Wednesday, 25 January 2012

Kerusakan Catur Bangsa



















   
Masih juga senada dengan R.Ng. Ranggawarsita tentang zaman edan, seorang ahli filosofi di Jawa abad XX, Raden Trihardono Soemodihardjo, secara eksplisit melalui dua buah bait tembang dhandhanggula yang ditulis pada tahun 1949 berjudul “Serat Waluyan” (Sabda Pratama, 1997:20--21), memberi tahu kepada kita tentang tanda-tanda yang nyata terjadinya zaman edan tersebut. Dalam tembangnya dhandanggula itu Soemodihardjo menggunakan tanda dan lambang masyarakat Hindu atau India kuno, yang terkenal dengan pembagian empat kasta atau catur bangsa. Agar lebih jelasnya, marilah kita perhatikan dua bait tembang berikut dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia.
 
Yen brahmana wus tindak ngapusi
laku dagang golek kauntungan
ngedol ngelmu kasektene
bangsa satria nguthuh
rebut melik asoring budi
bangsa waisya kuwasa
kadwi bangsa teluk
sujud marang si hartawan
kinen bantu genging bandhane wong sugih
srana nindhes wong sudra.

Bangsa sudra pan makaten ugi
rebut unggul nglawan bangsa waisya
wus sirna bangun miturute
minta mundhak blanja trus
wimbuh malih jaminan-neki
yen tan gelem nurutana
mogok buruhipun.
Yen adharma saya ndadra
jagat rusak Ingsun rawuh andandani
dharmaning catur bangsa.

(Terjemahan dalam bahasa Indonesia kurang lebih sebagai berikut.
    Apabila bangsa brahmana sudah berbuat menipu/berbohong,
    berlaku dagang mencari keuntungan,
    menjual ilmu yang menjadi andalannya.
    Bangsa ksatria berbuat tercela,
    berebut milik berbudi rendah.
    Bangsa waisyalah yang berkuasa.
    Kedua bangsa tadi takhluk
    bersujud kepada si hartawan
    disuruh membantu memperkaya harta si kaya
    dengan cara menindas bangsa sudra.

    Bangsa sudra pun berlaku demikian
    berebut unggul melawan bangsa waisya
    sudah hilang rasa patuhnya
    selalu menuntut kenaikan upah
    dan tambah berbagai jaminan
    apabila tidak dipenuhi
    mogok menjadi buruh.
    Jikalau kerusakan semakin merajalela,
    dunia rusak, Aku datang memperbaikinya
    darma keempat bangsa tersebut.)

    Petunjuk tentang tanda-tanda kekuasaan zaman edan yang diberikan oleh Soemodihardjo melalui dua bait tembang macapat dhandhanggula itu begitu jelasnya. Suatu zaman dikatakan edan apabila ditandai oleh perilaku edan, rusaknya, dari keempat bangsa yang sudah ke luar dari kewajiban (darma)-nya sebagai berikut.
  1. Bangsa brahmana sudah berani berbuat menipu terhadap umatnya, membohongi diri sendiri dan orang lain, terjadi pembohongan publik, tidak mengedepankan tindak kejujuran dan kemuliaan, kemudian berlaku dagang, mencari keuntungan, memperkaya diri sendiri, serta menjual ilmu agamanya. Brahmana yang demikian itu dapat disebut sebagai brahmana gadungan.
  2. Bangsa ksatria berbuat tercela, hina dina, saling berebut kekuasaan dan pengaruh, rebutan hak milik, serta berbudi pekerti rendah, sehingga bangsa ksatria ini takhluk dan bersujud kepada para konglomerat, para investor, atau kepada si hartawan yang kaya-raya. Ksatria yang demikian dapat disebut sebagai ksatria palsu.
  3. Bangsa waisya mampu menakhlukan kedua bangsa di atasnya, yaitu bangsa brahmana dan bangsa ksatria. Kedua bangsa ini ikut memperkaya harta bangsa waisya dengan cara menindas bangsa sudra, dan
  4. Bangsa sudra pun tidak mau kalah untuk berebut unggul melawan bangsa waisya. Bangsa sudra sudah hilang kepatuhannya sehingga mereka berani melakukan demonstrasi beramai-ramai menuntut kenaikan upah (UMR), meminta tambahan berbagai jaminan dan tunjangan, seperti THR, cuti haid, asuransi kesehatan, bonus bulanan, uang lembur, cuti melahirkan hingga 6 bulan, dan kalau PHK meminta pesangon lebih. Jika tuntutan itu tidak dikabulkan oleh majikannya, lalu mereka mogok kerja, bikin ulah dan teror, menjadi provokator, serta ada juga yang melakukan mogok makan hingga mati kelaparan.
    Tindakan keempat bangsa yang rusak seperti itulah yang diungkapkan dalam tembang Dhandanggula dua bait oleh Soemodihardjo. Sudah barang tentu perilaku rusak dari catur bangsa di atas mengarah pada perilaku destruktif, durhaka, pandir, dungu, maksiat, bengis, sadis, anarki, dan sudah melanggar dharma masing-masing, baik secara vertikal kepada Tuhan Yang Maha Pencipta, maupun secara horisontal kepada sesama umat. Keluarnya catur bangsa dari dharmanya itu mengakibatkan dunia seisinya rusak, kacau-balau, karut-marut, amburadul semua tatanan yang ada, dan akhirnya kutukan datang menimpa umat yang durhaka tersebut. Kerusakan catur bangsa demikian itulah yang disebut dengan zaman edan, kalatidha, kalabendu, dan jaman retu.

