1. Pendahuluan
Sastra Indonesia tumbuh dan
berkembang dari budaya Indonesia yang beraneka ragam. Oleh karena itu,
keberadaan sastra di Indonesia pun beraneka ragam, mulai keragaman genre, gaya
ungkap, tokoh, mitologi, hingga ke masalah sosial, politik, dan budaya
etnik. Genre sastra di Indonesia tidak hanya yang tampak general, seperti
prosa, puisi, dan drama, tetapi juga yang spesifik, seperti dongeng, legenda,
mitos, epos, tambo, hikayat, syair, pantun, gurindam, macapat, karungut, mamanda, dan geguritan. Keberagaman genre sastra tersebut juga menyebabkan
keberagaman dalam hal gaya ungkap, tokoh yang ditampilkan, semangat mitologi
yang mendasari, serta masalah sosial, politik, dan budaya etnik dari sastrawan
daerah yang menuliskan karya tersebut.
Membangun keindonesiaan tidak
pernah selesai selama hayat masih dikandung badan. Selama masih ada negara yang
bernama NKRI dan masih ada rakyat yang mendukungnya, pembangunan di Indonesia
terus akan tetap berkelanjutan. Namun, mau dibawa ke arah mana pembangunan
Indonesia dalam era global dan pasar bebas dunia ini? Dalam hal masalah
keberagaman sastra di Indonesia dalam membangun keindonesiaan, berikut akan
dibicarakan (1) keberagaman laras bahasa, (2) keberagaman budaya etnik, dan (3)
pengaruh budaya asing dan global. Ketiga hal itulah kiranya yang menjadi
masalah krusial dalam menentukan arah pembangunan Indonesia pada masa depan,
khususnya pembangunan dan pembinaan sastra di Indonesia.
2. Keberagaman Laras Bahasa
Bahasa Indonesia merupakan
sarana utama pengucapan sastra Indonesia. Namun, bagi sebagaian besar pengarang
sastra Indonesia, bahasa Indonesia merupakan bahasa kedua, setelah bahasa
ibunya. Tidaklah mengherankan apabila dalam karya sastra yang mereka tulis
terdapat sejumlah kosakata, frasa, dan kalimat bahasa daerah. Hal itu
dimungkinkan karena masyarakat Indonesia berada dalam tataran situasi bilingual
atau multilingual. Dalam masyarakat yang demikian itu, pengarang akan lebih
mudah dan leluasa menciptakan situasi kedwibahasaan (diglosia) secara alamiah. Hal itu mumungkinkan terjadinya alih kode
(code-switching), campur kode (code-mixing), dan interfererensi (interference), seperti yang terdapat
dalam sajak Darmanto Jatman bertajuk Sori Gusti (2002).
Perlu kita sadari bahwa motivasi
timbulnya kosakata, frasa, dan kalimat bahasa daerah dan bahasa asing dalam
karya sastra Indonesia modern merupakan gejala perubahan situasi tindak tutur,
dari daerah ke nasional atau sebaliknya dari nasional ke daerah, dan juga dari
asing ke nasional atau dari nasional ke asing. Dalam situasi yang demikian itu
memungkinkan timbulnya jenis alih kode situasional (situational switching) dan alih kode metaforis (metaphorical switching) sebagai sarana
retorika pengarang, daya ungkap estetis, dan sekaligus sebagai daya pikat yang
mampu menimbulkan pesona. Kita baru menyadari bahwa pengarang sastra Indonesia
modern itu berada dalam jalur transisi antara daerah dan nasional ataupun
daerah, nasional, dan asing. Ada asumsi bahwa pengarang yang berasal dari
daerah yang bukan penutur asli bahasa Indonesia pada umumnya masih dalam taraf
belajar bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua. Bahasa ibu yang dikuasai secara
intuitif adalah bahasa daerah sehingga konsep pemahaman tentang alam semesta,
lingkungan tempat tinggal, sistem kekerabatan, tata ekosistem kemasyarakatan,
dan falsafah hidup yang diajarkan oleh leluhur atau nenek moyangnya akan terasa
kental dengan bahasa daerahnya ketika pengarang menulis dengan bahasa
Indonesia. Bahasa daerah tersebut mewarnai bahasa Indonesia.
