Saturday, 25 October 2014

NYANDHUNG KEMBANG CEPAKA SAWAKUL


NYANDHUNG KEMBANG CEPAKA SAWAKUL

Puji Santosa, Bekasi

Bapak, Ibu, dan Saudara-saudari, siswa-siswi Sang Guru Sejati yang berbahagia, yang senantiasa berbakti kepada Tuhan yang sejati ialah Suksma Kawekas, dan Utusan-Nya yang abadi ialah Suksma Sejati, Guru sekalian umat, baik di dunia maupun hingga nanti di akhirat.
Pada bulan Februari 2012 saya mendapat tugas mengisi olah rasa gabungan di Ranting Bendungan Hilir dan Grorol, Cabang Jakarta I, di rumah dinas Gubernur Lemhannas, Kompleks Segneg Kemanggisan, serta pada bulan Maret 2012 saya ditugaskan juga mengisi olah rasa ranting Bekasi sebagai pengganti dari Prof. Dr. dr. Budhi Setyanto Poerwawijato, SpJp (K), FIHA, yang tidak dapat hadir karena ada sesuatu kesibukan keluarga.  Hal ini tentunya tidak terlepas dari sih anugerah, tuntunan, pepadang, daya kekuatan, dan lindungan yang dilimpahkan Suksma Sejati kepada kita semua. Saya diberi tugas ini bukan berarti saya sudah mumpuni terhadap Ajaran Sang Guru Sejati, melainkan hanya sekadar melaksanakan tugas menyeratakan Ajaran Sang Guru Sejati kepada siapa pun yang membutuhkan, tanpa pamrih dan tanpa paksaan. Selain itu, juga sebagai tanda atau wujud rasa bakti kami, mengabdi dan belajar menyiswa kepada Suksma Sejati untuk memuliakan ajaran, wejangan, tun­tunan, dan pepadang-Nya bagi seluruh warga Pagu­yuban Ngesti Tungggal yang “suka bahagia”.
Tema olah rasa yang saya sampaikan dalam dua bulan itu adalah bab “Nyandung Kembang Cepaka Sawakul”. Ungkapan bahasa Jawa ini merupakan harapan (pangesthi, pamuji) Bapak Pangrasa kepada ketiga putra-putranya, Kemayan, Prabawa, dan Pangaribawa, ketika mereka selesai menghadiri “Bawa Raos ing Salebeting Raos” (1998:165) meninggalkan pacrabakan Dana Warih: Kanthi ngunandika, “Muga-muga putra-putraku nyandunga kembang cepaka sewakul. Satuhu rahayu kang rahayu ing budi”. Ungkapan senada juga disampaikan oleh Bapak Pangrasa kepada dua putra terkasihnya, Jatmika dan Sri Rejeki, ketika hendak meninggalkan pacrabakan Dana Warih (Taman Kamulyan Langgeng, 2001:67—68) “Bapak Pangrasa kanthi ngelus-elus pundhakipun ingkang putra sekalian paring pangandika: Kula ndherekaken sugeng kondoripun putra sekalian kanthi pamuji, mugi-mugi putra sekaliyan sami nyandhung sekar cepaka mulya sawakul.
Kata cepaka dalam bahasa Jawa ini sama pengertian­nya dengan cempaka dalam bahasa Indonesia, yang artinya (1) pohon yang bunganya berbau harum semerbak mewangi, berwarna putih, putih kekuning-kuningan, kuning, merah, atau ungu (banyak jenisnya, ada semacam kanthil, kenanga), (2) bunga cempaka, dan (3) batu permata yang warnanya kuning muda.
Secara leterlek (lugas) dua ungkapan bahasa Jawa yang diucapkan Bapak Pangrasa tersebut diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi: “Sambil berucap di dalam hati: Semoga putra-putraku terantuk/menyandung bunga cempaka sebakul. Satuhu rahayu yang berbudi rahayu” (BRiSR). Ungkapan yang kedua “Bapak Pangrasa dengan mengusap-usap bahu kedua putranya seraya berkata: Saya iringi perjalanan pulang Ananda sekalian dengan doa puji, semoga Ananda sekalian menyandung bunga cempaka mulia sebakul” (TKL).
