SURI TELADAN BAPAK
PARANPARA PANGESTU
R.
SOENARTO MERTOWARDOJO
Puji Santosa
(Olah Rasa Paguyuban Ngesti Tunggal
Ranting Cililitan, Minggu, 9 April 2006)
Lamun sira amaguru kaki
ingkang luhur bebudene
kang lebda marang hukum
ngger-anggering praja lan Widhi
dadalan Kasunyatan
miwah kang wus mungkur
pamurih marang kadonyan
badan saras susila ambeg utami
solah bawa prasaja.
Terjemahan
dalam bahasa Indonesia sebagi berikut.
Wahai
anak-anakku, apabila engkau berguru menuntut
ilmu
yang
berbudi pekerti luhur
yang
mumpuni terhadap hukum:
tata
aturan undang-undang
negara dan juga hukum Tuhan
yang
berjalan di Kesunyatanan
serta
mereka yang telah meninggalkan
pamrih
terhadap barang-barang keduniawian
badan
sehat, santun, susila, dan berwatak mulia
tata
perilakunya bersahaja.
(Warisan
Langgeng, pupuh Dhandhanggula, pada 9)
Demikianlah
Bapak, Ibu, dan Saudara sekalian, semua warga Paguyuban Ngesti Tunggal,
siswa-siswi Sang Guru Sejati yang senantiasa berbakti dan berbudi, petikan bait
kesembilan, pupuh Dhandhanggula, Serat Warisan Langeng karya dari Bapak
Paranpara Pangestu, Raden Soenarto Mertowardojo, mengawali olah rasa pagi ini
di kediaman Bapak/Ibu Jusuf, Ranting Cililitan, Paguyuban Ngesti Tunggal Cabang
Jakarta 1.
Bapak,
Ibu, dan Saudara-saudara para warga Paguyuban Ngesti Tungggal yang suka berbahagia. Pertemuan
olah rasa pada hari ini, kita mencoba bersama-sama mengolah-rasakan bab
“Meneladan Bapak Paranpara Pangestu: R. Soenarto Mertowardojo”.
Sebagaimana
telah kita ketahui melalui buku Riwayat
Hidup Bapak Paranpara Pangestu R. Soenarto Merrtowardojo yang dicatat,
dihimpun, dan disusun oleh Bapak R. Rahardjo, bahwa Pakde Narto dilahirkan di
desa Simo, Kawedanan Simo, Kabupaten Boyolali, Karesidenan Surakarta, pada hari Jumat Pahing, 10 Besar 1828 tahun Jawa,
atau tanggal 21 April 1899 tahun Masehi.
Selanjutnya,
untuk menghormati, menghargai, dan menjunjung tinggi jasa beliau, Pengurus
Pusat Pangestu menetapkan Instruksi Pendidikan Nomor 5/Sek-II/60, tertanggal 26
Maret 1960, bahwa setiap tanggal 21 April diperingati sebagai “Hari Budi Darma
dan Pendidikan”. Minggu depan, tanggal 16 April 2006, pukul 10.00—12.00, di
gedung Sekretariat Pangestu, Jalan Gandaria I/93 Jakarta Selatan; akan diadakan
peringatan “Hari Budi Darma dan Pendidikan” itu. Jadi, tanggal 21 April 2006,
yang akan datang, kita memperingati yang ke-107 tahun kelahiran dan kehadiran
manusia terpilih yang pantas menjadi suri teladan kita semua.
Sesuai
dengan makna hari dan tanggal kelahiran beliau bahwa seluruh kehidupan Pakde
Narto ternyata dikorbankan atau dibudidarmakan untuk mendidik seluruh umat di
jagat raya ini untuk mencapai kemuliaan dan kesejahteraan abadi, dunia hingga
akhirat. Dalam upaya mendidik umat yang berdasarkan pada Ajaran Sang Guru
Sejati itu Pakde Narto rela berkorban rasa dan perasaan (cemoohan, hinaan,
aniaya, fitnahan), pikiran, tenaga, dan juga harta, serta tentu saja jiwa dan
raga beliau pun rela dikorbankan untuk kita semua. Pak Mantri dalam buku Olah Rasa mengatakan sebagai berikut.
