CATATAN PROLOG:
ADEDAMAR
WAHYU: GENRE BARU PUISI FILSAFAT JAWA
DAN OBSESI SANG PARAMARTHA KEMBALI KE AKAR SASTRA INDONESIA
Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum.[1]
Setelah sukses menerbitkan antologi puisi pertama
berjudul Sang Paramartha (2014), Puji Santosa kini menerbitkan antologi puisi kedua yang
diberinya judul Adedamar Wahyu dengan
tambahan subjudul “Pustaka Puisi Falsafah Budaya Jawa”. Sepertinya Puji Santosa
tidak bermaksud menerbitkan karya-karya baru, yang belum pernah diterbitkan sebelumnya.
Banyak puisi dalam Adedamar Wahyu yang
justru sudah dimuat dalam Sang
Paramartha. Akan tetapi, kehadiran antologi puisi Adedamar Wahyu rupanya bermaksud menegaskan keyakinan atau kredo creative writing Puji Santosa tentang
lahirnya sebuah genre baru: puisi filsafat budaya Jawa. Dengan kata lain, Adedamar Wahyu memberikan penegasan akan
pentingnya pustaka puisi filsafat budaya Jawa.
Tulisan singkat ini hanya
ingin mengungkap fenomena kelahiran dan keberadaan puisi filsafat. Mengenai
filsafat hidup orang Jawa, saya sudah memberikan sedikit catatan dalam antologi
Sang Paramartha,
lihat pada bagian akhir tulisan ini.
Plato, filsuf Yunani yang
terkemuka, mengungkapkan tegangan antara puisi dan filsafat. Oleh karena puisi
adalah seni, dan unsur terpenting dalam seni adalah mimesis (peniruan), meniru dari tiruan, maka puisi tidak berguna.
Puisi bahkan sebaiknya dibuang dari sebuah Negara ideal karena meredupkan akal
budi. Kata Plato, “So, the poets lack
knowledge, and the reason they lack knowledge is that they cannot give an
account (logos) of what they are doing.”
Aristoteles, murid Plato,
memiliki pandangan yang jauh berbeda dari gurunya. Bagi Aristoteles, puisi
memiliki kontribusi yang signifikan terhadap Negara ideal dalam bidang
pemikiran dan ilmu pengetahuan. Puisi adalah filsafat yang menggambarkan
pengalaman manusia dan kemanusiaan secara umum. Puisi lebih filosofis
dibandingkan sejarah karena sejarah hanya mengisahkan singularitas manusia,
sementara puisi menggambarkan tipe-tipe manusia yang sangat pluralis. Oleh karena
itulah, puisi dan filsafat merupakan dua entitas yang kompatibel.
Laura Maguire dalam tulisannya berjudul “Poetry As a Way of Knowing”
pertama-tama merasa aneh bahwa puisi dapat menjadi sarana produksi ilmu
pengetahuan. Secara umum, kata Maguire, puisi hanya berkaitan dengan menangkap
kesan-kesan dan mengekspresikan perasaan. Tujuan puisi bukan mendeskripsikan dunia, karena itu
merupakan tugas ilmu pengetahuan. Puisi
memang tidak berkaitan dengan pengetahuan praktis (practical knowledge)
atau pengetahuan proposional (propositional knowledge). Akan tetapi, puisi
jelas berkaitan dengan jenis pengetahuan ketiga, yaitu pengetahuan tentang
fenomena (phenomenal knowledge). Puisi
membuka jendela yang khas (unique window)
ke dalam pengalaman-pengalaman subjektif. Membaca puisi membuat kita memahami
kehidupan dengan cara yang berbeda. Itulah sebabnya Laura Maguire yakin, genre
puisi filsafat merupakan sebuah jalan kebijakan umat manusia yang memiliki
kedudukan yang sangat penting.
Jika dipahami secara mendalam, genre
puisi filsafat sebenarnya memiliki akar sejarah yang panjang. Puisi adalah bentuk seni sastra yang menggunakan bahasa yang bernilai
estetik dalam menyampaikan pikiran atau gagasan. Sementara itu, filsafat adalah
sistem kepercayaan (system of beliefs)
yang diterima oleh sebuah komunitas dan memiliki kekuatan otoritatif terhadap
mereka. Filsafat dapat pula mencakup keyakinan pribadi mengenai hidup dan bagaimana menyiasati
kehidupan. Jadi, puisi filsafat adalah puisi yang berbicara mengenai filsafat
hidup dan keyakinan sebuah komunitas budaya. Perhatikan puisi filsafat Michael
J Ahles dalam puisi berjudul “Poetry”
di bawah ini.
