Tuesday, 31 December 2013

WASPADA TAHUN KUDA



WASPADA TAHUN KUDA

Waspada, tahun 2014 tahun kuda
Tahun petualang para pengembara
Tahun penentuan pemimpin bangsa
Ibarat bermain catur perlu peran kuda
Sebagai kendaraan politik menuju istana
Siapa Dia, pemimpin sejati bangsa kita
Penghela menuju kemasyhuran dunia



Demi kuda-kuda perang yang berlari kencang,
dengan napas terengah-engah siap menerjang,
memancarkan bunga api dengan hentakan berang,
berguling-guling dan lawan terus menerus diserang,
debu-debu dan pasir-pasir pun ikut terbang melayang,
kuda terus menyerbu ke tengah-tengah gelanggang,
pertempuran di gelangang siapa menjadi pemenang.
















Kuda-kuda perang simbol nafsu manusia
setiap saat, setiap waktu, dan setiap masa
nafsu-nafsu manusia harus dikendalikannya
jangan sampai kuda nafsu-nafsu merajalela
menjadi tamak, dengki, iri, loba, dan angkara
jika dibiarkan kuda-kuda nafsu sangat bahaya
perlu pengendalian kuda dengan bertapa brata
mengatur sedemikian rupa nafsu-nafsu manusia
sehinga dia mampu melaksanakan tugas mulia.





















Dalam diri manusia bersarang empat kuda
Lauwamah si kuda hitam penghela suka ria
dia memang berasal dari anasir dunia
di sekujur daging si kuda ini berada
dia menjadi dasar dari kekuatan raga.
Kuda Lauwamah berwatak suka-suka,
suka makan, minum, tidur, syahwat juga,
suka akan tamak, malas, iri hati, dan loba,
suka dengki, fitnah, munafik, dan angkara,
suka pongah, takabur, sombong, dan aniaya,
tapi bila Lauwamah dapat dikendalikannya,
Kuda Lauwamah itu dapat tahan menderita
dan kuat menanggung segala beban derita
tahan uji menghadapi apa saja malapetaka.


Kuda kuning berasal dari anasir tirta,
ada di sumsum, nafsu Sufiah namanya
kekuatan Sufiah dapat mendekatkan apa saja
segala apa pun yang diinginkan oleh manusia
dapat terwujud jika kuda Sufiah mau berkerja
sebab Sufiah berwatak ingin beraneka rupa
apa-apa yang terlintas di cipta ingin dipunya
akan tetapi apabila dapat dikendalikannya,
Kuda Sufiah itu dapat menjadi cita-cita mulia
kembali bertunggal dengan Tuhan di Surga.


Kuda merah berasal dari anasir dahana,
ada di darah, nafsu Amarah namanya
Amarah sebagai penggerak tindak kerja
dapat menggerakkan kemauan manusia
apabila Kuda Amarah kuat, kokoh, dan jaya
manusia berkemauan yang tak kunjung reda.
Amarah sewaktu-waktu dapat meledak tiba-tiba
apabila ada tutur kata yang meremehkan si dia
tersinggung, lalu Amarah meledak seketika juga.
Namun, apabila Amarah dapat dikendalikannya,
Amarah dapat menjadi sumber kekuatan kerja
yang tepat berdaya dan berhasil guna
serta tidak pernah mengenal putus asa.


Kuda putih berasal dari anasir suasana,
dia berada di dalam napas manusia,
nafsu Mutmainah namanya
kekuatan Mutmainah memang luar biasa
mampu menyusun kehidupan secara bersama-sama,
mendorong mencapai persatuan yang rukun sentosa,
rela berkorban, saling menghormati siapa saja,
dan juga kasih sayang terhadap sesama
serta bersatu kembali dengan Sang Pencipta
yang didorong itu semua Kuda Mutmainah juga.



Waspada, tahun 2014 tahun kuda
Tahun petualang para pengembara
Tahun berebut unggul jadi penguasa
Tahun politik bagi bangsa Indonesia
Tahun penentuan masa depan bangsa
Tentu memantapkan pilihan pada mereka
yang mampu mengendalikan kuda-kudanya:
bila kombinasi Lauwamah, Amarah, dan Sufiah
menonjol pada diri seseorang akan jadi serakah
kelak apabila menjadi pemimpin tidaklah berkah
melahirkan bencana, malapetaka, dan musibah.