“Apakah nanti Bapak menjadi muda lagi, rambutnya hitam,
gagah, dan sehat?” tanya Saudara Pangaribawa.
Jawab Saudara Kamayan: “Ha ha ha. Tidak demikian halnya.
Usia tetap usia dengan segala pembawaannya. Tetapi untuk menerima Wahyu
Sasangka Jati semua sel-sel dari jaringan tubuh harus diganti dengan yang
baru. Sel-sel yang dulu dibuang dengan segenap karmanya, sel-sel yang baru
ditumbuhkan yang selaras dengan tugas sebagai perantara pepadang. Maka dari itu
Bapak senantiasa menderita sakit. Itulah proses pergantian pakaian. Penyakit
yang datang bergilir ganti merupakan ujian pula. Tiap tubuh ingin mengaso,
ingin melepaskan lelah, ingin merasa enak juga dalam menunaikan tugas. Tetapi
karena selalu merasa sakit, tidak pernah badan Bapak dapat melepaskan lelah.
Ini godaan dari dalam. Godaan dari luar, dari orang-orang, enteng bila
dibandingkan dengan godaan ini. En toh, Bapak selalu riang gembira dalam
penderitaan sakit sambil menunaikan tugas kian-kemari.”
(Soemantri, 1990:13 dalam buku
Olah Rasa)
Pengorbanan
Pakde Narto itu seolah-olah sudah dipersiapkan jauh hari sebelum beliau menerima turunnya wahyu Pepadang dan Tuntunan
Suksma Sejati, 14 Februari 1932. Pakde Narto merupakan putera keenam dari
delapan bersaudara, dari keluarga Bapak R. Soemowardojo, seorang juru tulis
Kawedanan dan terakhir memangku jabatan mantri penjual, pada usia tujuh tahun
harus berpisah dengan orang tuanya untuk mengikuti pendidikan formal di kota
Boyolali, karena di Simo ketika itu belum ada sekolah. Pakde Narto dikirim
orang tuanya mengikuti pendidikan (sekolah) dari Simo ke Boyolali itu tidak
kos, tidak sewa kamar, dan tidak kontrak, tetapi ikut pamannya R. Djojosugito,
seorang agen polisi di Boyolali. Meskipun Pakde Narto dapat masuk ke sekolah
“Jawa” (Inslandse School), dan pada
malam hari dapat pergi kursus bahasa Belanda pada seorang pensiunan sersan
KNIL, Van de Waal, perlakuan keluarga Djojosugito terhadap Pakde Narto tak
ubahnya sebagai seorang pembantu rumah tangga (pelayan), segala pekerjaan kasar
seorang pelayan telah beliau rasakan dan alami dalam usia semuda itu. Ini
merupakan budi darma yang luar biasa dari seorang anak yang patuh pada orang
tuanya demi untuk memperoleh pendidikan.
Pada
suatu hari, datanglah Bapak Soemowardojo, yakni ayahanda Pakde Narto, menjenguk
keadaan puteranya yang dititipkan kepada adiknya itu. Begitu melihat dengan
mata kepalanya sendiri keadaan dan perlakuan keluarga Djojosugito kepada
anaknya, Bapak Soemowardojo tidak sampai hati dan tidak rela atas pengorbanan
puteranya yang masih sekecil itu sudah harus menderita sedemikian rupa, menjadi
pelayan rumah tangga, mengerjakan segala pekerjaan kasar yang belum waktunya ia
dikerjakan. Oleh karena itu, kedatangan beliau Bapak Soemowardojo di tempat
adiknya itu hendak memindahkan Pakde Narto kepada kakaknya yang lain, yakni R.
Soemodipoetro yang menjabat sebagai Kepala Penjara Boyolali. Namun, di tempat
baru itu pun Pakde Narto tidak tahan lama, tidak kerasan, enggak betah ah, gitu
hlo, karena pelayan keluarga Soemodipoetro sangat suka menggoda dan mengganggu
Pakde Narto dengan segala kejahilannya. Dan
tindak kejahilan atau usil si pelayan itu sudah kelewatan terhadap Pakde
Narto. Oleh karena itu, ketika ayahandanya Soemowardojo datang menjenguknya,
segeralah Pakde Narto menghadap ayahandanya untuk mohon dibawa serta pulang
kembali ke desa Simo.
