BUKU SAKU
PANEMBAH DAN PENGESTI
Puji Santosa,
Bakasi
1. Pengantar
Kongres
ke XVII Paguyuban Ngesti Tunggal yang akan diadakan pada tanggal 22—24 Mei 2015
di Hotel Lorin Solo, rencananya dipersiapkan penerbitan kembali 10 buku wajib
dalam tiga bundel, yaitu Bundel I berisi: (1) Sabda Pratama, (2) Sasangka
Jati, dan (3) Sabda Khusus;
Bundel II berisi: (1) Olah Rasa di Dalam
Rasa, (2) Taman Kemuliaan Abadi,
dan (3) Riwayat Hidup Bapak Paranpara
Pangestu R. Soenarto Mertowardojo; Bundel III berisi: (1) Arsip Sarjana Budi Santosa, (2) Ulasan Kang Kelana, (3) Olah Rasa, dan (4) Wahyu Sasangka Jati. Rencananya setiap Cabang, seluruhnya kurang
lebih 200 cabang, mendapatkan jatah 30 bundel buku wajib (10 Bundel I, 10
Bundel II, dan 10 Bundel III), sisanya diperjualbelikan kepada warga yang
berminat memiliki buku wajib. Tentunya seluruh warga Paguyuban Ngesti Tunggal
diharapkan telah membaca dan memahami kesepuluh buku wajib tersebut,
syukur-syukur dapat memiliki 10 buku wajib tersebut, lalu membacanya,
memahaminya, dan mengerti, kemudian melaksanakan apa yang menjadi amanat dari
kesepuluh buku wajib tersebut, dengan disertai mendekat kepada Sang Guru
Sejati, Sang Suksma Sejati yang diteruskan kepada Suksma Kawekas.
Selain
kesepuluh buku wajib itu, tentunya yang tidak kalah pentingnya untuk dimiliki,
lalu dibaca, dipahami, dihafalkan, dan dilaksanakan atas kandungan amanat buku
tersebut, sebagai sarana mendekat kepada Sang Guru Sejati, adalah Buku Saku: Panembah dan Pengesti.
Mengapa dinamakan buku saku? Buku Saku:
Panembah dan Pengesti berukuran kecil (10 x 15 Cm) dan tipis (59 halaman),
terbitan 2012, dalam Bahasa Jawa dan Bahasa Indonesia. Tentunya buku yang
demikian ukurannya, kecil dan tipis, pas atau sesuai dengan ukuran saku baju
pada umumnya sehingga buku tersebut dapat dimasukkan ke dalam saku, terasa
ringan atau tidak memberati, dan dapat dibawa ke mana mana, bilamana bepergian
meninggalkan rumah. Sewaktu-waktu ada keperluan di perjalanan atau di tempat
lain, dan kita tidak hafal seluruh isi Pangesti, padahal kita memerlukannya, tentu
kita dapat mengeluarkan buku tersebut dari dalam saku, kemudian membuka dan
membacanya sesuai dengan keperluan saat itu. Sementara bagi mereka yang bajunya
tidak ada sakunya, Buku Saku Panembah dan
Pengesti tersebut dapat saja dimasukkan ke dalam tas atau tempat lain yang
memudahkan kita dapat membawanya ke mana-mana, ya membawa ke mana-mana, dalam
bepergian meninggalkan rumah.
2. Isi Buku Saku
Panembah dan Pangesti
Berdasarkan
Daftar Isi Buku Saku Panembah dan
Pengesti (terbitan 2012) memuat 25 butir pokok tuntunan dan pepadang Suksma
Sejati, terdiri atas 5 butir pokok tuntunan dan pepadang yang berkaitan dengan
Panembah, berisi: (1) Paugeran Tuhan Kepada Hamba, (2) Bersuci, (3) Panembah,
(4) Intisari Panembah, dan (5) Panembah Anak-Anak; 17 butir pokok tuntunan dan
pepadang yang berkaitan dengan Pangesti, berisi: (1) Pangesti I: Mohon
Pepadang, (2) Pangesti II: Mohon Tuntunan, (3) Pangesti III: Mohon Kekuatan
Menerima Keadilan Tuhan, (4) Pangesti IV: Mohon Daya Kekuatan, (5) Pangesti V:
Memohon Sih untuk Para Putra, (6) Pangesti Kesejahteraan: Kesejahteraan
Keluarga, (7) Pangesti Kesejahteraan Negara: Negara Republik Indonesia, (8)
Pangesti Mohon Kesembuhan, (9) Pangesti Sembuh-Kembali, (10) Pangesti Kembali
Bertunggal, (11) Pangesti Mohon Jodoh, (12) Pangesti untuk Melaksanakan
Kewajiban Suci, (13) Pangesti Selama Mengandung, (14) Pangesti untuk
Melaksanakan Kewajiban Siswa Utama, (15) Pangesti Mohon Menjadi Siswa Purnama,
(16) Pangesti untuk Melaksanakan Kewajiban Siswa Purnama, dan (17) Pangesti
untuk Membina Putra: Pamiwahan Putra; dan 3 butir pokok tuntunan dan pepadang
yang berkaitan dengan tali sadar atas jatidiri kita sebagai warga Pangestu,
siswa Sang Guru Sejati, berisi (1) Prasetia Suci, (2) Dasa Sila, dan (3)
tembang Memanising Hastha Sila: Sekar Dhandhanggula Eling-Eling. Dengan
demikian, isi atau kandungan Buku Saku
Panembah dan Pengesti dapat dikelompokkan atau diklasifikasikan atas tiga
hal, yaitu: (1) berkaitan dengan Tuntunan Panembah, (2) berkaitan dengan Tuntunan
Pangesti, dan (3) berkaitan dengan Tuntunan Tali Sadar sebagai warga Pangestu,
siswa Sang Guru Sejati.
