Wednesday, 29 October 2014

SURI TELADAN BAPAK PARANPARA


SURI TELADAN BAPAK PARANPARA PANGESTU
R. SOENARTO MERTOWARDOJO
Puji Santosa

(Olah Rasa Paguyuban Ngesti Tunggal Ranting Cililitan, Minggu, 9 April 2006)

Lamun sira amaguru kaki
amiliha sujanma kang nyata
ingkang luhur bebudene
kang lebda marang hukum
ngger-anggering praja lan Widhi
dadalan Kasunyatan
miwah kang wus mungkur
pamurih marang kadonyan
badan saras susila ambeg utami
solah bawa prasaja.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia sebagi berikut.

Wahai anak-anakku, apabila engkau berguru menuntut ilmu
pilihlah manusia yang benar-benar telah sampai ke kesunyataan
yang berbudi pekerti luhur
yang mumpuni terhadap hukum:
tata aturan undang-undang negara dan juga hukum Tuhan
yang berjalan di Kesunyatanan
serta mereka yang telah meninggalkan
pamrih terhadap barang-barang keduniawian
badan sehat, santun, susila, dan berwatak mulia
tata perilakunya bersahaja.

(Warisan Langgeng, pupuh Dhandhanggula, pada 9)

Demikianlah Bapak, Ibu, dan Saudara sekalian, semua warga Paguyuban Ngesti Tunggal, siswa-siswi Sang Guru Sejati yang senantiasa berbakti dan berbudi, petikan bait kesembilan, pupuh Dhandhanggula, Serat Warisan Langeng karya dari Bapak Paranpara Pangestu, Raden Soenarto Mertowardojo, mengawali olah rasa pagi ini di kediaman Bapak/Ibu Jusuf, Ranting Cililitan, Paguyuban Ngesti Tunggal Cabang Jakarta 1.

Bapak, Ibu, dan Saudara-saudara para warga Paguyuban Ngesti Tungggal yang suka berbahagia. Pertemuan olah rasa pada hari ini, kita mencoba bersama-sama mengolah-rasakan bab “Meneladan Bapak Paranpara Pangestu: R. Soenarto Mertowardojo”.

Sebagaimana telah kita ketahui melalui buku Riwayat Hidup Bapak Paranpara Pangestu R. Soenarto Merrtowardojo yang dicatat, dihimpun, dan disusun oleh Bapak R. Rahardjo, bahwa Pakde Narto dilahirkan di desa Simo, Kawedanan Simo, Kabupaten Boyolali, Karesidenan Surakarta, pada  hari Jumat Pahing, 10 Besar 1828 tahun Jawa, atau tanggal 21 April 1899 tahun Masehi.

Selanjutnya, untuk menghormati, menghargai, dan menjunjung tinggi jasa beliau, Pengurus Pusat Pangestu menetapkan Instruksi Pendidikan Nomor 5/Sek-II/60, tertanggal 26 Maret 1960, bahwa setiap tanggal 21 April diperingati sebagai “Hari Budi Darma dan Pendidikan”. Minggu depan, tanggal 16 April 2006, pukul 10.00—12.00, di gedung Sekretariat Pangestu, Jalan Gandaria I/93 Jakarta Selatan; akan diadakan peringatan “Hari Budi Darma dan Pendidikan” itu. Jadi, tanggal 21 April 2006, yang akan datang, kita memperingati yang ke-107 tahun kelahiran dan kehadiran manusia terpilih yang pantas menjadi suri teladan kita semua.

Sesuai dengan makna hari dan tanggal kelahiran beliau bahwa seluruh kehidupan Pakde Narto ternyata dikorbankan atau dibudidarmakan untuk mendidik seluruh umat di jagat raya ini untuk mencapai kemuliaan dan kesejahteraan abadi, dunia hingga akhirat. Dalam upaya mendidik umat yang berdasarkan pada Ajaran Sang Guru Sejati itu Pakde Narto rela berkorban rasa dan perasaan (cemoohan, hinaan, aniaya, fitnahan), pikiran, tenaga, dan juga harta, serta tentu saja jiwa dan raga beliau pun rela dikorbankan untuk kita semua. Pak Mantri dalam buku Olah Rasa mengatakan sebagai berikut.

