MERAIH
CITA-CITA MULIA
Puji Santosa, Bekasi
1. Pengantar
Bapak, Ibu, dan Saudara para warga
Paguyuban Ngesti Tunggal, siswa-siswa Sang Guru Sejati yang senantiasa setiap
hari melaksanakan kesanggupan besar trisila: sadar, percaya, dan taat kepada
Tuhan Yang Maha Esa.
Setiap manusia tentu mempunyai
cita-cita yang luhur dan mulia, sukses hidup di dunia dan sukses pula hidup di
akhirat, bahagia di dunia dan bahagia juga di akhirat. Bilamana manusia tidak
mempunyai cita-cita hidup yang luhur dan mulia seperti itu, boleh dikatakan
manusia tersebut sebagai sampah bangsa atau sampah masyarakat. Sebagai warga
Pangestu, siswa-siswa Sang Guru Sejati yang senantiasa taat akan
sabda-sabda-Nya, tentu tidak ingin menjadi sampah masyarakat atau sampah
bangsa. Oleh sebab hidup kita di dunia ini bertujuan mengemban karsa Tuhan,
membabarkan cinta kasih kepada sesama, dan melaksanakan perbuatan baik dan
mulia yang membawa pada kesejahteraan bagi segenap umat di dunia, memayu hayuning bawana, maka tentunya
wajib mempunyai cita-cita yang luhur dan mulia seperti makna yang tersirat
dalam lambang organisasi Pengestu, kuntum bunga Mawar dan kuntum bunga Kemboja.
Setangkai bunga Mawar berwarna merah jambu yang berduri melambangkan tugas ke
luar, cita-cita duniawi, sebagai kusuma bangsa, berwatak kesatria; dan sekuntum
bunga Kemboja berwarna putih bersih dengan warna kuning keemasan pada tepinya
melambangkan tugas ke dalam, berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan menaati
semua perintah dan menjauhi semua larangan-Nya. Sementara itu, dasar lambang
organisasi Pangestu berwarna ungu berarti bangun, maksudnya agar hati setiap
manusia, warga Pangestu, sadar akan tugas ke luar dan ke dalam.
Saudara Kelana menjelaskan bahwa
“Para siswa harus mempunyai cita-cita yang tinggi untuk dicapai di dalam
masyarakat. Di samping itu, para siswa harus pula mengejar cita-cita jiwa ialah
kebahagiaan yang sejati, yakni bertunggal dengan Suksma Sejati. Cita-cita yang
pertama harus dicapai di luar, di dunia besar dengan mengejar cita-cita untuk
menjadi kusuma bangsa, sedangkan cita-cita yang kedua harus dicari ke dalam, di
dunia kecil dengan mengejar kesucian jiwa” (Ulasan
Kang Kelana, 2015:164). Dengan demikian, cita-cita mulia setinggi langit
yang hendak kita raih, yang hendak kita gapai, yang hendak kita kejar, itu ada dua
hal, yaitu: (1) di dalam masyarakat untuk menjadi kusuma bangsa, tugas ke luar
sebagai perwujudan merekahnya bunga mawar yang indah, baunya harum semerbak
mewangi; dan (2) cita-cita jiwa ialah kebahagiaan hidup yang sejati, yakni
hidup bertunggal dengan Suksma Sejati, tugas ke dalam sebagai perwujudan untuk
memekarkan kuntum bunga kemboja yang suci abadi. Cita-cita mulia ke luar dan ke
dalam itu harus dapat seiring sejalan, selaras dan harmonis, hingga akhir hayat
nanti.
2. Cita-cita Sebagai
Kusuma Bangsa
Dalam pertemuan pendahuluan antara
Saudara Kelana dengan keenam saudaranya, yaitu Sasangka, Sarjana, Sujana,
Sudibya, Wijaya, dan Suteja, sebelum memulai olah rasa Kang Kelana bertanya
kepada keenam saudaranya tersebut: apakah
cita-citamu mengenai negaramu? Keenam saudara Kelana itu memberi jawaban
yang berbeda-beda, tetapi bilamana keenam jawaban itu disatukan merupakan perwujudan
satu kesatuan cita-cita mulia bangsa Indonesia untuk dapat mencapai puncak
kejayaan dunia. Jawaban keenam saudara Kelana tersebut sebagai berikut.
Saudara Sasangka: “Cita-citaku ialah
supaya bangsaku sama berbakti dan sadar
akan tuntunan Tuhan Yang Maha Esa, agar negara menjadi bahagia, tenteram,
makmur, dan adil.”
Saudara Sarjana: “Saya ingin melihat
bangsaku kaya akan ilmu pengetahuan,
karena ilmu pengetahuan dan kepandaian adalah pangkal kemajuan. Bangsa yang
bodoh akan tetap berada di dalam kegelapan dan kesengsaraan.”
Saudara Sujana: “Untukku, bangsaku
harus waspada dalam menghadapi bangsa
lain. Riwayat bangsa kita ini cukup menunjukkan bahwa kita tidak boleh
lebih percaya kepada bangsa lain daripada kepada bangsa sendiri. Sekalipun
bangsa kita ini terdiri dari beraneka suku, tetapi hubungan antara suku bangsa
yang satu dan yang lain adalah lebih dekat daripada dengan bangsa lain.”