3. Tuntunan Panembah
Mari
bersama-sama kita cermati isi Buku Saku
Panembah dan Pengesti. Pokok tuntunan dan pepadang pertama berkaitan dengan
Tuntunan Panembah. Menurut buku Ulasan
Kang Kelana (1990: 174) “Penembah adalah tanda bakti dari umat manusia
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, merupakan talinya eling atau sadar, dan mewujudkan ketaatan kita terhadap Suksma
Sejati”. Jadi, pemahaman Panembah dalam arti di sini sangat luas, yaitu segala
perbuatan apa saja asal itu merupakan tanda bakti kita, untuk memperkuat eling dan melaksanakan ketaatan kita
terhadap Suksma Sejati, dapat digolongkan dalam panembah. Ibadah dalam arti
luas termasuk dalam panembah.
Akan
tetapi, lima butir tuntunan dan pepadang yang termuat dalam Buku Saku Panembah dan Pengesti bagian
pertama ini merupakan arti Panembah secara khusus, yaitu menyediakan waktu dan
tempat tertentu untuk semata-mata menjalankan ibadah sampai khusuk.
Kekhusukannya itulah yang sangat perlu, bukan waktu, tempat, jumlah, dan
lamanya manembah. Dengan manembah yang ditentukan tempat dan waktunya kita
dapat meneliti: apakah kita benar-benar dapat manembah dengan heneng hening awas eling, secara khusuk?
Oleh karena itu, nilai dari tuntunan dan pepadang pada bagian pertama Buku Saku Panembah dan Pengesti adalah
prioritas utama, sangat penting, urgen, vital, sesuai dengan kebutuhan kita,
dan perlu dilaksanakan dalam setiap harinya sehingga menjadi ujung tombak
penyiswaan kita kepada Sang Guru Sejati.
Dalam
Sasangka Jati, Hasta Sila, Bab Sadar
(2014:8), disabdakan bahwa “Adapun sadar akan Tripurusa itu hendaklah
diusahakan setiap hari menjadi kebiasaan, ibarat orang lapar, yang ingatnya
akan makanan tanpa perlu diperintah luamah. Jadi, sekalipun sedang berjalan,
duduk menganggur, selagi bekerja, tidur, dan pada saat apa saja hendaklah
selalu sadar kepada Tuhan Yang Maha Esa (Suksma Kawekas – Suksma Sejati – Roh
Suci).”
Untuk
sampai ke sadar yang kekal (abadi) itu sarananya tiada lain kita telah dapat
menaati segala petunjuk dari Suksma Sejati dalam hal panembah. Artinya, kita
telah membiasakan diri hidup dalam panembah, yaitu kita sudah senantiasa
mencapai tataran penembah yang heneng
hening awas eling, sehingga kita dapat memperluas panembah kita pada waktu
apa saja, baik sewaktu berjalan-jalan, bercakap-cakap, makan, tidur, bekerja,
maupun sewaktu duduk merenung, serta kemudian semua perbuatan kita akan lambat
laun meningkat ke nilai Panembah.
Namun
demikian, kita harus berhati-hati (weweka)
melalui Jalan Kesiswaan dari permulaan (calon calonnya siswa) sampai ke tingkat
siswa (jiwa dewasa), hingga sampai jiwa luhur (menjadi Guru dan Guru Agung).
Kita tidak boleh terburu-buru, tergesa-gesa, segera sampai ke tataran jiwa
luhur. Sebab, dalam perjalanan menuju jiwa luhur itu banyak rintangan, godaan,
cobaan, dan bahaya yang mengepung kita, kinepung
wakul binaya mangap (terkepung rapat oleh buaya-buaya yang menganga
mulutnya = terkupung rapat oleh musuh). Akan tetapi, sama sekali tidak ada
salahnya apabila kita sewaktu-waktu sadar pada Suksma Sejati, lalu mendekat
kepada-Nya, tanpa dipengaruhi oleh waktu, tempat, dan keadaan kita sendiri:
apakah kita sedang di rumah, di perjalalan, di tempat pekerjaan, di restoran (di
kantin), di tempat objek wisata, ketika sedang makan, minum, tidur, bercakap-cakap,
duduk termenung, dan sebagainya. Kesempatan ingat dan sadar akan Suksma Sejati
jangan sampai kita biarkan berlalu begitu saja. Dalam keadaan seperti itu,
saat-saat yang sangat berharga, orang Barat mengatakan “time is money” (waktu adalah uang), kita sebagai siswa Sang Guru
Sejati harus menyatakan bahwa waktu
adalah untuk dapat mendekat sadar kepada Suksma Sejati, tiada waktu sedetik
pun melupakan Sang Penuntun dan Guru Jagat Raya ini, sebab Suksma Sejati tidak
terikat oleh ruang dan waktu.