“Apakah nanti Bapak menjadi muda lagi, rambutnya hitam, gagah, dan sehat?” tanya Saudara Pangaribawa.

Jawab Saudara Kamayan: “Ha ha ha. Tidak demikian halnya. Usia tetap usia dengan segala pembawaannya. Tetapi untuk menerima Wahyu Sasangka Jati semua sel-sel dari jaringan tubuh harus diganti dengan yang baru. Sel-sel yang dulu dibuang dengan segenap karmanya, sel-sel yang baru ditumbuhkan yang selaras dengan tugas sebagai perantara pepadang. Maka dari itu Bapak senantiasa menderita sakit. Itulah proses pergantian pakaian. Penyakit yang datang bergilir ganti merupakan ujian pula. Tiap tubuh ingin mengaso, ingin melepaskan lelah, ingin merasa enak juga dalam menunaikan tugas. Tetapi karena selalu merasa sakit, tidak pernah badan Bapak dapat melepaskan lelah. Ini godaan dari dalam. Godaan dari luar, dari orang-orang, enteng bila dibandingkan dengan godaan ini. En toh, Bapak selalu riang gembira dalam penderitaan sakit sambil menunaikan tugas kian-kemari.”
(Soemantri, 1990:13 dalam buku Olah Rasa)

           Pengorbanan Pakde Narto itu seolah-olah sudah dipersiapkan jauh hari sebelum beliau  menerima turunnya wahyu Pepadang dan Tuntunan Suksma Sejati, 14 Februari 1932. Pakde Narto merupakan putera keenam dari delapan bersaudara, dari keluarga Bapak R. Soemowardojo, seorang juru tulis Kawedanan dan terakhir memangku jabatan mantri penjual, pada usia tujuh tahun harus berpisah dengan orang tuanya untuk mengikuti pendidikan formal di kota Boyolali, karena di Simo ketika itu belum ada sekolah. Pakde Narto dikirim orang tuanya mengikuti pendidikan (sekolah) dari Simo ke Boyolali itu tidak kos, tidak sewa kamar, dan tidak kontrak, tetapi ikut pamannya R. Djojosugito, seorang agen polisi di Boyolali. Meskipun Pakde Narto dapat masuk ke sekolah “Jawa” (Inslandse School), dan pada malam hari dapat pergi kursus bahasa Belanda pada seorang pensiunan sersan KNIL, Van de Waal, perlakuan keluarga Djojosugito terhadap Pakde Narto tak ubahnya sebagai seorang pembantu rumah tangga (pelayan), segala pekerjaan kasar seorang pelayan telah beliau rasakan dan alami dalam usia semuda itu. Ini merupakan budi darma yang luar biasa dari seorang anak yang patuh pada orang tuanya demi untuk memperoleh pendidikan.

Pada suatu hari, datanglah Bapak Soemowardojo, yakni ayahanda Pakde Narto, menjenguk keadaan puteranya yang dititipkan kepada adiknya itu. Begitu melihat dengan mata kepalanya sendiri keadaan dan perlakuan keluarga Djojosugito kepada anaknya, Bapak Soemowardojo tidak sampai hati dan tidak rela atas pengorbanan puteranya yang masih sekecil itu sudah harus menderita sedemikian rupa, menjadi pelayan rumah tangga, mengerjakan segala pekerjaan kasar yang belum waktunya ia dikerjakan. Oleh karena itu, kedatangan beliau Bapak Soemowardojo di tempat adiknya itu hendak memindahkan Pakde Narto kepada kakaknya yang lain, yakni R. Soemodipoetro yang menjabat sebagai Kepala Penjara Boyolali. Namun, di tempat baru itu pun Pakde Narto tidak tahan lama, tidak kerasan, enggak betah ah, gitu hlo, karena pelayan keluarga Soemodipoetro sangat suka menggoda dan mengganggu Pakde Narto dengan segala kejahilannya. Dan  tindak kejahilan atau usil si pelayan itu sudah kelewatan terhadap Pakde Narto. Oleh karena itu, ketika ayahandanya Soemowardojo datang menjenguknya, segeralah Pakde Narto menghadap ayahandanya untuk mohon dibawa serta pulang kembali ke desa Simo.