Tidak
berapa lama tinggal di Simo, Pakde Narto kembali dititipkan kepada Budenya dari
jalur sang ibu, seorang janda Patih (Wakil Bupati) di Salatiga, bertempat
tinggal di kampung Karanganyar, bernama Mertohardjo. Meskipun Pakde Narto dapat
mengikuti pendidikan di sekolah partikelir, pada penge-ngeran yang ketiga ini terjadilah suatu peristiwa yang dapat
dibilang spetakuler (menarik perhatian), yaitu: (1) keberanian Pakde Narto
untuk menegur mbakyu “S” yang mengambil buah kelapa milik wak Mertohardjo yang
sedang pergi dan menjualnya untuk keperluan diri sendiri, dan (2) keberanian
Pakde Narto untuk meninggalkan Salatiga, pulang ke Simo, tanpa bekal apa pun
dalam usia delapan tahun. Akibat keberanian menegur mbakyu “S” itu Pakde Narto
mendapat perlakuan aniaya dan siksaan fisik sehingga badan terasa sakit,
akhirnya ia menangis, kemudian lari ke luar rumah meninggalkan kampung
Karanganyar, dengan maksud hendak kembali ke desa Simo, walaupun tak tahu arah
ke mana jalan pulang kembali ke desa Simo, Boyolali itu.
Berkat
sih anugerah Sang Guru Sejati, meskipun belum dikenal ketika itu, maksud pulang
ke desa Simo yang berjarak kurang lebih 40 km itu dapat kesampain juga oleh
anak yang baru berumur delapan tahun. Coba bayangkan hal ini, Bapak, Ibu,
Saudara sekalian. Di tengah perjalanan ketika perut lapar memuncak, Pakde Narto
berhasil menemukan uang satu Sen, kemudian dibelikan nangka sebagai pengganjal
perut yang keroncongan. Setelah masalah perut teratasi, pada malam hari ketika
ia tersesat di tengah perjalanan, hati terasa sedih dan gundah, serta
menangislah ia. Tak berapa lama kemudian, datanglah pertolongan Sang Guru
Sejati dengan melalui perantaraan seorang perempuan penjual yang membawa keranjang
atau bakul kosong di punggungnya. Setelah perempuan itu bertanya kepada Pakde
Narto, tidak ada jawaban, karena masih menangis, dengan cekatan tanpa membuang
waktu, perempuan penjual itu memasukkan Pakde Narto ke dalam keranjang
kosongnya, lalu dibawalah Pakde Narto ke tempat Pak Lurah di desa tersebut
setempat.
Bapak,
Ibu, dan Saudara sesiswa Sang Guru Sejati yang suka berbahagia.
Di
tempat Pak Lurah itu Pakde Narto dihormati dengan panggilan “Gus”, karena Pak
Lurah itu adalah mantan bawahan wak Patih Mertohardjo, kemudian Pakde Narto
juga dijamu dengan makanan yang enak-enak, diperkenankan tidur semalam di rumah
Pak Lurah, dan selanjutnya pada esok harinya digendong di punggung dari desa
tersebut sampai ke desa Simo oleh anak buah Pak Lurah. Sebab pada waktu itu
belum banyak kendaraan. Hal ini jelas merupakan buah dari rasa bakti, taat, dan
kepercayaan Pakde Narto yang bulat dan teguh kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
keberaniannya menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran.
Tidak
begitu lama Pakde Narto tinggal kembali bersama orang tunya di desa Simo. Demi
memikirkan pendidikan anaknya, Ibunda Pakde Narto membawa dirinya ke Solo
dengan harapan dapat sekolah di Solo. Keluarga yang dituju ketika itu sedang
pergi jauh dan tak mungkin ditunggu. Sang Ibunda Pakde Narto itu tidak putus
harapan, segeralah Sang Ibunda itupun membawa Pakde Narto ke berbagai rumah
kenalannya di Solo. Namun, nasib memang belum berpihak, tidak satu pun kenalan
Sang Ibu ini berkenan menerima Pakde Narto dengan alasan tanggungan mereka sendiri
sudah berat. Sudah barang tentu dengan perasaan kecewa, karena usaha
menyekolahkan, mencarikan pendidikan bagi anaknya itu gagal. Ibunda Pakde Narto
itu kemudian membawa kembali sang anak itu ke desa Simo, Boyolali.