Kombinasikan Mutmainah, Amarah, dan Sufiah
sungguh akan menjadi kekuatan yang amanah
teguh sentosa menopang hidup penuh berkah
melahirkan rasa aman, tenteram, penuh kasih,
sejahtera, bahagia, dan mulia sebagai kalifah
mengemban tugas hidup sepanjang sejarah.

Bekasi, 31 Desember 2013





Sunday, 15 December 2013

PERAN HORISON SEBAGAI MAJALAH SASTRA

Judul Buku               : Peran Horison Sebagai Majalah Sastra
Penulis                     : Puji Santosa dan Djamari
Penyunting Ahli       : Drs. Dhanu Priyo Prabowo, M.Hum.
Penerbit                   : Elmatera Publishing, Yogyakarta
Tahun                       : Oktober, 2013
Halaman                  : xii + 160
Ukuran Buku            : 14 x 21 Cm

Majalah sastra Horison kini (2013) telah mencapai usia 47 tahun atau lima kali lebih daripada hidupnya majalah Poedjangga Baroe yang hanya bertahan sembilan tahun. Sudah barang tentu majalah sastra Horison telah mampu melahirkan prestasi yang gemilang sepertinya lebih unggul daripada Poedjangga Baroe, Sastra, Kisah, dan sebagainya pada zamannya. Hal itu dapat kita telusuri dari para pengarang yang mengumumkan hasil karya sastranya melalui majalah sastra Horison, dari nomor pertama Juli 1966 hingga kini Juli (2013). Deretan nama pengarang yang mengumumkan karyanya (sajak, cerpen, karya drama, esai sastra, dan catatan kebudayaan) dalam majalah Horison tersebut, antara lain, Mochtar Lubis, H.B. Jassin, Taufiq Ismail, Zaini, Arief Budiman, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Abdul Hadi W.M., W.S. Rendra, Subagio Sastrowardojo, Sutardji Calzoum Bachri, Slamet Sukirnanto, Djajanto Supra, Umar Kayam, Danarto, Satyagraha Hoerip, Junus Mukri Adi, M. Fudoli, Gerson Poyk, Hamsad Rangkuti, Bur Rasuanto, B. Soelarto, Wiratmo Sukito, Arifin C. Noer, Boen S. Oemarjati, Ajip Rosidi, Ras Siregar, Trisno Sumardjo, Leon Agusta, Djamal D. Rahman, Agus R. Sarjono, Cecep Syamsul Hari, Hammid Jabbar, dan Budi Darma. Mereka itu adalah para pemikir, cendekiawan, budayawan, dan seniman yang andal dalam dunia sastra Indonesia. Nama mereka dapat mengangkat kedudukan, peran, dan fungsi majalah sastra Horison untuk selalu tampil prima hingga kini. Meskipun demikian, suka duka perjalanan majalah sastra Horison selama 47 tahun itu dapat diibaratkan sebagai orang yang berjalan menahan benturan dan goncangan, baik dari dalam maupun dari luar yang mencoba merongrong, menggusur, dan menggoncang kewibawaannya, bahkan mereformasi keberadaan majalah sastra Horison. Goncangan dan terpaan badai dan topan pun tidak kecil, bahkan hampir runtuh ketika terjadi pengalihan pengelolaan majalah Horison pada tahun 1993. Namun, itu semua dapat diatasi hanya berkat keuletan, kejelian, idealisme, dan kerja keras para pendiri dan pengelola majalah sastra Horison untuk memperjuangkan kehidupan kesusastraan di Indonesia. Untuk itu saya salut dan saya ucapkan bravo Horison, tetaplah optimis dan jaya sepanjang masa.
Mengingat betapa pentingnya peran media massa cetak, khususnya majalah dan surat kabar sebagai pengembangan karya sastra di Indonesia, maka penerbitan buku Peran Horison Sebagai Majalah Sastra yang ditulis oleh Puji Santosa dan Djamari ini kehadirannya menambah wawasan bagi perkembangan kritik sastra di Indonesia. Majalah Horison merupakan satu-satunya majalah sastra di Indonesia yang hingga kini (pada waktu naskah buku ini ditulis pada tahun 2013) masih tetap terbit sebagai majalah sastra. Sudah lebih 47 tahun Horison berperan mewarnai corak perkembangan karya dan kritik sastra di Indonesia. Penulis buku ini memilih ragam puisi atau sajak dengan empat sampel puisi sebagai contoh kajian kritik sastranya. Bentuk ragam sajak sebagai sampel dalam majalah Horison itu dipilih sebagai objek kajian karena selama ini belum ada para peneliti dan kritikus yang membicarakan sajak-sajak tersebut dalam kaitannya dengan kedudukan, peran, dan fungsi majalah sastra Horison sebagai pengembangan karya sastra di Indonesia yang dikaji dari tahun 1966--1970. Kalau ada hanya beberapa sajak yang sudah dimuat kembali dalam buku kumpulan sajak dari satu penyair tersendiri atau bunga rampai bersama-sama. Keterpisahan pembahasan sajak dari sebuah majalah sastra akan membuat kekacauan pemahaman pembaca dengan konteks zaman diterbitkannya majalah tersebut. Sajak-sajak yang dimuat dalam majalah tersebut tidak diketahui benang merah atau arah dari kebijakan pemuatan ragam sastra dalam suatu majalah. Oleh karena itu, penelitian ini penting artinya bagi keterpaduan pemahaman sajak dalam suatu majalah pada kurun waktu tertentu.

