MEMAHAMI MAKNA HARI BUDI DARMA DAN PENDIDIKAN
(Puji Santosa, Bekasi)
1. Pengantar
Pupuh pertama tembang Dhandhanggula,
bait kesembilan, Serat Warisan Langgeng
karya Bapak Paranpara Pangestu, R. Soenarto Mertowardojo, berbunyi sebagai
berikut.
Lamun sira amaguru kaki
amiliha sujanma kang nyata
ingkang luhur bebudene
kang lebda marang hukum
ngger-anggering praja lan Widhi
dadalan Kasunyatan
miwah kang wus mungkur
pamurih marang kadonyan
badan saras susila ambeg utami
solah bawa prasaja.
Terjemahan dalam bahasa Indonesia:
Wahai anak-anakku, apabila engkau berguru menuntut ilmu
pilihlah manusia yang benar-benar senyatanya
yang berbudi pekerti luhur
yang mumpuni terhadap hukum:
tata aturan undang-undang negara dan juga
hukum Tuhan
yang berjalan di Kesunyatanan
serta mereka yang telah meninggalkan
pamrih terhadap barang-barang keduniawian
badan sehat, santun, susila, dan berwatak mulia
tata perilakunya pun bersahaja.
(Warisan Langgeng, pupuh
Dhandhanggula, pada 9)
Demikianlah
Bapak, Ibu, dan Saudara warga Paguyuban Ngesti Tunggal, siswa-siswi Sang Guru
Sejati yang senantiasa berbakti dan berbudi, petikan bait kesembilan, pupuh
Dhandhanggula, Serat Warisan Langeng karya Bapak Paranpara Pangestu,
Raden Soenarto Mertowardojo, mengawali olah rasa melalui majalah Dwija Wara edisi bulan ini, tentang upaya
meneladan, mengikuti jejak Bapak Paranpara Pangestu: R. Soenarto Mertowardojo,
berkaitan dengan makna peringatan hari “Budi Darma dan Pendidikan” setiap tahun
kita peringati pada tanggal 21 April.
Arsip Sarjana Budi Santosa (2015:84—86)
butir 121—123 menyatakan: “Oleh karena Bapak Pangrasa melaksanakan sendiri
pelajarannya dan mengakhiri pelaksanaannya hingga bertunggal dengan Suksma
Sejati, maka riwayat hidup Bapak Pangrasa dari hari ke hari merupakan teladan
bagi mereka yang menuju ke akhiran pula.
Bapak
Pangrasa mendidik diri pribadi sambil menuntun orang lain. Sebab itu soal
pendidikan adalah perlu sekali diketahui, dan meliputi riwayat manusia dari
permulaan ia dilepaskan sebagai Roh Suci masuk ke dalam kandungan ibu sampai
kembalinya Roh Suci bertunggal dengan Suksma Sejati.
Antara
dua soal itu terdapat beberapa kali Roh Suci memakai badan jasmani kasar, hidup
di dalam dunia ini, dan beberapa kali mempergunakan badan jasmani halus dalam alam
kafiruna. Di mana saja, pada saat apa saja, dalam alam apa saja, ia memerlukan
tuntunan. Tiap alam dan tiap tingkatan dalam satu alam membutuhkan cara
pendidikan tersendiri. Terutama di dalam dunia pada badan jasmani kasar itu
terdapat berbagai tingkatan dalam kehidupan manusia. Dalam tingkatan-tingkatan
permulaan manusia memerlukan orang lain yang mendidiknya. Pada akhirnya ia
tidak membutuhkan lagi perantaraan manusia, melainkan ia menerima tuntunan
langsung dari Suksma Sejati.
Soalnya
di dalam pendidikan ialah supaya yang dididik melalui semua tingkatan itu
dengan baik dan jangan macet dalam salah satu tingkatan. Yang mendidik harus
menyadari pula bahwa yang dididik harus memasuki tingkatan di mana ia harus
mendidik diri pribadi. Ini berarti bahwa yang mendidik semula harus siap-siap
untuk mengundurkan diri dan tidak akan diperlukan lagi sebagai pendidik.
Oleh
karena pelajaran dari Suksma Sejati yang diterima oleh Bapak Pangrasa merupakan
tuntunan dan pengolahan hati dan angan-angan yang ditujukan kepada Tripurusa,
maka pelajaran dari Suksma Sejati merupakan pula pedoman pendidikan yang
membawa manusia kepada kesempurnaan hidup, yakni bertunggal dengan Suksma
Sejati.”
Apa
yang disampaikan dalam Arsip Sarjana Budi
Santosa itu menandakan betapa pentingnya peran pendidikan, siswa, guru yang
mendidik dengan segenap upaya budi darmanya, dan pelajaran Suksma Sejati
sebagai pedoman pendidikan yang membawa manusia kepada kesempurnaan hidup,
yakni bertunggal dengan Suksma Sejati. Berkaitan dengan hal itu, sekiranya
perlu renungan dalam memahami makna hari budi darma dan pendidikan yang setiap
tahun kita peringati sebagai hari kelahiran Pakde Narto.