Orang yang terantuk atau tersandung itu biasanya dalam suatu perjalanan menuju ke arah tertentu. Orang tersandung dapat terjadi kapan pun dan di mana pun, baik di rumah maupun di luar rumah, baik secara leterlek tersandung oleh suatu benda maupun secara kiasan tersandung suatu hal atau masalah. Orang yang tersandung oleh sesuatu hal itu dapat berakibat fatal, mencelakakan, sial, cobaan, ujian, dan dapat juga menyenangkan atau membahagiakan. Adapun yang dimaksud oleh Bapak Pangrasa dalam pangesti atau doanya kepada ketiga putranya (BRiRS) dan kedua putranya terkasih (TKL) itu adalah agar mendapatkan suatu hal yang membahagiakan, yang memuliakan, yang menyejahterakan. “Semoga putra-putraku mendapatkan kebahagiaan yang melimpah”.
Apabila Bapak/Ibu dan Saudara mencermati redaksional dan konteks­nya, dalam BRiSR Bapak Pangrasa memanjatkan pangestinya di dalam hati ketika beliau berada di ambang pintu memandang ke arah jalan, dan saat itu ketiga putra-putranya (Kemayan, Prabawa, dan Pangaribawa) sudah jauh meninggalkan pacrabakan Dana Warih. Sementara itu, dalam TKL Bapak Pangrasa memanjatkan pangestinya sambil mengusap-usap bahu kedua putranya terkasih, Jatmika dan Sri Rejeki, sedang bersujud dihadapannya dan masih berada di dalam pacrabakan Dana Warih. Pangesti dari seorang wiku linuwih (Bapak Pangrasa adalah seorang wiku linuwih, UKK, 1990:85) yang ditujukan kepada anak-anak siswanya, tentu sebuah perhatian yang luar biasa kasih sayang guru kepada murid-muridnya.
Pangesti yang dipanjatkan oleh Bapak Pangrasa kepada ketiga putranya (BRiRS) dan dua putranya (TKL) tersebut, setelah saya rasa-rasakan, tidak hanya ditujukan kepada kelima putra-putranya tersebut, tetapi juga kepada siapa pun yang berkenan menyiswa kepada Suksma Sejati dan berkorban untuk kesejahteraan umat. Tentang mendapatkan bunga cempaka, rasa-rasanya kiasan itu pun sesuai banget dengan perjalanan hidup saya yang entah sudah berapa kali tinimbal lahir di dunia, dimulai dari kandungan ibu, kemudian lahir ke dunia, dan hendak menuju ke Taman Kemuliaan Abadi. Di dalam perjalanan hidup saya di dunia ini, entah sudah berapa kali saya tinimbal lahir di dunia ini, mudah-mudahan belum yang ketujuh kalinya. Pada kesempatan tinimbal lahir di dunia saat ini, saya seolah-olah benar-benar mendapatkan kembang cempaka, mendapatkan kebahagiaan, meski­pun belum sebakul bunga cempaka yang saya temukan, meskipun belum benar-benar mendaptkan kebahagiaan yang melimpah, dan belum sampai mendapatkan kebahgiaan abadi, bertunggal dengan Tuhan Yang Maha Esa. Meskipun hanya secuwil atau sepotong kembang cempaka yang saya temukan, rasa-rasanya sudah mendapatkan permata cempaka yang segudang banyaknya, luar biasa sih anugerah yang dilimpahkan oleh Sang Guru Sejati pada kami sekeluarga.
