kapurnaman” hingga “Zaman Kalabendhu”, bukan pertema seperti pada kumpulan puisi sebelumnya, Sang Paramartha. Hal ini dimaksudkan hanya untuk memudahkan pembaca mencari sesuatu atau hal-hal yang berkaitan dengan pemahaman filosofi budaya Jawa, semacam senarai atau ensiplopedia falsafah budaya Jawa. Oleh karena itu, pada kumpulan puisi ini tercamtum 72 judul puisi transformatif Jawa, yaitu “Adedamar Tanggal Pisan Kapurnaman”, “Adigang Adigung Adiguna”, “Adoh Tanpa Wangenan, Cedhak Datan Senggolan”, “Aja Dumeh”, “Aja Rumangsa Bisa, Nanging Bisaa Rumangsa”, “Aji Godhong Jati Aking”, “Ajining Dhiri Ana Lathi, Ajining Raga Ana Busana”, “Aji Saka Raja Tanah Jawa”, ”Alon-Alon Waton Kelakon”, “Anak Polah Bapa Kepradah”, “Ambeg Adil Paramarta”, “Berbudi Bawa Leksana”, “Blencong”, “Catur Kerti”, “Cegah Dhahar lan Guling”, “Crah Agawe Bubrah, Rukun Agawe Santosa”, “Cupu Manik Hastha Gina”, “Curiga Manjing Warangka, Warangka Manjing Curiga”, “Dasadarma Wasesa”, “Godha”, “Godhong Suruh Lumah lan Kurepe”, “Golek Banyu Apikulan Warih, Golek Geni Adedamar”, “Golek Wit Gung Susuhing Tapak Angin”, “Guru: Digugu lan Ditiru”, “Hastha Brata”, “Jati Diri Semar”, “Jujur Mujur Bakal Makmur”, “Kidung Sunan Kalidjaga”, “Mastuti Ing Widhi”, “Mati Siji Mati Kabeh, Mukti Siji Mukti Kabeh”, “Memayu Hayuning Bawana”, “Musthikaning Dewi Kunthi”, “Narpati Caturmulya”, “Ngupaya Sugih ing Sajroning Panarima”, “Nyandung Cempaka Mulya Sawakul”, “Nyebar Godhong Kara, Sabar Sawetara”, “Pakuwon”, “Pancadarma Utama”, “Pancatiti Darma”, “Pepali Sad-Avihimsa”, “Pepali Sadwasesa”, “Praja Pancawicaksana”, “Pranata Mangsa”, “Ratu Adil Herucakra”, “Rila Lamun Ketaman, Nora Getun Lamun Kelangan”, “Sabar Sareh Mesthi Bakal Pikoleh, Sabar Subur Musthikaning Laku”, “Sabda Tan Winedar ing Lesan, Sastra Tan Cinandi ing Tulisan”, “Sadguna Upaya”, “Sadumuk Bathuk Sanyari Bumi Dilabuhi Tohing Pati”, “Sang Paramartha”, “Sang Prambanan”, “Saptaguna Wisesa”, “Sastra Cetha”, “Sastra Jendra Hayuningrat”, “Sayuta Siji Ombyokan”, “Sesambating Jiwa ing Alam Kafiruna”, “Sembah Cipta lan Ati”, “Sesanggeman Suci Dasasila”, “Sinamun ing Samudana, Sesadone Ingadu Manis Manuhara”, “Sura Dira Jayaningrat, Lebur Dening Pangastuti”, “Trijana Upaya”, “Ulat Sumeh Agawe Renaning Wong Akeh”, “Urip Urup, Mung Mampir Ngombe, Saderma Nglakoni”, “Wahyu Cakraningrat”, “Wahyu Makutharama”, “Wahyu Sasangka Jati”, “Wajik Klethik Gula Jawa, Luwih Becik Sing Prasaja”, “Wedi Wirang Wani Mati”, “Yen Wani Aja Wedi-Wedi, Yen Wedi Aja Wani-Wani”, “Yitna Yuwana, Lena Kena”, “Zaman Kerajaan ing Jawa”, dan “Zaman Kalabendhu”. Judul-judul tersebut sangat jelas “Jawa”, tetapi isinya bisa ditempatkan sebagai sebuah refleksi batin yang mencintai sesamanya tanpa melihat adanya sekat-sekat apa pun, misalnya di dalam puisi yang berjudul “Aja Dumeh.” Puisi tersebut setelah dibaca keseluruhan ternyata dapat membawa kita pada gambaran bahwa menjadi manusia itu yang terutama rendah hati. Manusia yang rendah hati adalah manusia yang dapat melihat lingkungannya sebagai guru yang mengajarkan kebijaksanaan hidup, seperti berikut.