Bahasa daerah itu sengaja
digunakan karena bahasa Indonesia tidak mampu mewadahi konsep, tujuan, dan
maksud bahasa daerah. Ada semacam hambatan atau kesukaran menerjemahkan
beberapa kosakata khas bahasa daerah itu ke dalam bahasa Indonesia. Oleh karena
itu, tidaklah mengherankan jika pengarang begitu saja mengambil kosakata bahasa
daerah sebagai khazanah bahasa Indonesia. Hal itu terjadi pada beberapa
pengarang sastra Indonesia, seperti Linus Suryadi A.G., Umar Kayam, Y.B.
Mangunwijaya, Dorothea Rosa Herliany, dan Darmanto Jatman.
Keberagaman laras bahasa
Indonesia yang digunakan oleh pengarang dari daratan Sumatera--yang konon
merupakan asal dari bahasa Indonesia--akan berbeda jauh dengan keragaman laras
bahasa Indonesia yang digunakan oleh para pengarang dari Jawa, Sunda, Bali,
Dayak, Banjar, Papua, Minahasa, dan Bugis. Hal itu tidak mengherankan, karena
dalam awal perkembangan sastra Indonesia modern, para pengarang dari daratan
Sumatera lebih mampu menulis sastra dalam bahasa Indonesia daripada pengarang
yang berasal dari daerah lain. Situasi itu sangat dimungkinkan karena bahasa
Melayu yang diangkat sebagai bahasa nasional (Indonesia) berasal dari Pulau
Sumatera. Namun, apakah pengarang dari daratan Sumatera itu tidak mengalami
kesulitan mengekspresikan "dunia imajiner" mereka ke dalam karya
sastra Indonesia? Tentu saja ada, hanya mereka lebih menguasai secara intuitif
kosakata dasar bahasa Indonesia apabila dibandingkan dengan pengarang lain di
luar Melayu.
Bahasa Indonesia yang berkembang
sekarang tampaknya menyesuaikan perkembangan dinamika zaman. Khazanah kosakata
dan frasa bahasa Indonesia yang ada sekarang ini tidak lagi sesempit
"dunia Melayu". Adaptasi dari istilah asing dan pungutan dari bahasa
daerah di Indonesia jmemperluas perkembangan bahasa Indonesia. Hal itu
ditunjukkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbaru
yang memuat ribuan entri yang berasal dari bahasa daerah, bahasa asing, dan
bahasa Indonesia yang sudah ada sebelumnya.
Amir Hamzah dalam dua kumpulan
sajaknya, Nyanyi Sunyi (1937)
dan Buah Rindu (1941), banyak
menggunakan kosakata arkais. Orang Melayu di Malaysia pun perlu membuka kamus
untuk memahami makna kosakata dalam sajak Amir Hamzah tersebut. Hal itu
terbukti ketika Sutan Takdir Alisyahbana (1970) menerbitkan sajak Amir Hamzah
di Malaysia disertai uraian (semacam paraprase) dan catatan kosakata sukar
(senarai), misalnya kata juriat,
sempana, jemala, terban, ripuk, rampak, lintang pukang, pokok purba, redam
terbelam, jung bertudung, jauhri, asaka, swarna, hauri, canggai, pitunang,
terkelar, kesturi, tepas, disangkak, tercingah pangah, dan terulik (Alisyahbana, 1996:37--54).
Laras bahasa Indonesia yang
digunakan Bokor Hutasuhut dalam novelnya Penakluk Ujung Dunia (1964, 1988) juga diwarnai oleh kosakata
khas bahasa Batak. Novel yang selesai ditulis oleh Bokor Hutasuhut pada tahun
1960 itu dalam penerbitan pertamanya (1964 oleh penerbit Pembangunan, Jakarta)
tidak menyertakan senarai kosakata Batak-Indonesia. Hal yang demikian tentu sangat
menyulitkan pemahaman isi novel tersebut bagi etnik lain di luar Batak. Namun,
pada penerbitan kedua (1988 oleh penerbit Pustaka Karya Grafika Utama, Jakarta)
dalam halaman 199--200 disertakan daftar istilah, seperti kata ama ni Bolpung, ampang ngardang, ampataga,
berandak, bolatan, bona ni pasolgit, buhul, bungkas, curup, dolok, gelagah,
luhak, manortar, mardege, margondang, martandang, menjilam, mora, parhitean,
pargonci, purada, sopo bolon, sanduduk, temterasan, tuhil, dan ura. Dengan
dihadirkannya daftar istilah dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia, pembaca
di luar etnik Batak yang tidak memahami konsep dunia Batak dapat memahami
kandungan novel tersebut.
