(Materi Olah Rasa Ranting Bekasi, Minggu, 19 Januari 2014,
dimuat majalah Dwija Wara Nomor 12 Tahun ke-57, April 2014, halaman 24--33)
1.
Pengantar
Sebagai warga
Paguyuban Ngesti Tunggal, baik yang sudah lama menjadi warga maupun yang baru,
masih ingatkah kita ketika awal mengikuti ceramah penerangan Ajaran Sang Guru
Sejati? Setelah mengikuti beberapa kali ceramah, pada suatu hari tibalah pada
pelajaran bab Jalan Rahayu, ya Jalan Rahayu atau Panca Darma Bakti, suatu Jalan
Keselamatan supaya dapat dipergunakan sebagai tangga untuk meningkatkan derajat
yang lebih tinggi, derajat yang lebih mulia, derajat yang lebih luhur, sehingga
dapat menetapi makna ajaran Hasta Sila. Pelajaran pertama dari Jalan Rahayu
adalah “Mengetahui kesejatian dan makna Paugeran Tuhan kepada hamba, yang
menjadi dasar kepercayaan atau kebulatan tekad yang diyakini”. Awalnya kita
hanya diminta membaca dan menghafalkan teks Paugeran Tuhan kepada hamba, boro-boro mau dapat mengetahui
kesejatian dan makna Paugeran Tuhan kepada hamba, menghafalkannya pun susahnya
bukan main, harus dilakukan berkali-kali, tentu dikerjakan secara
berulang-ulang agar dapat hafal teks Paugeran Tuhan kepada hamba tersebut.
Pada saat
pelantikan menjadi warga Paguyuban Ngesti Tunggal, tentu bapak ibu masih ingat
betul, bahwa yang pertama kali dibaca atau diucapkannya dihadapan sidang
majelis pertemuan olah rasa, adalah Paugeran Tuhan kepada hamba, setelah itu
mengucapkan Prasetya Suci dan Dasa Sila. Pelantikan menjadi warga Paguyuban
Ngesti Tunggal, dalam organisasi lain lebih dikenal dengan istilah baiat,
yaitu pengucapan sumpah setia kepada imam, dan imam kita hanya Suksma Sejati,
Sang Guru Sejati, Guru Dunia dan Akhirat yang menunjukkan Jalan Benar ialah
Jalan Utama, Jalan yang berakhir dalam kesejahteraan dan ketenteraman abadi,
yakni di hadirat Tuhan Yang Maha Esa, di Taman Kemuliaan Abadi. Jadi,
pengucapan Paugeran Tuhan kepada hamba dalam peristiwa pelantikan warga
Paguyuban Ngesti Tunggal itu adalah menjadi satu-satunya kredo, pernyataan kepercayaan (keyakinan) dan sekaligus
menjadi dasar tuntunan hidup sepanjang hayat, dari pondok dunia hingga
sampai ke istana akhirat.
Bagaimana
sekarang bapak ibu semuanya? Setelah dilantik menjadi warga Paguyuban Ngesti
Tunggal, baik yang masih sebagai calon siswa maupun yang sudah menjadi siswa
Sang Guru Sejati, tentunya setiap hari kita senantiasa melaksanakan,
menjalankan, melakukan (dengan cara mengucapkan dan meresapkan) Paugeran Tuhan
kepada hamba. Seperti tadi ketika akan memulai Olah Rasa, kita mengucapkan
Paugeran. Apakah hanya pada saat akan memulai Olah Rasa kita mengucapkan
Paugeran? Tentunya tidak. Setiap saat ketika kita akan memulai mengerjakan sesuatu,
apa pun sesuatu itu, seperti akan manembah, akan bekerja, akan ujian, akan mengadakan
perjalanan, akan menghadap pimpinan atau menghadapi seseorang, akan tidur, dan
ziarah kubur ke makam leluhur pun sebaiknya mengucapkan dan meresapkan Paugeran
Tuhan kepada Hamba. Bahkan, bukan hanya saat akan mengerjakan sesuatu saja kita
mengucapkan Paugeran, melainkan juga ketika kita sedang menghadapi sesuatu,
menghadapi masalah, menghadapi bencana atau musibah yang melanda kita, yang
melanda saudara kita, tetangga kita, teman kita, dan juga ketika kita menghadapi
bencana alam, seperti banjir, tanah longsor, gunung meletus, hujan badai, angin
topan, dan kebakaran pun, tidak terlepas dari Paugeran Tuhan kepada hamba.
