WINENGKU ING SUKA BAHAGIA
(Puji Santosa, Bekasi)
1. Pengantar
Bapak, Ibu,
dan Saudara para warga Paguyuban Ngesti Tunggal, siswa-siswi Sang Guru Sejati
yang berbahagia karena senantiasa berbakti, percaya, dan taat pada semua sabda perintah
Tuhan yang Sejati ialah Suksma Kawekas, yang disampaikan dengan perantaraan
Utusan Tuhan yang Abadi ialah Suksma Sejati, Guru sekalian umat, baik dari pondok
dunia maupun hingga nanti sampai di istana akhirat, serta menjadi Penuntun dan
Guru hamba yang Sejati.
Bapak, Ibu,
dan Saudara sepenyiswaan. Sebelum atau sesudah menjadi warga Pangestu,
pernahkah Bapak, Ibu, Saudara mendengar, membaca, dan memahami makna ungkapan “Winengku ing Suka Bahagia”. Syukurlah,
bilamana Bapak, Ibu, Saudara semua pernah mendengar, membaca, dan juga memahami
makna ungkapan “Winengku ing Suka Bahagia”
tersebut. Saya sangat parcaya bahwa Bapak, Ibu, dan Saudara warga Pangestu yang
pernah mendengar, membaca, dan memahami makna ungkapan “Winengku ing Suka Bahagia” adalah siswa yang benar-benar bertekun
dalam kehidupan sehari-hari melaksanakan secara lahir batin semua Sabda Sang
Suksma Sejati yang terukir dalam pustaka suci Sasangka Jati, dapat mengalihkan titik berat kesadaran ke Alam
sejati ialah kepada Tripurusa, dan juga yang dapat melaksanakan Dasa Sila ialah
pedoman para warga Paguyuban Ngesti Tunggal.
Bapak, Ibu,
Saudara pernah mendengar, membaca, dan memahami makna ungkapan “Winengku ing Suka Bahagia” tersebut dari
ketekunan Bapak, Ibu, Saudara mengikuti olah rasa, membaca majalah Dwija Wara, atau membaca buku-buku wajib
Pangestu. Memang benar! Bahwa ungkapan “Winengku
ing Suka Bahagia” tersebut merupakan harapan (pangesthi, pamuji, puja-puji) Bapak Pangrasa akan masa depan Pangestu
sebagai tempat perlindungan para warga/ siswa dan umat yang ingin senantiasa diliputi
oleh rasa suka bahagia untuk selama-lamanya (Taman Kemuliaan Abadi, 2015:27). Secara lengkap dalam bahasa Jawa
pamuji Bapak Pangrasa tersebut sebagai berikut.
Bapak Pangrasa: “Nak Jatmika, kula kepranan sanget
mirengaken panembramanipun Panitia Kongres Pangestu. Kula manjurung puja-puji
mugi-mugi pangajab pangesthinipun wau kinabulaken ing Pangeran. Pangestu widada
gesang subur ngembaka nir ing sambekala, dados pangayomanipun para warga/ siswa
tuwin sadaya umat ingkang sami kepingin winengku
ing suka bahagia ing salamipun kanthi ngambah margining kautaman, inggih
margi leres manut tuntunanipun Sang Guru Sejati (Suksma Sejati). Satuhu.”
(Taman Kamulyan Langgeng, 2001:27).
Terjemahan
bahasa Indonesia: Bapak Pangrasa: “Nak Jatmika, saya sangat terkesan
mendengarkan panembrama Panitia Kongres Pangestu. Saya menyertakan doa puji
semoga dambaan permohonan itu dikabulkan Tuhan. Pangestu selamat hidup subur
merambak tanpa rintangan menjadi perlindungan dari para warga/siswa dan segenap
umat yang ingin diliputi suka bahagia untuk selamanya dengan melalui jalan
keutamaan ialah jalan benar sesuai dengan tuntunan Sang Guru Sejati (Suksma
Sejati). Satuhu.” (Taman Kemuliaan Abadi,
2015:27).
2. Dambaan Segenap Umat
Menyimak
apa yang disampaikan oleh Bapak Pangrasa tersebut bahwa “winengku ing suka bahagia”
(diliputi suka bahagia) itu menjadi
dambaan segenap umat, termasuk para warga/siswa yang berlindung di gedung Pangestu.
Dambaan segenap umat agar dapat winengku
ing suka bahagia, apalagi untuk selamanya, tidak hanya berhenti pada
keinginan atau harapan semata, tetapi tentu harus juga memenuhi syarat atau
laku yang harus dilaksanakan. Menjadi warga Pangestu atau siswa Sang Guru
Sejati itu merupakan salah satu pilihan dan syarat yang harus dilaksanakan.
Sudah tepat benar bilamana Bapak, Ibu, dan Saudara memilih masuk menjadi warga
Pangestu, menyiswa kepada Sang Guru Sejati, dengan tujuan agar dapat senantiasa diliputi oleh rasa suka bahagia.