Mengacu pada kasus pemakaian
laras bahasa Indonesia di atas, sebenarnya kita tidak perlu meributkan diri
ketika Linus Suryadi A.G. pertama menerbitkan Pengakuan Pariyem (1981) dengan mengobral kosakata bahasa Jawa di
dalamnya. Prosa liris yang diberi lampiran kosakata Jawa-Indonesia merupakan
suatu bukti nyata adanya multikulturalisme dalam budaya berbahasa Indonesia.
Pengarang prosa liris Pengakuan
Pariyem sepenuhnya menyadari bahwa pemakaian bahasa Jawa di dalamnya
akan menyulitkan pemahaman isi novel tersebut bagi mereka yang tidak mengerti
konsep pemikiran dunia Jawa. Penerbit novel itu menyadari hal itu
sehingga menyertakan senarai kosakata bahasa Jawa-Indonesia. Kehadiran senarai
kosakata tersebut mampu membantu pemahaman pembaca sastra di luar etnik Jawa
yang tidak memahami bahasa Jawa.
Bahasa Indonesia sebagai sarana
pengucapan karya sastra Indonesia modern, menurut Kuntjaraningrat
(1985:527--538), merupakan wujud nyata kebudayaan nasional bangsa Indonesia.
Kehadiran sastra Indonesia modern yang menggunakan bahasa Indonesia memenuhi
fungsi: (1) memperkuat identitas orang sebagai suatu bangsa, yaitu bangsa
Indonesia; (2) memperkuat solidaritas di antara warga negara dari negara yang
bersangkutan sehingga memperkukuh persatuan Indonesia. Atas dasar pemikiran
itu, sudah sewajarnya apabila karya sastra Indonesia modern mampu menjadi wadah
atau ajang temu budaya, baik antaretnik di Indonesia maupun dunia. Novel Jalan Menikung karya Umar Kayam (1999),
misalnya, mempertemukan berbagai etnik di dalamnya. Lingkup utama novel itu
memang berbicara tentang dunia Jawa, tetapi muncul pula perkawinan etnik
Jawa dengan Minangkabau (Lantip dan Halimah), Jawa dengan Yahudi (Eko dan
Claire Levin), Jawa dengan Barat atau Eropa (Marijan dan Marie, Tommi dan
Jenette), dan Jawa dengan keturunan Cina (Anna dan Boy Saputra). Pertemuan
berbagai bahasa, etnik, warna kulit, dan budaya pun terjadi dalam novel yang
berbahasa Indonesia seperti itu.
3. Keberagaman Budaya Etnik (Daerah)
Sastrawan yang mengangkat
potensi budaya etnik, terutama budaya daerah ke dalam sastra Indonesia modern,
oleh banyak kritikus sastra sering disebut dengan warna lokal (local color)
atau warna setempat. Karya sastra yang mengangkat warna lokal martabat budaya
derahnya telah menjadi sebuah kecenderungan umum. Hal itu tidak mengherankan
bagi kita karena sejak kelahirannya, awal abad XX, sastra Indonesia
bersumber pada budaya sendiri, misalnya roman Balai Pustaka, Siti Nurbaya (Marah Rusli, 1922), Cinta yang Membawa Maut (Nursinah
Iskandar, 1925), Pertemuan (Abas
Sutan Pamuntjak Nan Sati, 1927), Darah
Muda (Adinegoro, 1927), Asmara Jaya
(Adinegoro, 1928), Salah Asuhan (Abdoel
Moeis, 1928), dan Salah Pilih (Nur
Sutan Iskandar, 1928) mengangkat unsur adat masyarakat Minangkabau dalam sastra
Indonesia modern (Ali, 1994).
Budaya Minangkabau dengan segala
adat istiadatnya menjadi sumber kreativitas sastrawan yang berasal dari daerah
Sumatera Barat, seperti Hamka (Djemput
Mamaknya, 1930; Tenggelamnya Kapal
van der Wijck, 1938; Merantau
ke Deli, 1939), Nur Sutan Iskandar (Karena
Mentua, 1932), Aman Datuk Madjainda (Rusmala Dewi, 1932), M. Enri (Karena
Anak Kandung, 1940), dan Marah Rusli (Anak
dan Kemenakan, 1956). Mereka mengangkat masalah (1) kawin paksa dan
hubungannya dengan adat, (2) anggapan tentang kawin dengan orang di luar
sukunya, (3) kebiasaan beristri banyak, (4) keturunan, (5) perkawinan sesuku,
(6) keinginan mengubah sistem matrilinial dalam masyarakat Minangkabau, (7)
adat meminang, dan (8) kebiasaan merantau. Para pengarang Sumatera Barat yang
lahir kemudian pun, seperti A.A. Navis (Kemarau,
1967), Wisran Hadi (Cindua Mato,
1977), Chairul Harun (Warisan, 1979),
Darman Munir (Bako, 1987), dan
Lukman Ali (Pekan Selasa, 1999) tidak
luput pula menggali nilai budaya sendiri, yaitu budaya daerah Minangkabau ke
dalam karya sastra Indonesia modern.