Orang
tua Pakde Narto dalam mengupayakan pendidikan anaknya tidak pernah mengenal
putus asa. Agar anaknya dapat sekolah lagi, karena di Simo pada waktu itu belum
ada sekolahan, Pakde Narto dibawalah oleh ayahandanya pergi ke desa Tekaran,
Kabupaten Wonogiri, untuk kemudian dititipkan kepada Pak Wirjosoemardjo,
seorang pembantu mantri penjual, mantan bawahan ayahandanya. Di sini Pakde
Narto dapat sekolah sore, karena tidak diterima di sekolah pagi, dan tetap
duduk di kelas satu sehingga mahir benar di kelas satu itu, di kota Wonogiri
yang berjarak 8 km. Waktu tempuh dari tempat tinggalnya ke sekolahan, pulang
pergi selama 4 jam, berjalan tanpa alas kaki, melalui hutan dan jalan terjal,
di bawah terik panas matahari setiap harinya. Tentu waktu belajar Pakde Narto
habis di tengah perjalanan. Melihat kondisi seperti itu Ibunda Pakde Narto
tidak sampai hati, dan kemudian dijaknya Pakde Narto ke tempat kakaknya,
Ismail, di Magelang, yang tengah menjabat sebagai pegawai kas negeri kota
Magelang.
Mengikuti
kakaknya, Ismail, di Magelang ini Pakde Narto dapat diterima di sekolah pagi Tweede Inlandse School, tetapi masih
tetap kelas satu. Nasib pun masih tetap tidak berubah seperti yang sudah-sudah.
Tidak begitu lama Pakde Narto tinggal di Magelang, karena kakaknya Ismail
dipindah tugaskan ke Mojokerto dan Pakde Narto tidak dibawanya serta ke
Mojokerto, tetapi dititipkan kepada sang mertua kakaknya itu di Desa Kledung,
Purworejo, bernama Sastrodihardjo. Meskipun Pakde Narto dapat sekolah di kota
Purworejo yang berjarak 6 km dari Desa Kledung, nasibnya semakin sengsara dan
mengibakan hati, tak ubahnya seperti budak. Semua pengorbanan yang dilakukan
oleh Pakde Narto bagi keluarga Sastrodihardjo ini tidak dihargai, bahkan
difinah mencuri kain dan didukunkan oleh Bu Sastro yang kurang waras tersebut.
Tentu saja Pakde Narto protes atas tuduhan yang tidak benar ini. Dalam usia
Pakde Narto yang masih anak-anak itu sudah ada keberanian untuk menghadap Tuhan
mohon Pengadilan! Namun, di mana Tuhan bertakhta, bagaimana caranya menghadap
Tuhan, dan bagaimana cara mohon pengadilan Tuhan? Tentu anak seusia sembilan
tahun itu tidaklah faham, bahkan orang yang sudah berusia lanjut pun belum
tentu tahu akan hal itu.
Ada
peristiwa yang spektakuler lagi dalam pengengeran
Pakde Narto yang keenam ini, yaitu cara menghadap Tuhan mohon pengadilan oleh
anak yang baru berusia sembilan tahun. Dengan kepercayaan yang bulat (orang
yang mempunyai kepercayaan bulat (murni), tidak lagi dihinggapi rasa was-was,
ragu-ragu, takut, gentar, atau cemas; Sabda
Khusus Peringatan Nomor 2 alinea 10) pagi-pagi hari Pakde Narto menerjunkan
diri ke dalam sumur. Ini bukan untuk bunuh diri, gitu lho, melainkan sebagai
jalan mohon pengadilan Tuhan, yang hanya dapat dipahami oleh seorang anak.
Pakde Narto terjun ke dalam sumur itu tidak meninggal karena ada pertolongan
Sang Guru Sejati melalui para tetangga keluarga Sastrodihardjo yang
mengentaskannya dari dalam sumur.