Tidak berapa lama tinggal di Simo, Pakde Narto kembali dititipkan kepada Budenya dari jalur sang ibu, seorang janda Patih (Wakil Bupati) di Salatiga, bertempat tinggal di kampung Karanganyar, bernama Mertohardjo. Meskipun Pakde Narto dapat mengikuti pendidikan di sekolah partikelir, pada penge-ngeran yang ketiga ini terjadilah suatu peristiwa yang dapat dibilang spetakuler (menarik perhatian), yaitu: (1) keberanian Pakde Narto untuk menegur mbakyu “S” yang mengambil buah kelapa milik wak Mertohardjo yang sedang pergi dan menjualnya untuk keperluan diri sendiri, dan (2) keberanian Pakde Narto untuk meninggalkan Salatiga, pulang ke Simo, tanpa bekal apa pun dalam usia delapan tahun. Akibat keberanian menegur mbakyu “S” itu Pakde Narto mendapat perlakuan aniaya dan siksaan fisik sehingga badan terasa sakit, akhirnya ia menangis, kemudian lari ke luar rumah meninggalkan kampung Karanganyar, dengan maksud hendak kembali ke desa Simo, walaupun tak tahu arah ke mana jalan pulang kembali ke desa Simo, Boyolali itu.

Berkat sih anugerah Sang Guru Sejati, meskipun belum dikenal ketika itu, maksud pulang ke desa Simo yang berjarak kurang lebih 40 km itu dapat kesampain juga oleh anak yang baru berumur delapan tahun. Coba bayangkan hal ini, Bapak, Ibu, Saudara sekalian. Di tengah perjalanan ketika perut lapar memuncak, Pakde Narto berhasil menemukan uang satu Sen, kemudian dibelikan nangka sebagai pengganjal perut yang keroncongan. Setelah masalah perut teratasi, pada malam hari ketika ia tersesat di tengah perjalanan, hati terasa sedih dan gundah, serta menangislah ia. Tak berapa lama kemudian, datanglah pertolongan Sang Guru Sejati dengan melalui perantaraan seorang perempuan penjual yang membawa keranjang atau bakul kosong di punggungnya. Setelah perempuan itu bertanya kepada Pakde Narto, tidak ada jawaban, karena masih menangis, dengan cekatan tanpa membuang waktu, perempuan penjual itu memasukkan Pakde Narto ke dalam keranjang kosongnya, lalu dibawalah Pakde Narto ke tempat Pak Lurah di desa tersebut setempat.

Bapak, Ibu, dan Saudara sesiswa Sang Guru Sejati yang suka berbahagia.

Di tempat Pak Lurah itu Pakde Narto dihormati dengan panggilan “Gus”, karena Pak Lurah itu adalah mantan bawahan wak Patih Mertohardjo, kemudian Pakde Narto juga dijamu dengan makanan yang enak-enak, diperkenankan tidur semalam di rumah Pak Lurah, dan selanjutnya pada esok harinya digendong di punggung dari desa tersebut sampai ke desa Simo oleh anak buah Pak Lurah. Sebab pada waktu itu belum banyak kendaraan. Hal ini jelas merupakan buah dari rasa bakti, taat, dan kepercayaan Pakde Narto yang bulat dan teguh kepada Tuhan Yang Maha Esa atas keberaniannya menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran.

Tidak begitu lama Pakde Narto tinggal kembali bersama orang tunya di desa Simo. Demi memikirkan pendidikan anaknya, Ibunda Pakde Narto membawa dirinya ke Solo dengan harapan dapat sekolah di Solo. Keluarga yang dituju ketika itu sedang pergi jauh dan tak mungkin ditunggu. Sang Ibunda Pakde Narto itu tidak putus harapan, segeralah Sang Ibunda itupun membawa Pakde Narto ke berbagai rumah kenalannya di Solo. Namun, nasib memang belum berpihak, tidak satu pun kenalan Sang Ibu ini berkenan menerima Pakde Narto dengan alasan tanggungan mereka sendiri sudah berat. Sudah barang tentu dengan perasaan kecewa, karena usaha menyekolahkan, mencarikan pendidikan bagi anaknya itu gagal. Ibunda Pakde Narto itu kemudian membawa kembali sang anak itu ke desa Simo, Boyolali.