POETRY
Michael J Ahles
When words have no rules
or regulations
And a sentence has no bounds
That is where the poet hides
Where truth can still be found
And a sentence has no bounds
That is where the poet hides
Where truth can still be found
The word is mightier than
the sword they say
When words are truly free
Poetry is the words of a poet
Then the poet has the power of Thee
When words are truly free
Poetry is the words of a poet
Then the poet has the power of Thee
There is a lesson to
learn in poetry
A remedy and a cure
For poetry are words of freedom
And in freedom the truth shall set us free
A remedy and a cure
For poetry are words of freedom
And in freedom the truth shall set us free
What is the truth One
wonders
In the phrase and phrases of a rhyme
The true poetry of a free poet
Will bring equality to All in Just time
In the phrase and phrases of a rhyme
The true poetry of a free poet
Will bring equality to All in Just time
For freedom is equality
Unity of not only mankind
The true words of a poets’ poetry
Is the beautiful true Oneness of All kind.
Unity of not only mankind
The true words of a poets’ poetry
Is the beautiful true Oneness of All kind.
Puisi menyembunyikan kebenaran yang
sesungguhnya hendak diungkapkannya. Puisi selalu memberikan nilai-nilai untuk dipelajari. Dengan
kata-kata yang bebas di tangan penyair, puisi sesungguhnya membebaskan dan
menyatukan kita dan alam semesta.
Dalam
sejarah sastra Indonesia, belum terungkap secara tegas kehadiran dan keberadaan
puisi filsafat. Sudah ada prosa lirik yang mengungkap filsafat hidup orang Jawa
dalam karya Linus Suryadi AG. Puji Santosa kiranya orang pertama yang
menegaskan kelahiran puisi filsafat dalam sejarah sastra Indonesia. Sesuai
dengan minat dan keahliannya, Puji Santosa mengawali kehidupan genre puisi
filsafat ini dengan filsafat Jawa melalui dua antologi puisinya: Sang Paramartha dan Adedamar
Wahyu.
***
Antologi
puisi Puji Santosa yang pertama memiliki judul yang kaya makna, Sang Paramartha. Sang Paramartha sebenarnya terdiri dari empat kumpulan sajak, yaitu
kumpulan (1) Mustika Dwipa yang
berisi 20 buah puisi; (2) Sang Pencerah yang
berisi 25 buah puisi; (3) Oh Dunia yang
berisi 30 buah puisi; dan (4) Sang Nabi yang
berisi 18 buah puisi.
Mengapa Sang Paramartha? Dalam sejarah sastra
Budhis, tersebutlah seorang bhiksu besar yang sangat berpengaruh, seorang
penerjemah karya-karya Budhisme Cina, bernama Sang Paramartha (499—569).
Terlahir dengan nama Kulanātha dari kerajaan Malwa di India bagian tengah, Sang
Paramartha mula-mula hijrah ke Kerajaan Funan kemudian mendarat di Cina melalui
Guangdong dan menetap sampai meninggal di Cina. Paramartha adalah sebuah gelar kebesaran. Kata itu berasal dari dua
kata dasar, yaitu parama yang berarti ‘paling tinggi’, dan artha
yang artinya ‘makna atau nilai’. Jadi, Paramartha
berarti “makna atau nilai yang paling tinggi”. Gelar ini diberikan karena
dedikasi yang total dan kecendekiaannya dalam menerjemahkan sūtra dan sãstra
Budhisme, antara lain Golden Light
Sutra (Skt. Suvarnaprabhāsa Sūtra). Sang Paramartha adalah representasi makna dan nilai-nilai
tertinggi.
Dalam ajaran Budha, dikenal pula ajaran Dasa Paramartha, yaitu sepuluh macam
ajaran kerohanian yang dapat dipakai sebagai penuntun dalam tingkah laku yang
baik serta untuk mencapai tujuan hidup yang tertinggi (Moksa). Dasa
Paramartha ini terdiri dari sepuluh nilai, yaitu: tapa, bratha, samadhi, santa, sanmata, karuna, karuni, upeksa, mudhita,
dan maitri. Ajaran Paramartha berarti
ajaran tentang nilai-nilai kesempurnaan
(completedness).
Judul antologi puisi Puji Santosa yang pertama, Sang
Paramartha, serta-merta menggiring pembaca ke arah berbagai ajaran,
panduan, atau pedoman nilai untuk mencapai kesempurnaan dalam hidup di dunia
dan di akhirat. Persoalannya adalah, mengapa penyair begitu terobsesi
menawarkan ajaran-ajaran kesempurnaan melalui sastra? Apakah sastra itu?
Mengapa seorang Puji Santosa, peneliti sastra senior dari Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa yang telah banyak menerbitkan kajian-kajian sastra, “turun
gunung” dengan segudang ajarannya? Mengapa Sang
Paramartha ini lahir di tahun politik 2014, tepat sebelum gonjang-ganjing
suksesi kepemimpinan nasional bangsa Indonesia? Apa sajakah bekal yang
diperlukan pembaca menikmati panorama puisi-puisi Puji Santosa?
