Kata ‘jung bertudung’ pada larik pertama bait keempat sajak “Hanya Satu” Amir Hamzah: “Terapung naik jung bertudung” dirujuk secara utuh dan ditransformasikan ke dalam sajak “Bahtera Nuh” karya A.D. Donggo. “Jung bertudung” adalah istilah khas Melayu, atau setidak-tidaknya merupakan pilihan kata kreatif Amir Hamzah untuk menggantikan kata kapal, perahu, atau bahtera yang lazim dipakai dalam bahasa terjemahan kitab suci. Kata jung bertundung berdasarkan arti pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988:369) adalah kata jung berarti 'perahu besar untuk di lautan buatan negeri Cina'. Pengertian kata jung dalam sajak "Hanya Satu" karya Amir Hamzah di sini bukan seperti makna yang tersurat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tetapi yang diambil adalah bentuk [besar] dan fungsinya [berlayar di lautan]. Air bah yang menenggelamkan seluruh permukaan di dunia pada zaman Nabi Nuh itu dapat dipadankan dengan lautan sehingg jung bertundung dapat difungsikan untuk berlayar seperti di lautan.
Para penyair yang lainnya, seperti Subagio Sastrowardojo memilih
menggunakan kata kapal dan bahtera dalam sajaknya “Kapal Nuh” dan
“Nuh”. Penggunaan kata kapal tampak
jelas dalam judul sajak, “Kapal Nuh”, dan larik kedua bait pertama, “Kapal Nuh di pelabuhan malam”, dan sajak
“Nuh” pada bait keempat, “Kapal terakhir
terdampar di pasir”. Sementara itu, pemakaian kata bahtera terlihat secara jelas pula dalam sajak “Kapal Nuh” Subagio
Sastrowardojo, yaitu larik pertama bait kedua, “Kalau bahtera mulai bertolak”. Ini berarti Subagio Sastrowardojo
tidak membedakan antara kata bahtera
dan kapal baik dari segi makna maupun
estetika. Subagio lebih cenderung memilih fungsi dari kedua kata itu sebagai
alat angkut atau kendaraan di air yang menyelamatkan umat Nuh.
Sapardi Djoko Damono dalam sajaknya “Perahu Kertas”
hanya memilih kata perahu sebagai
alat transportasi di air (sungai, laut, dan banjir). Dalam sajak “Perahu
Kertas” itu Sapardi menggunakan kata perahu
sebanyak lima
kali, yaitu kata perahu kertas (2
kali), perahumu (2 kali), dan perahu (1 kali). Frekuensi pemakaian
kata perahu yang begitu banyak dalam
sajak “Perahu Kertas” ini sebagai pertanda betapa pentingnya makna kehadiran
perahu itu untuk menyelamatkan hidup umat manusia. Pemakaian kata perahu dalam sajak “Perahu Kertas”
Sapardi Djoko Damono ini diikuti oleh Dorothea Rosa Herliany dalam sajaknya
“Numpang Perahu Nuh”.
Goenawan Mohamad dalam sajaknya “Nuh” lebih memilih
menggunakan kata bahtera untuk
menandai alat transportasi di tengah air bah yang menyelamatkan Nuh beserta
para pengikutnya. Sajak “Nuh” Goenawan itu menggunakan kata bahtera sebanyak dua kali, yaitu dalam
larik kedua bait ketiga, “di kamarnya
dalam bahtera”, dan larik keempat bait keenam, “Nuh segera meminta agar bahtera diarahkan ke sebuah dataran”.
Penggunaan kata bahtera dalam sajak
“Nuh” Goenawan ini tampaknya merujuk pada bahtera
dalam sajak “Kapal Nuh” Subagio Sastrowardojo. Langkah Subagio dan Goenawan ini
diikuti oleh A.D. Donggo dalam sajaknya “Bahtera Nuh”. Donggo menggunakan kata bahtera Nuh sebanyak lima kali, yaitu
dalam (1) judul sajak, “Bahtera Nuh”, (2) larik pertama bait pertama, “Bahtera Nuh terdampar di puncak dunia”,
(3) larik ketiga bait pertama, “Bahtera
Nuh terdampar di pangkuan Tuhan”, (4) larik keempat bait kedua, “Bahtera Nuh menempuh arah haluan”, dan
(5) larik kedua bait ketiga, “Bahtera Nuh
lego jangkar”. Tampaknya Donggo cenderung mentuahkan kata bahtera Nuh sebagai bagian yang tak
terpisahkan dari sejarah keimanan dirinya.
Berikut ditelaah rujukan kata jung bertudung, bahtera Nuh, kapal Nuh, dan perahu Nuh dalam hubungan intertekstual sajak Indonesia modern
yang menghadirkan Nuh dengan ayat-ayat dalam Alkitab dan Al-Quran.
