MEMAHAMI MAKNA TUNGGAL SABDA
(Olah Rasa Ranting Bekasi, 10 April 2011)
Semoga
keselamatan, kesejahteraan, ketentraman, serta kebahagiaan selalu meliputi
Bapak, Ibu, dan Saudara-saudara para warga Paguyuban Ngesti Tunggal, baik yang
masih dalam tataran calon-calonnya siswa, calon siswa, maupun yang sudah meningkat
naik mencapai derajat siswa Sang Guru Sejati, oleh karena kasih, tuntunan,
pepadang, daya kekuatan lahir batin, dan lindungan Suksma Sejati, Utusan Tuhan
Sejati yang Abadi, Penuntun Sejati, serta Guru Dunia dan Akhirat.
Bapak,
Ibu, dan Saudara-saudara, siswa-siswi Sang Guru Sejati yang suka berbahagia dan
berbudi luhur, yang senantiasa berbakti kepada Tuhan Sejati dan Utusan-Nya yang
abadi, ialah Suksma Sejati, Guru sekalian umat di dunia dan di akhirat nanti,
pada hari ini, Minggu, 10 April 2011, Olah Rasa Ranting Bekasi yang ke 154, saya
berdiri di mimbar ini bukan berarti saya sudah mumpuni terhadap Ajaran Sang
Guru Sejati, saya belum ada apa-apanya, apa yang saya lakukan hanya belajar menaati
dan sebagai tanda atau wujud rasa bakti, mengabdikan diri kepada Suksma Sejati
untuk memuliakan ajaran, wejangan, tuntunan, dan pepadang-Nya bagi seluruh
warga Paguyuban Ngesti Tungggal yang suka berbahagia.
Pertemuan
olah rasa pada hari ini, kita mencoba bersama-sama mengolah-rasakan bab
“Tunggal Sabda”. Mengapa dipilih tema Tunggal Sabda? Ada beberapa alasan yang
mendorong saya mengolahrasakan bab “Tunggal Sabda”
- Tunggal Sabda merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pustaka suci Sasangka Jati, pustaka suci pegangan hidup kita sehari-hari bagi para warga Paguyuban Ngesti Tunggal. Apabila kita membuka pustaka suci Sasangka Jati, tempat bab “Tunggal Sabda” berada di tengah-tengah, menempati posisi center. Tentu Sang Guru Sejati mempunyai maksud dan tujuan mengapa “Tunggal Sabda” ditempatkan pada posisi tengah? Apakah karena “Tunggal Sabda” merupakan wejangan ke-4 dari Sang Guru Sejati kepada siswanya R. Soenarto Mertowardojo dari tujuh wejangan pokok? Bagian awal dan akhir bab “Tunggal Sabda” dicatat oleh R.T. Hardjoprakoso dan R. Trihardono Soemodihardjo serta diberi pengantar, dan ular-ular oleh Juru Mengeti, oleh keduanya. Adapun “bagian inti” “Tunggal Sabda”, dicatat langsung oleh Bapak R. Soenarto Mertowardojo sendiri, si penerima dan perantara sabda dari Suksma Sejati, yaitu bab Intisari Injil dan Intisari Alquran.
- “Tunggal Sabda” turun pada tahun 1932 dan selesai pencatatannya pada bulan Desember 1932. Oleh Juru Mengeti dikatakan “sekalipun buku ini (Tunggal Sabda) dapat dianggap sebagai pembelajaran berat (pasinaon awrat), yang dapat menimbulkan keraguan, namun apabila tidak disertai persangkaan yang tidak baik, Insya Allah orang akan dapat memberi pertimbangan yang tepat serta putusan akal budi yang murni”. Berdasarkan catatan Juru Mengeti ini berarti “Tunggal Sabda” merupakan pembelajaran yang berat dan harus dengan disertai etiket baik, serta harus ada izin Allah ketika mempelajarinya. Karena di sini ada kata Insya Allah (artinya: apabila Allah mengizinkan, memperkenankan). (Lihat juga Arsip Sarjana Budi Santosa nomor 33, hlm. 25, tentang 99% transpirasi (usaha, kerja keras) dan 1 % inspirasi (sih anugerah Sang Guru Serjati).