Dalam
buku Ulasan Kang Kelana (1990:114)
dinyatakan bahwa Panembah itu harus dilaksanakan secara teratur sebagai usaha
yang nyata untuk mendekat kepada Suksma Sejati. Sebab Panembah merupakan tali
sadar akan Suksma Sejati. Bilamana dalam panembah setiap kali mendekat kepada
Suksma Sejati, kita akan menerima tambahan pepadang, dan pepadang itu akan
menjelma menjadi kebijaksanaan.
Panembah
mempunyai tiga daya guna (Ulasan Kang
Kelana, 1990:115—116), yaitu:
1)
Dalam Panembah kita melatih merendahkan diri terhadap
Suksma Sejati. Kita menundukkan diri sampai “Aku” kita seolah-olah menyentuh
lantai, dan lenyap sama sekali. Soal ini diperlukan sekali karena di dalam
kehidupan sehari-hari “Aku” kita ini senantiasa membubung tinggi. Apabila
“Akunya” bersimaharajarela, manusia lalu mudah tersinggung, toleransi kurang
untuk menerima kekecewaan-kekecewaan. Dalam hidup sehari-hari manusia harus
pandai menundukkan “Akunya” karena hidup itu saling bergotong royong, samad-sinamadan. “Akunya” harus pandai
untuk menyesuaikan diri dengan keadaan.
2)
Dalam Panembah kita sering melihat ke dalam sehingga
menjadi biasa berbagaul dan mengenal pikiran, perasaan, dan keinginan (kemauan)
kita sendiri. Lambat laun kita tahu benar seluk-beluk akan diri kita sendiri,
dan ini memudahkan kita untuk memperbaikinya menurut Tuntunan Suksma Sejati.
Kepercayaan kita merupakan saluran yang kuat bagi mengalirnya Sih Suksma Sejati yang sangat kita
perlukan guna perbaikan jiwa. Artinya dapat menjadi saluran peningkatan jiwa
manusia, dari tataran jiwa muda, jiwa dewasa, hingga ke tataran jiwa luhur.
3)
Dalam Panembah kita menjurus ke dalam diri sendiri dan
memutuskan hubungan dengan dunia luar. Ini perlu sekali untuk lambat laun
mengurangi tali rasa yang mengikat kita dengan dunia raya. Hidup di dunia
dengan bermacam-macam tugas dan kesenangan membawa adanya daya tarik ke luar
dari diri pribadi menuju ke dunia besar. Daya tarik ke luar itu perlu untuk
mengejar cita-cita kita di dunia ini, tetapi merupakan penghalang dalam usaha
kita mendekat kepada Suksma Sejati.
Panembah
adalah usaha yang berdaya guna untuk mengadakan keseimbangan antara tugas ke
luar dan ke dalam. Dengan keseimbangan ini menjadi kuat dan sehat, serta
panembah memberikan sumbangan yang besar sekali bagi kesehatan dan kekuatan
jiwa, maka panembah perlu dijalankan oleh setiap siswa dari Sang Suksma Sejati
secara teratur dan tekun.
Ketika kita masih berada pada
tataran bawah, calonnya calon siswa, untuk dapat senantiasa sadar akan Suksma
Sejati sewaktu-waktu, setiap saat,
tentunya sukar sekali. Akan tetapi, dengan kehadiran Buku Saku Panembah dan Pengesti sangat
amat membantu sebagai sarana untuk melatih sadar kita kepada-Nya. Sebab tidak
semua hafal isi teks masing-masing butir tuntunan dan pepadang Suksma Sejati
tersebut. Apabila sewaktu-waktu kita menghadapi masalah, yang ringan hingga
yang krusial berat, tentu kita ingin mendekat kepada Suksma Sejati. Dengan
adanya Buku Saku Panembah dan Pengesti
itulah membantu kita menguraikan masalah, sekalipun ada bagian yang tidak hafal
akan Panembah dan Pangesti, kita dapat membuka Buku Saku Panembah dan Pengesti yang kita bawa ke mana-mana itu,
dan lalu membacanya sesuai dengan keperluan saat itu.
4. Tuntunan Pangesti
Bagian
kedua dari Buku Saku Panembah dan
Pengesti adalah hal-hal yang berkaitan dengan Pangesti. Tercatat sebanyak
17 Pangesti dalam Buku Saku Panembah dan
Pengesti, yang diterbitkan oleh Pengurus Pusat Paguyuban Ngesti Tunggal
(2012), untuk memenuhi kebutuhan hidup kita sehari-hari. Pangesti-pangesti lain
di luar yang terdapat dalam Buku Saku
Panembah dan Pengesti terbitan Pengurus Pusat Pangestu ini tentunya masih
ada, dan itu menjadi catatan-catatan tersendiri dari beberapa siswa yang dekat
dengan Pakde Narto semasa hidup beliau di dunia. Bahkan, kadang-kadang catatan
Pangesti yang di luar Buku Saku Panembah
dan Pengesti terbitan Pengurus Pusat Pangestu tersebut dimuat dalam majalah
Dwija Wara.
