Saturday, 26 October 2013

Keberagaman Sastra di Indonesia dalam Membangun Keindonesiaan

1. Pendahuluan
Sastra Indonesia tumbuh dan berkembang dari budaya Indonesia yang beraneka ragam. Oleh karena itu, keberadaan sastra di Indonesia pun beraneka ragam, mulai keragaman genre, gaya ungkap, tokoh, mitologi, hingga ke masalah sosial, politik, dan budaya etnik.  Genre sastra di Indonesia tidak hanya yang tampak general, seperti prosa, puisi, dan drama, tetapi juga yang spesifik, seperti dongeng, legenda, mitos, epos, tambo, hikayat, syair, pantun, gurindam, macapat, karungut, mamanda, dan geguritan. Keberagaman genre sastra tersebut juga menyebabkan keberagaman dalam hal gaya ungkap, tokoh yang ditampilkan, semangat mitologi yang mendasari, serta masalah sosial, politik, dan budaya etnik dari sastrawan daerah yang menuliskan karya tersebut.

Membangun keindonesiaan tidak pernah selesai selama hayat masih dikandung badan. Selama masih ada negara yang bernama NKRI dan masih ada rakyat yang mendukungnya, pembangunan di Indonesia terus akan tetap berkelanjutan. Namun, mau dibawa ke arah mana pembangunan Indonesia dalam era global dan pasar bebas dunia ini? Dalam hal masalah keberagaman sastra di Indonesia dalam membangun keindonesiaan, berikut akan dibicarakan (1) keberagaman laras bahasa, (2) keberagaman budaya etnik, dan (3) pengaruh budaya asing dan global. Ketiga hal itulah kiranya yang menjadi masalah krusial dalam menentukan arah pembangunan Indonesia pada masa depan, khususnya pembangunan dan pembinaan sastra di Indonesia.

2. Keberagaman Laras Bahasa
Bahasa Indonesia merupakan sarana utama pengucapan sastra Indonesia. Namun, bagi sebagaian besar pe­nga­rang sastra Indonesia, bahasa Indonesia merupakan bahasa kedua, setelah bahasa ibunya. Tidaklah mengherankan apabila dalam karya sastra yang mereka tulis terdapat sejumlah kosakata, frasa, dan kalimat bahasa daerah. Hal itu dimungkinkan karena masyarakat Indonesia berada dalam tataran situasi bilingual atau mul­tilingual. Dalam masyarakat yang demikian itu, pengarang akan lebih mudah dan leluasa menciptakan situasi kedwibahasaan (diglosia) secara alamiah. Hal itu mumungkinkan terjadinya alih kode (code-switching), campur kode (code-mixing), dan interfererensi (interference), seperti yang ter­dapat dalam sajak Darmanto Jatman  bertajuk Sori Gusti (2002).

Perlu kita sadari bahwa motivasi timbulnya kosakata, frasa, dan kalimat bahasa daerah dan bahasa asing dalam karya sastra Indonesia modern merupakan gejala perubahan situasi tindak tutur, dari daerah ke nasional atau sebaliknya dari nasional ke daerah, dan juga dari asing ke nasional atau dari nasional ke asing. Dalam situasi yang demikian itu memungkinkan timbulnya jenis alih kode situasional (situational swit­ching) dan alih kode metaforis (metaphorical switching) sebagai sarana retorika pengarang, daya ungkap estetis, dan sekaligus sebagai daya pikat yang mampu menimbulkan pesona. Kita baru menyadari bahwa pengarang sastra Indonesia modern itu berada dalam jalur transisi antara daerah dan nasional ataupun daerah, nasional, dan asing. Ada asumsi bahwa pengarang yang berasal dari daerah yang bukan penutur asli bahasa Indonesia pada umumnya masih dalam taraf belajar bahasa Indo­nesia sebagai bahasa kedua. Bahasa ibu yang dikuasai secara intuitif adalah bahasa daerah sehingga konsep pemahaman tentang alam semesta, lingkungan tempat tinggal, sistem kekerabatan, tata ekosistem kemasyarakatan, dan falsafah hidup yang diajarkan oleh leluhur atau nenek moyangnya akan terasa kental dengan bahasa daerahnya ketika pengarang  menulis dengan bahasa Indonesia. Bahasa daerah tersebut mewarnai bahasa Indonesia.

Bahasa daerah itu sengaja digunakan karena bahasa Indonesia tidak mampu mewadahi konsep, tujuan, dan maksud bahasa daerah. Ada semacam hambatan atau kesukaran menerjemahkan beberapa kosakata khas bahasa daerah itu ke dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika pengarang begitu saja mengambil kosakata bahasa daerah sebagai khazanah bahasa Indonesia. Hal itu terjadi pada beberapa pengarang sastra Indonesia, seperti Linus Suryadi A.G., Umar Kayam, Y.B. Mangunwijaya, Dorothea Rosa Herliany, dan Darmanto Jatman.