- Dalam bab “Pambuka” Juru Mengeti menyatakan “Tumprap ingkang dereng mangertos, sinten ingkang kita sebut Sang Guru Sejati punika, tuwin ingkang mboten pitados, saha ingkang dereng saged nampi pepadhangipun Sang Guru Sejati ingkang sumorot ing telenging sanubarinupun ingkang sunuci, saget ugi mastani bilih isinipun serat punika namung pituduh ingkang ngayawara, saha saget ugi cengkah kalayan piwulang-piwulang suci ingkang sampun sumebar ing saindenging jagat raya punika.” (Bagi mereka yang belum mengerti, siapa yang disebut Sang Guru Sejati, dan bagi mereka yang tidak percaya, serta bagi mereka yang belum dapat menerima pepadang Sang Guru Sejati yang bersinar di pusat hati sanubarinya yang suci, mereka itu dapat juga beranggapan bahwa isi buku ini hanya petunjuk yang melantur, dan dapat juga dianggap bertentangan dengan ajaran-ajaran suci yang telah tersebar di seluruh jagat raya ini). Oleh karena itu, Sang Guru Sejati bersabda: “Ketahuilah engkau siswa-Ku! Bahwa kedatangan-Ku ini bukan karena hendak merusak atau mengganti peraturan Tuhan yang telah ada, yaitu yang lazimnya disebut agama, dan aku juga tidak hendak mendirikan agama baru”. Arti kata “agama” berdasarkan kamus: “ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya” (KBBI, 2001:12). Makna agama menurut juru mengeti: “piwulang suci” (ajaran suci), menurut Sang Guru Sejati: “pranataning Pangeran” (peraturan Tuhan). Menurut Qurais Sihab agama harus memenuhi syarat: C-5: (1) Credo (pernyataan kepercayaan/ keyakinan pada dasar tuntunan hidup, ikrar ketuhanan: syahadat tauhid), (2) Cultus (penghormatan resmi di dalam agama: rasulullah, nabi), (3) Citab (wahyu Tuhan yang dibukukan, kitab suci Taurat, Zabur, Injil, Alquran), (4) Comunitas (kelompok organisme yang hidup saling berinteraksi, umat, pengikut), dan (5) Ceremoni (upacara keagamaan: persembahyangan, pernikahan, kematian, dll.). Ajaran Sang Guru Sejati memiliki Paugeran, Paranpara (tidak boleh mengkultuskan Pakde Narto: Sabda Khusus 11:8 “Nanging, kadangira Soenanrto aja sira puja-puja lan aja sira anggep kaya dewa. Kadangira Soenarto tetap anggepen kadangira tuwa utama wong tuwanira” (Akan tetapi, saudaramu Soenarto hendaklah jangan engkau puja-puja dan jangan engkau anggap seperti dewa. Saudaramu Soenarto hendaklah tetap engkau anggap sebagai saudara tua atau orang tuamu), Pustaka Suci Sasangka Jati, Paguyuban, dan tidak memiliki sejumlah seremoni, hanya ada tata upacara olah rasa, tata upacara pelantikan anggota baru, tata cara peringatan hari pepadang, dan lain sebagainya.
- Selanjutnya, “Pangajeng-ajeng” dari Pakde Narto dalam pengantar Tunggal sabda dikatakan demikian: Dengan terbabarnya “Tunggal Sabda” diharapkan dapat menyingkap (membuka) kegelapan yang meliputi hati, sehingga dapat menerangi bagi mereka yang berjalan di jalan masing-masing menuju ke kesempurnaan hidup sejati. Dengan demikian, harapan mulia atas terbabarnya Serat Tunggal Sabda ini agar dapat menjadi suluh (penerang, obor, lampu, pencerahan) yang bermanfaat sekali di kalangan mereka yang berusaha mencapai Kasunyatan bagi yang membutuhkan pepadang.
Bapak,
Ibu, dan Saudara-saudara para warga Paguyuban Ngesti Tungggal yang suka berbahagia
karena dekat dengan Sang Guru Sejati.
Apa arti
kata “Tunggal Sabda” itu? “Tunggal Sabda” merupakan dua patah kata yang
dirangkaikan menjadi satu kata sebut, yaitu dari kata tunggal dan kata sabda.