Bapak
Pangrasa dalam buku Olah Rasa di Dalam
Rasa (2013:133—134) menyatakan “Engkau harus mengerti bahwa Pangesti I
sampai IV dan lain-lainnya itu bukan doa, rapal, mantra, juga bukan guna-guna,
yang konon berisi daya kekuasaan, salah kalau begitu anggapanmu. Lagi pula,
jangan hanya dianggap seperti formulir
permohonan.
Mengertilah,
pangesti-pangesti yang kuberikan kepada engkau sekalian itu pemberian Sang Guru
sejati sebagai tali penghubung
antara hamba dan Tuhan, siswa dan Sang Guru Sejati. Maka, jika pangesti
dilaksanakan hingga meresap dan menembus ke rahsa jati ialah pusat hati
sanubari, pangesti itu lalu menjadi wadah
yang menampung menetesnya air suci,
yaitu sih Sang Guru Sejati. Adapun
terbabarnya sih itu luas sekali
cakupannya.
Namun,
pangesti yang hanya diucapkan dalam batin atau di bibir, tidak didasari
kepercayaan dan kesucian pangesti, akan tetap menjadi kata-kata yang
dihapalkan, artinya tidak berdaya apa-apa bagi orang yang mengucapkan pangesti
dengan cara seperti itu.”
Pangesti-pangesti
yang diberikan oleh Sang Guru Sejati itu dapat dipilah menjadi dua hal, yaitu
(1) pangesti untuk keperluan diri pribadi, dan (2) pangesti untuk keperluan di
luar diri pribadinya. Pangesti yang ditujukan kepada orang lain di luar diri
pribadinya tersebut dapat ditujukan kepada perorangan atau kelompok masyarakat,
artinya dapat ditujukan lebih dari seorang, baik yang masih ada di alam sejati,
yang ada di dalam kandungan ibu, yang sudah terlahir di dunia, yang sedang
sakit, maupun yang sudah meninggal dunia. Pangesti yang ditujukan kepada orang
di luar pribadinya itu dapat saja ditujukan kepada orang-orang yang berada di
dekatnya, baik dekat secara fisik maupun dekat dalam hal hubungan kekeluargaan,
persaudaraan, dan pertemanan, seperti anak, istri/suami, orang tua, saudara,
kakek, nenek, paman, tante, cucu, para leluhur, teman sekerja, tetangga, dan
saudara sesiswa. Dapat saja pangesti itu ditujukan kepada orang-orang yang jauh
dari kita, bahkan tidak dikenal, tentu dibolehkan pangesti untuk mereka yang
jauh dan tidak dikenal tersebut, misalnya mereka yang tengah dilanda bencana,
atau dapat juga roh (jiwa manusia) yang belum kembali ke alam sejati. Pangesti
pemberian Sang Guru Sejati ini pun dapat ditujukan untuk Kesejahteraan dan
Keselamatan Keluarga, untuk Kesejahteraan dan Keselamatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI), serta untuk Kesejahteraan dan Keselamatan seluruh
umat di dunia, yang berarti ikut memayu
hayuning bawana. Sesungguhnya, betapa luas dan mendalam cakupan, manfaat,
dan khasiat dari pangesti-pangesti pemberian
Sang Guru Sejati. Bersyukur dan berbahagialah kita menemukan dan mendapat ajaran
benar dari Sang Guru Sejati.
Mari
kita bersama-sama merenungkan lebih lanjut tentang Pangesti.
Apabila
kita melaksanakan pangesti secara sungguh-sungguh, terlebih pangesti yang
ditujukan kepada orang lain di luar diri kita, sebenarnya hal itu sekaligus kita
melaksanakan Jalan Rahayu atau Panca Dharma Bakti. Memulai pangesti tentu seyogyanya
didahului dengan Paugeran Tuhan kepada hamba dan Intisari Panembah sebagai
dasar atau fondasi kepercayaan yang benar. Baru pendahuluan pangesti saja sudah
dua Jalan Rahayu, Paugeran dan Panembah, dapat kita lalui. Tiga Jalan Rahayu
lainnya, Budi Darma, Mengekang Hawa Nafsu, dan Budi Luhur, akan kita lalui
dengan benar-benar melaksanakan pangesti yang ditujukan kepada orang atau
masyarakat lainnya tersebut.
Dalam
Sasangka Jati, Jalan Rahayu, Bab 3 Budi
Darma (2014:123), tidak ada keharusan seseorang itu berbudi darma berwujud harta
benda, seperti uang atau barang, tetapi dapat juga berwujud tenaga, pikiran,
nasihat, pengetahuan, dan tentunya juga dapat berwujud pangesti. Melaksanakan
pangesti untuk orang atau masayarakat di luar dirinya tentu sudah berbudi darma
waktu, kemampuan, dan pengetahuan yang dimilikinya guna membabarkan kasih
sayang kepada sesama. Sabdanya dalam Sasangka
Jati itu dinyatakan sebagai berikut.