Hal yang saya kiaskan dengan menemukan kembang cempaka sebakul tersebut adalah saya sekeluarga diperkenankan ikut mencecap ajaran Suksma Sejati, yakni ajaran Sang Guru Sejati yang diwahyukan melalui Bapak R. Soenarto Mertowardojo, dan diwadahi oleh organisasi Paguyuban Ngesti Tunggal (Pangestu). Awalnya saya mengenal ajaran Suksma Sejati pada tahun 1980-an, ketika menjadi mahasiswa S-1 di Universitas Sebelas Maret Surakarta, dari membaca buku Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa yang ditulis oleh Dr. S. De Jong (1976). Setelah membaca buku itu tanggapan saya biasa saja, karena tidak tahu kalau itu bunga cempaka sebakul, permata cempaka segudang. Padahal, selama dua tahun saya kos/kontrak di depan rumah alm Bapak Ngirdjito (beliau pernah menjabat sebagai Korda Pangestu Jawa Tengah), kembang cempaka sebakul itu belum saya sandung.
Setelah lulus S-1 dari Universitas Sebelas, 11 Februari 1986, saya kembali ke Madiun. Pada saat itu mulailah saya resah, gelisah, dan juga stres, karena nganggur di rumah, menjadi beban orang tua yang hanya petani utun, dan melamar pekerjaan ke sana kemari perlu biaya dan tenaga, apalagi kalau setiap mendapat surat jawaban lamaran tersebut ditolak, dengan alasan belum ada lowongan pekerjaan yang sesuai dengan ijazah yang saya miliki, jiwa yang lemah ini mengakibatkan sakit raga. Namun, keresahan, gelisah, dan stres itu tidak berlarut-larut lama. September 1986 saya diterima mengajar di IKIP PGRI Madiun, bahkan langsung diangkat menjadi dosen Yayasan perguruan tinggi swasta tersebut. Enam bulan kemudian saya diangkat sebagai Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FPBS-IKIP PGRI Madiun tersebut. Meskipun demikian, jiwa masih tetap lemah, mudah stres, dan tidak tahu arah dan tujuan hidup.
Pada waktu saya masih mengajar di IKIP PGRI Madiun itulah (Juni 1987), saya dipertemukan dengan ajaran Suksma Sejati yang lebih mendalam lagi melalui ajakan Bapak Ismangil, tetangga yang berprofesi sebagai sopir angkot, untuk mengikuti ceramah penerangan Pangestu di Ranting Narima Pangestu Cabang Madiun. Seingat saya ketika itu yang memberi ceramah penerangan adalah Bapak Sunandar, Bapak Seno, dan Bapak Rukidi. Ketika mengikuti ceramah penerangan Pangestu yang dilaksanakan 8 kali itulah saya benar-benar merasa menemukan kembang cempaka sebakul itu. Melalui ceramah penerangan tersebut, suatu hal yang sangat beruntung sekali, saya dapat mengerti dan memahami akan: (1) Asal dan Tujuan Hidup (Sangkan paraning gesang), (2) Tujuan Hidup (Tujuaning gesang), (3) Bekal Hidup di Dunia (Sanguning gesang ing alam donya punika), dan (4) Kewajiban Hidup (Kuwajibaning gesang). Baru tahu, memahami, dan berniat mau melaksanakan petunjuk 4 hal inilah yang saya kiaskan bagaikan mendapatkan bunga cempaka sebakul, atau permata cempaka segudang, meskipun ukuran sebakul dan segudangnya sangat relatif. Untuk jelasnya mari kita buka saja buku Golongan Kesiswan dan Tuntunan Bagi Para Siswa Utama: Sebuah Wejangan dari Pakde Narto (1990: 17—19).
1.      Asal hidup adalah dari Sumber Hidup, yaitu Suksma Kawekas, Allah Ta’ala, Tuhan Yang Maha Esa, yang menciptakan semesta alam seisinya. Adapun tujuan hidup ialah kembali ke Sumber Hidup. Asal dari Allah kembali kepada Allah (Innalillahi wainnailahihi rajiun). Hal ini berlaku bagi segenap umat yang mengerti akan syarat-syaratnya dan yang dilaksanak­an berdasarkan kepercayaan (iman) kepada Allah.