Kata tunggal merupakan kata bilangan,
bermakna: satu-satunya, tiada duanya,
bukan jamak, utuh, bulat, atau menjadi
satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan (awor dadi siji utawa padha jinise). Adapun kata sabda, dalam ilmu bahasa disebut nomina
atau kata benda, bermakna: kata,
perkataan, suara, ucapan, titah, kalam,
atau firman (gunem, swara, dhawuh
pangendika, tetembungan). Dengan demikian, makna dari kata sebut “Tunggal
Sabda” yang terukir dalam pustaka suci Sasangka
Jati itu dapat diartikan: satu titah,
satu kalam, satu perkataan, atau satu
firman Tuhan kepada hambanya di seluruh dunia sejak zaman dahulu kala hingga
sekarang keadaannya tetap, sama dan sebangun, tidak berubah, dan hanya
satu-satunya yang bersifat abadi.
Dalam buku
Ular-ular Juru Mengeti Bab II, Bab
Tunggal Sabda, dijelaskan bahwa padanan kata “sabda” dalam bahasa
Yunani itu adalah “logos”, dalam bahasa
Arab “logat”, yang dapat diartikan
lebih dalam lagi sebagai “Kalamullah” (Sabda Pangandikaning Allah).
Juru Mengeti juga mengacu pada Alkitab, Perjanjian
Lama, Genesis (Kitab Kejadian), yang menerangkan bahwa terjadinya alam semesta
seisinya itu juga atas kebijaksanaan Sang Sabda, yaitu Sabda Pangandikaning
Allah Yang Mahakuasa, misalnya dalam Kejadian 1 ayat 3, “Allah bersabda:
‘Jadilah terang’, lalu ada terang”, dan seterusnya. Kalau diibaratkan
tanaman itu hanya ada “Satu Pohon”, seperti pohon kelapa, yang tumbuh lurus.
Ular-ular Juru Mengeti juga mengacu pada
Alkitab Perjanjian Baru, Johanes 1 ayat 1—4, yang berbunyi “Pada mulanya, sebelum dunia dijadikan.
Sabda sudah ada. Sabda itu bersama Allah, dan Sabda sama dengan Allah. Sejak
semula Sabda bersama Allah. Segalanya dijadikan melalui Sabda, dan dari segala
yang ada tak satu pun dijadikan tanpa Sabda. Sabda itu sumber hidup, dan hidup
memberi terang kepada manusia. ... Sabda ada di dunia, dunia dijadikan melalui
Sabda.” Dalam kata “Pengantar” kitab Yohanes (Alkitab, 1993:169) di
situ dikatakan bahwa Sabda itu keadaannya abadi, tetap keadaannya dari
dahulu hingga sekarang, tidak berubah.
Selanjutnya,
Ular-ular Juru Mengeti juga mengacu
dalam Alquran bahwa Sabda
Pangendikaning Allah itu tidak terbatas pada awal terjadinya alam semesta
seisinya, tetapi juga ketika hendak menjadikan sesuatu apa pun Tuhan tinggal
menyabdakan “kun fayakun” (Jadilah, maka terjadilah ia). Sesungguhnya
ucapan itu merupakan kalam Allah yang ditujukan kepada sesuatu dengan kehendak
untuk mewujudkan atau menjadikannya ‘tercipta’, seperti penciptaan langit dan
bumi (Surat Al-Baqarah:117; Al-An’aam:73; Yaasiin:81–82), membangkitkan orang
mati menjadi hidup kembali atau menghidupan dan mematikan makhluknya (Surat
An-Nahl: 38–40; dan Surat Al-Mukmin: 67–68), kelahiran Nabi Isa melalui Maryam
yang tanpa sentuhan seorang lelaki (Surat Ali Imran: 47), dan perumpamaan
penciptaan Nabi Isa yang tidak ubahnya seperti penciptaan Nabi Adam (Surat
Ali Imran:59). Dalam ensiklopedi Islam dikatakan bahwa terjemahan kata “kun” yang paling tepat adalah exist, ‘nyatalah’ (nyata tenan). Sebab apa yang terkandung dalam kalam Allah itu
merupakan sebuah gerakan menuju ke eksistensi atau kenyataan yang bersumber
dari kehendak Allah untuk mewujudkan sesuatu hal hingga terbentuk atau terwujudlah
kehendak-Nya itu.
Bapak,
Ibu, dan Saudara-saudara para warga Paguyuban Ngesti Tungggal yang suka
berbahagia.