“Ketahuilah,
sesungguhnya orang fakir dan miskin pun dapat berbuat darma. Jadi, bukan orang
yang kaya akan harta saja yang dapat berbuat darma, melainkan semua golongan
hamba dapat juga berbuat darma atau memberi kebaikan. Adapun siapa yang wajib
menerima pertolongan, juga tidak dibatasi, yakni siapa saja dan pada waktu apa
saja dalam keadaan yang perlu ditolong, hendaklah diberi pertolongan apabila
engkau mampu, lebih-lebih yang berkenaan dengan kebutuhan orang banyak
(keperluan umum). Pertolongan itu harus berwujud apa, itupun tidak dibatasi,
sesuai dengan kebutuhan yang perlu mendapat pertolongan, misalnya perlu makan,
maka diberi makanan; perlu pakaian, maka diberi pakaian; perlu penginapan, maka
diberi penginapan; perlu petunjuk baik, maka diberi petunjuk rahayu, perlu
pengetahuan, maka diberi ilmu, demikian selanjutnya”.
Pengorbanan
seseorang akan waktu, kemampuan, dan pengetahuannya dalam melaksanakan pangesti,
dengan ikhlas ditujukan kepada orang lain atau kelompok masyarakat, itu juga
termasuk salah satu cara mengekang hawa nafsu agar tidak adigang adigung adiguna. Setidaknya ada tiga kali Sang Guru Sejati
menyebut watak adigang adigung adiguna
yang harus disingkiri oleh para siswa.
Pertama,
dalam Sasangka Jati, Jalan Rahayu,
Bab 4 Mengekang Hawa Nafsu (2014:129—130) disabdakan “Engkau telah mengerti
bahwa jasmanimu menjadi tempat nafsu luamah yang inginnya mengumbar makan,
minum, tidur, syahwat, dan lain sebagainya sebangsa kenikmatan dunia. Padahal,
jika keinginan nafsu luamah itu hanya selalu dituruti (diumbar) segala
permintaannya, akan menguatkan tindakan ke aneka rupa perbuatan yang menuntun
ke kerusakan, yaitu akan melalui jalan iblis, yang menuntun ke jurang
kesesatan, seperti: dengki, iri hati, pelit, panas hati, suka mencampuri urusan
orang lain, suka bertengkar, suka akan sanjungan dan kemasyhuran, yang akan
mendatangkan watak: adigang adigung
adiguna, dan sebagainya yang merusak tujuannya hingga akhirnya lalu lupa.”
Kedua,
dalam Sasangka Jati, Sangkan Paran,
Bab 2 Sebab-sebab yang Menyebabkan Sukarnya Kematian, Subbab 1 Jangan Menyembah
kepada Selain Allah (2014:160) disabdakan “Masih ada satu hal lagi yang
digunakan untuk menyaring kesucian syahadatmu, yaitu menyingkirlah dari semua
watak yang menuntun ke adigang adigung
adiguna atau suka disanjung-sanjung, dan suka dipuji-puji serta suka
masyhur, pongah, angkuh, dan sebagainya”.
Ketiga,
dalam Olah Rasa di Dalam Rasa, Bab
XXVI Bermacam-macam Godaan yang Dapat Menggagalkan Laku Para Siswa (2013:68)
dinyatakan bahwa “Oleh sebab itu, ia lalu adigang
adigung adiguna, akhirnya siswa lalu berwatak: sombong, angkuh, takabur,
suka pamer, pantang merendah harus unggul, meninggalkan jalan keutamaan karena
lalu lupa kepada Tripurusa, artinya meninggalkan jalan kesiswaan. Jika demikian
halnya, siswa lalu merosot jiwanya”.
Apa
dan bagaimana sesungguhnya watak: adigang
adigung adiguna itu sehingga dapat merusak tujuan kita kembali ke asal dan
tujuan hidup yang sejati, melupakan Tripurusa, memerosotkan derajat kesiswaan
kita, dan menjadi sebab sukarnya kematian atau tidak menyelamatkan perjalanan
sampai jalan Asal dan Tujuan (Sangkan Paran)? Secara lugas terjemahan dari kata
adigang adalah bersifat menonjolkan
kekuasaan dan kekuatan; adigung
adalah bersifat menonjolkan keluhuran, keturunan, dan kebangsawanan; dan adiguna adalah bersifat menonjolkan
kepandaian. Puisi obsesi berikut sekiranya dapat lebih menjelaskan apa dan
bagaimana yang disebut dengan adigang
adigung adiguna.