Sungguh luar biasa membahagiakan mendapatkan pencerahan akan Asal dan Tujuan Hidup. Apabila kita tidak memahami akan asal dan tujuan hidup, tentu hidup kita tidak akan bermakna apa-apa, sebagai sampah kali, tidak dapat menorehkan sejarah yang baik di dunia ini, karena isinya hanya komet, pusing, gelap, dan bingung mencari jalan hidup yang bahagia, bahkan fatalis atau mau bunuh diri.
Salah satu bait, bait ke-18, tembang “Nur Muhammad”, Pakde Soemo menuliskan: “Ewuh ayaning ngaurip, yen tan wruh sangkan parannya, azali lan abadhine, tangeh lamun bisaa, mbatang pitakonira, memeting cangkriman hidup, komet aneng panyurasa.” Artinya kurang lebih: (Kebingungan hidup dapat terjadi bilamana tidak mengetahui akan asal dan tujuannya, yakni asal-muasal dan keabadian-Nya, mustahil dapat menjawab berbagai pertanya­anmu, akan rumit (pelik)-nya teka-teki hidup, pusing hanya berhenti di pemikiran). Agar tidak pusing memikirkan persoalan hidup yang datang silih berganti, Pakde Soemo menjelaskan akan asal kesejatian kita dalam “Kidung Suksma” bait ke-3: “Kajatening uripira yekti, asal saking Nuring Pangeranira, ya Suksma Kawekas wite, kababar apindha Nur, Nur Muhammad Suksma Sajati, jati-jatinya Ana, babaring tumuwuh, dadya Rohing pra sujanma, jumeneng neng jroning ati sanubari, Roh Suci kasebutira.” Artinya kurang lebih: (Sesungguhnya Hidupmu yang sejati itu berasal dari Nur Tuhan, yaitu Suksma Kawekas asal pokoknya, terbabar laksana Nur, yakni Nur Muhammad ya Suksma Sejati, sejati-jatinya Ada, terbabarnya tumbuh menjadi Roh/Jiwa segenap makhluk, bersinggasana di dalam hati sanuba­ri, disebut Roh Suci). Mudah-mudahan dengan penjelasan Pakde Soemo dalam bentuk tembang di atas semakin jelas memahami asal tujuan hidup.
Untuk semakin jelas memahami asal dan tujuan hidup kita, baiklah kita buka BRiSR Bab VIII, Berasal dari Allah dan kembali kepada Allah (1998: 10). Bapak Pangrasa: “Mengertilah putraku Pangaribawa, bahwa Hidup kita (Roh Suci) itu berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah (asal dari Hidup dan kembali kepada Hidup). Sejatinya Hidup itu Esa (Satu) yang sudah bertunggal dengan kita di pusat Hidup yang meliputi sege­nap sifat hidup dan semesta alam seisinya.
Asal Roh ialah percikan Hidup, suci, maka kembalinya kepada Allah, Sumber Hidup (Sumber Kesucian), juga harus suci. Adapun yang mengotori kesucian Roh itu pakartinya angan-angan, yang menjadi cangkok Roh, dan yang menumbuhkan rasa cinta serta melekat erat pada keadaan yang tergelar di dunia yang tidak abadi ini sehingga lupa dan tidak berniat kembali kepada Allah, asal-muasal Roh. Ibaratnya seperti awan yang terjadi dari uap air karena daya panas matahari. Selama awan itu belum luluh karena daya panas matahari dan pengaruh angin, selama itu pula awan itu belum dapat jatuh sebagai hujan kembali kepada asalnya uap, yaitu kembali kepada air.
Kembali atau bertunggalnya Roh Suci kepada Allah itu diibaratkan seperti air hujan yang mentes di lautan, yang luluh menjadi satu dengan lautan, abadi keadaannya, yang tidak dapat diterangkan dengan kata-kata bagaimana ketenteraman dan kemuliaannya.