Bait keempat dalam sajak "Hanya Satu": “Terapung naik jung bertudung/ tempat
berteduh Nuh kekasihmu/ bebas lepas lelang lapang/ Di tengah gelisah, swara
sentosa” secara intertekstualitas teks tersebut sejajar dengan teks-teks
kisah Nuh dalam Alkitab, Kitab
Kejadian 7:7,17,18, dan dalam Al-Quran,
Surat Hud:41--42 dan Surat Al-Qamar:13--15, sebagai berikut.
"Nuh dan istrinya, dan anak-anaknya beserta istri
mereka, masuk ke dalam bahtera itu
untuk menyelamatkan diri dari banjir."
(Alkitab,
Kitab Kejadian 7:7)
“Banjir itu terus melanda selama empat puluh hari, dan
air menjadi cukup tinggi sehingga bahtera
itu dapat mengapung. Air semakin tinggi dan kapal itu terapung-apung pada
permukaan air.”
(Alkitab, Kitab Kejadian 7:17 dan 18)
"Dan Nuh berkata: 'Naiklah kamu sekalian ke
dalamnya dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya’.
Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan bahtera itu berlayar membawa mereka
dalam gelombang laksana gunung”
(QS Hud/11:
41--42)
"Dan Kami angkut Nuh ke atas (perahu) yang terbuat dari papan dan
dipaku. Yang berlayar dengan pemeliharaan Kami sebagai balasan bagi orang-orang
yang diingkari (Nuh). Dan sesungguhnya telah Kami jadikan kapal itu sebagai pelajaran, maka adakah orang yang mau mengambil
pelajaran?”
(QS Al-Qamar/54:13--15)
Kutipan terjemahan dari kitab suci, Alkitab dan Al-Quran,
tersebut masing-masing menggunakan kata kapal,
bahtera, dan perahu, sedangkan
dalam sajak Amir Hamzah menggunakan kata jung
bertudung. Pengertian kata jung
bertudung telah dijelaskan di muka. Berikut dijelaskan pemakaian kata bahtera, kapal, dan perahu berdasarkan rujukan dalam Alkitab dan Al-Quran.
Konkordansi
Alkitab (Walker,
1993) membedakan pemakaian kata bahtera
(hlm. 39), kapal (hlm. 183), dan perahu (hlm. 287). Meskipun ketiga kata
itu memiliki pengertian yang sama sebagai alat angkutan di air, tetapi
kata-kata itu mengacu pada kisah atau sejarah kenabian yang berbeda-beda. Kata bahtera digunakan untuk mengacu kapal
atau perahu yang dibuat dan dipakai berlayar oleh Nabi Nuh dan para
pengikutnya, seperti yang terungkap dalam Perjanjian Lama, Kitab Kejadian
6:14–9:18, “Buatlah bagimu sebuah bahtera
dari kayu gofir, bahtera itu harus kaubuat berpetak-petak... Anak-anak Nuh yang
keluar dari bahtera ialah Sem, Ham, dan Yafet.”, atau dalam Perjanjian
Baru, kitab Matius 24: 38 “sampai kepada
hari Nuh masuk ke dalam bahtera”; Ibrani 11:7, “Nuh mentaati Allah sehingga ia membuat sebuah bahtera yang kemudian
ternyata menyelamatkan dirinya dan keluarganya.”; dan 1 Petrus 3:20, “Pada waktu itu Allah menanti dengan sabar
selama Nuh membuat bahteranya”. Pernyataan ini diperkuat dengan Kamus Alkitab (1996:340) bahwa “bahtera” artinya ‘kapal yang dibuat Nuh
untuk meluputkan diri, keluarganya, dan binatang-binatang dari air bah’
Kata kapal
dalam Alkitab mengacu pada kisah para
raja Salomo dalam pelayaran di Ezion (1Raj.6:5) dan di Tarsis (1Raj.10:22),
Yosafat membuat kapal dan pergi ke Ofir (1Raj.22:49), dan sebagainya yang tidak
ada kaitannya dengan peristiwa yang dialami oleh Nuh dan umatnya. Sementara
itu, kata perahu digunakan untuk
mengacu pada kisah Kristus dan para murid-muridnya dalam Perjanjian Baru,
seperti dalam kitab Matius 4:22, 14:24; Markus 6:47; Lukas 5:7, 8:22; dan
Yohanes 6:22, 21:6, yang tidak ada pula kaitannya dengan peristiwa yang dialami
oleh Nuh dan umatnya. Dengan demikian, yang dimaksud dengan “Kapal Nuh” dalam
sajak Subagio Sastrowardojo itu adalah pengertian bahtera Nuh seperti yang dimaksud dalam Alkitab, yaitu “kapal yang
dibuat oleh Nabi Nuh untuk menyelamatkan dirinya, keluarganya, dan seluruh
pengikutnya”. Kata bahtera itu
sendiri mengingatkan langsung pada peristiwa banjir, air “bah” yang dialami
oleh Nuh dan umatnya, yaitu berasal dari kata bah yang artinya ‘banjir’, dan kata tera artinya ‘tanda uji yang dicapkan pada timbangan’. Hal ini
menunjukkan perlunya keseimbangan, seperti juga timbangan, kapal dapat berlayar
dengan tenang dan stabil di atas air bah bila dalam keadaan seimbang.