Monday, 23 January 2012

KEPEMIMPINAN PRAJA PANCA WICAKSANA


PRAJA PANCA WICAKSANA

Apa makna Praja Panca Wicaksana
adalah lima tindakan yang bijaksana
dilakukan oleh seorang pemimpin negara
agar bangsa dan negara memilki perbawa
baik di mata rakyat maupun bangsa di dunia.

Pertama, watak Samad Wicaksana
adalah tindakan bijaksana pemimpin negara
memberi anugerah bagi rakyat yang berjasa
memberi penghargaan bagi semua anak bangsa
yang berprestasi mengukir sejarah peradaban dunia.

Kedua, watak Waspada Wicaksana
adalah tindakan bijaksana pemimpin negara
senantiasa mengutamakan kewaspadaan dan siap siaga
menghadapi berbagai tantangan dan segala bencana
maju tak gentar membela yang benar demi nusa bangsa dan negara.

Ketiga, watak Tera Wicaksana
adalah tindakan bijaksana pemimpin negara
memberi perlakuan yang sama adil terhadap rakyatnya
timbang, tidak berat sebelah atau condong kepada siapa saja
hingga terciptanya disiplin masyarakat mematuhi hukum negara.

Keempat, watak Dana Wicaksana
adalah tindakan bijaksana pemimpin negara
mengutamakan tercukupinya papan, makan, dan busana
bagi rakyat beguna sekali untuk mengangkat papa sengsara
sehingga kehidupan rakyat menjadi sejahtera dan bahagia.

Kelimanya, watak Denda Wicaksana
adalah tindakan bijaksana pemimpin negara
menghukum mereka yang berbuat angkara murka
karena mereka jelas-jelas melanggar hukum negara
sehingga negara terpelihara keamanan dan kedamaiannya
terjaga kewibawaannya hingga dunia pun menghormatinya.

Bekasi, 23 Januari 2012

Sunday, 22 January 2012

KEPEMIMPINAN NARPATI CATUR MULYA

Apa makna Narpati Catur Mulyaadalah watak utama bagi penguasa
yang menjadi pegangan memimpin negara
melaksanakan amanah rakyat membangun bangsa.

Pertama, watak Jalma Wasis Sulaksanaseorang pemimpin negara hendaknya
menguasai berbagai ilmu pengetahuan yang ada
tidak terbatas ilmu lahiriah, ilmu batinpun juga
sehingga pemimpin menjadi bernas, cerdas, dan cendekia.

Kedua, watak Praja Welas Sulaksanaseorang pemimpin negara hendaknya
memiliki rasa belas kasih kepada sesama
tidak membedakan ras, golongan, dan agama
semua diberlakukan sama sesuai hukum negara.

Ketiga, watak Jalma Wirya Sulaksanaseorang pemimpin negara hendaknya
berani dan tegas bertindak secara nyata
memutuskan dengan bijak segala perkara
tutur kata dan bahasanya dapat dipercaya.

Keempatnya, watak Praja Wibawa Sulaksanaseorang pemimpin negara itu hendaknya
memiliki kewibawaan yang luar biasa
memancarkan pesona yang penuh aura
rakyat dan bangsa segan, hormat kepadanya
semua program dapat terlaksana secara nyata
membuat rakyat hidup sejahtera dan bahagia.