Adapun Roh (Jiwa) yang belum suci, yaitu jiwa yang belum dapat melepaskan tindak kerjanya angan-angan, yang menjadi cangkok atau busana jiwa oleh karena melekat erat pada barang-barang yang dicintai, setelah lepas dari badan jasmani (wadak) tidak dapat kembali pada asal Roh, tetapi berhenti dan bertempat di alam antara, yaitu yang disebut alam Kafiruna atau alam Kegelapan, tempat jiwa-jiwa yang lupa pada asal dan tujuan hidup, yakni lupa kepada Allah. Adapun keadaannya seperti orang ‘tidur’ yang bermimpi tidak keruan, beraneka warna dan berganti-ganti penderitaan yang dirasakan dalam mimpi (selama di alam antara), menurut apa yang diimpi-impikan dan yang diingini serta senantiasa menampak (terbayang-bayang) apa yang dicintainya. Penderitaan dalam mimpi hilang apabila yang ‘tidur’ (lupa) itu bangun, artinya Jiwa segera sadar (ingat) kepada Allah. Oleh karena itu, lalu diturunkan lagi dalam kehidupan di dunia, atas Karsa dan Sih Allah, supaya bersesuci sebelum ‘tidur’ (mati).
Kelonggaran untuk bersesuci itu, atas kasih dan kemurahan Tuhan, adalah tujuh kali, yaitu Roh (Jiwa) yang belum suci diturunkan dalam kehidupan di dunia sebanyak-banyaknya tujuh kali (tujuh penjelmaan), perlunya untuk bersuci sesuai dengan petunjuk agama suci, yakni Sabda Tuhan Yang Mahasuci. Hal laku atau caranya bersuci kini sudah disabda­kan oleh Sang Guru Sejati dengan ringkas dan jelas yang dipaparkan dalam pustaka Sasangka Jati bagian Hastha Sila. Akan tetapi, putra-putraku sekalian hendaklah bercita-cita dan berusaha agar sekali selesai (sepisan rampung, suci) bertunggal kembali dengan Allah. Sebab hal ‘Kelahiran Kembali’ hingga tujuh kali itu bukan pokok ajaran melainkan hanya ‘cabang’ pengetahuan (ilmu) yang juga perlu diketahui untuk menyaksikan atau menguatkan keyakinan bahwa Allah itu senyatanya Mahaadil. Jadi, bukan tujuan hidup atau bukan cita-cita hidup yang sejati.
Oleh karena keadaan Tuhan itu adalah suci, tenang, damai, dan sayang, maka dalam ASBS (1989:67) alinea 95 menyatakan: “Siapa masih tergoda oleh keadaan dunia besar ini, masih belum suci. Siapa masih ingin menjalankan suatu prestasi, sekalipun prestasi itu baik, ternyata belum tenang. Siapa masih ingin memberantas apa-apa yang jahat dan buruk, ternyata belum damai. Siapa masih membenci apa-apa yang tidak baik, ternyata belum sayang.”