Saudara Sudibya: “Bagiku yang
penting ialah kesentosaan. Kita
harus berani menyusun suatu kekuatan yang bulat. Ah, kalau kekuatan sudah
tercapai, mudah untuk mengejar cita-cita.”
Saudara Wijaya: “Negara yang
ditakuti oleh negara tetangganya dapat memberikan hidup yang tenang bagi
penduduknya. Negara yang kuat dapat
memimpin negara-negara lain untuk menyusun kebahagiaan hidup di seluruh dunia.
Negara yang jaya menjadi pelindung bagi negara yang lemah. Itulah cita-citaku.”
Saudara Suteja: “Impianku ialah
supaya negaraku kelak dihormati di
seluruh dunia supaya bangsaku diterima sebagai sahabat kehormatan di semua
negara. Supaya tiap bangsa, apabila mengucapkan nama negaraku, dihinggapi rasa
hormat dan setia kawan. Semoga Tuhan Yang Maha Esa mewujudkan cita-citaku ini.
Amin.”
Berdasarkan pertanyaan Kang Kelana
dan jawaban keenam kesatria pengiring dan pengawal negara kesatuan Republik
Indonesia itu kemudian saya gubah dalam bentuk puisi berjudul “Cita-Citaku”
sebagai berikut.
CITA-CITAKU
Cita-citaku agar menjadi bangsa
mulia
hendaklah bangsaku berusaha supaya
selalu sadar berbakti, beriman,
bertakwa
akan tuntunan dan pencerahan Yang
Maha Esa
berjalan di Jalan Kebenaran ialah
Jalan Utama
berdasarkan pada petunjuk agama yang
dipercaya
supaya bangsaku hidupnya sejahtera
dan mulia
mendapat keadilan, ketenteraman, dan
berbahagia
serta jaya dan masyhur ke seluruh
penjuru dunia.
Cita-citaku agar menjadi bangsa cendekiawan
hendaklah bangsaku maju tetap
mengusahakan
senantiasa kaya akan pelbagai ilmu
pengetahuan
oleh karena dengan ilmu menjadi
pangkal kemajuan
oleh sebab bodoh dan dungu membuat
kesengsaraan
hidup menjadi tersesat-sesat berada
dalam kegelapan,
dengan ilmu lahir dan batin jalan
hidup jadi tercerahkan.
Cita-citaku agar menjadi bangsa
bijak berwibawa
hendaklah bangsaku senantiasa harus
waspada
berhati-hati, cermat, teliti, meski
tidak harus curiga
kepada siapa saja, terlebih itu
kepada lain bangsa
tidak boleh begitu saja kita ini
mudahnya percaya
berkenan menyerahkan apa-apa, segala
yang ada
kepada mereka, ternyata dia
melakukan tipu daya
ingatlah, riwayat menunjukkan lengah
dan terlena
akan menjadi malapetaka, hancur
sudah negara.
Cita-citaku agar menjadi bangsa
teguh sentosa
hendaklah bangsaku dapat merapat
tampil ke muka
senantiasa dalam persatuan dan
kesatuan bangsa
sehingga menjadi bangsa yang kokoh
penuh daya
mampu menjalin persaudaraan di
antara kita semua
membulatkan kekuatan meraih
cita-cita nan mulia
mencapai Indonesia Raya, jaya selama-lamanya.
Cita-citaku agar menjadi bangsa
unggul dan jaya
hendaklah bangsaku maju meningkat
kualitasnya,
senantiasa brilian, bernas, andal,
dan juga prima
mampu dapat menjadi pelindung atas
rakyat jelata
mampu memberi rasa aman, damai, dan
sejahtera
mampu dapat memimpin bangsa-bangsa
di dunia
memayu hayuning bawana menjadi teladan utama.
Cita-citaku agar menjadi bangsa yang
selalu dihormati
hendaklah bangsaku maju tampil
sebagai pemberani
menegakkan keadilan dan kebenaran di
muka bumi
melawan segala tindak angkara murka
dan korupsi
dengan jujur, tegas, bijaksana, adil
sesama insani
hingga setiap orang yang ada di penjuru
dunia ini
ketika mereka mengucapkan nama
Indonesia
akan dihinggapi rasa hormat, segan,
dan setia
merasa bangga menjadi bagian dari
hidupnya.
Semoga saja berkenan, Tuhan Yang Mahakuasa
senantiasa melimpahkan kasih,
anugerah, karunia
tuntunan, pencerahan, daya kekuatan
lahir batin, juga
perlindungan pada kita supaya
terwujud cita-cita mulia
Indonesia mencapai puncak kejayaan
dunia selamanya.
(Sumber: Ulasan Kang Kelana, 1990:3—4)
Sejak 2004 saya mengajar di Sekolah
Tinggi Ilmu Pemerintahan Abdi Negara (STIPAN) Jakarta, menjadi narasumber di
pelbagai pelatihan dan penyuluhan penulisan kreatif dan penulisan karya tulis
ilmiah di pelbagai kota di Indonesia, serta memberi kuliah umum di beberapa
perguruan tinggi di Indonesia. Hampir setiap angkatan di STIPAN saya diberi jam
mengajar mahasiswa baru pada jurusan ilmu pemerintahan atau jurusan ilmu
politik, satu kelas sampai tiga kelas. Pada awal perkuliahan kepada mahasiswa
baru itu saya selalu menanyakan: Nama, asal daerah, tujuan, dan cita-cita
mulianya. Jawaban mereka secara umum bercita-cita menjadi pejabat negara, ada
yang bercita-cita menjadi camat, menjadi bupati, menjadi walikota, menjadi gubernur,
atau menjadi kepala dinas. Setelah beberapa mahasiswa menyampaikan cita-citanya
seperti di atas, barulah saya tayangkan dan bacakan puisi “Cita-citaku” yang
bersumber dari buku Ulasan Kang Kelana
tersebut.