2. Hari Budi Darma
dan Pendidikan
Mengapa kita perlu
sekali meneladani, mengikuti jejak keberhasilan Bapak Paranpara Pangestu, R.
Soenarto Mertowardojo, bertunggal dengan Guru Sejati, Sang Suksma Sejati,
Penuntun, Panutan, Guru Dunia dan Akhirat, Nur Muhammad, Sang Kristus, Sang
Sabda, Cahaya yang sangat amat Terpuji?
Sebagaimana
telah kita ketahui melalui buku Riwayat
Hidup Bapak Paranpara Pangestu R. Soenarto Merrtowardojo yang dicatat,
dihimpun, dan disusun oleh Bapak R. Rahardjo, bahwa Pakde Narto dilahirkan di
desa Simo, Kawedanan Simo, Kabupaten Boyolali, Karesidenan Surakarta, pada hari Jumat Pahing, 10 Besar 1828 tahun Jawa,
atau tanggal 21 April 1899 tahun Masehi. Tanggal 10
Besar, atau 10 Zulhijah, bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha, Hari Raya
Korban, maknanya bagi kita bukan sekadar berkorban akan harta benda dan
binatang peliharaan: kambing, domba, sapi, onta, melainkan juga korban rasa dan
perasaan, bilamana perlu juga korban jiwa dan raga. Sementara itu, tangal 21
April bertepatan dengan hari lahir pahlawan emansipasi wanita, R.A. Kartini;
maknanya bagi kita Pakde Narto merupakan pahlawan pembebas belenggu ikatan
duniawi, pembebas tinimbal lahir, pembebas dari api neraka, dan membawa kita
memasuki Taman Kemuliaan Abadi yang penuh kasih sayang, tenteram, damai,
tenang, sejahtera, dan bahagia abadi.
Selanjutnya,
untuk menghormati, menghargai, dan menjunjung tinggi jasa beliau, Pengurus
Pusat Pangestu menetapkan Instruksi Pendidikan Nomor 5/Sek-II/60,
tertanggal 26 Maret 1960, bahwa setiap tanggal 21 April diperingati
sebagai “Hari Budi Darma dan Pendidikan”, sebagai
penghormatan atas kelahiran dan kehadiran
manusia terpilih yang pantas menjadi suri teladan kita semua. Jadi, hari lahir
Bapak R. Soenarto Mertowardojo (Pakde Narto) di lingkungan Pangestu disebut ”Hari
Budi Darma dan Pendidikan”. Oleh karena seluruh hidup Pakde Narto
dibudidarmakan untuk kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia serta dunia
seisinya (Memayu Hayuning Bawana).
Segala perilaku, tutur kata beliau senantiasa mengandung suri teladan dan
pendidikan bagi kita semua untuk dapat mengikuti jejak Pakde Narto.
Sesuai
dengan makna hari dan tanggal kelahiran beliau bahwa seluruh kehidupan Pakde
Narto ternyata dikorbankan atau dibudidarmakan untuk mendidik seluruh umat di
jagat raya ini untuk mencapai kemuliaan dan kesejahteraan abadi, di dunia
hingga di akhirat. Dalam upaya mendidik umat yang berdasarkan pada Ajaran Sang
Guru Sejati itu Pakde Narto rela berkorban rasa dan perasaan (cemoohan, hinaan,
aniaya, dan fitnahan), pikiran, tenaga, dan juga harta, serta tentu saja jiwa dan raga
beliau pun rela berkorban untuk kita semua. Pak Mantri dalam buku Olah Rasa mengatakan sebagai berikut.
“Apakah nanti Bapak
menjadi muda lagi, rambutnya hitam, gagah, dan sehat?” tanya Saudara
Pangaribawa.
Jawab Saudara Kamayan:
“Ha ha ha. Tidak demikian halnya. Usia tetap usia dengan segala pembawaannya.
Tetapi untuk menerima Wahyu Sasangka Jati semua sel-sel dari jaringan
tubuh harus diganti dengan yang baru. Sel-sel yang dulu dibuang dengan segenap
karmanya, sel-sel yang baru ditumbuhkan yang selaras dengan tugas sebagai
perantara pepadang. Maka dari itu Bapak
senantiasa menderita sakit. Itulah proses pergantian pakaian. Penyakit yang
datang bergilir ganti merupakan ujian pula. Tiap tubuh ingin mengaso, ingin
melepaskan lelah, ingin merasa enak juga dalam menunaikan tugas. Tetapi karena selalu merasa sakit, tidak pernah badan
Bapak dapat melepaskan lelah. Ini godaan dari dalam. Godaan dari luar, dari
orang-orang, enteng bila dibandingkan dengan godaan ini. En toh, Bapak selalu
riang gembira dalam penderitaan sakit sambil menunaikan tugas kian-kemari.”