Bekasi, 22 Januari 2012

Friday, 20 January 2012

SEMBAH CIPTA DAN HATI

SEMBAH CIPTA DAN HATI

Bersembahnya cipta dan hati
ada tiga hal yang harus dijalani
setiap hari tiada henti
sebagai kesanggupan suci
hanya memuja kepada Ilahi:
(1) Sadar, senantiasa penuh berbakti,
disentosakan zikir dan sembahyang setiap hari;
(2) Iman, bulat hakulyakin sepenuh hati,
tiada tuhan selain Allah ya Robbi;
(3) Takwa, selalu taat dan menetapi
semua sabda wejangan perintah Ilahi,
larangan Tuhan juga haruslah disingkiri,
agar hidup kita bahagia selamanya nanti.

Istilah lain Takwa adalah Taat atau Mematuhi
mengandung kedalaman makna haruslah memiliki
kesediaan diri membersihakan tempat yang suci
pada setiap waktu di dalam pusat hati sanubari
untuk dapat menerima pencerahan dari Ilahi
serta berniat menyediakan kancah pepadang Ilahi
demikian itulah yang disebut dengan TAAT SEJATI.

Kemudian, sucikanlah cipta dan hati
melalui pelaksanaan tirta sari Pancasila
artinya cipta dan hati senantiasa bersih suci
penuh dengan kesusilaan atau susila anuraga
maknanya sucinya cipta dan hati
itu ada lima hal yang harus dilaksanakan
pertama: Rela terhadap Hukum Tuhan,
kedua: Menerima
apa pun yang sudah menjadi bagiannya,
ketiga: Jujur menepati janji dan kesanggupan,
keempat: Sabar menerima cobaan Tuhan,
dan kelimanya: Berbudi Luhur atau berakhlak al karimah.

Bekasi, 30 September 2010

Tuesday, 17 January 2012

KEPEMIMPINAN BERBUDI MULIA

Orang yang berbudi mulia
adalah orang yang bersahaja
tingkah laku dan perbuatannya
senantiasa menyenangkan mereka
membuat gembira ria penuh makna.

Orang yang berbudi mulia
adalah mereka yang sikapnya
senantiasa ramah kepada siapa saja
bersahabat dan tidak membuatnya beda
tindak tanduknya tertib dan susila anuraga.

Orang yang berbudi mulia
adalah mereka yang tutur katanya
sedikit, tetapi mengandung penuh makna
selalu jujur apa adanya kepada siapa saja
senantiasa menepati janji yang diucapkannya.

Orang yang berbudi mulia
adalah mereka yang sopan berbicara
santun setiap tindakan yang diperbuatnya
tangannya tidak bergapaian ke mana-mana
terang dan ramah memancar dari roman muka
tajam dan bersinar cemerlang memancar dari mata
siapa pun yang menatap timbul rasa segan berwibawa.

Orang yang berbudi mulia
adalah mereka yang cara hidupnya
berpakaian bersahaja atau sederhana
tidak berjubah mewah dengan bermahkota
tetap tertata rapi, bersih, dan sedap dipandang mata.
Orang yang berbudi mulia
adalah mereka yang paramarta
adil, merata, dan penuh bijaksana
belas kasih, sayang, dan cinta sesama
kesabarannya itu laksana samudera raya.

Orang yang berbudi mulia
adalah mereka yang tetap setia
kepada tanah air dan pembesar negara
taat pada peraturan dan undang-undangnya
menetapi kewajiban hidup dengan tata susila
menghormati dan meluhurkan semua agama
tidak membeda-bedakan derajat, golongan, dan bangsa
semua diperlakukan sama, tanpa mengabaikan tata krama
dan tidak meninggalkan cara hidup bermasyarakat yang ada.

Orang yang berbudi mulia
adalah mereka yang saling menjaga
harkat, martabat, harga diri, dan wibawa
tidak bergelar dan bahkan tidak berganti nama
tidak ingin di sanjung-sanjung ataupun dipuja-puja
tidak menyombongkan kemampuan dan kepandaiannya
tidak meninggalkan kewaspadaan kepada siapa dan apa saja.

Orang yang berbudi mulia
adalah mereka yang senantiasa
mendarmakan kemampuannya kepada dunia
dengan membuat sejahteranya dunia secara nyata
berdasarkan pada kasih sayang dan keadilan sempurna
serta pengorbanan yang nyata-nyata kepada sesama
memberi tuntunan, pencerahan, dan teladan utama
kepada semua umat agar hidup rukun, damai, dan sejahtera
sebagai perwujudan rasa berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Pertemuan 15 Teori Sastra Tempatan