Orang tua Pakde Narto dalam mengupayakan pendidikan anaknya tidak pernah mengenal putus asa. Agar anaknya dapat sekolah lagi, karena di Simo pada waktu itu belum ada sekolahan, Pakde Narto dibawalah oleh ayahandanya pergi ke desa Tekaran, Kabupaten Wonogiri, untuk kemudian dititipkan kepada Pak Wirjosoemardjo, seorang pembantu mantri penjual, mantan bawahan ayahandanya. Di sini Pakde Narto dapat sekolah sore, karena tidak diterima di sekolah pagi, dan tetap duduk di kelas satu sehingga mahir benar di kelas satu itu, di kota Wonogiri yang berjarak 8 km. Waktu tempuh dari tempat tinggalnya ke sekolahan, pulang pergi selama 4 jam, berjalan tanpa alas kaki, melalui hutan dan jalan terjal, di bawah terik panas matahari setiap harinya. Tentu waktu belajar Pakde Narto habis di tengah perjalanan. Melihat kondisi seperti itu Ibunda Pakde Narto tidak sampai hati, dan kemudian dijaknya Pakde Narto ke tempat kakaknya, Ismail, di Magelang, yang tengah menjabat sebagai pegawai kas negeri kota Magelang.

Mengikuti kakaknya, Ismail, di Magelang ini Pakde Narto dapat diterima di sekolah pagi Tweede Inlandse School, tetapi masih tetap kelas satu. Nasib pun masih tetap tidak berubah seperti yang sudah-sudah. Tidak begitu lama Pakde Narto tinggal di Magelang, karena kakaknya Ismail dipindah tugaskan ke Mojokerto dan Pakde Narto tidak dibawanya serta ke Mojokerto, tetapi dititipkan kepada sang mertua kakaknya itu di Desa Kledung, Purworejo, bernama Sastrodihardjo. Meskipun Pakde Narto dapat sekolah di kota Purworejo yang berjarak 6 km dari Desa Kledung, nasibnya semakin sengsara dan mengibakan hati, tak ubahnya seperti budak. Semua pengorbanan yang dilakukan oleh Pakde Narto bagi keluarga Sastrodihardjo ini tidak dihargai, bahkan difinah mencuri kain dan didukunkan oleh Bu Sastro yang kurang waras tersebut. Tentu saja Pakde Narto protes atas tuduhan yang tidak benar ini. Dalam usia Pakde Narto yang masih anak-anak itu sudah ada keberanian untuk menghadap Tuhan mohon Pengadilan! Namun, di mana Tuhan bertakhta, bagaimana caranya menghadap Tuhan, dan bagaimana cara mohon pengadilan Tuhan? Tentu anak seusia sembilan tahun itu tidaklah faham, bahkan orang yang sudah berusia lanjut pun belum tentu tahu akan hal itu.

Ada peristiwa yang spektakuler lagi dalam pengengeran Pakde Narto yang keenam ini, yaitu cara menghadap Tuhan mohon pengadilan oleh anak yang baru berusia sembilan tahun. Dengan kepercayaan yang bulat (orang yang mempunyai kepercayaan bulat (murni), tidak lagi dihinggapi rasa was-was, ragu-ragu, takut, gentar, atau cemas; Sabda Khusus Peringatan Nomor 2 alinea 10) pagi-pagi hari Pakde Narto menerjunkan diri ke dalam sumur. Ini bukan untuk bunuh diri, gitu lho, melainkan sebagai jalan mohon pengadilan Tuhan, yang hanya dapat dipahami oleh seorang anak. Pakde Narto terjun ke dalam sumur itu tidak meninggal karena ada pertolongan Sang Guru Sejati melalui para tetangga keluarga Sastrodihardjo yang mengentaskannya dari dalam sumur.