(Soemantri, 1990:13 dalam buku Olah Rasa)
3. Pengorbanan
Luar Biasa
Pengorbanan
Pakde Narto itu seolah-olah sudah dipersiapkan jauh hari sebelum beliau menerima turunnya wahyu Pepadang dan Tuntunan
Suksma Sejati, 14 Februari 1932. Pakde Narto merupakan putera keenam dari
delapan bersaudara, dari keluarga Bapak R. Soemowardojo, seorang juru tulis
Kawedanan dan terakhir memangku jabatan mantri penjual, pada usia tujuh tahun
harus berpisah dengan orang tuanya untuk mengikuti pendidikan formal di kota
Boyolali, karena di Simo ketika itu belum ada sekolah. Pakde Narto dikirim
orang tuanya mengikuti pendidikan (sekolah) dari Simo ke Boyolali itu tidak
kos, tidak sewa kamar, dan tidak kontrak, tetapi ikut pamannya R. Djojosugito,
seorang agen polisi di Boyolali. Meskipun Pakde Narto dapat masuk ke sekolah
“Jawa” (Inslandse School), dan pada
malam hari dapat pergi kursus bahasa Belanda pada seorang pensiunan sersan
KNIL, Van de Waal, perlakuan keluarga Djojosugito terhadap Pakde Narto tidak ubahnya sebagai
seorang pembantu rumah tangga (pelayan), segala pekerjaan kasar seorang pelayan
telah beliau rasakan dan alami dalam usia semuda itu. Ini merupakan budi darma
yang luar biasa dari seorang anak yang patuh pada orang tuanya demi untuk
memperoleh pendidikan.
Pada
suatu hari, datanglah Bapak Soemowardojo, yakni ayahanda Pakde Narto, menjenguk
keadaan puteranya yang dititipkan kepada adiknya itu. Begitu melihat dengan
mata kepalanya sendiri keadaan dan perlakuan keluarga Djojosugito kepada
anaknya, Bapak Soemowardojo tidak sampai hati dan tidak rela atas pengorbanan
puteranya yang masih sekecil itu sudah harus menderita sedemikian rupa, menjadi
pelayan rumah tangga, mengerjakan segala pekerjaan kasar yang belum waktunya dia dikerjakan. Oleh
karena itu, kedatangan beliau Bapak Soemowardojo di tempat adiknya itu hendak
memindahkan Pakde Narto kepada kakaknya yang lain, yakni R. Soemodipoetro yang
menjabat sebagai Kepala Penjara Boyolali. Namun, di tempat baru itu pun Pakde
Narto tidak tahan lama, tidak kerasan, enggak betah ah, gitu hlo, karena pelayan keluarga Soemodipoetro sangat suka
menggoda dan mengganggu Pakde Narto dengan segala kejahilannya. Dan tindak
kejahilan atau usil si pelayan itu sudah kelewatan terhadap Pakde Narto. Oleh
karena itu, ketika ayahanda Soemowardojo datang menjenguknya, segeralah Pakde
Narto menghadap ayahandanya untuk mohon dibawa serta pulang kembali ke desa
Simo.
Tidak
berapa lama tinggal di Simo, Pakde Narto kembali dititipkan kepada Budenya dari
jalur sang ibu, seorang janda Patih (Wakil Bupati) di Salatiga, bertempat
tinggal di kampung Karanganyar, bernama Mertohardjo. Meskipun Pakde Narto dapat
mengikuti pendidikan di sekolah partikelir, pada pengèngèran yang ketiga ini terjadilah suatu peristiwa yang dapat
dibilang spetakuler (menarik
perhatian), yaitu: (1) keberanian Pakde Narto untuk menegur mbakyu “S” yang
mengambil buah kelapa milik Wak Mertohardjo yang sedang pergi dan menjualnya
untuk keperluan diri sendiri, dan (2) keberanian Pakde Narto untuk meninggalkan
Salatiga, pulang ke Simo, tanpa bekal apa pun dalam usia delapan tahun. Akibat
keberanian menegur mbakyu “S” itu Pakde Narto mendapat perlakuan aniaya dan
siksaan fisik sehingga badan terasa sakit, akhirnya ia menangis, kemudian lari
ke luar rumah meninggalkan kampung Karanganyar, dengan maksud hendak kembali ke
desa Simo, walaupun tidak tahu arah ke mana jalan pulang kembali ke desa Simo,
Boyolali itu.