Beberapa
bulan kemudian, setelah Pakde Narto duduk di kelas dua, ia mendengar kabar
bahwa kanda Kusno datang ke Purworejo, maka segeralah ia menghadap kanda Kusno
untuk menyatakan keinginanya turut serta beliau. Setelah kanda Kusno menikah
dan bertempat tinggal di Bruno, Wonosobo, Pakde Narto diperkenakan turut serta
beliau. Di kota Wonosobo itu Pakde Narto memasuki kelas tiga (dahulu sekolah
dasar hanya sampai pada kelas empat). Namun, tinggal bersama kanda Kusno tidak
begitu lama karena Sang Ibu menginginkan Pakde Narto dapat sekolah di HIS (Hollands Inlandse School) yang baru ada
dibuka di kota Solo. Mereka yang tamatan HIS banyak yang menjadi “priyayi”,
atau pegawai pemerintahan Hindia Belanda. Namun, Pakde Narto tidak diterima di
HIS itu karena tes bahasa Belanda-nya tidak lulus, terpaksa masuk sekolah
partikelir Hollands Inlandse Middagcursus,
diterima di kelas 2, dan di Solo itu Pakde Narto ikut keluarga Suwandi, seorang
mantri polisi.
Ketika
kanda Ismonah pindah ke Solo, karena kakak iparnya (suami kanda Ismonah)
bernama Poerwokosastro dipindahakan sebagai pembantu jurutulis Camat Laweyan,
di Solo, dan pada waktu itu bertempat tinggal di kampung Notokusuman, atas
saran ibundanya, Pakde Narto mengikuti kakaknya saja. Pada waktu mengikuti
keluarga Poerwokosastro ini ada kejadian spektakuler lagi, yaiku peristiwa di
sebuah jembatan rel kereta api yang panjang antara jurusan Stasiun Kedungbanteng
dan stasiun Jebres, Solo. Ketika sedang berada di jempatan rel kereta api itu,
sekonyong-konyong datang kereta api dari depan menuju ke arah dirinya. Pakde
Narto mau balik jelas tidak mungkin karena akan segera tersusul oleh kecepatan
kereta api itu. Demikian juga, Pakde Narto mau melanjutkan terus perjalannya
juga tidak mungkin karena juga akan digilas oleh kereta api itu. Sementara
banyak orang yang bekerja di sawah dekat jembatan rel kereta api itu yang
berteriak-teriak memperingatkan Pakde Narto akan bahaya maut yang mengancam.
Mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Atas pertolongan Sang Guru Sejati, Pakde
Narto selamat dengan cara menggantung berpegangan erat-erat pada pilar (tiang)
jembatan sebelah kiri. Suara gemuruh kereta api yang menakutkan itu pun segera
berlalu menggetarkan seluruh tubuhnya. Pakde Narto selamat dan dapat meneruskan
perjalannya ke stasiun Kedungbanteng.
Kemudian
pengorbanan Pakde Narto masih dilanjutkan kepada keluarga Raden Mas Panji
Waneng, yang sedang sakit ingatan, namun Pakde Narto tetap tabah menghadapinya.
Demikian juga pada pangerean berikutnya pada keluarga Sastrodihardjo yang
merupakan famili dari Pak Suwandi di Solo. Dan pada pangegeran yang terakhir,
dan terlama kepada keluarga Joedosoebroto yang menjadi jaksa kepala di Solo,
hingga Pakde Narto dewasa, mendapat pekerjaan magang di kejaksaan, dan menikah
dengan nona Soemini (Bude Narto) putri pamannya Pak Amir, dari Kedungjati,
Semarang.
Bapak,
Ibu, dan Saudara siswa-siswi Sang Guru Sejati yang suka berbahagia.
Penderitaan
demi penderitaan, pengorbanan demi pengobanan, dan semua budi darma Pakde Narto
itu tumanjane (ditujukan hanya semata) untuk mendidik, mengolah,
mencerdaskan, seluruh umat, segala bangsa di dunia ini agar mencapai derajat
budi luhur, yakni derajat kemulian, dan kesejahtaraan hidup di dunia hingga
akhirat, yakni mencapai kesunyataan jati. Hasilnya kini dapat kita nikmati dan
rasakan jerih payah Pakde Narto tersebut. Sudah sepantasanyalah kita meneladan
kemuliaan dan keluhuran Pakde Narto.