ADIGANG ADIGUNG ADIGUNA
Adigang watak congkak mengandalkan
kedudukan, pangkat, derajat, dan jabatan
seperti halnya kijang menjangan
mengandalkan akan kegesitan
melompat-lompat penuh keyakinan
dan kemampuan diri yang berlebihan
hingga melupakan kewaspadaan
tidak lagi memperhitungkan
kiri kanan, belakang, dan depan
harimau siap menerkam dan menelan
ketika kijang menjangan dalam kelengahan.
kedudukan, pangkat, derajat, dan jabatan
seperti halnya kijang menjangan
mengandalkan akan kegesitan
melompat-lompat penuh keyakinan
dan kemampuan diri yang berlebihan
hingga melupakan kewaspadaan
tidak lagi memperhitungkan
kiri kanan, belakang, dan depan
harimau siap menerkam dan menelan
ketika kijang menjangan dalam kelengahan.
Adigung watak takabur mengandalkan
derajat dari
silsilah keturunan
si konglomerat
atau si hartawan
ataupun darah
biru bangsawan,
seperti halnya
gajah ya si liman
selalu saja
membanggakan
kebesaran dan
kekuatan
menganggap tidak
satu pun
binatang mampu
mengalahkan
hingga gajah lupa
ada sengatan
seekor semut
masuk ke telinga kanan
menggigit tajam
mencekam sungguhan
hingga gajah
berang kesakitan
bahkan membawa
kehancuran
gajah pun menemui
ajal kematian.
Adiguna watak sombong mengandalkan
kecerdikan, kepandaian, dan kepintaran
terhadap orang lain suka meremehkan
karena kemampuan ilmu dan ucapan
senantiasa dia menjadi pedoman
hingga membuat dia lupa daratan
seperti halnya seekor ular beracun
bisa racun menjadi andalan
sekali sembur membuat kematian,
tapi si ular sungguh lupa beneran
ada penawar racun menyembuhkan
orang menjadi kebal dan tidak mempan.
(Sang Paramartha, 2014:3—4)
Dengan
melakukan pangesti yang ditujukan kepada orang atau masyarakat di luar dirinya,
tentulah lambat laun dapat menyingkir dari watak adigang adigung adiguna tersebut. Apalah gunanya mengandalkan
kedudukan, pangkat, derajat, jabatan, dan kekuasaan di dunia ini? Apa pula artinya
kita harus mengandalkan keluhuran keturunan, kebangsawanan, dan kekonglomeratan
sehingga membeda-bedakan perlakuan kita terhadap sesama? Apa juga maknanya kita
harus mengandalkan kepandaian dan kepintaran sehingga menganggap orang lain itu
semua bodoh, pandir, stupid, dan bego? Itu semua hanyalah pinjaman sementara,
suatu saat harus kita dikembalikan, dicabut akan hak dan wewenangnya.
Wujud
kasih sayang kepada sesama agar sejahtera, tenteram, dan bahagia di dalam
pangesti kita yang ditujukan kepada orang lain itu juga sebagian dari watak
budi luhur. Jadi, tidak ada hal yang sia-sia, terbuang percuma, meskipun hanya
dapat mangestikan untuk orang lain atau masyarakat di luar diri kita. Lebih
utama lagi, apabila mangestikan orang di luar diri kita, sebenarnya kita juga
ikut terangkat, ikut terentas, ikut di dalam merasakan kesejahteraan,
ketenteraman, dan kebahagiaan orang lain yang kita mangestikan tersebut.
Manfaat
atau khasiat pangesti itu apabila dipanjatkan dengan didasari kepercayaan dan
kesucian hati, khasiatnya sungguh besar sekali, amat luas cakupan dan khasiatnya.
Dalam buku Olah Rasa di Dalam Rasa (2013:130—131)
Bapak Pangrasa menyatakan bahwa “Mengertilah putraku bahwa getaran yang
tergelar di dunia ini tidak dapat ditolak dengan peranti apa pun. Segala
getaran akan menyingkir, artinya tidak dapat mengguncangkan ketenteraman dan
mengotori kesucian batin jika ditolak dengan keteguhan hati. Adapun hati dapat
teguh jika berisi percaya bahwa hati yang suci itu singgasana Tuhan. Oleh karena itu, Prabawa, pesanku kepadamu, juga
kepada putra-putraku sekalian, jika angan-anganmu sedang bergerak oleh pengaruh
getaran dari luar, mengenai apa saja, dan bergerak karena dibangunkan oleh
nafsu yang tertuju ke perbuatan yang menyalahi keutamaan dan kesusilaan, pada
saat itu juga pejamkanlah mata dengan menahan napas sebentar, lalu ucapkan
Pangesti Nomor 2”.
Pangesti
Nomor 2, Mohon Tuntunan, selain berkhasiat untuk menolak getaran yang berasal
dari luar, juga dapat dipanjatkan ketika hendak tidur (Sabda Khusus Peringatan Nomor 6 Alinea 7). “Seyogianya jika engkau
berbaring hendak tidur harus pasrah kepada-Ku dan jangan berniat bangun lagi”
(2014:27). Lalu oleh juru mengeti, Goenawan, diberi catatan kaki: “Para siswa
hendahlah menaatinya. Adapun caranya: tidur selonjor, lebih baik membujur ke
utara, kedua tangan bersidekap di dada, di atas jantung, telapak tangan kanan
terletak di atas tangan kiri, dengan mengucapkan pangesti di dalam batin
demikian: “Duh Suksma Sejati, Penuntun
serta Guru hamba yang sejati, hamba mohon semoga hamba dituntun berjalan di
jalan benar ialah jalan utama yang berakhir di kesejahteraan dan ketenteraman
abadi ialah di hadirat Tuhan sejati. Satuhu.” Kemudian berzikir menurut
keluar masuknya napas dengan tenang “Hu....