Aja dumeh merupakan pedoman mawas diri orang Jawa
bilamana engkau dikaruniai sesuatu kelebihan apa saja
janganlah engkau sombong, congkak, takabur, dan loba
serta janganlah lupakan terhadap asal-usul di sekitar kita
harus senantiasa sadar bahwa kelebihanmu itu amanah saja
oleh karenanya, janganlah engkau melupakan jasa mereka.

Hidup dengan sikap seperti itu (rendah hati) merupakan jalan untuk menjadi bahagia, karena kebahagiaan itulah salah satu dambaan manusia hidup. Barangkali, itulah yang ingin disampaikan puisi-puisi ‘kebatinan’ Puji Santosa. Kebahagiaan menurut dia adalah suatu relasi yang saling menghidupi antara beberapa kenyataan dan suasana hidup sehingga akan berdekatan dan menemukan ‘pepadang’ (terang).
Lalu, apa sesungguhnya bahagia?
Ternyata dan ternyata, e... ternyata
bahagia itu adalah mereka, ya mereka
yang senantiasa dekat Tuhan Yang Mahakuasa
iklim jiwa yang tenang, tenteram, damai, dan juga
suci, serta kasih sayang sejati kepada sesama,
berada dalam suasana kasih sayang, serta
tuntunan, pepadang, dan lindungan-Nya.

Dari kutipan yang sudah kita baca di atas, ada sesuatu yang sangat tipikal, yang agak “berbeda” dengan “kebatinan” yang umum dipahami. Di dalam puisi ini, suasana bahagia seseorang karena ia dekat Tuhan sehingga tercipta iklim jiwa yang tenang, tenteram, damai, suci, kasih sayang sejati kepada sesamanya, serta adanya tuntunan, pepadang, dan lindungan Tuhan. Seseorang yang bahagia karena ia ‘dekat dengan Tuhan’, tidak ‘menyatu dengan Tuhan’ (manunggaling kawula lawan Gusti). Hadirnya kebahagiaan di dalam diri seseorang karena ‘anugerah’, bukan karena pencariannya. Kebahagiaan yang sejati adalah karena karunia-Nya, bukan karena usahanya menemukan ‘kebahagiaan’. Bagi Puji Santosa, kebahagiaan itu sesuatu yang ‘pasti’ jika seseorang dapat melewati beberapa untaian kata yang menyejukkan itu. Kebahagiaan itu bukan sesuatu yang semu yang harus dicari ‘tanpa arah’ dan harus melewati ‘guru’, karena kebahagiaan itu sebenarnya sudah dipersiapkan Yang Maha Kuasa kepada setiap orang asalkan orang dapat membaca tanda-tanda yang telah Dia berikan. Relasi dengan Tuhan, menurut penyair ini, adalah sesuatu yang mutlak. Relasi seperti itu bukan sebagai bentuk ‘kemalasan’ manusia yang lemah, tetapi sebagai bukti bahwa keberadaan­nya memang tidak dapat melepaskan-Nya dalam setiap langkah. Hidup menjadi berarti dan bahagia karena eksistensi Tuhan selalu ‘menerangi’ jiwa manusia.
Menjadi manusia yang bahagia karena selain selalu berelasi dengan Tuhan, juga karena manusia senantiasa memperoleh ‘harapan’ atas kepastian kedekatannya dengan-Nya. Puisi yang berjudul “Harapan” barangkali menjadi salah satu kunci bagaimana hidup  itu menjadi bermakna.


HARAPAN

Tuhan...
hanya kepada Tuan
segala doa dan harapan
setiap waktu kami panjatkan
agar Tuan berkenan melimpahkan
rahmat, hidayah, dan karunia kesejahteraan
kepada setiap insan yang berbakti dan beriman
agar memperoleh ketenteraman dan kebahagiaan
serta hidup di dunia dan akhirat mendapat kemuliaan.

