Sunday, 17 June 2012

Jung, Bahtera, Kapal, Perahu Nuh

 

 Kata ‘jung bertudung’ pada larik pertama bait keempat sajak “Hanya Satu” Amir Hamzah: “Terapung naik jung bertudung” dirujuk secara utuh dan ditransformasikan ke dalam sajak “Bahtera Nuh” karya A.D. Donggo. “Jung bertudung” adalah istilah khas Melayu, atau setidak-tidaknya merupakan pilihan kata kreatif Amir Hamzah untuk menggantikan kata kapal, perahu, atau bahtera yang lazim dipakai dalam bahasa terjemahan kitab suci. Kata jung bertundung berdasarkan arti pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988:369) adalah kata jung berarti 'perahu besar untuk di lautan buatan negeri Cina'. Pengertian kata jung dalam sajak "Hanya Satu" karya Amir Hamzah di sini bukan seperti makna yang tersurat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tetapi yang diambil adalah bentuk [besar] dan fungsinya [berlayar di lautan]. Air bah yang menenggelamkan seluruh permukaan di dunia pada zaman Nabi Nuh itu dapat dipadankan dengan lautan sehingg jung bertundung dapat difungsikan untuk berlayar seperti di lautan.
Para penyair yang lainnya, seperti Subagio Sastrowardojo memilih menggunakan kata kapal dan bahtera dalam sajaknya “Kapal Nuh” dan “Nuh”. Penggunaan kata kapal tampak jelas dalam judul sajak, “Kapal Nuh”, dan larik kedua bait pertama, “Kapal Nuh di pelabuhan malam”, dan sajak “Nuh” pada bait keempat, “Kapal terakhir terdampar di pasir”. Sementara itu, pemakaian kata bahtera terlihat secara jelas pula dalam sajak “Kapal Nuh” Subagio Sastrowardojo, yaitu larik pertama bait kedua, “Kalau bahtera mulai bertolak”. Ini berarti Subagio Sastrowardojo tidak membedakan antara kata bahtera dan kapal baik dari segi makna maupun estetika. Subagio lebih cenderung memilih fungsi dari kedua kata itu sebagai alat angkut atau kendaraan di air yang menyelamatkan umat Nuh.
Sapardi Djoko Damono dalam sajaknya “Perahu Kertas” hanya memilih kata perahu sebagai alat transportasi di air (sungai, laut, dan banjir). Dalam sajak “Perahu Kertas” itu Sapardi menggunakan kata perahu sebanyak lima kali, yaitu kata perahu kertas (2 kali), perahumu (2 kali), dan perahu (1 kali). Frekuensi pemakaian kata perahu yang begitu banyak dalam sajak “Perahu Kertas” ini sebagai pertanda betapa pentingnya makna kehadiran perahu itu untuk menyelamatkan hidup umat manusia. Pemakaian kata perahu dalam sajak “Perahu Kertas” Sapardi Djoko Damono ini diikuti oleh Dorothea Rosa Herliany dalam sajaknya “Numpang Perahu Nuh”.
Goenawan Mohamad dalam sajaknya “Nuh” lebih memilih menggunakan kata bahtera untuk menandai alat transportasi di tengah air bah yang menyelamatkan Nuh beserta para pengikutnya. Sajak “Nuh” Goenawan itu menggunakan kata bahtera sebanyak dua kali, yaitu dalam larik kedua bait ketiga, “di kamarnya dalam bahtera”, dan larik keempat bait keenam, “Nuh segera meminta agar bahtera diarahkan ke sebuah dataran”. Penggunaan kata bahtera dalam sajak “Nuh” Goenawan ini tampaknya merujuk pada bahtera dalam sajak “Kapal Nuh” Subagio Sastrowardojo. Langkah Subagio dan Goenawan ini diikuti oleh A.D. Donggo dalam sajaknya “Bahtera Nuh”. Donggo menggunakan kata bahtera Nuh sebanyak lima kali, yaitu dalam (1) judul sajak, “Bahtera Nuh”, (2) larik pertama bait pertama, “Bahtera Nuh terdampar di puncak dunia”, (3) larik ketiga bait pertama, “Bahtera Nuh terdampar di pangkuan Tuhan”, (4) larik keempat bait kedua, “Bahtera Nuh menempuh arah haluan”, dan (5) larik kedua bait ketiga, “Bahtera Nuh lego jangkar”. Tampaknya Donggo cenderung mentuahkan kata bahtera Nuh sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sejarah keimanan dirinya.
Berikut ditelaah rujukan kata jung bertudung, bahtera Nuh, kapal Nuh, dan perahu Nuh dalam hubungan intertekstual sajak Indonesia modern yang menghadirkan Nuh dengan ayat-ayat dalam Alkitab dan Al-Quran.
Bait keempat dalam sajak "Hanya Satu": “Terapung naik jung bertudung/ tempat berteduh Nuh kekasihmu/ bebas lepas lelang lapang/ Di tengah gelisah, swara sentosa” secara intertekstualitas teks tersebut sejajar dengan teks-teks kisah Nuh dalam Alkitab, Kitab Kejadian 7:7,17,18, dan dalam Al-Quran, Surat Hud:41--42 dan Surat Al-Qamar:13--15, sebagai berikut.