Allah” (“Hu” napas masuk, “Allah” napas keluar, hingga sampai masuk alam
tidur)”.
Selanjutnya,
Bapak Pangrasa, dalam buku Olah Rasa di
Dalam Rasa (2013:131) menjelaskan kepada para putra-putranya tentang
Pangesti Nomor 4: Mohon Daya Kekuatan, demikian jelasnya. “Kecuali itu, Prabawa, supaya hatimu tetap
suci dan kuat, tidak akan tertembus oleh getaran berkilaunya betis kuning dan godaan yang lain, setiap matahari
terbit dan terbenam, setelah manembah kepada Tuhan, ucapkanlah Pangesti Nomor 4
(Memohon sih Sang Guru Sejati). Jika pangestimu kaulakukan dengan
sungguh-sungguh, yaitu dapat masuk hingga menyentuh sampai di pusat sanubari,
dengan didasari percaya, engkau akan dapat menyingkir dari berbagai macam
godaan, dan engkau akan dapat melaksanakan kewajiban lahir batin dengan
sempurna karena sih, tuntunan, pepadang, dan lindungan Sang Guru Sejati.”
Selain
berkhasiat menghalau segala getaran yang berasal dari dunia besar, termasuk
pelbagai godaan, baik goda kasar, goda halus, maupun goda gawat, Pangesti juga
dapat membuat seseorang menjadi mursid, kaya akan keahlian dan kepandaian,
luhur budinya, luhur derajatnya, serta mulia hidupnya (lihat Pangesti Nomor 5).
Salah satu khasiat Pengesti untuk menjadi seorang yang mursid, melalui
percakapan Sri Rejeki dan Jatmika, dalam buku Taman Kemuliaan Abadi (1999:36—37) dinyatakan: “Mas, Mas, sekarang
Kanda kok menjadi siswa yang mursid, padahal dulu – ya minta maaflah – dengan
saya ibarat setali tiga uang,
sama-sama bodohnya. Di mana Kanda belajar? Apa sekarang ada fakultas mursid? Mbok saya dimaksukkan, saya ingin ikut
kuliah jurusan kemursidan, biar tidak keterlanjuran bodoh, melongo saja seperti
kerbau.”
Saudara
Jatmika dengan tersenyum menanggapi pertanyaan istrinya: “Jeng Sri, sampai
sekarang di seluruh dunia belum ada fakultas mursid, juga belum ada sekolah
yang mengajarkan supaya orang menjadi cekatan, tangkas, dan terampil. Adapun
saya mendapat berkah menjadi agak mursid
setelah saya sering menghadap Bapak, sebab saya lalu mengetahui, sumbernya
kemursidan berada di dalam rahsa jati, di pusat hati sanubari yang suci.
Bagaimana caranya agar Diajeng dapat dialiri air kemursidan, menurut Bapak
adalah sebagai berikut.
Setiap
waktu ketika sedang senggang, ibaratnya setiap detik, panjatkanlah Pangesti
Nomor 1, selanjutnya perasaanmu hendaklah dipenuhi dengan rasa mendekat kepada
Sang Sasangka Jati ialah Sang Guru
Sejati. Jika rasa mendekat kepada Sang Pepadang tersebut sudah tertanam atau
menggores di dalam batinmu, engkau akan disinari kebijaksanaan Sang Guru
Sejati, akhirnya engkau menjadi siswa yang mursid. Ketahuilah, Jeng, bahwa
Rahsa Jati adalah sumber kebijaksanaan, ketenteraman, kebahagiaan, dan
kemuliaan. Rahsa Jati adalah gapura Taman
Kemuliaan Abadi.”