Ulasan ini
tidak berpretensi membahas atau memetakan semua nilai yang dikandung dalam
puisi-puisi Puji Santosa. Selain saya tidak memiliki kemampuan untuk nguri-uri
kabudayan Jawi, tidak pada
tempatnyalah sebuah catatan prolog menggantikan tugas kritik sastra. Tulisan
ini hanya akan menyinggung permukaan dari pertanyaan-pertanyaan tersebut untuk
memancing diskusi yang lebih mendalam dan meluas.
***
Secara
umum, dikenal dua jenis bacaan sastra, yaitu bacaan ringan (leisure reading) dan bacaan yang berat (serious literature). Menghadapi puisi-puisi Puji Santosa, perlu
ditambahkan sebuah jenis bacaan lagi, yaitu bacaan yang menuntut keseriusan
pembaca (the most committed of readers).
Secara sepintas, susunan puisi Puji Santosa terkesan ringan, tetapi
pemahamannya membutuhkan keseriusan yang mendalam dari pembaca. Perhatikan,
misalnya, puisi “Catur Kerti” berikut ini.
CATUR KERTI
Agar hidup kita sungguh berarti
"sepa" atau "sepah" tidak akan terjadi
tetap marsudi agar dapat
menjadi "sepi"
tentu ada sarananya untuk tetap berisi
hal pertama haruslah dapat "mangerti"
setelah engkau dapat “mangerti”
leburlah dalam "makarti" setiap hari
pupuk dan siramilah dengan “olah makerti"
agar setiap hari dapat "mastuti ing Widhi"
berbakti kepada Ilahi hingga menembus "rahsa jati".
Bekasi, 21 Maret 2011
Susunan puisi “Catur Kerti” tampak sederhana. Puisi
sepuluh larik ini tersaji dalam satu bait saja dengan perhitungan rima akhir
yang cermat. Akan tetapi, isinya tidak mudah ditangkap, bahkan untuk pembaca
yang berasal dari komunitas budaya Jawa sekalipun. Puisi singkat ini menyajikan
begitu banyak konsep tentang kehidupan yang menuntut keseriusan untuk
dimengerti secara mendalam, seperti “sepa”,
“marsudi”, “mangerti”, “makarti”, “makerti”,
“mastuti ing Widhi”, dan “rahsa jati”. Puisi ini jelas dibangun
dari obsesi penyair yang sangat kuat, yang dipenuhi dengan keinginan untuk
menyebarkan nilai-nilai luhur yang sangat berguna, baik bagi individu maupun
masyarakat. Untuk memahami puisi ini, dibutuhkan
keseriusan dan komitmen dari pembaca. Itulah sebabnya puisi-puisi Puji Santosa
ini dapat dikategorikan ke dalam sastra obsesif (literature of obsession).
Menurut
Plato (dalam Gunsaulus, 1995), seorang sastrawan yang baik menuliskan karyanya
pertama-tama bukan sebagai karya seni yang mengutamakan unsur bentuk melainkan
karena dia terinspirasi atau terobsesi akan sesuatu (Plato dalam Gunsaulus,
1995). Bukan bentuklah yang
penting bagi Plato, melainkan inspirasi dan obsesi pengarang itu yang perlu dan
penting untuk dirunut. Pertanyaannya sekarang adalah, apa sesungguhnya obsesi
Puji Santosa? Tidak sulit menjawab pertanyaan ini. Mulai dari judul,
puisi-puisi Puji Santosa terinspirasi dan terobsesi sebuah panggilan jiwa untuk
memberikan tuntunan, pencerahan, dan ajaran moral bagi masyarakat bangsanya
yang dinilai sudah mengalami degradasi nilai yang parah. Tuntunan dan
pencerahan itu bisa diambil dari berbagai sumber. Puji Santosa tidak
segan-segan mengambil saripati tuntutan hidup dari berbagai kebudayaan dan
agama.
Obsesi Puji Santosa ini sedemikian memuncak sehingga
struktur atau forma puisi yang sudah
diterima sebagai sebuah konvensi umum pun dilanggarnya, seperti terlihat dalam
puisi panjang berjudul “Bima Manunggal”, dalam kumpulan puisi Adedamar Wahyu diubah dan direvisi
menjadi “Golek Wit Gung Susuhing Tapak
Angin”. Pada bait ke-18 dan 19, puisi itu memberikan perincian terhadap
sebuah konsep ajaran yang ditandai dengan angka-angka. Pada bait ke-20, dikemukakannya
semacam kesimpulan tentang ajaran-ajaran yang dikemukakannya dalam puisi “Golek
Wit Gung Susuhing Tapak Angin”. Berikut ini dikutip ketiga bait tersebut.