Keberagaman laras bahasa Indonesia yang digunakan oleh pengarang dari daratan Sumatera--yang konon merupakan asal dari bahasa Indo­nesia--akan berbeda jauh dengan keragaman laras bahasa Indonesia yang digunakan oleh para pengarang dari Jawa, Sunda, Bali, Dayak, Banjar, Papua, Minahasa, dan Bugis. Hal itu tidak mengherankan, karena dalam awal perkembangan sastra Indonesia modern, para pengarang dari daratan Sumatera lebih mampu menulis sastra dalam bahasa Indonesia daripada pengarang yang berasal dari daerah lain. Situasi itu sangat dimungkinkan karena bahasa Melayu yang diangkat sebagai bahasa nasional (Indonesia) berasal dari Pulau Sumatera. Namun, apakah pengarang dari daratan Sumatera itu tidak mengalami kesulitan mengeks­presikan "dunia imajiner" mereka ke dalam karya sastra Indonesia? Tentu saja ada, hanya mereka lebih menguasai secara intuitif kosakata dasar bahasa Indonesia apabila dibandingkan dengan pengarang lain di luar Melayu.

Bahasa Indonesia yang berkembang sekarang tampaknya me­nyesuaikan perkembangan dinamika zaman. Khazanah kosa­kata dan frasa bahasa Indonesia yang ada sekarang ini tidak lagi se­sempit "dunia Melayu". Adaptasi dari istilah asing dan pungutan dari bahasa daerah  di Indonesia jmemperluas perkembangan bahasa Indonesia. Hal itu ditunjukkan dalam  Kamus Besar Bahasa Indonesia  terbaru  yang memuat ribuan entri yang berasal dari bahasa daerah, bahasa asing, dan bahasa Indonesia yang sudah ada sebelumnya.

Amir Hamzah dalam dua kumpulan sajaknya, Nyanyi Sunyi (1937) dan Buah Rindu (1941), banyak menggunakan kosakata arkais. Orang Melayu di Malaysia pun perlu membuka kamus untuk memahami makna kosakata dalam sajak Amir Hamzah tersebut. Hal itu terbukti ketika Sutan Takdir Alisyahbana (1970) menerbitkan sajak Amir Hamzah di Malaysia disertai uraian (semacam paraprase) dan catatan kosa­kata sukar (senarai), misalnya kata juriat, sempana, jemala, terban, ripuk, rampak, lintang pukang, pokok purba, redam terbelam, jung bertudung, jauhri, asaka, swarna, hauri, canggai, pitunang, terkelar, kesturi, tepas, disangkak, tercingah pangah, dan terulik (Alisyahbana, 1996:37--54).

Laras bahasa Indonesia yang digunakan Bo­kor Hutasuhut dalam novelnya Penakluk Ujung Dunia (1964, 1988) juga diwarnai oleh kosakata khas bahasa Batak. Novel yang selesai ditulis oleh Bokor Hutasuhut pada tahun 1960 itu dalam penerbitan pertamanya (1964 oleh penerbit Pembangunan, Jakarta) tidak menyer­takan senarai kosakata Batak-Indonesia. Hal yang demikian tentu sa­ngat menyulitkan pemahaman isi novel tersebut bagi etnik lain di luar Batak. Namun, pada penerbitan kedua (1988 oleh penerbit Pustaka Karya Grafika Utama, Jakarta) dalam halaman 199--200 disertakan daftar istilah, seperti kata ama ni Bolpung, ampang ngardang, ampataga, berandak, bolatan, bona ni pasolgit, buhul, bungkas, curup, dolok, gelagah, luhak, manortar, mardege, margondang, martandang, menji­lam, mora, parhitean, pargonci, purada, sopo bolon, sanduduk, tem­terasan, tuhil, dan ura. Dengan dihadirkannya daftar istilah dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia, pembaca di luar etnik Batak yang tidak memahami konsep dunia Batak dapat memahami kandungan novel tersebut.