Demikian juga ketika saya menjadi
narasumber di pelbagai pelatihan dan penyuluhan penulisan kreatif dan penulisan
karya tulis ilmiah di pelbagai kota di Indonesia (pesertanya siswa SD, SLTP,
SLTA, para guru SD, SLTP, dan SLTA, serta para peneliti), memberi kuliah umum
di beberapa perguruan tinggi di Indonesia (pesertanya mahasiswa S-1, S-2, dan
dosen), puisi “Cita-citaku” itu selalu saya tayangkan dan bacakan. Selain
penyebaran Ajaran Sang Guru Sejati secara inkonvensional, penayangan dan
pembacaan puisi “Cita-Citaku” tersebut juga bertujuan untuk memotivasi dan
menginspirasi para mahasiswa dan peserta kegiatan pelatihan tersebut agar tidak
sekadar bercita-cita meraih pangkat, jabatan, kedudukan, profesi, atau lainnya
yang hanya bagi kepentingan dirinya sendiri, tetapi sadarlah akan cita-cita
mulia bangsa Indonesia. Oleh karena itu, para siswa dan mahasiswa sebagai tunas
harapan bangsa semoga dapat memiliki watak budi luhur keenam kesatria
(Sasangka, Sarjana, Sujana, Sudibya, Wijaya, Suteja) yang menjadi kusuma
bangsa. Sementara itu, bagi para guru, dosen, dan peneliti yang telah memahami
makna puisi “Cita-citaku” yang sebenarnya itu dapat disebarluaskan dan diharapkan
dapat mendorong para peserta didiknya untuk meraih mewujudkan cita-cita mulia
tersebut.
Sebagai warga Paguyuban Ngesti
Tunggal tentunya sadar bahwa cita-cita mulia sebagai kusuma bangsa itu tidak
harus menjadi pejabat negara, tidak harus berpangkat tinggi, tidak harus dengan
gelar kebangsawanan, tidak harus menjadi konglomerat, dan juga tidak harus
dengan sederet gelar akademik, tetapi cukup menjadi insan yang berguna dan
dapat mensejahterakan umat di dunia. Namun, bilamana semuanya itu dapat
diraihnya di dunia, atau hanya sebagian saja, ya boleh, dan dapat lebih
bersyukur lagi kepada Sang Guru Sejati. Sebagai orang tua ketika mangesti
memohonkan sih untuk para putra-putri kita, tidak menyebut kelak putra-putri
kita sebagai pejabat negara, berpangkat tinggi, bergelar bangsawan atau bergelar
akademik, dan juga tidak sebagai konglomerat, tetapi “Semoga anak-anak hamba semua
menjadi umat yang mursid, kaya akan keahlian dan kepandaian, luhur budinya,
luhur derajatnya, dan mulia hidupnya karena sih anugerah Tuhan.” (Pangesti V).
Demikian halnya ketika Bapak, Ibu,
dan Saudara sepenyiswaan setiap mangesti kesejahteraan negara selalu selaras
dengan cita-cita keenam kesatria tersebut. Mari kita perhatikan tiga alinea
Pangesti Kesejahteraan Negara berikut.
“Duh, Tuhan,
hamba mohon semoga Tuan berkenan memberi pepadang dan tuntunan kepada bangsa
kami, agar bangsa kami berjalan di jalan benar ialah jalan utama yang berakhir
dalam kesejahteraan, ketenteraman, dan kemuliaan abadi.
Duh,
Tuhan, hamba mohon, semoga Tuan berkenan menurunkan sih anugerah kepada bangsa
kami agar bangsa kami menjadi bangsa yang luhur budinya, luhur derajatnya, dan
mulia hidupnya.
Duh,
Tuhan, hamba mohon semoga Tuan berkenan melimpahkan berkah serta lindungan
kepada negara kami Republik Indonesia, agar negara kami segera aman, tenteram,
subur, makmur, sejahtera, menjadi negara yang sentosa, jaya, dan masyhur di
dunia.” (Pangesti Kesejahteraan Negara).
Hal itu tentu perlu disadari akan tanggapan Saudara
Kelana: “Adik-adikku. Saya merasa terharu mendengar cita-citamu sekalian. Itulah
semua cita-cita yang luhur. Memang sudah seharusnya bahwa tiap pemuda
menumbuhkan dan mengejar cita-cita yang setinggi langit. Saya bersyukur kepada
Sang Suksma Sejati bahwa saya bertemu dengan adik-adik sekalian, dan mengenal
cita-cita adik.