Sebagai tangga dapat menuju mencapai watak
Hastha Sila
haruslah berjalan di Jalan Rahayu, Jalan
Keselamatan Jiwa,
disebut juga dengan Panca Darma Bakti, yaitu
lima perkara:
1.
Meresapkan
Paugeran Tuhan kepada hamba,
sebagai dasar keparcayaan yang benar-benar
nyata.
2.
Melaksanakan
Panembah kepada Tuhan Yang Maha Esa
sebagai tanda berbakti dan tali kasih
kesadaran hamba.
3.
Melaksanakan
Budi Darma, sarana dapat menyucikan jiwa,
upaya membabarkan rasa kasih sayang kepada
sesama.
4.
Mengendalikan
Hawa Nafsu dengan melakukan tapa brata,
mengekang hawa nafsu yang menuju ke perbuatan
tercela.
5.
Berusaha
dapat menetapi derajat Budi Luhur, Budi Mulia.
Selain itu, semua umat wajib berikhtiar atau
berusaha:
jangan sampai menerjang Larangan Yang
Mahakuasa,
dengan apa yang disebut sebagai perintah akan
Paliwara,
yaitu ada lima hal atau perkara yang menjadi
larangan-Nya:
1.
Janganlah
engkau menyembah selain kepada Allah Taala.
2.
Berhati-hatilah
engkau semua terhadap hal syahwat manusia.
3.
Janganlah
makan atau mempergunakan makanan apa saja
dapat memudahkan
cepat rusaknya jiwa raga kalian semua.
4.
Patuhilah
sungguh Undang-undang Negara dan peraturannya.
5.
Janganlah
engkau berselisih atau bertengkar dengan sesama.
Demikian ringkasan apa yang disebut dengan
Ilmu Sejati,
Ilmu yang menunjukkan asal mula dan tujuan
hidup insani,
akhirnya Bima dapat bertunggal dengan Sang
Guru Sejati,
di pusat wit gung susuhing tapak angin,
pusat hati sanubari,
berbahagia dapat menemukan tirta pawitra
mahening suci,
air penghidupan
yang suci, berwujud Wahyu Sasangka Jati.
Sebenarnya semua sudah bertunggal pada diri
Bima sendiri.
Jika kutipan ini dibaca terpisah dari keseluruhan puisi “Golek Wit Gung Susuhing Tapak Angin”,
barangkali orang tidak akan berpikir bahwa kutipan tersebut merupakan
larik-larik puisi. Kutipan itu barangkali akan dinilai sebagai sebuah ringkasan
ajaran dengan uraian yang rinci yang diakhiri dengan kesimpulan tertentu.
Beberapa perspektif teori sastra barangkali akan mengkritik
model sastra obsesif seperti karya-karya Puji Santosa ini. Para pelopor ilmu
sastra, yaitu kaum formalis Rusia, menegaskan bahwa yang membuat sebuah konstruksi
bahasa disebut sebagai karya sastra adalah format atau bentuknya. Karena itu,
menurut kaum formalis Rusia, sastra terutama puisi, perlu menyulap aspek-aspek
kebahasaan untuk menimbulkan berbagai efek seperti musikalitas bahasa, rima,
gaya bahasa, defamiliarisasi, dan berbagai gejala kebahasaan lainnya.
Jika aspek
struktur atau bentuk atau format pada puisi-puisi Puji Santosa dicermati, kita
bakal menemukan dua ciri yang sangat menonjol. Pertama, perhitungan rima akhir
yang relatif konsisten pada hampir semua puisinya. Kedua, penggunaan istilah
dan diksi yang berakar dalam dan luar pada tradisi spiritualisme orang Jawa,
yang merupakan ramuan Taoisme, Hinduisme, dan Budhisme yang menjelma menjadi
keunikan sejati dari Kejawen. Puji Santosa juga tidak segan-segan menggali
ajaran dari berbagai agama lainnya, termasuk Islam dan Kristen. Dua ciri
kebahasaan ini sangat menonjol dari puisi-puisi Puji Santosa. Ciri lainnya yang
berkaitan dengan gaya dan gejala bahasa tidak banyak ditemukan. Dapat dikatakan
bahwa aspek formal atau bentuk tidak menarik perhatian Puji Santosa secara
intens. Hal ini pun, bukan sebuah persoalan yang terlalu penting untuk karya
sastra obsesif karena yang utama baginya adalah otentisitas pesannya dan bukan
medium penyampaiannya.