Mengacu pada kasus pemakaian laras bahasa Indonesia di atas, sebenarnya kita tidak perlu meributkan diri ketika Linus Sur­yadi A.G. pertama menerbitkan Pengakuan Pariyem (1981) dengan mengobral kosakata bahasa Jawa di dalamnya. Prosa liris yang diberi lampiran kosakata Jawa-Indonesia merupakan suatu bukti nyata adanya multikulturalisme dalam budaya berbahasa Indonesia. Pengarang prosa liris Pengakuan Pariyem sepenuhnya menyadari bahwa pemakaian bahasa Jawa di dalamnya akan menyulitkan pemahaman isi novel tersebut bagi mereka yang tidak mengerti konsep pemikiran dunia Jawa. Penerbit  novel itu menyadari hal itu sehingga menyertakan senarai kosakata bahasa Jawa-Indonesia. Kehadiran senarai kosakata tersebut mampu membantu pemahaman pembaca sastra di luar etnik Jawa yang tidak memahami bahasa Jawa.

Bahasa Indonesia sebagai sarana pengucapan karya sastra Indonesia modern, menurut Kuntjaraningrat (1985:527--538), merupakan wujud nyata kebudayaan nasional bangsa Indonesia. Kehadiran sastra Indonesia modern yang menggunakan bahasa Indonesia memenuhi fungsi: (1) memperkuat identitas orang sebagai suatu bangsa, yaitu bangsa Indonesia; (2) memperkuat solidaritas di antara warga negara dari negara yang bersangkutan sehingga memperkukuh persatuan Indonesia. Atas dasar pemikiran itu, sudah sewajarnya apabila karya sastra Indonesia modern mampu menjadi wadah atau ajang temu budaya, baik antaretnik di Indonesia maupun dunia. Novel Jalan Menikung karya Umar Kayam (1999), misalnya, mempertemukan berbagai etnik di dalamnya. Lingkup utama novel itu memang berbicara tentang dunia Jawa, tetapi muncul pula  perkawinan etnik Jawa dengan Minangkabau (Lantip dan Halimah), Jawa dengan Yahudi (Eko dan Claire Levin), Jawa dengan Barat atau Eropa (Marijan dan Marie, Tommi dan Jenette), dan Jawa dengan keturunan Cina (Anna dan Boy Saputra). Pertemuan berbagai bahasa, etnik, warna kulit, dan budaya pun terjadi dalam novel yang berbahasa Indonesia  seperti itu.

3. Keberagaman Budaya Etnik (Daerah)
Sastrawan yang mengangkat potensi budaya etnik, terutama budaya daerah ke dalam sastra Indonesia modern, oleh banyak kritikus sastra sering disebut dengan warna lokal (local color) atau warna setempat. Karya sastra yang mengangkat warna lokal martabat budaya derahnya telah menjadi sebuah kecenderungan umum. Hal itu tidak mengherankan bagi kita karena sejak kelahirannya, awal abad XX, sastra Indonesia  bersumber pada budaya sendiri, misalnya roman Balai Pustaka, Siti Nurbaya (Marah Rusli, 1922), Cinta yang Membawa Maut (Nursinah Iskandar, 1925), Pertemuan (Abas Sutan Pamuntjak Nan Sati, 1927), Darah Muda (Adinegoro, 1927), Asmara Jaya (Adinegoro, 1928), Salah Asuhan (Abdoel Moeis, 1928), dan Salah Pilih (Nur Sutan Iskandar, 1928) mengangkat unsur adat masyarakat Minangkabau dalam sastra Indonesia modern (Ali, 1994).

Budaya Minangkabau dengan segala adat istiadatnya menjadi sumber kreativitas sastrawan yang berasal dari daerah Sumatera Barat, seperti Hamka (Djemput Mamaknya, 1930; Tenggelamnya Kapal van der Wijck, 1938;  Merantau ke Deli, 1939), Nur Sutan Iskandar (Karena Mentua, 1932), Aman Datuk Madjainda (Rusmala Dewi, 1932), M. Enri (Karena Anak Kandung, 1940), dan Marah Rusli (Anak dan Kemenakan, 1956). Mereka mengangkat masalah (1) kawin paksa dan hubungannya dengan adat, (2) anggapan tentang kawin dengan orang di luar sukunya, (3) kebiasaan beristri banyak, (4) keturunan, (5) perkawinan sesuku, (6) keinginan mengubah sistem matrilinial dalam masyarakat Minangkabau, (7) adat meminang, dan (8) kebiasaan merantau. Para pengarang Sumatera Barat yang lahir kemudian pun, seperti A.A. Navis (Kemarau, 1967), Wisran Hadi (Cindua Mato, 1977), Chairul Harun (Warisan, 1979), Darman Munir (Bako, 1987), dan Lukman Ali (Pekan Selasa, 1999) tidak luput pula menggali nilai budaya sendiri, yaitu budaya daerah Minangkabau ke dalam karya sastra Indonesia modern. 