Mau berapa
kali kita mengucapkan dan meresapkan Paugeran dalam setiap harinya? Hal ini tentu,
sangat bergantung atas kesadaran dan kebutuhan kita masing-masing. Semakin
sering kita mengucapkan, semakin sering kita menghayati makna Paugeran, dan
semakin sering kita meresapkan Paugeran, itu tentu akan menjadi semakin baik,
bertambah baik, dan semakin menjadi lebih baik lagi, serta Paugeran itu dapat hidup
dalam diri sanubari kita. Mengapa kita perlu sekali menghidupkan Paugeran Tuhan
kepada hamba itu dalam diri sanubari kita, dalam kehidupan kita di dunia ini?
2. Dasar Kepercayaan yang Benar
Sebelum
menjawab pertanyaan tersebut, bapak ibu marilah kita bersama-sama, dalam hati
masing-masing, kita mengucapkan dan meresapkan Paugeran Tuhan kepada hamba.
“Suksma
Kawekas punika tetep dados Sesembahan kula ingkang sejati, dene Suksma Sejati
punika tetep dados Utusaning Pangeran Sejati tuwin dados Panuntun saha Guru
kula ingkang sejati.
Inggih amung Suksma Kawekas piyambak, ingkang anguwasani
sadaya alam saisinipun, inggih amung Suksma Sejati piyambak, ingkang nuntun
para kawula sadaya.
Sadaya panguwasa, ingggih panguwasanipun Suksma Kawekas,
punika kaasta dening Suksma Sejati, dene kawula wonten panguwasanipun Suksma
Sejati.”
(Suksma Kawekas adalah tetap menjadi Sembahan hamba yang sejati, adapun
Suksma Sejati adalah tetap menjadi Utusan Tuhan Sejati, serta menjadi Penuntun
dan Guru hamba yang sejati.
Hanya Suksma Kawekas pribadi yang menguasai semua alam seisinya, hanya
Suksma Sejati pribadi yang menuntun para hamba semua.
Semua kekuasaan ialah kekuasaan Suksma Kawekas, ada pada Suksma Sejati,
adapun hamba ada di dalam kekuasaan Suksma Sejati.)
Dalam buku Olah Rasa di Dalam Rasa,
Bab XIX Laku dan Syarat-syarat yang Harus Dijalankan Oleh Para Calon Siswa
Sebagai Ketukan Pada “Pintu Panunggal” dinyatakan bahwa “Laku yang Pertama,
Meresapkan Sejatinya Syahadat: Para calon siswa hendaklah meresapkan sejatinya
syahadat, yaitu Paugeran Tuhan kepada hamba, yang menjadi dasar kepercayaan yang benar atau kebulatan tekad yang diyakini
hingga masuk meresap ke dalam jiwanya, jadi tidak hanya diucapkan di bibir.
Sejatinya syahadat itulah yang merupakan ‘pakaian’ para hamba yang hendak
menghadap di istana Sang Raja, yaitu ketika para calon siswa hendak menghadap ke
hadirat Tuhan.” (Olah Rasa di Dalam Rasa,
2013:42).
Oleh karena itu, mari kita meresapkan
Paugeran Tuhan kepada hamba tersebut tidak hanya sebatas pada ucapan di bibir
(hanya berhenti di mulut), tetapi harus sampai mendalam hingga menumbus ke
pusat hati sanubari, hingga sampai ke Rahsa Jati. Paugeran inilah sebagai dasar
(fondasi, basis, pokok) kepercayaan yang benar atau kebulatan tekad yang
diyakini kebenarannya secara mutlak dan sebagai busana para hamba untuk menghadap
ke hadirat Tuhan.
