Thursday 7 October 2010

Hastha Brata 2

 

HASTHA BRATA 2
(WAHYU MAHKOTARAMA)

Alkisah ksatria panengah Pandawa, Raden Arjuna
pada saat mendapatkan wahyu mahkotarama
sabda wejangan Begawan Kesawasidhi namanya
dari Padepokan Kutharunggu di negeri Singgelapura.

Apa sebenarnya makna wahyu mahkotarama
wahyu sebagai anugerah Tuhan yang Mahakuasa
mahkotarama adalah mahkota yang dipakai Ramawijaya
raja agung bhinatara di negeri Pancawatidhendha.

Wahyu mahkotarama dimaknai juga terbabarnya
ilmu laku Rama ketika beliau mengemban tugas mulia
memegang tampuk pimpinan kekuasaan Negara
hingga beliau menjadi simbol teladan utama dunia.

Jasanya senantiasa dikenang rakyat seluruh mayapada
bahkan dewa dan dewi pun terkagum-kagum padanya
bukan karena luasnya wilayah jajahan negara
bukan karena melimpah-ruahnya kekayaan harta
bukan karena besarnya dukungan rakyat jelata
bukan karena banyaknya bala tentara
bukan karena kecanggihan peralatan senjata
melainkan karena kepiawaiannya mengelola negara
berwatak jujur, adil, tegas, dan bijaksaana
sebagai penerapan ilmu laku Hastha Brata.

Brata pertama, laku hambeging kisma atau bantala
penguasa senantiasa belas kasih terhadap sesama
kepada siapa pun yang datang hendak meminta
tentu dengan senang hati untuk dapat dikabulkannya
sebagaimana watak kisma, tanah, bumi, atau bantala
tiada henti-hentinya senantiasa memberi dana
segala tanaman dapat tumbuh subur ngrembaka
meski dicangkul, dibajak, digaru-luku, dan diinjak-injaknya
tetap setia memberi buah, sandang, papan, dan boga
meski digali, dibor, ditambang, dan dieksplorasinya
tetap setia memberi hasil tambang yang beraneka rupa
emas, perak, besi, baja, timah, dan intan permata
juga ada belerang, minyak, gas, dan batu bara
semua atas belas kasih kisma, bumi, tanah, atau bantala.

Brata kedua, laku hambeging banyu atau tirta
penguasa hendaknya senantiasa bertindak anor raga
maknanya selalu merendahkan diri walau sudah berkuasa
tidak perlu merasa lebih unggul daripada yang lainnya
tidak pernah sakit hati, dengki, tamak, loba, dan aniaya
sebagaimana watak air selalu mengalir hingga merata
dari hulu ke hilir, bahkan sampai ke tengah samudra
semua mendapat tetesan, rembesan, dan aliran tirta
air atau tirta juga membersihkan kotoran, noda, dan cela
penguasa pun harus dapat membersihkan segala noda dan cela
dapat membuat suasana sejuk dan sebagai pelepas dahaga.

Brata ketiga, laku hambeging angin atau samirana
penguasa harus berjiwa teliti di mana saja berada
baik buruk rakyat harus diketahui oleh mata kepala
tanpa bergantung pada laporan dari bawahan saja
sebab bawahan cenderung selektif memberi infornya
dan berusaha menyenangkan penguasa yang jadi atasannya.

Brata keempat, laku hambeging segara atau samodra
penguasa harus mempunyai sifat pemaaf kepada siapa saja
sebagaimana samudra yang siap menampung apa-apa yang ada
tidak meluap emosi dan amarahnya yang bergelora
watak samudra mencerminkan dukungan berbagai rakyat jelata
pluralisme etnis, ras, suku bangsa, antargolongan, dan agama
bahkan multikulturalisme pun dapat dipersatukan penguasa
dengan tetap menjunjung semangat bhineka tunggal ika.

Brata kelima, laku hambeging rembulan atau candra
penguasa harus memberi penerangan dikala gelap gulita
kebijakan yang menyejukkan laksana sinar bulan purnama
bersinar terang benderang tiada menyilaukan mata
bahkan terang bulan lebih tampak romantis, indah, dan jelita
orang-orang menyebutnya purnama raya membawa bahagia.

Brata keenam, laku hambeging raditya atau baskara
penguasa harus dapat memberi inspirasi pada rakyatnya
ibarat matahari yang tiada henti selalu menyinari dunia
memberi energi sebagai kekuatan hidup makhluk mayapada
penguasa hendaklah wajib membangkitkan semangat rakyatnya
untuk bekerja, berkarya, dan beribadah membangun nusa bangsa
agar rakyat dapat merasakan hidup aman, damai, dan sejahtera.

Brata ketujuh, laku hambeging geni atau dahana
penguasa harus dapat tegas seperti api yang tengah menyala
membakar segala perbuatan dursila dan angkara muraka
tentu pertimbangannya berdasarkan hukum tata negara
juga dapat dipertanggungjawabkan atas nama Tuhan yang Mahakuasa
sehingga tidak membawa kerusakan tatanan hidup di dunia.

Brata kedelapan, laku hambeging lintang atau kartika
penguasa harus tetap percaya diri dengan teguh sentosa
meskipun dalam dirinya ada kekurangan dan hal-hal tercela
bagaikan bintang-bintang yang bertaburan di angkasa raya
walau jauh dan tampak kecil, tetap optimis memancarkan cahaya
sebagai pelita dan petunjuk arah kebijakan dikala gelap gulita.

Demikian wejangan Begawan Kesawasidhi tentang Hastha Brata
kepada satria panengah Pandawa, Raden Parta ya Dananjaya
agar dapat diterapkan bagi para penguasa di seluruh nusantara
yang digubah dalam suatu lakon wayang purwa Wahyu Makutarama
ditulis dalam bahasa Jawa oleh dalang Ki Siswoharsojo, Yogyakarta.

Bekasi, 7 Oktober 2010

No comments:

Post a Comment

Pertemuan 15 Teori Sastra Tempatan