Selain daerah Minangkabau, penggalian nilai budaya sendiri ke dalam budaya Indonesia terjadi pula pada budaya Jawa. Pengarang dari Jawa, seperti Linus Suryadi A.G. (Pengakuan Pariyem, 1981; dan Tirta Kamandanu, 1994), Umar Kayam (Sri Sumarah dan Bawuk, 1975; Para Priyayi, 1992; dan Jalan Menikung, 1999), Y.B. Mangunwijaya (Burung-Burung Manyar, 1983; Roro Mendut, 1984, Genduk Duku, 1987; Lusi Lindri, 1987, dan  Durga Umayi, 1990), Ahmad Tohari (Ronggeng Dukuh Paruk, 1980), dan Dorothea Rosa Herliany (Blencong, 1993) menghadirkan dunia Jawa dengan berbagai persoalannya. Budaya Jawa yang identik dengan dunia wayang, burung perkutut, keris, katuranggan, narima, pasrah, lego-lilo, dan hal-hal yang supernatural seolah-olah menjadi hidup kembali, semacam "renaisans kebudayaan Jawa", dalam panggung sejarah kesusastraan Indonesia modern. Dunia Jawa yang terkenal dengan sekuler, harmoni, sinkretisme, dan segala tindak-tanduknya dalam kepercayaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa menjadi tampak jelas terefleksi dalam karya sastra Indonesia modern. Keanekaragaman budaya bangsa yang demikian hanya dapat kita simak secara saksama melalui sebuah karya sastra, tidak dalam wujud buku pengetahuan tentang sosiologi, antropologi, politik, dan ilmu sosial kemasyarakatan  lainnya. Jelaslah dalam masalah multikulturalisme itu sastra Indonesia modern memberi sumbangan yang signifikan bagi kelangsungan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Penggalian nilai budaya sendiri juga dilakukan oleh pengarang dari Sunda, Jawa Barat, misalnya Ajip Rosidi, Ramadhan K.H., dan Achdiat Kartamihardja melalui novel dan cerita pendek yang ditulisnya. Achdiat Kartamihardja mampu mengumpulkan sebanyak 41 cerita rakyat Sunda “Si Kabayan” dalam bukunya Si Kabayan Manusia Lucu (1997). Firman Muntaco dan S.M. Ardan menulis kehidupan masyarakat Betawi yang terpinggirkan oleh para kaum urban, misalnya, dalam buku kumpulan cerpen Terang Bulan Terang di Kali (1974). Kehidupan masyarakat Betawi tempo dulu dan hubungannya dengan kaum peranakan Tionghoa pun digali dan diceritakan kembali oleh Remy Sylado dalam bukunya Ca-Bau-Kan (1999).

Dari daerah lain di luar Sumatera dan Jawa pun kita temukan, misalnya dari Bali kita temukan Oka Rusmini dalam novelnya Sagra (1996) dan beberapa cerpennya yang dimuat dalam Horison, seperti "Sang Pemahat" (2000), menggali nilai budaya Bali ke dalam karya sastra Indonesia modern. Pengarang lain dari Bali, yaitu Rasta Sindhu (Sahabatku Hans Schmitter, 1968), Faisal Baraas (Sanur Tetap Ramai, 1970), Putu Wijaya (Tiba-Tiba Malam, 1972, dan Dasar, 1993), Ngurah Persua (Tugu Kenangan, 1984), dan Aryantha Soethama (Suzan, 1988),  juga menggali nilai budaya Bali dalam karya sastra Indonesia modern. Dari daerah Nusa Tenggara kita menemukan Putu Arya Tirtawirya, Gerson Poyk, dan Otto J. Gaut, yang juga mengekspresikan nilai budaya, yaitu nilai budaya Nusa Tenggara. Otto J. Gaut,  yang tidak seproduktif pengarang pendahulunya, dalam novelnya Mawar Padang Ara (1997) mampu memenangkan sayembara menulis novel majalah wanita Femina (1995) dan menjadi cerminan budaya Nusa Tenggara.

Adanya otonomi daerah dan era keterbukaan yang digulirkan oleh para reformis membuka jalan bagi daerah untuk menunjukkan jati dirinya. Peran budaya daerah menjadi sangat urgen bagi perkembangan sastra Indonesia selanjutnya. Terlebih, jika dalam karya sastra yang mereka tampilkan mampu menunjukkan adanya kebinekatunggalikaan, karya tersebut dapat menjadi perekat pergaualan antarsuku, ras, agama, dan antargolongan serta menjadi andil yang nyata dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Bersumber pada budaya sendiri dalam menampilkan wajah budaya Indonesia menjadi tonggak sejarah yang tidak ternilai harganya. Oleh karena itu, para penulis putra daerah tidak perlu berkecil hati mengangkat martabat budaya daerah ke dalam karya sastra Indonesia modern. Justru budaya daerah itulah yang menjadi akar dan pilar budaya Indonesia. Dengan demikian, budaya daerah menjadi substansi utama dalam pengembangan budaya Indonesia baru dalam menghadapi era globalisasi dan pasar bebas. Kita tidak mungkin mampu bersaing mencapai Indonesia baru tanpa kehadiran budaya daerah dalam khazanah budaya Indonesia.