Sebagaimana
telah diutarakan pada awal olah rasa pagi ini dalam tembang Warisan
Langgeng tersebut bahwa Pakde Narto adalah citra manusia pilihan, yakni
manusia yang telah mencapai kesunyataan jati, manusia yang benar-benar
senyatanya telah mencapai derajat budi luhur, mumpuni terhadap hukum atau tata
aturan negara dan juga hukum Tuhan, senantiasa berjalan di jalan kesunyataan,
beliau secara nyata telah meninggalkan keramaian barang-barang duniawi, tetap
sehat walafiat, penuh kesantunan atau ketatasusilaan, berwatak utama, dan
berperilaku sahaja. Candra dari Pakde Narto yang telah mencapai kesunyataan
jati itu dalam tembang Dhandhanggula pada 4, 5, 6, Serat Warisan Langgeng
sebagai berikut.
Wruhanira janma kang wus manjing
rasa bagya ing batine
ayem tentrem budyayu
Ujwalane pasemon kengis
sunaring tyas kawuryan
ngumala ngunguwung
pangucap weh sreping liyan
mungkur marang krameyan mung mamalad
sih
sihing Suksma Kawekas.
Dene kang wus malbeng jroning Puri
Pamudharan ingkang sanyatanya
sirna rasa-pangrasane
mati kalawan hidup
rasa bungah-susah sirnating
ruwat sagung panandhang
tatali wus putus
kang nangsaya batinira
tarlen saking megat katresnan-nireki
marang kang para cidra.
lan sagung ingkang sipat gesang
anglimputi sakabehe
welas asih satuhu
marang kabeh kang sipat urip
adil apara marta
ambeg budi luhur
sasat sarira Suksmana
wudhar saking ngger-angger tumimbal
lahir
winahyu mardhikeng rat.
Terjemahan dalam bahasa Indonesia
sebagai berikut.
Ketahuilah
Saudara bahwa manusia yang sudah masuk
ke
pintu gerbang Istana Pamudharan
rasa
bahagia di dalam batinnya
tenang,
tenteram, berbudi mulia
wajahnya
bersinar dapat diibaratkan
bersinarnya
hati tersingkap
bagai
intan permata yang mempelangi
ucapan
mampu memberi ketenteram orang lain
meninggalkan
dunia keramaian, hanya semata memohon sih
Kasih
Tuhan Yang Maha Esa.
Adapun
manusia yang telah masuk di dalam Istana
Pamudharan
yang sebenar-benarnya
sirna
rasa-perasaannya
ihwal
mati dengan hidup
rasa
senang-susah pun sirna
terbebas
lepas dari semua penderitaan
tali-tali
pun telah putus
yang
mengikat batinmu itu
tiada
lain dari usaha memisahkan kecintaanmu
terhadap
semua yang dusta, silap pesona dunia.
Rasa-perasaanya
sebab telah menjadi satu
dengan
sumua yang bersifat hidup
meliputi
keseluruhannya
kasih
sayang yang sesungguhnya
terhadap
semua yang bersifat hidup
adil
merata keseluruh yang bersifat hidup
berwatak
budi luhur
seakan-akan
berbadan ke-Tuhan-an
bebas
lepas dari hukum terlahir kembali
memperoleh
wahyu kemerdekaan (terbebas kembali hidup di)
dunia.
Lebih
lanjut Bapak R. Soenarto Mertowardojo, yang menjadi teladan kita itu dalam buku
Bawa Raos Ing Salebeting Raos menjelaskan
bahwa keadaan orang yang telah sampai pada kasunyatan
jati itu adalah sebagai berikut:
- tingkah lakunya bersahaja dan menyenangkan;
- sikapnya terhadap siapa pun ramah dan bersahabat;
- tindak tanduknya tertib dan susila;
- berbicara sedikit dan sabar tutur katanya;
- sopan satun jika berbicara, dan tangannya tidak bergapaian;
- roman mukanya terang dan ramah, tetapi menimbulkan rasa segan;
- matanya tajam dan bersinar;
- pakaiannya bersahaja;
- hidupnya sederhana, berbudi luhur;
- kesabarannya laksana samudera raya;
- pemaaf, adil, dan paramarta;
- belas kasih, sayang, dan cinta kepada sesama hidup;
- menetapi kewajiban hidup dengan tata susila;
- menghormati dan meluhurkan semua agama;
- setia kepada undang-undang dan peraturan negara;
- tidak membeda-bedakan derajat, golongan, bangsa, pria wanita, tua muda;
- semunya diperlakukan sama, tanpa mengabaikan tata krama;
- tidak meninggalkan tata cara hidup bermasyarakat;
- saling melindungi, saling menjaga dengan sopan santun;
- tidak berganti nama, tidak memakai gelar yang direka atau dibuat muluk-muluk agar terkenal dan disanjung puja di dunia; dan
- tidak menyombongkan akan kepandaian, kewaspadaan, serta kekuasaan meskipun ketiganya itu telah dimilikinya.