Selain daerah Minangkabau,
penggalian nilai budaya sendiri ke dalam budaya Indonesia terjadi pula pada
budaya Jawa. Pengarang dari Jawa, seperti Linus Suryadi A.G. (Pengakuan Pariyem, 1981; dan Tirta Kamandanu, 1994), Umar Kayam (Sri Sumarah dan Bawuk, 1975; Para
Priyayi, 1992; dan Jalan
Menikung, 1999), Y.B. Mangunwijaya (Burung-Burung
Manyar, 1983; Roro Mendut, 1984, Genduk Duku, 1987; Lusi Lindri, 1987, dan Durga Umayi, 1990), Ahmad Tohari (Ronggeng Dukuh Paruk, 1980), dan
Dorothea Rosa Herliany (Blencong,
1993) menghadirkan dunia Jawa dengan berbagai persoalannya. Budaya Jawa yang
identik dengan dunia wayang, burung perkutut, keris, katuranggan, narima, pasrah, lego-lilo, dan hal-hal yang
supernatural seolah-olah menjadi hidup kembali, semacam "renaisans
kebudayaan Jawa", dalam panggung sejarah kesusastraan Indonesia modern.
Dunia Jawa yang terkenal dengan sekuler, harmoni, sinkretisme, dan segala
tindak-tanduknya dalam kepercayaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa menjadi tampak
jelas terefleksi dalam karya sastra Indonesia modern. Keanekaragaman budaya
bangsa yang demikian hanya dapat kita simak secara saksama melalui sebuah karya
sastra, tidak dalam wujud buku pengetahuan tentang sosiologi, antropologi,
politik, dan ilmu sosial kemasyarakatan lainnya. Jelaslah dalam masalah
multikulturalisme itu sastra Indonesia modern memberi sumbangan yang signifikan
bagi kelangsungan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Penggalian nilai budaya sendiri
juga dilakukan oleh pengarang dari Sunda, Jawa Barat, misalnya Ajip Rosidi,
Ramadhan K.H., dan Achdiat Kartamihardja melalui novel dan cerita pendek yang
ditulisnya. Achdiat Kartamihardja mampu mengumpulkan sebanyak 41 cerita rakyat
Sunda “Si Kabayan” dalam bukunya Si
Kabayan Manusia Lucu (1997). Firman Muntaco dan S.M. Ardan menulis
kehidupan masyarakat Betawi yang terpinggirkan oleh para kaum urban, misalnya,
dalam buku kumpulan cerpen Terang
Bulan Terang di Kali (1974). Kehidupan masyarakat Betawi tempo dulu
dan hubungannya dengan kaum peranakan Tionghoa pun digali dan diceritakan
kembali oleh Remy Sylado dalam bukunya Ca-Bau-Kan (1999).
Dari daerah lain di luar
Sumatera dan Jawa pun kita temukan, misalnya dari Bali kita temukan Oka Rusmini
dalam novelnya Sagra (1996)
dan beberapa cerpennya yang dimuat dalam Horison,
seperti "Sang Pemahat" (2000), menggali nilai budaya Bali ke dalam
karya sastra Indonesia modern. Pengarang lain dari Bali, yaitu Rasta Sindhu (Sahabatku Hans Schmitter, 1968), Faisal
Baraas (Sanur Tetap Ramai, 1970),
Putu Wijaya (Tiba-Tiba Malam, 1972,
dan Dasar, 1993), Ngurah Persua (Tugu Kenangan, 1984), dan Aryantha
Soethama (Suzan, 1988), juga
menggali nilai budaya Bali dalam karya sastra Indonesia modern. Dari daerah
Nusa Tenggara kita menemukan Putu Arya Tirtawirya, Gerson Poyk, dan Otto J.
Gaut, yang juga mengekspresikan nilai budaya, yaitu nilai budaya Nusa Tenggara.