Beberapa bulan kemudian, setelah Pakde Narto duduk di kelas dua, ia mendengar kabar bahwa kanda Kusno datang ke Purworejo, maka segeralah ia menghadap kanda Kusno untuk menyatakan keinginanya turut serta beliau. Setelah kanda Kusno menikah dan bertempat tinggal di Bruno, Wonosobo, Pakde Narto diperkenakan turut serta beliau. Di kota Wonosobo itu Pakde Narto memasuki kelas tiga (dahulu sekolah dasar hanya sampai pada kelas empat). Namun, tinggal bersama kanda Kusno tidak begitu lama karena Sang Ibu menginginkan Pakde Narto dapat sekolah di HIS (Hollands Inlandse School) yang baru ada dibuka di kota Solo. Mereka yang tamatan HIS banyak yang menjadi “priyayi”, atau pegawai pemerintahan Hindia Belanda. Namun, Pakde Narto tidak diterima di HIS itu karena tes bahasa Belanda-nya tidak lulus, terpaksa masuk sekolah partikelir Hollands Inlandse Middagcursus, diterima di kelas 2, dan di Solo itu Pakde Narto ikut keluarga Suwandi, seorang mantri polisi.

Ketika kanda Ismonah pindah ke Solo, karena kakak iparnya (suami kanda Ismonah) bernama Poerwokosastro dipindahakan sebagai pembantu jurutulis Camat Laweyan, di Solo, dan pada waktu itu bertempat tinggal di kampung Notokusuman, atas saran ibundanya, Pakde Narto mengikuti kakaknya saja. Pada waktu mengikuti keluarga Poerwokosastro ini ada kejadian spektakuler lagi, yaiku peristiwa di sebuah jembatan rel kereta api yang panjang antara jurusan Stasiun Kedungbanteng dan stasiun Jebres, Solo. Ketika sedang berada di jempatan rel kereta api itu, sekonyong-konyong datang kereta api dari depan menuju ke arah dirinya. Pakde Narto mau balik jelas tidak mungkin karena akan segera tersusul oleh kecepatan kereta api itu. Demikian juga, Pakde Narto mau melanjutkan terus perjalannya juga tidak mungkin karena juga akan digilas oleh kereta api itu. Sementara banyak orang yang bekerja di sawah dekat jembatan rel kereta api itu yang berteriak-teriak memperingatkan Pakde Narto akan bahaya maut yang mengancam. Mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Atas pertolongan Sang Guru Sejati, Pakde Narto selamat dengan cara menggantung berpegangan erat-erat pada pilar (tiang) jembatan sebelah kiri. Suara gemuruh kereta api yang menakutkan itu pun segera berlalu menggetarkan seluruh tubuhnya. Pakde Narto selamat dan dapat meneruskan perjalannya ke stasiun Kedungbanteng.

Kemudian pengorbanan Pakde Narto masih dilanjutkan kepada keluarga Raden Mas Panji Waneng, yang sedang sakit ingatan, namun Pakde Narto tetap tabah menghadapinya. Demikian juga pada pangerean berikutnya pada keluarga Sastrodihardjo yang merupakan famili dari Pak Suwandi di Solo. Dan pada pangegeran yang terakhir, dan terlama kepada keluarga Joedosoebroto yang menjadi jaksa kepala di Solo, hingga Pakde Narto dewasa, mendapat pekerjaan magang di kejaksaan, dan menikah dengan nona Soemini (Bude Narto) putri pamannya Pak Amir, dari Kedungjati, Semarang.

Bapak, Ibu, dan Saudara siswa-siswi Sang Guru Sejati yang suka berbahagia.

Penderitaan demi penderitaan, pengorbanan demi pengobanan, dan semua budi darma Pakde Narto itu tumanjane (ditujukan hanya semata) untuk mendidik, mengolah, mencerdaskan, seluruh umat, segala bangsa di dunia ini agar mencapai derajat budi luhur, yakni derajat kemulian, dan kesejahtaraan hidup di dunia hingga akhirat, yakni mencapai kesunyataan jati. Hasilnya kini dapat kita nikmati dan rasakan jerih payah Pakde Narto tersebut. Sudah sepantasanyalah kita meneladan kemuliaan dan keluhuran Pakde Narto.