3. Perjanjian Agung
Paugeran Tuhan kepada hamba itu sesungguhnya merupakan perjanjian agung,
sebuah ikrar jiwa, kredo jiwa, sumpah setia jiwa manusia sebelum Roh Suci
diturunkan/dititahkan/diciptakan/dilahirkan ke dunia. Sebagaimana dinyatakan
dalam Sasangka Jati, Bab Sadar, yaitu
“Ketahuilah olehmu, bahwa tiga macam kesanggupan tersebut sesungguhnya telah
engkau sanggupi ketika engkau akan diciptakan hidup di alam dunia” (Sasangka Jati, 2006:7).
Juga dalam Sasangka Jati, Buku
Panembah, Bab Paugeran Tuhan kepada Hamba, dinyatakan bahwa “Ingatkanlah
saudara-saudaramu yang percaya akan Paugeran Tuhan kepada hamba, yaitu yang telah disanggupi, ketika Roh Suci
akan diturunkan ke dunia.” (Sasangka Jati,
2006:105).
Dalam buku Ulasan Kang Kelana
(1990:109) dinyatakan bahwa “Paugeran Suksma Kawekas mengandung janji Roh Suci untuk hanya menyembah kepada Suksma
Kawekas semata-mata melalui Suksma Sejati. Pada waktu di dalam kandungan
Tripurusa, Roh Suci hanya mengenal Suksma Sejati dan Suksma Kawekas yang
menjadi asal-usul dan melindunginya. Roh Suci menyaksikan benar-benar Keagungan
dan Kekuasaan tunggal dari Suksma Kawekas dan Suksma Sejati. Di dalam kandungan
Tripurusa tidak dikenal makhluk dewa. Maka dari itu, Roh Suci tahu benar bahwa Sembahan
yang sejati ialah Suksma Kawekas melalui Suksma Sejati.”
4. Tanda Nyata Ajaran Benar
Paugeran juga sebagai tanda/bukti
nyata, bukti senyata-nyatanya, sebenar-benarnya bahwa ajaran benar itu berasal
dari Tuhan Sejati. Sebagaimana secara jelas dinyatakan dalam Sasangka Jati, Tunggal Sabda, Bab
Keadaan Sabda Abadi dan Terbabarnya: “Tanda
nyata yang mudah diketahui setiap orang, sehingga dapat menetapkan bahwa
petunjuk dari Tuhan Sejati itu hanya ada pada syahadat tauhid. Semua ajaran
atau petunjuk dari para Nabi Rasul itu pasti berisi syahadat tauhid sebagai
pokok kepercayaan: Tiada Sembahan yang benar selain Allah.”
Jadi, ringkasnya saja, tiap-tiap
petunjuk yang menunjukkan Jalan Rahayu,
padahal tidak mengajarkan bab tauhid sebagaimana yang disebutkan itu, jelas
bukan Sabda Tuhan (Allah Taala). Adapun sejatinya syahadat (Paugeran Tuhan
kepada hamba) itu apabila dinyatakan secara jelas (tanpa selubung), mengajarkan
tentang bertunggalnya Tripurusa ialah keadaan Yang Maha Tunggal, yang menjadi
asal dan tujuan jiwanya, yakni yang menjadi tujuan hidup yang senyatanya. Oleh
karena itu, terbabarnya syahadat tersebut dalam tindakan lalu berwujud tiga macam
kesanggupan besar: Sadar, Percaya, Taat. Hal itu sudah menjadi kesanggupan
para hamba sejak di alam Roh, ketika Roh Suci akan diturunkan ke dunia.” (Sasangka Jati, 2006:67).
Dengan adanya Paugeran Tuhan kepada
hamba itu kita menjadi waspada, lebih hati-hati, weweka, mursid dalam menentukan sikap, pilihan, dan keyakinan akan
suatu pelajaran keutamaan. Ini menjadi warning,
peringatan dari Tuhan agar kita indahkan, kita perhatikan dengan baik-baik.
Apabila ada pelajaran keutamaan, petunjuk benar, atau suatu klaim tentang
kebenaran dari siapa pun, padahal tidak ada syahadat tauhidnya, tidak ada
paugerannya, maka pelajaran itu wajib kita yakini bukan berasal dari Tuhan
Sejati. Pelajaran itu hanya sebatas sebagai kebenaran relatif, bukan kebenaran
hakiki, bukan kebenaran mutlak. Akal sehat kita harus dapat membedakan mana
yang benar dan mana yang salah, mana yang nyata dan mana yang bukan, serta mana
yang baka/ kekal/ abadi/ langgeng dan mana yang fana, rusak, dusta, dan palsu.