Siapakah
sebenarnya Sang Sabda itu? Pertanyaan ini bukan hanya kita saja yang ingin
mengetahui siapa Sang Sabda itu, melainkan juga pernah dilontarkan dalam hati
ketika Pakde Narto pertama kali menerima Sabda Pratama: “Siapakah
gerangan yang menyampaikan sabda tadi?” (Sinten baya ingkang paring sabda pangendika punika wau?). Kemudian
Sang Guru Sejati memberi jawaban: “Aku, Suksma Sejati, yang menghidupi seluruh
semesta alam seisinya, bersinggasana di segala sifat hidup. Aku Utusan Tuhan
yang abadi, yang menjadi Panutan, Penuntun, Guru kamu yang sejati ialah
Gurunya Jagat”. (Ingsun Suksma
Sejati, kang nguripi sagung dumadi, jumeneng ing kabeh sipat urip. Ingsun
Utusaning Pangeran kang langgeng, kang dadi Panutan, Panuntun, Gurunira kang Sejati,
iya Guruning Jagat).
Dengan
demikian, sejak awal Sang Sabda telah memperkenalkan diri sebagai Suksma
Sejati, Utusan Tuhan yang abadi, Panutan-Penuntun-Guru sejati sekalian
umat-Gurunya Jagat, yang bertahta di segala sipat hidup, dan yang menghidupi
seluruh semesta alam seisinya. Dalam Ular-Ular
Juru Mengeti dinyatakan bahwa Sang Sabda itu juga Sang Kristus, juga Putra
Allah, juga Nur Muhammad, atau juga Nur-Dattullah. Bahkan Ular-ular Juru
Mengeti dalam Bab VI menulis tersendiri tentang Nur Muhammad dalam bentuk
tembang macapat, asmaradana, sebanyak 21 bait, yang mengacu pada Hadis yang
diriwayatakan oleh sahabat Jabir.
Dalam Sasangka Jati bab
“Tunggal Sabda” secara gamblang dijelaskan bahwa Sabda Langgeng adalah Pangandikaning
Allah yang berisi Petunjuk Rahayu = Benar yang memuat berbagai
kebijaksanaan dan berintikan syahadat tauhid sebagai bakuning piandel atau
bebundelaning tekad. Sang Sabda itu disebut pula Sejatining Muhammad,
Nur Muhammad, Nur Dat Allah, Sejatining Jesus, Kristus, Sang Putra,
Putraning Allah, Sejatining Rasul Allah, Sejatining Utusan Kang
Langgeng, Cahya Kang Pinuji, Sipating Pangeran Kang Kababar/Gumelar, Suksma
Sejati, Guru Sejati, Guru Jagat, Kang prabane tan kena kinaya ngapa,
rumesep ing dalem kaanan tunggal, kang dadi pusere urip saka pirang-pirang
cahya iman (piandel), kang sumimpen ing telenging ati suci, Sang
Pepadang, Cahyaning Pangeran.
Sementara itu, dalam Sabda
Khusus Nomor 5 alinea 3, Sang Sabda itu disebut juga Malaikat Jibril: “Ketahuilah,
sesungguhnya yang disebut Jibril itu adalah Sang Sabda. Adapun Sang Sabda
itu sudah bersemayam dalam diri Muhammad, ialah yang disebut Nur Muhammad.
Sang Sabda itu kekuasaan Allah, yaitu Rasulullah, dan Sang Sabda itu ialah
Allah yang terbabar, yakni sifatnya Allah” (Wruhanira, sejatine kang sinebut Jibril iku Sang Sabda. Dene Sang
sabda mau wus dumunung ing Muhammad, iya kang sinebut Nur Muhammad. Sang
Sabda iku panguwasaning Allah, iya Rasullullah, lan Sang sabda iku Allah kang
gumelar, iya sipating Allah).
Itulah
sebabnya Sang Guru Sejati dalam Tunggal Sabda menyatakannya bahwa “terbabarnya
Sabda Abadi, yaitu Sabda Tuhan yang menjadi peraturan baku atau intisari
petunjuk rahayu yang benar, kepada para hamba semua, yang sejak dahulu kala
sudah tetap ajeg seperti itu hingga sampai sekarang dan kelak kapan pun tidak
pernah berubah. Sebab Tuhan Sejati (Allah Taala) itu hanya satu, meskipun
terbabarnya dalam kata-kata (bahasa) di dunia berbeda-beda, tetapi maknanya
(hakikatnya) tetap sama saja dengan Sabda yang telah jauh di masa silam.