Atas dasar alasan di atas saya bangga menyunting buku ini, baik dari sisi teknis bahasa maupun isi kajian yang mendalam tentang betapa pentingnya peran Horison sebagai majalah sastra dalam pengembangan sastra di Indonesia. Hasil penelitian Saudara Puji Santosa dan Djamari ini mampu membuka cakrawala betapa beratnya dan penuh liku-liku dalam mengelola sebuah majalah tanpa didukung iklan. Berkat kegigihan dan semangat kerja keras pengelolanya, sebuah majalah sastra mampu bertahan hingga 47 tahun. Suatu prestasi yang luar biasa. Buku ini pantas dibaca khalayak masyarakat Indonesia yang terbuka wawasannya tentang kiat-kiat pengelolaan sebuah majalah sastra yang mampu bertahan hingga puluhan tahun.
Majalah sastra Horison dipilih sebagai objek penelitian ini didasarkan atas beberapa hal. Pertama, majalah sastra Horison merupakan majalah kebudayaan yang mengkhususkan diri memuat karya sastra, seperti puisi, cerita pendek, esai atau kritik, dan kadang-kadang karya drama. Kedua, Horison adalah satu-satunya majalah sastra atau kebudayaan yang mampu bertahan (sampai tahun 2013) selama lebih dari empat puluh tujuh tahun (terbit pertama kali Juli 1966). Ketiga, majalah Horison diasuh oleh para sastrawan, kritikus sastra, dan budayawan yang andal dari tahun ke tahun dengan perubahan generasi sastrawan yang andal pada zamannya, seperti Mochtar Lubis, H.B. Jassin, Taufiq Ismail, Arief Budiman, Sapardi Djoko Damono, dan Goenawan Mohammad hingga lebih dari dua dasawarsa. Keempat, majalah Horison telah melahirkan para penulis yang andal dan nama mereka tercatat sebagai pelaku dalam sejarah sastra Indonesia dari satu angkatan ke angkatan berikutnya, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi W.M., W.S. Rendra, Sapardi Djoko Damono, Putu Wijaya, Danarto, Taufiq Ismail, Subagio Sastrowardojo, Darmanto Jatman, dan Goenwan Mohamad. Kelima, banyak nama yang kemudian menjadi tenar (mengorbit sebagai sastrawan tersohor) setelah menulis pada majalah sastra Horison tersebut sehingga tetap terkenang sepanjang zaman. Dan keenam, karya sastra yang dimuat dalam majalah sastra Horison biasanya dijadikan tolok ukur, kriteria atau pembobotan nilai kesusastraannya daripada karya sastra yang dimuat oleh majalah hiburan atau majalah yang lainnya.
Berdasarkan alasan-alasan di atas itulah pentingnya penelitian ini guna dapat memperkenalkan khazanah kesusastraan Indonesia yang termuat dalam majalah sastra Horison (1966--1970) kepada khalayak luas. Dengan diperkenalkan karya-karya tersebut, masyarakat akan lebih memahami, mengerti, dan menghargai, serta mengapresiasi jerih payah para pemikir budaya bangsanya. Kandungan makna yang dalam pada sajak-sajak tersebut akan memberi arah kebijaksanaan tertentu kepada generasi penerus bangsanya. Penelitian ini juga penting dilakukan dikarenakan dapat dipakai sebagai bahan penulisan sejarah sastra Indonesia modern atau bagian dari lema Ensiklopedia Kesusastraan Indonesia tentang lema “HORISON”.
Akhirnya, selamat membaca dan mengapresiasi hasil penelitian sederhana ini. Tidak ada gading yang tidak retak. Apabila ada kekurangan, salah dan kilaf, mohon koreksian, kritik, dan saran perbaikan atas buku ini. Salam dan doa. 