Pilihan Puji Santosa ini bukan tanpa pembenarannya dalam
paham sastra menurut tradisi Indonesia. Dalam bahasa Indonesia, kata ‘sastra’
diturunkan dari bahasa Sanskerta Sãs- artinya mengajar, memberi
petunjuk atau instruksi, mengarahkan; akhiran -tra biasanya menunjukkan
alat atau sarana. Karena itulah, dalam tradisi kita, sastra berarti alat untuk
mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran. Misalnya: silpasastra
(buku petunjuk arsitektur), kamasastra (buku petunjuk mengenai seni
bercinta). Dapat dikatakan bahwa Puji Santosa menempatkan karya sastranya
sebagai alat untuk mengajar atau sarana pencerahan bagi pembaca. Dengan memilih posisi sastra seperti
itulah, peneliti utama bidang sastra ini
berupaya untuk menggali dan merevitalisasikan akar kesusastraan Indonesia.
***
Puisi
berjudul “Sang Paramartha” yang dijadikan judul antologi puisi yang pertama
tentu memiliki fungsi dan kedudukan yang lebih istimewa dibandingkan dengan
puisi-puisi lainnya. Dalam Adedamar Wahyu
ini puisi “Sang Paramartha” dimuat ulang sebagai puisi yang ke-84. Mengingat pentingnya puisi ini, akan dibahas beberapa pokok pikiran
yang menyangkut struktur dan isinya.
Dari segi struktur, puisi Sang Paramartha terdiri dari sembilan bait. Jumlah larik dalam
setiap bait bervariasi: yang paling pendek 5 larik dan yang paling panjang 9
larik. Puisi ini sangat didominasi oleh bunyi-bunyi eufoni (a, i, u, e, o) yang
menimbulkan efek merdu dan berirama. Dengan rima akhir yang sama dan konsisten,
puisi ini ingin memberikan kesan bersemangat dalam mengajarkan tanpa mengguruinya.
Dari segi isinya, puisi Sang Paramartha menawarkan sembilan ajaran dan tuntunan keutamaan.
Kesembilan ajaran pada setiap bait
dapat diringkas sebagai berikut. (1) sosok berhati mulia dan menyenangkan; (2)
ramah, bersahabat, bersusila; (3) sedikit bertutur tetapi berbobot dan jujur;
(4) sopan, berwibawa, ramah, menimbulkan rasa segan; (5) bersahaja, sederhana, rapi, bersih, dan enak dipandang; (6) adil,
bijaksana, sabar; (7) setia pada negara, menghormati semua agama, aturan,
undang-undang; (8) mampu menjaga harkat, martabat, harga diri, dan tidak
sombong; serta (9) mampu
menyejahterakan dunia.
Susunan
antologi Sang Paramartha ini pun
mengandung pemaknaan semiotisnya sendiri. Dalam kumpulan pertama Mustika Dwipa, puisi “Aji Saka” justru
diletakkan sebagai puisi ketiga, setelah “Adigang Adigung Adiguna” dan “Aja Dumeh”. Pakar dan pengamat
kebudayaan Jawa tentu bertanya-tanya, mengapa “Aji Saka” tidak ditempatkan
sebagai ‘sang pembuka’? Bukankah Aji Saka adalah cultural hero Jawa yang dikenal sebagai awal, alfa atau alif dalam
perjalanan kebudayaan Jawa?
Logika pertanyaan itu terjawab dengan mengungkap makna
dua puisi sebelumnya, yakni “Adigang Adigung Adiguna” dan “Aja Dumeh”. Kedua
puisi ini menunjukkan sifat-sifat turunan yang dimiliki manusia saat ini (existing attitude) yang perlu
diluruskan dengan kedatangan Sang Aji Saka.
Dalam
“Adigang Adigung Adiguna” Puji Santosa menyindir tiga jenis watak, yaitu (1) adigang (orang yang congkak mengandalkan
kedudukan, pangkat, derajat, dan jabatan); (2) adigung (orang takabur yang mengandalkan derajat yang berasal dari
darah biru keturunan ataupun yang mengandalkan harta kekayaan; (3) adiguna (orang-orang cerdik cendekia
yang berwatak sombong karena ilmunya dan meremehkan orang lain). Dalam alam
kapitalistik dan hedonistik seperti sekarang ini, hampir semua orang berwatak
“Adigang Adigung Adiguna” tanpa pengecualian. Sistem kapitalisme bahkan
menciptakan sistem dan ruang di mana manusia berlomba-lomba mendapatkan
kesemuanya itu tanpa batas.
Segera setelah menyadari sisi busuk “Adigang Adigung
Adiguna” yang merusak dan menghancurkan, Puji Santosa menampilkan puisi “Aja
Dumeh” yang secara eksplisit memberikan jawaban berupa pedoman mawas diri orang
Jawa. Aja Dumeh berisi nasihat bagi orang yang “mentang-mentang” berkuasa,
mentang-mentang kuat dan gagah, mentang-mentang kaya-raya, dan mentang-mentang
sekarang menang” untuk melakukan tindakan pongah, congkak, loba, ceroboh,
gegabah terhadap orang lain. Berikut in saya kutip dua bait pertama puisi
tersebut.