Intinya agar selamat sampai ke akhirat”. Dalam subbab berikutnya Sang Guru
Sejati menjelaskan bahwa “perbedaan peraturan (syariat) yang dilaksanakan
itu sudah dengan kebijaksanaan Tuhan, selaras dengan dasar kodrat bangsa
masing-masing yang disesuaikan dengan zaman terjadinya.”
Bapak,
Ibu, dan Saudara-saudara para warga Paguyuban Ngesti Tungggal yang suka berbahagia.
Marilah kita renungkan apa sebenarnya isi pokok Sabda wejangan Sang Guru
Sejati yang termaktub dalam bab “Tunggal Sabda”.
Sabda wejangan Sang Guru Sejati yang termaktub dalam
serat “Tunggal Sabda” itu maknanya memberi suluh kepada mereka yang percaya
kepada-Nya. Adapun suluh tadi apabila diperinci pokok-pokoknya sebagai berikut.
- Menunjukkan jalan benar, yakni jalan utama yang menuju ke kesejahteraan serta ketenteraman abadi (Kasunyatan Jati).
- Menunjukkan jalan simpangan yang menuju ke arah Kiri, yakni jalan yang menuju ke alam para cidra (Alam Kadewataan).
- Mengingatkan kepada para umat yang masih ragu-ragu dalam hati atau yang masih tipis kepercayaannya (imannya), bahwa agama Islam dan agama Kristen itu benar-benar agama yang berasal dari Tuhan (Allah), serta kitab suci Alquran dan kitab suci Injil itu terbabarnya benar-benar berasal dari Wahyu Allah, yang wajib dijunjung tinggi serta dilaksanakan oleh semua umat.
- Bahwa kitab suci tersebut di atas itu apabila diambil intisari atau patinya, dalam hal kesunyataannya sama maknanya, artinya sama-sama berisi petunjuk rahayu yang benar-benar berasal dari Allah.
Sang Guru Sejati “Menunjukkan
jalan benar, yakni jalan utama yang menuju ke kesejahteraan serta ketentraman
abadi (Kasunyatan Jati)”. Kata kasunyatan berasal dari kata nyata
atau sunya. Kata nyata berpadanan dengan kata temen,
sejati, temenan, pancen temenan [sungguh,
sejati, sesungguhnya, memang sunguh-sungguh] (Sudaryanto, 2001:704). Sementara
itu, kata sunya berpadanan dengan kata sonya (Sudaryanto, 2001:980)
berarti ‘suwung, sepi’ (kosong, sunyi). Dalam “Tunggal Sabda” ini yang
dimaksud dengan kasunyatan tidak sama artinya dengan ‘kenyataan hidup
sehari’ atau ‘realitas hidup’. Pemahaman kata kasunyatan dalam Tunggal Sabda itu adalah
‘hakikat’ (kenyataan yang sesungguhnya) atau ‘hakiki’ (benar, sebenar-benarnya).
Adapun kata Kasunyatan-Jati dipahami sebagai ‘kebenaran makrifat’ atau
‘kebenaran pengalaman spiritualnya menyaksikan mahligai Tuhan (baitullah) di
pusat sanubari hidup’. Ini jelas merupakan implimentasi dari Sabda Pratama
tentang ilmu sejati atau “ilmu kasunyatan”, yaitu Sabda yang pertama, yang berbunyi: “Ketahuilah!
Yang disebut Ilmu Sejati itu Petunjuk yang nyata, yaitu petunjuk yang
menunjukkan Jalan Benar, jalan yang sampai pada asal dan tujuan Hidup” (Wruhanira!
Kang diarani Ilmu Sejati iku Pituduh kang Nyata, yaiku pituduh kang nuduhake
dalan bener, dalan kang anjog ing sangkan paraning Urip). Di sini jelas
bahwa yang dimaksud dengan kasunyatan jati itu adalah ‘sangkan paraning
Urip’. Sementara itu, dalam Bawa Raos ing
Salebeting Raos (Bab XVII “Kahanan Wong Kang Wus Tumeka ing Kasunyatan
Jati” dan Bab XVIII “Tundha-tundhaning Drajat Tumrap Para Marsudi (nggayuh)
Kasunyatan Jati”) yang dimaksud dengan kasunyatan jati adalah “sampurnaning
panunggal” atau “derajat luhur”.