Otto J. Gaut, yang tidak seproduktif pengarang pendahulunya, dalam
novelnya Mawar Padang Ara (1997)
mampu memenangkan sayembara menulis novel majalah wanita Femina (1995) dan menjadi cerminan
budaya Nusa Tenggara.
Adanya otonomi daerah dan era
keterbukaan yang digulirkan oleh para reformis membuka jalan bagi daerah untuk
menunjukkan jati dirinya. Peran budaya daerah menjadi sangat urgen bagi
perkembangan sastra Indonesia selanjutnya. Terlebih, jika dalam karya sastra
yang mereka tampilkan mampu menunjukkan adanya kebinekatunggalikaan, karya
tersebut dapat menjadi perekat pergaualan antarsuku, ras, agama, dan
antargolongan serta menjadi andil yang nyata dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Bersumber pada budaya sendiri dalam menampilkan wajah
budaya Indonesia menjadi tonggak sejarah yang tidak ternilai harganya. Oleh
karena itu, para penulis putra daerah tidak perlu berkecil hati mengangkat
martabat budaya daerah ke dalam karya sastra Indonesia modern. Justru budaya
daerah itulah yang menjadi akar dan pilar budaya Indonesia. Dengan demikian,
budaya daerah menjadi substansi utama dalam pengembangan budaya Indonesia baru
dalam menghadapi era globalisasi dan pasar bebas. Kita tidak mungkin mampu
bersaing mencapai Indonesia baru tanpa kehadiran budaya daerah dalam khazanah
budaya Indonesia.
4. Pengaruh Budaya Asing dan Global
Pengaruh budaya asing, terutama
Barat, sudah ada dalam awal perkembangan sastra Indonesia modern. Lahirnya
soneta Indonesia, selain menggali dari potensi budaya sendiri, juga pengaruh
budaya asing. Tanpa kehadiran budaya asing, terutama Barat, sulit bagi Muhammad
Yamin dan kawan-kawannya menciptakan soneta khas Indonesia. Hal itu diakui oleh
Budi Darma (1998:3) bahwa budaya asing yang paling kuat berpengaruh terhadap
kehidupan sastra Indonesia adalah budaya Barat. Pengaruh budaya Barat terhadap
sastra Indonesia bukan hanya terjadi pada karya sastra, melainkan juga pada
pemikiran yang ada di balik karya sastra. Pengaruh budaya Barat dalam karya
sastra terletak pada konvensi penulisan karya sastra, misalnya genre, tema,
penyampaian gagasan, dan gaya bercerita. Novel Ziarah (Iwan Simatupang, 1968), misalnya, dipengaruhi oleh
filsafat esistensialisme Barat. Demikian juga, novel Telegram (1972) dan Stasiun
(1978) karya Putu Wijaya merupakan novel yang mendapat pengaruh kuat dari novel
aliran kesadaran.
Pandangan pengaruh Barat dalam
dunia kesusastraan Indonesia menyebabkan segala teori sastra Barat--dari
strukturalisme, semiotika, komparatif, pragmatik, mimesis, ekspresif, resepsi
sastra, hermeneutik, pisikoanalisis, feminisme, sampai pada
dekonstruksi--diimpor ke dalam negeri kita. Semua karya sastra kita didekati,
didedah, dan dianalisis dengan teori sastra Barat. Hal itu tampak jelas pada
skripsi, tesis, bahkan disertasi doktor memanfaatkan teori sastra Barat. Ketika
hendak menganalisis perkembangan soneta di Indonesia, misalnya, dengan
menggunakan pendekatan sejarah sastra, kita pun tidak melepaskan teori sastra
Barat. Terlebih, analisis soneta tersebut menggunakan pendekatan komparatif,
misalnya ketika kita menelusuri teks secara genetika atau generik, mau tidak
mau kita bersentuhan dengan intertekstual Julia Kristeva atau Michael
Riffaterre. Perbandingan bentuk dan tema soneta di Indonesia dan di Barat pun
melibatkan teori sastra Barat. Seolah-olah kita sudah terbelenggu dengan teori
sastra Barat sehingga sukar untuk menghindari pengaruh Barat.