Adanya Paugeran Tuhan kepada hamba yang senantiasa hidup dalam diri kita,
niscaya kita tidak akan terjerumus ke yang bukan, tidak akan terperosok ke yang
palsu, tidak akan tersesat pada pilihan yang salah, tidak akan terejabak ke
yang fana, dan tidak terpeleset ke yang dusta.
Dalam buku Ulasan Kang Kelana
(1990:108—109) dinyatakan bahwa “Paugeran Suksma Kawekas kepada umatnya adalah
perbedaan yang prinsip antara tuntunan dari Suksma Sejati dengan pelajaran dari
para dewa. Tiap pelajaran yang benar dari Suksma Kawekas mempunyai dasar
Tripurusa, seperti Islam dan Kristen mempunyai syahadatnya masing-masing. Para
dewa juga memberi tuntunan kepada manusia melalui jalan kesusilaan. Mereka
memberi pelajaran untuk menghaluskan budi pekerti, tetapi pelajaran mereka
tidak pernah didasarkan atas Tripurusa. Kita harus tetap waspada terhadap semua
pelajaran kesusilaan dan menelitinya, apakah pelajaran itu berdasarkan
Tripurusa atau tidak. Dan kita harus selalu sadar bahwa Roh Suci ialah Jiwa
Manusia yang Sejati, merupakan bagian dari Tripurusa.”
“Paugeran Suksma Kawekas menunjukkan kepada kita asal-usul Roh Suci yang nyatanya
tinggi. Roh Suci adalah Jiwa Manusia yang Sejati. Jadi, tiap manusia pernah
menduduki derajat Roh Suci. Sebelum menjadi Roh Suci kita semua pernah menjadi
Suksma Sejati dan Suksma Kawekas. Itu memang asal-usul kita. Soalnya ialah
supaya kesadaran semula yang tinggi itu kita bangkitkan dan kita alami lagi.”
Dengan demikian kita menyadari dengan benar siapa sebenarnya diri kita ini,
berada di mana kita dahulu, pada saat ini, dan yang akan datang.
5. Kesaksian Nyata Roh Suci
Paugeran Tuhan kepada hamba juga
menjadi kesaksian yang nyata diakui kebenarannya oleh jiwa (Roh Suci) kita.
Ketika masih berada di Alam Sejati, Roh Suci hendak diturunkan ke dunia
(merasuk badan wadak empat anasir), perjanjian agung yang terwujud dalam
Paugeran Tuhan kepada hamba itu diungkapkan dalam bahasa kesadaran jiwa, bukan
dengan bahasa verbal yang kita kenal di dunia ini (seperti bahasa Jawa, bahasa
Indonesia, bahasa Inggris, bahasa Ibrani, bahasa Arab, dan bahasa-bahasa lain
di dunia). Setelah Roh Suci merasuk badan wadak empat anasir, lalu terlahir di
dunia, Paugeran Tuhan kepada hamba itu terlupakan, tidak diingatnya lagi, tidak
disadarinya lagi. Hal ini dikarenakan titik berat kesadarannya telah berubah,
dari titik berat kesadaran ke Alam Sejati berubah ke titik berat kesadaran ke
dunia.
Hidup Roh Suci dengan mengenakan badan wadak empat anasir di dunia, lalu
mengenal pelbagai masalah duniawi. Atas karunia Ilahi, pengenalan pelbagai
masalah duniawi itu disalurkan dengan menggunakan bahasa verbal, yakni bahasa
yang secara lisan dikuasai secara intuitif oleh penutur bahasa tersebut. Sebagian
besar manusia yang sibuk dengan persoalan duniawi, sehingga lupa akan Paugeran
itu, sebagian lagi kembali ingat dan kembali sadar akan Paugeran setelah
seseorang terpilih menerima pepadang dan tuntunan Tuhan Sejati melalui
perantara Utusan Tuhan yang Abadi membabarkan isi Paugeran Tuhan kepada hamba
dengan bahasa verbal, bukan dengan bahasa kesadaran jiwa lagi. Sebagaimana
dinyatakan dalam Sasangka Jati,
Tunggal Sabda, Bab Keadaan Sabda Abadi dan Terbabarnya: “Sabda Abadi itu juga
hanya satu, meskipun terbabarnya dalam kata-kata di dunia berbeda-beda,
maknanya tetap sama saja dengan Sabda yang dulu-dulu. Intinya hanya agar
selamat sampai di akhirat” (Sasangka Jati,
2006:72).