Akan tetapi, syaratnya: menyiswanya kepada Sang Guru Sejati jangan lelamisan, hanya pura-pura atau
seenaknya saja, menyiswa kepada Sang Guru Sejati haruslah berdasarkan keteguhan
tekad disertai dengan pengorbanan lahir batin. “Jika engkau mempunyai cita-cita apa saja, jangan takut pada sukarnya
laku yang merupakan syarat atau penebus untuk mencapai cita-cita itu. Sebab,
jika engkau hanya berani pada yang mudah dan takut pada yang sukar (sulit), apa
yang engkau cita-citakan tidak akan tercapai.” (Olah Rasa di Dalam Rasa,
2015:22). Jadi, segenap umat yang mendambakan untuk senantiasa dapat diliputi
oleh rasa suka bahagia selama-lamanya itu haruslah melalui jalan keutamaan
ialah jalan benar sesuai dengan tuntunan Sang Guru Sejati (Suksma Sejati).
Apakah
yang disebut dengan melalui jalan keutamaan ialah jalan benar sesuai dengan
tuntunan Sang Guru Sejati? Sebagaimana tersebut dalam Sabda Pratama (2014:1) bahwa tuntunan dan pepadang Suksma Sejati
itu disebut dengan nama “Ilmu Sejati”. Dengan demikian, melalui jalan keutamaan
ialah jalan benar sesuai dengan tuntunan Sang Guru Sejati, tiada lain harus
melaksanakan Ilmu Sejati. “Ketahuilah: Yang
disebut Ilmu Sejati itu Petunjuk yang Nyata, yaitu petunjuk yang menunjukkan
jalan benar, jalan yang sampai pada asal dan tujuan hidup.” Segenap umat,
termasuk warga Pangestu, siswa Sang Guru Sejati yang mendambakan kebahagiaan
tersebut, mau tidak mau, tiada jalan lain, harus dapat melaksanakan ilmu
sejati, petunjuk nyata, tuntunan dan pepadang Sang Guru Sejati. Adapun pokok
ilmu yang tersimpan di dalam “Ilmu Sejati” ialah “ilmu asal dan tujuan hidup” (sangkan paran) disebut Hasta Sila, yaitu
Panembah Batin Delapan Perkara. Hasta Sila terdiri atas dua bagian, yaitu Tri
Sila dan Panca Sila. Tri Sila itu Panembahnya Hati dan Cipta tiga perkara
kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Tri Sila juga mewujudkan kesanggupan besar yang
perlu sekali dilaksanakan di dalam setiap harinya, yaitu manusia harus
senantiasa Sadar, Percaya, dan Taat kepada Tuhan yang mengusai semesta alam
seisinya.
Agar dapat
sempurna manusia melaksanakan kesanggupan besar tiga perkara tersebut, manusia
wajib berusaha agar dapat memiliki watak utama atau perbuatan keutamaan lima
perkara, disebut Panca Sila, yaitu Rela, Narima, Jujur, Sabar, dan Budi Luhur. Adapun
sebagai tangga untuk dapat mencapai watak Panca Sila, manusia harus berjalan di
Jalan Rahayu ialah yang disebut dengan Panca Darma Bakti, yaitu:
1)
Meresapkan Paugeran Tuhan kepada hamba.
2)
Melaksanakan Panembah, sebagai tanda bakti dan tali
sadar.
3)
Melaksanakan Budi Darma, yaitu membabarkan rasa kasih
sayang kepada sesama makhluk.
4)
Mengendalikan Hawa Nafsu yang menuju ke perbuatan yang
tercela.
5)
Berusaha untuk dapat menetapi derajat Budi Luhur.
Selain itu,
setiap manusia wajib berusaha jangan sampai menerjang. Larangan Tuhan, yang
disebut dengan Paliwara. Adapun yang menjadi Larangan Tuhan yang Mahakuasa
kepada manusia itu ada lima perkara, yaitu:
1)
Jangan menyembah selain kepada Allah.
2)
Berhati-hatilah terhadap hal syahwat.
3)
Jangan makan atau mempergunakan makanan yang memudahkan
cepat rusaknya badan jasmani dan budi pekerti.
4)
Patuhilah Undang-undang Negara dan peraturannya.
5)
Jangan berselisih atau bertengkar.
Demikianlah
ringkasan dari Ilmu Sejati ialah Ilmu yang menunjukkan asal mula dan tujuan
hidup sebagai syarat mutlak laku untuk dapat mencapai tujuan hidup bahagia
lahir batin, di dunia hingga di akhirat, winengku
ing Suka Bahagia.
