Sunday 9 March 2014

JIWA MERANA DI KAFIRUNA


JIWA MERANA DI KAFIRUNA
 
Alkisah, sesambat jiwa mengembara
jiwa manusia belum kembali ke surga
diliputi kegelapan, merana di kafiruna
oleh karena lupa kepada Allah Ta’ala
juga lupa kepada Guru Sejati abadinya
sebab dibelenggu kecintaan pada dunia
cintanya pada harta, tahta, dan wanita,
juga kekasih, tiada dapat dilepaskannya.

Wahai, saudara-saudaraku semua saja
dengarkanlah alkisahku cerita orang tua
betapa sesambat dan tangisnya mengiba
jiwa manusia tersesat di alam kafiruna
merana karena dia mendapatkan pidana.

Menerima pelbagai cobaan dan hukuman
sebab hidupnya di dunia penuh kejahatan
tiada kenal belas kasih pada sesama insan
selalu saja dia melanggar pantangan Tuhan
lupa akan kesanggupan suci yang diemban.

“Tolong..., tolong...,” sesambatnya mengiba,
“aduh..., aduh..., panas...., panas luar biasa
di mana gerangan tempat berteduh, di mana
aduh....., caping atau payung aku tidak bawa
lapar, haus, kenapa aku jadi lapar dan dahaga.

Siapa berkenan memberi pinjaman, tolong
jika ada sepatu anti panas dan juga tudung
syukur juga ada makan agar saya kenyang
terlebih akan kesukaan saya bakso malang
sekalian minumnya es campur bengkoang.”

Perut keroncongan menahan lapar terlalu lama
tenggorokan jadi serak kering menahan dahaga
tetapi, tidak ada yang mau memberi kepadanya
napas terengah-engah dan lelah tidak bertenaga
ke mana-mana arah senantiasa ada gelap gulita.

Sesambat dan raungan tangisnya mengiba-iba
tetapi, tidak ada seorang pun mau menolongnya
terduduk di hamparan padang penuh batu bata
rasa sedih duka lara sengsara menghinggapinya,
bahkan kini berganti menggigil seluruh badannya.

“Aduh..., aduh..., mengapa begitu dingin sekali
padahal bongkahan es dan salju tak ada di sini
selimut tebal penahan dingin siapa mau memberi
aduh.... dingin sekali, aduh.... sakit kalau begini
aduh.... mengapa begini, di mana sekarang ini.”

Tempat dan arah hendak mau ke mana melaju
dia sama sekali tak tahu ke mana harus menuju
kedudukan dan jabatannya dahulu tak membantu
apalagi mengandalkan harta dan kekayaan dahulu
hanya menjadi bertambah beban derita semua itu.

Hujan lebat dan badai topan pun datang menerjang
baju basah kuyup, tidak ada yang memberi payung
mau handukan dan ganti kain baju ataupun sarung
sekarang sudah tidak ada lagi yang mau menolong
apalagi sang juwita sudah menjadi miliki seseorang

“Oh..., Ratna Dewi Supiyah, kekasihku yang tercinta
wahai juwitaku, di manakah engkau sekarang berada
kasihanilah daku, kakandamu ini yang kini menderita
tega-teganya kau bermain asmara di hadapan kanda
mengapa kau diam dan acuh saja ketika kutegur sapa
siapa lagi yang wajib menolong, kecuali engkau juwita,
kakanda sunggguh di sini amat menderita dan merana.

Oh....., itu juga anakku yang gagah, si Bagus Amarah
mengapa engkau setiap hari selalu saja marah-marah
mengapa pula engkau kini tidak suka tinggal di rumah
apa karena juga kini isterimu sudah tidak lagi serumah
aduh..., kenapa rumah tanggamu menjadi pecah-belah
padahal harapanku kau jadi keluarga sakinah mawadah

Lha....., itu anakkku si Nini Mutmainah yang cantik jelita
mengapa pula kau kini berada di dalam tahanan kapeka
padahal engkau itu kan sudah menjabat sebagai walikota
bukankah semua fasilitas sudah disediakan oleh negara
oleh sebab itu engkau jangan serakah akan harta benda
kalau semua proyek engkau korupsi, ya begitulah jadinya.

Nah.., ini juga anakku Bambang Lauamah yang perkasa
mengapa engkau suka hidup berpesta ria dan foya-foya
juga senang mabuk-mabuk dan kecanduan akan narkoba
engkau habiskan hartamu di tempat kasino dan dadu juga
padahal engkau itu sudah dipehaka dari tempatmu bekerja
kalau begitu terus, lalu anak isterimu kau beri makan apa?

Mengapa saudaraku Kamayan, Prabawa, Pangaribawa
membiarkan begitu saja anak-anak dan istriku berkelana
mencari kesenangan, menurutkan gejolak nafsu angkara
sudahkah engkau tidak lagi belas kasihan kepada mereka
tidakkah engkau berkenan menegur dan mengingatkannya
lihat apa yang terjadi pada anak-anak dan isteriku, Saudara
isteriku yang tengah jatuh cinta itu disiksa suami barunya
anak-anakku tidak seorang pun menjadi kusuma bangsa
mereka lupa menjaga harkat martabat nama baik orang tua.

Aduh...., aduh...., bagaimana ya keadaan akan diriku ini
sekarang ini terpisah jauh dari anak cucu dan juga isteri
para saudara, ayah-ibu, dan handaitolan pun menjauhi
aduh...., mereka tidak lagi menaruh peduli sama sekali
setiap orang kudekati senantiasa berusaha menyingkiri
lalu aku harus berbuat bagaimana lagi, oh.... sial sekali.

Aduh.., aduh.., ke mana saja aku harus pergi
tidak ada tempat untuk dapat beristirahat lagi
ke mana-mana juga jauh, harus berjalan kaki
tak ada kendaraan yang dapat saya tumpangi
di mana-mana gelap gulita, menakutkan sekali
aduh..., aduh... kenapa bulu tengkukku berdiri?”

Di mana-mana tampak kosong, sunyi dan sepi
tidak terlihat ada setitik cahaya pun menerangi
tapi cuaca panas terasa amat mencekam sekali
berubah menjadi dingin membeku, silih berganti
lama bertahun, bahkan berabad-abad merana ini.

Akhirnya, dengan termangu-mangu dia berhenti
nelangsa, merasa prihatin, semua dosa disesali
dan lalu, dia sadar serta ingat bakti kepada Ilahi
juga sadar akan Penuntun yang jadi Guru Sejati
seketika juga byar, tampak terang sinar mentari.

Sirna sudah semua derita seperti yang dicerita
lalu “cenger”, seketika dia lahir kembali di dunia
dengan atas kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa
turun Roh Suci sebagai jiwa sejatinya manusia
sampai pada waktu yang ditentukan oleh-Nya.

Hidupnya di dunia seperti zaman dahulu juga
menerima segala derita akibat perbuatannya
memetik buah dari hasil tanaman dahulu kala
merasakan lagi senang, susah, papa sengsara
hidup terus berputar seperti perputaran jantera.

Hidup periode ini harus berusaha sekuat tenaga
untuk senantiasa dapat berjalan di Jalan Utama
ialah Jalan yang berakhir di dalam hidup bahagia,
tenang, tenteram, damai, dan penuh kasih semata
bersama Tuhan Yang Maha Esa di Taman Surga.

Bekasi, 9 Maret 2014



No comments:

Post a Comment

Pertemuan 15 Teori Sastra Tempatan