Pengaruh budaya asing dalam
kesusastraan Indonesia tidak hanya didominasi oleh Barat, tetapi juga India dan
Timur Tengah. Dua kebudayaan besar di belahan Asia bagian selatan dan barat
ikut mewarnai dunia sastra Indonesia. Agama Hindu dan Budha serta epos besar Ramayana
dan Mahabharata dari India mampu menembus pasaran domestik negeri
Indonesia. Karya seni dan filsafat India menjadi bagian yang tidak terpisahkan
pula dalam kehidupan sastra Indonesia. Muhammad Yamin, Sanusi Pane, Amir
Hamzah, Amal Hamzah, dan Sutan Takdir Alisyahbana ikut terpengaruh kuat oleh
gaya kepenyairan Rabindranath Tagore, pujangga terkenal dari India, dengan gaya
lirik romantiknya yang ingin kembali ke alam semurni-murninya.
Muhammad Yamin pernah menerjemahkan
karya Tagore, yaitu Menantikan Surat dari
Raja (1928) dan Di Dalam dan di Luar
Lingkungan Rumah Tangga (1933). Sajak karya Muhammad Yamin yang
berjudul "Tanah Air" (Jong
Sumatera IV, 1922) merupakan saduran dari karya Tagore "Wandee
Mataram". Demikian pula, sajak Yamin yang berjudul "Gita
Gembala" mengingatkan kita pada Gitanjali
karya Tagore, yang juga pernah diterjemahkan oleh Amal Hamzah (1952). Amir
Hamzah yang dijuluki sebagai Raja Penyair Pujangga Baru oleh H.B. Jassin pun
terpengaruh kuat oleh India, terutama Hindu dan gaya kepenyairan Tagore. Sajak
lirik romantik Amir Hamzah yang memilki hasrat kuat bersatu dengan alam
merupakan penjelmaan Tagore di Indonesia. Amir Hamzah pernah menerjemahkan Setanggi Timur (1939) dan Bhagawatgita (1933) yang merupakan napas
kehidupan sastra dari India. Nama lain sastrawan Indonesia yang ikut
terpengaruh kuat oleh gaya kepenyairan Tagore adalah Sanusi Pane.
Sanusi Pane merupakan tokoh yang
secara fanatik menganut aliran garis keras India. Setelah studinya setahun di
India, konsepsi kepengarangan Sanusi Pane berkiblat ke India, sebuah negeri
yang amat dikaguminya. Sajak Sanusi Pane yang terkumpul dalam Puspa Mega (1927) dan Pancaran Cinta (1928) secara jelas
mencerminkan lirik romantik gaya Tagore. Karya drama yang ditulis oleh Sanusi
Pane pun, seperti Sang Garuda (1928),
Airlangga (1929), Kertajaya (1932), Sandyakala Ning Majapahit (1933), dan Manusia Baru (1940) merupakan
pengejawantahan dunia India dalam sastra Indonesia modern. Hal itu secara tegas
diakui sendiri oleh Sanusi Pane dalam sebuah sajak yang ditulisnya, yaitu
"Aku Mencarinya di Kebun India".
Apabila Sanusi Pane lebih
cenderung mengagumi India dari sisi kehinduannya, tidak demikian yang terjadi
pada penulis peranakan Tionghoa, Kwee Tek Hoay. Dalam dramanya yang berjudul Bidjilada (1935) dan Mahabhiniskramana (1936), Hoay memilih
dunia India dengan agama Budhanya. Meskipun karya Kwee Tek Hoay itu lebih
cenderung sebagai bentuk dakwah penyebaran agama Budha di Indonesia,
pengemasannya dalam bentuk karya drama menjadi sebuah alternatif yang perlu
kita perhitungkan kehadirannya.
Dunia Timur Tengah cukup
berpengaruh kuat terhadap kehidupan sastra Indonesia. Dari belahan Asia bagian
barat itu muncul dua agama besar di dunia, yaitu Nasrani dan Islam. Kedua agama
besar itu berpengaruh terhadap kehidupan sastra Indonesia. Pujangga Baru sudah
menampakkan begitu jelasnya warna sastra yang memiliki pengaruh dua agama
tersebut. Penyair J.E. Tatengkeng dalam Rindu
Dendam (1934) mengekspresikan dunia Nasrani. Penyair Amir Hamzah, Samadi,
Rifai Ali, dan Hamka secara jelas memperlihatkan dunia keislaman dalam karya
sastra yang ditulisnya. Mereka memberikan suatu andil yang nyata dalam menyerap
budaya keagamaan dalam karya sastra Indonesia modern.