Meresapkan Paugeran Tuhan kepada hamba pada hakikatnya mengembalikan titik
kesadaran ke Alam Sejati, yakni titik kesadaran ketika Roh Suci hendak
diturunkan ke dunia mengemban perjanjian agung tersebut. Dengan meresapkan
Paugeran Tuhan kepada hamba itu sesungguhnya membangkitkan kesadaran semula
yang tinggi dan pernah kita alami ketika berada dalam kandungan Tripurusa. Sebagaimana
secara jelas dinyatakan dalam Sasangka
Jati, Tunggal Sabda, Bab Keadaan Sabda Abadi dan Terbabarnya: “Paugeran
yang demikian itu bagi jiwa (Roh Suci) sudah menjadi kesaksian yang nyata diakui kebenarannya. Hanya saja, setelah Roh
Suci memakai badan-badan halus dan kasar (memakai busana empat macam anasir)
terbabarnya dalam kehidupan di dunia lalu lupa akan Paugeran hidup yang pokok
tersebut. Maka, agar selamat perjalanannya sampai ke akhirat (dapat kembali ke
asal dan tujuan hidup yang sejati), perlu dibangunkan kembali kesadarannya
kepada siapa yang menjadi Sembahannya yang sejati, dengan diberi ajaran bab
tauhid, mulai tataran yang rendah hingga yang luhur, menurut tingkatan derajat
masing-masing.” (Sasangka Jati, 2006:68).
6. Cara Menyadarkan Kembali
Bagaimana cara untuk mengingatkan atau menyadarkan kembali saudara-saudara
kita yang lupa akan Paugeran Tuhan kepada hamba? Sang Guru Sejati dalam
sabdanya tersebut telah memberi petunjuk cara untuk membangunkan kesadaran
kembali saudara-saudara kita yang lupa akan Paugeran Tuhan kepada hamba, yaitu
menunjukkan Sesembahan yang sejati, dengan memberi ajaran bab tauhid
(Ketuhanan), mulai tataran yang rendah (syariat, pengertian dasar) hingga yang
luhur (makrifat), menurut tingkatan derajat masing-masing. Selain itu, Sang
Guru Sejati telah juga memberi petunjuknya dalam Sasangka Jati, Buku Panembah, Bab Paugeran Tuhan kepada Hamba,
yaitu “Sampaikanlah kepada
saudara-saudaramu, akan hal kesunyataan Sembahan yang sejati serta Utusannya
yang abadi, yang menuntun para hamba semua, yakni yang menjadi Gurunya yang
sejati. Ketahuilah olehmu, yang disebut Sembahan yang sejati itu Suksma
Kawekas, menurut Islam disebut Allah Taala, dan menurut Kristen disebut Sang
Bapa, itu sejati-jatinya Tuhanmu, dan juga Sembahanmu yang senyatanya, sebab
Suksma Kawekas adalah Suksma terluhur, yang mempunyai kekuasaan dan memegang
(menguasai) hidup. Adapun Utusan Tuhan yang abadi (yang tidak dapat mati)
adalah Aku, Suksma Sejati, yang menurut Islam disebut Nur Muhammad ialah
sejatinya Rasulullah, dan menurut Kristen disebut Kristus, yakni sejatinya yang
disebut Putra Allah. Tuhan dan Aku bertakhta di pusat hidup, yakni
sejati-jatinya yang menghidupi Roh Tuhan ialah Roh Suci, yang menjadi jiwa para
manusia semua yang menguasai dunia kecilnya masing-masing, yang Aku pakai
sebagai istana, juga istana Tuhan. Di dalam pusat hidup itulah ditemukan
bertunggalnya Tripurusa: Suksma Kawekas—Suksma Sejati—Roh Suci, ketiga-tiganya
itulah keadaan tunggal yang tidak terpisahkan, dan yang bertakhta sebagai hidup
abadi. Adapun hidup itu sejatinya juga Satu.” (Sasangka
Jati, 2006:105).