Pemuda itu
harapan bangsa. Pemuda tanpa cita-cita luhur bagi negaranya adalah sampah
bangsa. Setiap pemuda harus ingin menjadi kusuma bangsa. Untuk menjadi kusuma
bangsa tidak cukup kita mempunyai cita-cita yang tinggi saja. Perlu ada cara
pelaksanaan yang tertentu dalam mengejar cita-cita itu yang membikin manusia
menjadi kusuma bangsa. Pelaksanaan yang tertentu itu ialah garis-garis yang
telah disabdakan oleh Sang Suksma Sejati.” (Ulasan
Kang Kelana, 2015:2—4). Dengan demikian, meraih cita-cita mulia sebagai
kusuma bangsa, termasuk cita-cita mengejar kesucian jiwa untuk bertunggal
dengan Suksma Sejati, tidak cukup hanya diangan-angankan, tidak cukup hanya
diucapkan, dan tidak cukup hanya berhenti pada niat dan pengharapan. Untuk
meraih cita-cita mulia tersebut perlu laku, perlu disertai dengan pelaksanaan
dan pengorbanan. Kang Kelana menekankan: “Perlu ada cara pelaksanaan yang tertentu
dalam mengejar cita-cita itu yang membikin manusia menjadi kusuma bangsa.
Pelaksanaan yang tertentu itu ialah garis-garis yang telah disabdakan oleh Sang
Suksma Sejati.”
Garis-garis yang telah disabdakan
oleh Sang Suksma Sejati untuk dapat meraih cita-cita mulia itu sudah jelas
ialah senantiasa berjalan di Jalan Rahayu, berwatak Hasta Sila, dan mengindari
Paliwara. Cara untuk dapat meraih cita-cita mulia itu juga sudah ditunjukkan oleh
Sang Guru Sejati dalam bab Sabar: “Semua perkara yang sukar dan gawat akan
menjadi mudah hanya dengan kesabaran, karena kesabaran itulah yang menjadi
jalan untuk meraih apa yang engkau cita-citakan. Jadi, sabar itu bukan niat
yang hanya berhenti pada pengharapan atau perkataan, tetapi bertindak sesuai
dengan kemampuan secara teratur dan teliti, hingga tercapai apa yang menjadi
cita-citanya.” (Sasangka Jati,
2015:15).
Dalam meraih cita-cita mulia itu pula
Bapak Pangrasa berpesan kepada putranya, Prabawa, demikian: “Oleh
karena itu, Prabawa, aku berpesan kepadamu, jika engkau mempunyai cita-cita apa
saja, jangan takut pada sukarnya laku yang merupakan syarat atau penebus untuk
mencapai cita-cita itu. Sebab, jika engkau hanya berani pada yang mudah dan
takut pada yang sukar (sulit), apa yang engkau cita-citakan tidak akan
tercapai.
Petani
dapat menuai padi setelah bermandi keringat, membajak dan menggaru sawahnya,
menyebar benih, selanjutnya menjaga agar benih yang telah disebar itu selamat,
tidak mengeluh dan tidak susah apabila kehujanan dan kepanasan, dengan sabar
menantikan padi menguning. Hasil pengorbanannya adalah panen padi yang
bermanfaat.”
(Olah Rasa di Dalam Rasa, 2015: 22).
Cita-cita mulia harus senantiasa
diperjuangkan dengan segala pengorbanannya, tidak mengeluh, tidak mengaduh,
tidak menyalahkan orang lain dan keadaan, seperti perjuangan petani mengolah
sawah ladangnya hingga memanen padi yang bermanfaat bagi khalayak, yakni
dilakukan dengan penuh kesabaran hingga meraih cita-cita mulia tersebut. Arsip Sarjana Budi Santosa butir 33
(2015:25) menyatakan bahwa “Kemajuan kesiswaan hanya dapat dicapai
dengan 99% transpirasi (keringat, jerih payah) dan 1% inspirasi (sih anugerah
Suksma Sejati). Tetapi 1% inspirasi itulah yang mutlak, yang datangnya setelah
ada 99% transpirasi.”
3. Pengalaman Meraih APU
Pada awalnya cita-cita hidup saya,
seperti umumnya orang yang belum mengenal Ajaran Sang Guru Sejati, menjadi
seorang dokter hewan sekaligus seorang penyair. Hal ini dipicu oleh keadaan
sewaktu sekolah menengah atas ketika itu: (1) kakak tempat pengengeran saya beternak ayam dan bebek yang setiap harinya saya
membantu memeliharanya; (2) kakak nomor tujuh bersekolah di Sekolah Menengah
Peternakan di Malang, setelah lulus pekerjaannya membikin sapi bunting; (3)
anak gadis tempat penjual makanan ternak langganan saya itu akan melanjutkan ke
kedokteran hewan selepas SMA; dan (4) penyair dan dokter hewan yang saya kagumi
ketika itu adalah Taufiq Ismail. Betapa menyenangkan ketika SMA itu masuk
jurusan IPA dan dapat melakukan penelitian pratikum biologi di laboratorium
sekolah. Melalui penelitian biologi di laboratorium sekolah itulah selama duduk
di bangku SMA tiga kali mengikuti Lomba Karya Tulis Ilmiah Remaja yang diadakan
oleh LIPI, dengan objek penelitian cacing tanah, bentis atau pace, dan lindung
atau belut. Hasil ketiga lomba KTI remaja tersebut hanya mendapat selembar
kertas ucapan terima kasih dari Panitia.