Bekasi, 9 Juni 2012

‘Kunci’ dari harapan adalah iman. Dengan mengangkat kata ‘iman’ di dalam puisi tersebut, kita diingatkan bahwa melintasi batas-batas atau sekat-sekat yang ada dapat dilakukan jika kita memiliki iman. Iman itu berarti ‘percaya’, dan setiap orang yang percaya kepada Tuhan pasti tidak hanya dimonopoli oleh satu dua orang (termasuk agama). Dengan beriman, orang dari berbagai latar belakang dapat bertemu tanpa tersekat oleh formalitas. Beriman itu berarti percaya melintasi semua persoalan yang sering menjadi masalah dengan pokok bersama mengabdi kepada Yang Maha Kuasa.
Ketika membaca secara keseluruhan dari sejumlah puisi karya Puji Santosa (110 judul puisi), terbersit sebuah pendapat di dalam benak saya bahwa saya sedang memasuki relung-relung “dunia kebatinan Jawa” yang disajikan dalam konteks keindonesiaan. Penyair ini dengan kekayaan khazanah budayanya ingin mengajak para pembacanya untuk melihat sebuah “keteduhan” dunia batin orang Jawa untuk siapa pun orangnya (tanpa terperangkap oleh sekat-sekat primordial).
Kenyataan inilah yang mendorong saya untuk bersedia menerima dhawuh (perintah) dari sang penyair untuk menuliskan semacam kata pengantar. Memperkenalkan suasana batin dalam kata-kata bijak, sebagaimana yang tertuang pada puisi-puisinya, memang menjadi tugas setiap orang, termasuk seorang penyair ini. Kata-kata bijak ternyata dapat lahir dari susunan dan verbalismenya yang cukup sederhana. Sederhana merupakan “cita-cita ideal” yang menjadi dasar pandangan hidup orang Jawa, walaupun dalam praktiknya boleh dikatakan kesederhanaan “prasaja” ini hanya menjadi “mitos” saja pada keseharian orang Jawa. Di tengah hidup yang modern dan cenderung hedonis itulah, puisi-puisi penyair ini (dapat dikatakan) untuk mengingatkan kembali tentang makna dari “cita-cita ideal” tersebut. Puisi berjudul “Wajik Klethik Gula Jawa, Luwih Becik Sing Prasaja” jelas menunjukkan hal itu sebagai berikut.

WAJIK KLETHIK GULA JAWA
LUWIH BECIK SING PRASAJA

Falsafah budaya: wajik klethik gula jawa,
luwih becik sing prasaja, hal itu bermakna:
daripada hidup kalian di dunia berfoya-foya,
alangkah lebih baiknya engkau hidup bersahaja.

Orang kaya yang tidak sadar akan kekayaannya
biasanya hidup bermewah-mewah dan berfoya-foya
setiap hari menghambur-hamburkan uang dan harta
bahkan kadang suka pada hal yang bersifat angkara
juga senang membuat orang lain hidupnya sengsara
sayang bila hidup di dunia tiada berguna bagi sesama.

Sekalipun hidup di dunia bergelimpang harta benda
jikalau tetap sadar akan kekayaan yang dimilikinya
berkelimpahan harta benda itu sekadar amanah saja
dalam kehidupan sehari-hari dapat berlaku bersahaja
segala sesuatunya akan menjadi lebih mudah diterima
oleh siapa pun dalam masyarakat yang ada di sekitarnya
tidak merepotkan dan menjengkelkan karena sederhana,
bersahaja itu dapat diterima oleh siapa dan di mana saja.

Ukuran bersahaja atau sederhana itu beraturan juga,
tidak boleh hanya asal-asalan ataupun seenaknya saja,
sekalipun bersahaja itu relatif yang menjadi ukurannya
tetap ada nilai-nilai kewajaran yang melekat pada dirinya
senantiasa sederhana, bersahaja, dan tidak berlaku jumawa
tentu akan selalu membuat orang lain merasa suka bahagia
oleh karena dia dapat menjadi suri teladan masyarakat kita
yang selalu merasa haus akan panutan dan penuntun utama.