"Nuh dan istrinya, dan anak-anaknya beserta istri mereka, masuk ke dalam bahtera itu untuk menyelamatkan diri dari banjir."
(Alkitab, Kitab Kejadian 7:7)

“Banjir itu terus melanda selama empat puluh hari, dan air menjadi cukup tinggi sehingga bahtera itu dapat mengapung. Air semakin tinggi dan kapal itu terapung-apung pada permukaan air.”
 (Alkitab, Kitab Kejadian 7:17 dan 18)

"Dan Nuh berkata: 'Naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya’. Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung”
 (QS Hud/11: 41--42)

"Dan Kami angkut Nuh ke atas (perahu) yang terbuat dari papan dan dipaku. Yang berlayar dengan pemeliharaan Kami sebagai balasan bagi orang-orang yang diingkari (Nuh). Dan sesungguhnya telah Kami jadikan kapal itu sebagai pelajaran, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran?”
(QS Al-Qamar/54:13--15)

Kutipan terjemahan dari kitab suci, Alkitab dan Al-Quran, tersebut masing-masing menggunakan kata kapal, bahtera, dan perahu, sedangkan dalam sajak Amir Hamzah menggunakan kata jung bertudung. Pengertian kata jung bertudung telah dijelaskan di muka. Berikut dijelaskan pemakaian kata bahtera, kapal, dan perahu berdasarkan rujukan dalam Alkitab dan Al-Quran.
Konkordansi Alkitab (Walker, 1993) membedakan pemakaian kata bahtera (hlm. 39), kapal (hlm. 183), dan perahu (hlm. 287). Meskipun ketiga kata itu memiliki pengertian yang sama sebagai alat angkutan di air, tetapi kata-kata itu mengacu pada kisah atau sejarah kenabian yang berbeda-beda. Kata bahtera digunakan untuk mengacu kapal atau perahu yang dibuat dan dipakai berlayar oleh Nabi Nuh dan para pengikutnya, seperti yang terungkap dalam Perjanjian Lama, Kitab Kejadian 6:14–9:18, “Buatlah bagimu sebuah bahtera dari kayu gofir, bahtera itu harus kaubuat berpetak-petak... Anak-anak Nuh yang keluar dari bahtera ialah Sem, Ham, dan Yafet.”, atau dalam Perjanjian Baru, kitab Matius 24: 38 “sampai kepada hari Nuh masuk ke dalam bahtera”; Ibrani 11:7, “Nuh mentaati Allah sehingga ia membuat sebuah bahtera yang kemudian ternyata menyelamatkan dirinya dan keluarganya.”; dan 1 Petrus 3:20, “Pada waktu itu Allah menanti dengan sabar selama Nuh membuat bahteranya”. Pernyataan ini diperkuat dengan Kamus Alkitab (1996:340) bahwa “bahtera” artinya ‘kapal yang dibuat Nuh untuk meluputkan diri, keluarganya, dan binatang-binatang dari air bah’
Kata kapal dalam Alkitab mengacu pada kisah para raja Salomo dalam pelayaran di Ezion (1Raj.6:5) dan di Tarsis (1Raj.10:22), Yosafat membuat kapal dan pergi ke Ofir (1Raj.22:49), dan sebagainya yang tidak ada kaitannya dengan peristiwa yang dialami oleh Nuh dan umatnya. Sementara itu, kata perahu digunakan untuk mengacu pada kisah Kristus dan para murid-muridnya dalam Perjanjian Baru, seperti dalam kitab Matius 4:22, 14:24; Markus 6:47; Lukas 5:7, 8:22; dan Yohanes 6:22, 21:6, yang tidak ada pula kaitannya dengan peristiwa yang dialami oleh Nuh dan umatnya. Dengan demikian, yang dimaksud dengan “Kapal Nuh” dalam sajak Subagio Sastrowardojo itu adalah pengertian bahtera Nuh seperti yang dimaksud dalam Alkitab, yaitu “kapal yang dibuat oleh Nabi Nuh untuk menyelamatkan dirinya, keluarganya, dan seluruh pengikutnya”. Kata bahtera itu sendiri mengingatkan langsung pada peristiwa banjir, air “bah” yang dialami oleh Nuh dan umatnya, yaitu berasal dari kata bah yang artinya ‘banjir’, dan kata tera artinya ‘tanda uji yang dicapkan pada timbangan’. Hal ini menunjukkan perlunya keseimbangan, seperti juga timbangan, kapal dapat berlayar dengan tenang dan stabil di atas air bah bila dalam keadaan seimbang.
Terjemahan Al-Quran (Departemen Agama, 1995) kata bahtera juga cenderung digunakan untuk nama kapal atau perahu yang dibuat oleh Nabi Nuh, seperti dalam Surat Al-A’raaf 64, Surat Yunus 73, Surat Hud 37, dan Surat Al-Mu’minuun 27, yang berbunyi sebagai berikut.
“Maka mereka mendustakan Nuh, kemudian Kami selamatkan dia dan orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera, dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang buta (mata hatinya).”
(QS Al-A’raaf/7: 64)