Tentang
rasa dan perasaannya, lebih lanjut Pakde Narto dalam bukunya Bawa Raos Ing Salebeting Raos menjelaskan
keadaan perasaan batin seseorang yang telah mencapai kasunyatan itu alah sebagai berikut.
“Sesungguhnya,
rasa-perasaan batin (hati) tidak dapat diterangkan dengan perkataan sebab
luasnya tidak terbayangkan, bak samudera tak bertepi; samudera yang tidak
berombak mengadakan alun, yaitu: cipta, nalar, dan angan-angannya tidak bekerja
sehingga mengadakan rekaan, gambaran, dan bayang-bayangan yang menimbulkan
rasa: senang, susah, waswas khawatir, ragu-ragu, murka, syak wasangka, iri
hati, gentar ngeri, papa sengsara, hina luhur, masyhur, celaka untung, mudah
sukar, dan sebagainya.
Indahnya
rasa-perasaan melebihi keindahan alam yang tergelar ini. Andaikan bebauan, ia
adalah rajanya harum yang merebak mewangi. Andaikan rasa manis, ia adalah
rajanya manis yang legit wangi. Andaikan kejelitaan seorang putri,
kejelitaannya adalah ratunya para bidadari. Andaikan intan permata, ia adalah
mustika intan yang edipeni (indah
permai). Andaikan cahaya, kemilaunya cahaya melebihi terangya sinar rembulan.
Andaikan air, ia adalah mata air yang jernih suci murni.
Adapun
rasa-perasaan yang dapat saya terangkan dengan kata-kata, yang senyata-nyatanya
dirasakan adalah: tenang, tenteram, damai, puas, heneng-hening-eling, nikmat
bermanfaat, bahagia, mulia, bijaksana, tetap berasa bertunggal dengan Suksma,
Sejatinya Hidup, yang menghidupi segenap sifat hidup. Oleh karena itu, ia
berasa bertunggal dengan segenap yang bersifat hidup, meresap ke segenap wujud
yang ada, yaitu meresap ke keadaan yang tergelar di dunia ini, tidak dibatasi
oleh waktu dan ruang (tempat), jauh dan dekat, sempit dan sesak.
Demikian
keadaan orang yang sudah sampai pada (mencapai) kesempurnaan bertunggal (kasunyatan jati) yang dapat saya
terangkan sekadarnya. Adapun darmanya kepada dunia adalah: (1) memayu-hayuning bahawa kang sanyata (membuat
sejahtera dunia dengan nyata) yang didasarkan pada kasih sayang, penuh cinta,
dan keadilan yang disertai dengan pengorbanan; (2) memberi tuntutan dan suri
teladan dengan tindakan yang nyata agar umat manusia hidup rukun, damai, saling
pengertian, tertib, susila, berbakti kepada Tuhan sehingga dunia ini menjadi
teratur, tenang, damai, tenteram, bahagia, dan sejahtera.”
(Mertowardojo, 1960:34—36)
Demikianlah kompas yang
dapat menjadi panduan untuk meneladan keluhuran dan kemulian budi Bapak
Paranpara Pangestu, Raden Soenarto Mertowardojo.
Bapak, Ibu, dan Saudara
sekalian warga Pangestu yang suka berbahagia.