3. Tujuan Hidup: Bahagia
Bapak, Ibu,
Saudara warga Pangestu yang menyiswa kepada Sang Guru Sejati. Masih ingatkah
ketika hari pertama mengikuti ceramah penerangan Ajaran Sang Guru Sejati. Ya,
mudah-mudahan masih ingat akan hal itu. Setelah Juru Penabur memperkenalkan
diri, memulai dengan dibuka Pangesti Nomor 1, dan memperkenalkan keberadaan
Organisasi Pangestu, barulah dijelaskan tentang Hakikat/Masalah Hidup, yaitu
(1) Asal dan Tujuan Hidup (Sangkan Paraning
Gesang), (2) Tujuan Hidup (Tujuaning Gesang),
(3) Bekal Hidup di Dunia (Sanguning Gesang
ing Alam Donya), dan (4) Kewajiban Hidup (Kuwajibaning Gesang). Untuk lebih jelasnya mari kita buka saja buku
Golongan Kesiswaan dan Tuntunan Bagi Para
Siswa Utama: Sebuah Wejangan dari Pakde Narto (1990: 17—19).
1)
Asal hidup adalah dari Sumber Hidup, yaitu Suksma
Kawekas, Allah Ta’ala, Tuhan Yang Maha Esa, yang menciptakan semesta alam
seisinya. Adapun tujuan hidup ialah kembali ke Sumber Hidup. Asal dari Allah
kembali kepada Allah (Innalillahi
wainnailahihi rajiun). Hal ini berlaku bagi segenap umat yang mengerti akan
syarat-syaratnya dan yang dilaksanakan berdasarkan kepercayaan (iman) kepada
Allah.
2)
Tujuan hidup adalah hidup bahagia yang abadi dan akhirnya
kembali ke Asal Mula dan Tujuan Hidup. Adapun tujuan hidup ini dapat dicapai
apabila syarat-syaratnya dimengerti dan dilaksanakan disertai pengorbanan.
3)
Bekal hidup itu adalah ilmu (pengetahuan) lahir batin.
4)
Kewajiban hidup banyak sekali, apabila diringkas ada 5 kewajiban,
yaitu:
(1)
Kewajiban menjadi perantara untuk melaksanakan Karsa
Tuhan yang abadi, yaitu pria sebagai perantara turunnya Roh Suci, sedangkan
wanita sebagai perantara untuk menerima dan mengandung turunnya Roh Suci.
Kewajiban yang suci itu harus dilaksanakan dengan kesucian, kesusilaan, serta
keutamaan watak (budi bekerti yang utama) berdasarkan rasa kasih sayang. Dalam
menjalani hidup berumah tangga, pria wanita (suami istri) harus hidup rukun dan
selaras (harmonis) dalam ikatan kasih sayang yang sejati. Bilamana kewajiban
hidup yang penting tersebut dijalani dengan cara demikian, maka hal itu berarti
mendidik anak sebelum lahir, dalam bahasa asing disebut opvoeding voor de geboorte. Di kemudian hari akan dikaruniai
seorang putra/putri yang susila, berwatak utama, berbudi luhur, luhur
derajatnya, serta mulia hidupnya.
(2)
Kewajiban untuk mencukupi kebutuhan keluarga.
(3)
Kewajiban terhadap tetangga dan masyarakat, yaitu dengan
menciptakan ketentraman serta kesejahteraan hidup bersama dengan bergotong-royong
dan saling membantu.
(4)
Kewajiban mengabdi kepada negara, yaitu dengan menaati
undang-undang negara, menjaga ketentraman dan keamanan negara.
(5)
Kewajiban yang luhur dan suci, yaitu dengan berbakti
kepada Tuhan Sejati (Suksma Kawekas, Allah Ta’ala) dengan menaati perintah dan
menjauhi larangan Tuhan sebagaimana termaktub dalam kitab-kitab suci Sabda
Ilahi. Hal itu dilaksanakan berdasarkan kepercayaan bahwa kita umat manusia
berada dalam kekuasaan Hukum Abadi, yaitu sifat Keadilan Allah.
4. Pepadang yang Membahagiakan
Sungguh luar
biasa, membahagiakan sekali, mendapatkan pepadang dan tuntunan Sang Guru Sejati
akan hal Asal dan Tujuan Hidup. Apabila kita tidak memahami akan hal asal dan
tujuan hidup, tentu hidup kita tidak akan bermakna apa-apa, sebagai sampah bangsa,
tidak dapat menorehkan sejarah yang baik di dunia ini, karena isinya hanya
komet, pusing, gelap, dan bingung mencari jalan hidup yang bahagia, bahkan
fatalis atau mau bunuh diri. Salah satu tembang Pakde Soemo, tembang “Nur
Muhammad”, yaitu bait ke-18, dituliskan: “Ewuh
ayaning ngaurip, yen tan wruh sangkan parannya, azali lan abadhine, tangeh
lamun bisaa, mbatang pitakonira, memeting cangkriman hidup, komet aneng
panyurasa.” Artinya kurang lebih: Kebingungan hidup dapat terjadi bilamana
tidak mengetahui akan asal dan tujuannya, yakni asal-muasal dan keabadian-Nya,
mustahil dapat menjawab berbagai pertanyaanmu, akan rumit-peliknya teka-teki
hidup, pusing hanya berhenti pada pemikiran.