Dengan demikian jelaslah bagi kita atas petunjuk Sang Guru Sejati itu bahwa
untuk dapat mengingatkan, menyadarkan, atau membangunkan kembali
saudara-saudara kita yang lupa, melupakan atau koncatan pepadang akan Paugeran Tuhan kepada hamba itu adalah
menyampaikan, memberitahukan, atau menunjukkan jurusan (kiblat) Sembahan
sejati yang benar. Sudah barang tentu, diharapkan, orang yang menyampaikan
petunjuk benar akan Sembahan yang sejati ini harus sudah melaksanakan sendiri, wis nglakoni dhewe, dan sudah merasakan betapa
manfaat yang agung, luar biasa, dan kebenarannya nyata-nyata menuntun dalam
mencapai kesejahteraan, ketenteraman, dan kebahagiaan.
7. Kiblat Sembahan yang Benar
Ulasan Kang Kelana (1990:109—110) menyatakan:
“Paugeran Suksma Kawekas menuntun jurusan
yang benar bagi Sembahan kita, yakni ke dalam hati kita sendiri yang suci.
Di situ bertakhta Tripurusa, pusat Sembahan yang murni. Sekalipun Suksma
Kawekas dan Suksma Sejati terdapat di mana saja, tetapi Roh Suci hanya ada di
dalam kita sendiri. Kita harus menduduki derajat Roh Suci dahulu sebelum
meningkat ke derajat Suksma Sejati. Roh Suci dapat pula diumpamakan pintu gerbang
dari Alam Sejati ialah Pangkuan Suksma Kawekas.”
“Paugeran Suksma Kawekas mempelajarkan kepada kita bahwa yang menyembah dan
yang disembah berada dalam satu kenyataan, yakni Tripurusa”.
Coba perasakan bagian akhir dari Paugeran: “Semua kekuasaan ialah kekuasaan
Suksma Kawekas, ada pada Suksma Sejati, adapun hamba ada di dalam kekuasaan
Suksma Sejati.” Juga perasakan salah satu pujian Panembah Raga kepada Roh Suci
ketika sikap membungkuk (rukuk): “Duh, Suksma Sejati, hamba berada dalam
kekuasaan Paduka, adapun Paduka berada dalam kekuasaan Tuhan Sejati” (Sasangka Jati, 2006:199).
“Paugeran Suksma Kawekas membuka kemungkinan kepada Roh Suci untuk
meluluh-lenyapkan diri di dalam Suksma Sejati, atau dengan lain perkataan:
adanya kemungkinan untuk pamudaran atau panunggal. Kemungkinan ini tidak
terdapat bila kita memuja (menyembah) dewa-dewa, benda-benda, bintang, dan
lain-lain. Bila menyembah Suksma Kawekas melalui Suksma Sejati, manusia dapat
mencapai derajat Guru Sejati, tetapi bila memuja dewa-dewa, manusia tidak akan
dapat bersatu dengan dewa-dewa, sebab pada dasarnya struktur dan fungsi dari
dewa adalah berlainan sama sekali dengan manusia. Dewa tergolong makhluk lain
yang pada dasarnya berderajat lebih rendah daripada manusia”. Oleh karena itu,
perlu sekali disadari bahwa “Paugeran Suksma Kawekas menginsafkan kita akan
kedudukan manusia sebagai makhluk yang tertinggi dan terdekat kepada Suksma
Sejati dan Suksma Kawekas, lebih tinggi daripada dewa apa pun juga”. (Ulasan Kang Kelana (1990:109—110)
Dengan demikian jelaslah bahwa Paugeran Tuhan kepada hamba itu menempatkan
manusia sebagai makhluk sempurna dari ketiga makhluk yang lainnya, yaitu
binatang, tetumbuhan, dan dewata. Derajat dan martabat manusia yang lebih
tinggi daripada makhluk lainnya itu tentulah tidak sepantasnya apabila
menyembah benda-benda pusaka, azimat, arca, berhala, pohon besar, binatang
keramat, dan dewata mana saja. Apabila sampai terjadi hal yang demikian ini,
manusia akan jatuh terperosok ke derajat yang lebih hina dina, berada pada tataran
yang terendah, serendah-rendahnya dari makhluk lainnya tersebut. Hal ini jelas
bahwa manusia tidak dapat mensyukuri karunia Ilahi yang telah dilimpahkan
kepadanya. Untuk dapat mengembalikan derajat dan martabat manusia tersebut
haruslah kita dapat meresapkan dan menjalankan Paugeran Tuhan kepada hamba
dengan sungguh-sungguh dan benar.