Sebagaimana telah diutarakan pada awal olah rasa pagi ini dalam tembang Warisan Langgeng tersebut bahwa Pakde Narto adalah citra manusia pilihan, yakni manusia yang telah mencapai kesunyataan jati, manusia yang benar-benar senyatanya telah mencapai derajat budi luhur, mumpuni terhadap hukum atau tata aturan negara dan juga hukum Tuhan, senantiasa berjalan di jalan kesunyataan, beliau secara nyata telah meninggalkan keramaian barang-barang duniawi, tetap sehat walafiat, penuh kesantunan atau ketatasusilaan, berwatak utama, dan berperilaku sahaja. Candra dari Pakde Narto yang telah mencapai kesunyataan jati itu dalam tembang Dhandhanggula pada 4, 5, 6, Serat Warisan Langgeng sebagai berikut.

Wruhanira janma kang wus manjing
wiwaraning Pura Pamudharan
rasa bagya ing batine
ayem tentrem budyayu
Ujwalane pasemon kengis
sunaring tyas kawuryan
ngumala ngunguwung
pangucap weh sreping liyan
mungkur marang krameyan mung mamalad sih
sihing Suksma Kawekas.

Dene kang wus malbeng jroning Puri
Pamudharan ingkang sanyatanya
sirna rasa-pangrasane
mati kalawan hidup
rasa bungah-susah sirnating
ruwat sagung panandhang
tatali wus putus
kang nangsaya batinira
tarlen saking megat katresnan-nireki
marang kang para cidra.

Pangrasane pan wus dadi siji
lan sagung ingkang sipat gesang
anglimputi sakabehe
welas asih satuhu
marang kabeh kang sipat urip
adil apara marta
ambeg budi luhur
sasat sarira Suksmana
wudhar saking ngger-angger tumimbal lahir
winahyu mardhikeng rat.


            Terjemahan dalam bahasa Indonesia sebagai berikut.

Ketahuilah Saudara bahwa manusia yang sudah masuk
ke pintu gerbang Istana Pamudharan
rasa bahagia di dalam batinnya
tenang, tenteram, berbudi mulia
wajahnya bersinar dapat diibaratkan
bersinarnya hati tersingkap
bagai intan permata yang mempelangi
ucapan mampu memberi ketenteram orang lain
meninggalkan dunia keramaian, hanya semata memohon sih
Kasih Tuhan Yang Maha Esa.

Adapun manusia yang telah masuk di dalam Istana
Pamudharan yang sebenar-benarnya
sirna rasa-perasaannya
ihwal mati dengan hidup
rasa senang-susah pun sirna
terbebas lepas dari semua penderitaan
tali-tali pun telah putus
yang mengikat batinmu itu
tiada lain dari usaha memisahkan kecintaanmu
terhadap semua yang dusta, silap pesona dunia.

Rasa-perasaanya sebab telah menjadi satu
dengan sumua yang bersifat hidup
meliputi keseluruhannya
kasih sayang yang sesungguhnya
terhadap semua yang bersifat hidup
adil merata keseluruh yang bersifat hidup
berwatak budi luhur
seakan-akan berbadan ke-Tuhan-an
bebas lepas dari hukum terlahir kembali
memperoleh wahyu kemerdekaan (terbebas kembali hidup di) dunia.

Lebih lanjut Bapak R. Soenarto Mertowardojo, yang menjadi teladan kita itu dalam buku Bawa Raos Ing Salebeting Raos menjelaskan bahwa keadaan orang yang telah sampai pada kasunyatan jati itu adalah sebagai berikut:
  1. tingkah lakunya bersahaja dan menyenangkan;
  2. sikapnya terhadap siapa pun ramah dan bersahabat;
  3. tindak tanduknya tertib dan susila;
  4. berbicara sedikit dan sabar tutur katanya;
  5. sopan satun jika berbicara, dan tangannya tidak bergapaian;
  6. roman mukanya terang dan ramah, tetapi menimbulkan rasa segan;
  7. matanya tajam dan bersinar;
  8. pakaiannya bersahaja;
  9. hidupnya sederhana, berbudi luhur;
  10. kesabarannya laksana samudera raya;
  11. pemaaf, adil, dan paramarta;
  12. belas kasih, sayang, dan cinta kepada sesama hidup;
  13. menetapi kewajiban hidup dengan tata susila;
  14. menghormati dan meluhurkan semua agama;
  15. setia kepada undang-undang dan peraturan negara;
  16. tidak membeda-bedakan derajat, golongan, bangsa, pria wanita, tua muda;
  17. semunya diperlakukan sama, tanpa mengabaikan tata krama;
  18. tidak meninggalkan tata cara hidup bermasyarakat;
  19. saling melindungi, saling menjaga dengan sopan santun;
  20. tidak berganti nama, tidak memakai gelar yang direka atau dibuat muluk-muluk agar terkenal dan disanjung puja di dunia; dan
  21. tidak menyombongkan akan kepandaian, kewaspadaan, serta kekuasaan meskipun ketiganya itu telah dimilikinya.
Tentang rasa dan perasaannya, lebih lanjut Pakde Narto dalam bukunya Bawa Raos Ing Salebeting Raos menjelaskan keadaan perasaan batin seseorang yang telah mencapai kasunyatan itu alah sebagai berikut.