Agar tidak
pusing memikirkan persoalan hidup yang datang silih berganti, Pakde Soemo
menjelaskan akan asal kesejatian kita dalam “Kidung Suksma” bait ke-3: “Kajatening uripira yekti, asal saking Nuring
Pangeranira, ya Suksma Kawekas wite, kababar apindha Nur, Nur Muhammad Suksma
Sajati, jati-jatinya Ana, babaring tumuwuh, dadya Rohing pra sujanma, jumeneng
neng jroning ati sanubari, Roh Suci kasebutira.” Artinya kurang lebih: “Sesungguhnya
Hidupmu yang sejati itu berasal dari Nur Tuhan, yaitu Suksma Kawekas asal
pokoknya, terbabar laksana Nur, yakni Nur Muhammad ya Suksma Sejati,
sejati-jatinya Ada, terbabarnya tumbuh menjadi Roh/Jiwa segenap makhluk,
bersinggasana di dalam hati sanubari, disebut Roh Suci.” Mudah-mudahan dengan
penjelasan Pakde Soemo dalam bentuk tembang di atas semakin jelas memahami asal
tujuan hidup.
Untuk
semakin jelas memahami asal dan tujuan hidup kita, baiklah kita buka Olah Rasa di Dalam Rasa (2013:10—11) Bab
VIII, “Berasal dari Allah, Kembali kepada Allah” sebagai berikut.
Bapak
Pangrasa: “Mengertilah putraku Pangaribawa, bahwa Hidup kita (Roh Suci) itu
berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah (asal dari Hidup dan kembali
kepada Hidup). Sejatinya Hidup itu Esa (Satu) yang sudah bertunggal dengan kita
di pusat Hidup yang meliputi segenap sifat hidup dan semesta alam seisinya.
Asal Roh
ialah percikan Hidup, suci, maka kembalinya kepada Allah, Sumber Hidup (Sumber
Kesucian), juga harus suci. Adapun yang mengotori kesucian Roh itu pakartinya
angan-angan, yang menjadi cangkok Roh, dan yang menumbuhkan rasa cinta serta
melekat erat pada keadaan yang tergelar di dunia yang tidak abadi ini sehingga
lupa dan tidak berniat kembali kepada Allah, asal-muasal Roh. Ibaratnya seperti
awan yang terjadi dari uap air karena daya panas matahari. Selama awan itu
belum luluh karena daya panas matahari dan pengaruh angin, selama itu pula awan
itu belum dapat jatuh sebagai hujan kembali kepada asalnya uap, yaitu kembali
kepada air.
Kembali atau
bertunggalnya Roh Suci kepada Allah itu diibaratkan seperti air hujan yang menetes
di lautan, yang luluh menjadi satu dengan lautan, abadi keadaannya, yang tidak
dapat diterangkan dengan kata-kata bagaimana ketenteraman dan kemuliaannya.
Adapun Roh
(Jiwa) yang belum suci, yaitu jiwa yang belum dapat melepaskan tindak kerjanya
angan-angan, yang menjadi cangkok atau busana jiwa oleh karena melekat erat
pada barang-barang yang dicintai, setelah lepas dari badan jasmani (wadak)
tidak dapat kembali pada asal Roh, tetapi berhenti dan bertempat di alam
antara, yaitu yang disebut alam Kafiruna atau alam Kegelapan, tempat jiwa-jiwa
yang lupa pada asal dan tujuan hidup, yakni lupa kepada Allah. Adapun
keadaannya seperti orang ‘tidur’ yang bermimpi tidak keruan, beraneka warna dan
berganti-ganti penderitaan yang dirasakan dalam mimpi (selama di alam antara),
menurut apa yang diimpi-impikan dan yang diingini serta senantiasa menampak
(terbayang-bayang) apa yang dicintainya. Penderitaan dalam mimpi hilang apabila
yang ‘tidur’ (lupa) itu bangun, artinya Jiwa segera sadar (ingat) kepada Allah.
Oleh karena itu, lalu diturunkan lagi dalam kehidupan di dunia, atas Karsa dan
Sih Allah, supaya bersesuci sebelum ‘tidur’ (mati).
Kelonggaran
untuk bersesuci itu, atas kasih dan kemurahan Tuhan, adalah tujuh kali, yaitu
Roh (Jiwa) yang belum suci diturunkan dalam kehidupan di dunia
sebanyak-banyaknya tujuh kali (tujuh penjelmaan), perlunya untuk bersuci sesuai
dengan petunjuk agama suci, yakni Sabda Tuhan Yang Mahasuci. Hal laku atau
caranya bersuci kini sudah disabdakan oleh Sang Guru Sejati dengan ringkas dan
jelas yang dipaparkan dalam pustaka Sasangka
Jati bagian Hasta Sila. Akan tetapi, putra-putraku sekalian hendaklah
bercita-cita dan berusaha agar sekali selesai (sepisan rampung, suci) bertunggal kembali dengan Allah. Sebab hal
‘Kelahiran Kembali’ hingga tujuh kali itu bukan pokok ajaran melainkan hanya
‘cabang’ pengetahuan (ilmu) yang juga perlu diketahui untuk menyaksikan atau
menguatkan keyakinan bahwa Allah itu senyatanya Mahaadil. Jadi, bukan tujuan
hidup atau bukan cita-cita hidup yang sejati.”