AJA DUMEH
Aja dumeh merupakan pedoman mawas diri orang Jawa
bilamana engkau dikaruniai sesuatu kelebihan apa saja
janganlah engkau sombong, congkak, takabur, dan loba
serta janganlah lupakan
terhadap asal-usul di sekitar kita
senantiasa harus sadar bahwa kelebihanmu itu amanah saja
oleh karenanya, janganlah engkau melupakan jasa mereka.
Aja dumeh kuwasa,
banjur tumindakmu dadi daksura
lan daksia marang ing sapadha-padha.
“Janganlah mentang-mentang engkau berkuasa
lalu perbuatanmu menjadi pongah, congkak, dan loba
serta sewenang-wenang terhadap sesama makhluk-Nya.”
Aji Saka
tidak muncul dari kekosongan seperti Adam di Firdaus. Ia hadir ketika penduduk
negeri Medangkamulan hidup dalam kegelapan dan ketakutan. Konon nama aslinya
Empu Sangkala yang berasal dari Hindustan. Rakyatnya hidup sengsara, tanpa
perlindungan, resah, gelisah tanpa harapan karena setiap hari sang raja raksasa
siap memakan daging manusia. Empu Sangkala suatu ketika mengalahkan dan
membunuh raja raksasa Dewata Cengkar. Maka terbebaslah rakyat dari ketakutan.
Dia pulalah yang memperkenalkan aksara Jawa (ha
na ca ra ka), lengkap dengan berbagai ajaran tentang kosmologi, manusia,
dan Tuhan, yang disebut Jawanisme. Beberapa sarjana menyebut Jawanisme sebagai
kebatinan Jawa. Tuntutan dan pedoman itu pun dimulailah. Bagi orang Jawa, tokoh
Aji Saka, dapat dipandang sebagai Adam, manusia pertama yang memperkenalkan
(kebudayaan) tulisan kepada orang Jawa.
Sekalipun
tidak meledak-ledak, Puji Santosa sepertinya geram dengan budaya
instan-hedonistik yang tengah mengakar dalam masyarakat kita. Orang modern
senantiasa mabuk mengejar harta, kekuasaan, dan kesenangan sampai semuanya lupa
daratan dan hidup di awang-awang bagai layang-layang. Inilah pula kiranya
alasan Puji Santosa bangkit seperti seorang resi yang geram untuk “turun
gunung” membimbing kaumnya menuju sebuah peradaban yang ideal, yang menjamin
kedamaian hidup dan kesejahteraan umat manusia di bumi dan keselamatan jiwanya
di akhirat. Sebagai seorang yang sebagian besar hidupnya diabdikan dalam bidang
penelitian bahasa dan sastra, Puji Santosa mengenal dengan sangat baik saripati
ajaran-ajaran berbagai agama dan budaya yang terekspresikan dalam karya sastra.
***
Menjawab obsesi penyair yang nota bene juga seorang pakar
sastra yang menawarkan nilai-nilai kearifan untuk menciptakan keselamatan
(termasuk kedamaian di bumi dan di akhirat), kumpulan puisi yang penuh dengan butir-butir mutiara budaya Jawa ini menawarkan berbagai perspektif. Dalam
kumpulan pertama, Mustika Dwipa, tampak
obsesi pengarang menempatkan ajaran-ajaran yang umumnya berasal dari Jawanisme,
yang menuntun ke jalan keselamatan itu. Dalam “Bima Manunggal”, dikemukakan
“ilmu sejati” yang menunjukkan secara simbolis asal-usul dan tujuan hidup
manusia. Dalam “Catur Kerti”, dikemukakan lima keutamaan untuk menembus “rahsa
jati”. Dalam “Cupu Manik Hastha Gina”, dikemukakan delapan ajaran pokok tentang
hal-hal yang penting dan berguna dalam hidup manusia, yang mencakup: wanita, garwa, wisma, turangga, curiga, kukila, waranggana, dan pradangga. Dalam “Hastha Brata 1” dikemukakan kebijakan pemimpin
Negara, Wibisana, dalam memerintah negeri Alengka. Wibisana perlu meneladan
delapan dewa dengan sifat dan keutamaannya masing-masing, yaitu: Dewa Indra,
Dewa Surya, Dewa Bayu, Dewa Kuwera, Dewa Baruna, Dewa Yama, Dewa Candra, dan
Dewa Brama. Dalam “Hastha Brata 2” dikemukakan teladan Prabu Ramawijaya dalam
memimpin negeri Pancawatidhendha dengan arif bijaksana dan berwibawa mencontoh
laku sifat alam, yaitu bumi atau tanah, air, angin, samudra, bulan, bintang,
matahari, dan api.