Berkat
sih anugerah Sang Guru Sejati, meskipun belum dikenal ketika itu, maksud pulang
ke desa Simo yang berjarak kurang lebih 40 km itu dapat kesampaian juga oleh anak yang
baru berumur delapan tahun. Coba bayangkan hal ini, Bapak, Ibu, Saudara
sekalian. Di tengah perjalanan ketika perut lapar memuncak, Pakde Narto
berhasil menemukan uang satu Sen, kemudian dibelikan nangka sebagai pengganjal
perut yang keroncongan. Setelah masalah perut teratasi, pada malam hari ketika
ia tersesat di tengah perjalanan, hati terasa sedih dan gundah, serta
menangislah ia. Tidak berapa lama kemudian, datanglah pertolongan Sang Guru
Sejati dengan melalui perantaraan seorang perempuan penjual yang membawa
keranjang atau bakul kosong di punggungnya. Setelah perempuan itu bertanya
kepada Pakde Narto, tidak ada jawaban, karena masih menangis, dengan cekatan
tanpa membuang waktu, perempuan penjual itu memasukkan Pakde Narto ke dalam
keranjang kosongnya, lalu dibawalah Pakde Narto ke tempat Pak Lurah di desa
setempat tersebut.
Di
tempat Pak Lurah itu Pakde Narto dihormati dengan panggilan “Gus”, karena Pak
Lurah adalah mantan bawahan Wak Patih Mertohardjo, kemudian Pakde Narto juga dijamu
dengan makanan yang enak-enak, diperkenankan tidur semalam di rumah Pak Lurah,
dan selanjutnya pada esok harinya digendong di punggung dari desa tersebut
sampai ke desa Simo oleh anak buah Pak Lurah. Sebab pada waktu itu belum banyak
kendaraan. Hal ini jelas merupakan buah dari rasa bakti, taat, dan kepercayaan
Pakde Narto yang bulat dan teguh kepada Tuhan Yang Maha Esa atas keberaniannya
menegakkan hukum, keadilan, dan kebenaran. Jadi, pengorbanan Pakde Narto dalam berupaya mencari pendidikan
tersebut sangat luar biasa, dan itu semua harus dijalaninya sebagai syarat
penebusan laku yang harus ditempuh.
4. Upaya
Berpendidikan
Tidak
begitu lama Pakde Narto tinggal kembali bersama orang tunya di desa Simo. Demi
memikirkan pendidikan anaknya, Ibunda Pakde Narto membawa dirinya ke Solo
dengan harapan dapat sekolah di Solo. Keluarga yang dituju ketika itu sedang
pergi jauh dan tidak mungkin ditunggu. Sang Ibunda Pakde Narto itu tidak
putus harapan, segeralah Sang Ibunda itupun membawa Pakde Narto ke berbagai
rumah kenalannya di Solo. Namun, nasib memang belum berpihak, tidak satu pun
kenalan Sang Ibu ini berkenan menerima Pakde Narto dengan alasan tanggungan
mereka sendiri sudah berat. Sudah barang tentu dengan perasaan kecewa, karena
usaha menyekolahkan, mencarikan pendidikan bagi anaknya itu gagal. Ibunda Pakde
Narto itu kemudian membawa kembali sang anak itu ke desa Simo, Boyolali.
Orang
tua Pakde Narto dalam mengupayakan pendidikan anaknya tidak pernah mengenal
putus asa. Agar anaknya dapat sekolah lagi, karena di Simo pada waktu itu belum
ada sekolahan, Pakde Narto dibawalah oleh ayahandanya pergi ke desa Tekaran,
Kabupaten Wonogiri, untuk kemudian dititipkan kepada Pak Wirjosoemardjo,
seorang pembantu mantri penjual, mantan bawahan ayahandanya. Di sini Pakde
Narto dapat sekolah sore, karena tidak diterima di sekolah pagi, dan tetap
duduk di kelas satu sehingga mahir benar di kelas satu itu, di kota Wonogiri
yang berjarak 8 km. Waktu tempuh dari tempat tinggalnya ke sekolahan, pulang
pergi selama 4 jam, berjalan tanpa alas kaki, melalui hutan dan jalan terjal,
di bawah terik panas matahari setiap harinya. Tentu waktu belajar Pakde Narto
habis di tengah perjalanan. Melihat kondisi seperti itu Ibunda Pakde Narto
tidak sampai hati, dan kemudian diajaknya Pakde Narto ke tempat kakaknya, Ismail, di
Magelang, yang tengah menjabat sebagai pegawai kas negeri kota Magelang.
Mengikuti
kakaknya, Ismail, di Magelang ini Pakde Narto dapat diterima di sekolah pagi Tweede Inlandse School, tetapi masih
tetap kelas satu. Nasib pun masih tetap tidak berubah seperti yang sudah-sudah.
Tidak begitu lama Pakde Narto tinggal di Magelang, karena kakaknya Ismail
dipindah tugaskan ke Mojokerto dan Pakde Narto tidak dibawanya serta ke
Mojokerto, tetapi dititipkan kepada sang mertua kakaknya itu di Desa Kledung,
Purworejo, bernama Sastrodihardjo. Meskipun Pakde Narto dapat sekolah di kota
Purworejo yang berjarak 6 km dari Desa Kledung, nasibnya semakin sengsara dan
mengibakan hati, tidak ubahnya seperti budak. Semua pengorbanan yang
dilakukan oleh Pakde Narto bagi keluarga Sastrodihardjo ini tidak dihargai,
bahkan difinah mencuri kain dan didukunkan oleh Bu Sastro yang kurang waras
tersebut. Tentu saja Pakde Narto protes atas tuduhan yang tidak benar ini.