Adapun
pokok ilmu yang tersimpan di dalam “Ilmu Sejati” ialah “ilmu asal dan tujuan
hidup” itu disebut Hastha Sila, yaitu Panembah Batin Delapan Perkara. Hastha
Sila terdiri atas dua bagian, yaitu Tri Sila dan Panca Sila. Tri Sila itu
Panembahnya Hati dan Cipta tiga perkara kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Tri Sila
juga mewujudkan kesanggupan besar yang perlu sekali dilaksanakan di dalam
setiap harinya, yaitu manusia harus senantiasa Sadar, Percaya, dan Taat kepada
Tuhan yang mengusai semesta alam seisinya.
Agar
dapat sempurna manusia melaksanakan kesanggupan besar tiga perkara tersebut,
manusia wajib berusaha agar dapat memiliki watak utama atau perbuatan kebajikan
lima perkara, yang disebut Panca Sila, yaitu Rela, Narima, Jujur, Sabar, dan
Budi Luhur.
Adapun
sebagai tangga untuk dapat mencapai watak Panca Sila, manusia harus berjalan di
Jalan Rahayu ialah yang disebut juga dengan Panca Darma Bakti, yaitu:
- Meresapkan Paugeran Tuhan kepada hamba.
- Melaksanakan Panembah, sebagai tanda bakti dan tali
kesadaran.
- Melaksanakan Budi Darma, yaitu membabarkan rasa
kasih sayang kepada sesama makhluk.
- Mengendalikan Hawa Nafsu yang menuju ke perbuatan
yang tercela.
- Berusaha untuk dapat menetapi derajat Budi Luhur.
Selain
daripada itu, setiap manusia wajib berusaha jangan sampai menerjang Larangan
Tuhan yang Mahakuasa, yang disebut dengan Paliwara.
Adapun
yang menjadi Larangan Tuhan yang Mahakuasa kepada manusia itu ada lima perkara,
yaitu:
- Jangan menyembah selain kepada Allah.
- Berhati-hatilah terhadap hal syahwat.
- Jangan makan atau mempergunakan makanan yang
memudahkan cepat rusaknya badan jasmani dan budi pekerti.
- Patuhilah Undang-undang Negara dan peraturannya.
- Jangan berselisih atau bertengkar.
“Pepadang,
ialah Sabda Wejangan-Ku sebarluaskanlah dan berikanlah kepada siapa saja,
laki-laki perempuan, tua muda, dengan tidak membeda-bedakan jenis bangsa dan
derajat, yang membutuhkan Pepadang dan Tuntunan-Ku. Akan tetapi, Ingat! Jangan
sekali-kali disertai dengan paksaan dan pamrih apa pun.” Di sini kita diberi
amanat oleh Sang Guru Sejati untuk bertindak sebagai siswa utama (berniat
mengajak menyiswa kepada siapa saja) dan selanjutnya bertindak sebagai siswa
purnama (kesadaran untuk menyebarluaskan Sabda Wejangan Sang Guru Sejati).
Syair Pakde Narto untuk Siswa Purnama:
Harapan Pak Narto untuk para Siswa Purnama
Sepasang burung merpati
Hidup tentram dan damai
Saling cinta-mencintai
Cinta sayang nan Sejati
Seia sekata sehidup
semati
Melaksanakan tugas nan
luhur dan suci
Menaburkan Pepadang
Sabda Sang Guru Sejati
Kepada semua insani.
Laksana pohon kelapa
Hidup tegak sentosa dan jaya
Berjasa untuk Nusa dan Bangsa
Dan Negara Republik Indonesia nan merdeka
Menerima anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa
Menjadi penegak Pangestu di Surakarta
Itulah doa restu harapan Pak Narto
Yang sangat cinta kepada putra-putranya
Siswa Purnama dari Surakarta
Dan dari seluruh Nusantara
“Satuhu”
Kemudian pelaksanaan dari ilmu
sejati dalam tindakan kita sehari-hari ketika melakukan:
- “Intisari Panembah”: “Duh, Suksma Sejati, Penuntun serta Guru hamba yang sejati, hamba mohon semoga Paduka berkenan menuntun hamba berjalan di Jalan Benar (margi leres), ialah Jalan Utama (margi utami), yang berakhir dalam kesejahteraan, ketentramaan, dan kemualiaan abadi ialah di hadirat Tuhan Sejati”.