STRUKTUR TEMATIK PUISI-PUISI MIMBAR INDONESIA


Judul Buku               : Struktur Tematik Puisi-Puisi Mimbar Indonesia
Penulis                     : Puji Santosa dan Djamari
Penyunting Ahli       : Drs. Dhanu Priyo Prabowo, M.Hum.
Penerbit                   : Elmatera Publishing, Yogyakarta
Tahun                       : Oktober, 2012
Halaman                  : xvi + 144
Ukuran Buku            : 14 x 21 Cm

Peran media massa cetak, terutama majalah dan surat kabar, sangat dibutuhkan dalam pengembangan karya sastra di Indonesia. Tanpa dibantu penerbitan media massa cetak seperti itu sastra Indonesia sudah lama mati. Sastra Indonesia tanpa peran kehadiran media massa cetak, surat kabar dan majalah, tentu sudah lama tidak dapat berkutik lagi alias mati. Terlebih, pada masa sulitnya perekonomian Indonesia (1950-an) yang mengakibatkan adanya krisis perekonomian, penerbitan buku-buku sastra hampir-hampir tidak ada sama sekali. Mahalnya kertas dan biaya operasional lainnya membuat tidak berdayanya penerbitan buku-buku sastra di Indonesia pada kurun 1950-an tersebut.
            Mengingat betapa pentingnya peran media massa cetak, khususnya majalah dan surat kabar sebagai pengembangan karya sastra di Indonesia, maka penerbitan buku Struktur Tematik Puisi-Puisi Mimbar Indonesia yang ditulis oleh Puji Santosa dan Djamari ini kehadirannya menambah wawasan bagi perkembangan kritik sastra di Indonesia. Majalah Mimbar Indonesia merupakan majalah mingguan politik yang terbit di Jakarta sejak tahun 1947, setelah Belanda melancarkan Agresi Militer I terhadap Republik Indonesia. Pendiri dan pengasuhnya adalah Prof. Dr. Soepomo, Soekardjo Wirjopranoto, dan Adinegoro dengan dibantu para redaktur, seperti Gusti Majur, Sumantri Mertodipuro, Sugardo, Sutarto Ruslanputro, H.B. Jassin, dan Darsjaf Rachman. Redaktur sastra dipercayakan kepada H.B. Jassin sehingga majalah tersebut ikut serta andil menyebarkan karya sastra di Indonesia.
Mimbar Indonesia dan majalah Siasat, penerbit sejenis yang terlebih dulu beredar awal tahun 1947, sama-sama merupakan pendukung republik di daerah pendudukan militer Belanda. Pada masa aksi militer Belanda yang pertama, Mimbar Indonesia pemah dilarang terbit setelah memuat foto tempat yang disebut "gerbong maut Banyuwangi" karena tentara Indonesia yang dimuat di dalamnya diperlihatkan sebagai tawanan yang dibiarkan menderita. Penutupan majalah ini terjadi lagi ketika Belanda melakukan aksi militer kedua pada bulan Desember 1948, akibat tulisan Adinegoro yang mengecam agresi tersebut dan menyerukan kepada masyarakat agar tidak bekerja sarna dengan Belanda, bahkan melakukan perlawanan terhadap mereka. Adinegoro menjadi penanggung jawab redaksi majalah ini sejak awal November 1948, tetapi meninggalkannya dua tahun kemudian untuk pergi ke Belanda. Majalah Mimbar Indonesia ini berhenti terbit pada tahun 1967 karena secara komersial tidak lagi menguntungkan.