Dalam usia Pakde Narto yang masih anak-anak itu sudah ada keberanian untuk
menghadap Tuhan mohon Pengadilan! Namun, di mana Tuhan bertakhta, bagaimana
caranya menghadap Tuhan, dan bagaimana cara mohon pengadilan Tuhan? Tentu anak
seusia sembilan tahun itu tidaklah faham, bahkan orang yang sudah berusia
lanjut pun belum tentu tahu akan hal itu.
Ada
peristiwa yang spektakuler lagi dalam pengèngèran
Pakde Narto yang keenam ini, yaitu cara menghadap Tuhan mohon pengadilan oleh
anak yang baru berusia sembilan tahun. Dengan kepercayaan yang bulat (orang
yang mempunyai kepercayaan bulat (murni), tidak lagi dihinggapi rasa was-was,
ragu-ragu, takut, gentar, atau cemas (Sabda Khusus Peringatan Nomor 2 alinea 10) sehingga pagi-pagi hari
Pakde Narto menerjunkan diri ke dalam sumur. Meskipun terjun bebas ke dalam
sumur, ini bukan untuk bunuh diri, gitu
lho, melainkan sebagai jalan mohon akan pengadilan Tuhan, yang hanya dapat
dipahami oleh seorang anak. Walaupun Pakde Narto ketika itu terjun bebas ke
dalam sumur, ia tidak meninggal karena ada pertolongan Sang Guru Sejati melalui
para tetangga keluarga Sastrodihardjo yang mengentaskannya dari dalam sumur.
Beberapa
bulan kemudian, setelah Pakde Narto duduk di kelas dua, ia mendengar kabar
bahwa kanda Kusno datang ke Purworejo, maka segeralah ia menghadap kanda Kusno
untuk menyatakan keinginanya turut serta beliau. Setelah kanda Kusno menikah
dan bertempat tinggal di Bruno, Wonosobo, Pakde Narto diperkenakan turut serta
beliau. Di kota Wonosobo itu Pakde Narto memasuki kelas tiga (dahulu sekolah
dasar hanya sampai pada kelas empat). Namun, tinggal bersama kanda Kusno tidak
begitu lama karena Sang Ibu menginginkan Pakde Narto dapat sekolah di HIS (Hollands Inlandse School) yang baru ada
dibuka di kota Solo. Oleh sebab mereka yang tamatan HIS banyak yang menjadi
“priyayi”, atau pegawai pemerintahan Hindia Belanda. Namun, Pakde Narto tidak
diterima di HIS itu karena tes bahasa Belanda-nya tidak lulus, terpaksa masuk
sekolah partikelir Hollands Inlandse
Middagcursus, diterima di kelas 2, dan di Solo itu Pakde Narto ikut
keluarga Suwandi, seorang mantri polisi.
Ketika
kanda Ismonah pindah ke Solo, karena kakak iparnya (suami kanda Ismonah)
bernama Poerwokosastro dipindahakan sebagai pembantu jurutulis Camat Laweyan,
di Solo, dan pada waktu itu bertempat tinggal di kampung Notokusuman, atas
saran ibundanya, Pakde Narto mengikuti kakaknya saja. Pada waktu mengikuti
keluarga Poerwokosastro ini ada kejadian spektakuler lagi, yaiku peristiwa di
sebuah jembatan rel kereta api yang panjang antara jurusan Stasiun
Kedungbanteng dan stasiun Jebres, Solo. Ketika sedang berada di jempatan rel
kereta api itu, sekonyong-konyong datang kereta api dari depan menuju ke arah
dirinya. Pakde Narto mau balik jelas tidak mungkin karena akan segera tersusul
oleh kecepatan kereta api itu. Demikian juga, Pakde Narto mau melanjutkan terus
perjalannya juga tidak mungkin karena juga akan digilas oleh kereta api itu.
Sementara banyak orang yang bekerja di sawah dekat jembatan rel kereta api itu
yang berteriak-teriak memperingatkan Pakde Narto akan bahaya maut yang
mengancam. Mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Atas pertolongan Sang Guru
Sejati, Pakde Narto selamat dengan cara menggantung berpegangan erat-erat pada
pilar (tiang) jembatan sebelah kiri. Suara gemuruh kereta api yang menakutkan
itu pun segera berlalu menggetarkan seluruh tubuhnya. Pakde Narto selamat dan
dapat meneruskan perjalannya ke stasiun Kedungbanteng.