“Lalu mereka mendustakan Nuh, maka Kami selamatkan dia dan orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera, dan Kami jadikan mereka itu pemegang kekuasaan dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustkan ayat-ayat Kami. Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang diberi peringatan itu.”
(QS Yunus/10: 73)

“Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami, dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang zalim itu; sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan.”
(QS Hud/11: 37)

“Lalu Kami wahyukan kepadanya, “Buatlah bahtera di bawah penilikan dan petunjuk Kami, maka apabila perintah Kami telah datang dan tanur telah memancarkan air maka masukkanlah ke dalam bahtera itu sepasang dari tiap-tiap (jenis) dan (juga) keluargamu, kecuali orang yang telah lebih dahulu  ditetapkan (akan ditimpa azab) di antara mereka. Dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang zalim, karena sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan.”
(QS Al-Mu’minuun/23: 27)

Sementara itu, kata kapal sering digunakan untuk menerangkan alat angkut atau kendaraan di air dan laut yang tidak berhubungan dengan peristiwa yang dialimi oleh Nabi Nuh dan umatnya, misalnya dalam Surat Al-Israa’ 66, Surat Asy-Syuura 32, dan Surat Al-Jaatsiyah 12, yang berbunyi sebagai berikut.
“Tuhanmu adalah yang melayarkan kapal-kapal di lautan untukmu, agar kamu mencari sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyayang terhadapmu.”
(QS Al-Israa’/17: 66)

“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah kapal-kapal (yang berlayar) di laut seperti gunung-gunung.”
(QS Asy-Syuura/42: 32)

“Allahlah yang menunjukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal dapat berlayar padanya dengan seizin-Nya dan supaya kamu dapat mencari sebagian karunia-Nya dan mudah-mudahan kamu bersyukur.”
(QS Al-Jaatsiyah/45: 12)

Sajak “Kapal Nuh” karya Subagio Sastrowardojo memilih menggunakan dua kata yang berbeda, yaitu kata kapal pada judul sajak dan larik kedua bait pertama, dan kata bahtera pada larik pertama bait kedua. Kedua kata itu merujuk pada pengertian yang sama, yaitu alat angkut di air atau laut yang digunakan oleh Nuh dan umatnya. Perbedaannya terletak pada penggunaan alat angkut kendaraan di air atau laut itu zaman kini dan masa lampau. Kata kapal dalam sajak ini lebih cenderung digunakan untuk alat angkut dimasa sekarang, sebagai penafsiran mitos baru tentang Kapal Nuh. Kata bahtera lebih cenderung ditafsirkan sebagai alat angkut yang digunakan pada masa lalu, lampau, atau telah lewat, ketika terjadi banjir besar zaman Nabi Nuh, berhubungan dengan peristiwa air bah.
Inti gagasan dari ayat-ayat Alkitab dan Al-Quran yang ditransformasikan ke dalam sepuluh sajak Indonesia modern yang menghadirkan Nuh itu merupakan representasi secara konkret ayat-ayat dalam kitab suci yang teraktualisasikan sebagai tafsir spiritual penyair ke dalam bahasa figuratif. Secara nyata pula sepuluh sajak Indonesia modern tersebut mengaktualisasikan kegelisahan umat Nuh ketika menghadapi bahaya bencana banjir besar. Nabi Nuh sebagai umat Tuhan yang terkasih mendapatkan anugerah dapat bebas (selamat) dari ancaman bencana tersebut berkat naik di atas jung bertudung, kapal, bahtera, atau perahu Nuh. Di sini secara jelas delapan penyair tersebut berusaha mengukuhkan kembali keberadaan mitos Nabi Nuh dan perahunya ke dalam sajaknya sebagai tafsir spiritual yang kreatif atas ayat-ayat Alkitab atau Al-Quran yang kemudian ditransformasikan ke dalam bahasa figuratif, berupa sajak.

No comments:

Post a Comment

Pertemuan 15 Teori Sastra Tempatan