Terjemahan
Al-Quran (Departemen Agama, 1995) kata bahtera juga cenderung digunakan untuk
nama kapal atau perahu yang dibuat oleh Nabi Nuh, seperti dalam Surat Al-A’raaf
64, Surat Yunus 73, Surat Hud 37, dan Surat Al-Mu’minuun 27, yang berbunyi
sebagai berikut.
“Maka mereka mendustakan Nuh, kemudian Kami selamatkan
dia dan orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera, dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan
ayat-ayat Kami. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang buta (mata hatinya).”
(QS Al-A’raaf/7: 64)
“Lalu mereka mendustakan Nuh, maka Kami selamatkan dia
dan orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera,
dan Kami jadikan mereka itu pemegang kekuasaan dan Kami tenggelamkan
orang-orang yang mendustkan ayat-ayat Kami. Maka perhatikanlah bagaimana
kesudahan orang-orang yang diberi peringatan itu.”
(QS Yunus/10: 73)
“Dan buatlah bahtera
itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami, dan janganlah kamu bicarakan
dengan Aku tentang orang-orang yang zalim itu; sesungguhnya mereka itu akan
ditenggelamkan.”
(QS Hud/11: 37)
“Lalu Kami wahyukan kepadanya, “Buatlah bahtera di bawah penilikan dan petunjuk
Kami, maka apabila perintah Kami telah datang dan tanur telah memancarkan air
maka masukkanlah ke dalam bahtera itu
sepasang dari tiap-tiap (jenis) dan (juga) keluargamu, kecuali orang yang telah
lebih dahulu ditetapkan (akan ditimpa
azab) di antara mereka. Dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang
orang-orang zalim, karena sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan.”
(QS Al-Mu’minuun/23: 27)
Sementara itu, kata kapal
sering digunakan untuk menerangkan alat angkut atau kendaraan di air dan laut
yang tidak berhubungan dengan peristiwa yang dialimi oleh Nabi Nuh dan umatnya,
misalnya dalam Surat Al-Israa’ 66, Surat Asy-Syuura 32, dan Surat Al-Jaatsiyah
12, yang berbunyi sebagai berikut.
“Tuhanmu adalah yang melayarkan kapal-kapal di lautan untukmu, agar kamu mencari sebagian dari
karunia-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyayang terhadapmu.”
(QS Al-Israa’/17: 66)
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah kapal-kapal (yang berlayar) di laut
seperti gunung-gunung.”
(QS Asy-Syuura/42: 32)
“Allahlah yang menunjukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal dapat berlayar padanya
dengan seizin-Nya dan supaya kamu dapat mencari sebagian karunia-Nya dan
mudah-mudahan kamu bersyukur.”
(QS Al-Jaatsiyah/45: 12)
Sajak “Kapal Nuh” karya Subagio Sastrowardojo memilih
menggunakan dua kata yang berbeda, yaitu kata kapal pada judul sajak dan larik kedua bait pertama, dan kata bahtera pada larik pertama bait kedua.
Kedua kata itu merujuk pada pengertian yang sama, yaitu alat angkut di air atau
laut yang digunakan oleh Nuh dan umatnya. Perbedaannya terletak pada penggunaan
alat angkut kendaraan di air atau laut itu zaman kini dan masa lampau. Kata kapal dalam sajak ini lebih cenderung
digunakan untuk alat angkut dimasa sekarang, sebagai penafsiran mitos baru
tentang Kapal Nuh. Kata bahtera lebih
cenderung ditafsirkan sebagai alat angkut yang digunakan pada masa lalu,
lampau, atau telah lewat, ketika terjadi banjir besar zaman Nabi Nuh,
berhubungan dengan peristiwa air bah.
Inti gagasan dari ayat-ayat Alkitab dan Al-Quran yang
ditransformasikan ke dalam sepuluh sajak Indonesia modern yang menghadirkan
Nuh itu merupakan representasi secara konkret ayat-ayat dalam kitab suci yang
teraktualisasikan sebagai tafsir spiritual penyair ke dalam bahasa figuratif.
Secara nyata pula sepuluh sajak Indonesia
modern tersebut mengaktualisasikan kegelisahan umat Nuh ketika menghadapi
bahaya bencana banjir besar. Nabi Nuh sebagai umat Tuhan yang terkasih
mendapatkan anugerah dapat bebas (selamat) dari ancaman bencana tersebut berkat
naik di atas jung bertudung, kapal,
bahtera, atau perahu Nuh. Di sini
secara jelas delapan penyair tersebut berusaha mengukuhkan kembali keberadaan
mitos Nabi Nuh dan perahunya ke dalam sajaknya sebagai tafsir spiritual yang
kreatif atas ayat-ayat Alkitab atau Al-Quran yang kemudian ditransformasikan
ke dalam bahasa figuratif, berupa sajak.
No comments:
Post a Comment