Kumpulan Kedua: Sang
Pencerah berisi ajaran-ajaran dan tuntunan kehidupan yang terlahir dari
orang yang sudah dicerahkan. Tidak banyak nguri-uri kabudayan di sini karena pedoman-pedoman ini tidak banyak mengikuti
ajaran-ajaran, sebagaimana banyak dikutip, disadur, dan digunakan pada kumpulan
pertama.
Judul-judulnya
telah mengindikasikan secara jelas, ke arah mana isi ajaran dan tuntunan hendak
diarahkan. “Bahagia”, “Berjalan di Jalan Kebenaran”, “Cahaya”, “Cendekia
Bersyukur”, “Cita-Citaku”, “Doa”, “Doa dan Harapan”, “Doa Pengentasan Insan”,
“Guru”, “Harapan”, “Ikrar Ksatria Utama,” “Jujur: Menepati Janji”, “Kesanggupan
Suci Dasasila”, “Kredo”, “Lautan Kesabaran”, “Mencapai Taman Kemuliaan”,
“Menembus Jiwa Mewujud Karsa”, “Meniti Jalan Benar”, “Piawai Berbakti”, “Rela:
Tulus Ikhlas”, “Rezeki Datang dari Ilahi”, “Sang Paramartha”, “Sembah Cipta dan
Hati”, “Siapa yang Masih”, “Tawakal dan Bersyukur”.
Kumpulan Ketiga: Oh,
Dunia berisi keprihatinan penyair terhadap berbagai peristiwa sehari-hari
sampai tragedi besar yang menimpa umat manusia di tanah air. Perhatikan
judul-judul puisi dalam kumpulan ketiga ini. “Balada Marsinah dan Wiji Tukul”,
“Berbagi”, “Bertambah”, “Dari Desa Dunia Menuju ke Istana Mulia”, “Flu Berat”,
“Goda”, “Harus Tetap Dijaga”, “Kafilah di Bumi”, “Kasih,” “Kekasihku”,
“Ketentuan Ilahi”, “Lebaran 1: Sebentar Lagi”, “Lebaran 2: Membawa Berkah”,
“Lebaran 3: Nikmat Ketupat”, “Lebaran 4: Selamat Kemenangan”, “Maju! Mari”,
“Manusia dan Dunia”, “Masih Ada Asa”, “Mengukir Muaro Jambi”, “Merajut
Gerakan”, “Merdeka”, “Oh Dunia 1”, “Oh Dunia 2”, “Oh Dunia 3”, “Oh Jakarta”,
“Pemimpin Dunia Akhirat”, “Sampah”, “Seperti Merpati”, “Siapa Cepat Selamat”,
“Ulang Tahun”.
Sekalipun
penyair bermaksud mengungkapkan realitas kehidupan sehari-hari, obsesi
eskatologisnya tidak pernah benar-benar hilang. Ketika menyinggung soal sampah
sekalipun, penyair tetap terobsesi dengan kehidupan akhirat. “Setumpuk sampah mulai gelisah//Tersengat
bau busuk merebak resah//Kenapa hidup harus berkeluh kesah//Marilah kita
berserah kepada Allah”. Penyair tidak lupa mengeksplisitkan nilai-nilai
watak berbudi luhur yang diperlukan “Akan
menjadi bekal jalan kembali ke Surga.” Perhatikan keprihatinan penyair pada
dunia dan ajakannya menuju ke surga dalam puisi “Mari” berikut ini.
MARI....
Segulung ombak mulai menerjang
Kapal nelayan terempas melayang
Kenapa bencana mesti selalu datang
Mari tingkatkan semangat berjuang
Sebungkah angin topan menghempas
Meluluhlantakkan tanah tanpa belas
Raung jeritan anak manusia memelas
Mari kita selesaikan agar semua puas
Setumpuk sampah mulai gelisah
Tersengat bau busuk merebak resah
Kenapa hidup harus berkeluh kesah
Marilah kita berserah kepada Allah
Segumpal awan mulai berarakan
Sebentar pertanda hari akan hujan
Kenapa hidup tidak ada kepastian
Mari kita berserah kepada Tuhan
Sepanjang zaman selalu ada bencana
Pertanda hidup di dunia penuh dinamika
Tiada menyesal seusai terusir dari Surga
Mari berusaha agar kembali kepada-Nya
Sabar, jujur, tawakal narima, dan rela
Menjadi perantara watak berbudi mulia
Disertai selalu sadar, bakti, iman, dan takwa
Akan menjadi bekal jalan kembali ke Surga.
Bekasi, 1 Desember 2013.
Dalam
kumpulan keempat, Sang Nabi, penyair
mengajak kita untuk belajar dari sejarah hidup dan teladan para nabi. Ada enam
nabi yang dipaparkannya dalam bentuk balada, yaitu “Balada Nabi Adam AS”,
“Balada Nabi Idris AS”, “Balada Nabi Nuh AS”, “Balada Nabi Hud AS”, “Balada
Nabi Saleh AS”, “Balada Nabi Luth AS”.