Kemudian
pengorbanan Pakde Narto masih dilanjutkan kepada keluarga Raden Mas Panji
Waneng, yang sedang sakit ingatan, namun Pakde Narto tetap tabah menghadapinya.
Demikian juga pada pangerean berikutnya pada keluarga Sastrodihardjo yang
merupakan famili dari Pak Suwandi di Solo. Dan pada pangegeran yang terakhir,
dan terlama kepada keluarga Joedosoebroto yang menjadi jaksa kepala di Solo,
hingga Pakde Narto dewasa, mendapat pekerjaan magang di kejaksaan, dan menikah
dengan nona Soemini (Bude Narto) putri pamannya Pak Amir, dari Kedungjati,
Semarang.
5. Upaya
Mendidik Umat
Penderitaan
demi penderitaan, pengorbanan demi pengobanan, dan semua budi darma Pakde Narto
itu tumanjane (ditujukan hanya semata) untuk mendidik, mengolah,
mencerdaskan, memartabatkan, dan memuliakan seluruh umat, segala bangsa di
dunia ini, agar mencapai derajat budi luhur, yakni derajat kesejahteraan,
ketenteraman, kemulian, dan kebahagiaan hidup abadi di dunia hingga di akhirat,
mencapai kesunyataan jati, bertunggal dengan Tuhan Sejati di Taman Kemuliaan
Abadi. Hasilnya kini dapat kita nikmati dan kita rasakan betapa jerih payah
Pakde Narto tersebut sangat membahagiakan kita semua. Tentu, sudah
sepantasanyalah kita meneladan kemuliaan dan keluhuran budi Pakde Narto.
Sejak
menerima wahyu pepadang dan tuntunan Suksma Sejati, Pakde Narto terus menerus
berupaya tiada henti menyediakan kancah bagi Suksma Sejati yang hendak turun ke
dunia melalui perantaraan wadak Pakde Narto. Hal ini secara jelas disampaikan
Kang Kelana dalam Ulasan Kang Kelana
(2015:103): ”Dan ini jasanya Pakde Narto. Sekalipun Pakde Narto tidak pernah
mengingat jasa-jasanya diri pribadi, kita siswa-siswa dari Suksma Sejati harus
menyadari akan hal ini sepanjang hidup.
Sebagian
besar dari anggota Pangestu tidak menyadari, bagaimana pentingnya zaman ini, di
mana seorang siswa, yakni Pakde Narto, senantiasa bahkan terus-menerus menjadi
perantara pepadang dari Suksma Sejati. Untuk selalu siap guna dipakai sebagai
perantara pepadang, siswa yang bersangkutan harus berkorban tanpa
putus-putusnya. Pengorbanan ini oleh Pakde Narto ditujukan untuk membuka hati
yang masih tertutup dan menembus hati yang berlapis keragu-raguan. Acapkali
Pakde Narto dipakai sebagai perantara pepadang, tiap kali itu Sang Suksma
Sejati berkunjung ke dunia. Siapakah di antara kita menyatakan hal itu?”
Sebagai
kancah turunnya wahyu pepadang dan tuntunan Suksma Sejati, berarti pula Pakde
Narto menerima secara langsung pendidikan dari Suksma Sejati secara
terus-menerus melalui sabda-sabda-Nya sebagai Ilmu Sejati. Begitu Pakde Narto menerima
Ilmu Sejati itu dari Suksma Sejati, beliau tidak hanya tinggal diam untuk dinikmati
diri sendiri, tetapi berawal dari dua orang pembantu utama yang menyokong
kegiatan ini, yaitu Bapak R.T. Hardjoprakoso dan Bapak R. Trihardono
Soemodihardjo, menyebarluaskan dan menyeratakan Ajaran Sang Guru Sejati itu
kepada seluruh umat.
Sebagaimana
telah diutarakan pada awal olah rasa pagi ini dalam tembang Warisan
Langgeng tersebut bahwa Pakde Narto adalah citra manusia pilihan, yakni
manusia yang telah mencapai kesunyataan sejati, manusia yang benar-benar senyatanya telah mencapai
derajat budi luhur, mumpuni terhadap hukum atau tata aturan negara dan juga
hukum Tuhan, senantiasa berjalan di jalan kesunyataan, beliau secara nyata
telah meninggalkan keramaian barang-barang duniawi, tetap sehat walafiat, penuh
kesantunan atau ketatasusilaan, berwatak utama, dan berperilaku sahaja. Candra
dari Pakde Narto yang telah mencapai kesunyataan jati itu dalam tembang
Dhandhanggula bait 4, 5, 6, Serat Warisan Langgeng sebagai berikut.
Wruhanira janma kang wus manjing
wiwaraning Pura Pamudharan
rasa bagya ing batine
ayem tentrem budyayu
Ujwalane pasemon kengis
sunaring tyas kawuryan
ngumala ngunguwung
pangucap weh sreping liyan
mungkur marang krameyan mung
mamalad sih
sinhing Suksma Kawekas.