Selain senang
melakukan penelitian biologi, sewaktu duduk di bangku SMA itu saya juga
menyenangi pelajaran sastra dan teater. Kegiatan ekstrakurikuler sewaktu SMA yang
saya ikuti di sekolah adalah kesenian dan bermain teater, karena pada waktu itu
ditunjuk sebagai pengurus OSIS, menjadi Koordinator Kesenian sekaligus seksi
Drama dan Puisi. Beberapa kali bermain teater, baik pentas di sekolah, di luar
sekolah, siaran di radio swasta dan RRI Madiun, maupun pentas di kampung
halaman ketika peringatan tujuh belas agustusan yang tergabung dalam Karang Taruna
Desa Banjarejo. Kemampuan menulis sudah mulai diasah ketika duduk di bangku SMA
tersebut, seperti menulis puisi, menulis cerita anak, menulis naskah drama, dan
menulis cerpen remaja. Sudah beberapa kali cerpen remaja dan cerita anak yang
saya tulis ketika duduk di bangku SMA itu dimuat majalah berbahasa Jawa, Jaya Baya. Betapa senangnya ketika
mendapat kiriman wisel dari kantor pos yang berisi honorarium hasil tulisan
yang dimuat dalam majalah Jaya Baya
tersebut. Dari honorarium tulisan itu dapat mentraktir teman-teman satu kelas
berupa es serut kelapa muda, masing-masing satu gelas.
Untuk mewujudkan cita-cita menjadi
dokter hewan, selepas SMA mengikuti tes masuk ke perguruan tinggi, Perintis I,
pilihan pertama Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dan
pilihan kedua Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, Surabaya. Oleh karena
didorong keinginan mewujudkan cita-cita menjadi dokter hewan itu sampai-sampai
mengikuti tes tiga tahun berturut-turut, hasilnya kandas di jalan, gagal alias
tidak diterima. Pupus sudah cita-cita saya menjadi dokter hewan. Namun,
sesungguhnya pada awal kelulusan SMA itu selain mengikuti tes Perintis I, saya
juga mengikuti tes Perintis III di Universitas Sebelas Maret Surakarta,
mengambil jurusan Sastra Indonesia. Alhamdulillah diterima dan menjadi
mahasiswa Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Sebelas Maret. Pada
tahun-tahun pertama perkuliahan di Fakultas Sastra itu hasilnya tidak
menggembirakan karena masih diliputi keinginan menjadi dokter hewan. Akan
tetapi, pada semester enam saya berhasil memperoleh rangking pertama, nilai
tertinggi satu jurusan, dan diusulkan mendapat beasiswa langka dan kering dari
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Setelah lulus sarjana S-1 tentu berusaha
mencari kerja dan mengajukan lamaran pekerjaan ke pelbagai instansi, termasuk
ke LIPI, Kementerian Pariwisata, dan beberapa perguruan tinggi. Setiap
mendapatkan jawaban ditolak atas lamaran pekerjaan itu menjadi stres, ada-ada
saja penyakit datang mengganggunya. Namun, tidak begitu lama mendapat pekerjaan
diterima sebagai dosen honorer IKIP PGRI Madiun, dan sekalian diminta untuk tes
ke Kopertis VIII Jawa Timur di Surabaya. Meski tes di Kopertis VIII tidak
diterima, saya justru diangkat sebagai dosen Yayasan dan sekretaris Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
IKIP PGRI Madiun. Hanya dua tahun saya bertahan menjadi dosen IKIP PGRI Madiun,
lalu pindah ke Jakarta diangkat sebagai pegawai negeri sipil yang ditempatkan
di Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Sebelum
hijrah ke Jakarta, saya telah mengikuti ceramah penerangan Ajaran Sang Guru
Sejati dan dilantik menjadi warga Pangestu di Cabang Madiun. Baru beberapa
bulan menjadi warga Pangestu sudah diberi tugas mengikuti penataran kader siswa
purnama wilayah Jawa bagian selatan di Surakarta. Sehabis mengikuti penataran
kader siswa purnama tersebut diberi tugas membantu Korda Jawa Timur III Wilayah
Madiun, Bapak Banoe Salim, dan berhasil mendirikan Ranting Rahayu. Tidak begitu
lama menjadi warga Pangestu Cabang Madiun, saya harus hijrah ke Jakarta karena
mendapat pekerjaan sebagai pegawai negeri sipil di Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa tersebut. Di Jakarta pada awalnya saya bergabung di Ranting
II Menteng, Cabang Jakarta I, lalu pindah ke Ranting Rawamangun dan Ranting
Cipinang. Setelah domisili tempat tinggal pindah ke Bekasi, tersingkir dari
kota Jakarta, sekarang ikut Ranting Bekasi, menjalani hidup sebagai warga
biasa.
Setelah pupus harapan cita-cita
menjadi dokter hewan, kemudian menjalani hidup sebagai pegawai negeri sipil,
tentu cita-cita mulia itu pun berubah sesuai dengan situasi dan kondisi yang
ada. Setelah tiga tahun menjalani hidup sebagai pegawai negeri sipil, dari
kantor ada penawaran jabatan fungsional peneliti, tentu saja kesempatan itu
tidak disia-siakan. Setahun kemudian, 1992, saya benar-benar menduduki jabatan
fungsional peneliti bidang bahasa dan sastra dengan pangkat golongan
III-a/Asisten Peneliti, sebagai peneliti pertama. Sejak diangkat sebagai
peneliti pertama jabatan fungsional peneliti itu, tentu saja saya bercita-cita
meraih jabatan fungsional peneliti tertinggi dengan pangkat golongan IV-e/Ahli
Peneliti Utama (disingkat APU).
Pada tahun itu juga saya mendapat pasangan
hidup yang sama-sama warga Pangestu dari kota Serang, Banten. Setahun kemudian
lahirlah anak kami yang pertama, seorang anak laki-laki, yang kami beri nama
Abhiseka Pambudi Utomo, kalau disingkat APU. Enam belas bulan kemudian lahirlah
anak kami yang kedua, seorang anak perempuan, yang kami beri nama
Adzwayasantika Pambudi Ulia, juga kalau disingkat APU. Hal ini karena saya terobsesi
cita-cita mulia meraih APU (Ahli Peneliti Utama) sehingga kedua anak kami itu
diberi nama APU. Seperti yang diamanatkan oleh Kang Kelana bahwa “Untuk menjadi
kusuma bangsa tidak cukup kita mempunyai cita-cita yang tinggi saja. Perlu ada
cara pelaksanaan yang tertentu dalam mengejar cita-cita itu yang membikin
manusia menjadi kusuma bangsa.” (Ulasan
Kang Kelana, 2015:4).
Untuk mewujudkan cita-cita mulia
tersebut tentu saja saya tidak hanya duduk bertopang dagu, bermalas-malas,
melamun, dan diam tidak berbuat apa-apa, tetapi berusaha sekuat kemampuan
mengerahkan segala daya upaya memenuhi syarat kenaikan jenjang jabatan fungsional
peneliti, seperti melaksanakan penelitian, mengikuti pelatihan-pelatihan yang
berkaitan dengan penelitian, menulis artikel ilmiah untuk jurnal/majalah
ilmiah, bunga rampai, seminar, kongres, dan prosiding, juga menulis buku
ilmiah, buku pelajaran sekolah, buku acuan perguruan tinggi, buku cerita anak, serta
meningkatkan pendidikan formal ke jenjang S-2. Awalnya lancar-lancar saja
menapaki jenjang tangga jabatan fungsional peneliti itu, yaitu pada tahun 1996 berhasil
saya meraih jenjang Ajun Peneliti Muda/pangkat golongan III-c, berarti dapat
melompati satu tangga III-b, kemudian November 1998 saya pun meraih jenjang
Ajun Peneliti Madya/pangkat golongan III-d.
Cukup lama berhenti pada jenjang Ajun Peneliti
Madya dengan pangkat golongan III-d, hampir sepuluh tahun lamanya harus sabar
menjalaninya. Hal ini disebabkan oleh persyaratan mendapat beasiswa mengikuti
pendidikan formal S-2 di Universitas Indonesia yang diharuskan berhenti
sementara jabatan fungsional penelitinya. Begitu lulus magister humaniora,
tentu segera mengaktifkan kembali jabatan fungsional peneliti tersebut dan
mengajukan kenaikan pangkat berikutnya. Akan tetapi, berkas pengajuan pangkat
peneliti tersebut hampir lima tahun lamanya tidak diproses, dan berhenti di
Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Tentu
saja sebagai manusia biasa ada rasa cemas, gelisah, resah, kecewa, dan hampir
putus asa, terbayang cita-cita kandas di jenjang Ajun Peneliti Madya/pangkat
golongan III-d, sebab ada persyaratan harus naik pangkat paling lama empat
tahun (peraturan LIPI tahun 2006 diubah paling lama lima tahun), kalau tidak
dapat memenuhi syarat naik pangkat akan berhenti selamanya dari jabatan
fungsional peneliti. Padahal sudah lebih empat tahun aktif kembali jabatan fungsional
peneliti III-d itu setelah selesai mengikuti pendidikan magister humaniora,
berkas belum juga diproses, tidak ada kabar beritanya.
Tampaknya, Sang Guru Sejati tidak
sampai hati pada calon siswanya yang tengah dikepung pelbagai masalah yang merundungnya.
Ibarat “kinepung wakul binaya mangap” (‘terkepung rapat oleh
buaya-buaya yang menganga mulutnya’ = terkepung rapat oleh musuh, Olah Rasa di Dalam Rasa, 2013:70),
seperti: (1) digagalkan pimpinan untuk melanjutkan studi S-3, padahal tes ujian
masuk program doktor itu sudah diterima, tidak disetujui pemberian beasiswa;
(2) diberhentikan dari jabatan Pelaksana Tugas Kepala Balai Bahasa Provinsi
Kalimantan Tengah, ditarik kembali ke Jakarta dan tidak diberi job pekerjaan;
(3) berkas ajuan pangkat jabatan fungsional peneliti yang sudah hampir lima tahun
tidak ada kabar beritanya; dan (4) terancam pula diberhentikan selamanya dari
jabatan fungsional peneliti karena tidak memenuhi syarat angka kredit peneliti.
Dalam keadaan seperti itu tentu saja upaya mendekat dan berlindung di bawah
pengayoman Sang Guru Sejati semakin ditingkatkan transpirasinya. Artinya, seiring
tetap memohon sih anugerah Sang Guru Sejati, saya tidak akan menyerah pada
keadaan yang ada, tetap bersemangat, tetap berjuang, dan tetap berusaha bekerja
keras untuk dapat lepas bebas dari pelbagai masalah yang merundung kehidupan
tersebut.
Beberapa tahun kemudian, angin surga
tampaknya datang bertiup membawa perubahan ke arah yang lebih baik pada
perjalanan hidup kami. Angin surga itu berwujud: (1) Peraturan LIPI tahun 2006
tentang pemutihan jabatan fungsional peneliti, terselamatkan dari ancaman
diberhentikan dari jabatan fungsional peneliti; (2) pergantian pejabat di
Balitbang Kemdikbud yang mengurusi jabatan fungsional peneliti, sehingga berkas
penelitian yang saya ajukan beberapa tahun lalu dapat diproses lebih lanjut ke
LIPI; (3) hasil penilaian LIPI atas berkas penelitian yang saya ajukan itu
tidak hanya memenuhi syarat naik ke jenjang Peneliti Madya/pangkat golongan IV-a,
tetapi dapat meloncat dua jenjang ke Peneliti Madya/pangkat golongan IV-c; (4) mendapat
dana hibah insentif penelitian ke Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur, dari Kementerian
Riset dan Teknologi; dan (5) dua orang Ahli Peneliti Utama (APU) Pusat Bahasa
memasuki usia pensiun, 65 tahun, sehingga saya menggantikan jabatan yang
ditinggalkan mereka sebagai Koordinator Jabatan Fungsional Peneliti (KJFP).
Selain diangkat sebagai KJFP, sejak 2009 saya juga dipercaya pimpinan sebagai
Ketua Tim Penilai Peneliti Unit-Kerja (TP2U) di lingkungan Pusat Bahasa,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Meskipun duduk sebagai Ketua TP2U,
sesungguhnya usia saya ketika itu adalah yang paling muda di antara 9 anggota
TP2U lainnya, ada yang sama dengan 3 anggota TP2U yang pangkat golongan jabatan
fungsionalnya Peneliti Madya IV-c, dan anggota TP2U lainnya masih Peneliti
Madya IV-a dan IV-b. Oleh karena itu, agar tidak menimbulkan gejolak dan iri
dari sesama anggota TP2U, Kepala Personalia Tata Usaha Pusat Bahasa ketika itu
menyarankan pada saya untuk segera mengajukan ke jenjang pangkat Peneliti Utama
IV-d. Saran itu pun tentu segera saya laksanakan karena persyaratan untuk naik
ke jenjang jabatan fungsional itu sudah saya miliki, prosesnya pun lancar, dan
pada tahun 2010 saya berhasil menduduki jabatan fungsional Peneliti Utama IV-d
dengan mendapat Surat Keputusan sebagai Peneliti Utama Bidang Sastra dari
Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Soesilo Bambang Yudhoyono.
Selama dua tahun, 2010 sampai Maret
2012, pangkat golongan Peneliti Utama IV-d yang saya emban adalah satu-satunya
yang ada tertinggi di Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Namun, terhitung
sejak 1 Maret 2012, salah seorang anggota TP2U Badan Bahasa berhasil meraih
jabatan fungsional yang melompat dari Peneliti Madya IV-c ke Peneliti Utama
IV-e Bidang Bahasa, dalam usia 63 tahun. Tidak begitu lama kemudian, hanya terpaut
empat bulan, terhitung sejak 1 Juli 2012, saya pun berhasil menyusul meraih
jabatan fungsional Peneliti Utama IV-e Bidang Sastra, dalam usia 51 tahun. Sebelum
ada perubahan Peraturan LIPI tahun 2006, seseorang yang menyandang jabatan
fungsional Peneliti Utama IV-e disebut sebagai Ahli Peneliti Utama, disingkat
APU, dan singkatan itu sebagai gelar akademik yang dapat ditempelkan pada akhir
nama yang bersangkutan, misalnya Drs. Puji Santosa, M.Hum., APU.
Setelah kolega saya Peneliti Utama IV-e Bidang
Bahasa itu pensiun per 1 Juni 2014, karena sudah berusia 65 tahun, praktis
sejak saat itu sampai sekarang (2016 ketika pengalaman ini ditulis), saya satu-satunya
peneliti utama (APU) di Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, karena peneliti yang lainnya baru sampai pada
jenjang Peneliti Madya IV-c. Berkat atas jabatan fungsional Peneliti Utama itu
pada tahun 2011 saya mendapatkan dana insentif penelitian dari Kementerian
Riset dan Teknologi, untuk penelitian “Manusia, Puisi, dan Kesadaran
Lingkungan”. Pada tahun itu juga saya mendapat hadiah dari Pengurus Pusat
Pangestu pergi mengunjungi Singapura yang terkenal dengan kesadarannya menjaga
lingkungan hidup. Setahun kemudian, 2012, saya masih mendapat dana insentif
penelitian dari Kementerian Riset dan Teknologi, untuk penelitian masalah
“Promosi Kepariwisataan Indonesia”. Tentu bukan karena kebetulan Pengurus Pusat
Pangestu pada tahun 2011 dan 2012 memberi hadiah pada saya untuk dapat berkunjung
ke Singapura yang terkenal dengan kesadaran lingkungan hidupnya, dan ke Bali
yang terkenal masalah objek-objek kepariwisataannya di Indonesia dengan
penelitian “Manusia, Puisi, dan Kesadaran Lingkungan” dan “Promosi
Kepariwisataan Indonesia” yang tengah saya kerjakan. “Ketahuilah bahwa tidak ada
kejadian yang tanpa sebab” (Olah
Rasa di Dalam Rasa, 2013:2). Semuanya tentu sudah diatur oleh Sang Guru
Sejati dengan segala keagungan, kekuasaan, kebijaksanaan, dan keadilan-Nya.