Hal yang menarik adalah dikemukakannya dua tokoh dari Kitab Suci
Perjanjian Lama, Kain dan Habil, sebagai salah satu kisah panutan, agar kita
memberikan kepada Tuhan persembahan yang terbaik.
***
Sebuah ekspresi artistik, secara umum dapat ditinjau dari dua kondisi,
yaitu otentisitas pesan yang disampaikan dan orisinalitas medium penyampaian
(Ignas Kleden, 2001). Pesan-pesan yang disampaikan Puji Santosa berasal dari
penghayatan pribadinya yang begitu intens terhadap Jawanisme dan ajaran-ajaran
lainnya. Sebagai seorang yang bukan berasal dari etnis dan kebudayaan Jawa,
saya menilai Puji Santosa begitu total melibatkan seluruh kemampuan mentalnya
dengan ajaran-ajaran Jawanisme. Intensitas pemahaman dan penghayatan Puji
Santosa pada ajaran Jawanisme tidak hanya terjadi pada level olah pikir dan
olah rasa saja, melainkan lebih dari itu telah menjadi ungkapan seluruh
kepribadiannya. Puji Santosa dan Jawanisme bukan lagi dua entitas yang berbeda
melainkan sudah saling merasuk dalam satu manifestasi: Sang Paramartha.
Menyangkut orisinalitas medium
penyampaiannya, Puji Santosa memilih bentuk puisi. Struktur puisi-puisi Puji
Santosa dibangun dengan memperhatikan rima akhir dan tentu saja ritme puitis.
Ia tidak banyak menggunakan bahasa bersayap dengan kombinasi gaya bahasa yang
rumit. Bahasanya justru terlihat polos, tidak ada ambiguitas pemaknaan. Hal ini
barangkali bukan sebuah kebetulan, karena bahasa puisi Puji Santosa banyak
mengandung dan membawa pesan-pesan yang berat, sebagian masih menggunakan
istilah-istilah Jawa Kuna, Hindu, Budha, dan Islam. Agar dapat dinikmati,
puisi-puisi Puji Santosa memerlukan pembaca yang serius.
Hadirnya
antologi puisi Sang Paramarta patut
dicatat sebagai sebuah peristiwa budaya yang tidak terjadi sebagai sebuah
kebetulan belaka, “Ketahuilah olehmu sekalian// bahwa tidak ada kejadian// yang tanpa
sebab nyata” (lihat puisi Puji Santosa, “Tiada Hal Kebetulan”). Terbitnya antologi Sang
Paramartha ini memang
mendapat momentum yang baik justru ketika bangsa Indonesia dihadapkan pada
sebuah peristiwa politik ‘pergantian kepemimpinan nasional’ di tahun 2014 ini.
Sejarah membuktikan bahwa suksesi di Indonesia jarang terlaksana secara mulus
tanpa keributan dan korban, baik korban nyawa maupun korban harta benda.
Momentum pergantian kepemimpinan nasional juga mengandung harapan yang sangat
besar dari seluruh rakyat untuk mendapatkan seorang pemimpin bangsa yang
benar-benar memiliki integritas moral dan keberanian yang teguh untuk memimpin bangsa ini keluar dari berbagai
keterpurukan. Bangsa ini membutuhkan Sang
Paramartha. Karena itu, antologi puisi Sang
Paramartha yang lahir sebelum hiruk-pikuk pergantian kepemimpinan nasional
ini adalah kado bagi pemimpin bangsa dan rezim pemerintahannya yang baru. Sang Paramartha ibarat Yohanes Pembaptis
yang mempersiapkan jalan bagi kedatangan Isa Almasih.
Antologi
ini hadir di tahun politik 2014 sebagai sebuah ajakan untuk melakukan
perjalanan rohani (spiritual journey) menimba
kekayaan spiritual bangsa yang tersimpan dalam khazanah pemikiran berbagai
ajaran agama dan kepercayaan komunitas lokal. Kearifan, keutamaan, dan
kebijaksanaan hidup warisan leluhur terbukti tahan uji dan memiliki daya hidup
yang sangat tinggi. Berkat berbagai ajaran nilai-nilai luhur itulah, masyarakat
kita dapat senantiasa survived mengatasi
tantangan zaman. Kita menyaksikan pula bahwa Jawanisme tetap tegak
mempertahankan identitas kulturnya di tengah gempuran kebudayaan modern yang
semakin pragmatis, instan, dan hedonistik. Semoga Sang Paramartha membuka jalan bagi Sang Paramartha, pemimpin yang
akan mewujudkan impian lebih dari dua ratus juta penduduk Indonesia mencapai
kesejahteraan hidup di dunia dan mencapai kesempurnaannya di akhirat.
[1] Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum. adalah pakar kritik sastra dan dosen pada
Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta.