Thursday, 30 December 2010

Doa dan Harapan Akhir Tahun


DOA DAN HARAPAN AKHIR TAHUN

Saya berharap teman-teman semua sehat dan kuat
Sehingga setiap hari dapat merasakan hidup nikmat
Bahkan nyaman, tentram, sejahtera, bahagia, dan selamat

Saya berharap teman-teman semua penuh rasa cinta kepada sesama
Kasih sayang dan penuh kedamaian di dalam hati kita semua
Bersama-sama membangun peradaban dunia yang bahagia dan sejahtera

Saya berharap keindahan alam yang penuh daya pesona maya dunia
Dapat kita nikmati dan rasakan sebagai karunia Allah Ta’ala
Agar kita senantiasa bersyukur untuk meningkatkan iman dan takwa

Saya berharap kebijaksanaan memilih sebagai prioritas utama
Untuk hal-hal yang benar-benar penting dalam hidup kita
Cahaya kebijaksanaan Tuhan senantiasa memancar ke seluruh dunia
 
Saya berharap kedermawanan teman-teman dapat membabarkan kasih
Bersama-sama mengentaskan penderitaan agar bencana segera menyisih
Semua hal baik, benar, mulia, dan luhur yang datang ke kita sungguh indah

Saya berharap sungguh: kesejahteraan, kententraman, dan kebahagiaan
Senantiasa dapat meliputi teman-teman sekalian di mana dan kapan pun
Oleh karena semata kasih, lindungan, tuntunan, dan pencerahan Tuhan

SELAMAT TAHUN BARU TEMAN!
Semoga Anda dan keluarga penuh kedamaian,
kesejahteraan, ketentraman, dan kebahagiaan.

Bekasi, 30 Desember 2010

Tuesday, 28 December 2010

Monolog Interior Cerpen-Cerpen Sandi Firly

Monolog Interior dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai ekacakap dalaman, yakni percakapan panjang yang diucapkan oleh seorang tokoh dalam sebuah karya sastra, baik yang ditujukan kepada diri sendiri maupun kepada pembacanya. Biasanya dalam gaya monolog interior ini tokoh aku suka membayangkan peristiwa-peristiwa yang pernah dialaminya, yang sedang dialami, dan yang akan dialaminya. Dalam cerpen-cerpen karya Sandi Firly, penulis yang berasal dari Kuala Pembuang, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, anak bangsa negeri ini, banyak berbicara tentang tokoh aku yang suka melamun, berbicara sendiri dalam mengingat masa silam, yang sedang dialami, dan yang akan dialaminya sehingga kadang terkesan omong kosong atau lamunan belaka yang tak tentu rimbanya. Akan tetapi, nilai dalam buku kumpulan cerpennya ini bukan pada keomongkosongan atau lamunan yang tak berarti. Apa yang diungkapkan oleh Sandi Firly semuanya berbicara tentang kehidupan, ya sekali lagi berbicara tentang kehidupan.
            Tujuh cerita pendek Sandi Firly dalam buku kumpulan cerpen bersama Harie Insani Putra, Perempuan yang Memburu Hujan, yaitu (1) “Bulan Belah Semangka”, (2) “Perempuan yang Memburu Hujan”, (3) “Jerit Ranjang di Kamar Nomor 9”, (4) “Kematian yang Terlalu Pagi”, (5) “Menunggu HP Berderit”, (6) “Senja Kuning Sungai Martapura”, dan (7) “Tubuh dan Kepala Mencari Rupa”, lebih banyak menggunakan teknik sudut pandang akuan terlibat. Artinya, tokoh aku dapat berperan ikut terlibat di dalam cerita yang disajikan. Pencerita ada di dalam kisah itu, bukan sebagai pengamat melainkan yang terlibat langsung dalam cerita tersebut.
            Cerita “Bulan Belah Semangka” berkisah tentang kota yang tidak pernah ada bulan sabit dan bulan purnamanya. Yang ada hanya bulan belah semangka. Bulan sabit melambangkan awal dari segala sesuatu, sementara bulan purnama melambangkan akhir dari sebuah perjalanan yang penuh kebahagian atau kesempurnaan total. Bulan sendiri melambangkan penerangan atau pencerahan. Jadi, cerita ini berkisah tentang renungan hidup tentang tiada diketahuinya awal kehidupan dan akhir kehidupan. Sementara, yang dapat kita ketahui dengan kasat mata adalah kehidupan yang sedang kita jalani ini saja.
            ”Perempuan yang Memburu Hujan” yang menjadi master beberapa cerpen di dalamnya berkisah tentang seseorang berjenis kelamin perempuan yang misterius, sukanya berhujan-hujan, bahkan karena terobsesinya akan hujan maka ia memburu hujan hingga lenyap atau lebur di dalamnya. Perempuan itu melebur menjadi satu dengan hujan hingga mencapai kesempurnaan total. Hidup ini terasa absurd. Kadang tanpa kita sadari bahwa perbuatan gila seperti itu muncul begitu saja dalam perilaku hidup manusia di dunia ini, aneh, absurd, dan bagi orang lain dianggapnya tidak sehat padahal itu adalah keniscayaan.
            Kita dihibur oleh Sandi dengan lelucon yang agak satir, yaitu dalam cerpennya ”Jerit Ranjang di Kamar Nomor 9”. Tokoh aku yang sedang mengadakan perjalanan ke daerah, ia singgah untuk menginap di sebuah losmen atau hotel kecil di kamar 10. Di kamar sebelah tempat tokoh aku menginap, yakni kamar nomor 9, dihuni oleh sepasang insan yang sedang memadu kasih. Cara sepasang kekasih dalam memadu cinta itu cukup aneh, terdengar sampai di luar ranjangnya berbunyi kreot-kreot. Sesuatu kadang membuat kita geli dengan lelucon seperti ini. Si tokoh Aku tidak tahan mendengar bunyi ranjang yang terus-menerus menjerit itu, dibukanya pintu nomor 9 yang tanpa dikunci, ternyata penghuninya hanya seorang wanita gemuk. Si lelaki yang menemaninya tidak dikelihatan, entah di mana. Lima hari kemudian setelah kembali dari daerah, tokoh aku kembali ke hotel yang sama. Ia terkejut dengan adanya garis polisi di kamar nomor 9, ternyata lima hari yang lalu di tempat itu terjadi pembunuhan. Tokoh aku pun dicurigai sebagai pembunuhnya.
            Kematian itu tidak menunggu umur. Ibarat buah kelapa, ada yang masih berwujud manggar (bunga) dapat terjadi keguguran. Demikian halnya yang terjadi pada diri manusia, ada yang masih bayi dalam kandungan, baru lahir, anak-anak, remaja, dewasa, hingga tua renta sekalipun dapat sewaktu-waktu meninggal dunia. Demikian salah satu isi pesan dalam cerpen ”Kematian yang Terlalu Pagi”. Tokoh aku yang sedang bercinta dengan kekasihnya, Samira, merasa kehilangan besar atas kematian kekasihnya itu. Ia merasa begitu cepat sang maut menjemput kekasihnya itu.
             Sekarang orang demam HP, telepon genggam produk luar negeri sebagai media komunikasi. Cerpen ”Menunggu HP Berderit” berkisah tentang tokoh aku yang gelisah menunggu HP-nya berderit, menunggu datangnya SMS atau panggilan. Ada sesuatu yang ditunggu. Karena tidak sabar, tokoh aku langsung membuang HP-nya ke dalam akuarium. Setelah HP itu di dalam akuarium, baru terdengar dering bel masuk. Apalacur sudah terlanjur, ibarat nasi telah menjadi bubur, mau diapakan lagi kalau sudah tercebur?
            Mitos tentang ”Senja Kuning Sungai Martapura” menggambarkan adanya kepercayaan masyarakat tentang hadirnya marabahaya yang ditandai oleh hadirnya semburat warna kuning di senja hari, yakni di seputar Sungai Martapura. Tanda alam seperti itu menurut kebiasaan masyarakat setempat akan terjadi kecelakaan, tragedi, dan kematian di sungai Martapura. Memang akhirnya menjadi kenyataan bahwa sungai Martapura memakan korban orang meninggal di sana.
            Cerita pendek terakhir yang mengambil latar di Kalimantan Tengah beberapa tahun yang lalu, yakni  cerpen ”Tubuh dan Kepala Mencari Rupa”. Sandi mengingatkan kepada kita betapa sedih dan dukanya apabila tubuh dan kepala tidak menjadi satu. Tubuh tanpa kepala akan menjadi robot, kepala tanpa tubuh akan menjadi hantu. Akibat peperangan, kerusahan, nilai kemanusiaan hilang begitu saja. Padahal kita semua adalah bangsa yang bermartabat, beradab, dan bermoral menjunjung nilai kemanusiaan.
            Apabila ketujuh cerpen karya Sandi Firly ini disatukan, akan menjadi sebuah monolog interior yang panjang tentang kehidupan. Tiap-tiap cerpen merupakan satu episode kehidupan, satu tarikan napas panjang yang mengungkap sisi kehidupan manusia dari sudut pandang seorang humanis. Sandi telah membuat dunia ini menjadi puitis dengan cerpen-cerpen bergaya monolog interiornya. Dengan keputisannya itu Sandi telah membuat setitik pencerahan, sepercik penerangan jiwa, dan telah terbangunnya kembali nilai-nilai kemanusiaan untuk menuju ke tengah peradaban maju yang lebih bermartabat dan beradab.

                                                                                                Palangkaraya, 7 Mei 2008

Sunday, 12 December 2010

Banyak Sinkron (Singkatan/Akronim) Dapat Pulas (Pusing lama sekali)

       Akhir-akhir ini, dalam bahasa kita banyak sekali bermunculan kata-kata singkatan dan akronim yang bagi kebanyakan orang betul-betul merupakan hal yang memusingkan kepala secara serius. Ada yang menguatirkan: jikalau hal ini dibiarkan saja tumbuh bak jamur di musim penghujan, pada akhirnya bahasa Indonesia sebagian besar kata-katanya akan terdiri atas singkatan dan akronim saja. Atas menjamurnya singkatan dan akronim itu ada yang menganggap “latahnya” orang-orang sekarang menciptakan kata singkatan dan akronim merupakan gejala penyakit schizophrenia (gangguan jiwa). Ada pula yang berpendapat bahwa gemarnya orang membuat kata singkatan dan akronim itu hanya karena kemalasan. Akan tetapi, ada juga yang membela mengatakan bahwa hal itu adalah untuk efisiensi pelancaran komunikasi, tampak kreativitasnya, dan ada perkembangan bahasa, tidak stagnasi (berjalan di tempat). Pendapat terakhir itu memang ada benarnya. Hanya yang menjadi soal adalah kenyataannya yang terjadi dalam masyarakat. Dalam banyak hal komunikasi seperti itu malahan menjadi macet. Hal inilah yang dirasakan masyarakat sekarang dengan bermunculannya singkatan dan akronim itu.

          Dari hari ke hari, bulan ke bulan, bahkan tahun ke tahun, terlihat bahwa produksi kata-kata singkatan dan akronim tidak pernah mundur. Selalu muncul yang baru-baru, yang “aneh-aneh”, musykil, hebat, sedap didengar, mampu membuat kening berkerut, bibir melengkung ke atas ke bawah, dan sebagaianya dan sebagainya. Terlebih itu ditulis di surat kabar, sms, fb, dan spandul-spanduk yang dipampang di jalan-jalan raya.

          Sebagaimana diketahui kata singkatan dan akronim terdapat tidak hanya dalam bahasa Indonesia, tetapi juga dalam bahasa asing. Contoh yang mudah dalam bahasa Inggris adalah kata radar yang merupakan singkatan dari radio detection and ranging, berarti suatu alat dengan gelombang radio yang dapat menempuh jarak, letaknya jurusan atau sesuatu objek seperti kapal, pesawat terbang atau yang lainnya. Kata ini telah menjadi istilah dalam lapangan teknologi dan sudah termasuk dalam kamus bahasa Inggris.

          Dalam bahasa daerah pun terdapat pula singkatan. Nama makanan misro dan combroamis di jero dan oncom di jero) dalam bahasa Sunda sudah tidak dirasakan lagi sebagai kata singkatan atau akronim. (

          Apabila kita perhatikan secara saksama, ternyata ada berbagai cara yang dipakai seseorang dalam menyingkat kata-kata, antara lain:

1. Huruf-huruf awal kata-kata yang disingkat dideretkan, misalnya:
DPR (Dewan Perwakilan Rakyat)
DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah)
PSSI (Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia)
     Cara ini tampak sederhana karena ada polannya yang jelas.

2. Suku-suku kata pertama setiap kata yang disingkat digabungkan, misalnya:
Parindra (Partai Indonesia Raya)
Pramuka (Praja Muda Karana)
Hanura (Hati Nurani Rakyat)
Golkar (Golongan Karya)
     Cara ini juga jelas aturannya.

3. Campuran cara pertama dan kedua, contohnya:
Parmusi (Partai Muslimin Indonesia)
Batara (Bank Tabungan Negara; atau Barito Utara)
Dipmu (Direktorat Pendidikan Menengah Umum)

4. Sama dengan cara-cara 2 tetapi salah satu suku kata diambil kurang lengkap atau kadang-kadang juga menyeret huruf pertama suku selanjutnya, contoh:
Pelita (Pembangunan Lima Tahun)
Dirjen (Direktur Jendral)
     Kenapa bukan Pemlita? Karena kurang sedap terdengar, sedangkan pada Pelita ada unsur “enak bunyinya” (eophony). Dapat pula dihubungkan dengan kata pelita sendiri (bukan singkatan) yang berarti lampu. Jadi, Pelita adalah lampu pembangunan (asal jangan kelap-kelip saja cahayanya).

5. Yang diambil bukan suku-suku kata yang pertama saja tetapi campuran, jadi bisa suku-suku pertama, kedua dan sebagainya dari tiap-tiap kata yang akan disingkat, seperti:
Batara (Barito Utara)
Batara (Bank Tabungan Negara)
     Ini terjadi dari suku kedua kata pertama dan suku kedua kata kedua.
Dalam contoh :
Danmen (Komandan Resimen)
Danton (Komandan Pleton)
     Suku ketiga kata pertama digabung dengan suku ketiga kata kedua.
     Kalau kita perhatikan pemilihan suku yang hendak dijadikan kata singkatan kita lihat dasarnya adalah suku-suku kata yamg mendapat tekanan dalam pengucapannya.

6. Suku-suku kata tak lengkap banyak pula dipakai, umpamanya: Hankam (Pertahanan Keamanan)
     Perhatikanlah penyingkatan yang “luar biasa” ini: Kata pertama diambil dari suku ketiganya dan kata kedua diambil huruf pertamanya k (jadi tak lengkap) dan suku keduanya a tetapi dengan menyerert m dari suku selanjutnya. Kenapa tidak hankeam atau hanam? Ya, karena tak sedap bunyinya.

7. Kemudian adalah cara gado-gado: PudekMinku (Pembantu Dekan bidang Administrasi dan Keuangan) Todsada Laksus Komkamtibda (Tim Oditur/Jaksa Daerah Pelaksana Khusus Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Daerah ).
     Mau tahu patokannya? Silakan pembaca sendri menentukannya.

    Deskripsi di atas tentulah belum mencakup semua cara dalam pembentukan kata singkatan yang kita temukan. Dapat ditambah atau diperinci lagi. Yang jelas dari cara-cara di atas bahwa pada dasarnya ada dua jenis cara penyingkatan itu, yaitu cara yang ada aturannya dan yang tidak ada aturannya atau semaunya.

    Yang ada aturannya ialah singkatan yang memperhatikan huruf-huruf seperti MPRS, jadi bersifat otografis dan yang memperhatikan dasar pengucapannya, bersifat fonis seperti Pelita. Hal ini pernah dikemukakan oleh Soewondo, M.A. dalam simposium ejaan di Makasar tahun 1969. Pembicara ini malah berpendapat bahwa pembentukan kata singkatan sebaiknya secara fonis karena lebih ekonomis dan representatrif daripada singktan ortografis.

    Cara ini dijelaskan dengan contoh kata PGRI yang dalam tulisan mungkin lebih ekonomis daripada Peguri (kalau ditulis tanpa titik), tetapi dalam ucapan PGRI adalah pe-ge-er-i  yang terdiri atas 4 suku kata, sedangkan Peguri hanya 3 suku kata. Di sini suku kata-kata kedua gu malah merupakan bunyi pertama atau suku pertama kata guru. Dengan demikian lebih menunjukkan asalnya. Bukankah orang mengatakan guru, tidak geru ? Di samping itu memang ada pula terlihat ada kecenderungan bahwa kata singkatan ortografis diucapkan secara fonis seperti KAMI tidak diucapkan  ka-a-em-i, melainkan kami. Dapat kita tambahkan contohnya; mahasiswa-mahasiwa di Jakarta (mungkin juga ditempat lain) lebih suka menyebut pe-em-kri dari pada pe-em-ka-er-i untuk PMKRI. Untuk hal ini selanjutnya prasaran Soewondo di atas dalam buku Simposium Ejaan Baru Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Fakultas Sastra Universitas Hassanudin Makassar, 1969 hal. 45—49 (stensilan).

     Untuk penyingkatan kata secara fonis ini pada dasarnya beralasan juga.Tetapi yang penting dipikirkan pula ialah bagaimana halnya kata-kata singkatan yang sudah terlanjur dipakai secara luas. Perlukah diganti? Tidakkah penggantian dengan yang baru akan menimbulkan “kekacauan baru” pula? Menurut penulis biarkanlah dua cara itu (ortogarfis dan fonis) dipakai sejalan saja. Yang penting bagi penulis ialah yang kedua yaitu cara penyingkatan yang tidak ada aturannya sama sekali. Secara luas jenis ini telah “membanjiri” perbendaharaan kata sehari-hari. Langkah pertama untuk mengatasinya adalah kita harus menekan produksinya. Kita sarankan kepada masyarakt luas agar pembentukan kata-kata singkatan itu hendaknya dikurangi. Batasi pada hal-hal yang sangat perlu saja dan dalam bidang tertentu saja (bidang militer umpamanya demi security atau sandi). Instansi atau perorangan yang betul-betul memerlukan berhubunganlah dengan ahli-ahli bahasa. Jangan asal bikin saja sesuai dengan arus “kelatahan” dewasa ini. Dan buatlah daftarnya serta umumkan sekurang-kurangnya dalam instansi atau departemen yang bersangkutan. Bukanlah rahasia lagi sekarang bahwa banyak sekali pegawai-pegawai dalam suatu instansi yang tidak mengenal maksud singkatan-singkatan hasil-hasil produksi instansi yang bersangkuatan itu sendiri. Untuk publikasi umpamanya sertakanlah kepanjangan kata-kata singkatan itu terutama untuk kata-kata yang baru muncul. Dengan demikian barangkali kesukaran pembaca dapat dikurangi.

     Ada pula yang berpendapat (barangkali karena sudah terlalu jengkel), biarkan sajalah kata-kata singkatan itu membanjiri negeri ini, toh nanti akan lenyap sendiri kecuali yang benar-benar diperlukan. Memang benar pula bahwa banyak kata-kata singkatan itu umurnya tidak lama. Ia lenyap bersama lewatnya situasi yang menumbuhkannya (walaupun pada suatu waktu mungkin akan muncul kembali). Kata singkatan kabir (kapitalis birokrat) kontrevtavip (tahun vivere pericoloso), dan sejumlah lainnya dewasa ini tak muncul lagi. Instansi-instansi yang sering mengalami perubahan struktur organisasi dengan sendirirnya terpaksa “mengubur” kata-kata singkatan yang berhubungan dengan struktur organisasi tersebut yang tidak “berperan” lagi dan sekaligus tentunya diciptakan pula yang baru, yang pada gilirannya ikut pula menambah kepusingan pembaca atau pendengarnya. (kontra revolusi),

     Oleh sebab itu sekali lagi penulis ulangi agar kita betul-betul dapat membatasi diri dalam menciptkan kata-kata singkatan. Entah kalau kita memang berkeinginan untuk ikut ‘melariskan obat sakit kepala’ maka bolehlah kita menulis seperti berikut “Sus Gati Bun Sos angkatan I ditutup di Pusdik Susad Bandung oleh Danjen Kopangdiklat Mayjen P. Sobiran”. (Antara, 13 Mei 1971, melalui Kompas). Atau: Raker Diprasarlub dihadiri oleh Kabin-KabinBinkab-Binkab, Kadin-Kadin dan juga Kadit-Kadit lainnya seperti dari Dipmu, DitkesDitjora.” dan serta wakil dari

(Disampaikan dalam diskusi FBMM di Kalteng Pos, Palangkaraya, 16 Februari 2008)

Saturday, 11 December 2010

Indentitas Keindonesiaan dalam Sastra Indonesia

/1/
            Di dalam khazanah sastra Indonesia modern kita mengenal suatu persoalan kemajemukan budaya bangsa sebagai akibat dari keragaman etnis. Menghadapi persoalan kemajemukan budaya bangsa ini kita harus berpandangan luas, tidak sempit, dan tidak primodial. Kita anggap bahwa keragaman etnis dapat menghadirkan temu budaya dan temu etnis yang terwadahi dalam sastra Indonesia modern. Martabat dan harga diri bangsa sebagai identitas keindonesia yang tertuang dalam nilai-nilai budaya etnis tersebut jelas dapat diapresiasi melalui karya sastra Indonesia modern. Sebab, di dalam kemajemukan budaya itulah mitologi yang dimiliki oleh suatu kelompok etnis tertentu menjadi perantara yang dapat menghubungkan "Indonesia" dengan realitas budaya yang majemuk tersebut. Indonesia itu sendiri baru dianggap sebagai abstraksi dari keinginan untuk bersatu dari berbagai kelompok etnis di seluruh wilayah Nusantara.

Pandangan Umar Kayam yang tertuang dalam bukunya Seni, Tradisi, Masyarakat (1981) bahwa ada jadwal bagi berbagai kelompok etnis di Indonesia yang berbeda-beda dalam proses untuk "mengindonesia"-kan diri menjadi sebuah Indonesia, yang kini tentu hasil pengindo­nesiaan itu dapat dilihat dan dirasakan oleh kita semua. Untuk menjadi Indonesia itu tampaknya orang-orang dari daratan Melayu telah melakukannya pada jadwal yang termasuk paling awal dibandingkan dengan orang-orang dari daratan Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua, misalnya dengan diikrarkannya Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Hal ini tidak serta merta harus ditafsirkan bahwa orang-orang Melayu lebih Indonesia daripada orang-orang Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, atau Papua tersebut. Ini berarti lebih dahulu atau lebih kemudian dalam proses "mengindonesia" itu tidak menjadi jaminan mutlak karena perwujudan Indonesia itu merupakan sebuah proses panjang yang mengalami pasang surut dan silih berganti seiring dengan pasang surut dan silih bergantinya kondisi dan situasi politik negeri ini.

            Proses menjadi Indonesia yang harus dialami oleh berbagai kelompok etnis di Nusantara ini harus dilalui dengan penggalian nilai-nilai budaya lokal atau budaya setempat yang untuk selanjutnya diaktualisasikan dalam napas Indonesia. Begitulah, dalam penggalian sumber-sumber budaya lokal atau budaya setempat yang salah satu wujudnya adalah mitologi itu terjadi pengungkapkan nilai-nilai budaya yang terkait dengan kelompok etnis. Ujung dari proses itu adalah ditemukannya mitologi Indonesia sebagai bentuk penafsiran manusia Indonesia dengan latar etnis yang beragam. Mitologi yang digalinya dari sumber budaya etnisnya itu dapat terjadi setelah "membaca" realitas Indonesia yang dihadapi dan dihidupinya dari masa lalu, kini, dan yang akan datang. Oleh karena itu, kita seharusnya mengenal mitologi Minang, mitologi Batak, mitologi Jawa, mitologi Sunda, mitologi Bali, mitologi Madura, mitologi Dayak, mitologi Bugis, mitologi Toraja, mitologi Sasak, mitologi Papua, dan juga mitologi Melayu.

Mitologi yang berakar pada budaya kelompok etnis itu boleh disebut sebagai "dasar pijakan" bagi kehadiran mitologi Indonesia dan sekaligus penghubung antara Indonesia yang abstrak dan realitas keindonesiaan yang tengah menjadi. Atas dasar pikiran itu, fungsi mitologi etnis adalah penghubung ke dunia realitas budaya yang konkret dan mampu menjembatani jarak budaya antarkelompok etnis di Indonesia. Oleh karena pentingnya mitologi sebagaimana terurai di atas, sesungguhnya sangat relevan dengan pernyataan Sapardi Djoko Damono dalam bukunya Politik, Ideologi, dan Sastra Hibrida (1999:43) bahwa tidak bisa dibayangkan adanya sastra yang sama sekali lepas dari mitologi. Dengan kata lain, sastra Indonesia modern yang dihidupi oleh pengarang dari berbagai kelompok etnis di Indonesia dan berakar pada bahasa, sastra, dan budaya Melayu itu tidak steril dari pengaruh mitologi dalam berbagai wujud dan jenisnya, termasuk mitologi Melayu. Hal ini berkaitan dengan anggapan bahwa bahasa, sastra, dan budaya Indonesia yang kini telah terbentuk wujudnya itu berakar pada bahasa, sastra, dan budaya Melayu. Tentu hal itu telah mengalami perkembangan sesuai dengan situasi dan kondisi keindonesiaan kini.

/2/
            Orientasi sastrawan kita dalam berkarya, termasuk menulis puisi, pada awalnya memperlihatkan kecenderungan utama untuk memadukan antara “mendaerah” dengan "membarat". Bahan yang ada, objek dan substansi puitik serta tradisi memang berasal dari daerah atau etnis, namun cara pandang dan pendidikan berasal dari dunia Barat. Dengan cara pandang seperti itu dimaksudkan adanya semangat di kalangan pengarang untuk mengungkapkan nilai-nilai yang berakar pada dunia kedaerahan yang dipadukan dengan pemikiran Barat, terutama dunia perkotaan dan modernisasi sebagai dasar berpijak mereka. Hal ini terwujud dalam bentuk puisi-puisi soneta atau balada, yang mencoba memadukan antara pantun Melayu dan mitologi daerah dengan tradisi puisi Barat. Hal ini tentu dapat dimaklumi bahwa kondisi dan situasi saat itu Indonesia berada di bawah kekuasaan kolonial Barat (Belanda) sehingga jalan masuk ke dunia internasional atau arus global mau tidak mau harus melalui Belanda.

            Goenawan Mohamad dalam bukunya Potret Seorang Panyair Muda Sebagai Si Malin Kundang (1972:44-45) menyebut ihwal seperti itu sebagai pendurhakaan terhadap nenek moyang yang dicitrakan sebagai kampung halaman dengan meminjam legenda “Malin Kundang” sebagai sangkutan pikiran untuk gejala itu. Disebutkannya Sitor Situmorang yang menulis sajak dengan judul "Si Anak Hilang" sebagai Malin Kundang yang setelah mengembara jauh dari kampung halamannya si anak itu tidak mau kembali. Apa yang dinyatakan oleh Goenawan Mohamad sebelumnya mengangkat persoalan keterpencilan sastra Indonesia dari khalayaknya yang disebabkan oleh ketercerabutan sastrawan Indonesia dari akar budaya etnis asalnya sehingga pembaca sastra Indonesia kehilangan sangkutan pikirannya ke bumi Nusantara (Indonesia yang terwujud dalam budaya etnis) tampaknya merupakan hasil kajian yang pumpunannya adalah sastra dasawarsa 1950-an yang terbatas pada bacaan Goenawan sendiri. Tentu saja sekarang hal itu telah berubah, bahkan warna setempat atau warna lokal karya sastra Indonesia modern kini menjadi suatu kecenderungan umum meskipun sikap, pandangan, dan perhatian dunia Barat tetap mempengaruhi ekspresi estetis para sastrawan Indonesia.

            Pada perkembangan sastra Indonesia modern dengan "dipelopori" Amir Hamzah, penyair zaman Pujangga Baru, memulai kecenderungan baru dengan menulis di atas pijakan semangat budaya setempat atau lokal, yakni semangat kembali ke kampung halaman, yang disebut dengan nama tanah Melayu. Sajak baladanya yang berjudul “Hang Tuah”, “Batu Belah”, “Bonda I”, “Bondo II”, dan “Kamadewi” yang ditulis pada tahun 1930-an, jelas menunjukkan akar yang kuat pada bahasa, sastra, dan budaya Melayu. Hal ini berarti ada kecenderungan baru dalam perkembangan dunia pemikiran di lingkungan para pengarang sastra Indonesia modern, meskipun tetap juga ada yang berpijak ke Barat, seperti pada diri Sutan Takdir Alisyahbana dengan Layar Terkembang dan tentu saja Chairil Anwar dengan Ahasveros dan Eros-nya sebagai pewaris syah kebudayaan dunia.

            Langkah Amir Hamzah itu kemudian diikuti oleh Mansur Samin Siregar dalam beberapa sajaknya, antara lain, “Jelmaan”, “Raja Singamangaraja XII”, “Harimau Pandan”, “Delitua”, “Sukadana”, “Buradaya”, dan “Sibaganding Sirajagoda”; Sitor Situmorang dengan sajaknya “Kisah Harimau Sumatera”, dan Iwan Simatupang dengan sajaknya “Apa Kata Bintang di Laut”, “Ada Tengkorak Terdampar ke Pulau Karang”, “Si Nanggar Tullo”, dan “Inang Sarge”. Tentu para sastrawan Indonesia lainnya untuk tetap dapat berpijak pada bumi sendiri, bumi Nusantara, memburu sastra lisan ataupun sastra rakyat untuk diaktualisasikan dalam karya sastra Indonesia modern, masih cukup banyak jumlahnya, seperti Goenawan Mohamad, Subagio Sastrowardojo, dan Sapardi Djoko Damono. Itulah alasan mengapa ada perbedaan dan juga ada kemajemukan dalam sastra Indonesia modern sebagai wujud multikulturalisme.

            Dalam salah satu karangannya secara tegas Ajip Rosidi (1959:8) menyatakan: "...bagi saya yang merasa goyah lantaran belum punya tempat berdiri yang tetap dalam mencari sosok keindonesiaan, daerah akan merupakan  sumber ilham dan pegangan yang kuat dengan bagian-bagian yang sedikit-sedikit makin tersisa dalam dirinya."

            Pernyataan Ajip di atas tampaknya tidak dapat dilepaskan dari semangatnya ketika itu, yakni dasawarsa 1950-an dan 1960-an yang pada waktu itu sedang giat-giatnya mengumpulkan pantun Sunda dari berbagai daerah di Jawa Barat. Dapat dikatakan bahwa dengan semangat menggali nilai-nilai budaya daerah atau setempat yang terungkap dalam tradisi pantun Sunda itu--untuk kasus Ajip Rosidi--terbukalah jalan untuk masuknya mitologi daerah ke dalam sastra Indonesia modern. Hal itu dibuktikan oleh Ajip Rosidi dalam puisinya “Jante Arkidam” (1960). Dari berbagai kemungkinan adanya mitologi etnis-etnis di Indonesia itu kita dapat menyebut mitologi Nusantara sebagai salah satu perwujudan identitas keindonesia dalam sastra Indonesia modern.

/3/
            Mitologi Nusantara pada hakikatnya merupakan salah satu akar budaya Indonesia yang dengannya manusia Indonesia mencari jawaban atas persoalan kehidupan yang dihadapi dan dihidupinya. Di dalam mitologi Nusantara itu terkandung kearifan lokal atau lokal genius yang seringkali melandasi sikap dan perilaku hidup sehari-hari orang Indonesia sebagai ideologinya. Sebagai hasil budaya, mitologi Nusantara di dalam sastra Indonesia modern menunjukkan sikap dan pandangan hidup orang Indonesia.

            Dunia batin orang Indonesia itu sebenarnya dipenuhi dengan berbagai mitologi sebagai hasil kontak budaya orang Nusantara dengan lingkungan alam dan dengan budaya yang lebih besar. Ketika orang Indonesia berhadapan dengan kebudayaan yang terkait dengan agama Hindu dan Budha, mulai terjadi pemasukan nilai-nilai budaya kedua agama itu dalam tradisi berpikir dan bersikap manusia Indonesia. Lihatlah hasil kreativitas manusia Indonesia yang telah berhasil "mengindonesiakan" mite yang berakar pada ajaran kedua agama itu dan tradisi sastra yang dihasilkannya dalam berbagai bentuk, misalnya relief yang terukir dalam candi Borobudur dan Prambanan, dalam hikayat-hikayat, dalam cerita-cerita yang mengandung kepercayaan (legenda dan fabel), bahkan dalam bentuk pantun-pantun berkait atau syair-syair Melayu dan daerah.

Sementara itu, ketika agama Islam datang dengan membawa serta mitologi yang berakar pada khazanah pemikiran agama tersebut, hikayat dan syair-syair tasawuf (sastra kitab) menjadi wahana yang canggih untuk memaparkan budaya mereka. Dalam konteks ini para sufi dan ustad-ustad atau guru agama menyebarluaskan agama Islam di kalangan orang Indonesia dengan memanfaatkan hikayat-hikayat kenabian, dongeng-dongeng Timur Tengah atau Arab Persia, legenda-legenda kepahlawanan Islam, dan juga syair-syair sufistik atau sastra kitab. Kemudian mereka memberinya ruh napas keislaman ke dalam berbagai media itu sehingga dikenal dengan hikayat nabi-nabi atau Kisasu L-Anbiya (Hanifah, 1996) atau Surat Al-Anbiya (Hassan, 1990), cerita-cerita eskatologi dari Nurruddin Ar-Raniri, dan sastra keagamaan atau sastra kitab dengan tokohnya Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani, dan Abdul Rauf Singkel menjadikan opini tentang orang Melayu adalah seorang muslim. Tentu juga mereka menokohkan para pahlawan Islam, seperti Amir Hamzah dan Iskandar Zulkarnain sebagai teladan utama dalam berjihat. Di sini bermula terjadinya "dialog" antardua dunia, yaitu antara dunia Islam dan dunia Melayu. Dialog Islam dan Melayu itu, antara lain, terwujud dalam bentuk "pengislaman" hikayat dan syair-syair sufistik. Tokoh-tokoh sahibul hikayat yang mengandung unsur Hindu, seperti Bayan Budiman, Merong Mahawangsa, Malim Demam, Puspa Wiraja, Parang Punting, Langlang Buana, Marakarma, Inderaputra, Indera Bangsawan, Jaya Lengkara, dan Hang Tuah sekalipun digantikan dengan tokoh-tokoh yang diangkat dari dunia pahlawan Islam, seperti Amir Hamzah dan Iskandar Zulkarnain yang kemudian menurunkan tradisi hikayat zaman Islam, seperti Tajus Salatin, Hikayat Wasiat Lukman Hakim, dan Sejarah Melayu atau Salalatus Salatin. Pada saat itu muncul pula syair-syair tasawuf dan puisi-puisi pengaruh Arab-Persia, seperti ruba’i, gazal, nazam, masnawai, dan kith’ah sehingga terbentuklah gurindam. Salah satu pelopor gurindam ini adalah Raja Ali Haji. Bagimana pula dengan karungut dari daratan Kalimantan Tengah?

            Mitologi Melayu hakikatnya mitologi dunia hikayat dan syair-syair tasawuf yang terukir kuat dalam dunia batin orang-orang Melayu. Hikayat nabi-nabi atau Surat Al-Anbiya menjadi pegangan dan teladan hidup orang-orang Melayu. Demikian pula syair-syair tasawuf pengaruh Arab-Persia menjadi pedoman hidup sehari-hari mereka. Kini mereka mengidentikan diri dengan dunia muslimin, Islami, dan religiusitas atau mistikus-Islami, biasa disebut dengan istilah sufistik. Sehubungan daerah Melayu dikelilingi oleh laut, selat, dan samudera, maka dunia Melayu identik pula dengan dunia kelautan, seperti ombak, taufan, nahkoda, kuala, lautan mahatinggi, perompak atau lanun, bajak laut, berlayar, sauh, dan bertata niaga maritim. Iskandar Zulkarnain adalah mitos raja dan pahlawan di Lautan (Hasanuddin W.S., 2000:323). Situasi dan kondisi yang demikian menyebabkan mitologi orang-orang Melayu pun berkisar tentang dunia kelautan, seperti Hang Tuah, Nahkoda Ragam, dan Malim Kundang. Meskipun demikian tidak tertutup kemungkinan pengaruh Hindu dan daratan ikut mempengaruhi pula mitologi mereka, seperti kisah “Batu Belah” atau “Batu Bertangkup” yang ditulis oleh Amir Hamzah, atau “Kisah Harimau Sumatera” yang ditulis Iwan Simatupang ataupun “Harimau Pandan”-nya Mansur Samin. Kalimantan Tengah pun tentu menampilan “rumah betang”, “batang garing”, “tiwah”, “mandau”, “mitologi tangkiling”, “batu suli”, dan lain sebagainya.

            Sebagai hasil penghayatan atas realitas kehidupan, sastra menampilkan diri dalam berbagai manifestasi dan dengan beban pemikiran yang bersegi. Beban pemikiran yang terungkap dalam sastra dapat berupa aktualisasi diri dalam sastra, antara lain dapat berupa aktualisasi dan reinterpretasi terhadap mitologi. Dengan aktualisasi mitologi akan terungkap nilai-nilai mitologi diterapkan dalam konteks zaman, pengukuhan nilai-nilai mitos, dan menjadi sarana jembatan penghubung antara dunia tradisi dengan dunia modernitas. Sementara itu, dengan reinterpretasi terhadap mitologi akan terungkap penafsiran kembali dan dapat berupa pengingkaran atau pembalikan atas nilai-nilai yang terungkap dalam mitologi itu diperhadapkan dengan persoalan zaman. Reinterpretasi dalam hal ini dapat menghasilkan efek alienasi karena ada pengasingan dan penyimpangan dari nilai yang selama ini dikenal dalam mitologi itu. Di sini penyair mencoba mempertanyakan hal-hal yang dianggap mapan, stabil, atau stagnasi, kemudian dicari nilai-nilai dinamisnya untuk diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

            Pluralisme budaya atau multikulturalisme yang menjadi dunia sastra Indonesia modern tentulah juga dicirikan oleh pluralisme mitologi di dalam sastra Indonesia modern itu, termasuk di dalamnya pluralisme penafsiran terhadap mitologi tersebut. Hal ini berarti bahwa dalam sastra Indonesia modern akan dijumpai mitologi Minang, mitologi Batak, mitologi Sunda, mitologi Bali, mitologi Madura, mitologi Dayak, mitologi Toraja, mitologi Bugis, dan mitologi Papua sebagai kekayaan budaya dalam sastra Indonesia modern. Namun, dari sekian banyak mitologi etnis atau setempat yang disebut Melayu itu merupakan unsur mitologi yang menjadi akar dalam sastra Indonesia modern sejak awal pertumbuhan sastra Indonesia di tahun-tahun 1920-an hingga kini 2000-an. Pendek kata, mitologi Melayu dalam sastra Indonesia mutakhir menjadi sesuatu yang niscaya, tidak hanya dalam bentuk puisi yang ditulis oleh penyair yang berasal dari etnis Melayu atau seputar Sumatera, bahkan dalam genre lain yang ditulis oleh orang luar etnis Melayu itu, seperti Subagio Sastrowardojo, Djoko Pinurbo, dan Abdul Hadi W.M.

/4/
            Begitulah identitas keindonesiaan dalam karya sastra yang bermula dari mitologi. Sebab mitologi itu pada mulanya memiliki fungsi sakral, suci, profan, dan atau kudus sebagai pengendali moral dan pikiran khalayak pendukungnya dalam menanggapi dan memahami alam semesta. Melalui mitologi dalam karya sastra dapat diperoleh pemahaman atas apa yang telah terjadi dan bagaimana hal itu dapat terjadi. Pada perkembangan lebih jauh, mitologi tidak lagi dibebani fungsi sakral, suci, profan, ataupun kudus. Mitologi menjadi--dalam kata-kata Sapardi Djoko Damono--alat yang paling efektif dan tepat untuk mengungkapkan maksud dalam sastra, sebab ia merupakan hasil sulingan, atau hasil rekaman kebudayaan. Pendek kata, dengan mitologi komunikasi yang lebih efektif dapat dijalankan secara baik. Dengan demikian, dapat ditegaskan kembali di sini bahwa fungsi utama mitologi dalam teks sastra Indonesia modern adalah sebagai sangkutan gagasan yang dapat menyeret pembaca secara efektif ke dalam dunia pengalaman dan penghayatan pengarangnya.

Pertemuan 15 Teori Sastra Tempatan