4. Pengaruh Budaya Asing dan Global
Pengaruh budaya asing, terutama Barat, sudah ada dalam awal perkembangan sastra Indonesia modern. Lahirnya soneta Indonesia, selain menggali dari potensi budaya sendiri, juga pengaruh budaya asing. Tanpa kehadiran budaya asing, terutama Barat, sulit bagi Muhammad Yamin dan kawan-kawannya menciptakan soneta khas Indonesia. Hal itu diakui oleh Budi Darma (1998:3) bahwa budaya asing yang paling kuat berpengaruh terhadap kehidupan sastra Indonesia adalah budaya Barat. Pengaruh budaya Barat terhadap sastra Indonesia bukan hanya terjadi pada karya sastra, melainkan juga pada pemikiran yang ada di balik karya sastra. Pengaruh budaya Barat dalam karya sastra terletak pada konvensi penulisan karya sastra, misalnya genre, tema, penyampaian gagasan, dan gaya bercerita. Novel Ziarah (Iwan Simatupang, 1968), misalnya, dipengaruhi oleh filsafat esistensialisme Barat. Demikian juga, novel Telegram (1972) dan Stasiun (1978) karya Putu Wijaya merupakan novel yang mendapat pengaruh kuat dari novel aliran kesadaran.

Pandangan pengaruh Barat dalam dunia kesusastraan Indonesia menyebabkan segala teori sastra Barat--dari strukturalisme, semiotika, komparatif, pragmatik, mimesis, ekspresif, resepsi sastra, hermeneutik, pisikoanalisis, feminisme, sampai pada dekonstruksi--diimpor ke dalam negeri kita. Semua karya sastra kita didekati, didedah, dan dianalisis dengan teori sastra Barat. Hal itu tampak jelas pada skripsi, tesis, bahkan disertasi doktor memanfaatkan teori sastra Barat. Ketika hendak menganalisis perkembangan soneta di Indonesia, misalnya, dengan menggunakan pendekatan sejarah sastra, kita pun tidak melepaskan teori sastra Barat. Terlebih, analisis soneta tersebut menggunakan pendekatan komparatif, misalnya ketika kita menelusuri teks secara genetika atau generik, mau tidak mau kita bersentuhan dengan intertekstual Julia Kristeva atau Michael Riffaterre. Perbandingan bentuk dan tema soneta di Indonesia dan di Barat pun melibatkan teori sastra Barat. Seolah-olah kita sudah terbelenggu dengan teori sastra Barat sehingga sukar untuk menghindari pengaruh Barat.

Pengaruh budaya asing dalam kesusastraan Indonesia tidak hanya didominasi oleh Barat, tetapi juga India dan Timur Tengah. Dua kebudayaan besar di belahan Asia bagian selatan dan barat ikut mewarnai dunia sastra Indonesia. Agama Hindu dan Budha serta epos besar Ramayana dan Mahabharata  dari India mampu menembus pasaran domestik negeri Indonesia. Karya seni dan filsafat India menjadi bagian yang tidak terpisahkan pula dalam kehidupan sastra Indonesia. Muhammad Yamin, Sanusi Pane, Amir Hamzah, Amal Hamzah, dan Sutan Takdir Alisyahbana ikut terpengaruh kuat oleh gaya kepenyairan Rabindranath Tagore, pujangga terkenal dari India, dengan gaya lirik romantiknya yang ingin kembali ke alam semurni-murninya.

Muhammad Yamin pernah menerjemahkan karya Tagore, yaitu Menantikan Surat dari Raja (1928) dan Di Dalam dan di Luar Lingkungan Rumah Tangga (1933). Sajak karya Muhammad Yamin yang berjudul "Tanah Air" (Jong Sumatera IV, 1922) merupakan saduran dari karya Tagore "Wandee Mataram". Demikian pula, sajak Yamin yang berjudul "Gita Gembala" mengingatkan kita pada Gitanjali karya Tagore, yang juga pernah diterjemahkan oleh Amal Hamzah (1952). Amir Hamzah yang dijuluki sebagai Raja Penyair Pujangga Baru oleh H.B. Jassin pun terpengaruh kuat oleh India, terutama Hindu dan gaya kepenyairan Tagore. Sajak lirik romantik Amir Hamzah yang memilki hasrat kuat bersatu dengan alam merupakan penjelmaan Tagore di Indonesia. Amir Hamzah pernah menerjemahkan Setanggi Timur (1939) dan Bhagawatgita (1933) yang merupakan napas kehidupan sastra dari India. Nama lain sastrawan Indonesia yang ikut terpengaruh kuat oleh gaya kepenyairan Tagore adalah Sanusi Pane.