8. Senjata yang Ampuh
Perlu disadari dengan benar bahwa Paugeran Tuhan kepada hamba itu bukan mantra,
bukan azimat, dan bukan guna-guna yang berisi daya kekuatan linuwih yang mampu menakhlukkan siapa
pun. Kesadaran ini berkaitan dengan sikap dan cara kita menjalankan Paugeran
dengan sungguh-sungguh dan benar. Ulasan
Kang Kelana (1990:110) menyatakan bahwa “Paugeran Suksma Kawekas merupakan
senjata yang ampuh untuk menolak dan
menjauhkan pengaruh dari siapa pun yang berniat jahat terhadap kita. Dengan
mendekat kepada Suksma Sejati kita masuk ke dalam lingkaran Kekuasaan dan Kasih
Sayang dari Sang Guru Sejati. Kekuasaan dan kasih sayang inilah yang pada
hakikatnya menolak dan menjauhkan semua sifat jahat yang ditujukan terhadap
kita.”
Pemahaman tentang “Paugeran Suksma Kawekas merupakan senjata yang ampuh
untuk menolak dan menjauhkan pengaruh dari siapa pun yang berniat jahat
terhadap kita”, bukan dipahami sebagai mantra, azimat, dan guna-guna yang
berisi daya kekuatan linuwih yang
mampu menakhlukan apa dan siapa pun yang menjadi sasaran kita. Berkaitan dengan
hal ini Sang Guru Sejati memberi petunjuknya dalam Sasangka Jati, Buku Panembah, Bab Paugeran Tuhan kepada Hamba,
yaitu “Paugeran tersebut menjadi daya kekuatan kepercayaan para hamba yang
telah diyakini oleh jiwanya ketika Roh Suci akan diturunkan ke dunia. Paugeran inilah, apabila sudah hidup di
dalam batinnya, dapat menjadi tali yang kukuh, yang dapat menghubungkan hamba
dengan Tuhan, dan dapat menjadi jalan mengalirnya daya kekuatan Tuhan, yang Aku
sampaikan ke pusat sanubarinya. Sekalipun Tuhan dan Aku juga sudah tunggal
keadaan dengan dirimu, apabila engkau masih diliputi kegelapan dunia, engkau
tidak dapat menerima aliran daya kekuatan suci yang berasal dari Tuhan itu,
sebab selalu tertutup oleh angan-anganmu yang tertuju ke keduniawian saja, maka
keterangan Paugeran tersebut di atas itu kegunaannya untuk menolong hatinya,
supaya sadar akan kebulatan tekad, yang telah menjadi kepercayaan jiwanya.
Ketahuilah olehmu, para hamba yang tidak memiliki tali penghubung yang kukuh,
yakni para hamba yang tidak percaya, mereka tidak dapat menerima sih Tuhan dan
anugerah-Nya. Oleh karena itu, berilah pengertian kepada saudara-saudaramu itu
akan makna Paugeran Tuhan, yang telah menjadi kesanggupannya, sebab Paugeran
tersebut mengandung maksud akan tiga macam kewajiban, yang disucikan dengan
lima macam kelakuan utama, sebagaimana telah Aku sabdakan dalam ajaran-Ku, yang
telah diperingati dalam buku Hasta Sila,
yaitu yang tersebut dalam bagian Tri Sila dan Panca Sila.” (Sasangka Jati, 2006:109).
Jadi, jelaslah bahwa yang membuat Paugeran itu dapat menjadi senjata yang
ampuh bagi kita, dapat menjadi senjata sakti yang melebihi dan unggul dari segala
macam senjata apa pun, dan dapat menghalau segala macam bencana atau musibah
yang mengarah kepada kita, karena
Paugeran itu sudah hidup di dalam batin kita. Janganlah berkeluh kesah,
mudah putus asa, dan berkecil hati ketika menjalani hidup kita selalu diliputi
banyak masalah, dirundung kemalangan, dan bertubi-tubi dihantam oleh musibah.