Dene kang wus malbeng
jroning Puri
Pamudharan ingkang sanyatanya
sirna rasa-pangrasane
mati kalawan hidup
rasa bungah-susah sirnating
ruwat sagung panandhang
tatali wus putus
kang nangsaya batinira
tarlen saking megat
katresnan-nireki
marang kang para cidra.
Pangrasane
pan wus dadi siji
lan sagung ingkang sipat gesang
anglimputi sakabehe
welas asih satuhu
marang kabeh kang sipat urip
adil apara marta
ambeg budi luhur
sasat sarira Suksmana
wudhar saking ngger-angger
tumimbal lahir
winahyu mardhikeng rat.
Terjemahan dalam bahasa
Indonesia sebagai berikut.
Ketahuilah Saudara bahwa manusia yang sudah masuk
ke pintu gerbang Istana Pamudharan
rasa bahagia di dalam batinnya
tenang, tenteram, berbudi mulia
wajahnya bersinar dapat diibaratkan
bersinarnya hati tersingkap
bagai intan permata yang mempelangi
ucapan mampu memberi ketenteram orang lain
meninggalkan dunia keramaian, hanya semata memohon sih
Kasih Tuhan Yang Maha Esa.
Adapun manusia yang telah masuk di dalam Istana
Pamudharan yang sebenar-benarnya
sirna rasa-perasaannya
ihwal mati dengan hidup
rasa senang-susah pun sirna
terbebas lepas dari semua penderitaan
tali-tali pun telah putus
yang mengikat batinmu itu
tiada lain dari usaha memisahkan kecintaanmu
terhadap semua yang dusta, silap pesona dunia.
Rasa-perasaanya sebab telah menjadi satu
dengan sumua yang bersifat hidup
meliputi keseluruhannya
kasih sayang yang sesungguhnya
terhadap semua yang bersifat hidup
adil merata keseluruh yang bersifat hidup
berwatak budi luhur
seakan-akan berbadan ke-Tuhan-an
bebas lepas dari hukum terlahir kembali
memperoleh wahyu kemerdekaan (terbebas dari hidup kembali
di) dunia.
6. Berderajat
Budi Luhur
Lebih lanjut Bapak R.
Soenarto Mertowardojo, yang menjadi teladan kita itu dalam buku Bawa Raos Ing Salebeting Raos menjelaskan
bahwa keadaan orang telah sampai pada kasunyatan
jati atau berderajat budi luhur adalah sebagai berikut:
(1)
tingkah lakunya bersahaja dan
menyenangkan;
(2)
sikapnya terhadap siapa pun ramah dan
bersahabat;
(3)
tindak tanduknya tertib dan susila;
(4)
berbicara sedikit dan sabar tutur
katanya;
(5)
sopan satun jika berbicara, dan tangannya
tidak bergapaian;
(6)
roman mukanya terang dan ramah, tetapi
menimbulkan rasa segan;
(7)
matanya tajam dan bersinar;
(8)
pakaiannya bersahaja;
(9)
hidupnya sederhana, berbudi luhur;
(10)
kesabarannya laksana samudera raya;
(11)
pemaaf, adil, dan paramarta;
(12)
belas kasih, sayang, dan cinta kepada
sesama hidup;
(13)
menetapi kewajiban hidup dengan tata
susila;
(14)
menghormati dan meluhurkan semua agama;
(15)
setia kepada undang-undang dan
peraturan negara;
(16)
tidak membeda-bedakan derajat,
golongan, bangsa, pria wanita, tua muda;
(17)
semunya diperlakukan sama, tanpa
mengabaikan tata krama;
(18)
tidak meninggalkan tata cara hidup
bermasyarakat;
(19)
saling melindungi, saling menjaga
dengan sopan santun;
(20)
tidak berganti nama, tidak memakai
gelar yang direka atau dibuat muluk-muluk agar terkenal dan disanjung puja di
dunia; dan
(21) tidak menyombongkan akan kepandaian,
kewaspadaan, serta kekuasaan meskipun ketiganya itu telah dimilikinya.
Tentang
rasa dan perasaannya, lebih lanjut Pakde Narto dalam bukunya Bawa Raos Ing Salebeting Raos menjelaskan
keadaan perasaan batin seseorang yang telah mencapai kasunyatan itu alah sebagai berikut.
“Sesungguhnya,
rasa-perasaan batin (hati) tidak dapat diterangkan dengan perkataan sebab
luasnya tidak terbayangkan, bak samudera tak bertepi; samudera yang tidak
berombak mengadakan alun, yaitu: cipta, nalar, dan angan-angannya tidak bekerja
sehingga mengadakan rekaan, gambaran, dan bayang-bayangan yang menimbulkan
rasa: senang, susah, waswas khawatir, ragu-ragu, murka, syak wasangka, iri
hati, gentar ngeri, papa sengsara, hina luhur, masyhur, celaka untung, mudah
sukar, dan sebagainya.