2.   “Tujuan hidup adalah hidup bahagia yang abadi dan akhirnya kembali ke Asal Mula dan Tujuan Hidup. Adapun tujuan hidup ini dapat dicapai apabila syarat-syaratnya dimengerti dan dilaksanakan disertai pengorban­an.” Pada olah rasa saya di ranting Bendung Hilir, 2 tahun yang lalu, memberi olah berjudul “Upaya mencapai kebahgiaan hidup”. Saya mengutip dalam Sasangka Jati bab ”Mujur dan Malangnya Perjalanan Hidup” bagian dari Sangkan Paran, demikian sabdanya:
Sekarang Aku hendak menerangkan mengenai sejatinya yang disebut bahagia. Bagi jiwamu, yang dianggap bahagia adalah apabila engkau dapat dekat dengan Tuhan atau Aku (Suksma Sejati). Arti­nya, engkau dapat menerima pepadang Tuhan. Jadi, betapapun wujud kebahagiaan lahir dalam kehidupan dunia ini, apabila engkau jauh dari Tuhan atau lupa kepada Tuhan, engkau sengsara dalam wawasan jiwamu, sebab engkau tidak mengerti akan tujuan hidup yang senyata-nyatanya. Sebalik­nya, betapapun wujud kesengsraan lahir mengenai kehidupan dunia ini, seperti: menderita papa dan sebagainya, apabila engkau sangat dekat dengan Tuhan, mengenai jiwamu: engkau adalah makhluk yang paling bahagia di antara sesama makhluk hidup di dunia ini. Sebab, dalam hal mujur dan malangnya perjalanan hidup mengenai kehidupanmu di dunia, dalam wawasan jiwamu tidak ada, karena keadaan jiwamu itu abadi dan tenteram. Jadi, tidak terpengaruh oleh rasa suka dan susah serta giris, atau oleh semua keadaan yang berubah berganti”.
Ketika masih sugengnya Ibu Marsaid Susilo dahulu, kalau saya tidak salah dengar, ada tujuh tanda-tanda seseorang itu dekat dengan Sang Guru Sejati, sangat dikasihi Tuhan, adalah:

  1. MAT (Marem, Ayem, Tentrem). Suatu keadaan jiwa yang dapat merasakan betapa puas, lega, tenang, damai, tenteram, dan sejahtera.
  2. Banyak permohononan, doa, yang dikabulkan, sebagai tanda betapa Tuhan penuh kasih kepada semua makhluknya.
  3. Memberi cepat kembali, semakin memberi banyak kepada orang lain, kembalinya kepada kita juga banyak, sepuluh kali lipat, bahkan 27 kali lipat.
  4. Seringkali kita diberi pinjaman kebijaksanaan, buah dari sadar kita kepada Tuhan.
  5. Sering pula kita diberi pinjaman kekuasaan, buah dari rasa percaya/iman kita kepada Tuhan.
  6. Kita juga diperkenankan dapat membabarkan karsa Tuhan, buah dari taat melaksanakan perintah. Dalam Serat Warisan Langgeng bagian 3, ”Mijil” apabila kita dapat: Melaksanakan Dasa Sila (itu) sungguh/ mendapat anugerah Tuhan/ teratur tata tenteram bahagia selamanya/ kasih Tuhan turun mengalir terus/ apa yang diangan­kan terlaksana/ yang dikehendaki pun diperkenankan (dikabulkan).
  7. Sudah tidak memiliki keinginan apa-apa lagi, sudah merasakan kebahagiaan hidup sejati, bertunggal dengan Suksma Kawekas dan Suksma Sejati, mencapai kasunyatan. Dalam ASBS (1989:31) alinea 44 menyatakan bahwa ”Gejala-gejala bahwa kita telah dekat kepada Suksma Sejati ialah lenyapnya keinginan dan kemauan. Adanya hanya menyerah saja, tetapi rasa menyerah ini tidak disertai lumpuh aktivitas. Siswa yang dekat kepada Suksma Sejati tetap aktif. Di sam­ping aktif si siswa menerima dengan ikhlas apa saja yang dijumpai­nya.” Selanjutnya dalam ASBS alinea 101 dinyatakan bahwa ”Manusia yang telah bertunggal dengan Suksma Sejati mencapai puncak kebahgiaan hidup. Bahagialah pula orang-orang yang dekat kepada manusia tersebut, apabila mereka dapat membuka hati mereka bagi pepadang yang dilimpahkan kepada mereka.
