Masih juga senada dengan R.Ng. Ranggawarsita tentang zaman edan, seorang ahli filosofi di Jawa abad XX, Raden Trihardono Soemodihardjo, secara eksplisit melalui dua buah bait tembang dhandhanggula yang ditulis pada tahun 1949 berjudul “Serat Waluyan” (Sabda Pratama, 1997:20--21), memberi tahu kepada kita tentang tanda-tanda yang nyata terjadinya zaman edan tersebut. Dalam tembangnya dhandanggula itu Soemodihardjo menggunakan tanda dan lambang masyarakat Hindu atau India kuno, yang terkenal dengan pembagian empat kasta atau catur bangsa. Agar lebih jelasnya, marilah kita perhatikan dua bait tembang berikut dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia.
Yen brahmana wus tindak ngapusi
laku dagang golek kauntungan
ngedol ngelmu kasektene
bangsa satria nguthuh
rebut melik asoring budi
bangsa waisya kuwasa
kadwi bangsa teluk
sujud marang si hartawan
kinen bantu genging bandhane wong sugih
srana nindhes wong sudra.
Bangsa sudra pan makaten ugi
rebut unggul nglawan bangsa waisya
wus sirna bangun miturute
minta mundhak blanja trus
wimbuh malih jaminan-neki
yen tan gelem nurutana
mogok buruhipun.
Yen adharma saya ndadra
jagat rusak Ingsun rawuh andandani
dharmaning catur bangsa.
(Terjemahan dalam bahasa Indonesia kurang lebih sebagai berikut.
Apabila bangsa brahmana sudah berbuat menipu/berbohong,
berlaku dagang mencari keuntungan,
menjual ilmu yang menjadi andalannya.
Bangsa ksatria berbuat tercela,
berebut milik berbudi rendah.
Bangsa waisyalah yang berkuasa.
Kedua bangsa tadi takhluk
bersujud kepada si hartawan
disuruh membantu memperkaya harta si kaya
dengan cara menindas bangsa sudra.
Bangsa sudra pun berlaku demikian
berebut unggul melawan bangsa waisya
sudah hilang rasa patuhnya
selalu menuntut kenaikan upah
dan tambah berbagai jaminan
apabila tidak dipenuhi
mogok menjadi buruh.
Jikalau kerusakan semakin merajalela,
dunia rusak, Aku datang memperbaikinya
darma keempat bangsa tersebut.)
Petunjuk tentang tanda-tanda kekuasaan zaman edan yang diberikan oleh Soemodihardjo melalui dua bait tembang macapat dhandhanggula itu begitu jelasnya. Suatu zaman dikatakan edan apabila ditandai oleh perilaku edan, rusaknya, dari keempat bangsa yang sudah ke luar dari kewajiban (darma)-nya sebagai berikut.
laku dagang golek kauntungan
ngedol ngelmu kasektene
bangsa satria nguthuh
rebut melik asoring budi
bangsa waisya kuwasa
kadwi bangsa teluk
sujud marang si hartawan
kinen bantu genging bandhane wong sugih
srana nindhes wong sudra.
Bangsa sudra pan makaten ugi
rebut unggul nglawan bangsa waisya
wus sirna bangun miturute
minta mundhak blanja trus
wimbuh malih jaminan-neki
yen tan gelem nurutana
mogok buruhipun.
Yen adharma saya ndadra
jagat rusak Ingsun rawuh andandani
dharmaning catur bangsa.
(Terjemahan dalam bahasa Indonesia kurang lebih sebagai berikut.
Apabila bangsa brahmana sudah berbuat menipu/berbohong,
berlaku dagang mencari keuntungan,
menjual ilmu yang menjadi andalannya.
Bangsa ksatria berbuat tercela,
berebut milik berbudi rendah.
Bangsa waisyalah yang berkuasa.
Kedua bangsa tadi takhluk
bersujud kepada si hartawan
disuruh membantu memperkaya harta si kaya
dengan cara menindas bangsa sudra.
Bangsa sudra pun berlaku demikian
berebut unggul melawan bangsa waisya
sudah hilang rasa patuhnya
selalu menuntut kenaikan upah
dan tambah berbagai jaminan
apabila tidak dipenuhi
mogok menjadi buruh.
Jikalau kerusakan semakin merajalela,
dunia rusak, Aku datang memperbaikinya
darma keempat bangsa tersebut.)
Petunjuk tentang tanda-tanda kekuasaan zaman edan yang diberikan oleh Soemodihardjo melalui dua bait tembang macapat dhandhanggula itu begitu jelasnya. Suatu zaman dikatakan edan apabila ditandai oleh perilaku edan, rusaknya, dari keempat bangsa yang sudah ke luar dari kewajiban (darma)-nya sebagai berikut.
- Bangsa brahmana sudah berani berbuat menipu terhadap umatnya, membohongi diri sendiri dan orang lain, terjadi pembohongan publik, tidak mengedepankan tindak kejujuran dan kemuliaan, kemudian berlaku dagang, mencari keuntungan, memperkaya diri sendiri, serta menjual ilmu agamanya. Brahmana yang demikian itu dapat disebut sebagai brahmana gadungan.
- Bangsa ksatria berbuat tercela, hina dina, saling berebut kekuasaan dan pengaruh, rebutan hak milik, serta berbudi pekerti rendah, sehingga bangsa ksatria ini takhluk dan bersujud kepada para konglomerat, para investor, atau kepada si hartawan yang kaya-raya. Ksatria yang demikian dapat disebut sebagai ksatria palsu.
- Bangsa waisya mampu menakhlukan kedua bangsa di atasnya, yaitu bangsa brahmana dan bangsa ksatria. Kedua bangsa ini ikut memperkaya harta bangsa waisya dengan cara menindas bangsa sudra, dan
- Bangsa sudra pun tidak mau kalah untuk berebut unggul melawan bangsa waisya. Bangsa sudra sudah hilang kepatuhannya sehingga mereka berani melakukan demonstrasi beramai-ramai menuntut kenaikan upah (UMR), meminta tambahan berbagai jaminan dan tunjangan, seperti THR, cuti haid, asuransi kesehatan, bonus bulanan, uang lembur, cuti melahirkan hingga 6 bulan, dan kalau PHK meminta pesangon lebih. Jika tuntutan itu tidak dikabulkan oleh majikannya, lalu mereka mogok kerja, bikin ulah dan teror, menjadi provokator, serta ada juga yang melakukan mogok makan hingga mati kelaparan.
Tindakan keempat bangsa yang rusak seperti itulah yang diungkapkan dalam tembang Dhandanggula dua bait oleh Soemodihardjo. Sudah barang tentu perilaku rusak dari catur bangsa di atas mengarah pada perilaku destruktif, durhaka, pandir, dungu, maksiat, bengis, sadis, anarki, dan sudah melanggar dharma masing-masing, baik secara vertikal kepada Tuhan Yang Maha Pencipta, maupun secara horisontal kepada sesama umat. Keluarnya catur bangsa dari dharmanya itu mengakibatkan dunia seisinya rusak, kacau-balau, karut-marut, amburadul semua tatanan yang ada, dan akhirnya kutukan datang menimpa umat yang durhaka tersebut. Kerusakan catur bangsa demikian itulah yang disebut dengan zaman edan, kalatidha, kalabendu, dan jaman retu.