Oleh karena
keadaan Tuhan itu adalah suci, tenang, damai, dan sayang, maka dalam Arsip Sarjana Budi Santosa (2015:68)
alinea 95 menyatakan: “Siapa masih tergoda oleh keadaan dunia besar ini, masih
belum suci. Siapa masih ingin menjalankan suatu prestasi, sekalipun prestasi
itu baik, ternyata belum tenang. Siapa masih ingin memberantas apa-apa yang
jahat dan buruk, ternyata belum damai. Siapa masih membenci apa-apa yang tidak
baik, ternyata belum sayang.” Dengan demikian, agar hidup kita dapat “winengku ing suka bahagia”, senantiasa
diliputi oleh rasa suka bahagia atau membahagiakan, harus dapat mengusahakan
bertunggal dengan Suksma Sejati. Ini berarti kita harus menyediakan kancah yang
sesuai dengan keadaan Suksma Sejati, yaitu berusaha supaya dunia kita juga
dalam keadaan suci, tenang, damai, dan sayang.
5. Persoalan Psikologis
Apakah yang
disebut dengan bahagia? Senang, suka ria, penuh gembira, badan sehat, berlimpah
harta benda, pasangan hidup tampan gagah perkasa, atau memiliki isteri yang
anggun cantik nan jelita, putra-putri yang berhasil, keluarga yang harmonis,
kepandaian, kedudukan, serta sukses menjadi pejabat negara? Berdasarkan Ajaran
Sang Guru Sejati tentu bukan, bukan hal-hal yang demikian itu. Kesenangan yang
bersifat duniawi, semua silap maya pesona dunia, bukankah hanya bahagia
sementara, sebab masih ada duka, nestapa, dan lara, bahkan sengsara, papa,
miskin ilmu, miskin harta, juga di sekeliling kita masih ada berbagai bencana
serta malapetaka silih berganti datangnya. Lalu, apa sesungguhnya bahagia?
Ulasan Kang Kelana (2015:163—164) menyatakan tentang
bahagia demikian: “Yang dimaksud nasib baik itu umumnya, bilamana orang yang
bersangkutan merasa bahagia di dalam hatinya.
Apakah pangkat tinggi,
gelar tinggi, kekayaan, dan kekuasaan itu syarat untuk bahagia? Apabila memang
demikian, maka orang yang berpangkat tinggi, orang pintar, kaya, dan berkuasa
tidak akan pernah susah dan menderita. Akan tetapi, tidak demikian halnya,
banyak orang yang tinggi pangkatnya, orang kaya, para sarjana, dan yang
berpengaruh, menderita suatu hal.
Jadi,
terang bahwa syarat-syarat yang kusebutkan tadi, bukan syarat mutlak untuk
menjadi bahagia.
Bahagia
itu letaknya di dalam hati sanubari. Kita mengerti sekarang bahwa bahagia itu
suatu persoalan psikologis, bukan suatu persoalan sosial ekonomis.
Saya
juga mengetahui bahwa kedudukan, kekayaan, kepintaran, dan kekuasaan dapat
mendatangkan kebahagiaan, tetapi hanya sampai batas-batas tertentu saja
kebahagiaan itu dan hanya untuk sementara lama. Kebahagiaan dengan
syarat-syarat kekayaan, kedudukan, dan lain sebagainya itu tidak kekal adanya,
malahan dapat dikatakan bahwa syarat-syarat itu hanya sekadar untuk kehidupan
yang lebih layak semata-mata.
Bilamana
manusia mencari kebahagiaan yang sebenarnya, itu tidak berarti bahwa ia akan
melalaikan syarat-syarat sosial ekonomis.
Para
siswa harus mempunyai cita-cita yang tinggi untuk dicapai di dalam masyarakat.
Di samping itu para siswa harus pula mengejar cita-cita jiwa, ialah kebahagiaan
yang sejati, yakni bertunggal dengan Sang Suksma Sejati.
Cita-cita
yang pertama harus dicapai di luar, di dunia besar dengan mengejar cita-cita
untuk menjadi kusuma bangsa, sedangkan cita-cita yang kedua harus dicari ke
dalam, di dunia kecil dengan mengejar kesucian jiwa.”
Dengan
demikian, bahagia itu persoalan psikologis, hanya persoalan kejiwaan, karena
bahagia itu letaknya di dalam hati sanubari. Meskipun persoalan psikologis, kita
tetap tidak meninggalkan syarat-syarat persoalan sosial ekonomis. Seseorang
yang mencapai tingkatan jiwa yang setinggi-tingginya, berarti pula ia mencapai
kebahagiaan yang kekal abadi, ia mencapai nasib baik yang tidak akan berubah
lagi dan tidak akan tergoncang lagi oleh keadaan apa pun di dunia ini. Oleh
karena itu, perlu disadari bahwa kekayaan, kedudukan, dan kekuasaan belum
menjamin kebahagiaan yang kekal abadi.