Sastrawan yang lahir setelah
Pujangga Baru tampak lebih variatif dalam mengekspresikan dunia keagamaan
melalui karya sastra yang ditulisnya. Teeuw (1982:119--135) dalam artikelnya
yang bertajuk "Sang Kristus dalam Puisi Indonesia Baru" mencatat
beberapa penyair yang pernah menulis tentang dunia Nasrani, antara lain Chairil
Anwar ("Isa: Kepada Nasrani Sejati"), Sitor Situmorang
("Cathedrale de Chartes" dan "Kristus di Medan Perang"),
W.S. Rendra ("Balada Penyaliban", "Litani bagi Domba
Kudus", "Nyanyian Angsa", dan "Khotbah"), dan Subagio
Sastrowardojo dalam beberapa sajaknya mengacu Kitab Kejadian (Genesis). Hal itu
membuktikan betapa kuat pengaruh Nasrani dalam kehidupan sastra Indonesia
modern. Karya terakhir Romo Mangunwijaya dalam Pohon-Pohon Sesawi (1999) pun merepresentasikan secara jelas
kehidupan para rohaniawan Nasrani dalam biara yang mengabdi kepada Kristus.
Dunia keislaman dengan
kesufiannya juga hidup subur dalam khazanah sastra Indonesia modern. Hal itu
tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia merupakan negara yang memiliki umat
pemuluk agama Islam terbesar di dunia. Abdul Hadi W.M. (1999) merupakan seorang
penyair dan pengamat sastra Islam di Indonesia yang paling kuat saat ini. Disertasi
yang ditulis oleh Abdul Hadi W.M. di Pusat Pengajian Ilmu Kemanusiaan,
Universitas Sains Malaysia, Estetika
Sastra Sufustik: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-Karya Shaykh Hamzah Fansuri (1997)
merupakan bukti kuat obsesinya terhadap kajian sastra yang bernapaskan
keislaman. Dalam beberapa esainya, yang kemudian dibukukan dalam Kembali ke Akar Kembali Ke Sumber: Esai-Esai
Sastra Profetik dan Sufistik (Pustaka Firdaus, 1999), Abdul Hadi
menyebut nama Danarto, Kuntowidjojo, M. Fudoli Zaini, Taufiq Ismail, Sutardji
Calzoum Bachri, Mohamad Diponegoro, Ajip Rosidi, Emha Ainun Nadjib, K.H.
Mustofa Bisri, D. Zawawi Imron, Hamid Jabbar, Ikranagara, Ajamudin Tifani,
Ahmad Nurullah, Jamal D. Rahman, dan Acep Zamzam Noor (1999:13) yang selalu
menyuarakan napas keislaman dalam karya yang ditulisnya.Taufiq Ismail (1994)
pun pernah berkerja sama dengan himpunan musik Bimbo membuat kasidah “Balada
Nabi-Nabi”, (22 syair balada nabi). Puisi kenabian, misalnya sajak tentang Nuh
(Santosa, 2003), mampu merepresentasikan sejarah keimanan umat terpilih sebagai
pembelajaran dan teladan dalam kehidupan masa kini bagi orang yang bertakwa dan
beriman.
Pada masa kini terjadi peralihan
tradisi penulisan sastra Indonesia dari sastra yang bersifat tradisional,
terbelakang, dan primitif, menuju ke kehidupan sastra yang lebih baik, moderat,
dinamis, dan sesuai dengan perkembangan zaman. Sejalan dengan perkembangan
zaman yang terus mengglobal, kehidupan sastra di Indonesia juga diharapkan
semakin baik dan mampu menembus dunia internasional. Sebagai warga sastra
dunia, sastra Indonesia memang menempati posisi marginal dari sastra kelas
dunia yang banyak diperhatikan oleh para kritikus negara maju, Sastra yang
berasal dari belahan dunia ketiga hanya berperan sebagai pelengkap penderita meskipun
sudah banyak karya sastra Indonesia yang diterjemahkan ke berbagai bahasa di
dunia, seperti Inggris, Belanda, Jerman, Prancis, Jepang, Arab, dan Benggali.