“Sesungguhnya, rasa-perasaan batin (hati) tidak dapat diterangkan dengan perkataan sebab luasnya tidak terbayangkan, bak samudera tak bertepi; samudera yang tidak berombak mengadakan alun, yaitu: cipta, nalar, dan angan-angannya tidak bekerja sehingga mengadakan rekaan, gambaran, dan bayang-bayangan yang menimbulkan rasa: senang, susah, waswas khawatir, ragu-ragu, murka, syak wasangka, iri hati, gentar ngeri, papa sengsara, hina luhur, masyhur, celaka untung, mudah sukar, dan sebagainya.

Indahnya rasa-perasaan melebihi keindahan alam yang tergelar ini. Andaikan bebauan, ia adalah rajanya harum yang merebak mewangi. Andaikan rasa manis, ia adalah rajanya manis yang legit wangi. Andaikan kejelitaan seorang putri, kejelitaannya adalah ratunya para bidadari. Andaikan intan permata, ia adalah mustika intan yang edipeni (indah permai). Andaikan cahaya, kemilaunya cahaya melebihi terangya sinar rembulan. Andaikan air, ia adalah mata air yang jernih suci murni.

Adapun rasa-perasaan yang dapat saya terangkan dengan kata-kata, yang senyata-nyatanya dirasakan adalah: tenang, tenteram, damai, puas, heneng-hening-eling, nikmat bermanfaat, bahagia, mulia, bijaksana, tetap berasa bertunggal dengan Suksma, Sejatinya Hidup, yang menghidupi segenap sifat hidup. Oleh karena itu, ia berasa bertunggal dengan segenap yang bersifat hidup, meresap ke segenap wujud yang ada, yaitu meresap ke keadaan yang tergelar di dunia ini, tidak dibatasi oleh waktu dan ruang (tempat), jauh dan dekat, sempit dan sesak.

Demikian keadaan orang yang sudah sampai pada (mencapai) kesempur­naan bertunggal (kasunyatan jati) yang dapat saya terangkan sekadarnya. Adapun darmanya kepada dunia adalah: (1) memayu-hayuning bahawa kang sanyata (membuat sejahtera dunia dengan nyata) yang didasarkan pada kasih sayang, penuh cinta, dan keadilan yang disertai dengan pengorbanan; (2) memberi tuntutan dan suri teladan dengan tindakan yang nyata agar umat manusia hidup rukun, damai, saling pengertian, tertib, susila, berbakti kepada Tuhan sehingga dunia ini menjadi teratur, tenang, damai, tenteram, bahagia, dan sejahtera.”
            (Mertowardojo, 1960:34—36)

Demikianlah kompas yang dapat menjadi panduan untuk meneladan keluhuran dan kemulian budi Bapak Paranpara Pangestu, Raden Soenarto Mertowardojo.

Bapak, Ibu, dan Saudara sekalian warga Pangestu yang suka berbahagia.