Bukan hanya itu saja yang saya dapat dari berkah
menjadi APU, melainkan juga dapat: (1) diangkat sebagai Ketua TP2U dan
Koordinator Jabatan Fungsional Peneliti di lingkungan Badan Bahasa; (2) menjadi
anggota TP2I Balitbang Kemdikbud; (3) tunjangan fungsional yang setara dengan
tunjangan struktural pejabat eselon I (Kepala Badan, Direktur Jenderal, Deputi
LIPI, Sekretaris Daerah Provinsi); (4) mengunjungi daerah atau kota-kota di
Indonesia untuk penelitian, menjadi narasumber pelatihan-pelatihan, memberi
kuliah umum, pembinaan kader peneliti, mengikuti seminar, berperan dalam
pertemuan ilmiah, pemakalah kongres bahasa, pembicara kongres kebudayaan,
narasumber bedah buku, dan pertemuan forum peneliti; (5) menjadi mitra bestari
beberapa jurnal ilmiah; (6) merenovasi rumah; (7) membiayai dua anak kuliah di
Bandung dan Yogyakarta; dan (8) tentu saja kesejahteran hidup pun meningkat.
Atas keberhasilan meraih APU itu,
saya adalah orang keempat yang berhasil meraih jabatan fungsional Peneliti
Utama IV-e dari lembaga tempat kami bekerja, tentu saja bersujud syukur ke
hadirat Sang Guru Sejati atas sih anugerah, tuntunan, pepadang, daya kekuatan
lahir batin, dan perlindungan-Nya. Perjuangan meraih cita-cita mulia sebagai
APU selama 20 tahun, sejak pertama kali diangkat sebagai peneliti pertama,
1992, sampai memperoleh APU, 2012, dengan segala suka duka dan pengorbanan,
niscaya tidaklah sia-sia, ternyata Sang Guru Sejati mengizinkan saya menyandang
jabatan APU tersebut. Semoga amanah yang dititipkan Sang Guru Sejati pada diri
saya ini menjadi berkah, berguna bagi nusa, bangsa, dan kesejahteraan dunia.
Meskipun saya belum sampai meraih jenjang Profesor Riset, karena kendala aturan
baru sejak 2009 harus berpendidikan S-3 atau doktor, tidak menghambat rasa
syukur atas sih anugerah, tuntunan, pepadang, dan perlindungan Sang Guru Sejati
tersebut.
4. Penutup
Cita-cita mulia sebagai perwujudan
tugas suci ke luar sebagai kusuma bangsa dan tugas suci ke dalam dapat bertunggal
dengan Suksma Sejati harus diusahakan berdampingan dan dalam keadaan harmoni. Bunga
mawar yang begitu indah menawan harum semerbak mewangi selalu mempunyai duri.
Hal itu berarti cita-cita keduniawian bagaimanapun indah dan harumnya, selalu
mengandung hal-hal yang mengecewakan. Namun, apa pun yang terjadi itu sudah
sesuai dengan Karsa Tuhan Yang Maha Esa, bahwa yang membawa ukuran dan
timbangan itu Sang Suksma Sejati.
“Seseorang yang menjadi kusuma
bangsa pasti mempunyai sifat yang cacat, bagaimanapun cemerlang bintang
nasibnya. Sebaliknya, cita-cita nan suci bersih murni yang harus dicapai ke
dalam jiwa kita sendiri, tidak akan mengecewakan. Seseorang yang mencapai
tingkatan jiwa yang setinggi-tingginya, berarti pula ia mencapai kebahagiaan yang
kekal abadi, ia mencapai nasib baik yang tidak akan berubah lagi dan tidak akan
tergoncang lagi oleh keadaan apa pun di dunia ini.” (Ulasan Kang Kelana, 2015: 164—165).
Dalam hal meraih cita-cita mulia ini
sekali lagi Kang Kelana menyampaikan pesannya: “Silakan untuk menempatkan
cita-citamu setinggi langit di antara bintang-bintang yang memenuhi angkasa
raya. Tiap manusia wajib mempunyai cita-cita yang luhur, yang dikejar dengan
sekuat tenaga. Siapa yang tidak mempunayi cita-cita, menunjukkan jiwa yang lumpuh
dan karenanya tergolong sampah bangsa, kata Pakde Narto.
Menurut
pengalamanku, semua cita-cita di dunia ini baik untuk dikejar dan dicapai
secara memuaskan. Akan tetapi, kepuasan memperoleh cita-cita itu tidak abadi
dan kekal adanya. Pasti kemudian muncul hal-hal yang mengecewakan. Menurut
keyakinan dan pengalaman, cita-cita yang tidak membosankan dan memberikan
kepuasan yang tidak akan luntur adalah cita-cita dan pelaksanaan untuk
bertunggal dengan Sang Suksma Sejati.” (Ulasan
Kang Kelana, 2015: 168—169).
Satuhu.
No comments:
Post a Comment