Sanusi Pane merupakan tokoh yang secara fanatik menganut aliran garis keras India. Setelah studinya setahun di India, konsepsi kepengarangan Sanusi Pane berkiblat ke India, sebuah negeri yang amat dikaguminya. Sajak Sanusi Pane yang terkumpul dalam Puspa Mega (1927) dan Pancaran Cinta (1928) secara jelas mencerminkan lirik romantik gaya Tagore. Karya drama yang ditulis oleh Sanusi Pane pun, seperti Sang Garuda (1928), Airlangga (1929), Kertajaya (1932), Sandyakala Ning Majapahit (1933), dan Manusia Baru (1940) merupakan pengejawantahan dunia India dalam sastra Indonesia modern. Hal itu secara tegas diakui sendiri oleh Sanusi Pane dalam sebuah sajak yang ditulisnya, yaitu "Aku Mencarinya di Kebun India".

Apabila Sanusi Pane lebih cenderung mengagumi India dari sisi kehinduannya, tidak demikian yang terjadi pada penulis peranakan Tionghoa, Kwee Tek Hoay. Dalam dramanya yang berjudul Bidjilada (1935) dan Mahabhiniskramana (1936), Hoay memilih dunia India dengan agama Budhanya. Meskipun karya Kwee Tek Hoay itu lebih cenderung sebagai bentuk dakwah penyebaran agama Budha di Indonesia, pengemasannya dalam bentuk karya drama menjadi sebuah alternatif yang perlu kita perhitungkan kehadirannya.

Dunia Timur Tengah cukup berpengaruh kuat terhadap kehidupan sastra Indonesia. Dari belahan Asia bagian barat itu muncul dua agama besar di dunia, yaitu Nasrani dan Islam. Kedua agama besar itu berpengaruh terhadap kehidupan sastra Indonesia. Pujangga Baru sudah menampakkan begitu jelasnya warna sastra yang memiliki pengaruh dua agama tersebut. Penyair J.E. Tatengkeng dalam Rindu Dendam (1934) mengekspresikan dunia Nasrani. Penyair Amir Hamzah, Samadi, Rifai Ali, dan Hamka secara jelas memperlihatkan dunia keislaman dalam karya sastra yang ditulisnya. Mereka memberikan suatu andil yang nyata dalam menyerap budaya keagamaan dalam karya sastra Indonesia modern.

Sastrawan yang lahir setelah Pujangga Baru tampak lebih variatif dalam mengekspresikan dunia keagamaan melalui karya sastra yang ditulisnya. Teeuw (1982:119--135) dalam artikelnya yang bertajuk "Sang Kristus dalam Puisi Indonesia Baru" mencatat beberapa penyair yang pernah menulis tentang dunia Nasrani, antara lain Chairil Anwar ("Isa: Kepada Nasrani Sejati"), Sitor Situmorang ("Cathedrale de Chartes" dan "Kristus di Medan Perang"), W.S. Rendra ("Balada Penyaliban", "Litani bagi Domba Kudus", "Nyanyian Angsa", dan "Khotbah"), dan Subagio Sastrowardojo dalam beberapa sajaknya mengacu Kitab Kejadian (Genesis). Hal itu membuktikan betapa kuat pengaruh Nasrani dalam kehidupan sastra Indonesia modern. Karya terakhir Romo Mangunwijaya dalam Pohon-Pohon Sesawi (1999) pun merepresentasikan secara jelas kehidupan para rohaniawan Nasrani dalam biara yang mengabdi kepada Kristus.