Sudah banyak umat manusia yang kini terbuka mata hati dan pikirannya menerima Ajaran Sang Guru Sejati ini. Turunnya Pepadang dan Tuntunan Suksma Sejati melalui perantaraan Pakde Narto pada tanggal 14 Februari 1932 merupakan tonggak lembaran sejarah baru keimanan umat manusia. Sabda-Sabda Suksma Sejati yang kini diabadikan menjadi buku Sabda Pratama, Sasangka Jati, Sabda Khusus (dan ada beberapa catatan khusus yang tidak dibukukan oleh Pengurus Pusat Pangestu) yang kemudian dijelaskan oleh Pakde Narto sendiri melalui buku Bawa Raos Ing Salebeting Raos, Taman Kamulyan Langgeng, Warisan Langgeng, Sosotyo Rinontje, dan buku-buku Pangesti, serta dijelaskan oleh Bapak Soemantri Hardjoprakosa melalui buku Olah Rasa, Arsip Sardjono Budi Santosa, Ulasan Kang Kelana, dan Wahyu Sasangka Jati, serta juga buku susunan Bapak R. Rahardjo Riwayat Hidup Bapak Paranpara Pangestu R. Soenarto Merrtowardojo menjadi acuan, pedoman, atau panduan mendidik diri sendiri, mendidik keluarga, dan mendidik seluruh umat yang membutuhkan tuntunan dan pepadang Suksma Sejati mencapai derajat budi luhur.

Hanya Pakde Narto yang telah melewati jenjang golongan kesiswaan, dari: (1) siswa pratama, (2) siswa utama, hingga (3) siswa purnama. Hanya Pakde Narto pula yang telah melewati jenjang derajat kesiswaan, dari: (1) calon siswa, (2) siswa, (3) Guru, hingga (4) Guru Agung. Pakde Narto pulalah yang telah melewati jenjang derajat kejiwaan, dari: (1) jiwa muda, (2) jiwa dewasa, hingga (3) jiwa luhur. Oleh karena itu, teladan Pakde Narto yang mengor­bankan atau membudidarmakan seluruh kehidupannya bagi pendidikan untuk dapat ke­mu­liaan, keluhuran, dan juga kesejahteraan umat tidaklah sia-sia. Kita sedapat mungkin, sekuat kemampuan, dan sebisa mungkin meneladani semua kearifan, keluhuran, dan kemuliaan Pakde Narto.

Sebagai penutup olah rasa pagi ini, sekali lagi perkenankan saya mengidung Dhandhanggula dari bait 14 dan 15 Serat Warisan Langgeng, ihwal menghadapi sakaratul maut dari Pakde Narto.

Lamun angger sira tekeng janji
aywa pegat angger dhikirira
ingkang sareh pranatane
napas ngucap Allah Hu
Hu binareng napas umanjing
Allah napas umedal
kang santosa tuhu
jro lalaku keh panggodha
poma-poma angger aywa den tanggapi
kang ikhlas ninggal donya.

Rasanira kumpulna sawiji
isi eling marang Allah-ira
poma ywa mandheg tumoleh
anyuwuna pitulung
mring Panuntunira Sajati
sinebut Nur Muhammad
Utusan Hyang Agung
muga karsa nuntun sira
umareg ingayunan Hyang Maha Suci
ywa wudhar elingira.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia sebagai berikut.
Apabila engkau telah sampai pada perjanjian, menghadapi sakaratul maut
janganlah terputus dzikirmu, wahai anakku
yang sabar penuh keyakinan mengatur
keluar masuknya napas mengucapkan: Allah Hu
Hu bersamaan dengan napas masuk
Allah bersamaan dengan keluarnya napasmu
yang sungguh-sungguh teguh sentosa
sebab di dalam perjalanan banyak penggoda
pesanku wahai anakku: janganlah engkau tanggapi
yang ikhlas meninggalkan dunia.

Rasamu kumpulkanlah menjadi satu yang padu
berisi sadar terhadap Allah, yakni Tuhan sejatimu
pesanku jangan berhenti menoleh ke kiri atau ke kanan
memohonlah pertolongan
kepada Penuntunmu yang sejati
yakni yang disebut Nur Muhammad
Utusan Abadi Tuhan yang Mahaagung
semoga Sang Guru berkenan menuntunmu
menghadap di hadapan Tuhan Yang Maha Suci
janganlah terlepas sadarmu itu.

Satuhu.


No comments:

Post a Comment

Pertemuan 15 Teori Sastra Tempatan