6. Dekat dengan Tuhan
Oleh karena
bahagia itu persoalan psikologis, dan bersumber pada Sang Guru Sejati, mau
tidak mau, harus dan wajib, kita mendekat kepada sumber kebahagiaan itu sendiri.
Dalam Sasangka Jati (2014:180—181), Sangkan Paran, Bab ”Mujur dan Malangnya
Perjalanan Hidup”, demikian sabdanya:
”Sekarang
Aku hendak menerangkan mengenai sejatinya yang disebut bahagia. Bagi jiwamu,
yang dianggap bahagia adalah apabila engkau dapat dekat dengan Tuhan atau Aku
(Suksma Sejati). Artinya, engkau dapat menerima pepadang Tuhan. Jadi,
betapapun wujud kebahagiaan lahir dalam kehidupan dunia ini, apabila engkau
jauh dari Tuhan atau lupa kepada Tuhan, engkau sengsara dalam wawasan jiwamu,
sebab engkau tidak mengerti akan tujuan hidup yang senyata-nyatanya. Sebaliknya,
betapapun wujud kesengsraan lahir mengenai kehidupan dunia ini, seperti:
menderita papa dan sebagainya, apabila engkau sangat dekat dengan Tuhan,
mengenai jiwamu: engkau adalah makhluk yang paling bahagia di antara sesama
makhluk hidup di dunia ini. Sebab, dalam hal mujur dan malangnya perjalanan
hidup mengenai kehidupanmu di dunia, dalam wawasan jiwamu tidak ada, karena
keadaan jiwamu itu abadi dan tenteram. Jadi, tidak terpengaruh oleh rasa suka
dan susah serta giris, atau oleh semua keadaan yang berubah berganti”.
Ulasan Kang Kelana (2015:165—166) memberi
penjelasan demikian: “Misalnya, orang kaya menderita rasa sedih karena takut
kehilangan harta bendanya, begitu pula orang yang berpangkat tinggi mengenai
kedudukannya dan lain sebagainya, itu jelas bahwa harta benda, kedudukan dan
kekuasaan, membawa penderitaan, dus orang yang bersangkutan tidak berbahagia.
Orang-orang itu tidak menikmati kekayaannya, kedudukannya, dan kepangkatannya.
Yang dirasakan hanya kegelisahan dan ketakutan semata-mata.
Orang
miskin, pangkatnya kecil, banyak juga yang menderita, lebih banyak daripada
orang kaya dan berpangkat tinggi, tetapi ada pula orang yang tidak terpengaruh
oleh harta benda dan pangkat. Orang yang tidak terpengaruh itulah yang bahagia,
tetapi ia bukan orang yang bersifat masa bodoh.”
Masih dalam Ulasan Kang Kelana (2015:166)
menjelaskan bahwa “Suksma Sejati tidak menghendaki umat-Nya menderita papa dan
sengsara, sekali-kali tidak. Umat-Nya dituntun dan diajari supaya mengejar
cita-cita yang tinggi untuk hidup yang layak, dan di samping itu Sang Suksma
Sejati menunjukkan jalan ke arah ketenteraman dan kebahagiaan yang abadi, yang
lepas dari keadaan keduniawian. Andaikan siswa-Nya tidak mencapai cita-citanya,
janganlah ia sampai kecewa dan menderita batin. Sang Suksma Sejati menunjukkan
jalan perbaikan nasib secara tepat dan jitu, baik nasib sosial ekonomis maupun
nasib jiwa kita.”
Ketika masih
sugengnya Ibu Marsaid Susilo dahulu,
kalau saya tidak salah dengar, ada tujuh tanda-tanda seseorang itu dekat dengan
Sang Guru Sejati, sangat dikasihi Tuhan, sebagai berikut.
1)
MAT (Marem, Ayem,
Tentrem). Suatu keadaan jiwa yang dapat merasakan betapa puas, lega,
tenang, damai, dan tenteram. Ulasan Kang
Kelana (2015:121) menyatakan bahwa “Cirinya bahwa kita telah dekat kepada
Suksma Sejati ialah ketenangan dan ketenteraman yang tidak luntur dan sukar hilang,
bila kita kembali terjun ke dalam keramaian dunia.”
2)
Banyak permohononan yang dikabulkan, sebagai tanda betapa
Tuhan penuh kasih kepada semua makhluknya. Sabda
Khusus Peringatan Nomor 24 butir 2 (2014:118): “Sesungguhnya Allah
Mahamurah dan Mahakasih, tetapi jangan lupa, Allah itu Mahaadil. Sungguhpun
engkau dapat menerima sih anugerah Allah, engkau juga dapat menerima keadilan
Allah.”