- “Intisari Panembah untuk Kesejahteraan Umat”: “Duh, Suksma Sejati, Penuntun serta Guru hamba yang sejati, ialah Guru Dunia, hamba mohon semoga Paduka berkenan menuntun semua umat berjalan di jalan benar (margi leres), ialah jalan utama (margi utami), yang berakhir dalam kesejahteraan, ketentraman, dan kemualiaan abadi ialah di hadirat Tuhan Sejati”.
- “Pangesti Kesejahteraan Negara”: “Duh, Tuhan, hamba mohon semoga Tuan berkenan memberi pepadang dan tuntunan kepada bangsa kami agar bangsa kami berjalan di jalan benar (margi leres), ialah jalan utama (margi utami) yang berakhir dalam kesejahteraan, ketentraman, dan kemuliaan abadi”.
- “Pangesti II, Mohon Tuntunan”: “Duh, Suksma Sejati, Penuntun serta Guru hamba yang sejati, hamba mohon semoga Paduka berkenan menuntun hamba berjalan di jalan benar (margi leres), ialah jalan utama (margi utami), yang berakhir dalam kesejahteraan, ketentramaan, dan kemualiaan abadi ialah di hadirat Tuhan Sejati”; dan tentu saja disempurnakan dengan melaksanakan:
“Panembah”,
“Dasa Sila”, “Jalan Rahayu”, menjauhi “Paliwara”, dan melaksanakan “Hasta
Sila” sebagai laku kita hidup sehari-harinya sehingga dicapai derajat luhur
[lihat ORDR, Bab XVII, halaman 32—35].
Bapak, Ibu, dan Saudara-saudara para warga Paguyuban
Ngesti Tungggal yang suka berbahagia.
Dalam “Tunggal Sabda” Sang Guru Sejati menunjukkan
jalan benar, yaitu jalan utama yang berakhir dalam kesejahteraan dan
ketentraman abadi itu terdapat dengan jelas melalui Bab I,
“Petunjuk-petunjuk Benar dari Sang Guru Sejati”, yang meliputi:
(1)
Keadaan Sabda
Abadi dan Terbabarnya,
(2)
Kewajiban
Utusan, Tinggi Rendah Derajat, dan Kewajiban Hamba,
(3)
Aneka Macam
Utusan di Dunia,
(4)
Intisari
Sabda Abadi yang Tersimpan dalam Kitab Suci Injil, dan
(5)
Intisari
Sabda Abadi yang Tersimpan dalam Kitab Suci Alquran.
Bagian Bab I dari “Tunggal Sabda” itu juga dimaksudkan
oleh Sang Guru Sejati untuk mengingatkan bagi para umat yang masih ragu-ragu
ataupun yang masih tipis imannya bahwa agama Islam dengan kitab sucinya Alquran
dan agama Kristen dengan kitab sucinya Injil sungguh-sungguh berasal dari
wahyu Allah, agama samawi.
Sementara itu, Bab II dari Tunggal Sabda, “Lanjutan
Ajaran Sang Guru Sejati” yang meliputi: (1) Jagad Kedewataan dan Keadaannya,
(2) Jalan Yang Gawat, dan (3) Keadaan Pranata Kedewataan, Tinggi-Rendahnya
Derajat, Pemerintahan, dan Pemerincian Pekerjaannya, dimaksudkan oleh Sang Guru
Sejati sebagai paparan tentang Jalan Simpangan, jalan yang menuju ke arah
kiri. Dalam kitab-kitab suci sebelumnya, Injil dan Alquran,
bahkan Taurat dan Zabur, tidak dipaparkan secara gamblang dan
jelas tentang Jagat Kedewataan itu. Memang dalam Alquran ada Surat
Al-Jin (Surat ke-72, sebanyak 28 ayat), dan dalam dunia Islam itu juga
berkembang eskatologi, yaitu ajaran teologi mengenai akhir zaman,
seperti hari kiamat, kematian, dan kebangkitan manusia dari alam kubur. Tentang
akhir zaman atau hari kiamat ini memang dalam Alquran dinyatakan dalam Surat
ke-78, An-Naba (Berita Besar), 40 ayat. Semuanya masih samar-samar dan tidak
jelas, karena penuh kias, banyak tafsir.