Penulis buku ini memilih ragam puisi atau sajak dengan 16 sampel puisi sebagai contoh kajian kritik sastranya dari segi struktur dan tema. Bentuk ragam sajak sebagai sampel dalam majalah Mimbar Indonesia itu dipilih sebagai objek kajian karena selama ini belum ada para peneliti dan kritikus yang membicarakannya sajak-sajak yang termuat dalam majalah Mimbar Indonesia tersebut dalam kaitannya dengan kedudukan, peran, dan fungsi majalah Mimbar Indonesia sebagai pengembangan karya sastra di Indonesia yang dikaji dari tahun 1950--1954. Kalau ada hanya beberapa sajak yang sudah dimuat kembali dalam buku kumpulan sajak dari satu penyair tersendiri atau bunga rampai bersama-sama. Keterpisahan pembahasan sajak dari sebuah majalah sastra akan membuat kekacauan pemahaman pembaca dengan konteks zaman diterbitkannya majalah tersebut. Sajak-sajak yang dimuat dalam majalah tersebut tidak diketahui benang merah atau arah dari kebijakan pemuatan ragam sastra dalam suatu majalah. Oleh karena itu, penelitian ini penting artinya bagi keterpaduan pemahaman sajak dalam suatu majalah pada kurun waktu tertentu.
Majalah-majalah yang terbit pada tahun 1950-an memiliki andil yang nyata dalam penyebarluasan karya sastra di Indonesia. Andil yang nyata itu dapat sebagai tumpuan harapan para pengarang dari mulai belajar dan mengembangkan bakat atau kreativitasnya di bidang tulis-menulis sampai yang sudah mahir dan mapan. Apalagi pada awal tahun 1950 kedaulatan negara kita baru sepenuhnya diakui dunia melalui perundingan KMB (Konferensi Meja Bundar) yang masih terasa tertatih-tatih perjalanannya. Dengan demikian, situasi dan kondisi negara kita penuh dengan ketidakstabilan politik, ekonomi, dan keamanan. Kondisi dan situasi yang serba sulit dan tidak menentu itu mengakibatkan adanya kriris kepercayaan kepada pemerintah dan penerbitan buku. Hal ini secara nyata ditandai dengan tidak adanya terbitan buku kumpulan sajak atau novel yang berkualitas sastra pada tahun 1950-an tersebut. Apalagi penerbit Balai Pustaka yang sejak awal tahun dua puluhan menjadi tumpuan harapan para penulis sastra Indonesia, seputar awal tahun 1950-an itu Balai Pustaka menghentikan upaya penerbitannya. Hal ini disebabkan oleh pergantian kekuasaan dan pengelolaan lembaga penerbitan tersebut, yakni dari pemerintah Hindia Belanda ke pemerintah Republik Indonesia. Pergantian itu kurang lancar karena adanya berbagai masalah yang dihadapi pemerintah kita yang baru merdeka, bebas dari penjajahan asing.
Berdasarkan keadaan krisis seperti itulah muncul berbagai majalah berita dan kebudayaan menjadi ajang kreativitas para penulis sastra Indonesia. Tidak dapat dipungkiri lagi hadirnya majalah-majalah seperti Siasat, Mimbar Indonesia, Indonesia, Zaman Baru, Pantjaraya, Pantjawarna, Basis, Kisah, Waktu, Kontjo, Tjerita, dan Roman sangat berperan dan turut serta memajukan perkembangan kesusastraan Indonesia modern. Oleh karena itu, penulisan buku Struktur Tematik Puisi-Puisi Mimbar Indonesia yang merupakan hasill penelitian sastra yang ditulis oleh Puji Santosa dan Djamari pantas kita beri apresiasi dan kita sambut dengan gembira.
Buku hasil penelitian ini mengungkapkan masalah kedudukan, peran, dan fungsi majalah Mimbar Indonesia (1947—1967) sebagai media pengembangan sastra di Indonesia. Sebagai majalah mingguan umum Mimbar Indonesia mampu bertahan selama dua puluhan tahun, terbit pertama kali sejak 1947 pada zaman agresi Belanda, dan bubar memasuki masa Orde Baru (1967) dengan redaktur sastranya H.B. Jassin. Selama 20 tahun Mimbar Indonesia telah ikut andil melahirkan dan mengorbitkan para sastrawan andal di bidangnya. Hal ini membuktikan kemampuan luar biasa pengelolanya, dan ikut juga menjadi barometer perkembangan sastra di Indonesia pada era tahun 1950-an. Buku ini dilengkapi contoh analisis struktur dan tema 16 puisi terpilih yang pernah dimuat majalah Mimbar Indonesia (1950—1954) tersebut, yaitu puisi karya Mahatmanto, S. Wakidjan, Siti Nuraini, M. Hussyn, S. Samiati A., Kasim Mansur, Maseri Matali, Hariyadi S. Hartowardoyo, Chairil Anwar, Murya Artha, M.I. Usin, Sugiarto Sriwibowo, Achmad Nur, Slametmuljana, Dodong Djiwapradja, dan Trisno Sumardjo. Buku ini juga mampu membuka cakrawala betapa berat dan penuh liku-liku mengelola sebuah majalah umum yang ikut juga mengembangkan karya sastra di Indonesia. Berkat kegigihan dan semangat kerja keras pengelolanya, sebuah majalah umum yang juga mengembangkan karya sastra mampu bertahan hingga 20 tahun.
Semoga penerbitan buku ini dapat menambah khazanah publikasi hasil penelitian kritik sastra di Indonesia. Penerbit Elmatera Publishing dengan bangga menyajikan penerbitan buku ini sebagai sumbangsih kami kepada masyarakat dan bangsa Indonesia. Selamat membaca dan mengapresiasi sajian penerbitan kami ini.