Dunia keislaman dengan kesufiannya juga hidup subur dalam khazanah sastra Indonesia modern. Hal itu tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia merupakan negara yang memiliki umat pemuluk agama Islam terbesar di dunia. Abdul Hadi W.M. (1999) merupakan seorang penyair dan pengamat sastra Islam di Indonesia yang paling kuat saat ini. Disertasi yang ditulis oleh Abdul Hadi W.M. di Pusat Pengajian Ilmu Kemanusiaan, Universitas Sains Malaysia, Estetika Sastra Sufustik: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-Karya Shaykh Hamzah Fansuri (1997) merupakan bukti kuat obsesinya terhadap kajian sastra yang bernapaskan keislaman. Dalam beberapa esainya, yang kemudian dibukukan dalam Kembali ke Akar Kembali Ke Sumber: Esai-Esai Sastra Profetik dan Sufistik (Pustaka Firdaus, 1999), Abdul Hadi menyebut nama Danarto, Kuntowidjojo, M. Fudoli Zaini, Taufiq Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, Mohamad Diponegoro, Ajip Rosidi, Emha Ainun Nadjib, K.H. Mustofa Bisri, D. Zawawi Imron, Hamid Jabbar, Ikranagara, Ajamudin Tifani, Ahmad Nurullah, Jamal D. Rahman, dan Acep Zamzam Noor (1999:13) yang selalu menyuarakan napas keislaman dalam karya yang ditulisnya.Taufiq Ismail (1994) pun pernah berkerja sama dengan himpunan musik Bimbo membuat kasidah “Balada Nabi-Nabi”, (22 syair balada nabi). Puisi kenabian, misalnya sajak tentang Nuh (Santosa, 2003), mampu merepresentasikan sejarah keimanan umat terpilih sebagai pembelajaran dan teladan dalam kehidupan masa kini bagi orang yang bertakwa dan beriman.

Pada masa kini terjadi peralihan tradisi penulisan sastra Indonesia dari sastra yang bersifat tradisional, terbelakang, dan primitif, menuju ke kehidupan sastra yang lebih baik, moderat, dinamis, dan sesuai dengan perkembangan zaman. Sejalan dengan perkembangan zaman yang terus mengglobal, kehidupan sastra di Indonesia juga diharapkan semakin baik dan mampu menembus dunia internasional. Sebagai warga sastra dunia, sastra Indonesia memang menempati posisi marginal dari sastra kelas dunia yang banyak diperhatikan oleh para kritikus negara maju, Sastra yang berasal dari belahan dunia ketiga hanya berperan sebagai pelengkap penderita meskipun sudah banyak karya sastra Indonesia yang diterjemahkan ke berbagai bahasa di dunia, seperti Inggris, Belanda, Jerman, Prancis, Jepang, Arab, dan Benggali.

5. Simpulan
Keberagaman sastra di Indonesia yang mulikultural itu tidak menyurutkan semangat membangun keindonesian yang lebih baik, lebih beradab, dan lebih bermartabat. Perkembangan sastra di Indonesia secara nyata menunjukkan bahwa kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara itu pun berkaitan erat dengan kehidupan bersastra. Sastra Indonesia merefleksikan kehidupan masyarakat Indonesia yang multimajemuk sehingga secara nyata dapat menjadi cerminan hidup berbangsa, bernegara, serta bermasyarakat yang beradab dan bermartabat. Di negara yang sedang dalam keadaan krisis multidimensional seperti saat ini, kehidupan sastra kita pun ikut terimbas dengan keadaan tersebut. Sastra yang bercorak reformasi dan keadaan negeri yang dilanda berbagai kerusuhan, disintegrasi bangsa, teror bom, dan kekacauan politik ikut pula mewarnai sastra Indonesia modern sehingga banyak orang mengatakan Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (Taufiq Ismail, 1998).


DAFTAR PUSTAKA

Ali, Lukman. 1994. Unsur Adat Minangkabau dalam Sastra Indonesia 1922--1956. Jakarta: Balai     Pustaka.

Alisyahbana, Sutan Takdir. 1996. Amir Hamzah Penyair Besar Dua Zaman. Cetakan Keenam. Jakarta: Dian Rakyat.

Damono, Sapardi Djoko. 1998. "Pengaruh Asing dalam Sastra Indonesia." Makalah Kongres  Bahasa Indonesia VII. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

------------- 1999. “Awal Perkembangan Sastra Modern di Indonesia: Kasus Sastra Indonesia dan Jawa” Dalam Politik, Ideologi, dan Sastra Hibrida. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Darma, Budi. 1998. "Sastra Indonesia dan Forum Internasional." Makalah Kongres Bahasa Indonesia VII. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Darma-Putra, I Nyoman. 2001. "Interaksi Bali dan Barat dan Kesadaran Kultural Sastrawan Bali" Dalam Horison, Nomor 5 Tahun XXXV, Edisi Mei 2001, Jakarta

Hadi W.M., Abdul. 1999. Kembali ke Akar Kembali ke Sumber. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Koentjaraningrat, R.M. 1985. "Kebudayaan Nasional dan Peradaban Dunia Masa Kini". Dalam Sulastin Sutrisno et.al. (Ed.). Bahasa-Sastra-Budaya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Nugroho, Alois A. 2003. “Benturan Peradaban, Multikulturalisme, dan Fungsi Rasio”. Dalam Bentara, Nomor 4 Tahun IV, Jakarta.