3. Bekal hidup itu adalah ilmu (pengetahuan) lahir batin.
4. Kewajiban hidup banyak sekali, apabila diringkas ada 5 kewa­jiban, yaitu:
  1. Kewajiban menjadi perantara untuk melaksanakan Karsa Tuhan yang abadi, yaitu pria sebagai perantara turunnya Roh Suci, sedangkan wanita sebagai perantara untuk menerima dan mengandung turunnya Roh Suci. Kewajiban yang suci itu harus dilaksanakan dengan kesucian, kesusilaan, serta keutamaan watak (budi bekerti yang utama) berda­sarkan rasa kasih sayang. Dalam menjalani hidup berumah tangga, pria wanita (suami istri) harus hidup rukun dan selaras (harmonis) dalam ikatan kasih sayang yang sejati. Selanjutya, dalam buku Perkawinan Bahagia (1983:18) dijelaskan oleh Pakde Narto bahwa perkawinan itu diibaratkan tanaman yang harus dipupuk ZA dan disirami dengan (a) mong-kinemong (saling mengasuh/menjaga), (b) apura-ingapura (saling memaafkan), (c) ajen-ingajenan (saling menghor­mati), dan (d) tansah nuju prana, murih adamel suka pirena (senantiasa berkenan di hati agar dapat membahagiakan). Bilamana kewajib­an hidup yang penting tersebut dijalani dengan cara demikian, maka hal itu berarti mendidik anak sebelum lahir, pendidikan anak dalam kandungan. Di kemudian hari akan dikaruniai seorang putra/putri yang susila, berwatak utama, mursid (arif bijaksana), kaya akan keahlian dan ketrampilan, rupawan (elok rupanya), berbudi luhur, berderajat luhur, dan mulia hidupnya. Tentu semua itu berkat sih anugerah, tuntunan, pepadang, daya kekuat­an, dan lindungan Tuhan Sejati.
  2.  Kewajiban untuk mencukupi kebutuhan keluarga.
  3. Kewajiban terhadap tetangga dan masyarakat, yaitu dengan mencipta­kan ketentraman serta kesejahteraan hidup bersama dengan bergotong-royong dan saling membantu.
  4. Kewajiban mengabdi kepada negara, yaitu dengan menaati undang-undang negara, menjaga ketentraman dan keamanan negara.
  5. Kewajiban yang luhur dan suci, yaitu dengan berbakti kepada Tuhan Sejati (Suksma Kawekas, Allah Ta’ala) dengan menaati perintah dan menjauhi larangan Tuhan sebagaimana termaktub dalam kitab-kitab suci Sabda Ilahi. Hal itu dilaksanakan berdasarkan kepercayaan bahwa kita umat manusia berada dalam kekuasaan Hukum Abadi, yaitu sifat Keadilan Allah.
Bapak, Ibu, dan Saudara para warga Paguyuban Ngesti Tunggal, setelah saya mendapatkan ceramah penerangan dan dilantik menjadi warga Pangestu, banyak manfaat dan anugerah Ilahi yang saya peroleh. Atas manfaat dan anugerah Ilahi inilah yang saya rasakan sesuai dengan ungkapan Bapak Pangrasa “Nyandung Kembang Cepaka Sawakul” (BRISR) atau “Nyandung Sekar Cepaka Mulya Sawakul”. Terima kasih yang tulus tidak terhingga, matur nuwun Gusti Allah, atas sih anugerah, tuntunan, pepadang, daya kekuatan, dan lindungan Suksma Sejati, Guru Sejati, Penuntun, dan Guru Dunia, Nur Ilahi. Sampai saat ini anugerah-anugerah Sang Guru Sejati yang dilimpahkan kepada kami sekeluarga sungguh luar biasa, terus mengalir tiada henti, sejak lahir di dunia hingga kini kenikmatan duniawi dan rohani senantiasa terus dapat saya rasakan. Luar biasa, sungguh dahsyat sekali sih anugerah, tuntunan, pepadang, daya kekuatan, dan lindungan Sang Guru Sejati yang dilimpahkan kepada kami sekeluarga. Satuhu.




































No comments:

Post a Comment

Pertemuan 15 Teori Sastra Tempatan