Dari
kedua puluh lima butir pokok tuntunan dan pepadang Suksma Sejati tentang
Pangesti yang terkandung dalam Buku Saku
Panembah dan Pengesti niscaya, tentu, pasti sudah memenuhi kebutuhan hidup
kita sehari-hari dari pondok dunia sampai ke istana akhirat. Apakah dengan
kehadiran Buku Saku Panembah dan Pengesti
masih ada sesuatu yang dirasakan kurang dalam memenuhi kebutuhan hidup
Bapak/Ibu/Saudara warga Paguyuban Ngesti Tunggal? Dalam beberapa kali olah rasa
saya masih mendengar pertanyaan dan pengalaman dari warga Pangestu yang masih
menginginkan permohonan atau pangesti di luar yang ada pada Buku Saku Panembah dan Pengesti,
misalnya menginginkan anaknya menjadi pejabat negara, bahkan menjadi presiden,
kalau nanti meninggal di tempat yang enak atau meninggal bersama-sama suami
isteri, tidak ingin menjadi lantaran pedang pengadilan Tuhan, segera
mendapatkan rezeki yang halal dan melimpah, serta segera terentas dari semua
penderitaan hidup. Permohonan atau Pangesti yang demikian itu tidak ada
salahnya bilamana permohonan benar-benar ditujukan kepada Suksma Sejati. Akan
tetapi, terkabul atau tidaknya permohonan kita, tentunya sangat bergantung pada
pelbagai faktor yang ada, misalnya keseriusan permohonan, saldo dosa, hukum
angger-angger langgeng, dan dispensasi dari Sang Guru Sejati. Sang Guru Sejati
tidak dapat kita dikte untuk mengabulkan permohonan atau pangesti kita. Sebab
yang punya ukuran atau timbangan adalah Sang Suksma Sejati, kita sebagai hamba
hanya melaksanakan dan memohon, terus dan terus memohon, dikabulkan atau
tidaknya ya terserah atas kebijaksanaan, keadilan, kekuasaan, dan kasih sayang
Sang Guru Sejati. Sang Guru Sejati mengingatkan (Sabda Khusus Peringatan Nomor 15 Alines 11) bahwa “Sejatinya
Pangesti dan rasa bakti itu tidak ditujukan pada barang yang berwujud. Segala
perwujudan itu hanyalah bayangan-Ku yang dapat sirna” (2014:82).
5. Tuntunan Tali Sadar
Bagian ketiga dari Buku Saku Panembah dan Pengesti adalah
tuntunan tali sadar sebagai warga Pangestu dan siswa Sang Guru Sejati, yaitu
(1) Prasetia Suci, (2) Dasa Sila, dan (3) Manisnya Hasta Sila. Dengan Prasetia Suci mengingatkan kita pada
saat pelantikan menjadi warga Paguyuban Ngesti Tunggal. Tentu bapak ibu masih
ingat betul, bahwa yang pertama kali dibaca atau diucapkannya dihadapan sidang
majelis pertemuan olah rasa, pada saat pelantikan warga baru, adalah Paugeran
Tuhan kepada hamba, setelah itu mengucapkan Prasetia Suci, dan Dasa Sila, baru
setelah selesai olah rasa dinyanyikan lagu Manisnya Hasta Sila. Pelantikan
menjadi warga Paguyuban Ngesti Tunggal, dalam organisasi lain lebih dikenal
dengan istilah baiat, yaitu pengucapan sumpah setia kepada imam, dan imam kita
hanya Suksma Sejati, Sang Guru Sejati, Guru Dunia dan Akhirat yang menunjukkan
Jalan Benar ialah Jalan Utama, Jalan yang berakhir dalam kesejahteraan dan
ketenteraman abadi, yakni di hadirat Tuhan Yang Maha Esa, di Taman Kemuliaan
Abadi. Jadi, pengucapan Paugeran Tuhan kepada hamba, Prasetia Suci, dan Dasa
Sila dalam peristiwa pelantikan warga Paguyuban Ngesti Tunggal itu adalah
menjadi kredo, ikrar, sumpah
setia, yakni pernyataan kepercayaan (keyakinan)
dan sekaligus menjadi dasar tuntunan hidup sepanjang hayat, dari pondok
dunia hingga sampai ke istana akhirat. Agar kita senantiasa sadar akan
kedudukan sebagai warga Pangestu yang berusaha menyiswa kepada Sang Guru Sejati
dengan bertekun setiap harinya melaksanakan semua sabda Suksma Sejati yang
terukir dalam pustaka suci Sasangka Jati, mengalihkan titik berat kesadaran ke
alam sejati ialah kepada Tripurusa, dan melaksanakan Dasa Sila ialah pedoman
para warga Paguyuban Ngesti Tunggal, kehadiran tuntunan tali sadar dalam Buku Saku Panembah dan Pengesti tentu
menjadi sangat bermakna.
6. Penutup
Sebagai penutup Olah Rasa kita pada hari
ini, perlu saya kutipkan Sabda Khusus Peringatan Nomor 19 alinea 8 dan 9, yang
tetap masih ada kaitannya dengan masalah Panembah dan Pangesti, sebagai
berikut.
“Sesungguhpun Aku telah memberi wejangan
dan ajaran yang juga telah diperingati, tetapi jika tidak engkau perasakan dan
tidak dibabarkan dalam tindakan (laku), berarti engkau tidak ingin menerima
atau memetik keadaan yang engkau cita-citakan. Oleh karena itu, jangan hanya
mempunyai pengharapan. Jika demikian, keliru. Yang penting, bertindaklah dengan
menetapi semua petunjuk-Ku.”
“Tentunya di antara para siswa ada
yang bertanya: Bagaimana dapat meringankan semua penderitaan dan terkabul apa
yang dicita-citakan? Jika para siswa ingin lepas dari penderitaan dan terkabul
apa yang dicita-citakan, seperti yang telah aku perintahkan, hendaklah membuang
rasa waswas dan pasrahlah kepada-Ku. Aku yang akan menuntun, menolong, dan
menyelamatkan lakumu”.
Satuhu.