Palguna, IBM Dharma. 1997. "Rabindranath Tagore dalam Sastra Indonesia". Dalam Horison,  Nomor 3 Tahun XXXI, Jakarta.

Pusat  Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama..

Rosidi, Ajip. 1991. "Sastra Daerah dan Sastra Indonesia". Dalam Sitanggang et.al. (Ed.). Kongres Bahasa Indonesia V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Santosa, Puji. 1993. Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra. Bandung: Angkasa.

------------- 1996. Soneta Indonesia: Analisis Struktur dan Tematik. Jakarta: Pusat Bahasa.

------------- 1999. "Perkembangan Soneta dan Jati Diri Bangsa". Dalam Pangsura, Bilangan 9 Jilid 5 Julai-Desember 1999. Dewan Bahasa dan Pustaka, Brunei Darussalam.

------------- 2000. "Estetika Puisi sebagai Pasemon". Dalam Kakilangit Nomor 39 majalah Horison,Nomor 4 Tahun XXXIV, Jakarta.

------------- 2000. "Soneta Masa Pra-Pujangga Baru". Dalam Kakilangit, Nomor 46 majalah Horison,Nomor 11 Tahun XXXIV, Jakarta.

------------- 2003. “Sori Gusti: Keberagaman Tujuh Banjaran”. Dalam Kakilangit, Nomor 75 majalahHorison, Nomor 3 Tahun XXXVII, Jakarta.

------------- 2003. Bahtera Kandas di Bukit: Kajian Semiotika Sajak-Sajak Nuh. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.

------------- 2010. Kekuasaan Zaman Edan: Derajat Negara Tampak Sunya-ruri. Yogyakarta: Pararaton.

Tim Perumus. 1998. "Putusan Kongres Bahasa Indonesia VII. Jakarta: Pusat Bahasa.

Teeuw, A. 1982. "Sang Kristus dalam Puisi Indonesia Baru". Dalam Setyagraha Hoerip (Ed.). Sejumlah Masalah Sastra. Jakarta: Sinar Harapan.
(Sumber: http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/1387)

Sunday, 6 October 2013

BERTAMBAH

BERTAMBAH

Bertambah usia
dari bayi ke balita
dari anak-anak ke remaja
dari remaja menjadi dewasa
sudah lebih setengah abad usia
tetap saja tidak mengubah apa-apa
hanya secara fisik-bilogis bertambah tua
gendut perut buncit tanda tak bertapa brata
dan semakin lama semakin bertambah renta.


Seharusnya
bertambah usia
mampu menjadi dewasa
mampu membaca tanda-tanda
mampu mengendalikan nafsu angkara
mampu membedakan yang bukan dan nyata
dan mampu melaksanakan budi pekerti mulia
dengan membabarkan kasih sayang ke sesama.

Seharusnya
bertambah usia
bertambah dewasa
bertambah waspada
dalam menghadapi apa saja
dalam membahagiakan keluarga
dan juga mensejahterakan dunia
sehingga tidak silap pesona maya:
tidak terikat erat oleh para pendusta
tidak terjerumus ke jurang sengsara
tidak tersesat dalam dunia gelap gulita
dan tidak berbelok ke arah jalan dewata.

Suatu niscaya
bertambah usia
bertambah takwa
bertambah percaya
bertambah sadar dan baktinya
kepada Tuhan Yang Mahakuasa
dengan tetap berjalan di Jalan Utama
jalan yang berakhir Sejahtera dan Bahagia:
hidup tiada lagi senang susah atau suka duka.


Bekasi, 5 Oktober 2013

BERBAGI


BERBAGI

Berbagi rasa
berbagi suka
berbagi harta
berbagi bahagia
berbagi sejahtera
kepada sesama
kepada mereka
kepada siapa saja
yang membutuhkan
yang memerlukan
yang berkepentingan
yang dalam kesesatan
yang dalam kegelapan
yang dalam kesengsaraan
agar mereka ikut merasakan
betapa bahagia menentramkan
dekat dengan sumber kehidupan
kekal abadi sampai pada akhir zaman.



Berbagi
bukan untuk diri,
bukan untuk pribadi,
bukan semata untuk Ilahi,
melainkan demi martabat insani
yang senantiasa memiliki harga diri
sebagai makhluk yang berbudi pekerti
dengan berbagi kasih menjadi pribadi mandiri.


Bekasi, 3 Oktober 2013

Pertemuan 15 Teori Sastra Tempatan