3)
Memberi cepat kembali, semakin memberi banyak kepada
orang lain, kembalinya kepada kita juga banyak. Arsip Sarjana Budi Santosa (2015:21) butir 33: “Kalau transpirasi
besar, sih pepadang banyak pula. Kalau si Siswa lebih suka malas daripada
lelah, ya inspirasinya juga hanya kedip-kedip saja atau terus tertangguhkan
saja. Andaikata sih dari Sang Guru Sejati meningkatkan derajat si Siswa 10 X
usahanya, maka siswa yang misalnya 1 meter majunya akan ditarik menjadi 10
meter. Siswa yang majunya 10 meter akan melangkah sampai 10 X 10 meter = 100
meter. Tetapi anugerah tidak tetap sama bagi tiap-tiap usaha. Sih dari Suksma
Sejati makin besar bilamana usahanya makin keras. Untuk usaha yang besar
misalnya, sihnya tidak tetap 10 X, melainkan 100 X.”
4)
Seringkali kita diberi pinjaman kebijaksanaan, buah dari
sadar kita kepada Tuhan. Arsip Sarjana
Budi Santosa (2015:29) butir 46: “Sadar menjelma menjadi
kebijaksanaan”.
5)
Sering pula kita diberi pinjaman kekuasaan, buah dari
rasa percaya/iman kita kepada Tuhan. Arsip
Sarjana Budi Santosa (2015:29) butir 46: “Percaya membawa kekuasaan”. Sabda Khusus Peringatan Nomor 2
(2014:11) butir 9: “Kepercayaan itu wadah kekuasaan atau utuhnya kepercayaan
memiliki kekuasaan gaib”.
6)
Kita juga diperkenankan dapat membabarkan karsa Tuhan,
buah dari taat melaksanakan perintah. Arsip
Sarjana Budi Santosa (2015:29) butir 46: “taat membawa kemauan manusia
kepada tingkat Kehendak Suksma Kawekas”. Dalam Serat Warisan Langgeng bagian 3, ”Mijil” apabila kita dapat melaksanakan
Dasa Sila dengan sungguh-sungguh mendapatkan anugerah Tuhan secara teratur,
tata tenteram, bahagia selamanya, kasih Tuhan senantiasa turun mengalir terus,
apa pun yang diangankan terlaksana, yang dikehendaki pun diperkenankan,
dikabulkan.
7)
Sudah tidak memiliki keinginan apa-apa lagi, sudah merasakan
kebahagiaan hidup sejati, bertunggal dengan Suksma Kawekas dan Suksma Sejati,
mencapai kasunyatan. Dalam Arsip Sarjana Budi Santosa (2015:28)
alinea 44 menyatakan bahwa ”Gejala-gejala bahwa kita telah dekat kepada Suksma
Sejati ialah lenyapnya keinginan dan kemauan. Adanya hanya menyerah saja,
tetapi rasa menyerah ini tidak disertai lumpuh aktivitas. Siswa yang dekat
kepada Suksma Sejati tetap aktif. Di samping aktif si siswa menerima dengan
ikhlas apa saja yang dijumpainya.”
Selanjutnya dalam Arsip Sarjana Budi
Santosa (2015:71) alinea 101 dinyatakan bahwa ”Manusia yang telah
bertunggal dengan Suksma Sejati mencapai puncak kebahagiaan hidup.
Bahagialah pula orang-orang yang dekat kepada manusia tersebut, apabila mereka
dapat membuka hati mereka bagi pepadang yang dilimpahkan kepada mereka.”
7. Berita Bahagia
Ulasan Kang Kelana (2015: 174) menyatakan bahwa
“Berita Bahagia itu adalah sabda dari Sang Guru Sejati yang disampaikan oleh
Pakde Narto kepada kita sekalian dan berlaku bagi seluruh umat, tidak hanya
bagi anggota Pangestu saja. Bagi calon siswa dari Sang Suksma Sejati tidak
menjadi soal bilamana keadilan akan sampai kepada kita.”
Pada bulan September 1963, Sang Guru
Sejati memberi sabda kepada Pakde Narto berisi peringatan agar siswa yang percaya
kepada ajaran Sang Guru Sejati benar-benar menjalankan perintah-Nya, yaitu
menjalankan Hasta Sila dan Jalan Rahayu serta menjauhi larangan-Nya yang
tercantum dalam Paliwara.
Untuk melaksanakan perintah Sang
Guru Sejati, maka pada tanggal 10—15 September 1963, Paranpara Pangestu, R.
Soenanrto Mertowardojo mesubrata
dengan jalan ngamar agar para siswa
menambah rasa bakti dan mendekat kepada Sang Guru Sejati.
Selama Pakde berkhalawat itu Beliau
mendapatkan sabda dari Sang Guru Sejati yang harus disampaikan kepada para
siswa-Nya yang disebut “Berita Bahagia”. Berita Bahagia tersebut terdiri atas
tiga bab, yaitu:
1)
Siapa yang betul-betul (sungguh-sungguh) berjalan menurut
petunjuk Jalan Rahayu (Panca Darma Bakti), maka ia akan menerima sih anugerah
dari Sang Guru Sejati. Adapun sih anugerah itu sangat luas artinya dan meliputi
banyak bidang. Sih anugerah itu datangnya tidak terduga dan sekonyong-konyong,
hingga orang tidak dapat memperhitungkannya terlebih dahulu. Maka dari itu,
Pakde menganjurkan agar para siswa, baik yang muda maupun yang tua, pria maupun
wanita, yang lama maupun yang baru, selalu berjalan di atas Panca Darma Bakti
dengan tidak mengharapkan turunnya
sih anugerah tersebut.