Bekasi, 20 Mei 2015

Mungkin pembaca tidak melihat puisi tersebut sebagai puisi, tetapi hanya sekedar sebuah narasi yang ditata layaknya sebagai susunan puisi. Akan tetapi, karena tulisan ini tidak bertujuan menganilis struktur sebuah puisi, persoalan yang baru saja disampaikan itu tidak akan diungkapkan. Saya menempatkan puisi seperti di atas tadi sebagai “kesederhanaan” puisi tanpa menghilangkan inti persoalan yang disampaikannya. Menjadi sederhana dalam konteks zaman seperti saat ini, mungkin, menjadi masalah tersendiri yang harus dilalui manusia. Sederhana itu ternyata tidak sesederhana ketika diucapkan. Memang menjadi sederhana itu ternyata rumit seperti yang diungkapkan pada bait terakhir yang berbunyi: sekalipun bersahaja itu relatif yang menjadi ukurannya/ tetap ada nilai-nilai kewajaran yang melekat pada dirinya. Walaupun relatif tetapi tetap memiliki ukurannya, dan mungkin ukuran yang dimaksud adalah tidak jumawa.
Kerelatifan itu merupakan sebuah bagian dari hidup manusia, terutama ketika manusia bertujuan untuk manunggal dengan Yang Mahakuasa sebagaimana yang diimpikan oleh para pembelajar “ilmu kesukmaan” atau “ilmu kasunyatan”: Seorang penuntut ilmu kesukmaan diibaratkan orang bepergian/ dapat cepat segera sampai atau lama dia sampai di tempat tujuan/ serta mudah atau sulitnya medan yang dihadapi dalam perjalanan/ hal itu tentunya sangat bergantung pada orang yang menjalankan:/ apakah pelaksanaannya berdasarkan tekad disertai pengorbanan/ dan apakah mau melakukan itu seenaknya atau hanya lelamisan// (“Adedamar Tanggal Pisan Kapurnaman). Dengan kerelatifan itu manusia diajarkan untuk selalu “bergulat” dengan kehidupan yang sangat mudah berubah dan sangat majemuk. Untuk mencapai “tujuan” dari bepergiannya itu, tekad menjadi inti dari sampai atau tidaknya perjalannya. Mungkin ada baiknya supaya gambaran tersebut dapat dipahami jika kita bersama membaca keseluruhan puisi “Adedamar Tanggal Pisan Kapurnaman” sebagai berikut.
ADEDAMAR TANGGAL PISAN KAPURNAMAN

Adedamar tanggal pisan kapurnaman itu bermakna:
menggunakan penerangan sinar bulan tanggal pertama,
secara tiba-tiba mendapat anugerah sinar bulan purnama.
[baru tanggal satu sudah mendapatkan sinar bulan purnama]

Bawasannya seseorang mencapai ilmu kesunyataan,
yakni seorang penuntut ilmu kusukmaan atau ketuhanan,
cita-cita hidup sejati bertunggal dengan Yang Maharahman,
tidak terbatas pada ruang dan waktu yang menjadi tujuan.

Ada kalanya penuntut ilmu kesukmaan baru melaksanakan,
baru saja mendapatkan petunjuk jalan benar dan dijalankan,
secara tiba-tiba mendapat anugerah mencapai kesempurnaan,
berhasil lulus, dan tercapailah sudah apa yang dia cita-citakan.

Akan tetapi, banyak orang yang sudah berpuluh-puluh tahun,
bahkan sepanjang hidupnya di dunia tidak dapat menemukan
sari rasa tenang damai tersimpan dalam Rahsa Jati tiap insan,
takhta singgasana Tuhan Yang Maha Esa di pusat kehidupan.

Demikian itu disebabkan oleh usahanya menggunakan pikiran,
perasaannya tidak tetap dan tidak mempunyai keteguhan iman,
lalu berbelok-belok jalan yang di tempuh, ke kiri dan kebablasan,
sehingga masuk ke istana Ratu Kidul, Penguasa Lautan Selatan.

Seorang penuntut ilmu kesukmaan diibaratkan orang bepergian,
dapat cepat segera sampai atau lama dia sampai di tempat tujuan
serta mudah atau sulitnya medan yang dihadapi dalam perjalanan
hal itu tentunya sangat bergantung pada orang yang menjalankan:
apakah pelaksanaannya berdasarkan tekad disertai pengorbanan,
dan apakah mau melakukan itu seenaknya atau hanya lelamisan.

Jikalau engkau semua mempunyai cita-cita mulia setinggi apa saja,
janganlah takut pada sukarnya laku yang menjadi tebusan cita-cita,
sebab bilamana engkau hanya berani pada yang mudah-mudah saja,
takut pada hal yang sukar, sulit, dan pelik, tentu tidak akan terlaksana.