Monday, 9 December 2013

CANDI MUARO JAMBI


CANDI MUARO JAMBI

Ribuan tahun telah ditandai
Ribuan batu-bata menjadi candi
Geliat mengular sungai batanghari
Membelah anggun negeri Jambi
Sambil merenung instropeksi diri
Menikmati limpahan anugerah Ilahi

Tiada stupa Candi Muaro Jambi
Tiada batu kali yang menghiasi
Tiada relief terukir di dinding candi
Hanya batu-bata merah terabrasi
Semakin lama semakin pucat pasi
Lapuk, termakan usia setiap hari


Kiri kanan candi pepohonan merimbun
Udara segar jadi badan makin tambun
Keliling candi bersama berduyun-duyun
Terik matahari menyertai tanpa ampun
Pedal sepeda tetap harus diayun-ayun
Es kelapa muda jadi santapan si culun


Candi Muaro Jambi riwayatmu kini
Kau sekadar menjadi objek arkeologi
Meski ada di tepi Sungai Batanghari
Di sana sini puluhan candi menghiasi
Pusat budaya dunia bukan lagi di sini
Walauhualam bisawab nasibmu nanti


Angso Duo, Jambi, 5 Desember 2013


Monday, 2 December 2013

MARI....


MARI....

Segulung ombak mulai menerjang
Kapal nelayan terempas melayang
Kenapa bencana mesti selalu datang
Mari tingkatkan semangat berjuang

Sebungkah angin topan menghempas
Meluluhlantakkan tanah tanpa belas
Raung jeritan anak manusia memelas
Mari kita selesaikan agar semua puas

Setumpuk sampah mulai gelisah
Tersengat bau busuk merebak resah
Kenapa hidup harus berkeluh kesah
Marilah kita berserah kepada Allah

Segumpal awan mulai berarakan
Sebentar pertanda hari akan hujan
Kenapa hidup tidak ada kepastian
Mari kita berserah kepada Tuhan

Sepanjang zaman selalu ada bencana
Pertanda hidup di dunia penuh dinamika
Tiada menyesal seusai terusir dari Surga
Mari berusaha agar kembali kepada-Nya

Sabar, jujur, tawakal narima, dan rela
Menjadi perantara watak berbudi mulia
Disertai selalu sadar bakti iman dan takwa
Akan menjadi bekal jalan kembali ke Surga.
.

Bekasi, 1 Desember 2013

Pertemuan 15 Teori Sastra Tempatan