Sudah banyak umat manusia
yang kini terbuka mata hati dan pikirannya menerima Ajaran Sang Guru Sejati
ini. Turunnya Pepadang dan Tuntunan Suksma Sejati melalui perantaraan Pakde
Narto pada tanggal 14 Februari 1932 merupakan tonggak lembaran sejarah baru
keimanan umat manusia. Sabda-Sabda Suksma Sejati yang kini diabadikan menjadi
buku Sabda Pratama, Sasangka Jati, Sabda
Khusus (dan ada beberapa catatan khusus yang tidak dibukukan oleh Pengurus
Pusat Pangestu) yang kemudian dijelaskan oleh Pakde Narto sendiri melalui buku Bawa Raos Ing Salebeting Raos, Taman
Kamulyan Langgeng, Warisan Langgeng, Sosotyo Rinontje, dan buku-buku
Pangesti, serta dijelaskan oleh Bapak Soemantri Hardjoprakosa melalui buku Olah Rasa, Arsip Sardjono Budi Santosa,
Ulasan Kang Kelana, dan Wahyu
Sasangka Jati, serta juga buku susunan Bapak R. Rahardjo Riwayat Hidup Bapak Paranpara Pangestu R.
Soenarto Merrtowardojo menjadi acuan, pedoman, atau panduan mendidik diri
sendiri, mendidik keluarga, dan mendidik seluruh umat yang membutuhkan tuntunan
dan pepadang Suksma Sejati mencapai derajat budi luhur.
Hanya Pakde Narto yang telah
melewati jenjang golongan kesiswaan, dari: (1) siswa pratama, (2) siswa utama,
hingga (3) siswa purnama. Hanya Pakde Narto pula yang telah melewati jenjang
derajat kesiswaan, dari: (1) calon siswa, (2) siswa, (3) Guru, hingga (4) Guru
Agung. Pakde Narto pulalah yang telah melewati jenjang derajat kejiwaan, dari:
(1) jiwa muda, (2) jiwa dewasa, hingga (3) jiwa luhur. Oleh karena itu, teladan
Pakde Narto yang mengorbankan atau membudidarmakan seluruh kehidupannya bagi
pendidikan untuk dapat kemuliaan, keluhuran, dan juga kesejahteraan umat
tidaklah sia-sia. Kita sedapat mungkin, sekuat kemampuan, dan sebisa mungkin
meneladani semua kearifan, keluhuran, dan kemuliaan Pakde Narto.
Sebagai penutup olah rasa
pagi ini, sekali lagi perkenankan saya mengidung Dhandhanggula dari bait 14 dan
15 Serat Warisan Langgeng, ihwal menghadapi sakaratul maut dari Pakde
Narto.
Lamun angger sira tekeng janji
aywa pegat angger dhikirira
ingkang sareh pranatane
napas ngucap Allah Hu
Hu binareng napas umanjing
Allah napas umedal
kang santosa tuhu
jro lalaku keh panggodha
poma-poma angger aywa den tanggapi
kang ikhlas ninggal donya.
Rasanira kumpulna sawiji
isi eling marang Allah-ira
poma ywa mandheg tumoleh
anyuwuna pitulung
mring Panuntunira Sajati
sinebut Nur Muhammad
Utusan Hyang Agung
muga karsa nuntun sira
umareg ingayunan Hyang Maha Suci
ywa wudhar elingira.
Terjemahan dalam bahasa Indonesia sebagai
berikut.
Apabila
engkau telah sampai pada perjanjian, menghadapi sakaratul maut
janganlah
terputus dzikirmu, wahai anakku
yang
sabar penuh keyakinan mengatur
keluar
masuknya napas mengucapkan: Allah Hu
Hu
bersamaan dengan napas masuk
Allah
bersamaan dengan keluarnya napasmu
yang
sungguh-sungguh teguh sentosa
sebab
di dalam perjalanan banyak penggoda
pesanku
wahai anakku: janganlah engkau tanggapi
yang
ikhlas meninggalkan dunia.
Rasamu
kumpulkanlah menjadi satu yang padu
berisi
sadar terhadap Allah, yakni Tuhan sejatimu
pesanku
jangan berhenti menoleh ke kiri atau ke kanan
memohonlah
pertolongan
kepada
Penuntunmu yang sejati
yakni
yang disebut Nur Muhammad
Utusan
Abadi Tuhan yang Mahaagung
semoga
Sang Guru berkenan menuntunmu
menghadap
di hadapan Tuhan Yang Maha Suci
janganlah
terlepas sadarmu itu.
Satuhu.