Indahnya rasa-perasaan
melebihi keindahan alam yang tergelar ini. Andaikan bebauan, ia adalah rajanya
harum yang merebak mewangi. Andaikan rasa manis, ia adalah rajanya manis yang
legit wangi. Andaikan kejelitaan seorang putri, kejelitaannya adalah ratunya
para bidadari. Andaikan intan permata, ia adalah mustika intan yang edipeni (indah permai). Andaikan cahaya,
kemilaunya cahaya melebihi terangya sinar rembulan. Andaikan air, ia adalah
mata air yang jernih suci murni.
Adapun rasa-perasaan yang
dapat saya terangkan dengan kata-kata, yang senyata-nyatanya dirasakan adalah:
tenang, tenteram, damai, puas, heneng-hening-eling, nikmat bermanfaat, bahagia,
mulia, bijaksana, tetap berasa bertunggal dengan Suksma, Sejatinya Hidup, yang
menghidupi segenap sifat hidup. Oleh karena itu, ia berasa bertunggal dengan
segenap yang bersifat hidup, meresap ke segenap wujud yang ada, yaitu meresap
ke keadaan yang tergelar di dunia ini, tidak dibatasi oleh waktu dan ruang (tempat),
jauh dan dekat, sempit dan sesak.
Demikian keadaan orang
yang sudah sampai pada (mencapai) kesempurnaan bertunggal (kasunyatan jati) yang dapat saya
terangkan sekadarnya. Adapun darmanya kepada dunia adalah: (1) memayu-hayuning bahawa kang sanyata (membuat
sejahtera dunia dengan nyata) yang didasarkan pada kasih sayang, penuh cinta,
dan keadilan yang disertai dengan pengorbanan; (2) memberi tuntutan dan suri
teladan dengan tindakan yang nyata agar umat manusia hidup rukun, damai, saling
pengertian, tertib, susila, berbakti kepada Tuhan sehingga dunia ini menjadi
teratur, tenang, damai, tenteram, bahagia, dan sejahtera.”
(Mertowardojo, 1960:34—36)
Demikianlah kompas
yang dapat menjadi panduan untuk meneladan keluhuran dan kemulian budi Bapak
Paranpara Pangestu, Raden Soenarto Mertowardojo, yang telah sampai pada
kesunyataan sejati atau berderajat budi luhur.
7. Penutup
Sudah banyak umat
manusia yang kini terbuka mata hati dan pikirannya menerima Ajaran Sang Guru
Sejati ini. Turunnya Pepadang dan Tuntunan Suksma Sejati melalui perantaraan
Pakde Narto pada tanggal 14 Februari 1932 merupakan tonggak lembaran sejarah
baru keimanan umat manusia. Sabda-Sabda Suksma Sejati yang kini diabadikan
menjadi buku Sabda Pratama, Sasangka
Jati, Sabda Khusus (dan ada beberapa catatan khusus yang tidak dibukukan
oleh Pengurus Pusat Pangestu) yang kemudian dijelaskan oleh Pakde Narto sendiri
melalui buku Bawa Raos Ing Salebeting
Raos, Taman Kamulyan Langgeng, Warisan Langgeng, Sosotyo Rinontje, dan
buku-buku Pangesti, serta dijelaskan oleh Bapak Soemantri Hardjoprakosa melalui
buku Olah Rasa, Arsip Sardjana Budi
Santosa, Ulasan Kang Kelana, dan Wahyu
Sasangka Jati, serta juga buku susunan Bapak R. Rahardjo Riwayat Hidup Bapak Paranpara Pangestu R.
Soenarto Merrtowardojo menjadi acuan, pedoman, atau panduan mendidik diri
sendiri, mendidik keluarga, dan mendidik seluruh umat yang membutuhkan tuntunan
dan pepadang Suksma Sejati mencapai derajat budi luhur.
Hanya Pakde Narto yang
telah melewati jenjang golongan kesiswaan, dari: (1) siswa pratama, (2) siswa
utama, hingga (3) siswa purnama. Hanya Pakde Narto pula yang telah melewati
jenjang derajat kesiswaan, dari: (1) calon siswa, (2) siswa, (3) Guru, hingga
(4) Guru Agung. Pakde Narto pulalah yang telah melewati jenjang derajat
kejiwaan, dari: (1) jiwa muda, (2) jiwa dewasa, hingga (3) jiwa luhur. Oleh
karena itu, teladan Pakde Narto yang mengorbankan atau membudidarmakan seluruh
kehidupannya bagi pendidikan untuk dapat kemuliaan, keluhuran, dan juga
kesejahteraan umat tidaklah sia-sia. Kita sedapat mungkin, sekuat kemampuan,
dan sebisa mungkin meneladani semua kearifan, keluhuran, dan kemuliaan Pakde
Narto.
Satuhu.
No comments:
Post a Comment