Hadirnya “Tunggal Sabda” ini Sang Guru Sejati
mempertegas, memperjelas, lebih memerinci dan lebih menggamblangkan tentang
makhluk yang berbadan anasir api dalam Bab II. Adapun tentang eskatalogis
seperti yang berkembang dalam dunia Islam itu Sang Guru Sejati memperjelasnya
dalam Bab “Sangkan Paran”, dan Pakde Narto menjelaskan pula lewat tembang
macapat megatruh “Sukma Ngumbara” dalam buku Bowo Raos Ing Salebeting Raos.
Adapun “Tunggal Sabda” berada di tengah-tengah dalam satu
kesatuan pustaka suci Sasangka Jati dimaksudkan sebagai pesemon/kiasan
“barang siapa yang ingin bertemu dengan Sang Sabda yakni Suksma Sejati di mahligai
suci, ing telenging batosipun piyambak-piyambak, iya ana ing telenging sanubarine,
iya kang sumimpen ing telenging ati suci”. Sang Sabda, ya Sang Guru Sejati,
bersinggasana di pusat hati sanubari, di dalam kalbu mukmin baitullah. Siapa pun yang dapat sampai ke pusat hati sanubari-Nya,
yang dapat mengalihkan titik berat kesadarannya ke dalam kalbu mukmin-Nya,
dijamin dapat bertunggal dengan Sang Sabda. Sang Sabda hanya Satu, Esa,
Tunggal, tiada duanya, bersifat Abadi, kekal, langgeng, tetap tidak berubah
berganti, suci, penuh kasih, dan juga adil.
SATUHU
Catatan:
Kata cidra dalam Kamus Pepak Bahasa Jawa (2001:168) berari ‘ora setya’, ‘ora netepi janji’ utawa ‘mblenjani janji’, ‘pangapus’, ‘krenah’, ‘pitenah’, ‘luput’, utawa ‘klreru’, dalam terjemahan yang sudah umum digunakan kata culas, mungkar, pendusta; dalam istlah Pakde Soemodihardjo: silap pesona maya dunia.
Kata rahayu atau raharja (dalam Kamus Bahasa Jawa-Bahasa Indonesia II, Sri Nardiati et al,
1993: 188) padanannya: slamet artinya ‘selamat’.
Kata rahayu atau raharja (dalam
Kamus Praktis Jawa-Indonesia, L.
Mardiwarsito et al, 1985: 262) artinya ‘selamat’; ‘sejahtera’.
Kata selamat dalam bahasa
Indonesia berarti : (1) ‘terhindar dari bencana’; ‘aman sentosa’; ‘sejahtera’;
‘tidak kurang suatu apa’; ‘sehat’; ‘tidak mendapat gangguan, kerusakan, dan
sebagainya’; ‘beruntung’; ‘tercapai maksud dan tujuannya’; dan ‘tidak gagal’;
(2) doa; (3) ucapan yang mengandung harapan supaya tidak kurang suatu apa; (4)
untuk persalaman mudah-mudahan dalam keadaan baik, sehat walafiat (KBBI, 1988:
798).
Sedangkan kata keselamatan berarti ‘perihal
(keadaan dan sebagainya) selamat’; ‘kesejahteraan’; ‘kebahagiaan’ (KBBI, 1988:
799).
Kata sejahtera ‘aman sentosa dan makmur’; selamat
(terlepas dari segala macam gangguan, kesukaran, dan sebagainya) (KBBI, 1988:
794). Kata kesejahteraan ‘keamanan’, ‘keselamatan’ ‘ketentraman’,
‘kesenangan hidup dan sebagainya’, ‘kemakmuran’ (KBBI, 1988: 794)
Kata rahayu dalam Kamus Pepak Bahasa Jawa (Editor
Sudarjanto dan Pranowo, 2001: 871) artinya: ‘slamet’, ‘begja’, ‘luput ing
kacilakan lan kangsangsaran’.
Kata slamet dalam Kamus Pepak Bahasa Jawa (Editor
Sudarjanto dan Pranowo, 2001: 966) artinya: (1) ‘ara ana sakara-kara’; (2)
‘luput ing bebaya, kacilakan, lan sapanunggalane’. Dene tembung ‘keslametan’
tegese ‘keamanan tumrap jasmani lan rohani’.