2)
Para siswa yang menepati Hasta Sila sebaik-baiknya akan
mendapatkan kebahagiaan hidup yang abadi dan akhirnya akan bertunggal dengan
Tuhan, seperti apa yang menjadi tujuan tiap siswa Sang Guru Sejati menurut arti
Paguyuban Ngesti Tunggal. Oleh karena itu, Pakde menganjurkan kepada para siswa
Sang Guru Sejati agar senantiasa menjalankan Hasta Sila sebaik-baiknya, tidak
hanya untuk dibicarakan, tetapi untuk dilaksanakan di dalam praktik kehidupan
sehari-hari.
3)
Berita yang ketiga merupakan peringatan agar para siswa
tidak melanggar Paliwara. Setiap pelanggaran Paliwara akan diikuti oleh suatu
tempelak yang setimpal, sedangkan tempelak tersebut datangnya langsung, artinya
tidak menungggu sampai kehidupan yang (mungkin) akan datang, dengan jangka
waktu yang tidak lama.
Selanjutnya dalam Ulasan Kang Kelana
(2015:174—175) disampaikan: “Soalnya bagi kita ialah bahwa kita hidup di jalan
yang benar menurut tuntunan dari Sang Suksma Sejati seperti yang telah
tercantum dalam pustaka suci Sasangka
Jati dan menjauhkan diri dari segala pantangan-pantangan.
Bila demikian, kita tidak akan menerima tempelak yang pahit dan berat,
tetapi keadilan yang jatuh pada diri kita adalah berupa anugerah. Dan anugerah
ini dijanjikan pula dalam berita bahagia tersebut.
Lebih dari satu tahun yang lalu Pakde Narto menyampaikan sabda dari Suksma
Sejati kepada kita yang menyebutkan bahwa barang siapa menjalankan Jalan Rahayu
akan menerima anugerah yang seimbang dengan pengorbanan, dan barang siapa
menjalankan Hasta Sila akan menerima kebahagiaan hidup untuk selama-lamanya di
dunia sekarang dan di akhirat kemudian.
Ini berarti bahwa yang memenuhi syarat melaksanakan Hasta Sila akan
bertunggal dengan Suksma Sejati, karena kebahagiaan yang abadi di dunia dan di
akhirat adalah semata-mata hasil dari bertunggalnya seorang siswa wreda dengan
Sang Guru Sejati. Kita harus sunggguh-sungguh merasa bahagia bahwa Sang Guru
Sejati menjanjikan demikian dengan tegasnya.
Tidak ada lain kebahagiaan yang abadi di dunia dan di akhirat kecuali
bertunggal dengan Sang Suksma Sejati. Akan tetapi, di samping kebahagiaan yang
mahabesar itu, dunia akan mengalami hal yang sangat mengerikan di mana keadilan
Suksma Kawekas berupa tempelak akan disampaikan tepat pada alamatnya
masing-masing dalam waktu yang pendek.”
8. Penutup
Bapak, Ibu,
dan Saudara para warga Paguyuban Ngesti Tunggal yang berbahagia, setelah saya
mendapatkan ceramah penerangan dan dilantik menjadi warga Pangestu, banyak
manfaat dan anugerah Ilahi yang saya peroleh. Atas manfaat dan anugerah Ilahi
inilah yang saya merasakan “winengku ing suka bahagia”, senantiasa diliputi
oleh rasa suka bahagia, yang juga digambarkan oleh Bapak Pangrasa dengan
ungkapan “Muga putra-putraku nyandunga kembang
cepaka sawakul” (Bawa Raos Ing Salebeting
Raos, 1998:165) “Semoga putra-putraku mendapatkan kebahagiaan yang
melimpah” (Olah Rasa di Dalam Rasa,
2013:155) atau “mugi-mugi putra sekaliyan
sami nyandung sekar cepaka mulya sawakul”
(Taman Kamulyan Langgeng, 2001:68) “Semoga
Ananda berdua mendapatkan kebahagiaan” (Taman
Kemuliaan Abadi, 2015:65).
Terima kasih
yang tulus tidak terhingga, matur nuwun
Gusti Allah, atas sih anugerah, tuntunan, pepadang, daya kekuatan, dan
lindungan Suksma Sejati, Guru Sejati, Penuntun, dan Guru Dunia, Nur Ilahi.
Sampai saat ini anugerah-anugerah Sang Guru Sejati yang dilimpahkan kepada kami
sekeluarga sungguh luar biasa, terus mengalir tiada henti, sejak lahir di dunia
hingga kini kenikmatan duniawi dan rohani senantiasa terus dapat saya rasakan.
Luar biasa, sungguh dahsyat sekali sih anugerah, tuntunan, pepadang, daya
kekuatan, dan lindungan Sang Guru Sejati yang dilimpahkan kepada kami
sekeluarga.
Satuhu.