Segera bangkit dan usahakanlah agar Pauguran Tuhan kepada hamba itu dapat
menjadi hidup di dalam batin kita. Dengan hidupnya Paugeran itu di dalam batin
kita, maka akan mengalirlah sih anugerah Tuhan, akan menjadi tali pengubung
yang kukuh antara hamba dengan Tuhan, sehingga kita tidak mudah tergoyahkan
oleh silap maya pesona dunia.
9. Kunci Ketenteraman Abadi
Dalam buku Ulasan Kang Kelana
(1990:110) dinyatakan bahwa “Paugeran Suksma Kawekas bila dirasakan dengan
sungguh-sungguh adalah kunci untuk memasuki ketenteraman abadi, yang
lazimnya disebut surga. Suasana di dalam Tripurusa ialah suasana bebas dari
segala pergolakan dan pergantian, perubahan. Selama di dalam kandungan
Tripurusa tidak pernah ada rasa bimbang dan was-was, gembira-sedih,
gelap-terang. Yang mengalami berganti-ganti perasaan dan pikiran itu adalah
alat-alat badan jasmani, seperti angan-angan, perasaan, dan nafsu-nafsu. Di
dalam Tripurusa belum terdapat badan jasmani, maka Roh Suci itu bebas dari
segala pengalaman badan jasmani.”
Pengalaman badan jasmani yang dirundung suka duka, seperti menderita sakit,
hidup dalam kesengsaraan dan papa, berbagai musibah dan kemalangan beruntun
menimpa diri kita, serta hal-hal lain yang merasakan gembira-sedih, was
khawatir, dan gelap-terang itu hanya sebatas alat-alat badan jasmani, seperti
angan-angan, perasaan, dan nafsu-nafsu. Roh Suci kita sebenarnya tidak akan
terpengaruh oleh keadaan dan perubahan badan jasmani ini, karena Roh Suci
berada dalam kandungan Tripurusa. Hanya rasa dan perasaan kita yang tergoyahkan
oleh pelbagai pengalaman alat-alat badan jasmani. Oleh karena itu, apabila
berkehendak memperoleh kunci untuk memasuki ketenteraman abadi, kunci surga,
segeralah memperasakan sungguh-sungguh makna Paugeran Tuhan kepada hamba,
menghidupkan Paugeran di dalam batin kita.
10. Menyelamatkan Perjalanan Dunia Akhirat
Sudah mengerti akan tujuan makna Paugeran Tuhan kepada hamba dapat
menyelamatkan perjalanan kita dari dunia sampai ke akhirat, yakni dari pondok
dunia sampai di desa akhirat. Hal ini disabdakan oleh Sang Guru Sejati dalam Sasangka Jati, Tunggal Sabda, Bab
Keadaan Sabda Abadi dan Terbabarnya: “Apabila manusia sudah mengerti akan
tujuan makna syahadat, yang sejatinya mengajarkan tentang bertunggalnya
Tripurusa (Suksma Kawekas—Suksma Sejati—Roh Suci), sekalipun ia masih berada di
tataran bawah, juga sudah lebih selamat
lakunya dari pondok dunia ke desa akhirat, apabila benar-benar menaati perintah
dan menjauhi larangan Tuhan” (Sasangka
Jati, 2006:68).
Syarat memperoleh kunci surga, kunci ketenteraman abadi yang “sudah
mengerti akan tujuan makna syahadat” itu haruslah disertai dengan “benar-benar
menaati perintah dan menjauhi larangan Tuhan”. Dalam buku Ulasan Kang Kelana (1990:110) dietegaskan bahwa “Apabila Paugeran
Suksma Kawekas dijalankan dengan sadar, percaya, dan taat, akan menyelamatkan kita di dalam perjalanan di dunia dan di akhirat.
Dengan menyembah Suksma Sejati dalam jurusan yang benar, kita menghindarkan
diri dari segala godaan. Sang Suksma Sejati menebus dosa kita dan kita dapat
ikhlas meninggal dunia.”
Satuhu.