5. Simpulan
Keberagaman sastra di Indonesia
yang mulikultural itu tidak menyurutkan semangat membangun keindonesian yang
lebih baik, lebih beradab, dan lebih bermartabat. Perkembangan sastra di
Indonesia secara nyata menunjukkan bahwa kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara itu pun berkaitan erat dengan kehidupan bersastra. Sastra Indonesia
merefleksikan kehidupan masyarakat Indonesia yang multimajemuk sehingga secara
nyata dapat menjadi cerminan hidup berbangsa, bernegara, serta bermasyarakat
yang beradab dan bermartabat. Di negara yang sedang dalam keadaan krisis
multidimensional seperti saat ini, kehidupan sastra kita pun ikut terimbas
dengan keadaan tersebut. Sastra yang bercorak reformasi dan keadaan negeri yang
dilanda berbagai kerusuhan, disintegrasi bangsa, teror bom, dan kekacauan
politik ikut pula mewarnai sastra Indonesia modern sehingga banyak orang
mengatakan Malu (Aku) Jadi Orang
Indonesia (Taufiq Ismail, 1998).
DAFTAR
PUSTAKA
Ali,
Lukman. 1994. Unsur Adat Minangkabau
dalam Sastra Indonesia 1922--1956. Jakarta:
Balai Pustaka.
Alisyahbana,
Sutan Takdir. 1996. Amir Hamzah Penyair
Besar Dua Zaman. Cetakan Keenam. Jakarta: Dian Rakyat.
Damono,
Sapardi Djoko. 1998. "Pengaruh Asing dalam Sastra Indonesia." Makalah
Kongres Bahasa Indonesia VII. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
-------------
1999. “Awal Perkembangan Sastra Modern di Indonesia: Kasus Sastra Indonesia dan
Jawa” Dalam Politik, Ideologi, dan Sastra Hibrida. Jakarta: Pustaka
Firdaus.
Darma,
Budi. 1998. "Sastra Indonesia dan Forum Internasional." Makalah
Kongres Bahasa Indonesia VII. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Darma-Putra,
I Nyoman. 2001. "Interaksi Bali dan Barat dan Kesadaran Kultural Sastrawan
Bali" Dalam Horison, Nomor
5 Tahun XXXV, Edisi Mei 2001, Jakarta
Hadi
W.M., Abdul. 1999. Kembali ke Akar
Kembali ke Sumber. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Koentjaraningrat,
R.M. 1985. "Kebudayaan Nasional dan Peradaban Dunia Masa Kini". Dalam
Sulastin Sutrisno et.al. (Ed.). Bahasa-Sastra-Budaya. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Nugroho,
Alois A. 2003. “Benturan Peradaban, Multikulturalisme, dan Fungsi Rasio”. Dalam
Bentara, Nomor 4 Tahun IV, Jakarta.
Palguna,
IBM Dharma. 1997. "Rabindranath Tagore dalam Sastra Indonesia".
Dalam Horison, Nomor 3
Tahun XXXI, Jakarta.
Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama..
Rosidi,
Ajip. 1991. "Sastra Daerah dan Sastra Indonesia". Dalam
Sitanggang et.al. (Ed.). Kongres Bahasa Indonesia V. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Santosa,
Puji. 1993. Ancangan Semiotika dan Pengkajian
Susastra. Bandung: Angkasa.
-------------
1996. Soneta Indonesia: Analisis
Struktur dan Tematik. Jakarta: Pusat Bahasa.
-------------
1999. "Perkembangan Soneta dan Jati Diri Bangsa". Dalam Pangsura, Bilangan 9 Jilid 5
Julai-Desember 1999. Dewan Bahasa dan Pustaka, Brunei Darussalam.
-------------
2000. "Estetika Puisi sebagai Pasemon". Dalam Kakilangit Nomor 39 majalah Horison,Nomor 4 Tahun XXXIV,
Jakarta.
-------------
2000. "Soneta Masa Pra-Pujangga Baru". Dalam Kakilangit, Nomor 46 majalah Horison,Nomor 11 Tahun XXXIV,
Jakarta.
-------------
2003. “Sori Gusti: Keberagaman Tujuh Banjaran”. Dalam Kakilangit, Nomor 75 majalahHorison, Nomor 3 Tahun XXXVII, Jakarta.
-------------
2003. Bahtera Kandas di Bukit:
Kajian Semiotika Sajak-Sajak Nuh. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
-------------
2010. Kekuasaan Zaman Edan: Derajat
Negara Tampak Sunya-ruri. Yogyakarta: Pararaton.
Tim
Perumus. 1998. "Putusan Kongres Bahasa Indonesia VII. Jakarta: Pusat
Bahasa.
Teeuw, A.
1982. "Sang Kristus dalam Puisi Indonesia Baru". Dalam Setyagraha
Hoerip (Ed.). Sejumlah Masalah Sastra.
Jakarta: Sinar Harapan.
(Sumber: http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/1387)
No comments:
Post a Comment