Bekasi, 26 Januari 2015

Sisi lain yang menarik di dalam antologi ini, penyair memasukkan kosa kata dan istilah-istilah dari bahasa Jawa ke dalam puisinya. Menikmati satu persatu-satu puisi ini terasa bahasa Jawa pada puisi Indonesia tidak mengganggu dan terasa cair serta menyatu. Tidak ada kesan untuk dipaksakan supaya menjadi “lain” dan unik. Paling tidak, lihat saja judul-judul yang sangat tipikal Jawa ini: “Adedamar Tanggal Pisan Kapurnaman”, “Adigang Adigung Adiguna”, “Adoh Tanpa Wangenan”, “Cedhak Datan Senggolan”, “Aja Dumeh”,  “Aja Rumangsa Bisa, Nanging Bisaa Rumangsa”, “Aji Godhong Jati Aking”, “Ajining Dhiri Ana Lathi”, “Ajining Raga Ana Busana”, “Aji Saka Raja Tanah Jawa”, “Alon-Alon Waton Kelakon”, “Anak Polah Bapa Kepradah”, “Ambeg Adil Paramarta”, “Berbudi Bawa Leksana”, dan sebagainya. Saya katakan tidak seperti dipaksakan munculkan kosa kata dalam puisi Puji Santosa ini karena ketika sudah memasuki buah pikiran yang disampaikan, kata-kata itu menjadi “mencair” untuk dinikmati dengan sejuk seperti air putih yang membersihkan. Kata-kata dari bahasa Jawa yang akhirnya dapat berterima di Nusantara ini, misalnya legawa “menerima dengan lapang dada” yang diucapkankan oleh banyak kalangan, terutama oleh para politisi (ketika muncul di media massa). Kata yang sangat tipikal Jawa itu (penuh makna filosofi kebatinan), akhirnya dapat dipakai umum (dengan mungkin agak berbeda nuansa kebatinannya).
Demikian pula serangkaian judul, kata, dan kalimat yang ditemukan di dalam antologi puisi ini yang banyak ditaburi khasanah Jawa, semoga bukan menjadi semacam “perintang” untuk mempelajari Kejawaan yang tetap menyala di tengah modernisme saat ini. Upaya penyair ini “mengaktualisasi” ajaran-ajaran Jawa melalui percampuran kode antara bahasa Indonesia dan Jawa menjadi semacam kesadaran personal yang perlu dilakukan. Sebagaimana sesanti yang kemudian menjadi puisi di dalam antologi ini, alon-alon waton kelakon, menyadari pergerakan zaman untuk berinteraksi dengan modernisme bukan berarti larut dan hilang ditelan modernime itu sendiri. Kesadaran dan keheningan adalah kata kunci ketika kita ingin lebih bijaksana di dalam menyikapi hidup ini secara bijaksana, “alon-alon waton kelakon” sering dipahami sebagai sesuatu yang “negatif” di tengah pergerakan sosial dan budaya seperti saat ini. Pada hal, sesanti itu sebenarnya mengajarakan dan mengajak manusia untuk senantiasa mampu mengendalikan dirinya supaya tergapai keheningan, karena keheningan itulah yang akan menciptakan keseimbanga/keselarasan di tengah alam raya seisinya.
Menyelami puisi-puisi di dalam antologi ini bagaikan diajak pesiar secara spiritual di tengah gelombang kehidupan manusia. Membayangkan puisi-puisi ini, paling tidak, seperti undhak-undhakan Candi Borobudur (kamadhatu, rupadhatu, arupadhatu), untuk dapat memahami fase-fase kehidupan manusia dari satu dunia ke dunia lainnya, yakni dari dunia abstrak, ke dunia realitas, menuju ke dunia kesunyataan. Memang tidak seperti pembagian di Candi Borobudur, tetapi pembagian di dalam antologi ini paling tidak mengingatkan dan menyiratkan makna bahwa Puji Santosa memang berusaha ingin membagi ‘ajarannya’ sesuai dengan konteksnya (ketika puisi-puisinya sampai di hadapan kita). Oleh karena itu, membaca puisi-puisi karya Puji Santosa adalah diajak untuk menguasai diri supaya tidak tergelincir di dalam “kegelapan” perjalanan di dunia menuju ke alam baka. Mungkin kalimat yang saya sampaikan ini agak “bombastis”, tetapi sebenarnya itulah (penguasaan diri) yang disampaikan sang penyair secara menyeluruh. Selamat menikmati.

 
Yogyakarta, 8 Juli 2015
Drs. Dhanu Priyo Prabowo, M.Hum.


Pertemuan 15 Teori Sastra Tempatan